Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ANESTESI PADA
DIABETES MELLITUS

DOSEN PEMBIMBING :

dr. Raden Doddy Timboel, M.Biomed, Sp.An.

DISUSUN OLEH :

Hillery Briliani Octarina


1765050275

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 20 JANUARI 2020 – 22 FEBRUARI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2020
BAB II
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyebab tersering dalam golongan penyakit metabolik.
Klasifikasi terbaru oleh American Diabetes Association (ADA) dan World Health
Organization (WHO) yaitu, Type 1 (Dikenal sebagai insulin dependen diabetes mellitus-
IDDM) dimediasi oleh faktor imun dan berkembang menjadi defisiensi insulin absolut , Tipe
2 ( Dikenal sebagai Non- Insulin Dependent Diabetes Melitus-NIDDM) adalah penyakit yang
muncul pada saat dewasa dan dihubungkan dengan resistensi insulin. Tipe 3, bentuk spesifik
lainnya dari diabetes mellitus, meliputi berbagai defek genetik dari fungsi sel beta dan kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, dan diabetes yang muncul karena obat
tertentu. Tipe 4 adalah diabetes gestasional1.

Pasien diabetes yang akan menjalani pembedahan memiliki peningkatan mortalitas dan
sangat beresiko untuk terjadinya komplikasi pasca operasi. Komplikasi terkait penyembuhan
luka terjadi pada pasien diabetes dengan kadar gula tidak terkontrol1. Sehingga penting bagi
ahli anestesi untuk mengetahui perubahan-perubahan fisiologis pasien DM yang akan
menjalani pembedahan serta manajemen perioperatif pasien DM.
BAB III
TINAJUAN PUSTAKA

III.1 DEFINISI

DM adalah sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang disebabkan oleh peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif yang dilatar belakangi
resistensi insulin. Menurut ADA 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya2.

Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.3

ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas batas
ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126
mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis
bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau
tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.4

III.2 KLASIFIKASI1 5789


Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
 Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya
retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda.Defisiensi
insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka
sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
memerlukan insulinsebagaipengobatannyadancenderunguntukmengalami
ketoasidosisjika insulindihentikan pemberiannya.
 Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami
ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup
dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.

III.3 PATOFISIOLOGI

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru untuk mengganti sel yang rusak, Tubuh
juga memerlukan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi yang diperlukan oleh tubuh
berasal dari bahan makanan sehari-hari yang terdiri dari: karbohidrat, protein (asam amino),
dan lemak. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dimetabolisme untuk menimbulkan
energi. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu bertugas
memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah hormon yang dikeluarkan sel beta di
pankreas3. Dalam keadaan normal, insulin cukup sensitif, insulin akan ditangkap oleh
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan otot, kemudian membuka pintu masuk sel
sehingga glukosa dapat masuk sel, sehingga dapat dimetabolisme untuk menghasilkan energi.
Akibatnya kadar glukosa dalam darah menjadi normal (gambar 1)3.

Gambar 1. Proses Insulin normal3


Pada DM dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulin
yang tidak baik (resistensi insulin), meskipun terdapat insulin dan reseptor, pintu masuk sel
tidak dapat terbuka sehingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk dimetabolisme karena
kelainan di dalam sel itu sendiri. Akibatnya glukosa tetap berada diluar sel sehingga kadar
glukosa dalam darah meningkat (gambar 2)3.

Gambar 2. DM tipe 2, resistensi Insulin3

Pankreas merupakan kelenjar yang berbentuk seperti pulau, sehingga disebut pulau-
pulau Langerhans yang berisi sel beta yang dapat mengeluarkan hormon insulin yang sangat
penting untuk mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas mengandung 100.000 pulau
Langerhans dan tiap pulai berisi 100 sel beta. Selain itu terdapat pula sel Alfa yang
memproduksi glucagon yang berlawanan kerjanya dengan insulin yaitu meningkatkan kadar
gula darah. Selain itu, juga terdapat sel delta yang menghasilkan somatostatin3.

