Anda di halaman 1dari 36

11

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Health Coaching

1. Pengertian Health Coaching

Coaching adalah kegiatan membantu seseorang secara sistematis

untuk berubah sesuai dengan keinginan mereka dan membantu mereka

menuju ke arah yang mereka inginkan, mendukung seseorang di setiap

tingkat untuk menjadi seperti yang mereka inginkan, membangun

kesadaran untuk memberdayakan pilihan dan menyebabkan perubahan

(International Coaching Community/ICC, 2017).

Coaching merupakan kegiatan yang terdiri dari coach dan klien,

coach bertugas membantu klien untuk mencapai yang terbaik dan

menghasilkan hasil yang mereka inginkan dalam kehidupan pribadi dan

profesional mereka. (ICC, 2017). Menurut Association for coaching

menyebutkan bahwa coaching merupakan suatu proses kolaborasi yang

sistematisantara coach dan klien yang berorientasi pada hasil untuk

mencari solusi,coach memfasilitasi setiap kemajuan pada perilaku klien,

memberikan pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi klien (Oliveira

& Dario, 2017)

Health coaching adalah suatu tindakan dalam memberikan

pengetahuan, keterampilan dalam meningkatkan kepercayaan diri pasien

agar berperan aktif dalam perawatannya sendiri sehingga mampu

11
12

mengidentifikasi tujuan kesehatan yang hendak dicapai (Bennett,

Coleman, Parry, Bodenheimer, & Chen, 2010).

Health Coaching merupakan suatu pendekatan kolaboratif dalam

proses perawatan yang didalamnya terdapat kegiatan pemberian informasi,

mendukung dan memotivasi dengan tujuan agar pasien mampu mengelola

setiap permasalahan kesehatannya(In & With, 2016). Health coaching

mengharuskan seorang pasien agar mampu membuat keputusan akan

kesehatannya dan mampu menerapkan perubahan perilaku guna

meningkatkan kesehatannya (David H. Thom et al, 2016)

2. Tujuan Health Coaching

Terdapat tiga tujuan utama dalam memberikan1health coaching1

yaitu1(Gandy et al1, 2013):

a. Membantu mengkaji setiap permasalahan kesehatan klien, memahami

dan memprioritaskan seluruh kebutuhan pasien, memberikan saran

tindakan apa yang harus dilakukan dan memberikan pendidikan

kesehatan.

b. Memandirikan pasien dalam pengambilan keputusan atas kesehatannya

atau mengadopsi suatu perilaku ataupun perubahan gaya hidup serta

memotivasi pasien akan komitmen dalam melaksanakan tindakan yang

telah dipilih.

c. Membantu klien dalam peningkatan keterampilan baik keterampilan

pemecahan masalah maupun keterampilan psikomotor tertentu,

sehingga pasien lebih terarah dalam melakukan perubahan gaya hidup

yang baru.
13

3. Teknik Coaching

Teknik Health Coaching bertujuan untuk mengkaji persepsi pasien

ataupun isu-isu yang paling pasien harapkan terhadap penyakit atau

kondisinya saat itu, dan membantu memberikan motivasi dan pemecahan

masalah terkait isu tersebut. Salah satu strategi yang dapat digunakan

dalam health coaching adalah OARS teknik yaitu :

a. Memberikan pertanyaan terbuka (Open-enden question) ini bertujuan

untuk pasien mengungkapkan seluruh kemauan/harapan terhadap

masalahnya sehingga memudahkan seorang coach untuk fokus dalam

memberikan tindakan pada masalah tersebut, pada tahap ini tugas

seorang coach adalah menjadi pendengar aktif dan tidak dianjurkan

memberikan saran atau informasi terkait masalah pasien karena

mungkin pada tahap ini pasien belum siap untuk menerima atau

melaksanakannya.

b. Menjelaskan seluruh kekuatan yang dimiliki pasien (Affirmation of the

person’s strenghs), seorang coach selalu memvalidasi dan memotivasi

sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki pasien karena hal ini

akan membantu pasien dalam meningkatkan keyakinannya bahwa

masalah yang ia hadapi dapat diselesaikan dengan baik.

c. Mendengarkan secara reflektif (Reflective listening), tindakan ini

bertujuan bahwa coach tertarik pada permasalahan pasien, sehingga

pasien merasa diperhatikan olehkarena itu seorang coach harus

berusaha mempelajari atau memahami posisi klien.


14

d. Membuat ringkasan atau kesimpulan dari seluruh pernyataan pasien

(Summary) ini bertujuan untuk membuat tujuan utama sesuai dengan

minat pasien.

4. Tahapan Health Coaching

Menurut Ghorob et al (2011) menyebutkan terdapat tujuh tahapan

dalam melakukan health coaching yaitu meliputi :

a. Tahapan pengumpulan data atau pengkajian

Pada tahap ini seorang coach menggali seluruh persepsi pasien terhadap

penyakitnya yang meliputi kekuatan dan hambatan apa saja yang

mungkin timbul atau dirasakan oleh pasien. Hasil dari tahap ini adalah

mendapatkan data sejauh mana kesiapan pasien dalam mengatasi

masalah kesehatan yang dideritanya.

b. Tahapan pemberian informasi dan motivasi

Setelah mendapatkan informasi pada tahap awal maka langkah

selanjutnya adalah peningkatan aspek kognitif pasien dengan

memberikan informasi kesehatan sesuai dengan yang menjadi masalah

pasien, Informasi yang diberikan tidak saja seputar penyakitnya tetapi

harus harus sampai mencakup konsep perilakunya, baik itu manfaat dan

dampak dari perilaku yang dilakukan.

c. Tahapan kesiapan perubahan perilaku

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting pada health coaching

karena pada tahap ini adalah goal setting dari perubahan prilaku pasien,

tahap ini di mulai dari proses negosiasi antara coach dan pasien tentang
15

sejauh mana tujuan yang ingin dicapai pasien dalam perubahan

perilakunya.

d. Memberikan pelatihan pemecahan masalah

Pada tahap ini seorang coach memberikan pelatihan pemecahan

masalah terhadap apa saja yang dapat menghambat pasien dalam

menyelesaikan program pengobatannya ataupun melatih keterampilan

tertentu untuk menunjang peningkatan kemampuan pasien dalam

menghadapi masalah penyakitnya.

e. Membantu aspek psikologi pasien

Tahapan ini bertujuan membentuk afektif klien yaitu dengan cara coach

memotivasi aspek psikologi pasien sehingga keyakinan dirinya tetap

terjaga dan pasien tetap dalam keadaan optimis dalam menghadapi

penyakitnya.

f. Memotivasi pasien terlibat aktif dalam seluruh manajemen

penyakitnya.

