ANESTESI PADA
DIABETES MELLITUS
DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
JAKARTA
2020
BAB II
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyebab tersering dalam golongan penyakit metabolik.
Klasifikasi terbaru oleh American Diabetes Association (ADA) dan World Health
Organization (WHO) yaitu, Type 1 (Dikenal sebagai insulin dependen diabetes mellitus-
IDDM) dimediasi oleh faktor imun dan berkembang menjadi defisiensi insulin absolut , Tipe
2 ( Dikenal sebagai Non- Insulin Dependent Diabetes Melitus-NIDDM) adalah penyakit yang
muncul pada saat dewasa dan dihubungkan dengan resistensi insulin. Tipe 3, bentuk spesifik
lainnya dari diabetes mellitus, meliputi berbagai defek genetik dari fungsi sel beta dan kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, dan diabetes yang muncul karena obat
tertentu. Tipe 4 adalah diabetes gestasional1.
Pasien diabetes yang akan menjalani pembedahan memiliki peningkatan mortalitas dan
sangat beresiko untuk terjadinya komplikasi pasca operasi. Komplikasi terkait penyembuhan
luka terjadi pada pasien diabetes dengan kadar gula tidak terkontrol1. Sehingga penting bagi
ahli anestesi untuk mengetahui perubahan-perubahan fisiologis pasien DM yang akan
menjalani pembedahan serta manajemen perioperatif pasien DM.
BAB III
TINAJUAN PUSTAKA
III.1 DEFINISI
DM adalah sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang disebabkan oleh peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif yang dilatar belakangi
resistensi insulin. Menurut ADA 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya2.
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.3
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas batas
ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126
mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis
bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau
tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.4
III.3 PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru untuk mengganti sel yang rusak, Tubuh
juga memerlukan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi yang diperlukan oleh tubuh
berasal dari bahan makanan sehari-hari yang terdiri dari: karbohidrat, protein (asam amino),
dan lemak. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dimetabolisme untuk menimbulkan
energi. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu bertugas
memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah hormon yang dikeluarkan sel beta di
pankreas3. Dalam keadaan normal, insulin cukup sensitif, insulin akan ditangkap oleh
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan otot, kemudian membuka pintu masuk sel
sehingga glukosa dapat masuk sel, sehingga dapat dimetabolisme untuk menghasilkan energi.
Akibatnya kadar glukosa dalam darah menjadi normal (gambar 1)3.
Pankreas merupakan kelenjar yang berbentuk seperti pulau, sehingga disebut pulau-
pulau Langerhans yang berisi sel beta yang dapat mengeluarkan hormon insulin yang sangat
penting untuk mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas mengandung 100.000 pulau
Langerhans dan tiap pulai berisi 100 sel beta. Selain itu terdapat pula sel Alfa yang
memproduksi glucagon yang berlawanan kerjanya dengan insulin yaitu meningkatkan kadar
gula darah. Selain itu, juga terdapat sel delta yang menghasilkan somatostatin3.
Mekanisme pelepasan insulin dari sel beta pankreas normal, jumlahnya tergantung
level glukosa darah. Insulin ditampung dalam vakuola sebelum pelepasannya dicetuskan oleh
peningkatan gula darah. Insulin adalah hormon utama yang meregulasi pengambilan glukosa
darah ke hampir semua sel tubuh (terutama otot dan jaringan lemak, tapi tidak pada sel-sel
saraf pusat). Kekurangan insulin atau berkurangnya sensivitas reseptor sel terhadap insulin
berperan pada semua bentuk diabetes mellitus4.
Insulin dibutuhkan oleh 2/3 sel-sel tubuh untuk menyerap glukosa dari dalam darah.
Insulin berikatan dengan reseptornya di dinding luar sel dan berperan seperti kunci untuk
membuka pintu masuk ke dalam sel bagi glukosa. Sebagian glukosa disimpan sebagai
cadangan energi dalam bentuk glikogen atau asam lemak. Saat produksi insulin tidak
mencukupi atau saat kunci insulin sulit membuka pintu sel, banyak glukosa akan tinggal
dalam darah dan tidak dapat masuk ke dalam sel, menyebabkan hiperglikemia. Kondisi ini
melebihi ambang batas reabsorbsi ginjal oleh tubulus proksimal, sehingga sebagian glukosa
terbuang bersama urin. Peningkatan osmolaritas urin menghambat reabsorbsi air oleh ginjal.
Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah urin yang berlebihan dan glukosuria4.
Tubuh mengatasi kondisi hiperglikemia dengan menyerap air dari dalam sel sehingga
kadar glukosa darah mengalami dilusi selanjutnya diekskresi melalui urin. Hal ini
menyebabkan rasa haus yang menetap dan produksi urin yang berlebihan. Pada saat yang
sama terjadi “puasa” sel terhadap glukosa dan memberi sinyal ke tubuh untuk mendapatkan
makanan yang lebih banyak sehingga pasien merasakan lapar yang berlebihan4.
Untuk mendapatkan energi sel menggunakan protein dan lemak. Penguraian protein
dan lemak menghasilkan kompleks asam yang disebut keton. Keton dapat diekskresi di urin.
Peningkatan keton di dalam darah dapat menyebabkan kondisi ketoasidosis yang bila tidak
ditangani menyebabkan koma dan kematian4.
1. Patogenesis DM tipe 1
Insulin pada DM tipe 1 menjadi tidak ada karena pada jenis ini terdapat reaksi autoimun.
Pada individu yang rentan terhadap DM tipe 1 terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang
akan meningkat kadarnya pada beberapa keadaan antara lain infeksi virus, diantaranya virus
coksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, sehingga timbul peradangan pada sel beta
(insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Yang diserang pada
insulitis hanya sel beta, sel alfa dan sel delta tetap utuh3.
2. Patogenesis DM tipe 2
Patogenesis DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan Hepatic
Glucose Production (HGP) dan penurunan fungsi sel beta yang akhirnya menuju ke
kerusakan sel beta3.
Pada stadium prediabetes (gambar 3) mula- mula timbul resistensi insulin yang kemudian
disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin agar kadar
glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi
mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar gula darah meningkat dan fungsi sel beta
menjadi turun. Saat itulah diagnosis DM ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin, suatu
keadaan yang menyerupai DM tipe 1. Dengan mengetahui mekanisme ini maka ADA pada
tahun 2008 menyebutkan bahwa “Type2 Diabetes Result from a progressive insulin secretory
defect on the backround of insulin resistance”3.
Penumpukan amyloid, Pada keadaan resistensi insulin kerja insulin dihambat sehingga
sel beta akan berusaha mengkompensasi dengan peningkatan sekresi insulin. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti peningkatan amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel
beta hingga menjadi jaringan amyloid yang akan mendesak sel beta itu sendiri hingga
akhirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans jadi berkurang. Pada DM tipe 2 jumlah sel
beta akan berkurang sampai 50-60 % dari normal3.
Resistensi Insulin
Penyebab resistensi Insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor
di bawah ini banyak berperan:
Obesitas
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Efek Inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel
beta meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta3.
III.4 DIAGNOSIS
2. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah yang baru satu kali tidak normal belum cukup kuat untuk menegakan diagnosis klinis
DM. Dalam hal ini perlu pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka tidak
normal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, atau kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dL pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral yang tidak normal.
3. Tes Toleransi Glukosa Oral, Memiliki kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/
dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan harus dengan standar WHO, dengan menggunakan
beban glukosa setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dL)6 (dikutip dari Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia 2011)5
III.5 Terapi
Prinsip pengobatan adalah memperbaiki kondisi metabolik sehingga penderita dapat hidup
normal. Penanganan DM mempunyai 2 pencapaian yaitu mempertahankan konsentrasi gula
darah pada rentang normal dan mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang6.
1. Perubahan pola makan dan olah raga ,erupakam pengobatan pertama pada banyak
penderita DM tipe 2, penurunan berat badan adalah faktor penting6.
2. Obat oral; umumnya terdiri dari 4 kelompok obat: sulfonylurea (tolbutamine,
glipizide, acetoheksimide, tolazemide, glyburide, glimepride, chlorpropamide), alpha
glucosidase inhibitor (acarbose), biguanide (metformin), dan thiozolidinedione
(trigitazone). Sulfonylureas bekerja menginduksi pankreas meningkatkan produksi
insulin; dapat menyebabkan hipoglikemia sampai 50 jam selama puasa. Metformin
menghambat glukoneogenesis, juga menghambat penyerapan glukosa usus, dan
meningkatkan sensifitas insulin perifer. Obat ini dapat menyebabkan asidosis laktat.