Mekanisme pelepasan insulin dari sel beta pankreas normal, jumlahnya tergantung
level glukosa darah. Insulin ditampung dalam vakuola sebelum pelepasannya dicetuskan oleh
peningkatan gula darah. Insulin adalah hormon utama yang meregulasi pengambilan glukosa
darah ke hampir semua sel tubuh (terutama otot dan jaringan lemak, tapi tidak pada sel-sel
saraf pusat). Kekurangan insulin atau berkurangnya sensivitas reseptor sel terhadap insulin
berperan pada semua bentuk diabetes mellitus4.

Karbohidrat dalam makanan dirubah dalam beberapa jam menjadi glukosa


monosakarida yang dibutuhkan sel sebagai bahan bakar. Beberapa karbohidrat tidak
dikonversi, contohnya fruktosa juga dapat digunakan sel dan tidak dipengaruhi hormon
insulin. Karbohidrat selulosa tidak dikonversi menjadi glukosa dan tidak dapat dicerna oleh
manusia dan sebagian besar hewan4.

Insulin dibutuhkan oleh 2/3 sel-sel tubuh untuk menyerap glukosa dari dalam darah.
Insulin berikatan dengan reseptornya di dinding luar sel dan berperan seperti kunci untuk
membuka pintu masuk ke dalam sel bagi glukosa. Sebagian glukosa disimpan sebagai
cadangan energi dalam bentuk glikogen atau asam lemak. Saat produksi insulin tidak
mencukupi atau saat kunci insulin sulit membuka pintu sel, banyak glukosa akan tinggal
dalam darah dan tidak dapat masuk ke dalam sel, menyebabkan hiperglikemia. Kondisi ini
melebihi ambang batas reabsorbsi ginjal oleh tubulus proksimal, sehingga sebagian glukosa
terbuang bersama urin. Peningkatan osmolaritas urin menghambat reabsorbsi air oleh ginjal.
Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah urin yang berlebihan dan glukosuria4.

Tubuh mengatasi kondisi hiperglikemia dengan menyerap air dari dalam sel sehingga
kadar glukosa darah mengalami dilusi selanjutnya diekskresi melalui urin. Hal ini
menyebabkan rasa haus yang menetap dan produksi urin yang berlebihan. Pada saat yang
sama terjadi “puasa” sel terhadap glukosa dan memberi sinyal ke tubuh untuk mendapatkan
makanan yang lebih banyak sehingga pasien merasakan lapar yang berlebihan4.

Untuk mendapatkan energi sel menggunakan protein dan lemak. Penguraian protein
dan lemak menghasilkan kompleks asam yang disebut keton. Keton dapat diekskresi di urin.
Peningkatan keton di dalam darah dapat menyebabkan kondisi ketoasidosis yang bila tidak
ditangani menyebabkan koma dan kematian4.

1. Patogenesis DM tipe 1
Insulin pada DM tipe 1 menjadi tidak ada karena pada jenis ini terdapat reaksi autoimun.
Pada individu yang rentan terhadap DM tipe 1 terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang
akan meningkat kadarnya pada beberapa keadaan antara lain infeksi virus, diantaranya virus
coksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, sehingga timbul peradangan pada sel beta
(insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Yang diserang pada
insulitis hanya sel beta, sel alfa dan sel delta tetap utuh3.

2. Patogenesis DM tipe 2
Patogenesis DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan Hepatic
Glucose Production (HGP) dan penurunan fungsi sel beta yang akhirnya menuju ke
kerusakan sel beta3.

Gambar 3. Grafik penurunan fungsi sel Beta3.

Pada stadium prediabetes (gambar 3) mula- mula timbul resistensi insulin yang kemudian
disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin agar kadar
glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi
mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar gula darah meningkat dan fungsi sel beta
menjadi turun. Saat itulah diagnosis DM ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin, suatu
keadaan yang menyerupai DM tipe 1. Dengan mengetahui mekanisme ini maka ADA pada
tahun 2008 menyebutkan bahwa “Type2 Diabetes Result from a progressive insulin secretory
defect on the backround of insulin resistance”3.

