Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

Tinea Fasialis

Pembimbing:

dr. Mahdar Johan, Sp.KK

Disusun oleh:

Tri Agung Wibowo

2008730041

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD R. SYAMSUDIN, SH – SUKABUMI
2012

1
BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN
 Nama : Ny. I
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 38 tahun
 Alamat : Sukabumi
 Suku : Sunda
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Tanggal Pemeriksaan : 08 Agustus 2012

II. ANAMNESIS
Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 8 Agustus 2012, pukul 11.00
WIB.
A. Keluhan Utama
Pasien mengaku keluar bintik-bintik merah sedikit-sedikit, kemudian
menjadi kemerahan. Hal ini terjadi sejak 2 minggu yang lalu.

B. Keluhan Tambahan
Gatal dan panas seperti terbakar.

C. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD R. Syamsudin, SH
dengan keluhan adanya bercak kemerahan dan kulit yang mengelupas
pada daerah muka disertai rasa gatal seperti terbakar sejak 2 minggu yang
lalu.

2
Pasien mengaku bahwa awalnya timbul bintik-bintik kemerahan pada
muka yang dirasakan gatal, digaruk oleh pasien dan akhirnya timbul
bercak kemerahan dan kulit yang mengelupas pada muka pasien.
Pasien merasa bercak kemerahan dan kulit yang mengelupas ini muncul
kurang lebih 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengaku bahwa kelainan
kulit yang timbul hanya terbatas pada wajah pasien saja. Pasien belum
pernah mengalami seperti ini sebelumnya dan sudah belum pernah
dibawa berobat sebelumnya. Pasien mengaku tinggal didekat daerah
perkebenunan, keadaan rumah pasien cukup bersih, pasien tidur dikasur
kapuk dan pasien berprofesi sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan
sesekali bercocok tanam. Pasien menyangkal memakai benda-benda
kosmetik pada wajah.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
Riwayat penyakit sistemik disangkal.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat alergi disangkal.

III. PEMERIKSAAN
A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tekanan Darah : tidak diperiksa
 Laju Nadi : 88 kali per menit, teratur, kuat, penuh
 Laju Napas : 20 kali per menit
 Suhu : Afebris
B. Status Dermatologis

3
1. Regio / Letak lesi : di wajah
 Efloresensi
o Primer : makula eritem
o Sekunder : skuama tipis

 Sifat UKK
o Ukuran : plakat eritem dengan skuama tipis
o Susunan / bentuk : tidak teratur
o Penyebaran dan lokalisasi : regional unilateral, batas tegas
 Pembesaran KGB : tidak ada

Lesi di wajah

C. Pemeriksaan Penunjang
 Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Anjuran
 Pemeriksaan KOH

IV. RESUME
4
Pasien perempuan usia 38 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Syamsudin, SH dengan keluhan adanya eritem dan skuama pada regio
wajah tangan sejak 2 minggu yang lalu. Lesi pertama timbul berupa vesikel
yang disertai dengan rasa gatal di wajah, mengalami garukan menjadi
makula eritem dan berskuama. Ruam kulit tidak mengalami perburukan.
Riwayat penyakit serupa (-). Riwayat pengobatan sebelumnya (-). Riwayat
kehidupan sehari-hari pasien tinggal didaerah dekat perkebunan dan
berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang sesekali mempuyai kegiatan
bercocok tanam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi berupa makula
eritema dan skuama pada wajah berukuran numular berbentuk tidak teratur,
batas tegas, dengan distribusi unilateral.

V. DIAGNOSIS
 Diagnosis banding
 Dermatitis seboroik
 Dermatitis kontak

 Diagnosis kerja
 Tinea Fasialis

VI. PENATALAKSANAAN
 Tatalaksana umum :
o Edukasi pasien mengenai penyakit pasien.
o Edukasi pasien untuk menghindari menggaruk bercak tersebut
o Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan kulit pasien agar tidak
terjadi infeksi sekunder.
o Kontrol kembali.
 Tatalaksana khusus :
o Sistemik : ketokenazole tab 1x1

5
Methyl prednisone 3x1
CTM 1x1

o Topikal : Salep Hidrokortison 3x sehari


Salep Ketokonazole 3x sehari

VII. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanationam : bonam

6
BAB II

ANALISIS KASUS

Diagnosis kerja : Tinea fasialis

Tinea fasialis (tinea faciei) adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas
pada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki karakteristik sebagai
plak eritema yang melingkar dengan batas yang jelas. Pada pasien anak-anak dan
wanita, infeksi dapat terlihat pada setiap permukaan wajah, termasuk pada bibir bagian
atas dan dagu. Pada pria, kondisi ini disebut juga tinea barbae karena infeksi dermatofit
terjadi pada daerah yang berjanggut.

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita mungkin lebih sering terinfeksi


daripada pria . Pada wanita, infeksi dermatofit pada wajah dapat didiagnosis sebagai
tinea fasialis, sedangkan infeksi-infeksi lain yang terjadi pada pria di daerah yang sama
didiagnosis sebagai tinea barbae. Data menunjukkan perbandingan penderita wanita dan
pria adalah 1,06:1. Pada kasus ini Pasien perempuan usia 38 tahun yang datang dan
berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan lingkungan rumah yang menurut pasien
cukup bersih dan pasien juga kadang-kadang pergi untuk bercocok tanam yang secara
tidak langsung kontan dengan hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan yang banyak jamur-
jamur yang dapat berpindah ke manusia.

7
Gambar 1. Bagian A adalah patogenesis dari epidermomycosis, tampak dermatofit (bintik dan garis merah) di antara stratum
korneum, mengakibatkan terjadinya respon inflamasi (bintik-bintik hitam menggambarkan sel-sel inflamasi), yang dapat
bermanifestasi sebagai eritema, papul, atau bahkan vesikel. Bagian B adalah patogenesis dari trichomycosis yang terjadi pada
rambut, mengakibatkan destruksi dan patahnya akar rambut. Infeksi dermatofit yang terjadi jauh ke dalam folikel rambut, yang akan
mengakibatkan respon inflamasi yang lebih dalam (bintik-bintik hitam) dan akan bermanifestasi sebagai nodul inflamasi yang
dalam, pustular folikularis, dan pembentukan abses (dikutip dari kepustakaan 1)

Penderita tinea fasialis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal dan terbakar,
dan memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas). Namun, kadang-
kadang, penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang asimptomatis. Ini sesuai
dengan keluhan penderita yang mengeluh rasa gatal seperti terbakar sejak 2 minggu
yang lalu didaerah wajah pasien.

Tanda klinis yang dapat ditemukan pada tinea fasialis, antara lain: bercak,
makula sampai dengan plak, sirkular, batas yang meninggi, dan regresi sentral memberi
bentuk seperti ring-like appearance. Kemerahan dan skuama tipis dapat ditemukan.
Pada pasien awalnya timbul bintik-bintik kemerahan pada muka yang dirasakan gatal,
digaruk oleh pasien dan akhirnya timbul bercak kemerahan dan kulit yang mengelupas
pada muka pasien.

8
gambar 1. Gambaran eritema dan skuama tipis pada pasien gambar 2.Lesi asimetris, berbatas
tegas, plak eritema, dengan
skuama dan krusta

Gambar 3. Plak eritema dengan skuama minimal,


tetapi cukup untuk melakukan pemeriksaan KOH

 DIAGNOSIS BANDING : Dermatitis seboroik

Dermatitis seboroik adalah dermatosis kronik yang tersering, yang memiliki


gambaran kemerahan dan skuama yang terjadi pada daerah-daerah yang memiliki
kelenjar keringat yang aktif, seperti wajah dan kulit kepala, juga di daerah dada.

9
Gejala yang timbul berupa gatal, sangat bervariasi, biasanya gatal semakin
memburuk dengan meningkatnya perspirasi. Pada pemeriksaan fisis ditemukan,
makula atau papul berwarna kemerahan atau keabu-abuan dengan skuama kering
berwarna putih. Ukurannya bervariasi, antara 5-20 mm. Berbatas tegas, sering
terdapat krusta dan celah pada telinga luar bagian belakang. Skuama yang terdapat
pada kulit kepala inilah yang sering disebut sebagai ketombe.

Gambar . Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama kekuningan pada dahi, pipi, plica
nasolabialis, dan dagu

 DIAGNOSIS BANDING : Dermatitis kontak


Ditandai dengan pola reaksi inflamasi polimorfik yang melibatkan epidermis
maupun dermis. Terdapat banyak etiologi serta temuan klinis yang amat luas. Eksema
akut ataupun dermatitis ditandai dengan pruritus, eritema dan vesikulasi. Sedangkan
bentuk kroniknya yaitu pruritus, xerosis, likenifikasi, hiperkeratosis, dan fissuring.

Gambar . Penggunaan salep neomisin untuk gatal pada palpebra.


Terdapat edema masif dan eritema pada palpebra dan erupsi
popular pada dahi dan pipi. Reaksi juga terdapat di leher yang tidak
memiliki kontak dengan salep neomisin

A. PENATALAKSANAAN
10
1. Sistemik
Untuk pengobatan sistemik dalam mengeradikasi dermatofit, obat-obatan oral
yang digunakan, antara lain:
Flukonazol: orang dewasa 150–200 mg/minggu selama 4–6 minggu,
sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 4–6 minggu. Sediaan
fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan
intravena 400 mg.
Griseofulvin: Orang dewasa 500–1000 mg/hari (atau lebih) selama 4
minggu, sedangkan anak-anak 15–20 mg/kg/hari selama 4 minggu. Micronized:
250 atau 500 mg tablet; 125 mg/sendok teh suspensi. Ultramicronized: 165 atau
330 mg tablet. Aktif hanya melawan dermatofit, kurang efektif daripada
Triazoles. Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala,
mual/muntah, fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat kurang
berespon. Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk
memaksimalkan penyerapan.
Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-
anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio
oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH
asam pada lambung agar kapsulnya larut. Dapat menimbulkan aritmia
ventrikular bila dikonsumsi bersama terfenadine/astemizole, meskipun jarang.
Golongan azole lainnya, yaitu ketokonazole juga memiliki potensial interaksi
dengan obat lain, seperti agen hipoglikemik oral, kalsium antagonis, fenitoin,
dan lain-lain.
Terbinafin: dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan
dosis anak-anak adalah 62,5 mg/hari (<20 kg), 125 mg/hari (20–40 kg) atau
250 mg/hari (>40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam tablet.
Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan pengecapan.
Pengobatan topikal dinilai memiliki respon yang baik terhadap infeksi
yang terjadi, apalagi bila tidak terjadi folikulitis.

2. Pengobatan topikal untuk tinea fasialis


11
Tabel 1. Pengobatan topikal untuk tinea fasialis
Preparat ini efektif untuk dermatofit pada kulit, tetapi
tidak untuk rambut ataupun kuku.
Preparat tersebut diaplikasikan 2 kali sehari pada area
Preparat topikal anti
yang terkena lesi secara optimal selama 4 minggu
jamur
termasuk 1 minggu setelah lesi telah bersih.
Diaplikasikan paling kurang 3 cm di sekitar batas area
yang terkena.
Kotrimazol (Lotrimin, Mycelex)
Mikonazol (Micatin)
Ketokonazol (Nizoral)
Imidazoles
Ekonazol (Spectazole)
Oxikonizol (Oxistat)
Sulkonizol (Exelderm)
Naftifin (Naftin)
Allylamines
Terbinafin (Lamisil)
Naphthionates Tolnaftat (Tinactin)
Substituted pyridone Siklopirox olamin (Loprox)

3. Edukasi
Diperlukan pula perawatan diri di rumah (home care), seperti: menghindari
menggaruk daerah lesi, karena hal tersebut dapat membuat infeksi bertambah
parah. Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan menghindari aktivitas yang
dapat mengeluarkan keringat. Mandi minimal sekali sehari dan ingat untuk
mengeringkan tubuh seluruhnya. Aplikasi krim topikal anti jamur, seperti: krim
Klotrimazol (Lotrimin), Terbinafin (Lamisil), Tolnaftat (Tinactin). Beberapa
agen oral yang dapat digunakan untuk mengobati gatal yang timbul, antara lain:
Difenhidramin (Benadryl), Klorfeniramin, Loratadin (Claritin), dan Setirizin
(Zyrtec), sesuai dengan medikasi yang diberikan. Dan mengingatkan penderita
untuk memperhatikan bila ada efek samping segera kembali berobat.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of


clinical dermatology 5th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007. p. 1-
7,20-2.
2. Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology 2nd ed. British: Mosby Elsevier; 2008. p. 1-10, 25-6.
3. Szepietowski JC. Tinea faciei [online]. 2009 [cited 2011 April 10]. Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1118316

13
4. Starova A, Stefanova MB, Skerlev M. Tinea faciei-hypo diagnosed facial
dermatoses. Macedonian Journal of Medical Sciences 2010; 3(1): 29-30.
5. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Dermatophytosis
[online]. 2005 [cited 2011 April 13]. Available from: URL:
www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/dermatophytosis.pdf
6. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections:
dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine volume 1 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies;
2009. p. 1993-4.
7. Costa AR, Criado PR, Valente NYS, Sittart JAS, Stelmach RS, Vasconcellos C.
Trichophyton raubitschekii: a new agent of dermatophytosis in brazil?.
Dermatology Online Journal 2003; 9(1): 5.

14

Anda mungkin juga menyukai