Anda di halaman 1dari 12

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA

MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Nanda Ramadhayani1 , Ida Safira 2, Poejiono3


1,2,3
Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

nramadhayani@gmail.com

idasafirabangun03@gmail.com

poejiono11@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa pada


Masyarakat Jawa di Kabupaten Simalungun. Penelitian berupa kajian
antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang
mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan
budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah:
1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Jawa, 2)
menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Jawa, dan 3) menjelaskan
kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Jawa. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face)
dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data
yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Jawa
direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta,
3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan
masyarakat Jawa dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi
alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta
maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan
masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni sikap menghindari perselisihan
dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan
berbahasa masyarakat Jawa diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda

1
melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.

Kata Kunci: Kesantunan, Bahasa, Kearifan Lokal

PENDAHULUAN

Bahasa pada dasarnya berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk


pertukaran informasi dan sebagai penghubung antara pembicara dan pendengar.
Untuk memperkuat hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu acara
berbicara, diharapkan bahwa pembicara dan lawan bicara menggunakan bahasa
yang sopan. Dengan melakukannya, kemungkinan konflik akan berkurang, yang
akan mencegah meningkatnya jumlah perselisihan yang kita lihat di televisi dan
tempat lainnya. Sejak berakhirnya era Orde Baru dan peralihan ke era reformasi
yang telah berlangsung hampir 15 tahun, kesantunan dalam berbahasa telah
menjadi topik penting untuk dibahas dalam kaitannya dengan fenomena di
masyarakat Indonesia, terutama dalam bidang politik. Euforia kebebasan
berbicara, yang terkadang mengabaikan kesantunan, dapat terlihat dalam upaya
masyarakat Indonesia untuk mempromosikan kebebasan berbicara dengan cara
yang tidak selalu tepat.

Akibatnya, tidak jarang kita melihat pertengkaran antara orang-orang


dengan pandangan yang berbeda yang diundang untuk berbicara dalam acara
televisi atau pertengkaran lisan antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang
kadang-kadang berakhir dengan anarki. Jika kita tetap memegang prinsip
kesantunan dalam berkomunikasi, sebenarnya kita dapat menghindari hal-hal
seperti ini. Komunikasi yang tidak hormat antara siswa seringkali mengarah pada
perkelahian antar siswa yang menyebabkan konflik antar sekolah. Sangatlah
menyedihkan melihat fenomena linguistik yang sedang terjadi saat ini. Sudah
biasa kita melihat dua pembicara yang saling interupsi satu sama lain untuk
mendapatkan kesempatan berbicara, karena siaran televisi didominasi oleh
program-program yang menampilkan orang-orang yang menggunakan bahasa
yang merendahkan. Karena fenomena ini menyimpang dari pola pergantian giliran
2
yang ideal, hal ini dianggap sebagai sikap yang tidak hormat. Remaja lebih
cenderung menggunakan bahasa yang tidak sopan di tempat umum. Ketika
seorang anak mengeluh tentang hukuman yang diterimanya dari seorang guru, hal
itu merupakan contoh komunikasi yang kasar.

A: Iku apik-apik nalika ngomong. (Bagus-bagus muncung Bapak kalau berbicara)

Dalam Bahasa Indonesia, kata "muncung" diterjemahkan sebagai "mulut,"


tetapi ketika digunakan dalam percakapan formal, terutama jika ditujukan kepada
seorang guru, hal itu sangat tidak sopan dan kasar. Jika guru tidak mampu
mengendalikan emosinya, ucapan kasar yang diucapkan oleh siswa dalam contoh
percakapan di atas berpotensi memicu pertengkaran serius. Hal ini dapat
menyebabkan siswa mengalami kekerasan fisik, yang kemudian mendorong siswa
tersebut untuk menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Tanpa
menyelidiki latar belakang kejadian tersebut terlebih dahulu, terjadilah konflik
yang melibatkan polisi.

Media sosial seperti Twitter dan Facebook, yang saat ini sangat populer di
kalangan masyarakat di seluruh dunia, terutama generasi muda, juga menampilkan
fenomena yang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di televisi. Bahkan,
masalah bahasa kasar di media sosial dapat dikatakan lebih buruk daripada di
televisi. Pengguna media sosial ini seringkali menuliskan pernyataan yang
menghina orang yang dituju, baik secara terang-terangan maupun tersirat tanpa
menyebutkan namanya. Komentar-komentar dari orang-orang yang berbeda
pendapat dalam artikel berita online seringkali menggunakan bahasa yang jauh
dari kata-kata sopan, terutama jika topik beritanya melibatkan masalah ras, agama,
etnis, atau nasionalitas (SARA). Ironisnya, sebagian masyarakat semakin toleran
terhadap ketidaksantunan berbahasa ini dengan menyalahkan perkembangan
zaman akibat modernitas dan globalisasi. Toleransi ini mengakibatkan
pelanggaran kesopanan berbahasa diterima. Untuk itu, temuan penelitian ini perlu
membantu meningkatkan kesadaran tentang masalah bahasa yang tidak sopan,
terutama di kalangan generasi muda yang cenderung mengabaikan masalah ini.

3
Masalah kesopanan berbahasa perlu diangkat dan didiskusikan. Bahasa dan
budaya memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan

Untuk mempelajari sebuah bahasa, tidak dapat dihindari bahwa kita juga
harus mempelajari budaya para penuturnya karena bahasa hanya memiliki makna
dalam konteks budaya yang melingkupinya (Sibarani, 2004: 65). Oleh karena itu,
penting untuk melakukan penelitian atau memahami norma-norma budaya
sebelum atau sejalan dengan pembelajaran bahasa. Kesopanan berbahasa berasal
dari patuh terhadap aturan bahasa yang sesuai dengan budaya. Bersama dengan
budaya, karakteristik sosial seperti status sosial, usia, gender, dan tingkat
pendidikan juga mempengaruhi bagaimana kesopanan berkembang dalam bahasa.
Karena bahasa dan budaya saling terkait erat, kesopanan berbahasa berbeda-beda
di antara masyarakat-masyarakat. Di kepulauan Indonesia, kesopanan berbahasa
dalam bahasa rakyat adalah ungkapan dari tradisi lisan yang harus dijaga dan
dikembangkan untuk menemukan aturan-aturan nenek moyang yang masih ada
dalam budaya penutur bahasa tersebut.

Bangsa kita saat ini menghadapi masalah-masalah yang seringkali terkait


dengan ancaman disintegrasi akibat konflik-konflik sosial. Melalui tradisi lisan
bahasa rakyat, kita dapat menggali kearifan lokal yang terdapat pada kebudayaan
penutur bahasa tutur tersebut untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
alternatif untuk menjawab permasalahan ini. Penurunan ideal kesopanan
berbahasa dalam berkomunikasi merupakan salah satu faktor yang menyumbang
pada masalah-masalah tersebut. Indonesia merupakan negeri dengan beragam
kebudayaan yang seringkali menjadi objek penelitian. Kelompok-kelompok etnis
minoritas yang terdapat di pedalaman dan pedesaan kepulauan ini seringkali
memiliki keragaman kebudayaan tersebut. Nilai-nilai luhur masih tetap ada dalam
setiap variasi budaya dan menjadi pengetahuan lokal bagi masyarakat yang
menguasai kebudayaan tersebut. Penting untuk upaya mempertahankan suatu
budaya untuk menggali pengetahuan lokal di dalam budaya tersebut. Nilai-nilai
budaya lokal telah berubah dan tergantikan dengan budaya asing yang semakin
pesat berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di daerah

4
perkotaan maupun di pedesaan, terutama pada masa modernisasi yang diakibatkan
oleh globalisasi

Menurut Sibarani (2012), kearifan lokal adalah pengetahuan atau


kebijaksanaan yang melekat dalam suatu masyarakat dan berasal dari prinsip
moral yang tinggi dalam tradisi budaya untuk mengatur tatanan sosial kehidupan
masyarakat. Menurut Sibarani, pengetahuan lokal diperoleh dari nilai-nilai luhur
budaya yang dapat diterapkan untuk perdamaian dan pembangunan masyarakat,
terutama masyarakat yang mewujudkan nilai-nilai budaya tersebut. Pengetahuan
lokal dalam suatu budaya diungkapkan melalui nilai-nilai budaya yang hanya
dapat disimpulkan dari ucapan, perbuatan, dan produk nyata yang diwariskan
secara turun temurun. Dalam kontras dengan masyarakat yang nilai-nilainya
berubah akibat modernisasi, masyarakat yang tetap kokoh mempertahankan tradisi
semakin sedikit jumlahnya dan hanya ada di tempat-tempat tersebutlah nilai-nilai
ini dapat ditemukan. Meskipun pengaruh budaya luar yang meresap begitu mudah
mempengaruhi masyarakat, terutama generasi muda, melalui televisi dan internet
sebagai dampak globalisasi informasi dan modernisasi, pemertahanan nilai-nilai
kearifan lokal dalam masyarakat-masyarakat ini tetap teguh. Ketika orang tua
mewariskan pengetahuan tentang bahasa daerah kepada anak dan cucu mereka,
nilai-nilai budaya ini seringkali terjaga melalui pewarisan secara lisan. Menurut
pengamatan penulis, kesantunan berbahasa masih terlihat dalam interaksi sehari-
hari masyarakat Jawa di Kabupaten Simalungun. Percakapan yang berikut ini
adalah antara dua tetangga dan seorang ibu yang menyuruh anak tertuanya untuk
memperbaiki atap rumah

1. Ibu : Saget mas ndandani ghendeng kita? ‘Bisa mas memperbaiki atap
(rumah) kita? (ms adalah panggilan untuk anak laki-laki tertua dalam
keluarga)
Anak : Yoo. enggel yo bu. “Ya. Sebentar lagi bu’.
2. A: Dadi sesok lungo neng Medan? ‘jadi pergi ke Medan besok?’ Eneng
piranti meja koyok wis Wati. Neng Medan ngandika tuku e . ‘Ada
peralatan makan seperti punya bu Wati. Katanya dia beli di Medan.

5
B: Yen aku duwe wektu aku bakal nggoleki. ‘Kalau sempat saya nanti
saya cari.’

Kalimat perintah yang seharusnya dalam bentuk imperatif, tetapi


diucapkan sebagai pertanyaan atau interogatif dalam percakapan pertama.
Pertanyaan tersebut juga menunjukkan bahwa sang ibu memberikan pilihan
kepada anaknya apakah akan mengikuti perintah tersebut atau tidak. Meskipun
jelas bahwa yang diperintah adalah anaknya sendiri, hal ini menunjukkan
kesantunan berbahasa. Dengan mengajarkan perilaku yang tepat kepada anaknya
dalam situasi ini, sang ibu juga menunjukkan kearifan dan pengetahuannya. B
menunjukkan kesopanan dalam percakapan kedua dengan memberikan janji yang
mungkin tidak selalu dapat ditepati. Hal ini dilakukan semata-mata untuk
menyenangkan hati A. Untuk meminta B melakukan apa yang diinginkan oleh A,
A tidak secara langsung menyatakan maksudnya untuk meminta B membeli suatu
barang.

Dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk menemukan dan menggali


kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Jawa yang disimpulkan
dan ditafsirkan dari bahasa tutur masyarakat tersebut. Bahasa tutur atau bahasa
rakyat (folklore) yang digunakan masyarakat Jawa saat ini terdiri dari bahasa Jawa
Kasar dan Halus. Penutur bahasa Jawa tersebar di berbagai masyarakat Jawa,
khususnya di beberapa kabupaten di Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana


6
proses penelitian dilakukan dalam bentuk data yang disajikan secara deskriptif,
termasuk kata-kata tertulis yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Metode ini
paling cocok digunakan untuk penelitian yang berupa kajian antropolinguistik
yang menelaah bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi
dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.

Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung kesantunan


berbahasa menurut teori Brown dan Levinson (1987). data tersebut diambil dari
informan yang terdiri atas empat keluarga yang tinggal di empat desa yang
menjadi lokasi penelitian. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data
pada penelitian ini adalah metode simak dengan menggunakan teknik dasar yang
berwujud teknik sadap. Upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap
penggunaan bahasa para informan yang dalam hal ini adalah para anggota
keluarga yang menjadi sumber data pada penelitian ini.

Teknik lanjutan dari teknik sadap yang dilakukan pada penelitian ini
berupa teknik simak bebas libat cakap (Mahsun, 2005: 92-95). Peneliti hanya
sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan dan hanya menyimak
dialog yang terjadi antarinforman. Penerapan metode simak dengan teknik sadap
pada penelitian ini dilakukan dengan perekaman percakapan yang terjadi dalam
interaksi sehari-hari dalam ranah keluarga penutur bahasa Jawa dan juga dalam
interaksi dengan tetangga melalui alat perekam digital. Pada saat proses
pengumpulan data dengan perekaman dilakukan, peneliti berusaha agar para
informan tidak menyadari bahwa percakapan yang mereka lakukan sedang
disadap. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data tuturan yang alami dan tidak
dibuat-buat.

Seiddel (1998) dalam Moleong (2005: 248) menjelaskan proses penganalisisan


data, sebagai berikut:

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal diberi kode


agar sumber datanya tetap dapat diselusuri.
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,

7
membuat ikhtiar, dan membuat indeksnya.
3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menolak direalisasikan dengan


strategi memberi alasan, meminta maaf, berterima kasih, menunda dan dengan
konstruksi kalimat berpagar. Pada tabel 1.1. berikut disajikan data-data realisasi
kesantunan berbahasa dengan strategi memberi alasan pada tindak tutur menolak
yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dalam interaksi komunikasi di ranah
keluarga dan lingkungan tetangga.

Tabel 1.1. Strategi Kesantunan dengan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur
Menolak

No Contoh Tuturan Konteks


1 A : dadi mengko arep menyang omahe indra yo Seseorang
(Jadi nanti kami kerumahnya indra ya) mengkonfirmasikan
kembali rencana
B: Arel lungo pula aku engko, sesok ae la yo riko teko
kunjungannya ke
rumah temannya
namun permintaan
(Mau pergi pula aku nanti, besok aja ya kalian datang) tersebut ditolak.

2 A: yen kuwe nek lungo, antarno iki neng omah e Emi yo seseorang menolak
(Kalau kalian mau pergi (nanti) antarkan ini ke (rumah) Emi permintaan kakaknya
ya.) untuk mengantarkan
B: Aku ora gowo kereta, ndra uang kepada adiknya
yang tinggal di tempat
(Aku tdak bawa kereta ndra) lain.

3. A: Nyilih motormu sedhela, nan


Seseorang menolak
(Pinjam sebentar sepeda motormu, Nan.) permintaan tetangganya
B: Aku arep lungo, da yang ingin meminjam
(Aku mau pergi, da) sepeda motor.

4 A: Sapu omah iku, don


Seorang anak yang
(Sapu rumah itu, don) menolak perintah
B: Aku sek masak ntar ibunya untuk
(aku masih masak bentar) menyapu rumah.
8
5 A: Ngumbah klambi iku ida
Seseorang yang
(Cucilah baju itu ida) menolak perintah
B: Pacarku wes nunggoni aku mbok, engko wae bibinya untuk menyuci
(Pacarku udah menunggu bi, nanti saja) baju.

Contoh tuturan yang bercetak tebal pada pada tabel 1.1 di atas merupakan
tuturan menolak dengan strategi memberi alasan. Tuturan (1B) Arel lungo pula
aku engko, sesok ae la yo riko teko (Saya akan/hendak pergi nanti) merupakan
pemarkah kesantunan yang digunakan penutur untuk menolak permintaan mitra
tuturnya yang ingin datang bertamu dengan alasan bahwa ia tidak berada di rumah
pada saat yang dimaksudkan mitra tuturnya tersebut. Demikian juga halnya
dengan pertuturan (3). Situasi pada pertuturan (3) penutur (A) bermaksud
meminjam sepeda motor (B). Permintaan tersebut ditolak oleh (B) dengan alasan
bahwa ia juga akan pergi memakai sepeda motor tersebut. Pemarkah kesantunan
pada tuturan menolak penutur (B) Aku arep lungo, da, Arep adalah alasan akan
pergi.

Pemarkah kesantunan pada pertuturan (2), (4), (5) juga ditunjukkan oleh
kalimat bercetak tebal. Pada pertuturan (2) penutur (A) meminta tolong kepada
(B) untuk mengantarkan uang kepada adiknya. Permintaan tersebut ditolak oleh
(B) dengan memberikan alasan bahwa ia tidak membawa sepeda motor sehingga
akan merepotkan bagi dia jika masih harus menuruti permintaan (A). Tuturan
yang bercetak tebal pada pertuturan-pertuturan tersebut merupakan pemarkah
kesantunan dalam tindak tutur menolak dengan strategi memberi alasan

Tabel 1.2. .Strategi Kesantunan dengan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur
Menolak

No Contoh Tuturan Konteks


1 A : Gowo Roti iku nduk Seseorang yang
(Bawak Roti itu nak) menolak tawaran untuk
9
B: ngapunten bu, neng omah ora suka roti
(Maaf bu, yang dirumah tidak ada yang suka roti) membawa pulang roti.

2 A: Mampir ndesek la, Az. Aku nggule iwak nila


(Singgalah kalian sebentar, Az. Aku lagi nggulai ikan
nila.)
B: duh, nuwun sewu buk, kancaku wes nunggoni neng Seorang anak yang
njaba menolak tawaran gulai
(Aduh maaf mak, kawanku udah nunggu diluar) ibunya.

Dari data di atas ditunjukkan bahwa unsur-unsur perangkat kesantunan berbahasa


yang digunakan masyarakat Jawa dalam tindak tutur menolak dengan strategi
meminta maaf adalah dengan pola maap + kata sapaan. Kata maap diikuti oleh
kata sapaan terhadap mitra tutur seperti yang terlihat pada tuturan maap, Mbok.
Pada tuturan ini kata maap diikuti oleh kata sapaan Mbok, yang merupakan
sapaan untuk adik dari ayah atau ibu yang paling bungsu. Pada data tuturan
nuwun sewu, Mak, kata maap diikuti oleh kata sapaan Mak.

Tabel 1.3. Strategi Kesantunan dengan Berterima Kasih pada Tindak Tutur
Menolak

N
o Contoh Tuturan Konteks
1 A : Mangan ndesek kita yo
(Makan dulu kita ya) Seseorang yang
B: suwon bik, kami arek lungo iki dino menolak tawaran
(Terimakasih bulek, tapi kami mau pergi sekarang ini) makan.

2 A: mlebu dhisik
(Masuk dulu.) Seseorang yang
B: Suwon, sawetara wektu wae kami mampir yo menolak tawaran untuk
(Terimakasih, kapan-kapan saja kami singgah ya) singgah.

Kesantunan bahasa pada tindak tutur menolak yang direalisasikan dengan


strategi berterima kasih menunjukkan pola Mo kasi + Kata sapaan. Kedua unsur
perangkat kesantunan ini ditunjukkan pada tuturan Suwon, Bik. Bik merupakan
kata sapaan yang dipergunakan masyarakat Jawa untuk adik perempuan ibu.

10
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis temuan penelitian yang telah dilakukan maka dapat


dikemukakan simpulan sebagai berikut. Kesantunan berbahasa masyarakat Jawa
dalam lima tindak tutur yakni menolak, meminta, memerintah, melarang dan
menawarkan direalisasikan dengan delapan strategi, yaitu: 1) memberi alasan, 2)
meminta maaf, 3) berterima kasih, 4) dan 5) menunda.

Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menolak,


masyarakat Jawa menggunakan lima strategi, yaitu: 1) memberi alasan, 2)
berterima kasih, 3) meminta maaf, 4) dan 5) menunda. Penggunaan akhiran dan
partikel dalam tuturan sehari-hari masyarakat Jawa juga mempunyai andil dalam
menunjukkan kesantunan berbahasa pada masyarakat ini, khususnya pada tuturan
memberi perintah. Partikel dan akhiran yang digunakan untuk menunjukkan
kesantunan berbahasa pada masyarakat Jawa yakni: 1) akhiran –kan, 2) partikel –
yo, 3) partikel –en, dan 5) partikel –lah

DAFTAR PUSTAKA

Akmajian, Adrian. 2001. Linguistics: An Introduction to Language and


Communication. New Delhi: Prentice Hall.

11
Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik: Suatu Pengantar. Edisi Revisi.
Bandung :Angkasa.

Ataupah, 2004, Peluang Pemberdayaan Kearifan Lokal Dalam Pembangunan


Kehutanan. Kupang

Ayatrohaedi, (Ed). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta:


Pustaka Jaya.

Brown, Penelope and S. C Levinson. 1987. Politeness Some Universals in


Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Bungin, Burhan (Ed). 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi


Metodologis ke Arah Varian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.

12

Anda mungkin juga menyukai