Etiologi kegagalan Fungsi Sel Beta pada DM tipe 2


Gambar 4. Etiologi kegagalan fungsi sel Beta3

Glukotoksisitas, Kadar gula darah yang berlangsung lama akan menyebabkan


peningkatan stres oksidatif, IL-1 dan NF-kB dengan peningkatan apoptosis sel beta3.
Lipotoksisitas, Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolysis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksis
terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis3.

Penumpukan amyloid, Pada keadaan resistensi insulin kerja insulin dihambat sehingga
sel beta akan berusaha mengkompensasi dengan peningkatan sekresi insulin. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti peningkatan amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel
beta hingga menjadi jaringan amyloid yang akan mendesak sel beta itu sendiri hingga
akhirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans jadi berkurang. Pada DM tipe 2 jumlah sel
beta akan berkurang sampai 50-60 % dari normal3.

Resistensi Insulin
Penyebab resistensi Insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor
di bawah ini banyak berperan:

 Obesitas
 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

 Kurang Gerak badan

 Faktor keturunan (herediter)

Efek Inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel
beta meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta3.
III.4 DIAGNOSIS

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila keluhan khas DM berupa


poliuria, polidipsi, polifagi, lemah dan penurunan BB yang tidak jelas penyebabnya. Keluhan
lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia
pada pasien pria serta pruritus vulva pada pasien wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan
melalui tiga cara2:
1. Jika ditemukan keluhan tersebut dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dL
sudah cukup untuk menegakan diagnosis DM.

2. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah yang baru satu kali tidak normal belum cukup kuat untuk menegakan diagnosis klinis
DM. Dalam hal ini perlu pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka tidak
normal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, atau kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dL pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral yang tidak normal.

3. Tes Toleransi Glukosa Oral, Memiliki kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/
dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan harus dengan standar WHO, dengan menggunakan
beban glukosa setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis

DM (mg/dL)6 (dikutip dari Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia 2011)5

III.5 Terapi
Prinsip pengobatan adalah memperbaiki kondisi metabolik sehingga penderita dapat hidup
normal. Penanganan DM mempunyai 2 pencapaian yaitu mempertahankan konsentrasi gula
darah pada rentang normal dan mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang6.

1. Perubahan pola makan dan olah raga ,erupakam pengobatan pertama pada banyak
penderita DM tipe 2, penurunan berat badan adalah faktor penting6.
2. Obat oral; umumnya terdiri dari 4 kelompok obat: sulfonylurea (tolbutamine,
glipizide, acetoheksimide, tolazemide, glyburide, glimepride, chlorpropamide), alpha
glucosidase inhibitor (acarbose), biguanide (metformin), dan thiozolidinedione
(trigitazone). Sulfonylureas bekerja menginduksi pankreas meningkatkan produksi
insulin; dapat menyebabkan hipoglikemia sampai 50 jam selama puasa. Metformin
menghambat glukoneogenesis, juga menghambat penyerapan glukosa usus, dan
meningkatkan sensifitas insulin perifer. Obat ini dapat menyebabkan asidosis laktat.
Acarbose menghambat pencernaan glukosa dan penyerapannya di usus. Triglitazone
memperbaiki kerja insulin di otot, lemak dan liver tanpa meningkatkan sekresinya.
Obat ini dapat meningkatkan volume intravaskuler6.

3. Insulin; pasien DM tipe 1 membutuhkan insulin setiap harinya untuk penggunaan


glukosa, pasien DM tipe 2 dapat menggunakan insulin bila gula darah tidak dapat
dikontrol dengan pengaturan makanan dan obat oral. Injeksi diberikan subkutan
dengan menggunakan jarum dan syringe kecil. Insulin dapat diberikan kontinyu
secara intravena di rumah sakit dengan indikasi: puasa memanjang (> 12 jam) pada
DM tipe 1, penyakit kritis, sebelum operasi mayor, setelah transplantasi organ,
ketoasidosis DM, nutrisi parenteral total, proses kelahiran, infark miokard dan lain
sebagainya7. Sesuai dengan bioavailabilitasnya, insulin dapat dibagi menjadi 3
kelompok yaitu kerja singkat, sedang dan panjang sebagaimana tabel 3.
Tabel 3. Jenis Insulin7

III.6 KOMPLIKASI

Tabel 1. Komplikasi Kronis pada Diabetes Mellitus (Gary R. Stier, et.al., 2004)

Komplikasi Keterangan
Metabolik
Poliuria, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesemia, faal lekosit yang
menurun dengan peningkatan risiko infeksi.
Hiperglikemia
Aterosklerosis

Penyakit makrovaskuler Risiko penyakit jantung meningkat 5 kali lipat


pada DMT II. Risiko akan bertambah seiring dengan adanya obesitas,
Penyakit jantung koroner Penyakit hipertensi, hiperlipidemia dan hiperglikemia. Pada DMT I dan II kecen-
pembuluh darah perifer derungan untuk risiko kardiovaskuler dan serebrovaskuler meningkat 2-3
kali lipat. Risiko penyakit pembuluh darah perifer mencapai 8-12 kali lipat.
Penyakit Penderita diabetes juga cenderung menderita ”silent myocardial
infarction” dan menjadi penyebab terjadinya ”sudden death” perioperatif.
serebrovaskuler Penyakit mikrovaskuler
Disfungsi endotelial
Neurologik

Neuropati sensorik perifer Disfungsi


otonom
Ulkus diabetik, infeksi, dan peningkatan insidensi henti kardio-respirasi
perioperatif. Gastroparesis ditemukan pada 50 % diabetes yang disertai
Gangguan pengosongan lambung hipertensi lama.
(gastroparesis atau early satiety)
Hipotensi ortostatik Takikardi istirahat
(resting tachycardia) Penurunan
variabilitas irama jantung Anhidrosis
Insufisiensi renal kronis; merupakan nefropati yang didapatkan pada 30-
Renal
40 % penderita DMT I dan 10 % DMT II. Mikroproteinuria ditemukan pada
stadium awal nefropati dengan hipertensi sebagai akibat dari kelainan
Nefropati diabetika Hipertensi
ginjal tersebut.
Mikroaneurisma ditemukan pada 90 % penderita diabetes yang
Mikroangiopati
memerlukan insulin dalam 20 tahun perjalanan penyakitnya. Retinopati
proliferativa pada lebih dari 60 % populasi dalam 40 tahun. Adanya
Retinopati
peningkatan insidensi katarak.
Penyakit kolagen

Berhubungan dengan DMT I dengan ditandai oleh immobilitas


(pada persendian)
persendian (termasuk sendi atlanta- oksipital) dan “waxy skin”.

Stiff-joint syndrome

BAB IV
ANESTESI PADA PENDERITA DIABTES MELLITUS

IV.1 FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal.Masalah yang dapat muncul
adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis.Suatu penelitian menunjukkan 11
% pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia.Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah
4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian
menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas
sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik

3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah


perifer)

4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri). 1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4
% pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah.Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan
yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration
rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus
difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik.Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang.Hipoaldosteronisme yang
hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang
adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan
penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula
yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan
pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya.Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi.Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes.
Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang
disebabkan oleh mikroangiopari progresif.Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein.'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff
joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

IV.2 MANAJEMEN PERIOPERATIF

Menejemen perioperatif memiliki tujuan utama mengurangi faktor risiko morbiditas dan
mortalitas, pemeliharaan status glikemik, pencegahan dan pengelolaan komplikasi akut
diabetes, dan pencegahan risiko perioperatif yang berhubungan dengan komplikasi kronis
diabetes. Pada penderita dengan hiperglikemia perioperatif, risiko morbiditas dapat ditekan
dengan pengendalian kadar glukosa darah walaupun diagnosis diabetes belum dapat
ditegakkan. Adanya korelasi kadar gula darah dengan pemulihan neurologik. Beberapa
penelitian membuktikan hipotesis bahwa hiperglikemia menyebab-kan iskemia otak global
sehingga memperlambat pulih sadar (John, A.D, MD, et.al., 2008).

Pada penderita yang telah mendapatkan insulin intermediate acting dan long acting,
penatalaksanaan perioperatif bertujuan mencegah terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia
menyebabkan kerusakan otak ireversibel. Pemberian larutan glukosa baik secara terpisah atau
sediaan GIK bertujuan mencegah terjadinya hipoglikemia. Kondisi hipoglikemia memberikan
manifestasi klinis pada susunan saraf pusat dan otonom.

Secara umum pengelolaan perioperatif pasien dengan DM dapat dilihat seperti bagan berikut
ini : Tabel 4. Diagram pengelolaan perioperatif pasien Diabetes Mellitus (Lois L Bready et
al,2007)
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien DM yang akan menjalani pembedahan kita
bedakan menjadi emergency surgery dan elective surgery. Pasien yang direncanakan
menjalani emergency surgery kita lihat kadar gulanya apakah hipoglikemi,normoglikemi atau
hiperglikemi. Pasien dengan hipoglikemi atau hiperglikemi harus segera kita koreksi untuk
mencapai kadar gula darah normal. Begitu juga komplikasi akut yang bisa terjadi pada pasien
dengan hiperglikemi seperti Ketoasidosis diabetik dan Koma hiperosmolar non ketotik harus
secepatnya ditangani. Jenis pembedahan pada pasien DM dibedakan menjadi tiga yaitu ;
Minor surgery,Moderate surgery dan Mayor surgery.Minor surgery adalah pembedahan yang
lamanya < 30 menit,Moderate surgery antara 30-120 menit dan Mayor surgery jika lama
pembedahan > 120 menit.

Pemilihan teknik anestesi disesuaikan dengan jenis operasi dan kondisi pasien dimana
dapat digunakan regional anestesi, intra vena sedasi atau anestesi umum.Yang perlu
diperhatikan adalah komplikasi potensial post anestesi seperti ;
hipoglikemi,hiperglikemi,silent miokard infark,peripheral nerve injury,infeksi& poor
healing,vascular trombosis dan edema serebri (Lois L Bready et al,2007)

IV.3 KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF


Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme
katabolik dan ketoasidosis.

3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya


membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya.Apakah terapi insulin
perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti
diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.
Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula
darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%

3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2
sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol
metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk
penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin
subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin
normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70
kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari
250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!,
dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan
kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk
mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein,
dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

 Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM

Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1 ml/kg/jam)


NPH insulin (1/2 dosis biasa Regular insulin Unit/jam =
pagi hari) (NPH=neutral Glukosa plasma : 150
protamine Hagedorn)

Intraoperattf Regular insulin Sama dengan preoperatif


(berdasarkan sliding scale)

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena


dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl).Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada
orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat
bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan
katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat
dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat
ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1
unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi
fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus
Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)


Unit perjam = ————————————
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam = ————————————
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin


menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang
seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra
vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di
bawah ini :

Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin


darah

4,4 ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV


4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 m/jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting
yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal
dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama.Berikut ini salah
satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:

Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)


IV.4 PENILAIAN PRABEDAH

Setelah penderita terdiagnosis sebagai penderita DM maka diperlukan penilaian dan


persiapan pra bedah agar dicapai kondisi yang optimal untuk dilakukan suatu tindakan
anestesi- pembedahan. Salah satu yang dinilai adalah bahwa pada seorang penderita DM
diberlakukan penilaian umur fungsional yaitu umur kronologis ditambah dengan lamanya
orang tersebut menderita DM (Sarodja,1999). Karena ada kemungkinan penyakit pembuluh
darah yang menyeluruh, baik makroangiopati maupun mikroangiopati dimana proses
makroangiopati melibatkan proses aterosklerosis dengan manifestasi penyakit jantung
koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu
adanya disfungsi endotel yaitu suatu ketidakseimbangan antara faktor relaksasi dan faktor
konstraksi vaskuler, antara antikoagulasi dan prokoagulasi, faktor proliferasi dan
menghambat proliferasi(Sarodja,1999). Dimana hal tersebut akan meningkatkan mortalitas
dan morbiditas anestesi-pembedahan. Seperti kita ketahui bahwa pembuluh darah penderita
diabetes jauh lebih tua dibandingkan dengan penderita non DM dari umur kronologis yang
sama. Pemeriksaan meliputi keadaan sirkulasi/jantung, faal ginjal, keseimbangan elektrolit
dan keadaan metabolik disamping pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan
kemungkinan adanya infeksi, keadaan asidosis, bagaimana regulasinya dll, sehingga pasien
dalam keadaan stabil/optimal (Siti Chasnak S,2000).

Secara ringkas maka perlu diadakan suatu pendekatan lebih sistematis untuk menilai keadaan
klinis penderita.

1. Menentukan tipe diabetesnya


2. Penilaian beratnya penyakit ( DM )

o * Umur dan onset DM

o * Pengobatan yang sedang dijalani/ diperlukan ( diet, OAD, Insulin )

o * Adanya kondisi yang menunjukkan ketidakstabilan DM, misalnya ketosis,


hipoglikemi berulang karena insulin.

o * Masalah metabolik lainnya.


o * Komplikasi-komplikasi target/ end organ misalnya polineuropati, nefropati,
penyulit jantung atau penyulit pembuluh darah perifer.

Dalam penatalaksanaan perioperatif pasien dengan DM perlu beberapa hal yang harus
diantisipasi diantaranya seperti terlihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 5. Strategi klinis dalam penatalaksanaan perioperatif komplikasi DM

(Rothenberg, et.al., 2005 )

Komplikasi Strategi pengelo- laan dan pertimbangan


Komplikasi diabetes
potensial klinis
 Hindari faktor presipitasi iskemia
miokard

 Pemberian obat antagonis reseptor b


adrenergik

Penyakit pembuluh  Pengendalian gula darah secara ketat


Infark mio- kard
darah (at- erosklerosis)
 Pengendalian kadar lipid darah

 Aspirin (antiplatelet therapy)

 Pengendalian teka- nan darah (<130/80


mmHg) bila tidak ada kontraindikasi
 pemberian obat antagonis reseptor b
adre-nergik

 ACE inhibitor/ARB

Stroke  Pengendalian gula darah secara ketat

 Pemberian obat anti-agregasi trombosit


sesuai kebutuhan

 Pengendalian kadar lipid darah


Ulserasi ekstremitas • Hndari penekanan pada daerah ulkus dan
Neuropati perifer
bawah daerah berpo- tensi ulserasi.
Peningka- tan risiko • Pengendalian gula darah secara ketat
infeksi
• Vaksinasi (influenza, pneumococcal)
 Pengendalian gula darah secara ketat

Hambatan
 Pemeriksaan ketat
penyembu- han luka
terhadap luka operasi
Penurunan tonus • Hindari obat-obat tertentu (seperti
Neuropati otonom
kand- ung kemih antikolinergik)
 Kurangi pemakaian analgestik opioid

 Pemberian diet ber- tahap paska bedah


Gastropa- resis
 Pemberian
obat prokinetik (metooclopra-mide)

• Hindari hipotensi • Kontrol gula darah

secara ketat
• Perlindungan terha-

dap zat kontras


Nefropati Insufisiensi ginjal • ACE inhibitor / ARB • Hindari obat-
obatan

nefrotoksik
• Pembatasan intake

protein sampai 0.8 g/kg/hari


 Pencahayaan ruang yang cukup

Limited vi- sual  Kontrol gula darah secara optimal


Retinopati acuity for ambula-
 Kontrol tekanan darah secara op- timal
tion

 Perlindungan mata durante bedah


Susunan Saraf Pusat Disorientasi /  Orientasi waktu dan tempat
delirium
 Kurangi obat- obatan yang me-
nyebabkan delirium

Table 6. Rekomendasi American Diabetes Association untuk Target Konsentrasi Gula Darah
pada Pasien Rawat Inap (Rothenberg et.al., 2005)

Target kadar glu- kosa


Populasi Pasien Alasan
darah
Pembedahan Puasa: 90- 126 mg/dL Outcome yang lebih baik dan kejadian infeksi
umum Random: <180 mg/ dL paska bedah yang lebih rendah
Pembedahan Penurunan mortalitas dan risiko infeksi pada
<150 mg/ dL
jantung luka insisi sternum

Penurunan mortali- tas, morbiditas dan


Critically ill 80-110 mg/ dL
lamanya perawatan (length of stay)
Kelainan Peningkatan mor- talitas apabila kadar gula
<110 mg/ dL
neurologik akut darah sewaktu masuk >110 mg/dL

Pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) harus dihentikan pada saat penderita dipuasakan
untuk mencegah efek hipoglikemia residual. Jenis dan durasi aksi OHO menjadi
pertimbangan mengenai saat penghentian pemberiannya. Efek hipoglikemia residual dapat
diatasi dengan pemberian infuse dextrosa 5 % seperlunya. Sebagai pengganti OHO, penderita
mulai dikelola dengan insulin untuk menentukan dosis insulin sesuai dengan kondisi
euglikemiknya. 11

Pasien sebaiknya dijadwalkan operasi pagi hari . Pagi hari sebelum operasi diambil
contoh darah untuk mengetahui baseline data glukosa darah puasa, setelah itu pasang infus
dengan cairan yang mengandung glukosa, sebaiknya tidak menggunakan cairan yang
mengandung RL. Tentukan dosis maksimal insulin pada hari pembedahan yaitu 2/3 dari dosis
yang biasa diberikan, kemudian 1/3 dosis maksimal tersebut diberikan subcutan pagi hari
setelah infus terpasang, dan 2/3 nya direncanakan diberikan pasca bedah dengan dua kali
pemberian sampai keesokan harinya. Sebelum pemberian insulin berikutnya dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah dahulu, dan pemantauan sebaiknya setiap 3 jam pasca
operasi.
Hasil pemeriksaan glukosa darah untuk penyesuaian dosis insulin, dalam hal ini untuk
menghindari hipoglikemia, dengan menggunakan tehnik sliding scale sebagai berikut (Siti
Chasnak ,2000;AskandarT,2000) :

Untuk monitoring terjadinya ketoasidosis dilakukan dengan pemeriksaan sederhana yaitu


dengan pemeriksaan analisa gas darah dengan menilai CO2 serum ( total CO2 content ) :

CO 2 > 20 mEq/L diklasifikasikan sebagai ketonuria CO 2 20 - 10 mEq/L diklasifikasikan


sebagai ketoasidosis
CO 2 < 10 mEq/L diklasifikasikan sebagai koma asidosis.

IV.5 EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME


Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah
karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena
resistensi insulin.Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah
tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi
peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan
sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula
darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein.Respon tersebut dipacu tidak hanya
oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon
termasuk growth hormon dan prolaktin.Efek pembiusan pada respon tersebut sangat
bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap
pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi
(fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum
mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi
tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

IV.6 PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM


Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status
diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.Obat-obat
induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat
steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien
diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika
digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara
kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa
menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis
sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada
pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |
pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak
nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7,10
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien diabetik menunjukkan
penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.Meskipun hal W tidak
relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya
sebagai obat induksi.Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol
untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan
mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.10
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak
berefek pada metabolisme karbohidrat.Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,
teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi.
Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan
tindakan operasi.11,12

IV.7 TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM


Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, dan blokade regional yang
lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan
sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien
non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh
anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-
adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan
penekanan sekresi insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum
memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal
mortalitas dan komplikasi mayor.Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih
besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.Hipotensi yang dalam dapat terjadi
dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan
retinovaskular.Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes.Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal
dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural
dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal
dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik
dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

IV.8 PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan
pasien sudah boleh makan.Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian
subkutan insulin kerja pendek.Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus
diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu
tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan
sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca
bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus
dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada
pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark
miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada
perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard.14, 15

IV.9 PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT


Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan
yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis.Dalam keadaan
seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam.Waktu yang sangat
terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan
etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwasebelum pembedahan diJakukan.
Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun
koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam
beberapa jam. Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah.
Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000
cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang
mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit
dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan
mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila
penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar gula
darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan elektrolit.
Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun
pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan
bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu
cepat tidak dianjurkan.12,13

IV.10 MANAJEMEN PASKA OPERATIF

Monitor kadar glukosa harus dilanjutkan pada periode paska bedah. Pada pembe-dahan
sehari, regimen OHO segera dilanjutkan sesudah penderita diperbolehkan diit oral.
Pengecualian adalah pada prosedur yang berhubungan dengan pemakaian radiokontras
iodine, OHO golongan biguanide baru dapat diberikan setelah 72 jam dan kreatinin serum
normal. (Morgan et.al., 2006)
Pada pembedahan mayor yang mengharuskan penderita belum diperbolehkan diit oral atas
indikasi tertentu, maka infus karbohidrat masih dipertahankan untuk mencegah hipoglikemia
dan ketosis. (Dagogo-Jack et.al., 2002)
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes Mellitus adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berubahnya homeostasis
glukosa disebabkan definisensi insulin mutlak ataupun relatif. DM bermanifes sebagai
kumpulan gejala yang ditandai adanya hiperglikemi yang menetap dengan kelainan metabolik
yang bercirikan defisiensi insulin.

Penanganan anestesi pada penderita DM yang akan menjalani pembedahan telah dimulai dari
pra operasi, berlanjut sampai durante dan pasca operasi. Tujuan persiapan perioperatif untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas, dengan pengendalian metabolisme dan kadar gula
darah, menghindari hipoglikemia dan hiperglikemia yang berlebihan selama pembedahan,
serta menghilangkan/ mengurangi gangguan cairan dan elektrolit. Komplikasi akut pada DM
adalah ketoasidosis diabetik dan sindroma hiperglikemik hiperosmolar, penundaan
pembedahan yang bertujuan stabilisasi status metabolik merupakan prioritas utama.

Pertimbangan mengenai obat anestesi dan teknik anestesi pada DM ditentukan oleh kondisi
metabolik, jenis pembedahan dan faktor keterampilan ahli anestesi.Pada anestesi umum perlu
diperhatikan hal-hal yang dapat menjadikan penyulit pada waktu dilakukan intubasi seperti
adanya Stiff Joint Syndrome dan gastroparesis. Dengan melakukan persiapan yang
komprehensif maka diharapkan penanganan anesthesia pada pasien dengan DM dapat
menghasilkan outcome yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in
A Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.

3. Askandar T., 2000, Diabetes Mellitus Anestesi- Operasi (Patofisioligo Organ)


Kumpulan Makalah Kongres Nasional III IDSAI, Jakarta, Hal. 219-228

4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common


Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.

5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.


Anesthesia, 4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.

6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.


Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.

7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients


with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.

8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.

9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa


Offset, Bandung, 1991: 36-106.

10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.

11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB


Saunders, 1994: 185-209.

12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in
Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan
Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.

14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen,
Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.

15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes
Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991:
147- 50

Anda mungkin juga menyukai