Acarbose menghambat pencernaan glukosa dan penyerapannya di usus. Triglitazone
memperbaiki kerja insulin di otot, lemak dan liver tanpa meningkatkan sekresinya.
Obat ini dapat meningkatkan volume intravaskuler6.
III.6 KOMPLIKASI
Tabel 1. Komplikasi Kronis pada Diabetes Mellitus (Gary R. Stier, et.al., 2004)
Komplikasi Keterangan
Metabolik
Poliuria, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesemia, faal lekosit yang
menurun dengan peningkatan risiko infeksi.
Hiperglikemia
Aterosklerosis
Stiff-joint syndrome
BAB IV
ANESTESI PADA PENDERITA DIABTES MELLITUS
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri). 1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4
% pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah.Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan
yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus
difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik.Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang.Hipoaldosteronisme yang
hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang
adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan
penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula
yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan
pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya.Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi.Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes.
Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang
disebabkan oleh mikroangiopari progresif.Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein.'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff
joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
Menejemen perioperatif memiliki tujuan utama mengurangi faktor risiko morbiditas dan
mortalitas, pemeliharaan status glikemik, pencegahan dan pengelolaan komplikasi akut
diabetes, dan pencegahan risiko perioperatif yang berhubungan dengan komplikasi kronis
diabetes. Pada penderita dengan hiperglikemia perioperatif, risiko morbiditas dapat ditekan
dengan pengendalian kadar glukosa darah walaupun diagnosis diabetes belum dapat
ditegakkan. Adanya korelasi kadar gula darah dengan pemulihan neurologik. Beberapa
penelitian membuktikan hipotesis bahwa hiperglikemia menyebab-kan iskemia otak global
sehingga memperlambat pulih sadar (John, A.D, MD, et.al., 2008).
Pada penderita yang telah mendapatkan insulin intermediate acting dan long acting,
penatalaksanaan perioperatif bertujuan mencegah terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia
menyebabkan kerusakan otak ireversibel. Pemberian larutan glukosa baik secara terpisah atau
sediaan GIK bertujuan mencegah terjadinya hipoglikemia. Kondisi hipoglikemia memberikan
manifestasi klinis pada susunan saraf pusat dan otonom.
Secara umum pengelolaan perioperatif pasien dengan DM dapat dilihat seperti bagan berikut
ini : Tabel 4. Diagram pengelolaan perioperatif pasien Diabetes Mellitus (Lois L Bready et
al,2007)
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien DM yang akan menjalani pembedahan kita
bedakan menjadi emergency surgery dan elective surgery. Pasien yang direncanakan
menjalani emergency surgery kita lihat kadar gulanya apakah hipoglikemi,normoglikemi atau
hiperglikemi. Pasien dengan hipoglikemi atau hiperglikemi harus segera kita koreksi untuk
mencapai kadar gula darah normal. Begitu juga komplikasi akut yang bisa terjadi pada pasien
dengan hiperglikemi seperti Ketoasidosis diabetik dan Koma hiperosmolar non ketotik harus
secepatnya ditangani. Jenis pembedahan pada pasien DM dibedakan menjadi tiga yaitu ;
Minor surgery,Moderate surgery dan Mayor surgery.Minor surgery adalah pembedahan yang
lamanya < 30 menit,Moderate surgery antara 30-120 menit dan Mayor surgery jika lama
pembedahan > 120 menit.
Pemilihan teknik anestesi disesuaikan dengan jenis operasi dan kondisi pasien dimana
dapat digunakan regional anestesi, intra vena sedasi atau anestesi umum.Yang perlu
diperhatikan adalah komplikasi potensial post anestesi seperti ;
hipoglikemi,hiperglikemi,silent miokard infark,peripheral nerve injury,infeksi& poor
healing,vascular trombosis dan edema serebri (Lois L Bready et al,2007)
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2
sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol
metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk
penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin
subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin
normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70
kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari
250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!,
dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan
kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk
mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein,
dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting
yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal
dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama.Berikut ini salah
satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:
Secara ringkas maka perlu diadakan suatu pendekatan lebih sistematis untuk menilai keadaan
klinis penderita.
Dalam penatalaksanaan perioperatif pasien dengan DM perlu beberapa hal yang harus
diantisipasi diantaranya seperti terlihat dalam tabel dibawah ini :
ACE inhibitor/ARB
Hambatan
Pemeriksaan ketat
penyembu- han luka
terhadap luka operasi
Penurunan tonus • Hindari obat-obat tertentu (seperti
Neuropati otonom
kand- ung kemih antikolinergik)
Kurangi pemakaian analgestik opioid
secara ketat
• Perlindungan terha-
nefrotoksik
• Pembatasan intake
Table 6. Rekomendasi American Diabetes Association untuk Target Konsentrasi Gula Darah
pada Pasien Rawat Inap (Rothenberg et.al., 2005)
Pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) harus dihentikan pada saat penderita dipuasakan
untuk mencegah efek hipoglikemia residual. Jenis dan durasi aksi OHO menjadi
pertimbangan mengenai saat penghentian pemberiannya. Efek hipoglikemia residual dapat
diatasi dengan pemberian infuse dextrosa 5 % seperlunya. Sebagai pengganti OHO, penderita
mulai dikelola dengan insulin untuk menentukan dosis insulin sesuai dengan kondisi
euglikemiknya. 11
Pasien sebaiknya dijadwalkan operasi pagi hari . Pagi hari sebelum operasi diambil
contoh darah untuk mengetahui baseline data glukosa darah puasa, setelah itu pasang infus
dengan cairan yang mengandung glukosa, sebaiknya tidak menggunakan cairan yang
mengandung RL. Tentukan dosis maksimal insulin pada hari pembedahan yaitu 2/3 dari dosis
yang biasa diberikan, kemudian 1/3 dosis maksimal tersebut diberikan subcutan pagi hari
setelah infus terpasang, dan 2/3 nya direncanakan diberikan pasca bedah dengan dua kali
pemberian sampai keesokan harinya. Sebelum pemberian insulin berikutnya dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah dahulu, dan pemantauan sebaiknya setiap 3 jam pasca
operasi.
Hasil pemeriksaan glukosa darah untuk penyesuaian dosis insulin, dalam hal ini untuk
menghindari hipoglikemia, dengan menggunakan tehnik sliding scale sebagai berikut (Siti
Chasnak ,2000;AskandarT,2000) :
Monitor kadar glukosa harus dilanjutkan pada periode paska bedah. Pada pembe-dahan
sehari, regimen OHO segera dilanjutkan sesudah penderita diperbolehkan diit oral.
Pengecualian adalah pada prosedur yang berhubungan dengan pemakaian radiokontras
iodine, OHO golongan biguanide baru dapat diberikan setelah 72 jam dan kreatinin serum
normal. (Morgan et.al., 2006)
Pada pembedahan mayor yang mengharuskan penderita belum diperbolehkan diit oral atas
indikasi tertentu, maka infus karbohidrat masih dipertahankan untuk mencegah hipoglikemia
dan ketosis. (Dagogo-Jack et.al., 2002)
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berubahnya homeostasis
glukosa disebabkan definisensi insulin mutlak ataupun relatif. DM bermanifes sebagai
kumpulan gejala yang ditandai adanya hiperglikemi yang menetap dengan kelainan metabolik
yang bercirikan defisiensi insulin.
Penanganan anestesi pada penderita DM yang akan menjalani pembedahan telah dimulai dari
pra operasi, berlanjut sampai durante dan pasca operasi. Tujuan persiapan perioperatif untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas, dengan pengendalian metabolisme dan kadar gula
darah, menghindari hipoglikemia dan hiperglikemia yang berlebihan selama pembedahan,
serta menghilangkan/ mengurangi gangguan cairan dan elektrolit. Komplikasi akut pada DM
adalah ketoasidosis diabetik dan sindroma hiperglikemik hiperosmolar, penundaan
pembedahan yang bertujuan stabilisasi status metabolik merupakan prioritas utama.
Pertimbangan mengenai obat anestesi dan teknik anestesi pada DM ditentukan oleh kondisi
metabolik, jenis pembedahan dan faktor keterampilan ahli anestesi.Pada anestesi umum perlu
diperhatikan hal-hal yang dapat menjadikan penyulit pada waktu dilakukan intubasi seperti
adanya Stiff Joint Syndrome dan gastroparesis. Dengan melakukan persiapan yang
komprehensif maka diharapkan penanganan anesthesia pada pasien dengan DM dapat
menghasilkan outcome yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in
A Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in
Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan
Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen,
Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes
Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991:
147- 50