Anda di halaman 1dari 8

Kasus 2

Ayat Jurnal Penutup atas suatu transaksi


Keterangan Transaksi Debit Kredit
Pendapatan Penjualan Rp 22.550.400
Ikhtisar Laba/Rugi Rp 22.550.400
(Menutup Pendapatan)

Ikhtisar Laba/Rugi Rp 17.161.100


Retur dan Potongan Penjualan Rp 800.000
Diskon Penjualan Rp 2.350.600
Harga Pokok Penjualan Rp 8.210.000
Freight Out Rp 300.500
Beban Sewa Rp 1.000.000
Beban Gaji dan Upah Rp 4.500.000
(Menutup Beban-Beban)

Ikhtisar Laba Rugi Rp 5.989.300


Modal Usaha Rp 5.989.300
(Menutup Ikhtisar Laba Rugi)

Rp 45.700.800 Rp 45.700.800

Kasus 3
Berdasarkan analisis tentang kasus PT Garuda Inonesia Tbk. yang kami lakukan, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut. Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah perusahaan penerbangan
komersial pertama di Indonesia yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia atau BUMN. PT.
Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah berkembang cukup pesat dengan memiliki 196 pesawat di
Januari 2017 dengan lebih dari 600 penerbangan setiap harinya. Namun ternyata PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk memiliki sisi gelapnya sendiri. Pada tanggal 28 Juni 2019, PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk resmi dinyatakan bersalah dan dikenakan sanksi oleh beberapa lembaga
seperti Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bursa Efek Indonesia (BEI)
atas kecurangan pengakuan pendapatan pada laporan keuangan di tahun 2018.

1. Kronologi Terjadinya Kasus PT Garuda Indonesia Tbk.


Menurut laporan CNN Indonesia, kronologi pengungkapan skandal pelaporan keuangan
Garuda Indonesia bermula dari laporan laba tahun 2018 yang disampaikan ke Bursa Efek
Indonesia (BEI). Dalam laporan keuangannya, perusahaan berkode GIAA ini berhasil
meraih laba bersih sebesar $809.000, berbeda dengan tahun 2017 yang merugi sebesar
$216,58 juta. Perkembangan ini cukup mengejutkan, karena pada kuartal ketiga 2018
perseroan masih merugi sebesar $114,08 juta. Selain itu, pada akhir April lalu, PT
Garuda Indonesia Tbk menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di
Jakarta. Salah satu agenda rapat ini adalah pengesahan laporan keuangan tahun 2018,
namun RUPS tetap ricuh. Kedua komisaris, Presiden Tanjung dan Dony Oskaria,
mewakili PT Trans Airways, menyatakan ketidaksetujuannya dan tidak mau
menandatangani laporan keuangan tersebut. Presiden meminta agar keberatan tersebut
dibacakan dengan lantang dalam rapat umum, namun mosi tersebut tidak diterima karena
keputusan ketua rapat. Hasil RUPST tersebut akhirnya mengesahkan laporan keuangan
Garuda Indonesia tahun 2018. Sehari setelah viralnya kabar penolakan laporan keuangan
dua komisaris itu, saham perusahaan ticker GIAA itu anjlok 4,4 persen pada akhir sesi
perdagangan pertama, Kamis (25/4). Harga saham Garuda Indonesia turun menjadi Rp
478 per saham dari sebelumnya Rp 500. Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan
akan menugaskan manajemen Garuda Indonesia karena perbedaan pendapat antara
komisaris dan manajemen terkait laporan keuangan tahun 2018. Selain pengelolaan
perseroan, otoritas pengawas pasar modal juga menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP)
Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan sebagai auditor perseroan. Panggilan
dijadwalkan untuk Selasa (30 April).
2. Bentuk-bentuk kelalaian dalam kasus PT Garuda Indonesia
OJK yang diwakili Deputi Komisioner Bidang Kehumasan dan Manajemen Strategis
Anto Prabowo mengumumkan bahwa PT Garuda Indonesia Tbk. 8 Tahun 1995 (UU PM)
jis. Peraturan Bapepam dan LK No VIII.G.7 tentang Penyajian dan Publikasi Laporan
Keuangan Emiten dan Perusahaan Publik, Interpretasi Standar Akuntansi (ISAK) 8, yang
menyangkut penentuan apakah suatu kontrak mengandung sewa, dan Standar Akuntansi (
PSAK) 30 untuk kontrak sewa. Trans Airways menilai kesepakatan Mahata senilai
$239,94 juta terlalu signifikan dan memengaruhi neraca Garuda Indonesia. Jika nilai
nominal kerjasama tidak termasuk dalam pendapatan, perusahaan masih merugi $244,96
juta. Selain itu, catatan ini menambah beban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)
Pribadi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung Garuda Indonesia. Padahal,
pungutan ini tidak menjadi kewajiban, karena pembayaran yang diterima dari kerja sama
dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan.
 Auditor yang bertanggung jawab tidak menilai dengan tepat isi transaksi untuk
akuntansi piutang usaha dan pendapatan lain. Pasalnya, AP ini sudah mengajukan
klaim penghasilan meski secara nominal belum diterima perusahaan.
 Auditor tidak dapat menggunakan fakta setelah tanggal neraca sebagai dasar pelaporan
keuangan yang bertentangan dengan SA 560.
 Auditor tidak memperoleh bukti audit yang cukup untuk mengevaluasi akuntansi
sesuai dengan persyaratan perjanjian pembelian. Ini dikenal sebagai pelanggaran SA
500
3. Dampak dari Terjadinya Kasus PT Garuda Indonesia Tbk.
 Harga saham Garuda Indonesia turun menjadi Rp 478/saham dari sebelumnya Rp
500/saham. Saham perseroan turun menjadi Rp 466 per saham atau kurang dari satu
persen pada akhir perdagangan hari ini hingga Selasa (30/4).
 OJK menjatuhkan sanksi administratif kepada PT Garuda Indonesia Tbk berupa
denda sebesar Rp100 juta. Atas pelanggaran Peraturan OJK No. 29/POJK.04/2016
tentang laporan tahunan emiten atau perusahaan saham gabungan.
 Selain itu, setiap pengurus PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk didenda Rp 100 juta
karena melanggar Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.11 tentang tanggung jawab
pengurus atas pelaporan keuangan.
 Bursa Efek Indonesia (BEI) secara resmi memberikan sanksi kepada PT Garuda
Indonesia Tbk (GIAA) karena persyaratan akuntansi perusahaan yang memicu
kontroversi. Beberapa sanksi yang dikenakan antara lain denda sebesar Rp250 juta
dan koreksi atau perbaikan laporan keuangan perseroan paling lambat 26 Juli 2019.
 Mengenakan Sanksi Administratif Berupa Pembekuan Surat Tanda Terdaftar (STTD)
selama satu tahun kepada Sdr. Kasner Sirumapea (Rekan pada KAP Tanubrata,
Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan (Member of BDO International Limited)) dengan
STTD Nomor: 335/PM/STTD-AP/2003 tanggal 27 Juni 2003 yang telah diperbaharui
dengan surat STTD Nomor: STTD.AP-010/PM.223/2019 tanggal 18 Januari 2019,
selaku Auditor yang melakukan audit LKT PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk per 31
Desember 2018 atas pelanggaran Pasal 66 UU PM jis.

Berdasarkan pendapatan tersebut, PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk dinyatakan


melanggar Peraturan OJK No. 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau
Badan Usaha Publik dan menghadapi sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 100
juta. Juga seluruh pengurus PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk juga dikenakan sanksi
administratif sebesar Rp. 100 juta karena melanggar Peraturan Bapepam No. VIII.G.11
tentang tanggung jawab direksi atas pelaporan keuangan. Sanksi administratif juga
dikenakan secara bersama-sama sebesar Rp. 100 juta kepada seluruh pengurus dan
pengurus PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. yang menandatangani laporan tahunan
PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. atas pelanggaran Peraturan OJK No.
29/POJK.004/2016 tentang laporan tahunan emiten atau perusahaan publik periode tahun
2018.

Refrensi :
https://ekbis.sindonews.com/berita/1416850/34/rekayasa-laporan-keuangan-direksi-garuda-
diminta-mundur
Pratiwi, Hesti Rika. 2019. Kronologi Kisruh Laporan Keuangan Garuda
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190430174733-92390927//kronologi-kisruh-laporan-
keuangan-garuda-indonesia
Kemenkeu (2019), Ini Putusan Kasus Laporan Keuangan Tahunan PT Garuda Indonesia 2018,
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-putusan-kasus-laporan-keuangan-tahunan-pt-
garuda-indonesia-2018/
Kasus 4
Perhitungan dan Interpretasi Hasil atas Nilai pada Laporan Keuangan Perusahaan
a. Current Ratio
Current Ratio = Aset Lancar / Kewajiban Lancar
Current Ratio 2021 = Rp 75.844.914 / Rp 20.699.189 = 3,66 kali
Current Ratio 2020 = Rp 52.722.739 / Rp 12.560.486 = 4,20 kali
Interpretasi:
- Pada periode 2021, perusahaan memiliki 3,7 kali lebih banyak dari aset lancar yang
dibutuhkan perusahaan untuk menutupi kewajiban lancarnya.
- Pada periode 2020, perusahaan memiliki 4,2 kali lebih banyak dari aset lancar yang
dibutuhkan perusahaan untuk menutupi kewajiban lancarnya.
b. Inventory Turnover
Inventory Turnover = Harga Pokok Penjualan / Persediaan
Inventory Turnover 2021 = Rp 55.315.371 / Rp 11.438.307 = 4,84 kali
Inventory Turnover 2020 = Rp 42.604.646 / Rp 9.192.776 = 4,63 kali
Interpretasi:
- Pengembalian persediaan perusahaan pada tahun 2021 adalah 4,8 kali. Rata-rata
perputaran persediaan adalah 2,5. Jadi, setiap 2,5 bulan perusahaan akan mempersiapkan
persediaan baru dan siap untuk dijual kembali.
- Pengembalian persediaan perusahaan pada tahun 2020 adalah 4,6 kali. Rata-rata
perputaran persediaan adalah 2,6. Jadi, setiap 2,6 bulan perusahaan akan mempersiapkan
persediaan baru dan siap untuk dijual kembali.
c. Working Capital
Working Capital = Total Aset / Total Kewajiban
Working Capital 2021 = Rp 142.278.111 / Rp 23.202.601 = 6,13 kali
Working Capital 2020 = Rp 108.427.991 / Rp 14.280.192 = 7,59 kali
Interpretasi:
- Pada tahun 2021, nilai aset perusahaan 6,1 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk
menutup utang perusahaan.
- Pada tahun 2020, nilai aset perusahaan 7,6 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk
menutup utang perusahaan.
d. Debt Ratio
Debt Ratio = Total Kewajiban / Total Aset
Debt Ratio 2021 = Rp 23.202.601 / Rp 142.278.111 = 0,163 atau 16,3%
Debt Ratio 2020 = Rp 14.280.192 / Rp 108.427.991 = 0,132 atau 13,2%
Interpretasi:
- Pada periode 2021, 16,3% dari total aset perusahaan dibiayai oleh utang dan sisanya
sebesar 83,7% berasal dari modal pemegang saham.
- Pada periode 2020, 13,2% dari total aset perusahaan dibiayai oleh utang dan sisanya
sebesar 86,8% berasal dari modal pemegang saham.
e. Debt to Equity Ratio
Debt to Equity Ratio = Total Kewajiban / Total Ekuitas
Debt to Equity Ratio 2021 = Rp 23.202.601 / Rp 119.075.510 = 0,195 atau 19,5%
Debt to Equity Ratio 2020 = Rp 14.280.192 / Rp 94.147.799 = 0,152 atau 15,2%
Interpretasi:
- Utang perusahaan pada periode 2021 melebihi 19,5% atau 0,19 kali dari modal yang
dimiliki perusahaan.
- Utang perusahaan pada periode 2020 melebihi 15,2% atau 0,15 kali dari modal yang
dimiliki perusahaan.
f. Total Asset Turnover
Total Asset Turnover = Pendapatan atau Penjualan / Total Aset
Total Asset Turnover 2021 = Rp 123.276.791 / Rp 142.278.111 = 0,866 kali
Total Asset Turnover 2020 = Rp 94.231.572 / Rp 108.427.991 = 0,869 kali
Interpretasi:
- Pada tahun 2021, perusahaan memiliki nilai rasio total aset sebesar 0,87 kali. Hal ini
mengindikasikan bahwa setiap Rupiah yang diinvestasikan untuk menghasilkan total
aset perusahaan akan menghasilkan return atau pendapatan sebanyak 0,87 kali lipat.
- Pada tahun 2020, perusahaan memiliki nilai rasio total aset sebesar 0,87 kali. Hal ini
mengindikasikan bahwa setiap Rupiah yang diinvestasikan untuk menghasilkan total
aset perusahaan akan menghasilkan return atau pendapatan sebanyak 0,87 kali lipat.
g. Operating Income Margin
Operating Income Margin = (EBIT / Pendapatan atau Penjualan) x 100%
Operating Income Margin 2021 = (Rp 24.539.615 / Rp 123.276.791) x 100% = 19,91%
Operating Income Margin 2020 = (Rp 15.079.215 / Rp 94.231.572) x 100% = 16,00%
Interpretasi:
- Perusahaan mampu memperoleh laba operasi sebanyak 20% dari total penjualan yang
dihasilkan perusahaan pada periode 2021.
- Perusahaan mampu memperoleh laba operasi sebanyak 16% dari total penjualan yang
dihasilkan perusahaan pada periode 2020.
h. Gross Profit Margin
Gross Profit Margin = ((Penjualan – Harga Pokok Penjualan) / Penjualan) x 100%
Gross Profit Margin 2021 = (Rp 67.961.420 / Rp 123.276.791) x 100% = 55,13%
Gross Profit Margin 2020 = (Rp 51.626.926 / Rp 94.231.572) x 100% = 54,79%
Interpretasi:
- Perusahaan mampu menghasilkan 55% laba kotor dari total penjualan yang diperoleh
pada tahun 2021.
- Perusahaan mampu menghasilkan 55% laba kotor dari total penjualan yang diperoleh
pada tahun 2020.
i. Degree of Financial Leverage
Degree of Financial Leverage = EBIT / (EBIT - Biaya Bunga)
Degree of Financial Leverage 2021 = Rp 24.539.615 / Rp 44.335.294 = 0,55%
Degree of Financial Leverage 2020 = Rp 15.079.215 / Rp 32.988.211 = 0,46%
Interpretasi:
- Setiap perubahan 1% dari total biaya perusahaan pada periode tahun 2021 maka akan
berpengaruh pada 0,55% pendapatan perusahaan.
- Setiap perubahan 1% dari total biaya perusahaan pada periode tahun 2020 maka akan
berpengaruh pada 0,46% pendapatan perusahaan.

j. Operating Cash Flow to Total Debt


Operating Cash Flow to Total Debt = (Arus Kas Operasi / Total Kewajiban) x 100%
Operating Cash Flow to Total Debt 2021 = (Rp 38.281.468 / Rp 23.202.601) x 100% =
165%
Jangka Waktu Periode 2021 = 1 / 165% = 0,61 tahun
Operating Cash Flow to Total Debt 2020 = (Rp 25.709.998 / Rp 14.280.192) x 100% =
180%
Jangka Waktu Periode 2020 = 1 / 180% = 0,56 tahun
Interpretasi:
- Utang perusahaan pada tahun 2021 akan dapat dilunasi menggunakan uang kas dalam
jangka waktu 0,61 tahun atau 7,3 bulan.
- Utang perusahaan pada tahun 2020 akan dapat dilunasi menggunakan uang kas dalam
jangka waktu 0,56 tahun atau 6,7 bulan.

Anda mungkin juga menyukai