Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FARMAKOLOGI I

OBAT ARITMIA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

FIGRIANTI 19160005

SAYYIDAH MAFISAH 19160006

ANNISA AYU WANDIRA 20160048

RESQIA NUZIATUL UMAMI 21160001

ICA SETIA RAHAYU 21160036

AN NISA ARDELIA 21160041

YOCHA TWOWINDA 21160049

GEFI DWI HERMANTO PUTRI 21160058

INTAN DWI MAHARANI 21160062

DOSEN PENGAMPU

Apt. Helmice Afriyeni,M.Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS

PADANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya
lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat serta salam kami curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “OBAT ARITMIA” dapat diselesaikan karena bantuan


dari banyak pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak
yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini terkhususnya kepada dosen pengampu
mata kuliah Farmakologi I ini.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kami
berharap dan menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun. Kami juga berharap
semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan pihak lain yang berkepentingan
pada umumnya.

Padang, 15 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ .................

DAFTAR ISI ......................................................................................................... .................

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... .................

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... .................


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... .................
1.3 Tujuan ........................................................................................................ .................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ .................

2.1 Definisi Aritmia ..................... .................................................................... .................


2.2 Patofisiologi Aritmia................................................................................... .................
2.3 Klasifikasi Aritmia....................................................................................... .................
2.4 Mekanisme Kerja Obat Aritmia................................................................... .................
2.5 Efek Farmakodinamik Obat Aritmia............................................................ .................
2.6 Dosis Obat Aritmia...................................................................................... .................
2.7 Efek Samping dan Toksisitas Obat Aritmia...................................................... ............
2.8 Kontra Indikasi dan Interaksi Obat Aritmia..................................................... ................

BAB III PENUTUP ............................................................................................... .................

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... .................


3.2 Saran .......................................................................................................... .................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ .................


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aritmia jantung merupakan penyakit jantung yang belum banyak diketahui oleh
masyarakat, khususnya anak remaja berusia 15-20 tahun. Aritmia jantung seringkali juga
diremehkan karena dianggap tidak berbahaya, namun penyakit aritmia dapat berakibat fatal
apabila tidak ditangani dengan tepat. Banyak orang terkena penyakit aritmia dan tidak
menyadarinya. Berbagai faktor baik internal maupun eksternal dapat menjadi pemicu
utama aritmia. Pada masa sekarang ini, anak remaja sudah mulai bosan dengan metode
pembelajaran yang monoton, dimana mereka memerlukan metode pembelajaran yang baru
untuk dapat menikmati proses belajar itu sendiri. Perancangan media informasi berbentuk
video infografis ini ditujukan kepada anak remaja berusia 15-20 tahun agar mereka dapat
mengetahui lebih dalam mengenai aritmia jantung dengan menggunakan media yang
menyenangkan dan mudah dipahami.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dari Aritmia?
1.2.2 Bagaimana patofisiologi dari Aritmia?
1.2.3 Apa saja klasifikasi Aritmia?
1.2.4 Bagaimana mekanisme kerja obat Aritmia?
1.2.5 Bagaimana efek farmakodinamik obat Aritmia?
1.2.6 Bagaimana dosis obat Aritmia?
1.2.7 Bagaimana efek samping dan toksisitas obat Aritmia?
1.2.8 Bagaimana kontra indikasi dan interaksi obat Aritmia?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari Aritmia


1.3.2 Untuk mengetahui patofisiologi dari Aritmia
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi Aritmia
1.3.4 Untuk mengetahui mekanisme kerja obat Aritmia
1.3.5 Untuk mengetahui efek farmakodinamik obat Aritmia
1.3.6 Untuk mengetahui dosis obat Aritmia
1.3.7 Untuk mengetahui efek samping dan toksisitas obat Aritmia
1.3.8 Untuk mengetahui kontra indikasi dan interaksi obat Aritmia
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Aritmia


Aritmia jantung merupakan masalah yang umum dijumpai dalam praktik, terjadi
pada hampir 25% pasien yang mendapat digitalis, 50% pasien yang dianestesi, dan lebih
dari 80% dari pasien dengan infark miokardium akut. Aritmia mungkin memerlukan
pengobatan karena irama yang terlalu cepat, terlalu lambat, atau asinkron dapat
mengurangi curah jantung. Sebagian aritmia dapat memicu gangguan irama yang lebih
serius atau bahkan mematikan; misalnya, depolarisasi ventrikel prematur dini dapat
memicu fibrilasi ventrikel.
Impuls listrik yang memicu konraksi jantung normal berasal dari interval teratur di
nodus sinoatrium (SA),biasanya dengan frekuensi 60-100 dpm. Impuls ini cepat
menyebar melalui atrium dan masuk ke nodus atrioventrikel (AV), yang normalnya
adalah satu-satunya jalur hantaran antara atrium dan ventrikel. Hantaran melalui nodus
AV berlangsung lambat, memerlukan sekitar 0,15 detik. (Perlambatan ini menyediakan
waktu bagi atrium untuk menyemburkan darah ke dalam ventrikel). Impuls kemudian
menjalar melalui sistem His-Purkinje dan menginvasi semua bagian ventrikel, dimulai
dari permukaan endokardium dekat apeks dan berakhir di permukaan epikardium di
dasar jantung. Pengaktifan ventrikel tuntas dalam waktu kurang dari 0,1 detik; karena
itu, kontraksi semua otot ventrikel normalnya berlangsung sinkron dan secara
hemodinamis efektif.
Aritmia adalah depolarisasi jantung yang menyimpang dari penjelasan di atas di satu
atau lebih aspek; terjadi kelainan di tempat asal impuls, kecepatan atau keteraturannya,
atau hantarannya.

2.2 Patofisiologi Aritmia

Banyak faktor dapat memicu atau menyebabkan kekambuhan aritmia: iskemia,


hipoksia, asidosis atau alkalosis, kelainan elektrolit, pajanan berlebihan ke katekolamin,
pengaruh autonom, toksisitas obat (mis., digitalis atau obat antiaritmia), peregangan
berlebihan serat-serat jantung, dan adanya jaringan parut atau berpenyakit lainnya.
Namun, semua aritmia terjadi karena hal berikut :
(1) gangguan pembentukan impuls
Gangguan Pembentukan Impuls Interval antar depolarisasi sebuah sel pemacu adalah
jumlah dari durasi potensial aksi dan durasi interval diastol. Memendeknya salah satu
durasi tersebut menyebabkan meningkatnya kecepatan pemacu. Hal yang lebih penting
dari keduanya, interval diastol, ditentukan terutama oleh kecuraman fase 4 depolarisasi
(potensial pemacu). Impuls vagus dan obat penghambat reseptor β memperlambat
kecepatan normal pemacu dengan mengurangi kecuraman fase 4 (asetilkolin juga
menyebabkan potensial diastol maksimal menjadi lebih negatif). Akselerasi impuls
pemacu sering ditimbulkan oleh peningkatan kecuraman depolarisasi fase 4, yang dapat
disebabkan oleh hipokalemia, rangsangan β-adrenoseptor, obat kronotropik positif,
peregangan serat, asidosis, dan depolarisasi parsial oleh arus cedera.
Pemacu laten (sel-sel yang memperlihatkan depolarisasi fase 4 lambat bahkan pada
kondisi normal, mis. beberapa serat Purkinje) sangat rentan mengalami akselerasi oleh
mekanisme-mekanisme di atas. Namun, semua sel jantung, termasuk sel atrium dan
ventrikel yang dalam keadaan normal "tenang", dapat memperlihatkan aktivitas pemacu
repetitif ketika mengalami depolarisasi pada kondisi yang sesuai, khususnya jika juga
terdapat hipokalemia.
Afterdepolarization (depolarisasi ikutan) adalah depolarisasi sesaat yang menginterupsi
fase 3 (earlyafterdepolarization, EAD, depolarisasi ikutan dini) atau fase 4 (delayed
afterdepolarization, DAD, depolarisasi ikutan lambat). EAD biasanya kambuh pada
kecepatan jantung yang lambat dan diperkirakan berperan dalam timbulnya aritmia
terkait-QT memanjang.. DAD, di pihak lain, sering terjadi ketika kalsium intrasel
meningkat. Depolarisasi ikutan ini dipicu oleh kecepatan jantung yang tinggi dan diduga
berperan dalam beberapa aritmia yang berkaitan dengan kelebihan digitalis,
katekolamin, dan iskemia miokardium
(2) gangguan hantaran impuls
Hantaran yang sangat terhambat dapat menyebabkan blok sederhana/simpel, mis. blok
nodus AV atau bundle branch block (blok cabang berkas). Karena kontrol parasimpatis
atas hantaran AV signifikan, blok AV parsial kadang dapat diatasi dengan atropin.
Kelainan umum lain hantaran adalah reentry (juga dikenal sebagai "circusmovement"),
dengan satu impuls masuk kembali dan merangsang bagian-bagian jantung lebih dari
sekali.
Jalur impuls masuk kembali mungkin terbatas di suatu daerah kecil, mis. di dalam atau
dekat nodus AV, atau melibatkan sebagian besar dinding atrium atau ventrikel. Sebagian
bentuk dari reentry ini memiliki lokasi anatomis khas; sebagai contoh, pada sindrom
Wolff-Parkinson-White, sirkuit reentry terdiri dari jaringan atrium, nodus AV, jaringan
ventrikel, dan suatu koneksi AV aksesorius (berkas Kent, suatu jalur bypass). Pada
kasus lain (mis., fibrilasi atrium atau ventrikel) dapat terbentuk banyak sirkuit reentry,
ditentukan oleh beragam sifat jaringan jantung, yang tampaknya terjadi secara acak.
Impuls yang beredar ini sering menghasilkan "impuls anak/turunan" yang dapat
menyebar ke bagian jantung sisanya. Bergantung pada berapa banyak perjalanan daur
yang dilakukan oleh impuls reentry sebelum lenyap, aritmia yang terjadi dapat berupa
satu atau beberapa denyut tambahan atau takikardia yang menetap.

2.3 Klasifikasi Aritmia

Manuver khusus mungkin diperlukan untuk menggambarkan etiologi sinkop yang


berhubungan dengan bradiaritmia. Diagnosis hipersensitivitas sinus karotis dapat
dipastikan dengan melakukan pemijatan sinus karotis dengan EKG dan pemantauan
tekanan darah. Sinkop vasovagal dapat didiagnosis menggunakan tes kemiringan tubuh
tegak. Berdasarkan temuan EKG, blok AV biasanya dikategorikan menjadi tiga : Sistem
klasifikasi yang paling sering digunakan adalah yang diusulkan oleh Vaughan Williams
(Tabel 6-1).
a) Obat tipe Ia memperlambat kecepatan konduksi, memperpanjang refrakter, dan menurunkan
sifat otomatis jaringan konduksi bergantung natrium (normal dan sakit). Obat tipe Ia adalah
antiaritmia spektrum luas, efektif untuk aritmia supraventrikular dan ventrikel.

b) Meskipun dikategorikan secara terpisah, obat tipe Ib mungkin bekerja sama dengan obat tipe
Ia, kecuali bahwa obat tipe Ib jauh lebih efektif pada aritmia ventrikel daripada
supraventrikular.

c) Obat tipe Ic sangat memperlambat kecepatan konduksi sementara refraktori relatif tidak
berubah. Meskipun efektif untuk aritmia ventrikel dan supraventrikular, penggunaannya untuk
aritmia ventrikel dibatasi oleh risiko proaritmia.

d) Secara kolektif, obat tipe I dapat disebut sebagai penghambat saluran natrium. Prinsip saluran
reseptor natrium antiaritmia dengan mempertimbangkan kombinasi obat yang bersifat aditif
(misalnya, quinidine dan mexiletine) dan antagonis (misalnya, flecainide dan lidocaine), serta
penangkal potensi kelebihan blokade saluran natrium (misalnya, natrium bikarbonat,
propranolol).

e) Obat tipe II termasuk antagonis β-adrenergik; mekanisme yang relevan secara klinis
dihasilkan dari tindakan antiadrenergik mereka. β-Blocker paling berguna dalam takikardia di
mana jaringan nodal otomatis abnormal atau a bagian dari loop reentrant. Agen-agen ini juga
membantu dalam memperlambat respon ventrikel pada atrium takikardia (misalnya, AF)
melalui efeknya pada nodus AV.
f) Obat tipe III secara khusus memperpanjang refrakter di atrium dan ventrikel serat dan
termasuk obat yang sangat berbeda yang berbagi efek umum menangguhkan repolarisasi
dengan memblokir saluran kalium.

g) Bretylium (jarang digunakan) memiliki tindakan tambahan karena pertama kali dirilis
dan kemudian menghabiskan katekolamin. Ini meningkatkan taman batas VF dan
kelihatannya memiliki efek antifibrilasi selektif tetapi bukan antitakikardik. Bretilium bisa
efektif pada VF tetapi seringkali tidak efektif pada VT.

h) Anti, amiodaron dan sotalol efektif pada sebagian besar supraventrikular dan takikardia
ventrikel. Amiodarone menampilkan elektrofisiologis karakteristik yang konsisten dengan
masing-masing jenis obat antiaritmia. Ini adalah sebuah menahan saluran natrium dengan
kinetika on-off yang relatif cepat, memiliki aksi β-blocking nonselektif, memblokir saluran
kalium, dan memiliki sedikit kalsium aktivitas antagonis. Efektivitas yang mengesankan
dan proarrhythmic rendah potensi amiodaron telah menantang gagasan bahwa ion
menyesatkan blokade saluran lebih disukai. Sotalol adalah penghambat kuat dari luar
pergerakan kalium selama repolarisasi dan juga memiliki tindakan penghambatan B
nonselektif. Ibutilide dan dofetilide memblokir komponen cepat dari arus penyearah kalium
tertunda.

i) Obat tipe IV menghambat masuknya kalsium ke dalam sel, yang memperlambat


konduksi, memperpanjang refrakter, dan menurunkan otomatisitas nodus SA dan AV.

