Manusia adalah makhluk sosial yang bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Ia
tidak bisa lepas dari lingkungannya, ini adalah tabi’at dan fitrah yang diberikan Allah
kepada manusia. Dan fitrah ini semakin kokoh dengan dukungan syari’at islam yang
memerintahkan kita untuk bergaul dan tidak mengunci diri di dalam kamar/rumahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan
manusia dan bersabar atas perangai buruk mereka lebih besar pahalanya daripada
seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dengan perangai
Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin
seseorang ingin bersahabat dan merasa nyaman ketika bersahabat dengan seorang
mukmin.
Dari hal diatas kita mengetahui peran yang sangat vital dari akhlak yang mulia yang
bisa dikatakan senjata utama bagi seseorang untuk mewujudkan syari’at yang sesuai
dengan fitrahnya tersebut diatas dan untuk melanggengkan persahabatan yang telah ia
َع ِن ْال َجا ِهلِين ْ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْرفِ َوأَع ِْر
َ ض
Allah berfirman: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS al a’raf: 199)
Ulama (sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam & Syaikh Sa’di dll) mengatakan
bahwa ayat ini mengumpulkan akhlak-akhlak yang mulia dalam bergaul dengan
manusia dan apa yang selayaknya dilakukan ketika bergaul dengan mereka:
1. Memaafkan kesalahan yang mereka lakukan terhadap kita, menerima kekurangan
mereka dan tidak menuntut di luar kemampuan mereka, karena tidak ada manusia
yang sempurna, bahkan kita harus mensyukuri, menghargai perbuatan baik yang telah
(amar ma’ruf dan nahi munkar).Tapi perlu diingat bahwa hal ini memiliki kaidah-
kaidah yang harus dipahami orang yang ingin melakukannya (mungkin bisa kita
bahas di kesempatan lain/ oleh ustadz-ustadz yang lebih berilmu dari saya, contoh:
3. Berpaling dari orang-orang bodoh dan tingkah laku mereka. Maksud orang bodoh
dalam ayat ini adalah: orang yang tidak tahu kebenaran, belum mau belajar dan
‘keukeuh’ dengan kesalahannya serta berusaha mengganggu dan mencela kita. Maka
sikap kita yang terbaik adalah tidak perlu ditanggapi dan diladeni dengan emosi dan
tenaga tanpa ada manfaat apa-apa. Hadapi dengan tenang serta berpaling darinya
kecuali jika kita lihat ada celah untuk menasehatinya dengan baik, seperti yang
dikatakan orang bijak: “sesuatu yang tidak berharga jangan kita hargai”. Maka, jika
kita dapat celaan dan gangguan, berpalinglah dari hal tersebut, ganti topik
pembahasan, sibukkan waktu kita dengan amal-amal shalih. Waktu kita terlalu
berharga untuk dibuang dengan membahas dan larut dalam hal tersebut. Betapa
banyak hukum islam yang belum kita ketahui, betapa banyak ayat AlQuran dan hadits
yang belum kita pelajari dan hafalkan, masih banyak orang yang dengan ikhlas
menerima diri kita dan kebenaran yang kita bawa dengan tangan terbuka. Maka untuk
apa kita hidup seperti katak dalam tempurung yang isinya gangguan dari orang-orang
bodoh?!