Anda di halaman 1dari 237

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

KOLABORATIF BERBASIS SITUS JEJARING SOSIAL

JAMRI DAFRIZAL

7117140015

Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


dalam Memperoleh Gelar Doktor

PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020
ii
 

DEVELOPMENT OF SOCIAL MEDIA - BASED ONLINE COLLABORATIVE


LEARNING MODEL

JAMRI DAFRIZAL

ABSTRACT
The purpose of this study is to develop a social media-based collaborative learning
model that combines the strengths of face-to-face learning and online learning and
collaborative learning models. Research and development that uses a mixed methods
approach uses the ADDIE instructional model (Analysis, Design, Development,
Implementation, and Evaluation). The research was conducted at the English Tadris
program at the Sultan Maulana Hasanuddin State Islamic University, Banten. Research
data obtained through interviews, observations, and surveys. Involving five experts, one
lecturer, three students on a one-on-one test with students, nine students on a small
group trial, and 30 students on a large group trial. The results of this study conclude that
the collaborative learning model based on social networking site research and
development results significantly increases student attention, relevance, confidence and
satisfaction as well as effectively increasing student understanding of cross-culture. The
implication of this research is that learning products must be accessed easily,
interestingly, can motivate students to continue to be involved in learning. Thus, the
study recommends the SMOCL model as a learning model for the Cross-Cultural
Understanding course in the English Tadris program at the Sultan Maulana Hasanuddin
Banten Islamic State University
Keywords: social media; collaborative learning; SMOCL model; Cross - Cultural
Understanding
iii
 

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN


KOLABORATIF BERBASIS SITUS JEJARING SOSIAL

JAMRIDAFRIZAL

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pembelajaran kolaboratif
berbasis sosial media yang memadukan kekuatan-kekuatan pembelajaran tatap muka
dan pembelajaran online serta model pembelajaran kolaboratif. Penelitian dan
pengembangan yang menggunakan pendekatan metode campuran ini menggunakan
model instruksional ADDIE (Analisis, Desain, Pengembangan, Implementasi, dan
Evaluasi). Penelitian dilaksanakan pada program Tadris Bahasa Inggris Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Data-data hasil penelitian diperoleh
melalui wawancara, observasi, dan survey. Melibatkan lima pakar, satu dosen, tiga
mahasiswa pada uji satu-satu dengan peserta didik, sembilan mahasiswa pada uji coba
kelompok kecil, dan 30 mahasiswa pada ujicoba kelompok besar. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa model pembelajaran kolaboratif berbasis situs jejaring sosial
hasil penelitian dan pengembangan secara signifikan meningkatkan perhatian, relevansi,
kepercayaan diri dan kepuasan mahasiswa serta efektif meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap lintas budaya. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa produk
pembelajaran harus diakses secara mudah, menarik, dapat memotivasi peserta didik
untuk terus terlibat dalam pembelajaran. Dengan demikian, penelitian
merekomendasikan model SMOCL sebagai model pembelajaran untuk mata kuliah
Cross-Cultural Understanding pada program Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Kata kunci: media sosial; pembelajaran kolaboratif; SMOCL model; Cross-Cultural


Understanding
iv
 

RINGKASAN

A. Pendahuluan

Mahasiswa TBI Pada program studi Tadris Bahasa Inggris (TBI) Universitas

Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten adalah calon guru abad 21 yang

seharusnya mendapat model pembelajaran yang sesuai dengan zamannya, dan para

mahasiswa harus dipersiapkan untuk menjadi guru yang profesional yang mampu

memenuhi kebutuhan siswa di zamannya. Vicky dan Coe (2014) menjelaskan bahwa

bagi siswa, untuk berhasil dalam dunia sekarang ini dan besok, membutuhkan guru

yang memiliki persiapan yang baik yang juga menerima pembelajaran sepanjang hayat,

adaptif, dan menciptakan perubahan, dan memecahkan secara berkolaboratif dengan

rekan - rekan untuk terhadap masalah - masalah praktis yang kompleks. Untuk

mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan inovasi pembelajaran yaitu dengan

penerapan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial.