j) Pada pasien yang mengalami eksaserbasi gejala HF, digoksin IV atau amiodarone harus
digunakan sebagai terapi lini pertama untuk kontrol laju ventrikel. IV amiodaron juga dapat
digunakan pada pasien yang refrakter atau memiliki indikasi kontra terhadap -blocker,
nondihydropyridine calcium channel blockers, dan digoksin.

k) Setelah pengobatan dengan agen penghambat nodus AV dan penurunan respons


ventrikel berikutnya, pasien harus dievaluasi untuk kemungkinan memulihkan irama sinus
jika AF berlanjut. Jika ritme sinus ingin dipulihkan, antikoagulan harus dimulai sebelum
kardioversi karena kembalinya kontraksi atrium meningkatkan risiko tromboemboli.

l) Pasien dengan AF selama lebih dari 48 jam atau durasi yang tidak diketahui harus
menerima warfarin (target rasio normalisasi internasional [INR] 2 sampai 3) selama
minimal 3 minggu sebelum kardioversi dan berlanjut selama minimal 4 minggu.setelah
kardioversi efektif dan kembali normal. irama sinus. Pasien dengan AF kurang dari 48 jam
dalam durasi tidak memerlukan warfarin, tetapi direkomendasikan bahwa pasien ini
menerima heparin tak terpecah IV atau heparin berat molekul rendah (secara subkutan pada
dosis pengobatan) pada presentasi sebelum kardioversi.
1. Takikardia Supraventricular Paroksisimal Pilihan antara metode farmakologis dan
nonfarmakologis untuk mengobati PSVT tergantung pada tingkat keparahan gejala. Pilihan di
antara obat didasarkan pada kompleks QRS (Gambar 6-2). Obat-obatan dapat dibagi menjadi
tiga kategori besar :

(1) Obat yang secara langsung atau tidak langsung meningkatkan tonus vagal ke nodus AV
(misalnya, digoksin);

(2) Yang menekan konduksi melalui jaringan lambat yang bergantung pada kalsium (mis.,
adenosin, β-blocker, calcium channel blocker);

(3) Yang menekan konduksi melalui jaringan cepat yang bergantung pada natrium
(misalnya, quinidine, procainamide, disopyramide, flecainide).
Adenosin telah direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama pada pasien dengan PSVT
karena durasi aksinya yang singkat tidak akan menyebabkan perpanjangan kompromi
hemodinamik pada pasien dengan kompleks QRS lebar yang sebenarnya memiliki VT
daripada PSVT.
2. Takikardia Atrial Otomatis
Jika takikardia menetap, perlunya pengobatan tambahan ditentukan oleh gejala. Pasien
dengan atrium takikardia asimtomatik dan relatif respons ventrikel lambat biasanya tidak
memerlukan terapi obPada pasien simtomatik, terapi medis dapat disesuaikan baik untuk
kontrol respon ventrikel atau untuk mengembalikan irama sinus. Nondihidropiridin
antagonis kalsium (misalnya, verapamil) dianggap sebagai terapi obat lini pertama untuk
mengurangi respons ventrikel.
Agen tipe I (misalnya, procainamide, quinidine) hanya kadang-kadang efektif dalam
memulihkan irama sinus. DCC tidak efektif, dan penyekat β biasanya dikontraindikasikan
karena adanya penyakit paru berat atau gagal jantung tak terkompensasi.

1). Kompleks Ventrikular Prematur


Pada orang yang sehat, terapi obat tidak diperlukan karena PVC tanpa penyakit jantung
terkait membawa sedikit atau tidak ada resiko. Pada pasien dengan resiko faktor kematian
aritmia (MI baru-baru ini, disfungsi LV, kompleks PVC), terapi obat kronis harus dibatasi
pada β-blocker karena hanya mereka telah terbukti secara meyakinkan untuk mencegah
kematian pada pasien ini.

2) Takikardia Ventrikel Akut


Jika ada gejala yang parah, DCC tersinkronisasi harus segera diberikan untuk memulihkan
irama sinus. Faktor pencetus harus dikoreksi jika memungkinkan. Jika VT adalah peristiwa
listrik terisolasi yang terkait dengan faktor pemicu sementara (misalnya, iskemia miokard
akut, toksisitas digitalis), tidak perlu terapi antiaritmia jangka panjang setelah faktor
pencetus dikoreksi.
Pasien dengan gejala ringan atau tanpa gejala dapat diobati awalnya dengan obat antiar
ritmik. Amiodaron IV sekarang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dalam situasi
ini. Procainamide atau lidokain yang diberikan secara IV merupakan alternatif yang sesuai.
DCC tersinkronisasi harus diberikan jika tingkat penurunan status pasien, VT merosot
menjadi VF, atau terapi obat gagal.

3) Takikardia Ventrikel Berkelanjutan


Pasien dengan VT berkelanjutan yang kronis memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
kematian. ICD otomatis adalah metode yang sangat efektif untuk mencegah kematian
mendadak akibat VT atau VF berulang. Pasien dengan ektopi ventrikel kompleks
sebaiknya tidak menerima obat antiaritmia tipe I atau III.

4) Bradiaritmia
Pengobatan disfungsi nodus sinus melibatkan klimaks dari bradikardia simtomatik dan
mungkin mengelola takikardia bergantian seperti AF. Sinus bradiaritmia asimptomatik
biasanya tidak memerlukan intervensi terapeutik. Secara umum, terapi jangka panjang
menjadi pilihan bagi pasien dengan signifikan gejalanya adalah alat pacu jantung ventrikel
permanen. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengobati takikardia supraventrikular
harus digunakan dengan hati-hati, jika ada, jika tidak ada alat pacu jantung yang berfungsi.
Hipersensitivitas sinus karotis simtomatik juga harus diobati dengan terapi alat pacu
jantung permanen. Pasien yang tetap bergejala dapat memperoleh manfaat dari
penambahan stimulan a-adrenergik seperti midodrine. Sinkop vasovagal secara tradisional
berhasil diobati dengan B-blocker oral (misalnya, metoprolol) untuk menghambat lonjakan
simpatik yang menyebabkan Pengobatan disfungsi nodus sinus melibatkan klimaks dari
bradikardia simtomatik dan mungkin mengelola takikardia bergantian seperti AF. Sinus
bradiaritmia asimptomatik biasanya tidak memerlukan intervensi terapeutik.
Secara umum, terapi jangka panjang menjadi pilihan bagi pasien dengan signifikan
gejalanya adalah alat pacu jantung ventrikel permanen. Obat-obatan yang biasa digunakan
untuk mengobati takikardia supraventrikular harus digunakan dengan hati-hati, jika ada,
jika tidak ada alat pacu jantung yang berfungsi. Hipersensitivitas sinus karotis simtomatik
juga harus diobati dengan terapi alat pacu jantung permanen.
Pasien yang tetap bergejala dapat memperoleh manfaat dari penambahan stimulan a-
adrenergik seperti midodrine. Sinkop vasovagal secara tradisional berhasil diobati dengan
B-blocker oral (misalnya, metoprolol) untuk menghambat lonjakan simpatik yang
menyebabkan kontraksi ventrikel yang kuat dan mendahului timbulnya hipotensi dan
bradikardia. Obat lain yang telah berhasil digunakan (dengan atau tanpa - blocker)
termasuk fludrocortisone, antikolinergik.

5) Blok Atrioventrikular
Jika pasien dengan blok AV Mobitz II atau derajat tiga mengalami tanda atau gejala perfusi
yang buruk (misalnya, perubahan status mental, nyeri dada, hipotensi, syok) terkait dengan
bradikardia atau blok AV, pacu jantung transkuta harus segera dimulai.
Atropin (0,5 mg IV diberikan setiap 3 sampai 5 menit, hingga 3 mg dosis total) harus
diberikan saat sadapan pacu dipasang. Infus epinefrin (2 sampai 10 mcg/menit) atau
dopamin (2 sampai 10 mcg/kg/menit) dapat digunakan jika terjadi kegagalan atropin. Agen
ini tidak akan membantu jika blok AV berada di bawah nodus AV (Mobitz II atau blok AV
trifascicular). Blok AV bergejala kronis membutuhkan pemasangan alat pacu jantung
permanen. Pasien tanpa gejala terkadang dapat diikuti secara ketat tanpa memerlukan alat
pacu jantung.

2.4 Mekanisme Kerja Obat Aritmia

KELAS IA: KUINIDIN, PROKAINAMID DAN DISOPIRAMID

Mekanisme kerja : Obat antiaritmia kelas IA menghambat arus masuk ion Na•, menekan
depolarisasi fase 0, dan memperlambat kecepatan konduksi serabut Purkinje miokard ke tingkat
sedang pada nilai Vmax istirahat normal

KELAS IB : LIDOKAIN, FENITOIN, TOKAINID DAN MEKSILETIN


Mekanisme kerja : Berlawanan dengan obat kelas IA, obat kelas IB mempercepat repolarisasi
membran. Lidokain merupakan prototip, tetapi obat·ini tidak tersedia untuk pemberian oral.

KELAS IC: FLEKAINID, ENKAINID DAN PRO PAFENON


Mekanisme kerja : Obat kelas IC berafinitas tinggi terhadap kanal Na• di sarkolema .(membran
sel). Obat ini merupakan antiaritmia yang paling poten dalam memperlambat konduksi dan
menekan an.is masuk Na• ke dalam sel dan kompleks prematur·veritrikel · spontan.

KELAS II-BLOKER: PROPRANOLOL,ASEBUTOLOLDAN ESMOLOL


Mekanisme kerja : Metoprolol, propranolol dan timolol digunakan sebagai profilaksis .sesudah
infark miokard untuk menurunkan kejadian mati mendadak.
Dosis
 PROPANOLOL. Propranolol terutama diberikan ·. per oral untuk ·pengobatan aritmia
jangka lama. Kadar plasma yang memperlihatkan efek terapi sangat bervariasi (20-1.000
ng/ml) dan tergantung pada jenis aritmia yang diobati. Dosis berkisar dari 30 sampai 32Q
mg per hari ·untuk pengobatan aritmia yang sensitif terhadap obat ini.
 ASEBUTOLOL. Asebutolol diberikan per oral untuk · pengobatan aritmia jantung. Dosis
awal adalah dua kali 200 mg. Dosis dinaikkan secara perlahan . sampai mencapai 600-1200
mg yang terbagi dalam dua dosis.
 ESMOLOL. Esmolol diberikan secara intravena untuk pengobatan jangka pendek atau
sebagai pengobatan kegawatan pada takikardia supraventrikel.

KELAS Ill : BRETILIUM, AMIODARON, SOTALOL, DOFETILID DAN IBUTILID


Mekanisme kerja : rnempunyai kemampuan memperpanjang lama potensial aksi dan
refractoriness serabut Purkinje dan . setabut otot veritrikel. Obat-obat ini menghambat aktivitas
sistem saraf otonom secara nyata.
Dosis
 BRETILIUM. Bretilium tosilat tersedia dalam larutan 50 mg/ml. Obat ini pertu diencerkan
menjadi 10 mg/ml, dan dosisnya adalah 5-10 mg/kgBB yang diberikan per infus selama·
10-30 menit. Dasis berikutnya diberikan 1-2 jam kemudian bila aritmia belum teratasi atau
setiap 6 jam sekali untuk pemeliharaan. Interva l dosis harus diperpanjang 48<Ja pasien
dengan-·gangguan faal ginjal.
 AMIODARON. Amiodaron HCI tersedia sebagai tablet 200 mg. Karena memerlukan
waktu beberapa bulan untuk mencapai efek penuh, diperlukan dosis muat 600-800 mg/hari
(selama 4 minggu), sebelum dosis pemeliharaan dimulai dengan 400- 800 mg/hari.
 SOTALOL. Sotalol masih dikembangkan formulasinya . Untuk pengobatan aritmia
ventrikel, dosisnya adalah 2 kali 80-320 mg. Dosis awal adalah 2 kali 80 mg/hari dan bila
perlu dosis ditambah tiap 3-4 hari. Keberhasilan terapi dinilai dengan pencatatan EKG
selama 24 jam atau dengan stimulasi ventrikel terprogram.
 DOFETILID. Oofetilid bekerja sebagai penghambat kanal kalium yang kuat. Karena
kerjanya yang spesifik, obat ini tak mempunyai efek farmakologik non-kardiak. Dofetilid
efektif mempertahankan irama sinus pada pasien fibrilasi atrium. Berbagai uji klinik
melaporkan bahwa torsades de pointes dapat terjadi pada 1 sampai 3% pasien.
 IBUTILID. lbutilid adalah penghambat kanal kalium. Di samping itu ibutilid mengaktifkan
aliran Na+ ke dalam sel. Kedua mekanisme kerja dofetilid ini akan . menghasilkan
perpanjangan aksi potensial.. · Digunakan untuk mendapatkan irama sinus pada flutter dan
fibrilasi atrium, dan diberikan secara IV cepat (1 mg dalam 10 menit).

KELAS IV (ANTAGONIS KALSIUM): VERAPAMIL DAN OILTIAZEM


Mekanisme kerja : Obat-obat antiaritmia kelas IV adalah penghambat kanal Ca••. Efek klinis
penting dari antagonis Ca++ untuk pengobatan aritmia adalah penekanan potensial aksi yang
ca++ dependent dan perlambatan konduksi di nodus AV. Verapamil adalah satu-satunya
penghambat kanal Ca++ yang dewasa ini dipasarkan sebagai obat antiaritmia. sedangkan
manfaat diltiazem masih dalam peneitian. Verapamil, yang merupakan turunan papaverin,
menyekat kanal Ca•• di membran otot polos dan otot jantung.
Dosis
 Untuk mengubah PSVT menjadi irama sinus, verapamil dengan dosis 5-10 mg diberikan
secara intravena selama 2-3 menit. Untuk mengendalikan irama ventrikel pada fibrilasi atau
flutter atrium, verapamil diberikan dalam dosis 10 mg selama 2-5 menit, dan bila perlu
diulangi dalam waktu 30 menit. Unttik mencegah kembalinya PSVT atau untuk mengontrol
.irama ventrikel pada fibrilasi atrium, diberikan dosis oral 240-480 mg/hari dibagi dalam 3-
4 dosis. Walaupun indikasinya belum di- setujui, diltiazem telah digunakan untuk
pencegahan PSVT dalam dosis 60-90 mg, yang diberikan tiap 6 jam.

KELAS V (LAIN-LAIN): DIGITALIS, ADENOSIN, DAN MAGNESIUM


Mekanisme kerja : menyebabkan penghambatan aliran kalsium di nodus AV dan aktivasi aliran
kalium yang diperantarai asetilkolin di atrium.

2.5 Efek Farmakodinamik Obat Aritmia


Potensial aksi jantung adalah siklus pergerakan ion, yang menyebabkan depolarisasi
dan repolarisasi berturut-turut dari miosit jantung yang menyebabkan kontraksi otot. Fase
istirahat miosit jantung memiliki potensial membran istirahat negatif 80 hingga negatif 90
mV pada awal. Obat antiaritmia pada dasarnya memperlambat gerakan ion dalam berbagai
fase potensial aksi jantung dan dipecah sebagai berikut.
 Fase 0: fase "depolarisasi" potensial aksi; terjadi oleh pergerakan cepat ion natrium
(Na+) ke dalam sel sepanjang gradien elektrokimia, yang mengarah ke potensial
membran kira-kira positif 30 mV.
 Fase 1: "Takik,"; fase repolarisasi awal atau awal dari potensial aksi, melibatkan
penghabisan ion kalium (K+).
 Fase 2: Fase "The plateau" - fase ini adalah keseimbangan pergerakan ion kalsium ke
dalam yang mengimbangi pergerakan K+ ke luar.
 Fase 3: fase "Repolarisasi" potensial aksi; fase ini terutama disebabkan oleh pergerakan
ion K+ sepanjang gradien elektrokimianya keluar dari sel, yang pada dasarnya
membawa muatan positif ion K+ keluar dari sel. Ini mengembalikan potensi negatif dari
miosit jantung.
 Fase 4: Pemulihan Na/K-ATPase, yang memulihkan potensial membran istirahat dari
miosit jantung.
Kelas 0 Antiaritmia
Ini adalah penghambat saluran siklik nukleotida-gated (HCN) yang diaktifkan
hiperpolarisasi. Agen ini memblokir arus lucu ( I ). Penghambatan I mengurangi laju
depolarisasi alat pacu jantung fase 4 sinoatrial node (SAN), sehingga mengurangi denyut
jantung; potensi penurunan konduksi AV Nodal dan otomatisitas sel Purkinje meningkatkan
interval RR. Contohnya adalah ivabradin.
Antiaritmia Kelas I
Kelas Ia, Ib, dan Ic: Antiaritmia Kelas I adalah penghambat saluran natrium cepat. Mereka
bertanggung jawab untuk fase 0 potensial aksi jantung respon cepat. Tiga subkelas berbeda
dalam kemanjurannya untuk mengurangi kemiringan fase 0, dengan obat I c memiliki efek
terbesar dan obat I b memiliki efek terkecil pada fase 0. Blokade saluran natrium: I c > I a >
I b . Kelas I a memperpanjang durasi potensial aksi (AP), menyebabkan peningkatan interval
QTc. Kelas I b menurunkan durasi AP, menyebabkan pemendekan interval QTc, dan obat kelas
I c tidak mempengaruhi durasi AP; dengan demikian, tidak berpengaruh pada interval QTc
Kelas Id: Ranolazine memiliki mekanisme aksi yang berbeda; itu menyebabkan penurunan arus
Na+ akhir ( I NaL) dan mempengaruhi pemulihan AP dan refraktori. Akibatnya, terjadi
penurunan waktu pemulihan potensial aksi dan berkurangnya aktivitas pemicu yang diinduksi
afterdepolarisasi awal (EAD).
Antiaritmia Kelas II
Kelas IIa: Beta-blocker - Agen ini menghambat aktivasi beta-adrenergik adenilat siklase dan
mengurangi tingkat cAMP intraseluler, menghasilkan penurunan pacing sinoatrial node (SAN)
dan memicu aktivitas.
Kelas IIb: Beta-agonis nonselektif- Agen ini bekerja dengan mengaktifkan efek Gs-protein
yang diinduksi oleh sistem adrenergik (l) untuk meningkatkan aktivitas adenilat kinase
menurunkan interval RR dan PR. Akibatnya, ada penekanan aktivitas pemicu terkait EAD yang
bergantung pada bradikardia. Isoproterenol memberikan efek kronotropik dan inotropik,
meningkatkan fungsi sinus dan nodus AV tanpa efek vasopresor. Hal ini diindikasikan untuk
pengobatan akut bradikardia sinus simtomatik atau blok atrioventrikular.
Kelas IIc: Inhibitor reseptor M2 muskarinik (atropin) - Menghambat reseptor kolinergik M2
supraventrikular (SAN, atrium, AVN), mengurangi interval RR dan PR, sehingga meningkatkan
otomatisitas nodus SA dan konduksi nodus AV.
Kelas IId: Aktivator reseptor muskarinik M2 (pilokarpin, karbachol, metakolin, digoksin) -
Obat-obatan ini mengaktifkan reseptor kolinergik M2 supraventrikular (nodus SA, atrium, AV),
hiperpolarisasi nodus SA, dan memperpendek durasi potensial aksi di atrium dan nodus AV
jaringan. Ini juga menampilkan efek penghambatan pada adenilat siklase dan aktivasi cAMP,
menghasilkan peningkatan interval RR dan PR, mengurangi otomatisitas nodus SA, dan
menurunkan konduksi AVN. Selain itu, digoksin juga merupakan penghambat Na/K-
ATPase. Mengikat dengan pompa natrium meningkatkan konsentrasi Na+ intraseluler, yang
akan mendorong masuknya Ca2+. Itu akan menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dan
perpanjangan fase 4 dan fase 0 dari potensial aksi jantung, sehingga memperlambat konduksi
melalui AVN.
IIe Adenosine A1 receptor activator (adenosine)- Mengaktifkan reseptor adenosin A1 di
jaringan supraventrikular mengaktifkan protein G yang dipasangkan ke dalam saluran K+ yang
memperbaiki hiperpolarisasi nodus SA; efek penghambatan pada adenilil siklase dan aktivasi
cAMP; peningkatan RR dan peningkatan interval PR. Akibatnya, otomatisitas nodus SA dan