Pada tahap ini coach memotivasi dan memonitor pasien agar mau

melaksanakan seluruh manajemen penyakitnya sesuai dengan apa yang

telah ia dapatkan dari kegiatan health coaching ini

g. Tahapan kontrol regular/evaluasi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari kegiatan health coaching dimana

coach melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan

perubahan perilakunya, dengan tetap memotivasi pasien agar terus

melaksanakan kegiatan tersebut.


16

Menurut Palmer (2010) dalam melaksanakan ketujuh tahapan

tersebut boleh dilakukan tidak secara berurutan dan tidak perlu dilakukan

seluruhnya menyesuaikan dengan kebutuhan klien.

B. Konsep Self Help Group

1. Pengertian Self Help Group

Self help group merupakan kelompok informal yang anggotanya

saling berbagi pengalaman yang dialami, saling bekerja sama untuk

mencapai tujuan dan menggunakan kekuatan untuk melawan masalah

dalam hidupnya (Stuart, 2013). Dengan self help group maka seluruh

anggota akan merasa bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi

masalahnya, sehingga muncul rasa saling membantu, saling mendukung

dengan cara saling berbagi pengalaman dan berbagi tata cara tindakan

yang dapat menyelesaikan permasalahannya (Varcarolis, 2010).

Self help group adalah kumpulan beberapa orang yang memiliki

permasalahan yang sama dalam situasi kehidupan atau sedang mengalami

krisis dengan tujuan untuk saling berbagi (Sugarman, 2010).

Dari pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

self help group adalah kumpulan beberapa orang yang memiliki

permasalahan yang sama dengan tujuan saling berbagi pengalaman, saling

bekerjasama dan mendukung dalam menyelesaikan masalah pribadinya

ataupun masalah sosial.


17

2. Tujuan Self Help Group.

Fokus dari self help group adalah agar ada perubahan sikap dan

perilaku pada setiap anggota sesuai dengan yang diharapkan (Mohr, 2009),

sedangkan tujuan self help group adalah memberikan dukungan bahwa

mereka tidak sendiri dan melakukan peyelesaian masalah dengan baik

melalui saling berbagi pengalaman dan perasaan, berbagi ide-ide dan

belajar bersama tentang penyakit bagaimana cara menyelesaikannya serta

saling peduli antar sesama anggota sehingga tercapainya perasaan

amandan sejahtera (Varcarolis, 2010).

3. Prinsip Self Help Group

Nottingham (2009) mengatakan bahwa ada tiga prinsip pada

pelaksanaan self help group yaitu sebagai berikut :

a. Mutuality

Dengan melibatkan kelompok maka keputusan yang diambil

merupakan hal yang terbaik, karena setiap anggota kelompok akan

saling melihat dan merasakan atas setiap tindakan yang dipilih dan ini

merupakan salah satu upaya pemberdayaan, selain itu dengan self help

group adalah terciptanya keadaan mutual understanding dan support

sistem, artinya setiap Informasi dan solusi yang didapat setiap anggota

kelompok dapat menambah wawasan dalam penyelesaian masalah

setiap individu yang akhirnya dapat lebih mengembangkan kontrol diri

dan keyakinan diri dalam berbagai kondisi dan situasi.


18

b. Reciprocity (Hubungan timbal balik)

Seseorang yang bergabung dalam kelompok akan belajar mengenal

kebutuhan masing-masing dan memperoleh tambahan informasi.

Harapan dan inspirasi dapat datang dari mendengar ataupun

pengalaman anggota yang lain yang telah survive, mengatasi dan

menaklukkan situasi atau masalah kesehatan. Anggota belajar strategi

koping yang baru, memperoleh informasi dan manfaat yang tak

terhingga dari saling berbagi pengalaman di dalam kelompok. setiap

anggota secara kontinyu menguatkan dan memperbaharui strategi

koping.

c. Berbagi tanggung jawab dan manfaat

Salah satu keunggulan self help group karena setiap angggota memiliki

perasaan untuk menjadi menjadi lebih baik dengan cara saling

membantu, meningkatkan harga diri dan dapat memperbaiki self worth

dan self value. Adapun manfaat dari rasa saling berbagi ini adalah:

mereka dapat memperoleh yang benar sesuai dengan pengalaman yang

pernah dirasakan, adanya pemberdayaan dengan cara saling aktif

berbagi solusi penyelesaian masalah kesehatan, adanya peningkatan

self efikasi dan harga diri, kesempatan untuk memberikan hal yang

sama seperti menerima bantuan belajar cara baru untuk menangani

masalah, kesempatan untuk meningkatkan lingkungan sosial,

kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan baru, menurunkan

ketegangan, cemas dan ketakutan.


19

4. Karakteristik Self Help Group

Beberapa karakteristik dari SHG adalah banyaknya anggota sekitar

10-15 orang atau kelompok kecil, memiliki permasalahan yang

sama,sanggup mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir, setiap anngita

mempunyai kebebasan dalam menyampaikan pendapat, memiliki rasa

saling memiliki, keanggotaan didasari atas sukarela, dan memiliki sikap

siap saling membantu untuk meningkatkan status kesehatan (Forschner,

2010)

5. Tahapan Self Help Group

Dombeck dan Moran (2000) mengembangkan tahapan self help

group adalah sebagai berikut :

a. Tahapan mengidentifikasi masalah, tiap anggota harus mampu

mengutarakan isu, gejala atau masalah yang sedang dialami, sehingga

semua anggota kelompok memahami masalah apa yang paling

dirasakan kemudian mencari penyebab kenapa masalah itu bisa terjadi

dan mengidentifikasi hal apa saja yang bisa terjadi ketika kita

membiarkan masalah tersebut.

b. Mengkelompokan masalah ke sub-sub masalah, artinya ketika masalah

pokok sudah didapat maka langkah selanjutnya adalah menentukan

terjadinya penyebab terjadinya masalah tersebut dan dijadikan sebagai

sub-sub masalah yang harus diatasi.

c. Menentukan tujuan penyelesaian masalah, dari sub-sub masalah yang

sudah diidentifikasi maka selanjutnya dibuatlah tujuan untuk

menyelesaikan masalah tersebut diantaranya kapan waktunya,


20

tempatnya di mana dan membutuhkan waktu berapa lama dalam

mengelesaikan setiap sub masalah tersebut.

d. Membuat kriteria hasil dari setiap tujuan yang telah dibuat, agar setiap

tujuan bisa dievaluasi dan dapat dilihat kemajuannya maka setiap tujuan

dibuat alat ukur penvapaian tujuan.

