Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 3

REVIEW JURNAL

Dosen Pengampu : Ella Saparianti STP, MP

Kelas D/Keamanan Pangan dan Toksikologi

Disusun oleh:

1. Sekar Nabila Anggriana 205100100111018


2. Nurul Hilma 205100100111020
3. Aulia Fikri Alhafizh 205100100111054
4. Silvia Febry Prawesti 205100100111065
5. Rifda Balqis Salsabila 205100101111005

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan


Departemen Ilmu Pangan dan Bioteknologi
Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya
2023
REVIEW JURNAL
Jurnal 1 (The Sources of Chemical Contaminants in Food and Their Health Implication)
Kontaminasi adalah indikasi adanya bahan kimia yang seharusnya tidak ada atau ada
namun dalam jumlah yang dianggap aman. Sumber kontaminasi bervariasi mulai dari saat panen
hingga sampai pada tangan konsumen. Kontaminasi pada pangan merupakan hal yang tidak
menguntungkan karena dapat menimbulkan implikasi serius terhadap kesehatan. Diketahui
berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS tahun 2013, sebanyak
11.000 infeksi yang terjadi disebabkan oleh kontaminasi dalam pangan. Penyakit akibat
kontaminasi ini diantaranya, gastroenteritis ringan hingga sindrom hati, ginjal, dan neurologis
yang fatal. Sehingga, jurnal ini akan membahas alasan dan jenis kontaminan kimia dalam
pangan.
Makanan merupakan kebutuhan harian yang berperan penting dalam menunjang
kesehatan manusia. Akan tetapi, makanan yang terkontaminasi menjadi kekhawatiran karena
dapat menyebabkan penyakit tertentu hingga kematian. Alasan adanya kontaminasi pada pangan
atau makanan adalah rantai proses penyiapan pangan mulai dari asal bahan baku hingga sampai
pada tangan konsumen. Saat panen bahan baku baik tanah dan adanya cemaran pada saat
penanaman menjadi sumber kontaminan awal hingga saat proses panen (sanitasi buruk). Selain
itu, adanya proses pencampuran bahan-bahan kimia secara sengaja untuk memperpanjang umur
simpan juga menjadi penyebab adanya kontaminan dalam bahan pangan. Faktor lainnya adalah
faktor lingkungan sekitar yang tidak bersih serta bahan baku pangan yang memang mengandung
kontaminasi berupa bakteri yang tinggi.
Jenis pencemar dari lingkungan yang menjadi penyebab berbagai penyakit adalah
kotoran dari hewan dan manusia. Kontaminan ini dapat berasal dari air, udara maupun tanah.
Sedangkan, jenis pencemar kontaminan bahan kimia adalah dari kemasan yang digunakan yang
mana dapat terjadi migrasi zat berbahaya pada pangan yang dikonsumsi. Jenis zat-zat aditif yang
tidak disetujui atau keliru dapat menjadi penyebab adanya zat berbahaya dalam pangan.
Kontaminan secara alami berada pada pangan mentah (hewan). Hal ini disebabkan oleh
lingkungan yang tercemar (parasit menempel pada hewan mentah), pakan yang tercampur
dengan bahan kimia, maupun akibat dari hubungan dari simbiosis antara organisme dengan
parasit. Kontaminan yang terbawa ini menjadi penyebab terjadinya infeksi dan wabah bawaan
bagi makanan.
Selain secara alami, kontaminasi juga hadir selama proses produksi, pengolahan,
penyimpanan, serta penyiapan langsung. Selama transportasi bahan baku maupun saat telah
menjadi produk pangan, memungkinkan adanya kontaminasi dari udara (asap, bensin, serta
kontaminasi silang dari kendaraan yang digunakan). Selain itu, wadah yang tidak bersih atau
memadai serta adanya residu setelah proses pembersihan wadah untuk meletakkan pangan juga
menjadi sumber kontaminan. Sedangkan selama proses produksi, penggunaan suhu yang tinggi
dengan perpaduan penggunaan bahan atau senyawa tertentu dapat menyebabkan terbentuknya
senyawa toksik. Penggunaan wadah selama proses pengolahan juga mampu menjadi sumber
komponen kimia yang tidak diinginkan berada pada pangan. Hal ini tentunya berdampak secara
langsung maupun tidak langsung pada kesehatan. Penggunaan kemasan memang memberi
banyak keuntungan, akan tetapi kemasan juga dapat menjadi perantara kontaminan pada
pangan. Fenomena perpindahan zat-zat berbahaya dari kemasan ini disebut dengan migrasi.
Penggunaan kaleng dapat menyebabkan migrasi ion logam ke pangan. Untuk mencegahnya
maka dilakukan pelapisan dengan resin epoksi. Selama penyimpanan, terdapat beberapa bahan
pangan yang dapat menghasilkan senyawa toksin dengan kondisi tertentu. Seperti, kentang yang
tidak boleh terpapar sinar matahari langsung karena akan mengeluarkan solanin yang sifatnya
beracun. Selain itu, makanan yang mengandung lemak tinggi rentan terhadap kontaminasi bau.
Kontaminasi yang paling dasar terjadi pada suatu pangan adalah faktor lingkungan yang
tercemar. Tanaman adalah makhluk hidup yang sangat mudah menyerap zat-zat disekitarnya. Zat
beracun pada tanah, logam berat karena kegiatan industri, serta zat berbahaya karena
penggunaan pestisida dapat menyebabkan pangan terkontaminasi. Pestisida merupakan bahan
kimia yang dapat mencemari sumber makanan mentah dan dapat menimbulkan ancaman yang
serius. Selain itu, serupa dengan pestisida terdapat residu obat hewan ternak yang mungkin saja
tertinggal di dalam daging dan mengancam individu melalui paparan residu, transfer resistensi
antibiotik, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, terdapat pencemaran kimia dalam air minum yang berisiko terhadap
kehidupan manusia hingga kehidupan laut dan organisme lain yang mengonsumsi air tersebut.
Sumber kontaminan ini beragam, diantaranya berasal dari pembuangan industri dan okta, formasi
geologi alami, limpasan perkotaan dan pedesaan, proses pengolahan air minum, dan bahan
distribusi air. Beberapa logam berat yang bersumber dari tanah, seperti nikel, merkuri, tembaga,
kromium, dan lainnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik bersifat non karsinogenik
hingga karsinogenik. Selain itu, terdapat senyawa kimia seperti arsenik, aluminium, timbal,
fluorida, produk samping disinfektan, radon, dan pestisida yang berdampak terhadap kesehatan
seperti penyakit saraf, kardiovaskular, hingga kanker.
Implikasi kesehatan dari kontaminasi makanan, dimana makanan yang terkontaminasi
bahan kimia akan menjadi dampak serius bagi kesehatan manusia, mulai dari efek jangka pendek
hingga jangka panjang. Mengkonsumsi makanan menjadi salah satu sumber paparan logam
melalui makanan yang kita konsumsi. Logam berat akan menguras nutrisi dalam tubuh dan
menurunkan pertahanan imun, merusak saraf, menghambat pertumbuhan, dan lainnya. Selain itu,
logam berat dalam tubuh berkaitan dengan malnutrisi dan meningkatkan angka penyakit
gastrointestinal. Selain itu, paparan bahan kimia pada tahap perkembangan janin dapat
menyebabkan cedera otak, kecacatan seumur hidup, serta pada dosis tertentu dapat
mempengaruhi fungsi otak orang dewasa.
Paparan individu terhadap kontaminasi makanan, dimana makanan merupakan jalur
utama terhadap paparan kontaminan yang masuk ke dalam tubuh. Kontaminasi makanan hampir
ada di setiap bahan makanan termasuk buah, sayur, unggas, daging, produk dairy, dan lainnya.
Tidak menutup kemungkinan dalam satu makanan terdapat lima atau lebih residu kimia yang
persisten. Tindakan pencegahan untuk mengendalikan kontaminasi pada makanan diatur dalam
undang-undang tentang kadar bahan kimia dalam makanan. FDA menetapkan batas bahan kimia
yang diperbolehkan dalam makanan, salah satunya konsentrasi maksimum pestisida. Namun,
masih terdapat beberapa kesalahan dan keteledoran akan peraturan pangan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang sehingga diperlukan kesadaran individu akan pentingnya
menjaga makanan agar terhindar dari zat-zat berbahaya yang akan berdampak buruk bagi
kesehatan tubuh.
Kesimpulan yang dapat diambil dari jurnal …. Adalah kontaminasi senyawa kimia pada
makanan merupakan hal serius yang berpotensi bahaya bagi kesehatan, dimana kontaminasi
makanan dapat terjadi melalui toksin alami dan faktor lingkungan yang terjadi selama proses
produksi, pengemasan, penyiapan, penyimpanan, dan pengangkutan makanan sebelum
dipasarkan. Seiring dengan perkembangan teknologi, kontaminan yang ada pada makanan dapat
dideteksi dengan mudah tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Adanya bahaya yang
diakibatkan dari kontaminan ini menyebabkan pemerintah mengambil langkah serius untuk
meminimalkan potensi outbreak atau penyakit yang dapat timbul bagi masyarakat maupun
lingkungan sekitar. Namun, terlepas dari hal tersebut, sebagai manusia kita harus mengambil
peran dalam menjaga kesehatan baik untuk tubuh maupun lingkungan akibat paparan zat
kontaminan itu sendiri.

