OLEH :
FRANCISCA VAINALIA LAHUR
1804070012
PROPOSAL PENELITIAN
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S-1
Program Studi Kehutanan
OLEH
FRANCISCA VAINALIA LAHUR
1804070012
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si Wilhelmina Seran, S.Hut., M.Si
Mengetahui :
Dekan Fakultas Pertanian Koordinator Program Studi
Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Maria M.E. Purnama, S.Hut., M.Sc
NIP. 19650628 198803 1 001 NIP. 19760613 200604 2 001
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si Wilhelmina Seran, S.Hut, M.Si
Mengetahui :
Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Maria M.E. Purnama, S.Hut., M.Sc
NIP. 19650628 198803 1 001 NIP. 19760613 200604 2 001
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, sehinga hasil penelitian dengan judul “POTENSI
EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) JENIS TUMBUHAN
PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI, KECAMATAN KIE, KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN’’ dapat diselesaikan.
Proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu dan senantiasa menyertai,
memberkati dan memberikan kekuatan dan kesabaran kepada penulis dalam
menyelesaikan proposal ini dengan baik.
2. Bapak Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc selaku Rektor Universitas Nusa
Cendana.
3. Bapak Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Nusa Cendana.
4. Ibu Maria M.E.Purnama,S.Hut.,M.Sc selaku Koordinator Program Studi
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.
5. Bapak Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si selaku dosen pembimbing utama
yang dengan tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
memberikan saran dan mengarahkan penulis selama penulisan proposal ini.
6. Ibu Wilhelmina Seran, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing anggota yang
telah dengan tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
dan memberikan masukan, saran, dan motivasi.
7. Bapak Norman P.L.B Riwu Kaho, SP, M.Sc selaku Dosen Penguji dan Penasehat
Akademik yang dengan tulus meluangkan waktu, meberikan masukan dan saran
pada penulis.
v
8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Kehutanan khususnya minat Konservasi
Sumberdaya Hutan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
9. Keluarga tercinta Bapa, Mama, Adik serta seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan dan doa bagi penulis.
10. Untuk teman-teman delonix regia 18 yang telah memberikan dukungan dan doa
bagi penulis. Khususnya minat konservasi sumberdaya hutan.
11. Semua pihak yang tidak disebutkan satu-persatu yang selalu mendukung
penulis dalam penyusunan proposal ini. Kiranya Tuhan Yesus Memberkati.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................ii
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU Nomor 41
Tahun 1999). Hal ini tercermin dari kekayaan keanekaragaman hayati dan non
hayati berupa flora, fauna, dan benda-benda yang berfungsi konservasi serta jasa
lingkungan.
Keanekaragaman hayati menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah
keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di 6 antaranya
daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ekologi yang
merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam
spesies, antarspesies, dan ekosistem. Beberapa aspek ekologi yang penting dalam
kehutanan meliputi : komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis pohon,
permudaan hutan, pertumbuhan dan riap pohon, serta fenologi pohon. Menurut
Sutoyo (2010) eksploitasi spesies flora dan fauna yang berlebihan akan
menimbulkan kelangkaan dan kepunahan, penyeragaman varietas tanaman dan ras
hewan budidaya menimbulkan erosi genetik. Ancaman keanekaragaman hayati di
Indonesia dapat diatasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan cara
identifikasi dan inventarisasi keragaman dalam hal sebaran, keberadaan,
pemanfaatan, dan sistem pengelolaannya.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.35/Menhut-II/2007 tentang
hasil hutan bukan kayu (HHBK) dijelaskan bahwa hasil hutan bukan kayu adalah
hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya
kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu baik di dalam maupun
di luar kawasan hutan yang berasal dari beberapa pohon atau tumbuhan yang
1
memiliki sifat khusus yang telah menjadi barang kebutuhan masyarakat sekitar
hutan dan dapat dijual sebagai barang ekspor atau sebagai bahan baku industri.
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2017 salah satunya Keputusan Gubernur Nomor
404/KEP/HK/2018 tentang penetapan 14 komoditi HHBK unggulan yang meliputi
kemiri, bambu, madu, mete, pinang, lontar, asam, pala, kelor, sirih, alpukat, kayu
putih, kutulak dan kenari. Hasil Hutan Bukan Kayu unggulan ditetapkan dengan SK
Bupati TTS Nomor 122 Tahun 2016 dimana tercatat 10 jenis HHBK unggulan yang
meliputi kemiri, lebah madu, asam, sutra alam, pinang, bambu, empon-empon,
alpukat, sirih dan tarum. Salah satu jenis HHBK yang masih digunakan oleh
masyarakat sekitar hutan adalah penggunaan tumbuhan warna alami yang tersebar,
karena kaya akan jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna sebagai bahan
pewarna kain tenun ikat, makanan dan kerajinan tangan secara turun-temurun
sebelum mengenal bahan sintetik. Pemanfaatan tumbuhan sebagai pewarna alami
telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat lokal untuk memproduksi bahan
tekstil tradisional yang mengandung nilai spiritual dan sakral (Widiawati, 2009).
Pemanfaatan jenis tumbuhan tertentu sebagai pewarna kain tenun ikat dipercaya
dapat mencegah ketergantungan akan kebutuhan kayu, ditambah lagi
pemungutannya yang bersifat sederhana dan tidak merusak lingkungan.
Tumbuhan pewarna alami adalah tumbuhan yang mengandung zat warna yang
berasal dari alam. Menurut Sabuna dan Nomleni (2020), pewarna yang digunakan
untuk mewarnai kain berasal dari alam, seperti hewan, mineral, dan tumbuhan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pewarna alami bersifat tidak beracun,
mudah terurai, dan ramah lingkungan, warna yang dihasilkan beragam seperti ;
merah, oranye, kuning, biru, hitam dan coklat (Lestari et al., 2018). Pewarna alami
mampu menghasilkan kualitas warna kain dengan keunggulan tersendiri seperti
warna yang lebih natural, lebih sejuk dipandang dan warna-warna yang dihasilkan
dari proses alamiah cenderung menampilkan kesan luwes dan lembut serta memiliki
nilai jual yang tinggi (Andayani, 2006).
2
Pembuatan kain tenun ikat di Kabupaten Timor Tengah Selatan masih
menggunakan zat pewarna alam yang berasal dari bagian tumbuhan penghasil
dengan bagian tumbuhan yang digunakan antara lain batang, daun, kulit kayu, akar,
dan bagian lainnya dengan melalui proses ekstraksi atau perebusan secara
tradisional. Kain tenun ini dibuat secara tradisional oleh masyarakat pedesaan dan
telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari mereka dan untuk membuat kain
tenun, masyarakat membutuhkan zat pewarna yang dapat memberikan corak dan
motif pada kain tersebut ( Sabuna dan Nomleni, 2020 ). Pada mulanya tenunan
dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup atau
pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara,
kematian, tarian, upacara perkawinan, dan lain-lain), hingga sekarang merupakan
bahan busana resmi dan modern juga untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan
konsumen (Tallo, 2003). Tumbuhan pewarna tenun ikat yang digunakan oleh
masyarakat ada yang sudah dikenal dan ada pula yang belum dikenal dalam ilmu
pengetahuan yang dapat berfungsi sebagai bahan baku pewarna alam tetapi telah
dimanfaatkan oleh pengrajin tenun ikat sebagai bahan baku pewarna tenun ikat
(Seran dan Hana, 2018). Tumbuhan-tumbuhan tersebut sangat beranekaragam dan
tersebar di sekitar pekarangan rumah dan juga di kawasan hutan maupun areal
penggunaan lain untuk dimanfaatkan sebagai bahan pewarna tenun ikat yang
digunakan oleh masyarakat sekitar.
Desa Boti merupakan salah satu desa tradisional di Kecamatan Kie, Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Desa ini berada di dalam kawasan hutan Laob-Tunbesi
(RTK.186) yang merupakan kawasan hutan produksi (SK Menteri Kehutanan
Nomor 89/Kpts-II/1983). Desa Boti memiliki luas 17,69 ha dengan jumlah
penduduk sekitar 2.303 jiwa, pada umumnya mata pencaharian masyarakat di Desa
Boti didominasi oleh bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan tangan karena
sebanyak 25,46% penduduk adalah petani, peternak sebanyak 24,85% dan pengrajin
sebanyak 17,90% dan sisanya adalah PNS, wiraswasta, bidan, pendeta, dan yang
tidak bekerja (Tameno dan Kiak, 2022). Rata-rata masyarakat di Desa Boti
3
khususnya wanita memiliki kemampuan untuk menenun dan biasanya kemampuan
tenun dijadikan sebagai syarat untuk menikah dimana hal ini kemudian dijadikan
sebagai adat istiadat setempat. Melakukan kegiatan menenun kain tenun merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh kaum wanita pada usia tertentu dan merupakan tradisi
dan warisan budaya secara turun temurun (Wafiroh, 2017). Kain tenun ikat adalah
salah satu sumber mata pencaharian yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di
Desa Boti. Kain tenun ikat sendiri memiliki nilai jual yang tinggi serta warna yang
khas sehingga dapat menambah penghasilan oleh masyarakat Desa Boti, Kecamatan
Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Desa Boti menjadi salah satu daerah yang dapat memproduksi kain tenun ikat
dengan motif yang unik, warna yang lebih cerah dan juga merupakan salah satu
sentra produksi kain tenun ikat yang menggunakan pewarna alami di Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil hutan (Munawaroh et al.,
2011). Ketergantungan masyarakat terhadap tumbuhan pewarna alami di Desa ini
cukup tinggi dan kaya akan jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna
sebagai bahan pewarna tenun ikat.
Penggunaan tumbuhan pewarna alami terus-menerus yang dilakukan oleh
masyarakat dengan bertambahnya penduduk maka permintaan akan kebutuhan kain
meningkat akibatnya pewarna yang di ambil makin banyak. Meningkatnya produksi
tenun ikat juga berdampak pada pemanfaatan keanekaragaman yang ada di
sekitarnya, terutama tumbuhan yang digunakan untuk bahan pewarna alami
dikhawatirkan akan mengalami degradasi lahan akibat dari aktivitas manusia yang
tidak memperhatikan aspek ekologi serta pengambilan sumber daya alam secara
berlebihan yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem hutan alam. Hal ini,
akan mengancam kelestarian atau keberlanjutan tumbuhan pewarna alami.
Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian tentang “Potensi
Ekologis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Tumbuhan Pewarna Alami di
Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan”.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi ekologis hasil hutan bukan kayu tumbuhan pewarna alami
di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan pewarna alami
di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui potensi ekologis hasil hutan bukan kayu tumbuhan pewarna
alami di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan
pewarna alami di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
1.4 Manfaat
1. Sebagai salah satu upaya mendorong peningkatan pemanfaatan jenis tanaman
pewarna alami yang berdasarkan kelestarian lingkungan (konservasi).
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penetapan keputusan mengenai pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK).
3. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi masyarakat
serta menambah wawasan dalam mengoptimalkan pemanfataan tanaman
pewarna alami yang berbasis konservasi. Disamping itu penelitian ini bisa
menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat yang tertarik dengan tumbuhan
pewarna alami dan pemanfaatannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dibagi
berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan serta
ekosistemnya (UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Pengertian hutan dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain: wujud
biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional
pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan
(Departemen Kehutanan, 2007).
6
dengan cara identifikasi dan inventarisasi keragaman dalam hal sebaran,
keberadaan, pemanfaatan, dan sistem pengelolaannya
7
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2017 salah satunya Keputusan Gubernur Nomor
404/KEP/HK/2018 tentang penetapan 14 komoditi HHBK unggulan yang
meliputi kemiri, bambu, madu, mete, pinang, lontar, asam, pala, kelor, sirih,
alpukat, kayu putih, kutulak dan kenari. Hasil Hutan Bukan Kayu unggulan
ditetapkan dengan SK Bupati TTS Nomor 122 Tahun 2016 dimana tercatat 10 jenis
HHBK unggulan yang meliputi kemiri, lebah madu, asam, sutra alam, pinang,
bambu, empon-empon, alpukat, sirih dan tarum. Salah satu keunggulan HHBK
dibanding dengan Hasil Hutan Kayu adalah pemanfataan dan pengolahannya
membutuhkan modal kecil sampai menengah serta dapat memanfaatkan teknologi
yang sederhana sampai menengah (Sudarmalik, 2006).
8
2. Kerotenoid memiliki struktur pigmen yang bervariasi dan memiliki warna
yang intensif seperti kuning, jingga, merah dan lembayung.
3. Flavonoid tersusun atas senyawa yang strukturnya didasarkan oleh flavon
atau flavana. Subkelompok utama flavonoid adalah kalkona, flavanon,
antosianin.
4. Kuinon, mencakup berbagai senyawa yang mengandung struktur kuinon.
Warna yang biasa ditimbulkan biasanya kuning sampe merah.
2.6 Etnobotani
Etnobotani adalah ilmu botani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan untuk
kebutuhan sehari-hari dan adat istiadat (Dharmono, 2007). Manusia selalu
memanfaatkan tumbuhan untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhannya.
Etnobotani digunakan sebagai salah satu alat untuk mendokumentasikan
pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang telah menggunakan
berbagai jenis tumbuhan untuk menunjang kehidupannya. Pendukung kehidupan
untuk kepentingan sehari-hari seperti bahan makanan, pengobatan, bahan
bangunan, upacara adat, budaya, bahan pewarna dan lainnya (Zulfiani, 2013).
Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
kawasan merupakan salah satu pengetahuan yang dapat berkembang dan
diwariskan secara turun-temurun. Menurut Tamin dan Arbain (1995), setiap
kelompok masyarakat memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka, seperti
obat-obatan, pewarna, peralatan rumah tangga, bermacam-macam anyaman, bahan
pelengkap upacara adat, disamping itu digunakan sebagai kebutuhan sandang,
pangan dan papan serta bentuk susunan ramuan, komposisi dan proses
pembuatan/pengolahan dilakukan secara tradisional menurut cara suku masing-
masing yang diterima secara turun-temurun.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
10
3.2.2 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari masyarakat
pengrajinan tenun ikat di Desa Boti, tumbuhan pewarna alami, dan vegetasi
yang ada di sekitar Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
11
3.4.2 Observasi
Observasi lapang kegiatan awal digunakan untuk mengetahui dan mengenal
tempat-tempat pengrajinan tenun dilapangan bersama dengan responden yang
mengetahui lokasi tanaman tersebut sambil mencatat keterangan mengenai titik
koordinat tanaman, tempat tumbuhnya seperti apa pada daerah datar, landau
berbukit (bergunung), dan apakah tumbuhan tersebut hidupnya merambat, dibawah
naungan, dan banyak mendapat sinar matahari serta mengambil dokumentasi.
Selain itu observasi lapang bertujuan untuk memastikan kembali keberadaan
spesies-spesies pewarna alami yang diperoleh dari hasil wawancara dengan warga
masyarakat.
12
lokasi sampling dengan menggunakan metode jalur transek merupakan metode
yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut
kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur ini harus dibuat memotong garis-garis
topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau
menurun lereng gunung.
Hitungan penentuan jumlah petak
Intensitas Sampling (IS) yang digunakan : 5%
Sampel luas areal penelitian : 17,69 ha x 5% = 0,8845 ha
Luas plot pengamatan : 20 m x 20 m = 400 𝑚2 (0,04 ha)
0,8845 ℎ𝑎
Jumlah plot sampel yang digunakan : 0,04 ℎ𝑎
= 22 plot
13
3.6 Analisis Data
a. Kerapatan
Kerapatan (K) menunjukkan jumlah individu dalam suatu petak. Kerapatan
tiap spesies dibedakan berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, pohon
dan tanaman selain pohon) penghitungan kerapatan dapat diketahui berdasarkan rumus
berikut :
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan Spesies (K) = Luas petak ukur
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan sseluruh jenis
b. Frekuensi
Frekuensi (F) menunjukkan jumlah penyebaran tempat ditemukannya suatu
spesies dari semua plot ukur. Dapat dihitung dengan rumus berikut :
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi Spesies (F) = Jumlah seluruh plot
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis
c. Dominansi
Dominansi (D) digunakan untuk mengetahui spesies yang tumbuh lebih
banyak/mendominasi. Penghitungan dominansi dapat diketahui berdasarkan rumus
berikut :
Indeks Nilai Penting (Importance Value Index) adalah para meter kuantitatif
14
spesies–spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Penghitungan INP dapat
INP = KR + FR + DR
Keterangan:
NP : Nilai penting,
Kr : Kerapatan relatif,
Fr : Frekuensi relatif,
Dr : Dominansi relatif.
H’ = -Ʃ (ni/N) In (ni/N)
Keterangan :
15
b. Nilai H’ 2< H’ < 3 menunjukan bahwa keanekaragaman speises
16
DAFTAR PUSTAKA
Junus, H.M., A.R. Wasaraka, dan J.F. Frans, 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan
Buku-I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.
Ujung Pandang.
Kaban, H. M. S. 2009. Progres Kebijakan Departemen Kehutanan Lima Tahun
Terakhir. Jurnal Sekretariat Negara RI. 13 : 162-169.
17
Kusmana, 1997. Buku Ekologi Hutan. Jakarta:Bumi Aksara
Nomleni, FT., AC. Sabuna, & SD. Sanam. 2019. Tumbuhan Pewarna Alami Tenun
Ikat Suku Meto di Kecamatan Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Jurnal Pendidikan dan Sains Biologi. 2(1):34-41.
Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi, Edisi Ketiga, Terjemahan: Tjahyono
Samingan. Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta.
Pujilestari, T. 2015. Review: Sumber dan Pemanfaatan Zat Warna Alam Untuk
Keperluan Inndustri. Jurnal Dinamika Kerajinan Tangan dan Batik. 32(2): 93-
106.
Rante Lembang, V.W., W. Tilaar, dan T.M. Frans, 2015. Potensi Ekologi, Pola
Penyebaran, dan Pola Pemanfaatan Serat Alam Dalam Kawasan Hutan
Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, Provinsi Sulawesi Utara
18
Rizky, Muhammad. 2018. Pola Penyebaran Dan Struktur Populasi Salagundi
(Roudholia Teysmanii) Di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.
Surasana, E. 1990. Ekologi tumbuhan. Bandung: Jurusan Biologi Fakultas MIPA ITB.
Soerianegara, A. dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sutara PK. 2009. Jenis tumbuhan sebagai pewarna alam pada beberapa perusahaan
tenun di Gianyar. J Bumi Lestari. 9(2): 217-223.
Tallo, E. 2003. Pesona Tenun Flobamora. Tim Pengerak PKK dan Dekranasda
Provinsi Nusa Tenggara Timur: Kupang.
Tameno, Nikson Dan Kiak, Novi Theresia. 2022. Kontribusi Gender di Desa Boti
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal AGRINIKA. V(1):52-60
Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999.Tentang Kehutanan.
Zulfiani, 2013. Jurnal Kajian Etnobotani Suku Kaili Tara di Desa Binangga
Kecamatan Parigi Tengah Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Biologi FMIPA Universitas Tadulako.
19
LAMPIRAN
20
1. LAMPIRAN KUISONER PENELITIAN
LEMBAR WAWANCARA
A. Identifikasi Keluarga
1. Nama Responden :
2. Umur : thn
3. Jenis Kelamin :
8. Pekerjaan Ibu/Bapak/Saudara:
B. Pedoman Wawancara
a. Ya b. tidak
c. banyaknya permintaan
21
d. lainnya
b. teman/rekan
c. mengikuti pelatihan
d. baca buku
e. lainnya
a. Kain tais
b. Kain beti
c. Selendang
d. lainnya
a. Ya b. tidak
d. lainnya:
22
b. teman/rekan
c. mengikuti pelatihan
d. baca buku
e. lainnya
pewarna ?
11. Apakah bagian dari tumbuhan tersebut menghasilkan lebih dari satu warna?
a. Ya b. tidak
a. budidaya sendiri
c. Membeli
d. Lainnya
15. Jika budidaya sendiri, Jenis Tanaman pewarna apa saja yang dibudidaya
dirumah?
23
16. Jika dari tumbuhan liar/hutan, bagaimana untuk mempertahankan tumbuhan
tersebut?
17. Usaha apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan agar tumbuhan pewarna alami
tidak habis?
18. Apa saja manfaat tumbuhan tersebut selain digunakan untuk pewarna alami?
24