e. Memberikan solusi pemecahan masalah untuk mengelola isu-isu dan

permasalahan yang terindentifikasidengan cara pemberian edukasi dan

diskusi dengan sesama anggota kelompok tentang teknik pemecahan

masalah pada anggota yang yang pernah mengalami, sehingga setiap

anggota kelompok tahu apa yang akan dilakukan dalam memecahkan

masalah yang dialami.

f. Memilih dan menyepakati solusi pemecahan masalah yang dianggap

terbaik yang didasari pada faktor kekuatan dan kelemahan setiap

anggota kelompok.

g. Membuat intervensi pemecahan masalah, kemudian menentukan

metoda dan cara pendekatan serta teknik yang akan digunakan untuk

menyelesaikan rencana dan buat batas waktu sampai kapan masalah itu

diselesaikan.

h. Melaksanakan impelmentasi tindakan sesuai rencana yang telah dibuat.

i. Membuat komitment terhadap rencana agar menghindari terjadinya

kekambuhan maka selalu berpedoman pada rencana.


21

6. Pengorganisasian kelompok

Adapun pengorganisasian kelompok dalam self help group

menurut Dombeck & Moran (2000) adalah sebagai berikut

a. Leader/pemimpin

Leader dipilih dan disepakati semua anggota kelompok dan setiap

anggota secara bergantian akan mencoba menjadi leader. Tugas

leader adalah membuka dan memimpin jalannya diskusi sesuai

dengan topik pertemuan yang ada didaftar masalah yang telah

disepakati bersama, membuat kontrak waktu untuk lamanya

pertemuan biasanya sekitar 120 menit, menjaga agar suasana diskusi

tetap kondusif dan bersahabat sehingga setiap anggota dapat aktif

dalam memberikan pendapat, memotivasi setiap anggota dalam

mengungkapkan pendapatnya dan memberikan kesempatan peserta

untuk bertanya.

b. Anggota kelompok

Adapun peran anggota adalah setiap anggota harus dapat

berpartisipasi aktif selama proses kegiatan berlangsung dengan cara

memberikan masukan dan umpan balik selama proses diskusi,

melakukan simulasi dan berkomitmen mengikuti kegiatan sampai

selesai.

c. Fasilitator/pendamping

Yang dimaksud fasilitator dalam SHG adalah perawat atau seorang

tenaga kesehatan terlatih, tugas dari fasilitator adalah mendampingi

pemimpin kelompok dalam memberikan penjelasan, masukan dan


22

umpan balik positif serta memberikan motivasi peserta sehingga

peserta mampu mengungkapkan pendapat dan pikirannya tentang

berbagai macam informasi.

C. Konsep Self Efikasi

1. Pengertian Self Efikasi

Self efikasi adalah keyakinan diri seseorang dalam mengontrol

fungsi diri agar mampu merasakan, berpikir dan memotivasi dirinya dalam

berperilaku (Artha& Supriadi, 2013). Pengalaman ataupun harapan

merupakan dasar dari munculnya Self efikasi, dengan self efikasi orang

akan mencoba melakukan suatu perubahan perilaku sesuai dengan

keyakinannya saat itu (Cervone, 2012).

Self efikasi adalah persepsi keyakinan atau kemampuan individu

untuk melakukan suatu perilaku dengan baik, dengan self efikasi maka

individu dapat menunujukan sikap terhadap perilaku tertentu, bagaimana

ia menjaga komitmen untuk mempertahankan perilaku tersebut ketika

kesulitan atau kegagalan datang (Friedman & Schustack,2011). Self efikasi

adalah keyakinan dan kemampuan individu dalam membentuk kontrol diri

untuk melakukan suatu perilaku (Feist & Feist,2010).

2. Dimensi Self Efikasi

Terdapat tiga level dalam self efikasi, yaitu level, generality, dan

strength (Artha& Supriadi, 2013)


23

a. Tingkat Level

Pada tingkat ini self efikasi berhubungan dengan kemampuan individu

dalam menilai derajat kesulitan suatu masalah yang dihadapi, pada

tahap ini kemampuan individu dalam menilai suatu masalah akan

berbeda-berbeda tergantung dari perbedaan tuntutan serta tujuan yang

dihadapi, semakin individu merasa mudah untuk mencapai tujuan

tersebut maka akan meningkan rasa self efikasinya tetapi jika masalah

yang dihadapi dirasa sangat sulit, maka keyakinan individu akan

semakin lemah untuk menyelesaikannya sehingga terjadi self efikasi

yang rendah (Pinasti, 2011).

b. Dimensi generality

Pada tahap ini self efikasi tidak lagi ditentukan karena penilaian

terhadap suatu masalah tetapi lebih didasari pada keyakinan atau

kemampuan individu dalam menyelesaikan berbagai situasi atau

masalah, mulai dari melakukan aktivitas yang biasa dilakukan ataupun

melakukan aktivitas yang baru, pada tahap ini self efikasi sangat terkait

dengan kemampuan individu dari segi kognitif, afektif dan psikomotor

dari suatu masalah yang dihadapi (Pinasti, 2011).

c. Dimensi strength

Pada tahap ini self efikasi seseorang sangat ditentukan dari banyaknya

pengalaman dalam menghadapi suatu masalah yang sama, Dimensi ini

biasanya berkaitan dengan dimensi tingkat level, dimana semakin

tinggi taraf kesulitan suatu masalah dan ditambah lagi pengalaman

yang kurang terhadap masalah tersebut maka akan membuat semakin


24

turun self efikasi seseorang dalam berperilaku menyelesaikannya, oleh

karena itu pada tahap ini semakin sering seseorang menghadapi suatu

masalah maka akan semakin tinggi self efikasi yang akhirnya

berdampak memberikan kekuatan dalam mendukung kemampuan

individu menghadapi kesulitan yang dihadapinya. (Pinasti, 2011).

3. Fungsi Self Efikasi

Bandura dalam Iskandar (2014) menjelaskan tentang pengaruh dan

fungsi self efikasi terhadap seseorang dalam berperilaku yaitu :

a. Fungsi kognitif, individu dengan efikasi diri yang kuat akan

mempunyai cita-cita yang tinggi dalam mengatur rencana dan

berkomitmen pada dirinya dalam mencapai tujuan dan individu dengan

efikasi diri yang kuat juga akan mempengaruhi bagaimana individu

tersebut menyiapkan langkah-langkah antisipasi bila usahanya yang

pertama gagal dilakukan.

b. Fungsi motivasi, efikasi diri memainkan peranan penting dalam

pengaturan motivasi diri dan motivasi sangat berperan dalam

menentukan tingkah laku,jadi dengan efikasi yang tinggi individu akan

memotivasi dirinya agar dapat melakukan, merencanakan tindakan-

tindakan serta membuat langkah antisipasi terhadap suatu kegagalan

dalam memecahkan suatu masalah, dengan keyakinan yang kuat

terhadap kemampuan dirinya juga akan memotivasi individu untuk

melakukan usaha yang lebih besar ketika individu tersebut gagal dalam

menghadapi tantangan.
25

c. Fungsi afeksi, self efikasi akan membentuk koping yang adaptif

terhadap seseorang dalam mengatasi suatu masalah yang membuat

stress dan depresi, dengan efikasi diri yang tinggi maka individu akan

selalu merasa berani dan siap dalam menghadapi setiap masalah yang

datang karena self efikasi mampu mengontrol dan mengatur pikiran ke

pola-pola pikiran yang negatif.

d. Fungsi selektif, dengan self efikasi maka indivu akan selalu waspada

dan hati-hati dalam melakukan suatu aktivitas, dengan adanya self

efikasi maka seseorang mampu menilai mana situasi atau masalah yang

tidak dapat diselesaikan dan mana masalah yang mampu diselesaikan.

4. Sumber-Sumber Self Efikasi

Bandura dalam Friedman & Schustack, (2011) menyebutkan ada

Empat sumber penting yang digunakan seseorang dalam membentuk self

efikasi yaitu :

a. Mastery experience (pengalaman dalam mengatasi suatu sesuatu), self

efikasi seseorang sangat bergantung pada pengalaman orang tersebut

dalam menyelesaikan suatu masalah, karena pengalaman merupakan

bukti nyata dari suatu tindakan yang pernah diambil dalam

menyelesaikan suatu masalah sehingga dalam melakukan suatu

tindakan maka individu tersebut akan semakin percaya diri mampu

menyelesaikannya (Feist & Feist, 2010).

b. Vicarious experience, artinya belajar suatu perilaku dengan melihat

pengalaman orang lain yang dianggap memiliki kemampuan atau

masalah yang setara, artinya self efikasi akan meningkat untuk


26

melakukan suatu tindakan jika melihat orang lain yang mempunyai

masalah yang sama dengan dirinya berhasil/sukses tetapi sebaliknya

apabila yang diamati mengamati kegagalan maka akan menurunkan

keyakinan dan usaha dari individu tersebut (Feist & Feist, 2010).

c. Persuasi verbal, self efikasi dipengaruhi oleh bujukan atau ajakan

orang lain, seseorang yang yakin terhadap nasihat ataubujukan orang

lain bahwa dirinya mampu mengatasi masalah-masalah yang akan

dihadapinya, maka individu tersebut akan memiliki self efikasi yang

tinggi dalam berusaha dengan gigih untuk menyelesaikan masalahnya

(Feist & Feist, 2010).

d. Keadaan fisiologis tubuh dan emosional, self efikasi seseorang akan

bergantuk dari kondisi tubuhnya, orang yang merasa kondisi tubuhnya

kurang fit atau pun kurang baik dalam menyelesaikan suatu masalah

maka akan mempunyai keyakinan diri yang kurang begitu juga dengan

perasaan emosi, jika seseorang merasa takut, grogi, cemas dalam

menghadapi suatu masalah maka self efikasinnya pun akan rendah

dalam bertindak (Feist & Feist,2010)

5. Faktor yang mempengaruhi Self Efikasi

Menurut Billings and Macvarish, (2010) self efikasi dapat

dipengaruhi oleh empat hal sesuai dengan sumbernya yaitu

a. Performance accomplishment yaitu berkaitan dengan pengalaman masa

lalu individu artinya individu yang pernah sukses mengatasi suatu

masalah maka akan menaikan efikasi diri individu tersebut jika masalah

yang dulu terulang lagi tetapi jika individu mengalami kegagalan


27

dimasal lalu maka efikasi diri individu tersebut akan turun jika masalah

tersebut terulang lagi.

b. Vicarious experience berkaitan dengan melihat pengalaman orang lain,

semakin sering individu melihat keberhasilan orang lain yang dianggap

sebanding dengan dirinya maka dengan sendirinya akan merasa mampu

melakukan hal tersebut atau dengan kata lain meningkatkan efikasi

dirinya.

c. Verbal persuassion berkaitan dengan saran, nasihat, dan bimbingan

sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kemampuan yang

dimiliki yang pada akhirnya dapat membantu tercapainya tujuan yang

diinginkan.

d. Emotional arousal berkaitan dengan kondisi emosional (mood)

seseorang dalam menghadapi suatu masalah.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efikasi

Beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi diri dari karakteristik

individu menurut Bandura, antaralain:

a. Jenis kelamin

Terdapat perbedaan pada perkembangan dan kompetensi laki-laki dan

perempuan. Laki-laki biasanya sangat membanggakan dirinya tetapi

perempuan sering kali meremehkan kemampuan mereka. Hal ini

berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya, orang tua

menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran

dibanding laki-laki, walaupun prestasi akademik mereka tidak terlalu

berbeda.
28

b. Umur

Self efikasi terbentuk karena pengalaman yang didapat selama masa

kehidupan seseorang, oleh karena itu individu yang lebih tua cenderung

memiliki self efikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu

yang lebih muda ketika menghadapi permasalahan yang sama.

c. Tingkat pendidikan

Efikasi diri terbentuk melalui proses belajar baik dari pendidikan formal

maupun informal. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin

meningkat self efikasi dalam dirinya dalam menghadapi persoalan

hidupnya, karena pendidikan akan meningkatkan pengetahuan

seseorang yang akhirnya akan merubah pola pikir dan efikasi dirinya.

D. Konsep TB Paru

1. Definisi TB Paru

TB Paru adalah penyakit paru yang menyerang jaringan prenkim

paru karena adanya infeksi yang diakibatkan oleh mycobacterium

tuberculosis (Alwi, 2017). Tuberkulosis merupakan penyakit menular

akibat infeksi mycobacterium tuberculosa yang menyebar melalui droplet

orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes RI. 2014)

2. Penyebab TB Paru

Mycobacterium tuberculosa merupakan penyebab utama TB paru.

Bakteri ini memiliki ukuran 0,5-4 mikron × 0,3-0,6 mikron berbentuk

batang tipis, lurus daan ada juga yang bengkok, bergranular tetapi

mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid yang sulit ditembus
29

oleh zat kimia (Maghfiroh, 2017). Basil bakteri berada pada bercak

ludah/droplet dan bisa menyebar ke udara sehingga orang yang terkena

rentan terinfeksi bila menghirupnya. Bakteri yang telah terinhalasi

akanmasuk ke paru-paru dan menyebar ke nodus limfatikus local

kemudian menyebar melalui aliran darah, pada kndisi ini dapat

menyebabkan infeksi laten yang berlangsung sampai bertahun-tahun

(Wim de jong, 2012).

3. Gejala TB Paru

Keluhan yang dirasakan pasien Tuberkulosis paru bisa bermacam-

macam ataupun bisa tanpa keluhan sama sekali. Gejala TB Paru ada dua

jenis yaitu gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum biasanya

demam dan malaise. Demam pada TB Paru mirip dengan demam yang

disebabkan influenza yang sifatnya hilang timbul namun kadang-

kadangbisa mencapai 40-41ºC. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu

panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang,

serta penurunan berat badan (Darmanto, 2014). Gejala khas lainnya adalah

gejala respiratorik yaitu batuk kering ataupun batuk produktif yang

berlangsung lebih dari dua minggu dan kadang-kadang di sertai batuk

darah, biasanya gejalan ini disertai dengan nyeri dada yang bersifat nyeri

pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit (Darmonto,

2014).

4. Cara penularan TB Paru

Cara penularan penyakit TB Paru adalah pada saat penderita batuk

atau bersin karena dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang
30

mampu menyebarkan bakteri keudara dalam bentuk droplet nuclei/percik

renik. Bakteri TB Paru dapat bertahan diudara disuhu kamar selama

beberapa jam, sehingga akan beresiko terhirup oleh orang lain. ketika

bakteri yang ada pada droplet masuk kedalam saluran pernafasan maka

bakteri TB juga akan ikut masuk kedalam saluran pernafasan dan ketika

daya tahan tubuh turun maka bakteri dapat menyebar kebagian tubuh

lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan bakteri TB Paru

tergantung dari banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya, makin

tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita

tersebut (Kemenkes,2014).

5. Pencegahan penularan TB kepada orang lain

Menurut Kemenkes (2014) cara pencegahan penularan penyakit

TB Paru adalah : Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh,

Pasien TB harus menutup mulutnya dengan saputangan atau tisu ketika

batuk atau bersin, membuang dahak ditempat khusus dan tertutup

misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi air

sabun, karbol ataulisol, Buanglah dahak ke lubang WC, tersedianya

ventilasi yang cukup dirumah, menjemur perlengkapan tidur sesering

mungkin, mengkonsumsi makanan bergizi, menghindari kebiasaan

merokok dan minum minuman keras, serta lakukanlah perilaku hidup

bersih dan sehat


31

6. Orang yang berisiko terkena TB Paru

Menurut Kemenkes bahwa orang yang beresiko terkena TB Paru

adalah orang yang selalu kontak langsung dengan pasien TB Paru,

seseorang yang memiliki status gizi rendah, orang dengan daya tahan

tubuh rendah seperti bayi, anak-anak, wanita hamil dan lansia yang kontak

erat dengan pasien TB BTA positif (Kemenkes,2014)

7. Faktor risiko TB Paru

Hal-hal yang bisa menimbulkan kejadian suatu penyakit adalah

factor resiko, oleh karena itu karakteristik dari individu pun merupakan

factor resiko dari terjadinya penyakit TB Paru seperti :

a. Faktor karakteristik individu

1) Usia

Penyakit TB menyerang semua golongan usia., terutama adalah usia

produktif 15-50 tahun yaitu sekitar 75% dari seluruh kejadian

penyakit TB Paru (Manalu, 2010)

2) Jenis Kelamin

Prevalensi kejadian TB Paru pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan

perempuan, Laki-laki memiliki peluang dua kali lebih besar

dibandingkan perempuan, ini dikarenakan perilaku merokok, dan

kebiasaan meminum minuman yang beralkohol serta kebiasaan

keluar malam pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada

perempuan sehingga mengakibatkan tubuh laki-laki lebih rentan

terkena TB Paru (Utami, 2014).


32

3) Status Sosial Ekonomi

Data WHO menyebutkan 90% Kelompok masyarakat dengan status

social ekonomi yang rendah merupakan penderita TB Paru,

dikarenakan mereka lebih mengutamakan memenuhi kebutuhan

primer seperti sandang, pangan dan papan daripada untuk kebutuhan

pemeliharaan kesehatan (Dhewi, 2011). Keadaan rumah, kepadatan

hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja

yang buruk merupakan faktor sosial ekonomiyang dapat

mengakibatkan terjadinya penyakit TB Paru.Oleh karena itu

pendapatan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan

kejadian TB Paru (Manalu, 2010).

b. Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat dominan dalam dalam

timbulnya penyakit TB paru, faktor lingkungan meliputi :

1) Kepadatan tempat tinggal

Salah satu faktor pre requisite dalam kasus penyebaran penyakit TB

Paru adalah kepadatan tempat tinggal, karena disamping

mengakibatkan lingkungan menjadi lembab yang memudahkan

bakteri TB Berkembang biak juga lingkungan yang padat akan

mempercepat penyebaran bakterii TB Paru.

2) Jenis lantai rumah

Bakteri TB Paru akan mudah berkembang biak pada keadaan

ruangan yang lembab dan jenis lantai tanah mengakibatkan

kelembaban pada suatu ruangan, oleh karena itu penyebaran TB


33

akan semakin cepat pada jenis lantai tanah dibandingkan dengan

jenis lantai keramik.

3) Sirkulasi Udara/ventilasi

ventilasi sangat bermanfaat terhadap proses perputaran udara di

dalam suatu ruangan sehingga bakteri TB Paru tidak mudah untuk

berkembang biak karena dengan ventilasi yang baik maka

kelembaban suatu ruangan dapat diatasi (Achmadi, 2009), hasil

penelitian Umboh dkk (2012) menyatakan bahwa suatu rumah yang

memiliki ventilasi < 10% memiliki peluang 36 kali penghuninya

terkena penyakit TB Paru dibandingkan dengan rumah yang jumlah

ventilasinya ≥ 10%.

4) Pencahayaan

Bakteri TB Paru akan mudah mati jika terkena cahaya matahari, oleh

karena itu sangat penting sekali cahaya matahari dapat masuk

kedalam rumah untuk membunuh bakteri TB Paru yang berkembang

biak di rumah (sukartini, 2015), Pencahayaan yang kurang akan

menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat

berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC.

Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus

menerangi seluruh ruangan dan mempunyai intensitas minimal 60

lux dan tidak menyilaukan (Putra, 2011). Hasil penelitian Umboh

dkk (2012) memperoleh hasil bahwa rumah yang tidak memenuhi

syarat pencahayaan yaitu < 60 lux maka akan beresiko terkena TB


34

Paru sebesar 9kali dibandingkan rumah yang memenuhi persyaratan

pencahayaan yaitu >60 lux.

5) Kelembaban Udara

Bakteri micobakterium dapat bertahan hidup selama beberapa jam di

tempat yang gelap dan lembab namun bakteri TB Paru akan mati jika

terkenasinar matahari (Putra, 2011), penelitian Umboh dkk (2012)

mendapatkankan hasil bahwa rumahdengan kondisi yang lembab

memiliki peluang tiga kali lebih besar menderita penyakit TB paru.

8. Klasifikasi dan tipe pasienTB

Dalam menentukan klasifikasi dan tife pasein TB Paru bisa

dilakukan dengan pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :

a. Pasien dengan TB Paru BTA positif: jika Sekurang-kurangnya 2 dari 3

pemeriksaan spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya

BTA positif. 2). satu spesimen dahak hasilnya BTA positif dan foto

toraks dada menunjukkan gambaran TB Paru atau biakan kuman TB

positif. 3) Pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan

tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OATtetapi

setelah 3 spesimen dahak SPS Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya

positif.

b. PasienTB paru BTA negatif. Kriteria diagnostik kasus TB paru BTA

negatif harus meliputi: 1) BTA negatif setelah 3 kali spesimen dahak

SPS. 2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB. 3) Setelah

pemberian antibiotika non OAT dipertimbangkan dokter Tidak ada

perbaikan. ( Kemenkes RI, 2014).


35

9. Diagnosis TB Paru

Untuk mendiagnosis apakah seseorang terkena TB Paru atau tidak

maka pemeriksaan yang paling relevan adalah pemeriksaan basil tahan

asam (BTA) pada dahak yang dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sewaktu-

pagi-sewaktu (SPS), dikatakan positif TB Paru jika hasil pemeriksaan

paling sedikit dua dinyatakan positif dari tiga kali pemeriksaan BTA

tersebut, namun jika hasil pemeriksaan yang dinyatakan positif hanya satu

maka pemeriksaan harus diulang bila perlu dilakukan pemerikaan foto

rongent, jika hasil rontgen mengarah ke tanda penyakit TB Paru maka

pasien bisa dinyatakan TB BTA Positif dan untuk membuktikan maka

harus dilakukan pemeriksaan biakan (Kemenkes, 2014)

10. Komplikasi

Menurut Sukartini, (2015) penyakit TB paru bila tidak ditangani

dengan benar akan menimbulkan komplikasi, Komplikasi TB Paru dibagi

menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini meliputi

pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, bahkan bisa menjalar ke organ

lain seperti usus dan pancet’s arthropath sedangkan komplikasi lanjutan

dapat menimbulkan obstruksi jalan napas bahkan ARDS.

11. Pencegahan Penyakit TB Paru

Pencegahan penularan yang dapat dilakukan oleh pasien adalah

dengan melakukan etika batuk yang benar yaitu dengan menutup mulut

dengan tissue atau sarung tangan atau lengan baju saat batuk dan tidak

membuang dahak disembarang tempat, sedangkan bagi masyarakat umum

agar terhindar dari penyakit TB Paru adalah dengan cara mengimunisasi


36

BCG pada setiap anak, menjaga kebersihan rumah, perhatian khusus pada

ludah anggota keluarga yang terjangkit penyakit (piring, tempat tidur,

pakaian) dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup

(Kemenkes, 2014)

E. Konsep Program Pengobatan TB Paru

1. Tujuan Pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI, (2014) tujuan dari pengobatan TB Paru

adalah: Menyembuhkan pasien dan memperbaiki prodiktivitas serta

kualitas hidup, menurunkan penularanTB dan mencegah terjadinya TB

resisten obat serta mencegah terjadinya kematian.

2. Prinsip Pengobatan TB Paru

Pengobatan TB Paru dibagi menjadi dua tahap yaitu tahan instensif

dan tahap lanjutan, pengobatan harus diselesaikan sampai tuntas paling

cepat 6 bulan, obat harus diminum dengan didosis yang tepat dan di minum

secara teratur serta diawasi secara langsung oleh seorang PMO (pengawas

minum obat) (Kemenkes RI, 2014)

3. Tahapan Pengobatan

Pengobatan TB Paru dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal

atau tahan intensif dan tahap lanjutan(Kemenkes RI, 2014)

a. Tahap Intensif

Pada tahap ini obat anti tuberculosis di telan setiap hari dengan lama

pemberian selama 2 bulan pertama pengobatan, jika tanpa adanya


37

penyulit maka daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap Kedua atau Tahap Lanjutan

Tujuan pengobatan tahap lanjutan adalah membunuh sisa bakteri yang

masih ada didalam tubuh, obat di minum tiga kali seminggu.

4. Macam-macam Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2.1 Penggolongan OAT


Golongan dan Jenis obat Obat
Golongan 1 Obat lini 1. Isoniazid(H) 1. Pyrazinamide(Z)
pertama 2. Ethambutol 2. Rifampisin(R)
3. Streptomycin(S)
Golongan 2 atau 1. Kanamycin (Km) 1. Amikacin(Am)
obat injeksi lini 2. Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan -3 atau 1. Ofloxacin (1Ofx) 1. 1Moxiflox (Mfx)
golongan 2. Leofloxacin (1Lfx)
Floroquinolone
Golongan -4 atau obat 1. Ethionamide 1. Paraamino
bakteriostatik lini (Et1o) 1salisilat(PAS1)
kedua 2. Prothinamide 2. Terizidone1(1Trd)
(1Pto)
3. Cycloserine (C1s)
Golongan -15 atau obat 1. Clofazimine 1. Thioacetazone
yang belum terbukti (C1fz) (11Thz)
efisiensinya dan tidak 2. Linezolid (Lzd) 2. Clarithromyci1n
direkomendasikan oleh 3. Amoxilin- (1Clr)
WHO1 Clavulanate ( 3. Imipenem(11Ipm)
Amx-Clv)

Paduan pengobatan dengan OAT yang digunakan oleh Program

Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia :

Kategori I1: 2 HRZE1/4(HRE1)3, adalah 1untuk pasien TB1 paruyang

baru

Kategori 1II : 2 ( H1RZ1E)S/(HRZ1E/5(HR)31E3, untuk klien TB tipe

kambuh
38

Kategori I1II : 2 H11RZ/4(H1R)3, untuk klien TB paru dengan1 BTA (-)

dan Ro+

Sisipan : HRZ1E, sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhi1r

tahap intensif dari pengobata1n dengan kategori I1 atau kategori I1I

ditemukan BTA1(+)

5. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis dan Penatalaksanaannya

Adapun efeksamping yang sering terjadi pada pasien ketika memimun

OAT menurut kemenkes (2014) adalah

Tabel 2.2 efek samping obat dan cara penatalaksanaannya


Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Napsu makan H, R, Z OAT ditelan pada malam hari
menurun,mual,sakit sebelum tidur. Apabila mual boleh
perut ditelan dengan sedikit makanan.
Jika keluhan sudah disertai
muntah, maka harus segera rujuk
ke dokter.
Keluhan sakit sendi Z Beri analgetik seperti : aspirin,
paracetamol atau obat anti radang
non steroid
Adanya rasa baal atau H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50-
kesemutan atau terdapat 75mg/hari
rasa terbakar pada
telapak kakiatau tangan
Urine berwarna R Normal tidak perlu diberi obat
kemerahan penawar hanya perlu penjelasan
kepadaPasien
Flu sindrom ( demam, R dosis intermiten Merubah Pemberian obat R
mengigil, lemas, sakit menjadisetiap hari
kepala, nyeri tulang)
Bercak kemerahan kulit H,R,Z,S Ikuti aturan pemakaian obat,
(rash) dengan atau karena biasanya diakibatkan dari
tanpa rasa gatal kurang tepatnya minum obat
Gangguan pendengaran S S dihentikan
(tanpa ditemukan
serumen )
Keseimbangan S Obat S di stop
mengalami gangguan
Ikterik tanpa penyebab H,R,Z Semua OAT dihentikan sampai
lain ikterik
Menghilang
39

Bingung,mual muntah Semua jenis OAT Semua OAT dihentikan, segera


(dicurigai terjadinya lakukan pemeriksaan
gangguan fungsi hati fungsi hati
apabila disertai ikterik)
Penglihatan terganggu E E dihentikan
Bitnik-bintik merah R Obat R di stop
pada kulit, adanya
gejala syok, gagal
ginjalAkut
Produksi urine menurun S S dihentikan

Keterangan :
Apabila terdapat keluhan gatal tetapi tanpa kemerahan tanpa adanya
penyebab lain setelah minum OAT maka disarankan memberikan obat
antihistamin dan pelembab kulit dan pemberian OAT tetap dilanjutkan
kecuali mulai muncul kemerahan maka harus dihentikan dan rujuk ke dokter.

6. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan dilakukan 3 evaluasi yaitu : 1).Pemeriksaan

klinis: pasien biasanya kontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya

setiap per 2 minggu selama tahap intensif dan sekali sebulan pada tahap

lanjutan sampai akhir pengobatan. 2). Bakteriologis: Biasanya setelah 2-3

minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif dan 3). Radiogis

: Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi.

7. Kepatuhan pasien Dalam Program Pengobatan

Kepatuhan atau dalam bahasa medis biasa disebut dengan

compliance atau adherence adalah alat ukur untuk mengetahui sejauh

mana pasien mengikuti intruksi maupun saran dari petugas kesehatan

(Sabate, 2010), sedangkan dalam program pengobatan maka kepatuhan

adalah adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan pengobatan baik dosis

ataupun jumlah obat yang telah ditetapkan oleh dokter (Dusing, et

al.,2010).
40

Untuk mengukur kepatuhan seseorang tidak dapat dilihat hanya

satu aspek saja karena masalah kepatuhan adalah masalah multidimensi

yang saling terkait yaitu antara faktor dari pasien sendiri, faktor dari

obatnya, faktor system kesehatan yang berjalan, serta faktor lingkungan

dan social ekonomi (WHO, 2015).

Sabate (2010), mengatakan bahwa kepatuhan dalam program

pengobatan TB Paru meliputi patuh terhadap jadwal dan dosis minum

obat, menaati diit yang dianjurkan dan menjalani perubahan gaya hidup

yang sesuai dengan anjuran tenaga medis.

Tenaga kesehatan turut berperan penting dalam memberikan informasi

mengenai pengobatan pengobatan dengan memberikan informasi sesuai

kebutuhan penderita, sehingga penderita memahami resiko dan kondisi

kesehatannya, memahami bahwa ketidakpatuhan dapat menyebabkan beberapa

resiko bagi kesehatannya sesuai dengan peraturan menteri kesehatan no. 67

tahun 2016.

Alat ukur kepatuhan berobat pasien TB Paru sesuai dengan program

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) terdiri dari lima komponen

yaitu:

a. Adanya dukungan dari pemangku kebijakan.

b. Pemeriksaan lab baik pemeriksaan BTA pada dahak, foto rongent ataupun

pemeriksaan biakan.

c. Adanya pengawas menelan obat (PMO) dalam menjalani program

pengobatannya khususnya dalam hal minum obat sehingga dapat dipastikan


41

bahwa pasien betul minum seluruh obatnya dan menganjurkan kapan harus

kontrol ke layanan kesehatan

d. Pencatatan dan pelaporan yang baik dan benar yang dilakukan oleh petugas

kesehatan maupun PMO.

e. Pemberian informasi tentang panduan minum OAT

F. Konsep Health Promotion Model

1. Pengertian Dasar

Health Promotion Model (HPM) yang dikembangkan oleh Nola J

Pender, merupakan model keperawatan yang mengatur motivasi dan

komitmen dalam berperilaku sehat dan bagaimana agar timbul keinginan

untuk mencegah suatu penyakit (pencegahan primer) guna mencapai

kesejahteraan yang lebih tinggi (Peterson, 2013).

Health promotion model ini adalah gabungan dari teori nilai

pengharapan (expextancy value theory) dan teori kognitif social (social

cognitive theory) (Peterson, 2013)

Teori nilai pengharapan mengungkapkan bahwa orang akan berusaha

mencapai suatu tujuan yang diyakini dapat dicapai jika tujuan tersebut

dirasa bermanfaat dan sesuai yang diinginkan, sedangkan teori kognitif

sosial mengatakan bahwa self efikasi memiliki peranan penting dalam

mengatur komitmen seseorang dalam bertindak dan berperilaku.


42

2. Konsep Mayor Health Promotion model

a. Perilaku sebelumnya

Perilaku sebelumnya perilaku yang pernah dilakukan atau dikerjakan

pada masalalu dalam mengatasi suatu masalah, perilaku ini memiliki efek

tidak langsung dalam pengambilan keputusan diperilaku promosi

kesehatan karena dengan adanya perilaku sebelumnya maka akan ada

pengaruh terhadap self efikasi dalam menilai hambatan dan manfaat dari

tindakan tersebut.

b. Faktor Pribadi

Faktor Pribadi adalah faktor prediksi perilaku yang dibentuk oleh sifat

dari perilaku bawaan individu, perilaku pribadi meliputi : 1). Faktor

psikologis yang teridiri dari harga diri, motivasi diri, kompetensi diri dan

keadaan tubuh yang dirasakan, 2). Faktor sosial budaya yang terdiri

dariras, sukubangsa, budaya, tingkat pendidikan dan status sosial

ekonomi, 3). Manfaat yang dirasakan dari tindakan, 4). Hambatan untuk

tindakan, hambatan ini bisa dinilai dari persepsi mengenai ketiadaan

sumber daya, rasa bosan, anggaran biaya, pelaksanaan waktu tindakan,

5). Self Efikasi; adalah keyakinan akan kemampuan diri dalam menilai,

mengatur dan melaksanakan suatu perilaku promosi kesehatan, 6). Sikap

yang menggambarkan perasaan positif atau negatif dan terjadi sebelum

atau selama mengikuti kegiatan, 7). Pengaruh interpersonal yang

meliputi harapan orang lain, dukungan sosial, dan belajar melalui

pengamatan orang lain, 8). Pengaruh situasional yang merupakan

persepsi pribadi dan kognisi dari situasi atau konteks yang


43

mempengaruhi suatu perilaku, yang termasuk pengaruh situasional

meliputi Persepsi pilihan yang ada, karakteristik permintaan dan keadaan

lingkungan, 9). Komitmen akan rencana tindakan, 10). Tuntutan bersaing

segera dan preferensi, 11). Perilaku mempromosikan kesehatan. hasil

tindakan yang diarahkan mencapai hasil kesehatan positif seperti

kesejahteraan, kepuasan pribadi yang optimal dan hidup produktif.

3. Asumsi mayor dari HPM

Asumsi- asumsi utama dalam HPM adalah seseorang akan selalu

berusaha meningkatkan kondisi hidupnya sesuai dengan potensi yang

dimiliki, setiap orang mempunyai kemampuan untuk menilai dirinya

sendiri, setiap orang akan selalu menghargai setiap perubagan yang

dianggap positif, setiap orang akan berusaha secara aktif dalam mengatur

perilaku mereka, setiap orang dengan segala kebutuhan di biopsikososialnya

akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan mengikuti

perubahan seiring berjalannya waktu, petugas kesehatan berperan dalam

lingkungan interpersonal yang memberikan pengaruh pada orang-orang

dalam menata perilaku yang sesuai dengan kesehatan

4. Proporsi HPM

Faktor perilaku sebelumnya akan mempengaruhi keyakinan seseorang

dalam berperilaku meningkatkan kesehatannya, orang akan cenderung

melakukan perubahan perilaku ketika menanggap bahwa perilaku tersebut

menguntungkan untuk dirinya, sedangkan yang menjadi faktor penghambat

seseorang melakukan perubahan perilaku adalah persepsi kesulitan yang

dirasakan ketika perilaku tersebut dilaksanakan.


44

Keyakinan diri yang besar akan mengurangi hambatan yang dirasakan

dan akan menambah komitmen untuk bertindak dalam perilaku

kesehatanspesifik. Sesuatu yang dianggap menarik akan mengakibatkan

seseorang melakukan promosi kesehatan terhadap perubahan perilaku,

Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber

interpersonal yang penting dalam mempengaruhi, menambah atau

mengurangi keinginan untuk berperilaku promosikesehatan, Pengaruh

situasional pada lingkungan eksternal akan mengakibatkan keinginan

seseorang bertambah atau berkurang untuk berpartisipasi dalam perilaku

promosi kesehatan.Agar perilaku promosi kesehatan bisa dipertahankan

dalam jangka waktu yang lama maka dibutuhkan komitmen yang kuat pada

suatu rencana kegiatan.

Komitmen pada rencana kegiatan kemungkinan kurang menunjukkan

perilaku yang diharapkan ketika seseorang mempunyai kontrol yang sedikit

dan kebutuhan yang diinginkan tidaktersedia. Seseorang dapat

memodifikasi kognisi, mempengaruhi interpersonal dan lingkungan fisik

yang mendorong melakukan tindakan tersebut ( Pender, Murdaugh, &

Parsons,2002)
45

G. Kerangka Teori

Health Promotion model merupakan suatu model yang memfasilitasi

proses perubahan perilaku yang dimulai dengan meningkatnya keyakinan diri

tentang konsep kemauan (afeksi) yang akan membentuk pola komitmen

sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan

(kognisi) dan sikap serta diikuti peningkatan aspek kognisi.

Intervensi Health coaching pada pasien TB Paru adalah metode

intervensi edukasi yang terbimbing dengan tidak hanya memberikan informasi

searah tetapi juga dengan metode “diskusi partisipasi” yaitu pemberian

informasi yang bersifat dua arah dan disertai dengan pemberian motivasi dan

pelatihan psikomotor yang kemudian berpengaruh pada individu dalam hal ini

terhadap efikasi diri dan kepatuhan program pengobatan.

Intervensi Health coaching akan berdampak pada aspek kognisi

(pengetahuan) dan afeksi pada pasien TB paru yang akan mempengaruhi

persepsi pasien terhadap manfaat dari tindakan yang dirasakan, hambatan

untuk melakukan tindakan dan efikasi diri yang berperan dalam membentuk

komitmen dan berdampak pada hasil perilaku yaitu perilaku kepatuhan

terhadap program pengobatan.


46

Sifat2 & Pengalaman Perilaku Spesifik Hasil Perilaku


Individu Pengetahuan dan Sikap

manfaat dari tindakan


Self help group yang dirasakan
Kebutuhan kompetisi
Hubungan terhadap segera (kontrol rendah)
perilaku sebelumnya Faktor penghambat yang
& Pilihan2 (Kontrol
dirasakan untuk bertindak
tinggi
Health coaching:
pemberian edukasi Self efikasi
dan motivasi,
menyediakan dirasakan
Tindakan yang terkait Perilaku
training pemecahan
yang mempengaruhi Dukungan
masalah, mendorong Komitment pd
keluarga untuk pencegahan
Rencana penular TB
terlibat aktif dalam
manajemen Tindakan Paru dan
Pengaruh hubungan
perawatan pasien TB interpersonal (klg, kepatuhan
Paru berobat
kelompok, provider),
norma dukungan dan
model
Faktor personal :
Biologi, Psikologi,
Pengaruh keadaan
sosila budaya
situasional; pilihan, sifat
kebutuhan; estetika

Gambar 2.1 kerangka konsep


Diadop dari health promotiont model Pender, N.J, Murdaugh, C.L., & Parsons, M.A
(2002) yang dikutip dari buku Tomey & Alligood (2006).

Anda mungkin juga menyukai