JURNAL 2 (Toxicants Formed during Food Processing)


Perkembangan teknologi pengolahan makanan seperti frying, toasting, roasting,
evaporation, smoking, sterilization, pasteurization, irradiation, pickling, freezing, dan canning
meningkatkan persediaan makanan di era modern. Memasak adalah salah satu metode penting
dalam pengolahan makanan. Memasak meningkatkan kelezatan (misalnya, rasa, penampilan,
tekstur) dan stabilitas makanan dimana dapat meningkatkan daya cerna. Memasak juga dapat
membunuh mikroorganisme beracun dan menonaktifkan zat beracun seperti inhibitor enzim.
Dalam proses pengolahan makanan terjadi perubahan kimia komponen makanan
termasuk asam amino, protein, gula, karbohidrat, vitamin, dan lipid. Efek perubahan kimia
tersebut adalah pengurangan nilai gizi dan pembentukan beberapa toksin seperti PAH (polisiklik
aromatik hidrokarbon), asam amino pirolisat, dan N-nitrosamin. Di antara banyak reaksi kimia
yang terjadi pada makanan olahan, reaksi Maillard memainkan peran paling penting dalam
pembentukan berbagai jenis toksin.
Selama proses pengolahan makanan sering terjadi penambahan bahan asing ke dalam
makanan. Meskipun sebagian besar pabrik makanan modern telah direkayasa untuk menghindari
terjadinya kontaminasi makanan bahkan hingga kontaminasi tingkat rendah namun untuk sulit
dihilangkan sama sekali. Oleh karena itu, telah banyak dilaporkan contoh kontaminasi tidak
sengaja pada makanan akibat senyawa beracun (toksin).
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah iradiasi gamma yang paling sering digunakan
pada makanan. Energi elektromagnetik yang digunakan seharusnya mampu membunuh berbagai
macam mikroorganisme di makanan. Namun, ternyata masih jauh di bawah kisaran yang
diperlukan untuk menghasilkan radioaktivitas dalam bahan target. Berikut penjelasan lebih jelas
mengenai toksin yang terbentuk selama pengolahan makanan.
1. PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon)
- Pembentukan PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon)
PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) terdapat secara luas di lingkungan. Mereka
ditemukan di air, tanah, debu, dan banyak makanan. Bahaya PAH adalah dapat
memberikan efek karsinogenik. Pembentukan PAH pada makanan biasa terjadi di minyak
nabati akibat produksi endogen. Pada sayuran, PAH terbentuk dari pencemaran
lingkungan akibat kadar zat tersebut menurun dengan peningkatan jarak dari pusat
industri dan jalan bebas hambatan. Pada margarin dan mayonaise, PAH terbentuk akibat
kontaminasi minyak dalam proses pembuatan produk tersebut. Selain itu, PAH juga
terbentuk di tanah sampai pada tingkatan yang tinggi bahkan di daerah yang jauh dengan
pusat-pusat industri. Ketika memanggang makanan, PAH juga dapat terbentuk akibat
karbohidrat dalam makanan dengan suhu tinggi tanpa adanya oksigen. Memanggang
daging di atas arang memungkinkan lemak yang meleleh bersentuhan dengan
permukaan yang sangat panas sehingga PAH terbentuk pada reaksi selanjutnya.
- Benzo[a]pirena (BP) PAH yang bersifat karsinogenik yang paling umum dikenal adalah
benzo[a]pirena (BP). Benzo[a]pirena tersebar luas di berbagai makanan. Benzo[a]pirena
dapat terbentuk pada tingkat 0,7 dan 17 ppb pada 37°-39°C dan 65°C. Memanggang roti
dengan suhu kurang lebih 40°C dan penggorengan lemak dengan suhu 40°–60° C dapat
menghasilkan PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) termasuk Benzo[a]pirena
a. Toksisitas benzo[a]pirena Benzo[a]pirena telah menjalani pengujian karsinogenik
ekstensif. Dan dibuktikan termasuk jenis karsinogen yang dapat kontak cukup
kuat. Benzo[a]pirena telah diujikan pada mencit selama 140 hari dengan kadar 25
ppm dihasilkan bahwa mencit menderita penyakit leukemia dan adenoma
paru-paru sebagai tambahan tumor perut. Benzo[a]pirena juga bersifat
karsinogenik bila diberikan secara oral.
b. Mode tindakan beracun benzo[a]pirena Mekanisme biokimia benzo[a]pirena yang
memicu kanker telah dipelajari secara rinci. Benzo[a]pyrene tidak bersifat
mutagenik dan karsinogenik dengan sendirinya, tetapi harus terlebih dahulu
diubah menjadi metabolit aktif. Konversi metabolik ini awalnya melibatkan
sitokrom P450-oksidasi termediasi yang menghasilkan 7,8-epoksida dan
7,8-epoksida. Selanjutnya, terjadi hidrasi yang dimediasi epoksida hidrolase
sehingga menghasilkan 7,8 diol. 7,8 diol tersebut selanjutnya dioksidasi lebih
lanjut oleh sitokrom P450 sehingga menghasilkan diolepoksida yang sesuai.
Diolepoksida ini sangat mutagenik tanpa aktivasi metabolik dan juga sangat
karsinogenik di tempat pemberian. Benzo[a]pyrene diolepoksida dapat bereaksi
dengan berbagai komponen dalam sel, termasuk DNA sehingga memungkinkan
terjadi mutasi.
2. Produk Reaksi Maillard
Pada tahun 1912, ahli kimia Prancis L.C. Maillard membuat hipotesis mengenai reaksi
tersebut (Maillard). Reaksi Maillard menghasilkan pigmen coklat dan polimer akibat reaksi gugus
