Anda di halaman 1dari 11

TUGAS FILSAFAT

“3 JUDUL SKRIPSI BESERTA LATAR BELAKANG”

NAMA : KHAIRUL FUAD

NPM : 201622031

PRODI : S1 KEPERAWATAN REG B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURRAHIM JAMBI

T.A. 2016/2017
HUBUNGAN KEBIASAAN IBU MENCUCI TERHADAP PENYAKIT DIARE PADA
BALITA DI RT 07 DAN RT 11 KELURAHAN LEGOK WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014”.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diare sampai saat ini masih menjadi masalah utama di masyarakat yang sulit untuk
ditanggulangi. Dari tahun ke tahun diare tetap menjadi salah satu penyakit yang
menyebabkan mortalitas dan malnutrisi pada anak. Menurut data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2009, diare adalah penyebab kematian kedua pada anak
dibawah 5 tahun.
Meningkatnya penyakit diare umumnya disebabkan oleh lingkungan dan perilaku
atau perilaku hidup yang tidak sehat terutama perilaku makan, sehingga menimbulkan
infeksi yang ditandai dengan perut mulas, mencret dan kejang otot yang sakit sekali pada
daerah sekitar punggung. Dan orang tua terlalu terpaku pada cara menyembuhkan dan
menghentikan diare sehingga akhirnya lupa untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada
balita, serta tidak mengetahui tindakan pencegahan penyakit diare pada balita
(Simamora, 2007).
Salah satu perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang harus dilakukan oleh ibu
yaitu dengan mencuci tangan, bisa kita sadari bahwa tangan kita merupakan alat tubuh
yang paling efektif untuk digunakan memegang sesuatu, sehingga bisa dibayangkan
berapa banyak benda-benda yang tersentuh oleh tangan kita setiap hari, jika tangan kita
tidak bersih, tentu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, banyak kuman penyakit
yang biasa menempel pada tangan dan masuk kedalam tubuh. Oleh sebab itu, perilaku
hidup bersih sehat salah satunya adalah mencuci tangan yang berarti menggosok air
dengan sabun secara bersama-sama ke seluruh permukaan tangan dengan kuat dan
ringkas kemudian dibilas dibawah aliran air ( Larsan, 1995, dalam Niken, 2010).

Untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pengetahuan dan
pemahaman dalam melaksanakan pencegahan penyakit diare dalam bentuk penyuluhan
dan konsultasi dalam memberikan pelayanan konsultan dibutuhkan keterlibatan dan kerja
sama. Sehingga terbentuk tingkat atau intensitas pengetahuan yang baik, sehingga dapat
mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap perilaku yang bersih dan sehat
dengan kejadian diare (Notoatmodjo, 2005).
Cuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan cara mudah dan tidak perlu biaya mahal.
Karena itu, membiasakan CTPS sama dengan mengajarkan anak-anak dan seluruh
keluarga hidup sehat sejak dini. Dengan demikian, pola hidup bersih dan sehat (PHBS)
tertanam kuat pada diri pribadi anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Kedua tangan
kita adalah satu jalur utama masuknya kuman penyakit kedalam tubuh. Sebab, tangan
adalah anggota tubuh yang paling berhubungan langsung dengan mulut dan hidung.
Penyakit-penyakit yang umumnya timbul karena tidak mencuci tangan adalah : diare,
kolera, ISPA, cacingan, flu dan Hepatitis A (Proverawati dan Rahmawati, 2012)
Seorang penderita diare biasanya mengalami gejala seperti nyeri, mulas, mual,
kembung, dan sejenisnya, secara medis disebut sindrom atau kumpulan gejala dispepsi.
Mendeteksi penyakit dengan sindrom dispepsi tidaklah mudah karena sumbernya bisa
intra (gangguan saluran cerna) atau ekstra luminer (gangguan organ diluar saluran cerna)
walaupun cetusannya mirip (Aminudin, 2008).
Diare dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya infeksi mikroba, intoksikasi,
malabsorpsi, malnutrisi, alergi, immunodefisiensi. Gejala penyakit yang ditimbulkan
bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat. Dikalangan
masyarakat luas, gejala penyakit diare dikenal dengan berbagai istilah sesuai dengan
daerahnya antara lain mencret, murus, muntaber, dan buang-buang air (Aminudin, 2008).
Beraneka ragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang
ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penanggulangan diare. Sehingga
pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak dapat sesuai dengan etiologinya. Terapi
yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diare)
atau bahkan berlanjut menjadi diare kronik (diare persisten). Oleh karena itu, mengetahui
secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) diare akan sangat membantu
upaya penatalaksanaan diare akut secara tepat dan terarah (Aminudin, 2008).
Tangan sering kali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen
berpindah dari satu orang keorang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak
tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk dan gelas).
Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan binatang, ataupun
cairan tubuh lain seperti ingus dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak
dicuci dengan sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang
tidak sadar bahwa dirinya sedang ditularkan (Mujiyanto, 2009).
Permasalahan kesehatan tersebut dapat dikurangi dengan melakukan perubahan
perilaku sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun, yang menurut penelitian dapat
mengurangi angka kematian yang terkait dengan penyakit diare hingga hampir 50%.
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah
penyakit diare. Kedua penyakit itu menjadi penyebab utama kematian balita. Mencuci
tangan dengan sabun juga dapat mencegah infeksi kulit, mata, cacing yang tinggal
didalam usus, SARS, dan flu burung (Mujiyanto, 2009).
Menurut Larson (1995) dalam Tietjen (2004), mencuci tangan adalah proses
membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan
memakai sabun dan air. Kesehatan dan kebersihan tangan dapat mengurangi
mikroorganisme penyebab penyakit pada kedua tangan dengan tangan dan lengan serta
meminimalisasi kontaminasi silang.
Curtisand Cairncross (2003) didapatkan hasil bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun
(CTPS) khususnya setelah kontak dengan feses ketika kejamban dan membantu anak
kejamban, dapat menurunkan insiden diare hingga 42-47%. Praktek CTPS juga dapat
mencegah infeksi kulit, mata dan memudahkan kehidupan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Beberapa kajian ini menunjukan bahwa intervensi CTPS dianggap sebagai
pilihan perilaku yang efektif untuk pencegahan berbagai penyakit menular. Artinya
sekitar satu juta anak didunia dapat diselamatkan tiap tahun dengan cuci tangan. Hanya
saja ada yang perlu diperhatikan dalam prosesnya, yaitu harus menggunakan sabun dan
membilas tangan menggunakan air mengalir. Menurut Curtis & Cairncross, tanpa sabun
bakteri dan virus tidak akan hilang. Air hanya sebatas menghilangkan kotoran yang
tampak, tetapi tak menghilangkan cemaran mikrobiologis yang tidak tampak. Kesehatan
seseorang akan terpenuhi jika bisa membiasakan perilaku mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan dan sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan jari-jari
kedalam mulut atau mata (Moernantyo, 2006).
Hasil survei subdit diare angka kesakitan diare semua umur tahun 2000 adalah
301/1000 penduduk, tahun 2003 adalah 374/1000 penduduk, tahun 2006 adalah
423/1000 penduduk, tahun 2010 adalah 411/1000 penduduk dan tahun 2012 adalah
214/1000 penduduk. Kematian diare pada balita 75,3 per 100.000 balita dan semua umur
23,2 per 100.000 penduduk semua umur (SKRT 2001). Berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2007, diare merupakan penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur
dalam kelompok penyakit menular sedangkan diare merupakan penyebab kematian
nomor 1 pada bayi post neonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%) (Depkes RI,
2012).
Diare pada balita dengan jumlah 7. 354 kasus dan yang ditangani oleh tenaga medis
dengan jumlah 14.480 kasus. Sedangkan untuk tahun 2011, jumlah penderita diare pada
balita sebanyak 7.639 kasus dan jumlah penderita yang telah ditangani medis sebanyak
7.639 kasus (Dinkes Provinsi Jambi).
Penyakit diare masih merupakan 10 penyakit terbesar di 20 puskesmas di Kota Jambi
pada tahun 2013 seperti pada tabel 1.1 berikut .
TABEL 1.1
Balita Penderita Diare di Kota Jambi Tahun 2011-2013

TAHUN
No Puskesmas 2011 2012 2013 Jumlah
1 Putri Ayu 547 581 577 1705
2 Aurduri 151 204 146 501
3 Simp IV Sipin 95 167 104 366
4 Tanjung Pinang 443 294 282 1019
5 Talang Banjar 102 81 126 309
6 Payo Selincah 266 205 216 687
7 Pakuan Baru 333 215 367 915
8 Talang Bakung 302 325 236 863
9 Kebun Kopi 139 147 96 382
10 Paal Merah I 100 74 85 259
11 Paal Merah II 206 203 181 590
12 Olak Kemang 192 77 159 428
13 Tahtul Yaman 491 235 265 991
14 Koni 384 256 193 833
15 Paal V 90 106 81 277
16 Paal X 263 156 108 527
17 Kenali Besar 436 373 218 1027
18 Rawasari 270 199 183 652
19 Simpang Kawat 113 142 176 431
20 Kebun Handil 381 217 124 722
Jumlah 5304 4257 4023 13484
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jambi, 2011-2013

Berdasarkan tabel 1.1 diatas, angka penyakit diare pada balita puskesmas wilayah

Kota Jambi pada Tahun 2011 sebanyak 5.304 kasus, pada tahun 2012 menurun menjadi

4.257 kasus dan mengalami penurunan lagi menjadi 4.023 kasus pada Tahun 2013. Dari

kasus di atas, Puskesmas Putri Ayu merupakan urutan pertama terbanyak kasus diare

pada balita yang ada di Kota Jambi selama tiga tahun terakhir dengan jumlah kasus pada
tahun 2011 sebanyak 547 kasus, pada tahun 2012 terjadi peningkatan menjadi 581 kasus,

dan mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 577 kasus.

Adapun jumlah ibu yang mempunyai balita di RT 07 dan RT 11 Kelurahan Legok

pada tabel 1.2 berikut.

TABEL 1.2

Jumlah Ibu yang mempunyai balita di RT 07 dan RT 11 Kelurahan Legok Kota

Jambi Tahun 2014

No Nama RT Jumlah Ibu yang mempunyai balita

1 RT 07 15

2 RT 11 21

Jumlah 36

Sumber : Kelurahan Legok, 2014

Berdasarkan hasil survei awal tanggal 24 Februari 2014 yang dilakukan pada 8 ibu

yang memiliki balita di RT 07 dan RT 11 Kelurahan Legok Kecamatan Telanai Pura

Kota Jambi, hanya 3 ibu yang mengatakan terbiasa mencuci tangan sebelum melakukan

aktivitas seperti pada saat tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menceboki anak,

sehabis bermain atau memegang hewan, sebelum memegang makanan, dan sebelum

menyuapi anak.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis tertarik melakukan penelitian lebih

lanjut tentang “Hubungan Kebiasaan Ibu Mencuci Terhadap Penyakit Diare Pada

Balita di RT 07 dan RT 11 Kelurahan Legok Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu

Kota Jambi Tahun 2014”.


HUBUNGAN PENYULUHAN KESEHATAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN PEMUNCAK
KEC. SEBERANG KOTA KAB. TANJUNG JABUNG BARAT

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cenderung
semakin luas penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya arus transportasi dan
kepadatan penduduk adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).Penyakit ini
ditemukan nyaris diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik
baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan
datangnya musim penghujan.
“Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, epidemik Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan problem dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-
anak .Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih menjadi salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan
luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk.” (Djunaedi,2006:vii).
“Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia merupakan salah
satu emerging disease dengan insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. DBD
pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan CFR 41,5%
(Soegijanto S, 2004 dalam Sustini,2006: 91). Dan pada tahun 1997 DBD telah
menyerang semua provinsi di Indonesia. Jumlah kasus DBD di Indonesia antara
Januari sampai Maret 2004, secara kumulatif yang dilaporkan dan ditangani sebanyak
26.015 kasus dengan kematian mencapai 389 orang” (Sustini, 2006: 92).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang dapat menimbulkan wabah yang disebabkan oleh virus dengue (WHO,
2004).Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (herediter) (Notoatmodjo,
2007: 18).Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang berbasis lingkungan.Artinya, kejadian dan penularannya dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan.Karena itu upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat harus ditujukan kepada keempat faktor utama tersebut.
Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai
pada umur antara 2-15 tahun dan tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam
kerentanan terhadap serangan Demam Berdarah Dengue (DBD) antar gender
(Djunaedi, 2006:7). Pengetahuan atau pemahaman tentang Demam Berdarah Dengue
(DBD), cara pencegahan, dan pengendaliannya secara baik dan benar oleh
masyarakat, aparat pemerintah dan lintas sektor terkait termasuk LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dan tokoh masyarakat akan meningkatkan kepedulian,
kemampuan dan peran sertanya secara tepat. Agar masyarakat mempunyai tanggung
jawab, diperlukan upaya hukum seperti undang-undang atau peraturan pemerintah
yang memberikan keharusan kepada masyarakat dalam menjaga lingkungan ,
bangunan dan rumah masing-masing agar bebas dari jentik-jentik dan nyamuk aedes
vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) sehingga tidak menjadi sumber penularan.
Sejak pertama kali ditemukan jumlah kasus menunjukkan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara
sporodis selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) setiap tahun. Berdasarkan data yang
didapatkan jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dari 1 Januari -10
Agustus 2005 di seluruh Indonesia mencapai 38.635 orang, sebanyak 539 penderita
diantaranya meninggal dunia (www.wikipedia, 2007).
Program nasional untuk pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui
program PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang disebut 3M plus (Menguras
kontainer air secara berkala minimal dua kali seminggu, mengubur kaleng bekas atau
bahan lainnya yang dapat menampung air hujan, menutup kontainer air secara rapat
dan plusnya adalah memberikan bubuk abate pada kontainer, mengganti air minum
burung peliharaan secara periodik, membersihkan dahan atau pelepah yang dapat
menampung air hujan dan sebagainya). Program tersebut dicanangkan secara nasional
dan ditindaklanjuti oleh masing-masing pemerintah daerah tetapi upaya tersebut
belum memberikan hasil yang maksimal. Program PSN tersebut dapat dilakukan
antara lain melalui penyuluhan kesehatan. Promosi kesehatan seperti penyuluhan
kesehatan pada hakikatnya adalah upaya intervensi yang ditujukan pada faktor
perilaku. Namun pada kenyataannya tiga faktor yang lain perlu intervensi pendidikan
atau penyuluhan kesehatan juga, karena perilaku juga berperan pada faktor-faktor
tersebut
Data dinas kesehatan Kab. Tanjung Jabung Barat mencatat jumlah seluruh
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2006 di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat mencapai 227 orang dengan 4 kematian dan tahun 2007 jumlah kasus Demam
Berdarah Dengue (DBD) di sepuluh kecamatan sampai bulan Oktober mencapai 445
kasus dengan 2 angka kematian, dimana kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di
sepuluh kecamatan di Kab. Tanjung Jabung Barat dapat dilihat pada Data Dinas
Kesehatan Kabupaten.
Oleh karena itu penulis berusaha mencari Hubungan Penyuluhan Kesehatan
Dengan Upaya Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan
Seberang Kota Kab.Tanjung Jabung Barat
MODEL TARIF PELAYANAN KESEHATAN RAWAT JALAN PUSKESMAS DI
KEC. SENYERANG KAB. TANJUNG JABUNG BARAT

1.1 Latar Belakang


Dalam ilmu ekonomi dikatakan bahwa “tarif” adalah nilai suatu barang atau
jasa yang ditetapkan berdasarkan ukuran sejumlah uang tertentu dimana dengan
sejumlah uang tersebut, pelaku usaha (produsen) bersedia memberikan barang atau
jasa kepada konsumen.
Dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan milik pemerintah
seperti puskesmas dan rumah sakit, tarif biasanya ditetapkan oleh pemerintah secara
sepihak tanpa suatu kajian yang rasional (melakukan perhitungan unit cost). Tarif ini
biasanya ditetapkan melalui suatu peraturan pemerintah yakni dalam bentuk surat
keputusan menteri kesehatan untuk rumah sakit umum pusat, dan peraturan daerah
(perda) untuk rumah sakit umum propinsi, rumah sakit umum kabupaten/kota maupun
puskesmas. Hal ini menunjukan adanya kontrol ketat dari pemerintah sebagai pemilik
sarana pelayanan tersebut. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah biasanya
mempunyai “cost recovery” yang rendah (Trisnantoro, 2004)
Di Kec. Senyerang, tarif pelayanan puskesmas yang masih berlaku sampai saat
ini didasarkan atas ketetapan perda No. 9/1999 tentang retribusi pelayanan kesehatan.
Idealnya penetapan tarif pelayanan kesehatan harus dikaji secara rasional terlebih
dahulu (melakukan analisis unit cost) dan ditetapkan setiap tahunnya untuk dilakukan
penyesuaian.
Dalam era teknologi yang semakin canggih, puskesmas dalam mengemban
misinya banyak mengalami masalah terutama masalah sumber daya yang semakin
lama semakin sulit mengejar kebutuhan pelayanannya, ditambah lagi pemberian
subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan semakin lama semakin berkurang
terutama pasca otonomi daerah.
Menyadari kemampuan pemerintah yang terbatas untuk mengatasi semua
masalah yang dihadapi terutama masalah pembiayaan, di samping dalam UU
Kesehatan No. 23/1992 telah ditekankan mengenai perlunya peranan pemerintah dan
masyarakat yang seimbang dan serasi, maka perlu dilakukan upaya-upaya agar
kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan puskesmas dapat terus
ditingkatkan. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam kondisi saat ini adalah
dengan “analisis unit cost” atas pelayanan puskesmas sehingga dapat diketahui total
cost yang dibutuhkan oleh masing-masing puskesmas dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan analisis unit cost, dapat dilakukan
rasionalisasi tarif pelayanan puskesmas yang nantinya dapat dijadikan sumber
informasi oleh pemerintah daerah dalam memilih model tarif pelayanan puskesmas
yang akan diberlakukan di kabupaten Muna. Hal ini penting dilakukan karena
disamping dapat meningkatkan “cost recovery” dengan tetap mempertahankan
“equity” (pemerataan pelayanan kesehatan), juga memberikan konsekuensi kepada
pemerintah daerah terhadap besarnya subsidi.
Salah satu isu penting yang cukup menarik saat ini bahwa pemerintah daerah
kabupaten Tanjung Jabung Barat telah mengembangkan suatu wacana bebas tarif
pelayanan kesehatan di puskesmas bagi seluruh masyarakatnya. Wacana tersebut
dikembangkan tanpa suatu pertimbangan yang rasional yakni pertimbangan “unit
cost” dan “cost recovery” sehingga sangat memprihatinkan unsur kesehatan yang ada
di daerah baik dinas kesehatan sebagai penanggung jawab tehnis maupun puskesmas
sebagai pelaksana/pemberi pelayanan langsung kepada masyarakat. Hal ini terkait
dengan masalah pendanaan puskesmas yang akan diberikan oleh pemerintah daerah
dalam bentuk subsidi.
Berdasarkan alasan–alasan tersebut di atas, maka perlu dilakukan analisis unit
cost pelayanan puskesmas di kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hasil analisis ini
diharapkan dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah daerah sebelum
menetapkan kebijakan tarif pelayanan puskesmas yang akan memberikan konsekuensi
terhadap besarnya subsidi atas pelayanan kesehatan puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai