Anda di halaman 1dari 4

TEORI RELATIVISME BUDAYA MENURUT PANDANGAN ANTROPOLOGI

Dalam antropologi, teori relativisme budaya mengacu pada pendekatan yang melibatkan penghormatan
terhadap keragaman budaya dan penolakan terhadap penilaian budaya berdasarkan standar yang relatif
atau absolut. Pandangan antropologi cenderung mengadopsi perspektif relativis terhadap budaya,
dengan mengakui bahwa setiap budaya memiliki sistem nilai, norma, dan praktiknya sendiri yang harus
dipahami dalam konteks budaya itu.

Teori relativisme budaya dalam antropologi melibatkan pemahaman bahwa nilai-nilai dan norma-norma
budaya dihasilkan melalui proses sejarah, lingkungan, dan konteks sosial yang unik. Tidak ada standar
universal yang dapat digunakan untuk menilai budaya sebagai lebih baik atau lebih buruk daripada
budaya lainnya.

Antropologi juga mengakui bahwa budaya bukanlah sesuatu yang statis atau tak berubah. Budaya terus
berkembang dan berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti migrasi, kontak budaya,
perubahan sosial, dan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, antropologi menyoroti pentingnya
melihat budaya sebagai produk sejarah dan perkembangan yang kompleks.

Pendekatan relativis dalam antropologi membantu para antropolog memahami budaya dengan cara
yang lebih komprehensif dan objektif. Mereka berusaha untuk melibatkan diri dalam penelitian
lapangan yang mendalam, belajar tentang budaya langsung dari perspektif orang-orang yang tinggal di
dalamnya. Dengan demikian, antropologi berupaya untuk mencegah etnosentrisme dan penilaian
negatif terhadap budaya lain.

Namun, penting untuk dicatat bahwa teori relativisme budaya juga telah mendapatkan kritik. Beberapa
mengklaim bahwa pendekatan ini bisa menjadi moral relativisme yang membuka pintu bagi penindasan
dan pelanggaran hak asasi manusia. Kritik-kritik ini menggarisbawahi perlunya menemukan
keseimbangan antara menghargai keragaman budaya dan mempertahankan standar universal yang
melindungi nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia.

- Pandangan menurut Alfred Louis

Alfred Kroeber, seorang antropolog terkemuka pada abad ke-20, memiliki pandangan yang kuat
tentang teori relativisme budaya. Kroeber mendukung pandangan bahwa budaya harus dipahami
dan dinilai dalam konteks budaya itu sendiri, dan menolak penilaian budaya berdasarkan standar
yang relatif atau absolut.

Menurut Kroeber, setiap budaya memiliki sistem nilai, norma, dan praktiknya sendiri yang unik.
Perbedaan budaya tidak dapat dianggap sebagai tanda superioritas atau inferioritas, tetapi sebagai
refleksi dari perbedaan konteks sejarah, lingkungan, dan sosial di mana budaya tersebut
berkembang. Kroeber menekankan pentingnya menghargai keragaman budaya dan melihat budaya-
budaya lain secara objektif.

Kroeber juga menekankan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang statis atau tak berubah. Ia
mengakui bahwa budaya adalah hasil dari evolusi dan perubahan seiring waktu. Budaya beradaptasi
dengan perubahan lingkungan, teknologi, dan dinamika sosial. Oleh karena itu, Kroeber
menekankan pentingnya memahami budaya sebagai produk sejarah dan perkembangan yang
kompleks.

Pendekatan relativisme budaya Kroeber dalam antropologi membantu kita melihat budaya-budaya
dengan cara yang lebih objektif dan mencegah etnosentrisme. Ia mendorong antropolog dan
peneliti untuk terlibat langsung dalam penelitian lapangan yang mendalam dan belajar tentang
budaya dari perspektif orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Pandangan Kroeber tentang teori relativisme budaya memberikan landasan penting dalam
memahami keragaman budaya dan menghargai perbedaan budaya. Kontribusinya dalam
antropologi budaya masih diakui hingga saat ini dan mempengaruhi pemikiran kita tentang
relativisme budaya

- Pandangan menurut Clifford Greetz

Clifford Geertz, seorang antropolog terkenal, memiliki pandangan yang signifikan tentang teori
relativisme budaya. Geertz mengembangkan pendekatan interpretatif dalam antropologi yang
menekankan pentingnya memahami makna budaya dalam konteks lokalnya.

Geertz menggambarkan budaya sebagai sistem simbolik yang kompleks, di mana makna dan tindakan
manusia terletak. Ia menekankan bahwa budaya harus dipahami sebagai konstruksi sosial dan
interpretasi yang diperoleh melalui proses simbolik. Dalam pandangan Geertz, budaya adalah suatu
"teks" yang harus dibaca dan diinterpretasikan oleh peneliti.

Geertz juga menyoroti pentingnya memahami konteks budaya secara mendalam dan menghindari
interpretasi yang berdasarkan penilaian nilai-nilai budaya kita sendiri. Ia berpendapat bahwa tidak ada
budaya yang lebih baik atau lebih buruk daripada budaya lainnya, melainkan perbedaan budaya harus
dipahami dalam konteks budaya itu sendiri.

Pendekatan Geertz terhadap teori relativisme budaya berpusat pada interpretasi, penafsiran simbolik,
dan pemahaman mendalam tentang makna budaya. Ia menekankan bahwa pemahaman budaya harus
didasarkan pada pengamatan langsung, partisipasi, dan dialog dengan anggota budaya yang sedang
diteliti.

Dalam karyanya yang terkenal, "The Interpretation of Cultures", Geertz mengemukakan bahwa peneliti
antropologi harus berusaha memahami perspektif dan makna yang diberikan oleh orang-orang dalam
budaya yang diteliti. Ia menekankan bahwa budaya harus dilihat sebagai "sistem makna yang rumit"
yang harus diinterpretasikan dengan memperhatikan konteks lokalnya.

Pandangan Geertz tentang teori relativisme budaya memberikan landasan penting dalam antropologi
interpretatif dan penelitian tentang makna budaya. Kontribusinya dalam memahami kompleksitas
budaya dan interpretasi simbolik telah berpengaruh luas dalam bidang antropologi.

- Pandangan menurut Edward Sapir

Edward Sapir, seorang ahli bahasa dan antropolog terkenal, memiliki pandangan yang signifikan tentang
teori relativisme budaya. Sapir adalah salah satu pendiri bidang linguistik antropologi dan berpengaruh
dalam pemikiran tentang keragaman budaya.
Sapir menyatakan bahwa budaya memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir dan bahasa
individu. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah cerminan budaya, dan perbedaan dalam struktur dan
kosakata bahasa mencerminkan perbedaan budaya yang mendasar.

Sapir menekankan bahwa setiap bahasa mengandung sistem pemikiran yang unik, yang memengaruhi
cara individu dalam budaya tersebut mempersepsikan dunia dan berinteraksi dengan lingkungan. Dalam
pandangan Sapir, bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan, dan perbedaan bahasa mencerminkan
perbedaan budaya yang lebih luas.

Pandangan Sapir tentang relativisme budaya terkait erat dengan pandangannya tentang relatifitas
bahasa. Ia menolak ide bahwa ada bahasa yang lebih baik atau lebih tinggi daripada bahasa lainnya.
Menurut Sapir, setiap bahasa memiliki nilai intrinsik dan kompleksitasnya sendiri yang harus dihormati
dan dipahami.

Sapir juga mengakui bahwa budaya dan bahasa berubah seiring waktu. Ia melihat budaya sebagai
entitas yang dinamis dan terus berkembang, yang tercermin dalam perubahan bahasa seiring perubahan
sosial, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam memahami budaya, Sapir menggarisbawahi
pentingnya memperhatikan konteks sejarah dan perkembangan budaya tersebut.

Pandangan Sapir tentang teori relativisme budaya menekankan pentingnya menghargai keragaman
budaya dan menerima bahwa tidak ada satu standar universal yang dapat digunakan untuk menilai
budaya sebagai lebih baik atau lebih buruk. Ia mendorong peneliti dan antropolog untuk menjauhkan
diri dari etnosentrisme dan memahami budaya-budaya lain dalam konteks budaya mereka sendiri.

Kontribusi Sapir dalam bidang linguistik antropologi dan pemikiran tentang relativisme budaya telah
memberikan pengaruh yang signifikan dalam memahami keragaman budaya dan pentingnya memahami
budaya dengan cara yang relatif dan kontekstual.

- Pandangan menurut E.B. Taylor

Edward Burnett Tylor, atau lebih dikenal sebagai E.B. Tylor, adalah seorang antropolog Inggris pada abad
ke-19 yang dianggap sebagai salah satu pendiri antropologi budaya. Pandangannya tentang teori
relativisme budaya berbeda dengan pandangan yang diadopsi oleh beberapa ahli antropologi modern.

Tylor, dalam karyanya yang terkenal, "Primitif Culture" (1871), mengusulkan teori evolusi budaya. Ia
percaya bahwa budaya manusia berkembang melalui tahap-tahap evolusioner yang berurutan, dimulai
dari tahap primitif dan berkembang menuju kebudayaan yang lebih maju dan kompleks.

Pandangan Tylor didasarkan pada pemikiran bahwa semua budaya manusia berbagi asal-usul yang
sama, dan kemajuan budaya terjadi secara linier dari yang sederhana ke yang kompleks. Ia
menggunakan istilah "survival" dan "survivals" untuk merujuk pada elemen budaya yang masih ada
dalam masyarakat modern, tetapi sebenarnya merupakan warisan dari masa primitif.

Dalam pandangan Tylor, budaya primitif dianggap sebagai tahap yang lebih rendah atau inferior dalam
evolusi budaya. Ia menganggap bahwa budaya primitif mengandung "kepercayaan palsu" atau
"superstisi" yang harus ditinggalkan seiring dengan kemajuan budaya. Pandangannya mengarah pada
ide bahwa budaya maju dan kompleks, seperti budaya Barat, adalah tujuan yang lebih tinggi dalam
perkembangan budaya manusia.
Dalam konteks ini, pandangan Tylor tidak sepenuhnya mencerminkan pandangan relativisme budaya
yang dianut oleh beberapa ahli antropologi modern. Relativisme budaya menekankan pentingnya
menghargai keragaman budaya dan menolak penilaian budaya berdasarkan standar yang relatif atau
absolut. Pendekatan relativis mengakui bahwa tidak ada budaya yang secara intrinsik lebih baik atau
lebih rendah dari budaya lainnya.

Meskipun pandangan Tylor tidak sepenuhnya mencerminkan pandangan relativisme budaya yang dianut
oleh banyak antropolog modern, kontribusinya dalam memperkenalkan konsep budaya dan evolusi
budaya tetap penting dalam sejarah antropologi. Namun, pandangan Tylor juga telah dikritik karena
etnosentrisme dan kecenderungannya untuk menilai budaya primitif sebagai inferior.

Sumber

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

Kroeber, A. L. (1948). Anthropology: Culture Patterns & Processes. Harcourt Brace Jovanovich.

Herskovits, M. J. (1955). Cultural relativism: Perspectives in cultural pluralism. Social Forces, 33(4), 339-
347.

Clifford, J., & Marcus, G. E. (Eds.). (1986). Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography.
University of California Press.

Abu-Lughod, L. (1991). Writing against culture. In R. Fox (Ed.), Recapturing Anthropology: Working in the
Present (pp. 137-162). School of American Research Press.

Anda mungkin juga menyukai