amino dari asam amino dan gugus karbonil dari gula. Namun, sebenarnya banyak bahan kimia
terbentuk dari reaksi ini selain pigmen coklat dan polimer. Hal ini terjadi karena berbagai macam
konstituen - campuran dari reaksi Maillard memiliki banyak perbedaan baik dari sifat kimia
maupun biologisnya. Sifat tersebut seperti warna coklat, karakteristik bau panggang atau berasap,
pro dan antioksidan, mutagen dan karsinogen atau mungkin anti-mutagen dan anti-karsinogen.
3. Asam Amino Pyrolysates
Prinsip-prinsip mutagenik dari pirolisat triptofan diidentifikasikan sebagai senyawa
heterosiklik yang mengandung nitrogen. Saat memasak makanan yang kaya protein terbentuk
sekelompok amina aromatik posiklik. Pada beberapa makanan kaya protein yang dimasak tingkat
mutagenik cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Terbentuknya zat mutagenik
serta tingginya aktivitas mutagenik dipengaruhi oleh tingkat pemanasan atau suhu yang
digunakan. Seperti pada sampel jenis kacang-kacangan, susu, keju, tahu dipanaskan
menggunakan suhu tinggi dan terlihat sangat gosong tingkat mutageniknya bersifat lemah,
sedangkan pada hamburger yang dimasak menggunakan suhu tinggi bersifat mutagenik pada
lapisan permukaan yang ditemukan mengandung pirolisat. Mutagen pada ikan yang dipanggang
berupa amina heterosiklik imidazoquinoline (IQ) dan methylimidazoquinoline (MelQx). Senyawa
ini juga ditemukan pada daging yang dimasak kemudian secara metabolik diubah menjadi
mutagen aktif oleh jaringan hati oleh beberapa spesies hewan dan manusia. Berdasarkan studi
mutagenisitas pada pirolisat pada pirolisat ini, karsinogenisitas tryptophan (Trp-P-1 dan Trp-P-2)
dan glutamin (Glu-P-1) yang diujikan pada hewan tikus, hamster dan mencit menghasilkan bahwa
pirolisat asam amino dan protein dapat bertindak sebagai karsinogen dalam saluran pencernaan
hewan coba. Saat ini sedang dilakukan penelitian apakah amina heterosiklik yang dihasilkan saat
memasak berbahaya bagi manusia.
4. N-Nitrosamin
A. Prekursor
1. Nitri dan Nitrat
Ion nitrit memiliki peran penting dalam pengawetan daging yaitu sebagai senyawa
antimikroba, memberikan warna merah yang menarik pada daging, serta memberikan rasa
“cured” pada daging. Peran nitrit sebagai senyawa antimikroba dengan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme Clostridium botulinum yang menghasilkan toksin botulisme. Nitrit
dapat memberi warna pada daging selama proses pengawetan dengan mereduksi pigmen
nitrosilmioglobin dan nitrosilhemoglobin menjadi oksida nitrat yang kemudian bereaksi dengan
mioglobin dan hemoglobin sehingga menghasilkan warna yang menarik pada daging. Kadar nitrit
yang diizinkan dalam makanan yang diawetkan bervariasi antar negara berkisar antara 10 - 200
ppm. Sebagian besar nitrit dihasilkan dari reduksi makanan yang mengandung nitrat oleh bakteri
dalam mulut dan usus. Nitrat ditemukan dalam makanan dengan kadar yang relatif tinggi berkisar
1000-3000 ppm pada sayuran seperti kubis, kembang kol, wortel, seledri dan bayam. Sebagian
besar nitrit yang tertelan berasal dari air liur yang diperkirakan menyumbang sebsar 8,6 mg dari
total asupan 11,2 mg dari makanan.
B. Occurrence
Nitrosasi amina sekunder dan tersier menghasilkan nitrosa yang stabil. Senyawa nitrosa
yang tidak stabil diproduksi oleh amina primer. Laju reaksi bergantung pada pH dimana dapat
bereaksi maksimum pada kisaran pH 3,4 dimana nitrosasi amina basa lemah lebih cepat
dibandingkan dengan amina basa kuat. Terdapat beberapa anion seperti halogen dan tiosianat
yang mendorong atau mempercepat proses nitrosasi, namun reaksi penghancuran ini dapat
terhambat dikarenakan adanya askorbat seperti vitamin E. reaksi nitrosasi juga terjadi selama
pemanasan makanan bersuhu tinggi, seperti pada daging asap yang mengandung nitrit dan
amina tertentu. Dietilnitrosamin (DEN) dan dimetilnitrosamin (DMN) terjadi pada cairan lambung
hewan percobaan dan manusia yang diberi makanan yang mengandung amina dan nitrit.
Berdasarkan pemberian nitrit pada ikan terlihat bahwa laju pembentukan nitrosamin bergantung
pada suhu preparasi setelah penambahan nitrit. Pada ikan yang didinginkan tidak mengandung
lebih sedikit nitrosamin dibandingkan dengan ikan segar yang diberi perlakuan nitrit, namun
perlakuan panas pada ikan meningkatkan laju pembentukan nitrosamin setelah penambahan
nitrit. Dengan demikian kadar nitrosamin pada ikan meningkat disebabkan oleh peningkatan
konsentrasi amina sekunder yang dihasilkan dari degradasi protein selama proses pemanasan.
Pada pemanasan makanan yang diberi nitrit juga dapat menghasilkan nitrosamin seperti pada
pengawetan daging yang telah mengalami pemanasan yang relatif tinggi. Kadar nitrosamin
mudah menguap pada campuran bumbu seperti yang digunakan dalam persiapan sosis yang
ditemukan sangat tinggi yang berasal dari campuran amina sekunder dengan pengawet yang
mengandung nitrit. Nitrosamin mudah menguap terbentuk secara spontan selama penyimpanan
sehingga dapat dicegah dengan menggabungkan rempah dan pengawet saat sebelum
digunakan. Pada bir ditemukan bahwa kandungan nitrosamin yang tinggi terdapat pada bir
diproduksi dari malt yang dikeringkan dengan api dibandingkan dengan pengeringan
menggunakan pengering udara. Pengeringan menggunakan api langsung terbukti memasukkan
nitrit kedalam campuran malt.
C. Toksisitas
Aktivitas karsinogenik dari lebih 100 zat makanan yang diuji terbukti bahwa sekitar 80%
bersifat karsinogenik pada satu spesies hewan. Dimetil dan diethylnitrosamine merupakan
kelompok karsinogen yang paling kuat. Pemberian diethylnitrosamine sebanyak 50 ppm pada
makanan dapat menyebabkan tumor ganas pada tikus dalam 26-24 minggu. Jika dosis
diethylnitrosamine dikurangi dibawah 0,5 mg/kg maka tumor akan berkurang. Dengan dosis 0,3
mg/kg waktu jeda 500 hari sedangkan untuk dosis 0,075 mg/kg jeda meningkat menjadi 830 hari.
Belum terdapat ambang batas dosis yang jelas untuk karsinogenisitas nitrosamin dalam
makanan.
D. Made of Toxin Action
Proses aktivasi nitrosamin maupun kelompok karsinogen kimiawi lainnya memerlukan
aktivasi metabolik untuk menjadikannya beracun dengan melibatkan enzim serta hidroksilasi
karbon. Nitrosamin bekerja spesifik pada organ tertentu dalam memberikan efek karsinogenik
seperti pada dimetil nitrosamin berupa karsinogenik yang aktif pada hati dan ginjal, benzil metil
nitrosamin yang spesifik pada kerongkongan. Janin sangat sensitif terhadap efek karsinogenik
seperti pada dosis ibu 2 mg/kg yang merupakan 2% dari dosis karsinogenik untuk orang dewasa.
Hal ini membuat N-nitrosomethylurea menyebabkan respon karsinogenik pada sistem saraf
keturunannya. Pada pH asam ion nitrit dapat diprotonasi membentuk asam nitrat. Ion halida dan
tiosianat yang terdapat dalam makanan dan cairan pencernaan dapat mengkatalisis
pembentukan N-nitroso pon.
E. General Considerations
Upaya untuk mengurangi pembentukan nitrosamin pada daging yang diawetkan dapat
dilakukan dengan menambahkan zat pereduksi seperti erythorbate atau ascorbate kedalam
campuran pengawet. Hal ini dapat mengurangi dan menghilangkan pembentukan nitrosamin
pada produk akhir. Risiko terhadap kesehatan manusia dari nitrit dan nitrosamin yang terkandung
dalam makanan yaitu dapat menyebabkan reduksi in vivo dari ion nitrat menjadi nitrit sehingga
menjadi sumber utama untuk dapat tertelan, jumlah nitrit yang tertelan menjadi lebih dari tiga kali
lipat pada daging yang diawetkan dalam makanan orang Amerika. Menjadi sumber paparan
nitrosamin dan senyawa nitro yang dapat diserap tubuh termasuk tembakau, obat-obatan dan
kosmetik.
5. Iradiasi Makanan
Radiasi gamma sering digunakan untuk iradiasi pada makanan. Sinar gamma merupakan
bentuk radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh elemen radioaktif seperti Cobalt-60 dan
Cesium-137 yang memancarkan radiasi energi hingga 10 juta elektron volt (MeV). Karena tidak
ada kontak langsung antara sumber dengan target atau makanan maka tidak ada mekanisme
yang menghasilkan radioaktivitas pada makanan tersebut. Radiasi pengion dapat mensterilkan
makanan, mengontrol mikroba pembusuk, mengontrol serangga, dan menghambat pertumbuhan
spora yang tidak diinginkan. Iradiasi berpotensi untuk mengurangi penggunaan pestisida
pascapanen untuk mencegah pembusukan akibat serangga dan jamur. Iradiasi dapat digunakan
untuk membunuh Salmonella pada kasus tidak memungkinnya dilakukan pemanasan seperti
pada ayam beku. Namun banyak pertentangan muncul dari penggunaan iradiasi dan radioaktif
maka makanan. Bahkan beberapa menyatakan bahwa energi yang digunakan dapat
menghasilkan radikal bebas yang dapat bergabung satu sama lain atau membentuk ikatan baru
dengan senyawa lain yang ada. Perlu diingat bahwa perlakuan panas yang biasa digunakan
dalam pengolahan makanan cenderung menghasilkan tingkat modifikasi kimiawi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan iradiasi.
JURNAL 3 (Food Processing and Maillard Reaction Products: Effect on Human Health and Nutrition)
Reaksi maillard atau yang seringkali dikenal dengan sebutan reaksi pencoklatan non
enzimatik merupakan reaksi yang terjadi antara asam amino dan gula pereduksi. Reaksi ini
diindikasikan oleh adanya warna coklat pada bahan makanan yang diproses dengan suhu tinggi.
Penggunaan suhu tinggi dapat menstimulasi adanya reaksi antara asam amino dari protein dan
juga gugus gula pereduksi yang menghasilkan senyawa akhir berupa melanoidin.
Secara lebih spesifik reaksi maillard terjadi dengan melalui 3 tahapan utama. Pada
tahapan pertama suhu yang tinggi akan memicu proses kondensasi gula dan asam amino.
Setelah terjadi kondensasi akan terdapat adisi amadori sehingga pada tahapan ini dihasilkan
produk berupa 1-amino-1-deoksi-2 ketosa. Tahap pertama yang berlangsung masih belum
menghasilkan warna apapun yang mengindikasikan adanya proses atau reaksi maillard. Tahapan
kedua merupakan proses yang meliputi dehidrasi dan juga fragmentasi. Kedua proses tersebut
terjadi [pada molekul gula. Tidak hanya itu asam amino juga akan ikut terdegradasi akibat
peningkatan suhu yang semakin tinggi. HMF (hidroximetilfurfural) dan piruvaldehida merupakan
produk hasil dari reaksi maillard tahapan kedua. Berbeda halnya dengan tahapan pertama yang
tidak menghasilkan warna apapun, pada tahapan ini akan terdapat 2 kemungkinan. Yakni
kemungkinan pertama adalah terbentuknya warna kekuningan dan kemungkinan kedua juga tidak
dihasilkan warna pada tahapan ini. Tahap ketiga atau tahap terakhir merupakan proses
kondensasi aldol. Adanya proses tersebut memicu pembentukan senyawa nitrogen yang sifatnya
heterosiklik. Senyawa tersebut adalah melanoidin dengan warna yang cenderung kecoklatan yang
mana menjadi produk akhir yang mengindikasikan adanya reaksi maillard pada bahan makanan
tertentu. Selain dapat menghasilkan warna coklat, senyawa melanoidin juga memberikan efek
aroma yang khas pada makanan. Sehingga sering dimanfaatkan dalam industri makanan untuk
menciptakan cita rasa tertentu.
Pada dasarnya senyawa melanoidin memiliki begitu banyak manfaat pada kesehatan.
Tepatnya melanoidin dapat berperan sebagai antioksidan dan juga antibiotik. Sayangnya, reaksi
maillard tidak hanya menghasilkan produk melanoidin saja. Reaksi maillard juga menghasilkan
produk sampingan lainnya yang dianggap berbahaya bagi kesehatan tubuh. Contohnya adalah
senyawa akrilamida yang dapat berperan sebagai karsinogenik dan juga CML (Carboxymethyl
lysine) yang meningkatkan resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Beberapa proses
pembentukan MRP (Maillard Reaction Product) terjadi pada pengolahan kedelai, pengolahan
susu, pemrosesan pasta, pengolahan daging, pengolahan biji kopi, dan pengolahan pada sayuran.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zilik dkk (2014) ditemukan bahwa pemanasan
dengan waktu yang singkat dengan menggunakan gelombang mikro akan dapat meningkatkan
kadar akrilamida. Dan sebaliknya pemanasan dengan metode serupa dengan rentang waktu
yang lebih lama yakni sekitar 3-5 menit akan menghasilkan kadar akrilamida yang jauh lebih
sedikit. Sedangkan pemrosesan kedelai dengan pemanasan inframerah menghasilkan hasil yang
justru berbanding terbalik dengan menggunakan gelombang mikro. Didapatkan bahwa
peningkatan waktu dan suhu akan dapat meningkatkan pembentukan akrilamida. Sedangkan
untuk kadar HMF pada seluruh proses pemanasan yang dilakukan akan meningkat seiring
dengan peningkatan waktu dan suhu dengan peningkatan terbesar pada pemanasan
menggunakan gelombang mikro. Meskipun demikian juga ditemukan bahwa terdapat
peningkatan kadar antioksidan yang terkandung dalam kedelai sebesar 50% dengan adanya
perlakuan pemanasan dengan gelombang mikro.
Pada pengolahan susu, daging dan pasti cenderung mengalami eek yang negatif akibat
adanya reaksi maillard. Proses pembentukan MRP dapat mempengaruhi bioavailabilitas
kandungan protein dan mineral pada susu. Laktosa akan memblokir gugus amino untuk
membentuk produk amadori yang dapat mengubah bioavailabilitas protein. Selain itu
pembentukan MRP pada susu juga akan menghasilkan pengkelat kation logam yang dapat
menurunkan bioavailabilitas susu itu sendiri. Sedangkan pada proses pengolahan daging, reaksi
maillard akan dapat meningkatkan terbentuknya HCA yang bersifat karsinogen. Dan pada proses
pengolahan pasta, pembentukan MRP akan dapat menurunkan kadar karotenoid total dari pasta
itu sendiri.
Pada pengolahan kopi dan juga pengolahan sayur, pembentukan MRP akibat reaksi
maillard dianggap lebih banyak menghasilkan komponen yang bermanfaat. Karena pada
pengolahan kopi melanoidin yang dihasilkan dari reaksi maillard akan menyumbang sebanyak
29% berat kering biji kopi yang diseduh. Sedangkan pada sayuran, reaksi maillard dapat
menurunkan beberapa prooksidan. Tidak hanya itu reaksi maillard juga dapat menghasilkan
produk yang dapat mencegah terjadinya reaksi pencoklatan secara enzimatis yang disebabkan
oleh enzim polifenol oksidase. Selain dampak-dampak positif tersebut, reaksi maillard juga
menghasilkan berbagai dampak positif lainnya seperti penghambatan ACE (Angiotensin
converting enzyme) yang mampu meningkatan tekanan darah. MRP dari beberapa sumber
makanan juga dapat berperan sebagai bakterisida untuk sejumlah besar bakteri patogen seperti
bakteri e-coli. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa reaksi maillard memiliki dampak
positif maupun dampak negatif. Yang mana dampak tersebut sangat tergantung pada
masing-masing jenis komoditas yang diproses serta metode pengolahan panas yang digunakan.
Jawaban Pertanyaan:

1. Untuk penyediaan bahan pangan dengan memperhatikan konsep keamanan pangan yang
terintegrasi, di tahap mana saja hal tersebut perlu diperhatikan agar terhindar resiko kontaminasi
cemaran (fisik,biologi dan kimiawi) ?
Konsep keamanan pangan terintegrasi berkaitan dengan proses dalam penyediaan
bahan pangan. Kontaminasi dapat terjadi selama proses bahan baku berada di asalnya hingga
telah menjadi produk pangan yang siap untuk dikonsumsi. Pada dasarnya, persiapan rantai
makanan tidak terlepas dari adanya potensial kontaminasi. Rantai tersebut diantaranya, proses
penyiapan bahan baku, penyimpanan bahan" (raw material) sebelum didistribusikan, distribusi
bahan baku, penyiapan bahan pangan, proses pengolahan, penyiapan pangan jadi, dan
pendistribusian pangan jadi. Rincian setiap tahapan yang memungkinkan terjadinya kontaminasi
berikut ini:
● Bahan baku, ketika menetapkan sebagai bahan baku perlu mencermati apakah terdapat
bahan cemaran/toksin yang terbawa dari tempat asalnya. Kadar toleran/faktor pembatas
terhadap bahan atau pangan tertentu untuk toksin yang ada pada bahan perlu untuk
diketahui. Selain itu, perlu adanya penanganan bahan dari adanya kontaminasi atau
cemaran (kimia dan fisik) dari bahan yang digunakan.
● Terkait dengan pekerja atau manusia yang terlibat dalam rantai prosesnya, perlu
diperhatikan disiplin kerja terkait keamanan pangan. Sehingga, hal ini dapat menghindari
kontaminasi dari pekerja berpindah ke bahan atau produk.
● Ketika persiapan bahan baku atau pangan, perlu diperhatikan kondisi lingkungan asal
serta saat prosesnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
atau kontaminasi melalui udara dan lainnya sehingga dapat menghasilkan produk yang
aman untuk dikonsumsi. Contoh: pangan dari perairan perlu untuk diketahui asalnya,
pangan hasil pertanian perlu untuk diketahui tanah atau pupuk yang digunakan agar
nantinya aman untuk dikonsumsi.
● Saat penyimpanan bahan baku perlu memperhatikan penanganan yang sesuai. Hal ini
dilakukan untuk menghindari resiko toksin yang dihasilkan bahan tertentu yang nantinya
dapat berkembang dan menyebabkan sakit hingga kematian. Contoh: menghindari
tumbuh dan berkembangnya aflatoksin pada jagung akibat penanganan kelembaban
relatif yang tidak sesuai.
● Saat pendistribusian bahan baku maupun pangan harus sesuai dengan kondisi terbaik
bagi produk pangan tertentu. Contoh: kelembaban dan suhu tempat menyimpan dan
pendistribusian produk pangan yang tidak sesuai menyebabkan produk pangan tidak
bertahan lama (expired date lebih cepat).
● Saat proses pengolahan, perlu untuk mengetahui efek dari proses yang digunakan
khususnya apabila terdapat komponen senyawa tertentu yang dapat bereaksi
menghasilkan senyawa toksin apabila dipadukan dengan proses pengolahan tertentu.
Selain itu, penggunaan wadah dalam proses pengolahan perlu untuk diperhatikan untuk
menghindari adanya migrasi komponen berbahaya pada pangan.
Sehingga, setiap perlakuan dan rantai proses pangan mulai dari raw material hingga
menjadi produk jadi perlu untuk diperhatikan. Hal ini dilakukan karena kontaminan pada produk
pangan dapat memberikan dampak yang tidak signifikan secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kesehatan manusia. Tentunya hal ini berkaitan langsung dengan keamanan
pangan.
2. Sebutkan proses-proses pengolahan yang bisa dilakukan dalam penyiapan makanan (rifda)
Secara keseluruhan proses yang dilakukan untuk mendapatkan jadi yaitu:
- Penerimaan bahan
- Penyimpanan bahan
- Pengolahan
- Pendistribusian Pengolahan bahan baku menjadi makanan jadi umumnya menggunakan
proses pemasakan dengan pemanasan atau suhu tinggi (Swamilaksita dan Devi, 2022)
Proses pengolahan yang dapat dilakukan untuk mengubah bahan baku menjadi makanan
jadi yaitu :
- Perebusan: proses pemasakan dalam air mendidih sekitar 100 derajat celcius dengan air
sebagai media penghantar panas
- Pengukusan: pemasakan dengan panas dan menggunakan uap air sebagai media
penghantar panas
- Penggorengan: proses pemasakan makanan dengan panas dan menggunakan minyak
sebagai penghantar panas serta suhu yang digunakan sekitar 150-300 derajat celcius
- Pembakaran/pemanggangan: pengolahan makanan yang dimasak diatas lempeng besi
panas yang diletakkan di atas perapian. Proses ini juga dapat dilakukan diatas api
langsung dengan hanya dibatasi jeruji panggang
- Penyangraian: proses penurunan kadar air dengan panas atau suhu tinggi pada bahan
seperti biji-bijian, kacang-kacangan, dan lainnya
- Baking: proses pengolahan makanan dalam oven dengan panas dari segala arah Proses
lain yang dapat dilakukan dalam pengolahan bahan pangan menjadi makanan jadi tanpa
pemanasan contohnya yaitu fermentasi (Sundari dkk., 2015).

3. Mengapa kita perlu memperhatikan kondisi (kemungkinan terjadi) terbentuknya toksin selama
proses pengolahan ?
Toksin merupakan racun yang diproduksi oleh organisme hidup. Kita perlu
memperhatikan kemungkinan terjadinya pembentukan toksin selama proses pengolahan
makanan karena kontaminasi makanan akibat toksin baik disengaja ataupun tidak sengaja
apabila dikonsumsi akan menimbulkan masalah serius bagi kesehatan manusia. Makanan yang
terkontaminasi akan menjadi dampak serius pada kesehatan individu, efek yang ditimbulkan
dimulai dari masalah lambung ringan, memperburuk perkembangan sistem saraf, imun, hingga
kematian. Selain itu, kontaminasi makanan juga dapat menjadi penyebab utama kanker.
Menurut Salter (2014), dikonfirmasi oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika
Serikat, terdapat lebih dari 11.000 infeksi bawaan makanan yang beberapa disebabkan oleh
toksin dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan kontaminasi makanan. Dengan demikian,
kita perlu memperhatikan kemungkinan terbentuknya toksin selama proses pengolahan.

Seperti contoh adanya kontaminasi bakteri Clostridium botulinum pada sarden kemasan kaleng
disebabkan karena makanan diperoleh dari sumber yang tidak bersih, alat yang digunakan pada
proses pengalengan tercemar, serta proses pengawetan yang kurang sempurna. Hal tersebut
dapat menyebabkan keracunan
4. Bagaimana Proses Reaksi Maillard terjadi ?
Reaksi maillard pada dasarnya terjadi karena adanya stimulasi suhu tinggi dalam proses
pengolahan pangan. Reaksi ini melibatkan asam amino dan juga gula pereduksi serta
menghasilkan warna coklat sebagai indikatornya. Berlangsungnya reaksi ini melalui 3 tahapan
yang cukup kompleks.
● Tahap pertama
Gula dan asam amino akan mengalami pemadatan akibat pengaruh awal dari
penggunaan suhu tinggi. Setelah proses tersebut terjadi, akan berlangsung proses
kondensasi dan dilanjut dengan adisi amadori. Sehingga akan terbentuk 1-amino-1
deoksi-2. Pada tahapan ini masih belum terbentuknya warna yang menjadi indikator
adanya reaksi maillard yakni warna coklat.
● Tahapan kedua
Tahap ini akan memuat dehidrasi dan fragmentasi yang terjadi pada molekul gula serta
asam amino. Produk yang dihasilkan pada tahap kedua dapat berupa HMF dan
piruvaldehida. Pada tahapan ini bisa terjadi 2 kemungkinan. Dimana bisa jadi masih
belum terbentuknya warna atau sudah terbentuk warna yang cenderung kekuningan.
● Tahap ketiga
Pada tahap ini akan terjadi kondensasi aldol. Dimana dihasilkan produk akhir berupa
melanoidin. Senyawa inilah yang akhirnya memicu adanya perubahan warna menjadi
kecoklatan dan perubahan bau yang khas. .

5. Apa yang dimaksud dengan aspek dampak positif dan negatif reaksi Maillard bagi kesehatan ?
Aspek dampak positif dan negatif reaksi maillard merupakan dampak yang dihasilkan
dari produk atau senyawa pada proses reaksi maillard sehingga berpengaruh bagi kesehatan.
Produk reaksi maillard yang dihasilkan dapat memberikan dampak positif atau negatif ini
bergantung pada proses pengolahan yang digunakan. Seperti pada pengolahan makanan
dengan suhu tinggi terbentuk akrilamida melalui reaksi maillard. Akrilamida sendiri telah
diklasifikasikan sebagai kemungkinan karsinogen bagi manusia. Pada reaksi maillard
menghasilkan melanoidin yang memiliki dampak menguntungkan bagi kesehatan karena dapat
berperan sebagai antioksidan serta antibiotik. Namun terdapat juga carboxymethyl lysine (CML)
yang tinggi memberikan dampak negatif karena dapat meningkatkan diabetes serta
menyebabkan penyakit kardiovaskular. Cara mengatasi
Referensi
Sundari, D., Almasyhuri, Astuti L. 2015. Pengaruh Proses Pemasakan terhadap Komposisi Zat Gizi Bahan
Pangan Sumber Protein. Media Litbangkesi. Vol. 25. No. 4. Hal: 235-242
Swamilaksita, P, D., dan Devi A. K. 2022. Keamanan Makanan. Malang: Insan Cendekia Mandiri

Anda mungkin juga menyukai