DI SPANYOL (786-1236)
Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16124, Indonesia
E-mail : syarafina.amalia@ui.ac.id
Abstrak
Pembahasan skripsi di bagian awal, bermula dari proses pembentukan Dinasti Umayyah oleh
bangsa Arab di Spanyol, yang pada akhirnya mampu menguasai Spanyol dari tangan umat
Kristen sehingga menjadikan Spanyol Islam sebuah negara yang kuat. Setelah itu
pembahasan dilanjutkan dengan proses pembangunan serta perkembangan Masjid Cordoba di
bawah kekuasaan para amir Umayyah yang berkuasa pada saat itu. Hingga pada akhirnya
kekuasaan para pemimpin tersebut tidak dapat dipertahankan karena adanya intervensi yang
berujung pada sebuah penaklukkan oleh umat Kristen pada 1236. Bersamaan dengan kejadian
tersebut maka semenjak saat itu, Masjid Cordoba lantas berubah fungsi menjadi Gereja
Katedral. Hingga pada akhirnya sisa peninggalan masjid tersebut dijadikan sebagai saksi
sejarah kejayaan Islam di Spanyol.
Abstract
On the first research chapter, it is started from the Umayyah Dinasty which was formed by
the Arabic who domicile in Spain, which eventually did empowered the Spanish from the
Christians thus created Spain into full power Islamic country. Next chapter continous into the
establishment and development of Cordoba Mosque which is under the power of Amir
Umayyah who authorized it. Moreover, the power of those leader could not be maintained
because of the intervension whereby lead to the Christians reconquest on 1236. By the time
of that event, since then Cordoba Mosque was converted to become Cathedral Church.
Finally, the mosque’s heritage becomes the Islamic historical memoriam in Spain.
Pendahuluan
Apabila kita berbicara tentang Cordoba, pasti tidak dapat dipisahkan dengan Spanyol.
Cordoba merupakan salah satu kota yang terletak di Spanyol bagian selatan, kini menjadi
salah satu tempat bersejarah kejayaan bangsa Arab di Eropa pada zaman Dinasti Umayyah.
Negara Spanyol yang lebih kita kenal saat ini, dahulu disebut Andalusia atau al-Andalus oleh
Sebagaimana di negara-negara lain pada umumnya, Spanyol tentunya pernah diduduki atau
dikuasai oleh bangsa-bangsa lain. Sebelum Islam masuk ke negara ini, Spanyol pernah
dikuasai oleh bangsa Phoenicia, Carthage, Romawi, Vandals, dan Byzantium. Pada abad ke
empat, negara itu dikuasai oleh bangsa Visigoth selama lebih dari dua abad, sebelum bangsa
Arab masuk ke sana. Menjelang masuknya bangsa Arab ke negara Spanyol, saat itu Spanyol
berada di bawah kekuasaan bangsa Visigoth, salah satu pecahan bangsa Jerman Kuno. Pada
awalnya, bangsa Visigoth menetap dan menguasai wilayah Prancis Selatan, tetapi kekuasaan
mereka kemudian meluas ke selatan, hingga mencakup Spanyol. Pusat pemerintahan mereka
pada awalnya terletak di Toulouse, Prancis. Tetapi, setelah terdesak oleh bangsa Frank di
wilayah utara, mereka pun keluar dari Prancis dan berkuasa sepenuhnya di Spanyol. Saat itu,
ibukota pun dipindahkan ke Toledo. Keadaan ini terus berlangsung sejak 507 hingga
masuknya Islam ke Spanyol, pada 711 ( Alatas, 2007: 53).
Islam mulai masuk ke Spanyol pada masa Dinasti Umayyah. Ekspansi ke barat secara besar-
besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715). Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu, tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa, yaitu pada 711. Setelah
Aljazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam dengan
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa dan
mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gilbraltar (Jabal Tariq).
Tidak hanya Spanyol, daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam pada zaman Dinasti
Umayyah adalah Afrika Utara, Suriah, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari
Asia kecil, Persia, Afghanistan, serta daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia,
Uzbekistan, Kyrgistan (di Asia tengah). Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah inilah
yang membuat Islam menjadi negara besar pada zaman itu. Dari persatuan berbagai bangsa di
bawah naungan Islam, maka timbullah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang
baru, sungguhpun Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan
Arab (Nasution, 1979: 62).
Adapun kemajuan tersebut yaitu berupa kemajuan intelektual serta kemegahan pembangunan
secara fisik. Spanyol adalah negara yang subur, kemudian kesuburan itu mendatangkan
penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan para pemikir.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-
komunitas Arab (utara dan selatan), al-muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk
Islam), Barbar (penduduk daerah antara Konstatinopel dan Bulgaria, yang menjadi tawanan
Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen
Mozarab yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu, kecuali Kristen Mozarab, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah (sains),
filsafat, kesenian, fiqih, pembangunan fisik, serta bahasa dan sastra (Yatim, 2013 : 101) .
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Meski
demikian pembangunan-pembagunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan
gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan taman-taman. Di
antara pembangunan yang megah adalah Masjid Cordoba, Kota Al-Zahra, istana Ja’fariyah di
Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, Masjid Seville, dan istana Alhamra di Granada
(Yatim, 2013 : 104) .
Cordoba yang pada saat itu merupakan ibukota Spanyol, diambil alih oleh Bani Umayyah.
Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas
sungai yang mengalir di tengah ibukota Spanyol Islam. Pohon-pohon dan bunga-bunga
diimpor dari timur. Di sekitar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin
mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di
puncaknya terpancang istana Damsik. Di antara kebanggaan kota Cordoba lainnya adalah
Masjid Cordoba. Dengan segala keindahan dan kemajuan yang telah dibuat oleh kaum
Muslimin pada saat itu, maka tidak mengherankan Cordoba disebut-sebut sebagai “Jewel of
The West”.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Dalam metode sejarah,
terdapat empat proses tahapan yang harus dilalui. Tahapan tersebut yaitu heuristik, verifikasi,
interpretasi, dan historiografi. Pada tahap awal, penulis mengelompokkan sumber-sumber
yang telah dikumpulkan. Kemudian melakukan verifikasi atau kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber tentang keaslian sumber. Setelah itu dilakukan proses teknik interpretasi
untuk melakukan penyatuan sejumlah fakta yang telah diperoleh sebelumnya dari sumber-
sumber sejarah. Tahap terakhir yaitu historiogafi, merupakan suatu cara penulisan,
pemaparan atau pelaporan dari hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. (Abdurrahman,
1999: 44).
Pembahasan
Pada 14 Mei 756, dua bala tentara terlibat dalam pertempuran dan saling berhadapan di tepi
sungai Guadalquivir (Mayer, 2011: 644). Pertempuran itu pun tidak berlangsung lama. Yusuf
beserta jenderal-jenderal utamanya justru melarikan diri. Cordoba pun berhasil ditaklukkan.
Spanyol Islam yang pada masa sebelumnya atau selama pemerintahan Umayyah masih di
Damaskus (661-750), menjadikan Toledo sebagai ibukota, tetapi di bawah pemerintahan
Abdurrahman I (756-788) Cordoba dijadikan sebagai ibukota Spanyol Islam. Setelah itu,
Dinasti Umayyah membangun kekuasaan di Spanyol (756-1031) dan menjadikan Cordoba
sebagai ibukota di bawah pemerintahan Abdurrahman I. Sejak masa pemerintahannya,
Cordoba mulai melangkah maju (Dasuki, 1993 : 275).
Kekhalifahan Umayyah
Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah. Pada 16 Januari
929, Abdurrahman III yang merupakan cucu dari Abdullah, segera memproklamirkan
berdirinya Kekhalifahan Umayyah di Cordoba. Abdurrahman III merupakan penerus tahta
yang menggantikan kakeknya (Abdullah) pada 912, ketika itu ia baru berumur 23 tahun.
Abdurrahman III mempunyai gelar al-Khalifah al-Nashir li Din Allah (khalifah penolong
agama Allah), karena ia telah membawa Spanyol Islam ke kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan yang dialami sebelumnya (Hitti, 2002 : 666) .
Khalifah selanjutnya diteruskan oleh al-Hakam II, ia adalah putra penerus Abdurrahman III.
Walaupun ia dianggap sebagai seorang tokoh yang terkenal pada zaman pemerintahannya,
tetapi ketokohannya tidak mampu menyamai kebesaran ayahnya. Setelah kematian al-Hakam
II, maka jabatan khalifah diserahkan pada anaknya yang bernama Hisyam II al-Mu’ayad
(976-1009), meskipun pada waktu itu usianya baru menginjak dua belas tahun. Untuk
menghindari kesalahan dalam memerintah, maka diangkatlah ibunya yang bernama
Shuhaibah yang menjadi pemangku kerajaan. Kemudian Shuhaibah mengangkat Muhammad
ibn Abdullah Ibn Abi Amir yang terkenal dengan gelar Al-Malikul Mansur, yang menjadi
perdana menteri sekaligus pemegang kekuasaan sementara. Semakin besar kesempatan yang
diperolehnya, membuat al-Hakam II tidak lebih dari sekedar khalifah boneka, sedangkan
urusan kenegaraan berada di tangan al-Mansur yang memerintah atas nama khalifah (Hitti,
2002 : 678).
Setelah zaman krisis berlalu selama kurang lebih 60 tahun, maka muncul satu zaman di mana
kerajaan Bani Umayyah Spanyol telah mencapai tahap kegemilangannya dalam berbagai
macam aspek antara lain politik, sosial, ekonomi, dan intelektual. Masa kejayaan ini
berlangsung pada 912-1013. Pemerintahan Abdurrahman III (912-961) dan penerusnya al-
Negara menggantungkan pendapatannya sebagian besar pada bea ekspor dan impor. Kota-
kota di Spanyol tumbuh menjadi pusat industri yang produktif dan masing-masing
menawarkan hasil olahannya sendiri. Kemajuan di bidang pertanian berlangsung pada masa
pemerintahan Abdurrahman III, sedangkan kemajuan dalam bidang pendidikan dibangun
pada masa pemerintahan al-Hakam II (Osman, 1952: 26).
Tahap atau periode terakhir masa pemerintahan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol secara
keseluruhan yaitu pada 976-1031 yang melibatkan sebanyak tujuh orang khalifah. Dimulai
dari Hisyam II, Muhammad II, Sulayman, Abdurrahman IV, Abdurrahman V, Hisyam III,
dan Muhammad III. Setelah kematian al-Mansur, Spanyol Islam terpecah belah oleh orang-
orang Berber, Arab, Slavia, dan orang Spanyol. Putra al-Mansur yang bernama Abdul Malik
al Munzafar diangkat oleh ayahnya sebagai penggantinya, tetapi khalifah Hisyam II tetap
sebagai pemimpin boneka dan simbol negara (Hitti, 2002 : 679).
Khalifah terakhir ditempati oleh Hisyam III al-Mu’tadd, ia memerintah pada 1026-1031.
Kondisi negeri Spanyol pada saat itu menjadi sedemikian parah, kekacauan terjadi di mana-
mana. Khalifah yang berusia 54 tahun itu dirasa tidak cocok untuk mengatasi situasi negara
yang demikian tersebut. Karena lelah dengan bermacam perubahan dalam pemerintahan yang
tidak kunjung usai, maka orang-orang Cordoba yang dipimpin oleh dewan negara Abu Hazm
ibn Jahwar menganggap khalifah tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya. Untuk
mencegah terjadinya kehancuran lebih lanjut, akhirnya Abu Hazm dan para tokoh lain
mengadakan rapat umum yang menghasilkan sebuah keputusan untuk menurunkan Hisyam
III serta menghapuskan kekhalifahan untuk selamanya. Tindakan yang diambil oleh rakyat
Cordoba tersebut, selain mengakhiri Kekhalifahan Umayyah di Spanyol juga membawa umat
Islam ke dalam periode baru yang dipenuhi perpecahan, perang saudara, dan kemerosotan
Masa Pembangunan
Kebanggaan Abdurrahman I adalah memiliki sebuah masjid agung. Oleh karena itu,
monumen bangunan Masjid Cordoba dijadikan sebagai suatu simbol kejayaan dan identitas
bagi dirinya, atas segala usaha dan kemenangan yang telah ia dapatkan selama ini. Ketika
orang Arab merebut Cordoba pada abad ke-7, mereka mengambil alih separuh dari Katedral
San Vincente yang telah dibeli untuk keperluan beribadah mereka sendiri. Selama periode
tersebut umat Islam saling bebagi dengan umat Kristen dalam menggunakan tempat ibadah
tersebut. Menurut Ibn Idhari, Abdurrahman I mulai melakukan penghancuran gereja secara
menyeluruh pada 785 dan menyelesaikan pembangunan awal masjid pada 786 (O’Neill, 1992
: 12).
Tepatnya pada 726, Abdurrahman I sebenarnya sudah mempunyai rancangan atau konsep
yang ia inginkan dalam membangun masjid indah tersebut. Rencana ini ia rancang dengan
tangannya sendiri, dan konsepnya tetap menjadi gagasan dasar, meskipun bangunan itu
diperbesar lagi di kemudian hari. Adapun total biaya yang dikeluarkan pada masa
Abdurrahman I dalam membangun masjid tersebut yaitu sebesar 80.000 dinar. Meskipun
telah mengeluarkan banyak biaya dalam proses pembangunannya, masjid ini baru dapat
diselesaikan seluruhnya di masa pemerintahan anaknya, Hisyam I (Irving, 1990: 160).
1
http://otraarquitecturaesposible.blogspot.com/2011/05/cathedral-mosque-of-cordoba-for_13.html (di unduh
pada : 11/06/2014 21.28 WIB)
Selain memperluas bagian dalam masjid, Abdurrahman II juga membuat semacam koridor
jembatan yang sempit dan tertutup diperuntukkan khusus untuknya, sehingga dapat
menghubungkan istana kerajaan ke dalam masjid. Koridor jembatan tersebut disebut sabat.
Jalur penghubung tersebut sebenarnya dibuat agar Abdullah tidak terlihat oleh orang lain
ketika ia menjalankan shalat. Hal itu dikarenakan ia menghindari dari orang-orang yang
selalu berdiri untuk menghormati dirinya, ketika melihatnya datang ke masjid dan juga untuk
menghindarinya dari ancaman penyerangan orang yang tidak dikenal yang kemungkinan
dapat terjadi (Hattstein, 2010 : 226).
2
http://smarthistory.khanacademy.org/the-great-mosque-of-cordoba-spain.html (di unduh pada: 11/06/2014
21.35 WIB)
Pada 958, Abdurrahman III menguatkan struktur pondasi bangunan aula tempat shalat yang
sebelumnya agak condong atau miring. Prioritasnya pada saat itu terhadap perkembangan
masjid hanya sebatas memperluas tempat shalat wanita. Khalifah Abdurrahman III
sebenarnya tidak terlalu signifikan melakukan kebijakan terhadap pembangunan Masjid
Cordoba. Perhatiannya lebih dicurahkan kepada istananya yang lebih ia banggakan, terletak
13 kilometer arah barat laut dari Cordoba, yaitu istana Medina al-Zahra (936-1010)
(Hattstein, 2010: 230).
Untuk kedua kalinya aula shalat diperluas, mengingat jumlah penduduk Muslim yang
semakin bertambah di Cordoba, diselesaikan pada pemerintahan al-Hakam II. Saat itu, arsitek
yang ditugaskannya tidak dapat menyelesaikannya secara proporsional, karena bentuk masjid
yang cenderung kotak. Hal tersebut akan berdampak pada pergeseran letak masjid, yang juga
beresiko menjadikan posisi masjid bergeser terlalu dekat dengan sungai Guadalquivir. Oleh
karena itu, arsitek tersebut mengurangi jumlah proporsi wilayah yang akan diperluas. Karena
memiliki tanah di dekat lereng yang cukup curam, akhirnya al-Hakam memerintahkan kepada
arsiteknya agar terlebih dahulu membuat pondasi dan tembok pembatas untuk menciptakan
alas lantai penahan yang kuat dan keras. Sampai pada akhirnya proses pengerjaan pun selesai,
dan menjadikan Masjid Cordoba bertambah luas menjadi 79,29 meter x 114,6 meter. Di sisi
lain, hal ini menjadikan aula shalat menjadi jauh lebih luas dibandingkan dengan halaman
masjid (Hattstein, 2010 : 225).
Pada akhirnya, masjid ini mempunyai 19 lorong yang panjang, serta area masjid ke arah
timur sepanjang 50 meter, dan untuk pertama kalinya sebagai penguasa Spanyol Islam, ia
membuat sebuah kolam dengan bentuk persegi. Sementara itu, tembok yang menghadap ke
arah selatan yang juga serupa dengan tembok yang berhadapan ke arah kiblat, telah
diperpanjang menjadi 128,41 meter. Aula shalat pun tidak kalah besarnya juga turut
diperluas, yaitu berubah menjadi 114,6 meter x 128,41 meter, sedangkan halaman masjid
berubah menjadi 60,42 meter x 128,41 meter. Secara total keseluruhan luas wilayah Masjid
Cordoba, termasuk halamannya berubah menjadi sebesar 175.02 meter x 128,41 meter atau
seluas 23.400 meter persegi. Dengan diselesaikannya perluasan oleh al-Mansur, maka
berakhirlah konstruksi pembangunan Masjid Cordoba pada pemerintahan Umayyah di
Spanyol (Hattstein, 2010 : 226).
Pembangunan Menara
Pada awal pembangunan masjid di masa Abdurrahman I, saat itu tidak ada menara, kemudian
pada masa setelahnya menara baru dibuat. Pembangunan menara pertama kali dikerjakan
oleh Hisyam I (793). Menurut sejarawan, menara yang telah dibangun oleh Hisyam I, lebih
cenderung hanya dijadikan sebagai tangga biasa saja karena bentuknya yang kurang
mencerminkan seperti menara pada umumnya. Menara yang dibuat oleh Hisyam terletak di
bagian utara pintu halaman masjid (O’Neill, 1992 : 25).
Pada masa Khalifah Abdurrahman III, menara yang dibangun oleh Khalifah Hisyam I
dirobohkan karena dianggap sudah tidak dapat lagi digunakan dan kemudian diganti dengan
menara baru yang lebih tinggi dan lebih mewah. Bagian paling atas menara, terdapat kubah
kecil yang juga berfungsi sebagai atap. Pada kubah tersebut juga terdapat ruangan kecil di
dalamnya, sehingga memungkinkan untuk dimasuki oleh beberapa orang. Pembuatan menara
menggunakan tenaga yang dibantu oleh al-Mustansir, seorang ahli mozaik yang berasal dari
Constatinopel. Sementara itu, arsitek dalam pembangunan menara tersebut bernama Said Ibn
Semenjak Kristen masuk dan merubah fungsi masjid menjadi Gereja Katedral, menara yang
dahulunya menjadi tempat untuk mengumandangkan adzan, kemudian berubah menjadi bell
tower atau menara lonceng yang digunakan umat Kristen dalam melaksanakan kegitan-
kegiatan tertentu. Sebagian besar dari bentuk menara tersebut juga telah dilakukan
perombakan, mengikuti menara-menara yang ada di gereja seperti pada umumnya.
Pembangunan Mihrab
Mihrab yang ada pada zaman al-Hakam II, menonjolkan suatu keunikan tersendiri. Pada
dinding pintu masuk mihrab yang berupa lengkungan menyerupai bentuk tapal kuda, dihiasi
dengan ornamen-ornamen arabesque dan mozaik-mozaik berwarna emas. Sementara warna
pada latar dinding pintu tersebut, didominasi warna-warna gelap yang berbeda pada dinding
tersebut. Pada desain interior di dalam mihrab, dinding-dinding di dalamnya terbuat dari batu
marmer yang permukaanya halus, dan pada bagian atasnya dihiasi dengan hiasan kaligrafi.
Atap atau langit-langit mihrab mempunyai motif yang menyerupai cangkang kerang (scallop
shell ceiling), dan disekelilingnya dihiasi dengan kaligrafi serta motif daun yang melingkari
atap cangkang kerang tersebut. Mihrab itu terbentuk dari sebuah ruangan kecil (bilik) yang
4
http://www.artencordoba.com/English/MOSQUECATHEDRAL/PHOTOS/OUTSIDE/MOSQUE_CATHEDR
AL_TOWER_07.jpg (di unduh pada : 30/06/2014 15.30 WIB)
Gambar 5. Mihrab5
Pada pertengahan abad ke-11 telah terjadi dua kali usaha perebutan kekuasaan masjid yang
dilakukan oleh pihak Muslim pada peristiwa fitna kemudian usaha perebutan oleh Kerajaan
Castille. Akibat peperangan yang terjadi maka berdampak pada kerusakan bangunan masjid.
Pada akhirnya Murabitun memperbaiki kerusakan yang terjadi pada masjid tersebut dalam
beberapa waktu (Mayer, 2011 : 82).
Peraturan serta kekuasaan politik di Cordoba pada 1140, terbilang sangat kacau selama
proses pemutusan kekuasaan pusat yang beralih ke pemerintahan kota yang lebih kecil,
pemerintahan ini disebut dengan pemerintahan taifa (post Almoravid taifa state). Namun,
kondisi serta perubahan yang terjadi pada Masjid Cordoba mulai dari 1030 sampai awal 1140
tidak banyak didokumentasikan dan diketahui selama masa tersebut (Mayer, 2011 : 85).
5
http://smarthistory.khanacademy.org/the-great-mosque-of-cordoba-spain.html (diunduh pada : 11/06/2014
21.35 WIB)
Pada 29 Juni 1236, Ferdinand III seorang raja dari Castille, memasuki Cordoba dengan
membawa balatentaranya. Setelah melewati perjalanan yang panjang, ia beserta pasukannya
melewati jembatan dan kemudian berhasil tiba ke masjid. Pada saat itulah, ia langsung
menancapkan simbol Kristen (Salib) dan bendera Kerajaan Leon dan Castille, di atas menara
kebanggan Masjid Cordoba. Suatu kejadian yang tidak dapat dihindari, yang menandakan
permulaan titik perubahan sejarah bangunan Masjid Cordoba. Sebuah gencatan senjata yang
pelik, menyebabkan terjadinya evakuasi besar-besaran terhadap penduduk Muslim di
Cordoba. Mereka meninggalkan rumah mereka sambil berjalan kelaparan dan meratapi
keadaan di sekeliling mereka. Di tahun yang sama, Ferdinand III dan beberapa uskup
melakukan ritual penyucian Masjid Cordoba sebagai salah satu ketentuan yang harus
dilakukan sebelum dijadikan sebagai katedral (Ecker, 2003 : 118).
Kesimpulan
Salah satu kebanggaan terbesar yang dimiliki bangsa Arab dan umat Islam di Spanyol yaitu,
Masjid Cordoba (La Mezquita) yang sampai sekarang masih berdiri kokoh di kota Cordoba.
Suatu bukti bahwa Islam pernah menduduki negara Spanyol dan berhasil membawanya ke
masa kejayaan. Masjid Cordoba merupakan sebuah bangunan monumental yang pertama kali
dibangun sebagai simbol dan hasil dari representasi kekuasaan serta kejayaan pemerintahan
Daftar Referensi
Buku:
Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
Dasuki, Hafizh. Ensiklopedi Islam I. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Frishman, Martin, dan Hasan Uddin Khan. The Mosque : History, Architectural Development
and Region Diversity. London : Thames and Hudson, 1994.
Hattstein, Markus, dan Peter Dellius. Islam Art and Architecture. Postdam: H. F. Ullmann,
2010.
Houtsma, M. TH. E.J Brill First Encyclopedia of Islam. Leiden : Brill, 1993.
Irving, Thomas Ballantine. Rajawali Dari Spanyol. Terj. A. Niamullah dan A. Malik. Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1980.
Hitti, Philiip K. History Of The Arabs. Terj. R. Cecep LukmanYasin dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press, 1979.
E-BOOK:
O’Neill, John P. Al- Andalus : The Art of Islamic Spain. New York : The Metropolitan
Museum of Art, 1992.
http://otraarquitecturaesposible.blogspot.com/2011/05/cathedral-mosque-of-cordoba-
for_13.html (diunduh pada : 11/06/2014 21.28 WIB)
http://www.artencordoba.com/English/MOSQUE-
CATHEDRAL/PHOTOS/OUTSIDE/MOSQUE_CATHEDRAL_TOWER_07.jpg
(diunduh pada : 30/06/2014 15.30 WIB)