Anda di halaman 1dari 6

TENTANG

Berawal padadi tahun 1981, Hiduplah salah satu keluargrga yang damai
berlokasi di delta sungai Kapuas desa Pertanian transmigrasi, lahir seorang anak
laki-laki di tengah malam yang sunyi. Anak laki-laki itu kita kenal dengan sebutan
"si Tole". Layaknya anak lain di desa tersebut, Ia tumbuh menjadi anak yang
periang bermain di sawah dengan ketapel di lehernya, membawa gogo sambil
mencari telur burung sepulang mengantar kiriman sarapan untuk sang AyaBaph
yak yang sedang membajak sawah.

Matanya berbinar-binar bila mana si Tole melihat pesawat yang menderu


terbang di atas kepalanya dan dari mulutnya yang mungil Ia berteriak, dia berteriak
:

"Pesawat tungguu!" si Tole berlari seakan ingin berlomba dengan laju pesawat di
angkasa dengan terengah-engah Tole berkata kepada ibunya;

"Mak... Mak aku nanti kalau sudah besar jadi sopir montor mulok",

Ibu Tole tersenyum seraya menjawab "Iya, tapi harus sekolah dulu ya Le..."

"Iya Mak" jawab Tole.

Hari berganti musim berlalu, berangsur-angsur Tole tumbuh dewasa menjadi


pemuda tegap dan kuat karena setiap hari ditempa oleh alam dan kehidupan
sebagai anak petani. Tole kini telah lulus SMU dan dengan semangatnya berkata
kepada sang ayah bahwa ia ingin mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi
seorang penerbang.

Namun sang ayah yang bersahaja menjawab dengan nada berat "Jikalau bapak
menguliahkan kamu, adik-adikmu tak bisa bersekolah Le". Tole tak pupus
harapan, dengan informasi yang terbatas Ia berusaha mencari beasiswa sekolah
penerbangan, tetapi tak kunjung ia temukan. Tole mengurungkan niat sekolah
lanjutannya tahun itu dan memutuskan untuk membantu ayahnya menggarap
sawah.
Pada tahun kedua setelah lulus SMU, Tole mengutarakan kembali keinginannya
kepada orang tuanya untuk masuk sekolah penerbangan, namun lagi-lagi jawaban
yang sama Ia dapatkan. Tole yang berdarah muda ini semakin terbakar
semangatnya untuk menggarap sawah, menanam palawija, sayur-mayur, menanam
padi-padian demi mewujudkan impiannya agar mempunyai biaya untuk
melanjutkan sekolah. Sampai pada tahun ketiga setelah tamat SMU, Ia kembali
utarakan niatnya kepada orang tuanya untuk bersekolah. Namun apalah daya
sekuat apapun dia berusaha mengumpulkan biaya dari menggarap sawah, bea
sekolah penerbangan terlalu jauh untuk bisa digapai dan jawaban yang didapatkan
Tole selalu sama dari tahun ke tahun.

Tole merasa putus asa untuk bersekolah. Ia melampiaskan gejolak di dalam


hatinya dengan bekerja siang dan malam. Ia mulai enggan berbicara kepada
siapapun, hanya ingin bekerja dan bekerja serta berharap Ia sakit selanjutnya mati,
dikubur dan dilupakan.

Nampaknya orang tua Tole melihat perubahan anak mereka. Mulai tidak banyak
bicara, tidak riang gembira lagi, dari mulutnya hanya keluar kata-kata "Iya, tidak
atau 'Besok mengerjakan apalagi Pak?'". Kata-kata yang menyayat hati bagi
orangtua yang paham dengan perasaan anaknya. Hingga pada suatu hari saat
beristirahat di pematang sawah, sang Ayah berkata lirih kepada Tole,

"Nak, kamu tidak memikirkan masa depan mu kah?"

"Bapak tau kamu sudah sangat mahir bertani, dua hektar sawah ini sudah kita
tanami palawija bertahun-tahun berdua, bapak sangat yakin kamu sudah sangat
pandai bertani",

"Namun apakah kamu tidak ingin mencoba hal lain mumpung masih ada
kesempatan?"

"Hal lain apa pak?" jawab Tole

"Kamu sekarang berusia 21 tahun, coba lihat di Polda ada pengumuman


pendaftaran Polri atau tidak".

"Tole gak mau jadi Polisi" jawab Tole singkat.

"Kenapa?" timpal sang ayah.


"Jadi Polisi hanya jadi bahan hujatan orang dan kalau tidak punya uang 25 juta
tidak usah mimpi bisa jadi polisi"

Bapak Tole biasanya memiliki Kesabaran tinggi tiba-tiba bangkit dari duduknya
seraya berkata dengan keras

"Kamu buktikan pada semua orang bahwa kamu bisa jadi polisi yang baik! dan
ingat rezekii bukan panitia polisi yang ngatur tapi Allah! Allah tuhan yang siang
malam kamu sembah! ngerti kamu!"

Tole tertunduk merasa bersalah dan melihat punggung ayahnya yang kembali
memulai pekerjaan.

Dua hari setelah kejadian tersebut, Tole mengajak sepupunya untuk melihat
pengumuman di Polda, apakah benar ada pembukaan sekolah polisi dan jika ada,
apa saja yang harus dipersiapkan. Di Markas Polda Kalbar yang megah Tole
beserta sepupunya melihat adanya pengumuman pada sebuah dinding dan
mencatat berbagai macam persyaratan untuk mendaftar sebagai siswa Sekolah
Bintara Polri. Sepulang dari Mapolda Tole berkata kepada ayahnya, "Pak aku ikut
daftar tahun ini dan ini adalah kesempatan terakhir karena usiaku telah 21 tahun,
jika tahun depan usia ku 22 tahun jadi tidak bisa mendaftar lagi.'

Sang Ayayah menjawab "Berdoalah dan berusaha, jangan memikirkan yang lain,
sekarang fokus pada pendaftaran mu", "Ya Pak" jawab Tole.

Ditahun 2002 tersebut Tole dengan bersungguh-sungguh ikut tahapan demi


tahapan seleksi penerimaan siswa Polri, meskipun hatinya pesimis melihat calon
siswa lain yang diantar mobil bagus oleh kerabatnya di Polda. Dalam hati Tole
"Mungkinkah aku yang naik oplet kemari bisa menandingi mereka yang kaya raya
ini, sedangkan untuk beli makan siang saja aku gak cukup bawa uang".

Tiga bulan mengikuti seleksi di tahun 2002 tersebut, d dari tesst pParade
awal hingga pPantukir nomor siswa 1039 masih tertera di papan pengumuman
seleksi, dinyatakan "memenuhi syarat dan 'Lulus'". Dengan semangat menggebu-
gebu Tole bergegas pulang untuk memberi kabar kepada orang tuanya. Sesampai
di rumah Tole ditanya adik bungsunya yang masih berpakaian sekolah "Kak
gimana hasilnya, diterima kahkah?"
Ayah dBapak dan ibu Tole saat itu duduk di dapur sambil mendengarkan
pembicaraan dua kakak beradik ini. .

Tole menjawab "Ada dua berita hari ini satu berita buruk dan satu lagi berita baik"

"Aku ingin tau berita baik dulu kak, apa?" Tanya adik bungsu dengan sangat
penasaran.

Berita baiknya "Aku lulus dan memenuhi syarat" jawab Tole.

"Horee Alhamdulillaah!" teriak adik bungsu. Seraya Tole dikejar Bapaknya dan
memeluknya erat-erat serta mengusap-usap kepala si Tole, "Akhirnya kamu jadi
Polisi juga naak, Yaa Allah Yaa Allah Alhamdulillah.. Allahu akbar!"

Kemudian di tengah suasana tersebut adik kembali bertanya "Berita buruknya apa
kak?",
dengan terisak haru Tole menjawab "Besok kakak harus berangkat ke SPN dan
bertemu para pelatih yang gualaakk".

Semua tertawa bercampur isak tangis, larut haru dalam lika liku misteri kehidupan.

Di akhir bulan Desember 2002, Tepat pada tanggal 23 minggu ke-empat, si


Tole bocah kecil dengan sejuta cita-cita dan harapan resmi dilantik menjadi
Anggota Polri berpangkat Brigadir Dua Polisi di depan kedua orangtuanya yang
bersahaja di barisan tamu undangan. Senyum gembira dan bahagia terlihat dari
seluruh kerabat, orang tua, pelatih serta Pejpejabat Polda Kalbar mengiring
pembacaan penutupan pendidikan Polri angkatan ke-20 SPN Pontianak oleh
Kapolda Kalbar Brigjen Iwan Panji Winata.

Mulai saat itu masa depan pengabdian dan ibadah bagai karpet panjang di
hadapan Bintara muda Brigadir Dua Polisi Tole.

“DO’A DAN RESTU ORANGTUA MERUPAKAN JALAN LAPANG


BAGI KEBERHASILAN USAHA APA SAJA YANG DIRINTIS
ANAKNYA”
"Semoga Tuhan selalu membimbing langkah dalam
setiap tarikan nafasku, amin"

Anda mungkin juga menyukai