konduksi nodus AV menurun. Selain itu, penurunan lebih awal setelah depolarisasi (EAD)
diinduksi dan tertunda setelah depolarisasi (DAD) memicu aktivitas yang dipicu. Menghentikan
SVT melalui hiperpolarisasi dengan meningkatkan penghabisan K+ dan menghambat arus
Ca2+.
Antiaritmia kelas III (pemblokir dan pembuka saluran K+)
Antiaritmia kelas III memblokir saluran kalium yang mengakibatkan pemanjangan atrium,
Purkinje, pemulihan potensial aksi miosit ventrikel, peningkatan ERP, penurunan cadangan
repolarisasi, dan interval QT yang memanjang. Amiodaron juga memberikan sifat antagonis
simpatolitik, natrium, dan kalsium yang menurunkan konduksi melalui nodus AV dan
sinus. Sotalol berbagi sifat antiaritmia kelas II dan kelas III.
IIIa: Pemblokir saluran kalium nonselektif (amiodarone, dronedarone): Memblokir beberapa
target saluran kalium yang mengakibatkan pemulihan AP miosit atrium, Purkinje, dan ventrikel
yang berkepanjangan, peningkatan ERP, dan penurunan cadangan repolarisasi; interval QT
yang memanjang. Peningkatan waktu pemulihan AP dan periode refraktori, dengan
kecenderungan reentrant menurun. Catatan: amiodaron juga menunda laju nodus sinus dan
konduksi atrioventrikular.
Rapid potassium current ( I ) blocker: (dofetilide, ibutilide, sotalol)- Pemulihan AP atrium,
Purkinje, dan ventrikel myocyte yang berkepanjangan, peningkatan ERP, dan penurunan
cadangan repolarisasi; interval QT yang memanjang, peningkatan waktu pemulihan AP dan
periode refraktori dengan kecenderungan reentrant menurun.
Ultrarapid K current ( I ) blocker: Venrnakalent meningkatkan periode refraktori dan
kecenderungan masuk kembali. Berguna untuk konversi segera fibrilasi atrium tanpa penyakit
jantung struktural.
IIIb: Pembuka saluran K+ yang bergantung secara metabolik (nicorandil) - Membuka saluran
K+ yang peka terhadap ATP, memperpendek pemulihan AP, refraktori, dan cadangan
repolarisasi di semua kardiomiosit selain sel SAN; interval QT yang lebih pendek. Penggunaan
Nicorandil selama PCI dapat mengurangi tingkat aritmia ventrikel pada pasien STEMI yang
menjalani intervensi koroner perkutan.
Antiaritmia Kelas IV
Antiaritmia kelas IV menghambat saluran Ca2+ yang lambat dan mengurangi kemiringan fase 0
dan 4, menghasilkan pemacuan SAN yang terhambat, konduksi AVN, ERP yang
berkepanjangan, dan interval PR.
IVa: Pemblokir saluran Ca2+ membran permukaan (bepridil, falipamil, fendiline) -
Penyumbatan arus Ca2+, mengakibatkan penghambatan pemacuan nodus SA, peningkatan
interval PR, penurunan konduksi nodus AV. Ini berguna dalam fibrilasi atrium.
Penghambat arus Ca2+ tipe-L:(verapamil, diltiazem)- Penyumbatan arus Ca++, mengakibatkan
penghambatan SAN pacing, konduksi AVN, dan penekanan pensinyalan Ca
intraseluler; peningkatan interval PR. Berguna untuk kontrol laju pada fibrilasi atrium.
IVb: Intraseluler Ca2+ channel blockers (propafenone, flecainide)-Reduced Ca++ release obat
dari sarcoplasmic reticulum. Berguna untuk konversi farmakologis akut atrial flutter dan
fibrilasi.
IVd: Inhibitor penukar ion membran permukaan (bepridil)- tidak ada penggunaan klinis yang
disetujui FDA pada aritmia.
Antiaritmia Kelas V (penghambat saluran mekanosensitif )
Obat yang diteliti adalah N -(p-amylcinnamoyl)anthranilic acid, yang bekerja pada transient
receptor potential channel (TRPC3/TRPC6). Kelas ini saat ini tidak memiliki indikasi yang
disetujui secara klinis dalam pengobatan aritmia.
Kelas VI Antiaritmia (pemblokir saluran gap junction)
Obat yang diteliti adalah carbenoxolone dan rotigaptid. Konduksi potensial aksi bergantung
pada penyebaran arus sirkuit antar sel lokal yang memengaruhi konduktansi gap-junction yang
memiliki hemichannel connexin (Cx) yang dipasang secara elektrik yang menggabungkan ruang
intraseluler dari kardiomiosit yang berdekatan. Cx43 hadir di miosit atrium dan ventrikel dan
sistem konduksi distal. Cx45 hadir terutama di SA node, AV node, dan sistem konduksi
Purkinje. Memodulasi konduktansi atau ekspresi gap junction, tergantung pada keadaan, dapat
meningkatkan atau mengurangi aritmogenesis. Misalnya, carbenoxolone adalah agen
penghambat koneksin, yang menurunkan konduksi ventrikel/atrium dan konduksi AVN. Agen
pembuka koneksin adalah rotigaptid analog peptida.
Kelas VII antiaritmia (modulator target hulu)
Penghambat ACE, Penghambat reseptor angiotensin (ARB), Statin, asam lemak Omega 3. Agen
ini fokus pada proses remodeling struktur jaringan dan, akibatnya, perubahan jangka panjang
yang kontras dengan fokus utama pada efek jangka pendek obat pada saluran ion. Penyakit
jantung mengubah fungsi saluran ion yang mendorong gangguan irama jantung, yaitu,
"remodeling aritmogenik." Remodeling aritmogenik memiliki implikasi patofisiologis penting
yang sangat memengaruhi morbiditas dan mortalitas jantung. Terapi hulu dengan ARB,
penghambat ACE, statin, dan asam lemak omega-3 yang menargetkan remodeling dan
aritmogenesis dapat manjur tetapi perlu evaluasi klinis lebih lanjut.
2.6 Dosis Obat Diuretik

KELAS IA: KUINIDIN, PROKAINAMID DAN DISOPIRAMID

 KUINIDIN. Kuinidin hanya tersedia dalam sediaan peroral, walaupun pada keadaan
tertentu obat ini dapat diberikan secara intramuskular atau intravena. Dosis oral yang biasa
adalah 200-300 mg yang diberikan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien dengan kontraksi
atrium dan ventrikel prematur atau untuk terapi pemeliharaan.
 PROKAINAMID. Prokainamid hidroklorida (Pronestyl) tersedia dalam bentuk tablet dan
kapsul (250 sampai 500 mg) dan sebagai tablet lepas lambat (250 sampai 1.000 mg).
Suntikan proksinamid hidroklorida berisi 100 atau 500 mg/mL dan digunakan untuk
suntikan intramuskular dan intravena.
 DISOPIRAMID. Tersedia dalam bentuk tablet 100 atau 150 mg basa. Dosis total harian
adalah 400- 800 mg yang pemberiannya terbagi atas 4 dosis. . Penyesuaian dosis perlu
dilakukan pada gagal ginjal dan pada pasien ini kadar plasma, efek terapi dan efek toksik
perlu dimonitor dengan cermat.

KELAS IB : LIDOKAIN, FENITOIN, TOKAINID DAN MEKSILETIN

Dosis
 LIDOKAIN. Lidokain hidroklorida (Xyiocain) tersedia untuk pemberian intravena dalam
larutan unfuk infus. Untuk memperoleh kadar efektif dengan cepat, diberikan dosis 0,7-1,4
mg/kg BB secara intravena. Dosis berikutnya mungkin diperlukan 5 menit kemudian, tetapi
jumlahnya tak lebih dari 200-'300 rng dalam waktu 1 jam. Dosis harus lebih·kecil bila
diberikan pada pasien gagal jantung.
 FENITOIN. Fenitoin dapat diberikan peroral atau intravena secara intermiten. Preparat
suntikan mempunyai pH 12 dan menyebabkan flebitis berat bila diberi per infus. Kecepatan
suntikan tak boleh melebihi 50 mg per menit. Biasanya diperlukan dosis sebesar 700 mg,·
dan jarang melebihi 1.000 ·mg. Pengobatan dengan fenitoin peroral dimulai dengan dosis
tinggi; karena fenitoin. mempunyai waktu paruh yang panjang. Hari pertama diberi 15 -
mg/kg BB; hari kedua 7,5 mg/kg BB dan selanjutnya diberi dosis pemeliharaan 4-6 mg/kg
BB - (umumnya antara 300-400 mg/hari), Dosis pemeliharaan oral dapat diberikan tunggal
atau terbagi dua dalam sehari.
 TOKAINID. Tokainid hidroklorida (Tonocard) tersedia sebagai tablet 400 mg dan 600 mg
Dosis oral biasanya adalah 400-600 mg tiap 8 jam, tak boleh melebihi 2.400 mg/hari dan
harus diturunkan kurang dari 1.200 mg pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau
hati.
 MEKSILETIN. Meksiletin hidroklorida (Mexitex) tersedia dalam kapsul 150, ·200, dan
250 mg. Dosis oral ·biasa adalah 200-300 mg ·(maksimal 400 mg) yang diberikan tiap 8
jam dengan makanan atau antasid. Untuk mendapatkan respons cepat, diberikan dOsis awal
400 mg. Penurunan dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan hati.

KELAS IC: FLEKAINID, ENKAINID DAN PRO PAFENON


 FLEKAINID. Flekainid asetat (Tambocor) tersedia . untuk pemberian peroral sebagai tablet
50, 100 dan 150 mg. Dosis awal adalah 2 kali 100 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan tiap
4·hari dengan menambahkan 100 mg/hari (rnaksimum 400-600 mg/hari), yang diberikan 2
atau 3 kali sehari. Efek terapi biasanya tercapai pada kadar plasma 0,2-1 μg/ml;di atas itu
mulai terjadi toksisitas.
 ENKAINID. Enkainid hidroklorida (Enkaid) tersedia untuk pemberian peroral sebagai
kapsul 25, 35, dan - 50 mg. Dosis awal adalah 25 mg, diberikan tiga kali sehari, dosis ini
dapat dinaikkan tiap 3-5 hari sampai mencapai 4 kali 50 mg/hari. Penyesuaian dosis diper-
lukan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal.

KELAS II-BLOKER: PROPRANOLOL,ASEBUTOLOLDAN ESMOLOL


Dosis
 PROPANOLOL. Propranolol terutama diberikan ·. per oral untuk ·pengobatan aritmia
jangka lama. Kadar plasma yang memperlihatkan efek terapi sangat bervariasi (20-1.000
ng/ml) dan tergantung pada jenis aritmia yang diobati. Dosis berkisar dari 30 sampai 32Q
mg per hari ·untuk pengobatan aritmia yang sensitif terhadap obat ini.
 ASEBUTOLOL. Asebutolol diberikan per oral untuk · pengobatan aritmia jantung. Dosis
awal adalah dua kali 200 mg. Dosis dinaikkan secara perlahan . sampai mencapai 600-1200
mg yang terbagi dalam dua dosis.
 ESMOLOL. Esmolol diberikan secara intravena untuk pengobatan jangka pendek atau
sebagai pengobatan kegawatan pada takikardia supraventrikel.

KELAS Ill : BRETILIUM, AMIODARON, SOTALOL, DOFETILID DAN IBUTILID


Dosis
 BRETILIUM. Bretilium tosilat tersedia dalam larutan 50 mg/ml. Obat ini pertu diencerkan
menjadi 10 mg/ml, dan dosisnya adalah 5-10 mg/kgBB yang diberikan per infus selama·
10-30 menit. Dasis berikutnya diberikan 1-2 jam kemudian bila aritmia belum teratasi atau
setiap 6 jam sekali untuk pemeliharaan. Interva l dosis harus diperpanjang 48<Ja pasien
dengan-·gangguan faal ginjal.
 AMIODARON. Amiodaron HCI tersedia sebagai tablet 200 mg. Karena memerlukan
waktu beberapa bulan untuk mencapai efek penuh, diperlukan dosis muat 600-800 mg/hari
(selama 4 minggu), sebelum dosis pemeliharaan dimulai dengan 400- 800 mg/hari.
 SOTALOL. Sotalol masih dikembangkan formulasinya . Untuk pengobatan aritmia
ventrikel, dosisnya adalah 2 kali 80-320 mg. Dosis awal adalah 2 kali 80 mg/hari dan bila
perlu dosis ditambah tiap 3-4 hari. Keberhasilan terapi dinilai dengan pencatatan EKG
selama 24 jam atau dengan stimulasi ventrikel terprogram.
 DOFETILID. Oofetilid bekerja sebagai penghambat kanal kalium yang kuat. Karena
kerjanya yang spesifik, obat ini tak mempunyai efek farmakologik non-kardiak. Dofetilid
efektif mempertahankan irama sinus pada pasien fibrilasi atrium. Berbagai uji klinik
melaporkan bahwa torsades de pointes dapat terjadi pada 1 sampai 3% pasien.
 IBUTILID. lbutilid adalah penghambat kanal kalium. Di samping itu ibutilid mengaktifkan
aliran Na+ ke dalam sel. Kedua mekanisme kerja dofetilid ini akan . menghasilkan
perpanjangan aksi potensial.. · Digunakan untuk mendapatkan irama sinus pada flutter dan
fibrilasi atrium, dan diberikan secara IV cepat (1 mg dalam 10 menit).

KELAS IV (ANTAGONIS KALSIUM): VERAPAMIL DAN OILTIAZEM


Dosis
 Untuk mengubah PSVT menjadi irama sinus, verapamil dengan dosis 5-10 mg diberikan
secara intravena selama 2-3 menit. Untuk mengendalikan irama ventrikel pada fibrilasi atau
flutter atrium, verapamil diberikan dalam dosis 10 mg selama 2-5 menit, dan bila perlu
diulangi dalam waktu 30 menit. Unttik mencegah kembalinya PSVT atau untuk mengontrol
.irama ventrikel pada fibrilasi atrium, diberikan dosis oral 240-480 mg/hari dibagi dalam 3-
4 dosis. Walaupun indikasinya belum di- setujui, diltiazem telah digunakan untuk
pencegahan PSVT dalam dosis 60-90 mg, yang diberikan tiap 6 jam.
KELAS V (LAIN-LAIN): DIGITALIS, ADENOSIN, DAN MAGNESIUM
Mekanisme kerja : menyebabkan penghambatan aliran kalsium di nodus AV dan aktivasi aliran
kalium yang diperantarai asetilkolin di atrium.
2.7 Efek Samping dan Toksisitas Obat Aritmia

Efek metabolik. Seperti diuretik tiazid, diuretik kuat juga dapat menimbulkan efek
samping meta- bolik berupa hiperurisemia, hiperglikemia, pening- katan kolesterol LDL
dan trigliserida, serta penu- runan HDL.

Efek samping tiazid berkaitan dengan kadar plasma. Obat ini mulai digunakan sejak
tahun 1950 dengan dosis 200 mg/hari dengan tujuan men- dapatkan efek diuresis.
Akibatnya, dosis tinggi ini menimbulkan berbagai efek samping. Uji klinik yang lebih baru
membuktikan bahwa dosis rendah (12,5-25 mg · HCT) lebih efektif menurunkan tekanan
darah dan mengurangi risiko kardiovas- kular. Efek samping diuretik tiazid antara lain:

1) Gangguan elektrolit meliputi hipokalemia, hipovolemia, hiponatremia, hipokloremia,


hipo- magnesemia. Hipokalemia mempermudah ter- jadinya aritmia terutama pada pasien
yang juga mendapat digitalis atau antiaritmia lain. Pemberian diuretik ·pada, pasien sirosis
dengan asites perlu dilakukan dengan hati-hati, gang- guan pembentukan H+
menyebabkan.amoniak tidak dapat diubah menjadi ion amonium dan memasuki darah, ini
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya- depresi mental dan koma pada pasien
sirosis hepatis.

2) Gejala insufisiensi ginjat dapat diperberat oleh tiazid, mungkin karena tiazid langsung
mengu- rangi aliran darah ginjal. Suatu reaksi idiosin- krasi yang jarang sekali timbul
seperti hepatitis kolestatik, telah dilaporkan. ,

3) · Hiperkalsemia. Tendensi hiperkalsemia ·pada pemberian tiazid jangka: panjang


merupakan efek samping yang menguntungkan terutama untuk orang tua dengan risiko
ostoporosis , karena dapat mengurangi risiko fraktur.

4)Hiperurisemia. Diuretik tiazid dapat mening- katkan kadar asam urat darah karena·
efeknya menghambat sekresi dan menirrgkatkan reab- sorpsi asam urat. Efek samping ini
perlu men- jadi perhatian pada pasien artritis gout karena dapat mence.tuskan serangan
gout akut.

5 Tiazid menurunkan toleransi glukosa dan mengurangi efektivitas obat hipoglikemik oral.
Ada 3·faktor yanga menyebabkan hal ini dan telah dapat dibuktikan pada tikus yaitu
kurany" nya sekresi insulin terhadap peninggian kadar glukosa plasma, meningkatnya
glikogenolisis, dan berkurangnya glikogenesis. Penyelidikan klinis menunjukkan bahwa
deplesi K+ ikut memegang peranan dalam hal menurunnya toleransi glukosa ini, mungkin
?ekali_, rri~f~lur penghambatan .konversi proinsulin menjadi insulin. ·

6 Tiazid dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida plasma dengan
mekanisme yang .tidak diketahui, tetapi tidak jelas apakah ini meningkatkan risiko
terjadinya aterosklerosis.

7. Gangguan fungsi seksual kadang-kadang ·dapat terjadi akibat pemakaian diuretik.


Meka- nisme efek samping ini tidak diketahui dengan jelas.

Efek samping hemat kalium


EFEK 5AMPING.- Efek toksik yang .utama· dari ,spironolakton adalah·hlperkalemia.yang
sering ter- jadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan
asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek toksjk · ini dapat pula terjadi bila .dosis yang
biasa diberi~ kan bersama dengan tiatid pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang
·berat.
Efek samping Jain yang ringan dan reversibel di antaranya gioekomastia, efek samping
mirip androgen.dan gejala saluran cerna
Efek samping ADH
Suntikan ADH dosis besar menyebabkan vasokonstriksi, 1ekanan darah naik dan kulit jadi
pucat. PerlstaJsis usus meningkat, meriyebakan rasa mual dan kolik usus. Pada wanita ADH
menyebabkan spasme uterus.
Pembuluh darah koroner menyempit sehingga pada pasien dengan insufisiensi koroner, ADH
dalam dosis kecil, yang dapat mengendalikan diabetes insipidus, ternyata dapat menimbulkan
serangan angina. lskemia miokard akibat ADH dapat ber- akibat fatal. Hal ini perlu
dipertimbangkan pada penggunaan ADH untuk mengontrol perdarahan di
·saluran cerna. Gejala efek samping di atas hampir tidak ditemukan dengan desmopresin ,
kecuali pada dosis besar (40 mg). Pada penggunaan sediaan antidiuretik juga ada kemungkinan
terjadinya efek samping keracunan air.

2.8 Kontra Indikasi dan Interaksi Obat Diuretik Kontra Indikasi :

Lidokain (lignokain) relatif aman bila diberikan sebagai injeksi intravena yang diberikan
dengan lambat dan harus menjadi pilihan utama dalam keadaan darurat. Meskipun efektif dalam
mengurangi takikardia ventrikel dan mengurangi risiko terjadinya fibrilasi ventrikel setelah
infark miokard, obat ini tidak mengurangi mortalitas bila digunakan sebagai profilaksis dalam
kondisi ini. Pada pasien dengan gagal jantung atau hati, dosis perlu dikurangi untuk mencegah
terjadinya konvulsi, depresi SSP, atau depresi sistem kardiovaskular.

Meksiletin diberikan sebagai injeksi intravena yang diberikan secara lambat bila lidokain tidak
efektif; obat ini mempunyai kerja yang serupa. Efek yang tidak diinginkan pada sistem
kardiovaskular dan SSP membatasi dosis yang dapat ditoleransi; mual dan muntah dapat
menyebabkan dosis efektif tidak dapat diberikan secara oral.

Morasizin adalah obat baru untuk profilaksis dan pengobatan aritmia ventrikel yang serius dan
mengancam jiwa pada pasien yang kondisinya sudah stabil dengan pemberian morasizin.

Obat-obat baik untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel meliputi amiodaron, beta bloker,
disopiramid, flekainid, prokainamid, propafenon dan kinidin.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aritmia adalah masalah pada laju atau irama detak jantung yang berdetak terlalu
cepat, terlalu lambat, atau dengan ritme yang tidak teratur. Penderita aritmia mungkin akan
merasakan detak jantung yang terlalu cepat, yang disebut takikardia.

3.4 saran

1. Untuk mendapatkan pengobatan yang tepat pada pasien


hiperlipoproteinemia perlu konsultasi dari dokter dan apoteker.
2. Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih memahami
pengobatan pada pasien
DAFTAR PUSTAKA

Katzung.2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12. New York : MC Graw Hill

Medical

Gunawan,S.G.2012.Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta : Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai