Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/292615802

Patogenesis Diabetes Tipe 2: Resistensi Insulin dan Defisiensi Insulin

Article · January 2016

CITATIONS READS

3 53,261

1 author:

Raymond R Tjandrawinata
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
242 PUBLICATIONS   2,879 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Health Economics View project

Polyamines View project

All content following this page was uploaded by Raymond R Tjandrawinata on 02 February 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Patogenesis Diabetes
Tipe 2: Resistensi
Defisiensi Insulin

A Working Review Paper by Abstrak


Raymond R. Tjandrawinata, Diabetes tipe 2 adalah gangguan hormon endokrin yang
Molecular Pharmacologist, yang ditandai dengan penurunan sensitivitas insulin dan
Dexa laboratories of sekresi insulin. Pada diabetes yang mengalami gangguan
Biomolecular Sciences -cell, pelepasan insulin tidak dapat mengimbangi
(DLBS), beban glukosa. Disamping berkurangnya fungsi sel beta
Dexa Medica Group yang progresif, sekresi insulin fase satu juga tidak terjadi
pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Keadaan inilah yang
menyebabkan adanya keterlambatan sekresi insulin yang
cukup untuk menurunkan kadar glukosa pada jaringan
peripher seperti jaringan lemak and jaringan otot. Naskah
ini akan membahas aspek yang utama mengenai insulin
resistensi dan insulin defisiensi pada penderita diabetes
tipe 2. Selain itu akan dibahas obat-obat yang lebih baru
untuk terapi diabetes tipe 2 yang saat ini ada dan segera
akan ada di Indonesia.
1

PATOGENESIS DIABETES TIPE 2: RESISTENSI INSULIN DAN DEFISIENSI INSULIN

Raymond R. Tjandrawinata
Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS)
Dexa Medica Group

Abstrak

Diabetes tipe 2 adalah gangguan hormon endokrin yang yang ditandai dengan penurunan
sensitivitas insulin dan sekresi insulin. Pada diabetes yang mengalami gangguan fungsi -cell,
pelepasan insulin tidak dapat mengimbangi beban glukosa. Disamping berkurangnya fungsi -cell
yang progresif, sekresi insulin fase satu juga tidak terjadi pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Keadaan
inilah yang menyebabkan adanya keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar
glukosa pada jaringan peripher seperti jaringan lemak and jaringan otot. Naskah ini akan membahas
aspek yang mendasar mengenai insulin resistensi dan insulin defisiensi pada penderita diabetes tipe
2.

Pendahuluan

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit yang paling sering menyerang jutaan penduduk di dunia.
Meskipun banyak penelitian mengenai hal ini, namun masih belum diketahui secara pasti proses
metabolik mana yang paling berperan dalam mengatur konsentrasi glukosa darah dalam
mengimbangi perubahan konsentrasi insulin (1). Meskipun patogenesis diabetes tipe 2 belum
sepenuhnya dipahami, peralihan dari toleransi glukosa normal sampai terjadinya diabetes tipe 2,
ditandai oleh adanya insulin resisten, disregulasi produksi glukosa hati, toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan penurunan fungsi sel  pankreas. Untuk mengamati sindroma diabetes tipe 2 secara
lengkap harus ada 2 kelainan sekaligus, yaitu resistensi insulin dan gangguan fungsi sel . Bila sel 
tidak lagi dapat menghasilkan sekresi insulin yang cukup tinggi untuk mengimbangi resistensi insulin
akan muncul hiperglikemia saat puasa dan diabetes. Diabetes merupakan suatu penyakit yang
progresif. Bila tidak diobati dapat terjadi komplikasi mikro dan makro vaskuler (1).

Resistensi Insulin

Diabetes tipe 2 merupakan penyakit yang heterogen, di mana banyak faktor yang berpengaruh.
Penyakit ini ditandai dengaan adanya gangguan metabolik yaitu gangguan fungsi sel  (1) dan
resistensi insulin di jaringan perifer seperti jaringan otot dan jaringan lemak, dan juga resistensi
insulin di hati (2). Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperglikemia kronik dan dalam jangka
panjangnya, dapat terjadi komplikasi yang serius. Secara keseluruhan gangguan ini bersifat merusak
terhadap diri sendiri dan memburuk secara progresif dengan berjalannya waktu. Resistensi insulin
dianggap sebagai salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya diabetes tipe 2. Resistensi insulin
secara dramatis mengganggu ambilan glukosa di jaringan perifer dan mengakibatkan produksi
glukosa yang berlebihan oleh hati. Hal ini berpengaruh pada terjadinya hiperglikemia pada penderita
diabetes tipe 2 (3). Keadaan awal dari diabetes tipe 2 yaitu terjadinya resistensi insulin dan
2

hiperinsulinemia, tetapi tidak terjadi hiperglikemia. Namun dengan berjalannya waktu, mekanisme
kompensasi ini tidak lagi dapat menahan progresifitas penyakit ini, sehingga terjadi diabetes tipe 2.

Jaringan otot merupakan tempat pembuangan glukosa yang utama akibat perangsangan oleh
insulin secara in vivo. Glukosa yang diambil oleh jaringan lemak sebenarnya lebih sedikit daripada
glukosa yang diambil oleh jaringan otot (2). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di jaringan
otot, transportasi glukosa melewati membran plasma merupakan tahapan penentu kecepatan (the
rate limiting step) metabolisme glukosa pada penderita diabetes (4). Terjadinya resistensi pada
rangsangan insulin pada pemanfaatan glukosa merupakan pencetus terjadinya obesitas dengan
sindroma X (yang dikenal sebagai Sindroma Resistensi Insulin, atau Sindroma Reaven, dan ditandai
dengan adanya resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan peningkatan resiko penyakit jantung)
dan diabetes tipe 2 (5). “Glucose transporter type 4” (GLUT-4) adalah transporter glukosa yang utama
dan berperan utama pada jaringan otot dan jaringan lemak. Di jaringan otot dan lemak yang normal,
GLUT-4 didaur ulang di antara membran plasma sel dan simpanan intrasellular. Bila ada insulin,
kesetimbangan ini akan berubah, yang mengakibatkan terjadinya translokasi reseptor dari
intraselluler ke membran plasma. Efek yang terjadi adalah meningkatnya kecepatan transportasi
glukosa yang maksimal ke dalam sel (5). Translokasi “Glukosa transporter type 4” (GLUT-4)
intrasellular yang dirangsang oleh insulin, sebenarnya dimulai dari ikatan insulin kepada reseptor di
bagian ekstrasellular. Ikatan ini memacu terjadinya beberapa reaksi phosphorilisasi yang sangat
penting bagi kerja insulin. Autophosphorilisasi pada asam amino tirosin yang dirangsang oleh insulin
dan terjadi pada domain sitoplasma dari reseptor akan memperkuat kerja enzim tirosin kinase, yang
kemudian memphosphorilisasi beberapa protein intraselluler termasuk Insulin Reseptor Substrate-1
(IRS-1). Phosphorilisasi dari IRS-1 mengakibatkan terjadinya sinyal-sinyal sekunder yang
menghubungkan reseptor insulin pada transport glukosa transmembran. Selanjutnya aktivasi
phosphoinositide-3 kinase ini diperlukan untuk stimulasi transport glukosa oleh insulin dan
diperlukan untuk menginduksi translokasi dari GLUT-4 ke membran plasma (5). Bersamaan dengan
efek-efek yang bermanfaat dari insulin adalah sekumpulan efek yang membahayakan karena insulin
dapat juga menyebabkan atherosclerosis dan restenosis (6). Sel otot polos vascular (VSMCs) dapat
berpindah dari daerah media ke daerah intima di arteri. Signal yang digunakan oleh insulin adalah
sebagai berikut: insulin berikatan dengan reseptor, mengaktivasi RAS, RAF, “Mitogen-activated
protein kinase” (MAPK), yang akhirnya terjadi rangsangan dari pertumbuhan dan migrasi sel otot
polos vaskuler (6). Insulin juga dapat merangsang produksi aktivator plasminogen inhibitor-1 yang
menghentikan fibrinolisis (7). Akibat dari signal ini adalah pertumbuhan dan pemindahan sel otot
polos vaskuler yang cenderung menyebabkan atherosclerosis dan restenosis. Karena alur pertama
dari signal insulin terhambat pada subyek yang mengalami resistensi insulin, kecepatan pembuangan
glukosa pada orang-orang ini akan turun secara drastis. Fenomena yang sama juga terjadi pada
subyek yang kurus yang juga mengalami toleransi glukosa terganggu dan juga pada subyek yang tidak
obes maupun yang obes.

Sensitizer insulin adalah kelas baru dari kelompok obat oral antidiabet yang belum dipasarkan di
Indonesia. Golongan thiazolidinediones (TZDs) (atau glitazones) adalah kelas baru dari obat oral aktif,
yang dapat mengurangi resistensi insulin. Karena itu ia meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer dan juga menurunkan produksi glukosa hati (8). Golongan TZDs sekarang ini dikenal sebagai
ligand yang berikatan dengan “nuclear receptor” yang spesifik yaitu “peroxisome proliferator-
activated receptors-gamma” (PPAR). Kelompok ini meliputi 3 subtipe yaitu tipe alfa, gamma, dan
delta. Tetapi sampai sekarang ini hanya tipe gamma yang terlibat pada metabolisme glukosa. Fungsi
3

dari PPAR tampaknya sebagai pengatur dalam mengekspresikan gen-gen termasuk di dalamnya
pengatur metabolisme karbohidrat dan lemak dan juga diferensiasi jaringan lemak (9). Sedangkan
tipe alfa adalah reseptor untuk obat anti lipidemia golongan asam fibrat yaitu fenofibrate (10).
Golongan TZDs terlihat meningkatkan ekspresi dan translokasi pengangkutan GLUT-4 dan
menurunkan leptin, tumor nekrosis faktor-alfa (TNF-) dan meningkatkan toleransi glukosa pada
model mencit yang obesitas (ob/ob mouse) yang diturunkan (11). Golongan TZDs yang sudah beredar
di beberapa negara yaitu rosiglitazone (Avandia) dan pioglitazone (Actos). Anggota pertama yaitu
troglitazone (Rezulin) ditarik dari kembali karena dicurigai menyebabkan kerusakan hati. Meskipun
golongan TZDs mempunyai struktur yang sama yaitu thiazolidine-2-4-dione, perbedaan pada
cincinnya mengakibatkan perbedaan bioavailabilitas, metabolisme dan aktivitas anti hiperglikemia
(12). Rosiglitazone adalah obat yang kelihatannya paling poten, 100 kali lebih poten dari troglitazone
(13). Data-data menunjukkan bahwa penggunaan golongan TZDs harus hati-hati walaupun efektif
sebagai obat antidiabet bila digunakan sebagai terapi tunggal maupun dikombinasikan dengan
metformin, sulfonilurea atau insulin.

Defisiensi Insulin

Sampai saat ini para ahli endokrinologi masih memperdebatkan fungsi sel  pada penyandang
diabetes tipe 2. Namun pada mayoritas penderita diabetes tipe 2 terjadi suatu bentuk keadaan yang
kompleks antara sekresi insulin dan resistensi insulin serta besarnya derajat hiperglikemia (1). Bila
sel  pankreas tidak dapat memproduksi sekresi insulin dengan kecepatan yang tinggi untuk
mengimbangi resistensi insulin, hiperglikemia puasa dan diabetes terjadi. Pada beberapa
penyandang diabetes tipe 2, kerusakan awal tampak terjadi pada sel  dan dimanifestasikan sebagai
gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin juga terjadi bersama dengan atau yang selanjutnya dari
gangguan sekresi insulin (2). Tetapi, pada mayoritas penyandang diabetes tipe 2, gangguan
sensitivitas insulin dan sekresi insulin harus terjadi bersamaan sebelum intoleransi glukosa akan
terjadi secara bermakna (2).

Pada studi longitudinal, seperti United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), tampaknya
proses yang mendasari penurunan kontrol metabolik dapat diinduksi oleh perubahan fungsi sel 
pankreas. Dengan menggunakan analisa Homeostatic model assessment (HOMA), peneliti UKPDS
menyarankan bahwa kerusakan metabolik adalah disebabkan dari kerusakan sel  daripada
peningkatan resistensi insulin yang bisa dimulai pada taraf toleransi glukosa terganggu (15).
DeFronzo (1,2) mengusulkan adanya suatu analogi pada profil sekresi insulin dengan hukum
Starling’s law of the heart, yang menggambarkan peningkatan fungsi sel  pada penyakit yang dini,
yang kemudian diikuti oleh kompensasi yang berlebih dan penurunan progresifitas fungsi pankreas
(Gambar 5). Apabila kadar glukosa puasa meningkat dari 80 ke 140 mg/dl, akan terjadi peningkatan
konsentrasi insulin puasa yang progresif. Peningkatan ini mencapai puncak dengan nilai 2-2,5 kali
lebih besar dari subyek kontrol. Peningkatan sekresi insulin yang progresif ini dapat dianggap sebagai
proses adaptasi pankreas untuk menekan kerusakan yang homeostasis glukosa yang progresif.
Namun apabila glukosa puasa melebihi 140 mg/dl, sel  tidak dapat lagi mempertahankan sekresi
insulin dengan kecepatan tinggi. Dalam keadaan ini, dengan adanya hiperglikemia puasa yang
meningkat, sekresi insulin akan menurun secara drastis dan menunjukkan terjadinya resisten insulin
yang berat (2).
4

Pada penderita diabetes, fungsi sel  yang abnormal menyebabkan pelepasan insulin yang tidak
mencukupi untuk mengimbangi glukosa yang berlebihan setelah makan. Di samping kerusakan sel 
yang progresif ada faktor kedua yang berpengaruh pada sekresi insulin pada penderita diabetes tipe
2 yaitu tidak terjadinya sekresi insulin fase satu (16). Keadaan inilah yang menyebabkan adanya
keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar glukosa postprandial pada
jaringan perifer seperti jaringan lemak dan jaringan otot. Hilangnya sekresi insulin fase satu inilah
yang mengakibatkan kenaikan kadar glukosa postprandial yang berlebilhan. Belakangan ini fluktuasi
glukosa prandial disebut sebagai faktor yang sangat menentukan dalam pengaturan fluktuasi glukosa
sehari-hari. Tingginya glukosa postprandial juga menyebabkan terjadinya komplikasi diabetes jangka
panjang (16). Fluktuasi glukosa postprandial, terutama pada setelah makan siang, menentukan kadar
HbA1c(17). Sebaliknya kadar HbA1c adalah penentu yang dominan dalam komplikasi diabetes yang
progresif seperti yang diuraikan pada hasil beberapa uji klinik yang baru-baru ini dipublikasikan
mengenai pengontrolan diabetes dan komplikasinya (18).

Untuk merangsang terjadinya sekresi insulin fase satu, penggunaan sekretagog insulin yang
mempunyai mula kerja cepat dan masa kerja yang singkat akan lebih disukai untuk mengurangi
resiko terjadinya hiperglikemia postprandial. Sebaliknya penggunaan sekretagog insulin dengan mula
kerja yang lambat dan masa kerja yang panjang memperbesar gangguan fungsi -cell dan
meningkatkan resiko hipoglikemia postprandial. Meskipun sekretagog insulin dengan mula kerja yang
cepat dan singkat dapat menurunkan kadar glukosa postprandial secara bermakna, farmakokinetik
dari obat tersebut menjadi penting dalam menentukan perubahan kadar glukosa secara keseluruhan
termasuk glukosa puasa, glukosa postprandial dan HbA1c. Penggunaan obat yang mempunyai waktu
paruh yang terlalu singkat atau obat yang cepat berikatan dan cepat lepas dari reseptornya dapat
menyebabkan sekresi insulin yang terlalu sedikit atau terlalu cepat mencapai kadar insulin basal.
Walaupun obat tersebut dapat mengembalikan sekresi insulin fase satu yang hilang dan juga
menurunkan kadar glukosa postprandial, ia tidak cukup untuk menurunkan fluktuasi glukosa yang
terlihat sepanjang hari. Karena itu, obat tersebut mungkin tidak efektif menurunkan glukosa puasa
dan HbA1c secara bermakna. Hal ini berdampak pada tidak mencapainya kadar glukosa yang
dinginkan untuk pengontrolan diabetes.

Kesimpulan

Data-data mengenai patogenesis tipe 2 yang banyak dan tidak nyata menunjukkan adanya suatu
interaksi antara 2 persoalan yaitu: defisiensi insulin dan resistensi insulin. Salah satu dari persoalan
ini bisa menjadi problema yang utama dan cukup salah satu juga dapat menyebabkan terjadinya
hiperglikemia. Selama pankreas masih mempertahankan sekresi insulin yang tinggi dan memadai
untuk mengurangi resistensi insulin, toleransi glukosa akan tetap normal. Bila sel  mulai gagal
berfungsi, toleransi glukosa akan menurun dan diabetes akan terjadi. Karena itu, perkembangan
diabetes tipe 2 berdasar pada terjadinya 2 persoalan fundamental yaitu resistensi insulin dan
penurunan sekresi insulin.
5

Kepustakaan

1. -cell, muscle, liver: a collusion responsible for NIDDM.


Diabetes 37:667-687, 1988.
2. DeFronzo, R.A. Pathogenesis of type 2 diabetes. Diabetes Rev. 5:1-66, 1997.
3. Olefsky, J.M. Introduction to the Special Report: Managing Type 2 Diabetes, New Science and
New Strategies. Post Graduate Medicine. McGraw-Hill Companies, Inc., 1988.
4. Butler, P.C., Kryshak, E.J., Marsh, M., and Rizza, R.A. Effect of insulin on oxidation of intracellularly
and extracellularly derived glucose in patients with NIDDM: evidence for primary defect in glucose
transport and/or phosphorylation but not oxidation. Diabetes 39: 1373-1390, 1990.
5. Sheperd, P.R. and Kahn, B. B. Glucose transporters and insulin action. New Eng. J. Med. 341:248-
257, 1999.
6. Hsueh, W.A. and Law, R.E. Insulin signaling in the arterial walls. Am. J. Cardiol. 84:21J-24J, 1999.
7. Anderson, P.W., Zhang, X.Y., Tian, J., Correale, J.D., Xi, X.P., Yang, D., Graf, K., Law, R.E., and
Hsueh, W.A. Insulin and angiotensin II are additive in stimulating TGF-?1 and matrix mRNAs in
messangial cells. Kidney Int. 50-745-753, 1996.
8. Dagogo-Jack, S. and Santiago, J.V. Pathophysiology of the type 2 diabetes and modes of action of
therapeutic interventions. Arch. Intern. Med. 157:1802-1817, 1997.
9. Lehman, J.M., Moore, L.B., Smith-Oliver, T.A., Wilkison, W.O., Willson, T.M. and Kliewer, S.A. An
antidiabetic thiazolidinedione is a high affinity ligand for peroxisome proliferator-activated receptor-
-12956, 1995.
10. Henry, R.R. Thiazolidinediones. Endocrinol. Met. Clinics North Am. 26:553-573, 1997.
11. Young, P.W., Cawthorne, M.A., Coyle, P.J., Holder, J.C., Holman, G.D., Kozka, I.J., Kirkham, D.M.,
Lister, C.A., and Smith S.A. Repeated treatment of obese mice with BRL 49653, a potent insulin
sensitizer, enhances insulin action in white adipocytes. Diabetes 44:1087-1092, 1995.
12. Willson, T.M., Cobb, J.E., and Cowan, D.J. The structure-
agonism and the antihyperglycemic activity of thiazolidinediones. J. Med. Chem. 39: 665-668, 1996.
13. Young, P.W., Buckle, D.R., and Cantello, B.C. Identification of high-affinity binding sites for the
insulin sensitizer rosiglitazone (BRL 49653) in rodent and human adipocytes using a radioiodinated
ligand for PPAR -759, 1998.
14. Nolan, J.J. Insulin sensitizers: a new era in the management of type 2 diabetes. In: Diabetes:
current perspectives Betteridge, D.J. (editor), pp. 267-293. Martin Dunitz, publ. London, U.K., 2000.
15. Cook, J.T., Page, R.C., Levy, J.C., Hammersley, M.S., Walravens, E.K. and Turner, R.C.
Hyperglycemic progression in subjects with impaired glucose tolerance: association with decline in
beta cell function. Diabet. Med. 10_321-326, 1993.
16. Polansky, K.S., Give, B.D., Hirsch, I., Tillil, H., Shapiro, E.T., Beebe, C., Frank, B.H., Galloway, J.A.,
VanCauter, E. Abnormal patterns of insulin secretion in non-insulin dependent diabetes mellitus. N.
Eng. J. Med. 326:22-29, 1988.
17. Del Prato, S. Metabolic control in type-2 diabetes: the impact of prandial glucose. Curr. Opin.
Endocrinol. Diab. 6 (Suppl.1):S1-S6, 1999.
18. Ohkubo, Y., Kishikawa, H., Araki, E. et al. Intensive insulin therapy prevents the progression of
diabetic complications in Japanese patients with non-insulin-dependent diabetes mellitus: a
randomized prospective 6-year study. Diab. Res. Clin. Pract. 28:103-117, 1995.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai