Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL PENELITIAN

POTENSI EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)


JENIS TUMBUHAN PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI,
KECAMATAN KIE, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

OLEH :
FRANCISCA VAINALIA LAHUR
1804070012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
KUPANG
2022
POTENSI EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)
JENIS TUMBUHAN PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI,
KECAMATAN KIE, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

PROPOSAL PENELITIAN
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S-1
Program Studi Kehutanan

OLEH
FRANCISCA VAINALIA LAHUR
1804070012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
KUPANG
2022

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

POTENSI EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)


JENIS TUMBUHAN PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI,
KECAMATAN KIE, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

FRANCISCA VAINALIA LAHUR


NIM : 1804070012

Diterima dan Disetujui :


Tanggal :______________________

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si Wilhelmina Seran, S.Hut., M.Si

NNIP. 19630724 198702 1 002 NIP.19820101 200604 2 001

Mengetahui :
Dekan Fakultas Pertanian Koordinator Program Studi

Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Maria M.E. Purnama, S.Hut., M.Sc
NIP. 19650628 198803 1 001 NIP. 19760613 200604 2 001

iii
HALAMAN PENGESAHAN

POTENSI EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK)


JENIS TUMBUHAN PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI,
KECAMATAN KIE, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
HASIL PENELITIAN
Oleh :
Nama : Francisca Vainalia Lahur
NIM : 1804070012
Program Studi : Kehutanan
Minat : Konservasi Sumberdaya Hutan

Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si Wilhelmina Seran, S.Hut, M.Si

NIP. 19630724 198702 1 002 NIP. 19800920 200604 1 002

Mengetahui :

Dekan Fakultas Pertanian Koordinator Program Studi

Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Maria M.E. Purnama, S.Hut., M.Sc
NIP. 19650628 198803 1 001 NIP. 19760613 200604 2 001

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, sehinga hasil penelitian dengan judul “POTENSI
EKOLOGIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) JENIS TUMBUHAN
PEWARNA ALAMI DI DESA BOTI, KECAMATAN KIE, KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN’’ dapat diselesaikan.

Proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu dan senantiasa menyertai,
memberkati dan memberikan kekuatan dan kesabaran kepada penulis dalam
menyelesaikan proposal ini dengan baik.
2. Bapak Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc selaku Rektor Universitas Nusa
Cendana.
3. Bapak Dr. Ir. Muhammad S Mahmuddin Nur, M.Si Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Nusa Cendana.
4. Ibu Maria M.E.Purnama,S.Hut.,M.Sc selaku Koordinator Program Studi
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.
5. Bapak Dr. Ir. Ludji Michael Riwu Kaho, M.Si selaku dosen pembimbing utama
yang dengan tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
memberikan saran dan mengarahkan penulis selama penulisan proposal ini.
6. Ibu Wilhelmina Seran, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing anggota yang
telah dengan tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing
dan memberikan masukan, saran, dan motivasi.
7. Bapak Norman P.L.B Riwu Kaho, SP, M.Sc selaku Dosen Penguji dan Penasehat
Akademik yang dengan tulus meluangkan waktu, meberikan masukan dan saran
pada penulis.

v
8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Kehutanan khususnya minat Konservasi
Sumberdaya Hutan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
9. Keluarga tercinta Bapa, Mama, Adik serta seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan dan doa bagi penulis.
10. Untuk teman-teman delonix regia 18 yang telah memberikan dukungan dan doa
bagi penulis. Khususnya minat konservasi sumberdaya hutan.
11. Semua pihak yang tidak disebutkan satu-persatu yang selalu mendukung
penulis dalam penyusunan proposal ini. Kiranya Tuhan Yesus Memberkati.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, semoga Tuhan


senantiasa memberkati dan membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Semoga
hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kupang, November 2022

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................iii

KATA PENGANTAR ..............................................................................................v

DAFTAR ISI .............................................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................viii

BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................5
1.3 Tujuan..............................................................................................................5
1.4 Manfaat............................................................................................................5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................6

2.1 Hutan ...............................................................................................................6


2.2 Keanekaragaman Hayati ...............................................................................6
2.3 Potensi Ekologis ..............................................................................................7
2.4 Hasil Hutan Bukan Kayu ...............................................................................7
2.5 Tumbuhan Pewarna Alami ............................................................................8
2.6 Etnobotani .......................................................................................................9

BAB III. METODELOGI PENELITIAN ..............................................................10

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................10


3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................10
3.3 Jenis Data ........................................................................................................11
3.4 Metode Pengumpulan data ............................................................................11
3.5 Variabel Pengamatan .....................................................................................13
3.6 Analisis Data ..................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................17

vii
DAFTAR GAMBAR

3.1 Peta Lokasi Penelitian ................................................................................ 10

viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU Nomor 41
Tahun 1999). Hal ini tercermin dari kekayaan keanekaragaman hayati dan non
hayati berupa flora, fauna, dan benda-benda yang berfungsi konservasi serta jasa
lingkungan.
Keanekaragaman hayati menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah
keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di 6 antaranya
daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ekologi yang
merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam
spesies, antarspesies, dan ekosistem. Beberapa aspek ekologi yang penting dalam
kehutanan meliputi : komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis pohon,
permudaan hutan, pertumbuhan dan riap pohon, serta fenologi pohon. Menurut
Sutoyo (2010) eksploitasi spesies flora dan fauna yang berlebihan akan
menimbulkan kelangkaan dan kepunahan, penyeragaman varietas tanaman dan ras
hewan budidaya menimbulkan erosi genetik. Ancaman keanekaragaman hayati di
Indonesia dapat diatasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan cara
identifikasi dan inventarisasi keragaman dalam hal sebaran, keberadaan,
pemanfaatan, dan sistem pengelolaannya.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.35/Menhut-II/2007 tentang
hasil hutan bukan kayu (HHBK) dijelaskan bahwa hasil hutan bukan kayu adalah
hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya
kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu baik di dalam maupun
di luar kawasan hutan yang berasal dari beberapa pohon atau tumbuhan yang

1
memiliki sifat khusus yang telah menjadi barang kebutuhan masyarakat sekitar
hutan dan dapat dijual sebagai barang ekspor atau sebagai bahan baku industri.
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2017 salah satunya Keputusan Gubernur Nomor
404/KEP/HK/2018 tentang penetapan 14 komoditi HHBK unggulan yang meliputi
kemiri, bambu, madu, mete, pinang, lontar, asam, pala, kelor, sirih, alpukat, kayu
putih, kutulak dan kenari. Hasil Hutan Bukan Kayu unggulan ditetapkan dengan SK
Bupati TTS Nomor 122 Tahun 2016 dimana tercatat 10 jenis HHBK unggulan yang
meliputi kemiri, lebah madu, asam, sutra alam, pinang, bambu, empon-empon,
alpukat, sirih dan tarum. Salah satu jenis HHBK yang masih digunakan oleh
masyarakat sekitar hutan adalah penggunaan tumbuhan warna alami yang tersebar,
karena kaya akan jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna sebagai bahan
pewarna kain tenun ikat, makanan dan kerajinan tangan secara turun-temurun
sebelum mengenal bahan sintetik. Pemanfaatan tumbuhan sebagai pewarna alami
telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat lokal untuk memproduksi bahan
tekstil tradisional yang mengandung nilai spiritual dan sakral (Widiawati, 2009).
Pemanfaatan jenis tumbuhan tertentu sebagai pewarna kain tenun ikat dipercaya
dapat mencegah ketergantungan akan kebutuhan kayu, ditambah lagi
pemungutannya yang bersifat sederhana dan tidak merusak lingkungan.
Tumbuhan pewarna alami adalah tumbuhan yang mengandung zat warna yang
berasal dari alam. Menurut Sabuna dan Nomleni (2020), pewarna yang digunakan
untuk mewarnai kain berasal dari alam, seperti hewan, mineral, dan tumbuhan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pewarna alami bersifat tidak beracun,
mudah terurai, dan ramah lingkungan, warna yang dihasilkan beragam seperti ;
merah, oranye, kuning, biru, hitam dan coklat (Lestari et al., 2018). Pewarna alami
mampu menghasilkan kualitas warna kain dengan keunggulan tersendiri seperti
warna yang lebih natural, lebih sejuk dipandang dan warna-warna yang dihasilkan
dari proses alamiah cenderung menampilkan kesan luwes dan lembut serta memiliki
nilai jual yang tinggi (Andayani, 2006).

2
Pembuatan kain tenun ikat di Kabupaten Timor Tengah Selatan masih
menggunakan zat pewarna alam yang berasal dari bagian tumbuhan penghasil
dengan bagian tumbuhan yang digunakan antara lain batang, daun, kulit kayu, akar,
dan bagian lainnya dengan melalui proses ekstraksi atau perebusan secara
tradisional. Kain tenun ini dibuat secara tradisional oleh masyarakat pedesaan dan
telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari mereka dan untuk membuat kain
tenun, masyarakat membutuhkan zat pewarna yang dapat memberikan corak dan
motif pada kain tersebut ( Sabuna dan Nomleni, 2020 ). Pada mulanya tenunan
dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup atau
pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara,
kematian, tarian, upacara perkawinan, dan lain-lain), hingga sekarang merupakan
bahan busana resmi dan modern juga untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan
konsumen (Tallo, 2003). Tumbuhan pewarna tenun ikat yang digunakan oleh
masyarakat ada yang sudah dikenal dan ada pula yang belum dikenal dalam ilmu
pengetahuan yang dapat berfungsi sebagai bahan baku pewarna alam tetapi telah
dimanfaatkan oleh pengrajin tenun ikat sebagai bahan baku pewarna tenun ikat
(Seran dan Hana, 2018). Tumbuhan-tumbuhan tersebut sangat beranekaragam dan
tersebar di sekitar pekarangan rumah dan juga di kawasan hutan maupun areal
penggunaan lain untuk dimanfaatkan sebagai bahan pewarna tenun ikat yang
digunakan oleh masyarakat sekitar.
Desa Boti merupakan salah satu desa tradisional di Kecamatan Kie, Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Desa ini berada di dalam kawasan hutan Laob-Tunbesi
(RTK.186) yang merupakan kawasan hutan produksi (SK Menteri Kehutanan
Nomor 89/Kpts-II/1983). Desa Boti memiliki luas 17,69 ha dengan jumlah
penduduk sekitar 2.303 jiwa, pada umumnya mata pencaharian masyarakat di Desa
Boti didominasi oleh bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan tangan karena
sebanyak 25,46% penduduk adalah petani, peternak sebanyak 24,85% dan pengrajin
sebanyak 17,90% dan sisanya adalah PNS, wiraswasta, bidan, pendeta, dan yang
tidak bekerja (Tameno dan Kiak, 2022). Rata-rata masyarakat di Desa Boti

3
khususnya wanita memiliki kemampuan untuk menenun dan biasanya kemampuan
tenun dijadikan sebagai syarat untuk menikah dimana hal ini kemudian dijadikan
sebagai adat istiadat setempat. Melakukan kegiatan menenun kain tenun merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh kaum wanita pada usia tertentu dan merupakan tradisi
dan warisan budaya secara turun temurun (Wafiroh, 2017). Kain tenun ikat adalah
salah satu sumber mata pencaharian yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di
Desa Boti. Kain tenun ikat sendiri memiliki nilai jual yang tinggi serta warna yang
khas sehingga dapat menambah penghasilan oleh masyarakat Desa Boti, Kecamatan
Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Desa Boti menjadi salah satu daerah yang dapat memproduksi kain tenun ikat
dengan motif yang unik, warna yang lebih cerah dan juga merupakan salah satu
sentra produksi kain tenun ikat yang menggunakan pewarna alami di Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil hutan (Munawaroh et al.,
2011). Ketergantungan masyarakat terhadap tumbuhan pewarna alami di Desa ini
cukup tinggi dan kaya akan jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna
sebagai bahan pewarna tenun ikat.
Penggunaan tumbuhan pewarna alami terus-menerus yang dilakukan oleh
masyarakat dengan bertambahnya penduduk maka permintaan akan kebutuhan kain
meningkat akibatnya pewarna yang di ambil makin banyak. Meningkatnya produksi
tenun ikat juga berdampak pada pemanfaatan keanekaragaman yang ada di
sekitarnya, terutama tumbuhan yang digunakan untuk bahan pewarna alami
dikhawatirkan akan mengalami degradasi lahan akibat dari aktivitas manusia yang
tidak memperhatikan aspek ekologi serta pengambilan sumber daya alam secara
berlebihan yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem hutan alam. Hal ini,
akan mengancam kelestarian atau keberlanjutan tumbuhan pewarna alami.
Berdasarkan uraian diatas maka akan dilakukan penelitian tentang “Potensi
Ekologis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Tumbuhan Pewarna Alami di
Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan”.

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi ekologis hasil hutan bukan kayu tumbuhan pewarna alami
di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan pewarna alami
di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan ?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui potensi ekologis hasil hutan bukan kayu tumbuhan pewarna
alami di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan
pewarna alami di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah
Selatan.

1.4 Manfaat
1. Sebagai salah satu upaya mendorong peningkatan pemanfaatan jenis tanaman
pewarna alami yang berdasarkan kelestarian lingkungan (konservasi).
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penetapan keputusan mengenai pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK).
3. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi masyarakat
serta menambah wawasan dalam mengoptimalkan pemanfataan tanaman
pewarna alami yang berbasis konservasi. Disamping itu penelitian ini bisa
menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat yang tertarik dengan tumbuhan
pewarna alami dan pemanfaatannya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dibagi
berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan serta
ekosistemnya (UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Pengertian hutan dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain: wujud
biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional
pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan
(Departemen Kehutanan, 2007).

2.2 Keanekaragaman Hayati


Keanekaragaman hayati menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah
keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di 6
antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek
ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup
keanekaragaman dalam spesies, antarspesies, dan ekosistem.
Menurut Sutoyo (2010) eksploitasi spesies flora dan fauna yang berlebihan
akan menimbulkan kelangkaan dan kepunahan, penyeragaman varietas tanaman
dan ras hewan budidaya menimbulkan erosi genetik. Ancaman keanekaragaman
hayati di Indonesia dapat diatasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu

6
dengan cara identifikasi dan inventarisasi keragaman dalam hal sebaran,
keberadaan, pemanfaatan, dan sistem pengelolaannya

2.3 Potensi Ekologis


Dari segi ekologis, potensi hutan diartikan sebagai semua kondisi yang
mencakup jumlah anakan atau permudaan, jenis, kerapatan, dan penyebarannya
dalam kawasan hutan (Junus, Wasaraka, dan Frans, 1984). Beberapa aspek ekologi
yang penting dalam kehutanan meliputi (komposisi dan struktur hutan, penyebaran
suatu jenis pohon, permudaan hutan, pertumbuhan dan riap pohon, serta fenologi
pohon).
Selanjutnya potensi ekologi suatu jenis pohon dapat diukur melalui parameter
kerapatan, dominansi , dan frekuensi jenis dalam suatu kawasan hutan. Dominansi
suatu jenis pohon terhadap jenis-jenis yang llain dalam tegakan hutan dapat
dinyatakan berdasarkan jumlah individu dan kerapatan, persen penutupan dan luas
bidang dasar, volume, biomass, dan indeks nilai penting. Kerapatan dinyatakan
dalam per satuan luas seperti banyaknya per hektar. Frekuensi merupakan
perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis terhadap jumlah petak-
petak keseluruhan yang dibuat, kemudian dinyatakan dalam persen.

2.4 Hasil Hutan Bukan Kayu


Menurut Peraturan Menteri No.P35-//2007, hasil hutan bukan kayu yang
selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewan
beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah jenis tumbuhan yang tumbuh, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Hasil hutan bukan kayu yang terdapat di Indonesia
terbagi menjadi hasil hutan bukan kayu nabati meliputi semua hasil bukan kayu
dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan hasil hutan bukan kayu hewani
meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya.

7
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2017 salah satunya Keputusan Gubernur Nomor
404/KEP/HK/2018 tentang penetapan 14 komoditi HHBK unggulan yang
meliputi kemiri, bambu, madu, mete, pinang, lontar, asam, pala, kelor, sirih,
alpukat, kayu putih, kutulak dan kenari. Hasil Hutan Bukan Kayu unggulan
ditetapkan dengan SK Bupati TTS Nomor 122 Tahun 2016 dimana tercatat 10 jenis
HHBK unggulan yang meliputi kemiri, lebah madu, asam, sutra alam, pinang,
bambu, empon-empon, alpukat, sirih dan tarum. Salah satu keunggulan HHBK
dibanding dengan Hasil Hutan Kayu adalah pemanfataan dan pengolahannya
membutuhkan modal kecil sampai menengah serta dapat memanfaatkan teknologi
yang sederhana sampai menengah (Sudarmalik, 2006).

2.5 Tumbuhan Pewarna Alami


Tumbuhan pewarna alam adalah tumbuhan yang mengandung zat warna yang
berasal dari alam yang sudah digunakan sejak dahulu kala. Zat pewarna alami
adalah zat pewarna yang diperoleh dari alam seperti tumbuhan, binatang, mineral-
mineral baik secara langsung maupun tidak langsung (Dawson, 2009). Bagian-
bagian tumbuhan yang dapat dipergunakan untuk zat pewarna alam kulit kayu,
batang, daun, akar, bunga, biji dan getah. Tumbuhan yang melimpah tersebar di
sekitar pekarangan, kawasan hutan maupun areal penggunaan lain untuk dijadikan
sebagai pewarna alami. Pewarna dapat diperoleh dengan memanfaatkan akar,
batang, daun, kulit kayu dan bunga tumbuhan (Alemayehu dan Teklemariam
2014).
Pewarna alam berupa pigmen yang berasal dari tumbuhan. Pada umumnya
golongan utama pigmen tumbuhan adalah klorofil, karotenoid, flavonoid, dan
kuinon (Lemmens dan Wulijarni-Soetjipto, 1999).
1. Klorofil adalah istilah generic sejumlah pigmen tumbuhan yang berkerabat
dekat yang menghasilkan warna hijau, pigmen ini sangat banyak didalam
tumbuhan.

8
2. Kerotenoid memiliki struktur pigmen yang bervariasi dan memiliki warna
yang intensif seperti kuning, jingga, merah dan lembayung.
3. Flavonoid tersusun atas senyawa yang strukturnya didasarkan oleh flavon
atau flavana. Subkelompok utama flavonoid adalah kalkona, flavanon,
antosianin.
4. Kuinon, mencakup berbagai senyawa yang mengandung struktur kuinon.
Warna yang biasa ditimbulkan biasanya kuning sampe merah.

2.6 Etnobotani
Etnobotani adalah ilmu botani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan untuk
kebutuhan sehari-hari dan adat istiadat (Dharmono, 2007). Manusia selalu
memanfaatkan tumbuhan untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhannya.
Etnobotani digunakan sebagai salah satu alat untuk mendokumentasikan
pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang telah menggunakan
berbagai jenis tumbuhan untuk menunjang kehidupannya. Pendukung kehidupan
untuk kepentingan sehari-hari seperti bahan makanan, pengobatan, bahan
bangunan, upacara adat, budaya, bahan pewarna dan lainnya (Zulfiani, 2013).
Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
kawasan merupakan salah satu pengetahuan yang dapat berkembang dan
diwariskan secara turun-temurun. Menurut Tamin dan Arbain (1995), setiap
kelompok masyarakat memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka, seperti
obat-obatan, pewarna, peralatan rumah tangga, bermacam-macam anyaman, bahan
pelengkap upacara adat, disamping itu digunakan sebagai kebutuhan sandang,
pangan dan papan serta bentuk susunan ramuan, komposisi dan proses
pembuatan/pengolahan dilakukan secara tradisional menurut cara suku masing-
masing yang diterima secara turun-temurun.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang berlangsung pada bulan September
sampai Oktober 2022.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, laptop,
kamera, kantong plastik, perekam suara, Avenza Map, software QGIS versi
tali plastik, haga meter, tallysheet dan aplikasi pengenalan tumbuhan dan
pedoman wawancara (kusioner).

10
3.2.2 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari masyarakat
pengrajinan tenun ikat di Desa Boti, tumbuhan pewarna alami, dan vegetasi
yang ada di sekitar Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah
Selatan.

3.3 Jenis Data


Jenis data dibagi menjadi 2 yaitu meliputi :
3.3.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan
melalui observasi, analisis vegetasi, dan wawancara.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan untuk menunjang
pelaksanaan penelitian. Data sekunder didapat melalui studi pustaka atau pencaharian
literatur pada buku, jurnal, artikel ilmiah, maupun internet sebagai pelengkap data
utama.

3.4 Metode Pengumpulan Data


3.4.1 Wawancara
Pengumpulan informasi di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode
snowball sampling (bola salju) dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir
dari satu responden ke responden lainnya. Wawancara dilakukan dengan mengali
informasi tentang pengetahuan responden mengenai jenis-jenis tumbuhan sebagai
pewarna tenun ikat, bagian yang digunakan, cara pengolahan, warna yang
dihasilkan, tempat tumbuhan ditemukan, habitus dan upaya konservasi tanaman
pewarna tenun ikat. Penentuan responden dimulai dari tokoh adat Desa Boti tetapi
merasa belum lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari ketua
kelompok penenun dan kepala Desa Boti yang dianggap mengetahui banyak
informasi tentang tumbuhan pewarna alami (key informan).

11
3.4.2 Observasi
Observasi lapang kegiatan awal digunakan untuk mengetahui dan mengenal
tempat-tempat pengrajinan tenun dilapangan bersama dengan responden yang
mengetahui lokasi tanaman tersebut sambil mencatat keterangan mengenai titik
koordinat tanaman, tempat tumbuhnya seperti apa pada daerah datar, landau
berbukit (bergunung), dan apakah tumbuhan tersebut hidupnya merambat, dibawah
naungan, dan banyak mendapat sinar matahari serta mengambil dokumentasi.
Selain itu observasi lapang bertujuan untuk memastikan kembali keberadaan
spesies-spesies pewarna alami yang diperoleh dari hasil wawancara dengan warga
masyarakat.

3.4.3 Pengambilan Titik Koordinat Pewarna Alami


Pengambilan titik koordinat ini bertujuan untuk mengetahui persebaran dari
jenis tanaman pewarna alami di Desa Boti. Titik-titik koordinat pada lokasi
ditemukannya setiap jenis tumbuhan pewarna alami di sajikan dalam bentuk
overlaying peta dasar untuk mengambarkan penyebaraan populasi masing-masing
jenis tumbuhan pewarna alami yang ditemukan dalam kawasan.

3.4.4 Analisis Vegetasi


Analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode Purposive sampling yaitu
plot ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan sebaran pohon yang ditemukan
selama observasi (Siswanto, 2008). Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja
(Purposive sampling) dimana lokasi yang di pilih terdapat populasi tumbuhan
pewarna alami. Metode pengambilan data menggunakan petak ukur dimana
pengambilan dilakukan secara survey secara keseluruhan di dalam petak ukur
untuk menggambarkan pola penyebaraan populasi dalam kawasan. Penentuan
petak ukur dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling) pada areal yang
memiliki tumbuhan pewarna terbanyak yang berada pada jalur transek. Penentuan

12
lokasi sampling dengan menggunakan metode jalur transek merupakan metode
yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut
kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur ini harus dibuat memotong garis-garis
topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau
menurun lereng gunung.
Hitungan penentuan jumlah petak
Intensitas Sampling (IS) yang digunakan : 5%
Sampel luas areal penelitian : 17,69 ha x 5% = 0,8845 ha
Luas plot pengamatan : 20 m x 20 m = 400 𝑚2 (0,04 ha)
0,8845 ℎ𝑎
Jumlah plot sampel yang digunakan : 0,04 ℎ𝑎
= 22 plot

Jadi jumlah plot yang akan digunakan dilapangan adalah 22 plot.

3.5 Variabel Pengamatan


3.5.1 Potensi Ekologis
Jenis tumbuhan pewarna alami, asal pewarna dari bagian tumbuhan
(akar,batang, daun, buah, dan biji), jumlah populasi per jenis (tumbuhan/batang),
kemiringan lereng (%) lokasi jenis ditemukan, ketinggian tempat (dpl), habitat
(tanah, iklim, suka di daerah terbuka, daerah tinggi, daerah rendah dan daerah
naungan) dan keanekaragaman.

3.5.2 Pola Penyebaran


Jenis tumbuhan pewarna alami, derajat kemiringan lereng (%) lokasi jenis
ditemukan, ketinggian tempat (dpl), titik koordinat jenis ditemukan dan hari/ tanggal
pengamatan.

13
3.6 Analisis Data
a. Kerapatan
Kerapatan (K) menunjukkan jumlah individu dalam suatu petak. Kerapatan
tiap spesies dibedakan berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, pohon
dan tanaman selain pohon) penghitungan kerapatan dapat diketahui berdasarkan rumus
berikut :
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan Spesies (K) = Luas petak ukur
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan sseluruh jenis

b. Frekuensi
Frekuensi (F) menunjukkan jumlah penyebaran tempat ditemukannya suatu
spesies dari semua plot ukur. Dapat dihitung dengan rumus berikut :
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi Spesies (F) = Jumlah seluruh plot
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis

c. Dominansi
Dominansi (D) digunakan untuk mengetahui spesies yang tumbuh lebih
banyak/mendominasi. Penghitungan dominansi dapat diketahui berdasarkan rumus
berikut :

Luas bidang dasar suatu jenis


D= (untuk pohon, tiang dan pancang)
Luas petak ukur

Dominansi suatu jenis


DR = Dominansi seluruh petak

d. Indeks Nilai Penting

Indeks Nilai Penting (Importance Value Index) adalah para meter kuantitatif

yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)

14
spesies–spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Penghitungan INP dapat

diperoleh berdasarkan rumus:

INP = KR + FR + DR

Keterangan:

NP : Nilai penting,

Kr : Kerapatan relatif,

Fr : Frekuensi relatif,

Dr : Dominansi relatif.

e. Indeks Keanekaragaman Jenis

Indeks keanekargaman jenis yang dapat digunakan dalam analisis

komunitas tumbuhan adalah indeks shanon atau Shanon Indeks of General

Diversity (H’). Rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner atau Shanon

Indeks of General Diversity (H’) :

H’ = -Ʃ (ni/N) In (ni/N)

Keterangan :

H’ = indeks Shannon = indeks keanekaragaman Shannon

Ni = jumlah individu dari suatu jenis i

N = jumlah total individu seluruh jenis

Kriteria nilai H’ yang digunakan adalah :

a. Nilai H’>3 menunjukan bahwa keanekaragaman spesies pada

suatu transek melimpah tinggi.

15
b. Nilai H’ 2< H’ < 3 menunjukan bahwa keanekaragaman speises

pada suatu transek sedang.

c. Nilai H’ < 2 menunjukan bahwa keanekaragaman spesies pada

suatu transek rendah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Permenhut no.P.35/menhut-II/2007 Tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.


Arum FGP, Amin R, Andin I. 2012. Etnobotani Tumbuhan Pewarna Desa Keseneng
Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Unnes Journal of
Life Science. 1(2): 127-136.
Atti, Arianda H, Theresia L. Boro, dan Rony S. Mauboy.2018. The Inventory Speciesof
Natural Producing Herbsandtheir Use Traditionally In Community Lives In
Boti Village Of Kie Subdistrict At South Central Timor Regency. Jurnal
Biotropikal Sains Vol. 15, No. 1, April 2018 (Hal 44–56).
Berlin SW, Linda R, Mukarlina. 2017. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan
Pewarna Alami Oleh Suku Dayak Bidayuh Di Desa Kenaman Kecamatan
Sekayam Kabupaten Sanggau. Protoboint 6(3): 303-309.
Dawson, V., & Venville, G. J. (2009). “High-school student’ informal reasoning and
argumentation about biotechnology: An indicator of scientific literacy?”.
International Journal of Science Education. 31, (11), 1421-1445.
Dharmono. 2007. Kajian Etnobotani Tumbuhan Jelukap (Centella asiatica L). di Suku
Dayak Bukit Desa Haratai 1 Loksado. Bioscientiae. Vol. 4 (2) : halaman 71-78.
Husodo, T, 1999, Peluang Zat Pewarna Alami untuk Pengembangan Produk Industri
Kecil dan Menengah Kerajinan dan Batik. Yogyakarta:Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
Indriyanto.2006. Ekologi Hutan.Jakarta:Bumi Aksara.

Junus, H.M., A.R. Wasaraka, dan J.F. Frans, 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan
Buku-I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.
Ujung Pandang.
Kaban, H. M. S. 2009. Progres Kebijakan Departemen Kehutanan Lima Tahun
Terakhir. Jurnal Sekretariat Negara RI. 13 : 162-169.

17
Kusmana, 1997. Buku Ekologi Hutan. Jakarta:Bumi Aksara

Langgar, A. (2014). Kain tenun NTT, selayang pandang.


http://www.adhylanggar.info/id/kain-tenunNTT-selayang-pandang (diakses 28
Juli 2022).
Lemmens, R.M.H.J dan N. Wulijarni-Soetjipto. 1999. Sumber Daya Nabati Asia
Tenggara No 3. Tumbuh-tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. Balai
Pustaka. Jakarta.
Murniati & M. Takandjndji. 2015. Tingkat Pemanfaatan Tumbuhan Penghasil Warna
Pada Usaha Tenun Ikat di Kabupaten Sumba Timur. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. 12(3): 223-237.
Ndima, P.P. 2007. Kajian budaya tenun ikat Sumba Timur. Program Pasca Sarjana
Universitas Kristen Satya Wacana dan Pemerintah Derah Kabupaten Sumba
Timur.
Njurumana, G. N. D. Dan T. Butarbutar. 2008. Prospek Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Berbasis Agroforestri Untuk Peningkatan Dan Diversifikasi
Pendapatan Masyarakat Di Timor Barat. Jurnal Info Hutan. V(1):53-62.

Nomleni, FT., AC. Sabuna, & SD. Sanam. 2019. Tumbuhan Pewarna Alami Tenun
Ikat Suku Meto di Kecamatan Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Jurnal Pendidikan dan Sains Biologi. 2(1):34-41.
Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi, Edisi Ketiga, Terjemahan: Tjahyono
Samingan. Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta.

Pujilestari, T. 2015. Review: Sumber dan Pemanfaatan Zat Warna Alam Untuk
Keperluan Inndustri. Jurnal Dinamika Kerajinan Tangan dan Batik. 32(2): 93-
106.
Rante Lembang, V.W., W. Tilaar, dan T.M. Frans, 2015. Potensi Ekologi, Pola
Penyebaran, dan Pola Pemanfaatan Serat Alam Dalam Kawasan Hutan
Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sinonsayang, Provinsi Sulawesi Utara

18
Rizky, Muhammad. 2018. Pola Penyebaran Dan Struktur Populasi Salagundi
(Roudholia Teysmanii) Di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

RPHJP UPT KPH Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan


Sabuna, A. C., & Nomleni, F. T. (2020). Identification of plants natural dye by meto
tribe in south central timor. IOP Conference Series.Materials Science and
Engineering, 823(1) doi:https://doi.org/10.1088/1757-899X/823/1/012037
Seran W, Yanete W. Hana. 2018. Identifikasi Jenis Tanaman Pewarna Tenun
Ikat di Desa Kaliuda Kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur.
Jurnal AGRIKAN Volume 11 Nomor 2, EISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072.
DOI: https://doi.org/10.29239/j.agrikan.11.2.1-8.
Sumadiwangsa (2000) dikutip oleh Sudarmalik (2006) Sudarmalik, Y. Rochmayanto
Dan Purnomo. 2006. Peranan Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di
Riau Dan Sumatera Barat. Prosiding. Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Tidak
Dipublikasikan.

Surasana, E. 1990. Ekologi tumbuhan. Bandung: Jurusan Biologi Fakultas MIPA ITB.
Soerianegara, A. dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sutara PK. 2009. Jenis tumbuhan sebagai pewarna alam pada beberapa perusahaan
tenun di Gianyar. J Bumi Lestari. 9(2): 217-223.
Tallo, E. 2003. Pesona Tenun Flobamora. Tim Pengerak PKK dan Dekranasda
Provinsi Nusa Tenggara Timur: Kupang.
Tameno, Nikson Dan Kiak, Novi Theresia. 2022. Kontribusi Gender di Desa Boti
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal AGRINIKA. V(1):52-60
Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999.Tentang Kehutanan.

Zulfiani, 2013. Jurnal Kajian Etnobotani Suku Kaili Tara di Desa Binangga
Kecamatan Parigi Tengah Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Biologi FMIPA Universitas Tadulako.

19
LAMPIRAN

20
1. LAMPIRAN KUISONER PENELITIAN

LEMBAR WAWANCARA

A. Identifikasi Keluarga

1. Nama Responden :

2. Umur : thn

3. Jenis Kelamin :

4. Tempat lahir : di kota ini/luar kota ini

5. Status : belum kawin/kawin/cerai

6. Bahasa yang dikuasai :

a. Indonesia b. Dawan c. Tetun d. lainnya:

7. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu/Sdr :

a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan Tinggi

8. Pekerjaan Ibu/Bapak/Saudara:

a. Petani b. Pedagang c. PNS d. lainnya:

B. Pedoman Wawancara

1. Apakah Bapak/Ibu/Saudara menekuni tenun?

a. Ya b. tidak

2. Apa yang mendasari bapak/ibu/saudara untuk menekuni tenun?

a. peluang pasar terbuka

b. sebagai ciri khas daerah

c. banyaknya permintaan

21
d. lainnya

3. Dari mana Bapak/Ibu/Saudara mempelajari cara membuat menenun?

a. diturunkan oleh orang tua

b. teman/rekan

c. mengikuti pelatihan

d. baca buku

e. lainnya

4. Apa saja produk tenun yang Bapak/Ibu/Saudara hasilkan?

a. Kain tais

b. Kain beti

c. Selendang

d. lainnya

5. Apakah menggunakan pewarna alami dari tumbuhan?

a. Ya b. tidak

6. Mengapa Bapak/Ibu/Saudara menggunakan pewarna alami dari tumbuhan?

a. Harga lebih mahal

b. Ciri khas daerah

c. lebih menjaga kesehatan

d. lainnya:

7. Dari mana mendapatkan pengetahuan tentang tumbuhan yang digunakan

sebagai bahan pewarna?

a. diturunkan oleh orang tua

22
b. teman/rekan

c. mengikuti pelatihan

d. baca buku

e. lainnya

8. Tumbuhan apa saja yang bapak/ibu/saudara digunakan sebagai pewarna?

9. Organ tumbuhan bagian mana yang bapak/ibu/saudara digunakan untuk

pewarna ?

10. Bagaimana cara pengolahan/bagian tumbuhan sehingga dapat digunakan

sebagai bahan pewarna alami?

11. Apakah bagian dari tumbuhan tersebut menghasilkan lebih dari satu warna?

a. Ya b. tidak

12. Apakah Bapak/Ibu/Saudara menggunakan pengolahan dengan cara yang

berbeda pada setiap organ/tumbuhan pewarna alami?

13. Jika ada bagaimana caranya?

14. Dari mana sumber tumbuhan tersebut diperoleh?

a. budidaya sendiri

b. dari tumbuhan liar/hutan

c. Membeli

d. Lainnya

15. Jika budidaya sendiri, Jenis Tanaman pewarna apa saja yang dibudidaya

dirumah?

23
16. Jika dari tumbuhan liar/hutan, bagaimana untuk mempertahankan tumbuhan

tersebut?

17. Usaha apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan agar tumbuhan pewarna alami

tidak habis?

18. Apa saja manfaat tumbuhan tersebut selain digunakan untuk pewarna alami?

24

Anda mungkin juga menyukai