Penerapan pembelajaran Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs

Jejaring Sosial yang digunakan pada penelitian ini mengadopsi teori Borg dan Gall,

ADDIE dikombinasikan dengan Mancy And Reid Model. Model ini diharapkan dapat

menjawab tantangan zaman bagi calon Dosen masa depan (abad 21) dimana

penggunaan teknologi dalam pembelajaran tidak lagi bisa diabaikan.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah research and development (R&D) yang

diadaptasi dari Borg and Gall, ADDIE, Model Reid. Pada tahap analisis data peneliti

memadukan pendekatan penelitian campuran (mixed-methods)


v
 

Pengembangan pembelajaran menghasilkan bahan pembelajaran tercetak dan

online, Modul mata kuliah CCU, buku dosen dan buku panduan mahasiswa. Evaluasi

formatif dilakukan untuk menjaga efektiftivitas pengembangan dengan cara: 1)

Evaluasi one - to - one Expert; 2) Evaluasi one - to - one Leamers; 3) Evaluasi formatif

(Small Group); dan 4) Uji coba lapangan / evaluasi (Field Trial).

C. Hasil Penelitian

Prosedur penelitian dan pengembangan dilakukan dengan tahapan: 1) Analisis

kesenjangan kinerja, 2) Merumuskan tujuan instruksional, 3) Identifikasi perilaku dan

karakteristik peserta didik, dan 4) Analisis sumberdaya dan ketersediaan teknologi

merumuskan tujuan kinerja; 5) menyusun instrumen penilaian; 6) menyusun strategi

instruksional.; 7) mengembangkan bahan pembelajaran; dan 8) evaluasi formatif.

Evaluasi formatif terdiri dari: 1) Evaluasi one - to - one Expert; 2) Evaluasi one - to -

one Leamers; 3) Evaluasi formatif (Small Group); dan 4) Uji coba lapangan / evaluasi

(Field Trial). Pada model draft pertama dilakukan perbaikan draft bahan pembelajaran

dengan empat orang pakar yaitu: 1) Pakar Desain; 2) Pakar Materi; c) Pakar

Media; dan 4) Pakar Bahasa. Hasil yang diperoleh pada tahapan ini adalah draft bahan

pertama; 2) Evaluasi formatif one - to - one learner menghasilkan draft bahan kedua; 3)

evaluasi formatif small group menghasilkan draft bahan ketiga; dan 4) uji

lapangan/evaluasi formatif field trial menghasilkan prototipe bahan pembelajaran.

Hasil belajar peserta didik selama uji coba menunjukan kenaikan yaitu

dari rata - rata nilai pre - test 72,83 menjadi rata - rata post - test 78,40 dengan selisih

keduanya sebesar 5,57. Hasil perhitungan dengan SPSS didapat nilai thitung adalah

6,707 dan df = 29 maka diperoleh sig (2 - tailed) atau p - value sebesar 0,000. Nilai p -
vi
 

value tersebut (0,000) thitung < level alfa ttabel (0.05) sebesar (6,707), berarti ada

perbedaan rata - rata nilai hasil belajar peserta didik. Hal ini berarti penerapan Model

Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial dapat meningkatkan hasil

belajar peserta didik. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa hasil

pengembangan model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs Jejaring Sosial Facebook

di Jurusan Tadris Bahasa Inggris Semester VII Fakultas Tarbiyah dan Kejuruan

Universitas Islam Negeri (UIN) SMH Banten dapat digunakan oleh guru dan peserta

didik pada Mata Kuliah Cross - Cultural Understanding.


vii
 

PERSETUJUAN PANITIA UJIAN DIPERSYARATKAN UNTUK UJIAN


TERBUKA DISERTASI / PROMOSI DOKTOR

Promotor Co-Promotor

Prof. Dr. Basuki Wibawa Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, MPd


Tanggal, bulan, tahun Tanggal, bulan, tahun

Nama

Prof. Dr. Komaruddin,M.Si ........................................ ...............................


(Ketua)1 ( tanggal )
(tanda tangan)

Prof. Dr. Nadiroh, M.Pd. ........................................ ................................

(Sekretaris)2 (tanda tangan) ( tanggal )

Nama : JAMRI DAFRIZAL

No. Registrasi : 7117140015

Tanggal Ujian :

1) Rektor Universitas Negeri Jakarta

2) Direktur Program Pascarjana Universitas Negeri Jakarta


viii

PERSETUJUAN HASIL PERBAIKAN DISERTASI


SETELAH UJIAN TERTUTUP

No Nama Tanda Tangan Tanggal

Prof. Dr. Nadiroh, M. Pd


1
(Direktur PPs/Ketua) ........................ ........................

Dr. Mochammad Sukardjo,


2 M.Pd (Sekretaris/ Ketua Prodi ) ........................ ........................

Prof. Dr. Basuki Wibawa


3 (Promotor) ........................ ........................

Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, MPd,


4 (Co-Promotor) ........................ ........................

Prof. Dr. Etin Solihatin, M.Pd


5 (Penguji ) ........................ ........................

6 Dr. Happy Indira Dewi, M.T


(Penguji Luar) ........................ ........................

Catatan : - apabila Direktur atau Ketua Program Studi merangkap sebagai promotor,
maka ada dua orang penguji senat.
- dibuat rangkap 2 (dua) tanda tangan asli dengan bolpoint warna biru
ix
 

 
x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan

nikmat dan RahmadNya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan

menulisan disertasi ini dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif

Berbasis Situs Jejaring Sosial untuk mahasiswa Tadris Bahasa Inggris semester VII

pada Mata Kuliah Cross - Cultural Undestanding di Universitas Islam Negeri (UIN)

Sultan Maulana Hasanuddin Banten”. Penulisan disertasi ini adalah untuk pemenuhan

salah satu persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana

Universitas Negeri Jakarta.

Dalam penulisan disertasi ini, peneliti banyak mendapatkan berbagai rintangan,

akan tetapi dengan adanya bantuan dari berbagai pihak baik berupa materil maupun non

materil sehingga rintangan-rintangan tersebut dapat diatasi dan disertasi ini dapat

diselesaikan. Oleh sebab itu peneliti mengucapkan ribuan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin. M.Si., Rektor Universitas Negeri Jakarta.

2. Prof. Dr. Nadiroh, M. Pd. Direktur Pascarajana Universitas Negeri Jakarta.

3. Dr. Mochammad Sukardjo, M.Pd., Koordinator Program Studi S3 Teknologi

Pendidikan Pascarjana Universitas Negeri Jakarta.

4. Prof. Dr. Basuki Wibawa, selaku Promotor yang telah banyak memberikan berbagai

informasi, pengarahan dan selalu memberikan motivasi sehingga penulisan disertasi

ini dapat diselesaikan

5. Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, MPd, selaku Co-Promotor yang telah berkenan

memberikan motivasi, bimbingan, arahan, memberikan ide-ide cemerlang sehingga

penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.


xi

6. Dr. Etin Solihatin, M.Pd. sebagai penguji disertasi peneliti sehingga dapat

memberikan masukan dan kritikan terhadap perbaikan disertasi ini.

7. Dr. Ir. Rusmono, selaku penguji yang memberikan berbagai arahan terhadap

perbaikan dalam penulisan disertasi ini.

8. Dr. Happy Indira Dewi, M.T. sebagai penguij dari luar juga ikut berperan besar

terhadap kritikan dan arahan dalam perbaikan disertasi ini.

9. Dr. Hidayatullah,.M.Pd., Ketua Lembaga Penelitian yang telah berkenan menjadi

ahli desain pembelajaran.

10. Dr. Doktor Naf’an Tarihoran., Wakil Direktur Pasca Sarjana UIN SMH Banten

yang telah berkenan menjadi Pakar Materi.

11. Dr. Menul Teguh Riyanti Sukarno, M.Pd, Wadek 2 FSRD Universitas Trisakti yang

telah berkenan menjadi Pakar Media/Desain Grafis.

12. Dr. Yayu Heryatun MPd, Dosen Bahasa Inggris UIN SMH Banten yang telah

berkenan menjadi ahli bahasa, memberikan masukan terhadap tata bahasa disertasi

ini

13. Moh. Nur Arifin, S.Ag., M.Si sebagai Validator item soal Cross Culture

Undertanding, memberikan masukan terhadap item soal yang akan digunakan

disertasi ini

14. Kedua orang tua, Ayahanda (alm) Ali Husin dan ibunda (almh) Nurhayati yang

telah berjasa dalam mendidik dan membesarkan semasa kehidupan beliau berdua

sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi di Universitas Negeri Jakarta

15. Terkhusus untuk istri Mardaweni, anak - anak Jihan Syidda Aufa dan Muhammad

Fachri serta Adikku Hendri S.Pd.I yang selalu memberikan semangat kepada peneliti

sehingga dapat menyelesaian penulisan disertasi ini.


xii

16. Rekan-rekan mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta,

Khususnya Arman, S.Ag., M.Pd. yang telah berkenan memberikan bantuan

sehingga dapat memperlancar proses penulisan disertasi ini.

Harapan peneliti semoga dengan selesainya penulisan disertasi ini kiranya dapat

memperkaya khazanah pembelajaran di UIN SMH Banten. Peneliti menyadari bahwa

dalam penulisan disertasi ini masih terdapat kelemahan, oleh sebab itu peneliti

mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan disertasi ini. Amiin

Jakarta, 27 Juli 2020

Jamri Dafrizal
xiii
 

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………. i
ABSTRACK……………………………………………………………................. ii
ABSTRAK…………………………………………………………….................... iii
RINGKASAN……………………………………………………………............... iv
PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING………………………………………. vii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………….. viii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………................ xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………........ xvi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………... xvii
DAFTAR BAGAN……………………………………………………………....... xviii
DAFTAR LAMPIRAN…….……………………………………………………… xix

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1


A. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
B. Pembatasan Masalah Penelitian ……………………………………….. 9
C. Fokus Penelitian ……………………………………………………….. 9
D. Perumusan Masalah ……………………………………………………. 10
E. Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 11
F. Signifikansi Penelitian ……………………………………………... 12
G. Kebaharuan Penelitian (State of The Art) …………………………….. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………………... 17
A. Konsep Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Jejaring Sosial …… 17
1. Hakikat Model Pembelajaran……………………………………..... 17
2. Konsep Pembelajaran Kolaboratif.…………………………………. 18
3. Pembelajaran Kolaboratif Online (Online Collaborative
Learning)…………………………………………………... 26
4. Pembelajaran Kolaboratif Dengan Situs Jejaring Sosial 29
5. Pembelajaran Kolaboratif dengan Facebook 35
B. Konsep Model yang Dikembangkan …………………………................ 37
xiv
 

1. Pengertian Model………………………………………………………… 37
2. Klasifikasi Model………………………………………………………… 39
a. Model Konseptual ………………………………………………… 42
b. Model Prosedural………………………………………………….. 43
c. Model Fisik………………………………………………………... 43
3. Model-Model Desain Instruksional …………………………………. 53
a) Model Dick dan Carey……………………………………………. 55
b) Model Morrison, Ross, Kalman and Kemp………………………… 57
c) Model ADDIE…………………………………………………. 619
d) Model Hanafin and Peck……………………………………… 63
e) Model Borg and Gall………………………………………….. 65
f) Model ARCS…………………………………………………… 70
g) Model Pengembangan lnstruksional (MPI)………………………… 73
4. Rancangaan Model Prosedural Pengembangan Model Pembelajaran
Kolaboratif Online Berbasis Jejaring Sosial……………………………. 74
C. Kerangka Teoritik Pengembangan Model pembelajaran Kolaboratif
DenganSJS Facebook…………………………………………………… 83
1. Teori-teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Kolaboratif
Berbasis Situs Jejaring Sosial……………………………………… 83
2. Model-model Pembelajaran Kolaboratif………………………………… 94
a. Model The Stages of Collaboration (Palloff And Pratt)………… 94
b. Model Reid……………………………………………………… 97
c. Model Integrative Learning Design Framework (IDLF)……….. 96
d. Model Online Theme-Based Collaborative Learning (OTBCL
MODEL)………………………………………………………… 99
e. Model The Five-Stage Framework……………………………… 103
f. Model PIP……………………………………………………….. 104
g. Model Interactive Collaborative Design………………………… 105
h. Model WisCom Cycle of Inquiry module design……………….. 109
3. Rancangan Model yang dikembangkan……………………………. 115
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………... 119
A. Tempat Dan Waktu Penelitian …..…………………….......................... 119
xv
 

B. Desain Penelitian ………….…………………………............................. 119


C. Rancangan Pengembangan Model……….………………….................. 120
D. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………... 133
E. Teknik Analisis Data ……………..……………………............................ 134
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………… 137
A. Penelitian Pendahuluan ………………………………………………. 137
1. Kajian Literatur ………………………………………………......... 137
a. Konsep Belajar…………………………………………………… 138
b. Konsep pembelajaran………………………………………….... 139
c. Konsep Pembelajaran Kolaboratif……………………………… 140
d. Konsep Pembelajaran Online…………………………………… 141
e. Konsep jejaring sosial…………………………………………… 142
2. Study Lapangan (Data dan Informasi )…………………………… 143
3. Identifikasi Kebutuhan Peserta Didik……………………………… 146
4. Pengembangan Model Pembelajaran………………………………… 148
B Hasil Perancangan Dan Pengembangan (Design And Development)…. 153
1) Hasil Analisis Tugas …………………………………………………… 153
2) Hasil Merumuskan Tujuan Kinerja……………………………………. 154
3) Hasil Menyusun Instrumen Penilaian…………………………………... 156
4) Hasil Menyusun Strategi Instruksional ………………………………... 160
5) Hasil Mengembangkan Bahan Pembelajaran………………………….. 164
C Validasi Dan Uji Coba Produk ……………………………………….. 172
1. Validasi……………………………………………………………... 172
a) Validasi dengan Pakar Desain Pembelajaran…………………….. 172
b) Validasi dengan Pakar Materi…………………………………… 173
c) Validasi dengan Pakar Media/Desain Grafis……………………. 174
d) Validasi dengan Pakar Bahasa…………………………………… 174
2. Uji Coba Produk……………………………………………………. 175
a. Uji coba produk dengan satu-satu dengan peserta didik…………. 175
b. Uji coba produk dengan kelompok kecil (Small Group)………… 176
c. Uji coba produk dengan uji coba lapangan (evaluasi field trial)… 179
xvi
 

D.Pembahasan………………………………………………………………. 182
1 Kekuatan Model……………………………………………………….. 182
2 Kelemahan model……………………………………………………… 195
V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI…………………... 203
A Kesimpulan………………………………………….............................. 203
B Implikasi ……………………………………………………………….. 205
C Rekomendasi…………………………………………………………… 206
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 208
LAMPIRAN - LAMPIRAN - .…………………………………………………… 235
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………….. 324
xvii
 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan konsep bahan instruksional ..................................................... 45


Tabel. 2.2 Five - Stage Model of Teaching and Learning Online ............................... 101
Tabel 3.1. Interprestasi Skor ............................................................................................................. 134
Tabel 4.1 Hasil Analisis Kesenjangan Kinerja ........................................................... 148
Tabel 4.2 Hasil Merumuskan Tujuan Kinerja ............................................................ 153
Tabel 4.3 Hasil menyusun instrumen penilaian ......................................................... 158
Tabel. 4.4 Skenario Pembelajaran Sesi sebelum Diskusi Tatap Muka ....................... 160
Tabel 4.5 Hasil Penyusunan Strategi Pembelajaran ................................................... 163
Tabel 4.6. Skenario Pembelajaran Sesi kolaboratif Online di Facebook .................. 165
Tabel 4.7. Masukan Pakar Desain Pembelajaran ......................................................... 171
Tabel 4.8. Masukan Pakar materi ................................................................................. 171
Tabel 4.9.masukan pakar media/Graphis ..................................................................... 172
Tabel 4.10.Masukan Pakar Bahasa ............................................................................... 173
Tabel 4.11.Uji Coba Satu-Satu Dengan Peserta Didik ................................................. 174
Tabel 4.12. Hasil evaluasi kelompok kecil................................................................... 175
Tabel 4.13 Rerata nilai pretest dan posttest ujicoba kelompok kecil .......................... 175
xviii
 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Model Dick And Carry ............................................................................ 54


Gambar 2.2. Model Morrison, Ross, Kalman and Kemp ............................................. 56
Gambar 2.3. Model Addie ............................................................................................ 59
Gambar 2.5. Model Hanafin and Peck ............................................................................................. 62
Gambar 2.6. Model Borg & Gall. ..................................................................................................... 65
Gambar 2.7. Model ARCS ............................................................................................ 69
Gambar 2.8. Model Pengembangan lnstruksioanl......................................................... 71
Gambar 2.9. Model Integratve Learning Design Framewor (IDLF) (Dabbagh and
Bannan-Ritland, 2005) ................................................................................... 96
Gambar.2.10. Model Online theme-based collaborative learning (Li and Zhao, 2008) 97
Gambar 2.11 Model Interactive Collaborative design (Hong Zhan, 2008).................. 103
Gambar 2.12 Wiscom Cycle Of Inquiry Module Design (Gunawardena. et al., 2006)
...................................................................................................................... 108
Gambar. 2.13.Model Pembelajaran Kolaboratif Online Berbasis Situs Jejaring Sosial
(SMOCL) ..................................................................................................... 113
Gambar 3.1. Model Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Situs
Jejaring Sosial ........................................................................................ 119
Gambar 4.1 Prosedur Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis
Situs Jejaring Sosial ................................................................................ 147
Gambar 4.2 Hasil Analisis Tugas ............................................................................... 152
Gambar 4.3 Pengaturan Facebook untuk Model Pembelajaran Kolaboratif Online
Berbasis Jejaring Sosial .......................................................................... 170
xix
 

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Jumlah Pengguna Facebook Di Indonesia ............................................ 2


Bagan 4.1. Rumusan Tujuan Instruksional ............................................................ 149
Bagan 4.2 Rerata Usia Peserta Didik .................................................................... 150
Bagan 4.3. Tujuan Penggunaan Facebook Oleh Peserta Didik .............................. 150
Bagan 4.4. Persepsi Peserta Didik Dan Dosen Terhadap Model Pembelajaran
Online Berbasis Jejaring Sosial Pada Ujicoba Kelompok Kecil .......... 177
Bagan 4.5 Persepsi Peserta Didik Dan Dosen Terhadap Model Pembelajaran
On Line Berbasis Jejaring Sosial Pada Ujicoba Kelompok Besar ....... 180
xx
 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 (Jadwal Penenlitian) 235


Lampiran 2 ( Butiran Soal Pre Test ) 236
Lampiran 3 ( Butiran Post Test) 257
Lampiran 4 (Kuesioner Analisis Peserta Didik) 277
Lampiran 5 (Instrumen Validasi Pakar Media/Desain Grafis ) 279
Lampiran 6 (Instrument Validasi Pakar Bahasa) 289
Lampiran 7 ( Instrument Validasi Pakar Instruksional Desin) 293
Lampiran 8 ( Instrument Validasi Pakar Materi) 297
Lampiran 9.a (Instrument Validasi One To One Students) 301
Lampiran 9.b (Instrument Validasi Small Group) 305
Lampiran 9.c (Instrument Validasi Field Trial) 309
Lampiran 10 ( Hasil Uji Coba One To One Student) 313
Lampiran 11 ( Hasil Uji Coba Small Group) 314
Lampiran 12 ( Hasil Uji Coba Field Trial) 315
Lampiran 13 ( Hasil Merumuskan Tujuan Kinerja) 319
Lampiran 14 ( Hasil Menyusun Strategi Instruksional ) 327

 
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi dan informasi dalam hal ini teknologi internet telah

mengubah paradigma baru dalam pembelajaran yang memberikan alternatif baru pada

pengelola pendidikan dalam memanfaatkan lingkungan baru yang dapat memfasilitasi

terjadinya proses belajar mahasiswa yang mungkin berasal dari latar belakang yang

beragam, memiliki tingkat kemampuan teknis dan bahasa yang berbeda serta memiliki

keinginan untuk belajar pada waktu dan di tempat-tempat yang mereka pilih sendiri.

Salah satu paradigma tersebut adalah belajar berkelompok secara online

(collaborative online learning) yang dilakukan para mahasiswa secara spasial untuk

mendukung mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas kampus. Pembelajaran kolaboratif

sebenarnya bukan ide baru, karena mungkin telah dipraktikkan dalam pembelajaran

informal selama ribuan tahun, namun sejak munculnya teknologi internet yang

menawarkan fitur-fitur yang memungkin user untuk saling berkomunikasi, berbagai

informasi, dan bertukar dokumen (file), aktivitas belajar kelompok ini kemudian

berubah dari diskusi yang dilakukan secara tatap muka menjadi diskusi online.

Salah satu teknologi terbaru yang banyak dimanfaatkan orang untuk berdiskusi

secara online dalam pembelajaran adalah Situs Jejaring Sosial. Jumlah pengguna media

sosial menyebar secara global. Menurut Schraeder, T. L. (2019) pada 2018 beberapa

situs media sosial elektronik paling populer di blogosphere adalah Facebook (2,23 miliar

pengguna), YouTube (1,9 miliar), WhatsApp (1,5 miliar), Facebook Messenger (1,3

miliar), WeChat (1,06 miliar), Instagram ( 1,0 miliar), Tumblr (23 juta), Twitter

(67mi٠lion), Snapchat (186 juta), dan Pinterest (250 juta). LinkedIn melaporkan 500

juta pengguna. Teknologi jejaring sosial memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi


2

di seluruh platform satu sama lain. Facebook saat ini adalah platform jaringan sosial

paling populer karena feature yang dimiliki sangat beragama yang memungkinkan

pemapakai dapat berbagi secara daring atau online. Facebook dapat secara otomatis di-

posting ulang ke situs lain, seperti Twitter atau Linkedin, atau widget. Selain itu,

pengguna dapat terus-menerus memperbarui status mereka dan berbagi konten seperti

artikel koran dan link ke situs-situs tertentu. Semua pengguna yang memiliki kontak

langsung secara otomatisasikan menerima update ini di masing-masing newsfeed dan

mengingatkan mereka untuk memperhatikan isi kontak mereka. Hal ini menciptakan

masuknya informasi secara konstan dan mengarahkan pengguna pada informasi yang

mungkin berharga yang harus mereka perhatikan. Ini berdapat pada pengguna yang akan

cenderung untuk memperhatikan informasi yang mengalir melalui kontak yang mereka

percaya, informasi ini kemudian bola salju melalui jaringan.

Menurut data dari Statistic Portal https://napoleoncat.com diakses pada tanggal

12 Juli 2020, Pengguna Facebook di Indonesia pada Juni 2020 yaitu 163.700.000

(59,8%) dari seluruh populasi. Sebagaimana tergambar pada diagram berikut:

Bagan 1.1. Jumlah Pengguna Facebook di Indonesia Juni 2020


3

Data di atas menunjukkan terdapat 29,9 % (48,946,300) pengguna Facebook di

Indonesia yang berumur 18-24 setara dengan umur rata mahasiswa Indonesia. Hal ini

selaras dengan hasil penelitian Fitri dan Triyani Arita yang melakukan survei online

yang terdiri dari 30 pertanyaan dalam kuesioner terhadap 329 responden dari 2

Perguruan Tinggi di Riau dan menemukan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki

akun Facebook sebelum memasuki Perguruan Tinggi (95,14%) dan menghabiskan

waktu kurang dari 1 jam per hari (45,59%) dan login ke situs Facebook beberapa kali

per hari. Facebook memberikan manfaat positif dalam lingkungan pendidikan,

khususnya, menyederhanakan dalam berbagi informasi serta berbagi file dalam grup.

Beberapa penelitian lain pengenai penggunaan Facebook di Perguruan Tinggi

dilakukan oleh Al-Dheleai, Y. M., & Tasir, Z. (2017).Penelitian dilakukan di

Universitas Teknologi Malaysia tahun akademik 2015/2016 Semester 1 dengan

responden 49 mahasiswa.Hasil penelitian penunjukkan bahwa mahasiswa memiliki

pandangan positif terhadap penggunaan Facebook untuk interaksi online dengan teman

sebaya. Selain itu, terdapat hubungan antara persepsi interaksi online mahasiswa melalui

Facebook dan kinerja akademik. Beberapa penelitian di Indonesia mengenai

penggunakan facebook di Perguruan Tinggi di Indonesia. Pertama,Syafrial (2019)

meneliti pemanfaat Facebook dalam Pembelajaran Bahasa di Universitas Riau dengan

temuan 1) Mahasiswa memiliki kepercayaan diri untuk mempublikasikan karyanya

melalui media sosial Facebook.2). Setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama

untuk membaca hasil media sosial teman-temannya Facebook.3). Setiap mahasiswa

memiliki kesempatan yang sama untuk mengomentari hasil teman-teman media sosial

mereka.4). Setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk memahami

komentar teman-temannya tentang hasil pekerjaan mereka sendiri dan teman-teman

lainnya. Rahman, F. dkk (2019) meneliti Grup Facebook sebagai media pembelajaran
4

menulis dalam konteks English for Specific Purposes (ESP) di Universitas Hasanuddin.

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa Grup Facebook dapat membina

kepercayaan diri mahasiswa untuk berinteraksi dan merespons secara spontan dalam

bahasa Inggris yang tidak berpengalaman di kelas konvensional. Demikain pula halnya

penelitian Saddhono, K., Hasibuan, A., & Bakhtiar, M. I (2019) mengenai persepsi 50

mahasiswa asing dalam belajar bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret

(UNS) dengan menggunakan Facebook. Penelitian menemukan bahwa Facebook banyak

digunakan untuk keperluan komunikasi dan Facebook dapat meningkatkan minat

mahasiswa asing untuk belajar Bahasa Indonesia serta memudahkan memudahkan

pembelajaran bahasa Indonesia dengan bimbingan dosen yang bijaksana.

Dengan memperhatikan hasil penelitian di atas tentulah menjadi sebuah kekuatan

sekaligus potensi yang sangat besar jika media ini dimanfaatkan oleh para pendidik di

Perguruan Tinggi untuk memfasilitasi belajar mahasiswa, karena menurut Alhazmi

(2013) pemanfaatan Facebook sebagai media dalam pembelajaran dapat meningkatkan

nilai akademik, sejalan dengan itu Junco (2014) mengatakan bahwa mahasiswa akan

secara aktif terlibat dalam mengerjakan berbagai tugas, berbagi konten, berkomunikasi

dan berkolaborasi secara aktif dengan teman sekelas mereka dalam kelompok facebook.

Hal demikian tentulah memiliki arti penting dalam proses belajar mengajar. Menurut

Lam (2015) belajar dengan menggunakan facebook memberikan kemampuan dalam

multitasking, memungkinkan mereka untuk melakukan pertanyaan dan memecahkan

masalah bersama, proses belajar mengajar menjadi lebih fleksibel, dapat menumbuhkan

komunikasi antara dosen dan mahasiswa secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang

lama, terlibat secara aktif, sejalan dengan itu Ventura (2013) mengatakan bahwa belajar

dengan menggunakan facebook melibatkan mahasiswa secara aktif dalam belajar karena

mereka dirangsang, didorong dan terpikat ke navigasi ke berbagai situs informasi,


5

posting komentar dan mendapatkan terlibat dalam diskusi online, pendapat ini juga

didukung oleh Sumarie (2012) bahwa facebook dapat meningkatkan kerja kelompok

secara signifikan, Shraim (2014) juga sependapat bahwa Facebook memberikan lebih

banyak peluang untuk terlibat secara pribadi, berkomunikasi dan bekerja sama untuk

membantu mahasiswa membangun pembelajaran mereka sendiri dan mengembangkan

keterampilan abad ke-21 untuk hidup dan belajar melalui interaksi sosial, lebih jauh ia

mengatakan yang tak kalang pentingnya adalah bahwa facebook yaitu bersifat student-

centre strategy. Facebook juga memberikan rasa nyaman bagi mahasiswa sebagai

penelitian oleh George (2015) mengenai penggunaan Facebook untuk pembelajaran

bahasa inggris. Penelitian ini membahas jenis bahasa Inggris yang digunakan di halaman

status update Facebook dari jurusan Bahasa Inggris 50 universitas di Jepang. Hasil studi

menunjukkan bahwa mahasiswa yang menggunakan Facebook dan Twitter

meningkatkan penggunaan bahasa Inggris mereka dalam komunikasi dengan rekan-

rekan Jepang.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa Facebook mempunyai pengaruh

dalam pembelajaran. Tantangannya adalah untuk memastikan teknologi yang digunakan

untuk mengaktifkan, atau membuat lebih efisien, praktek belajar mengajar yang efektif.

Ini dapat terjadi melalui adanya dialog terus yang berulang antara pengajar dan peserta

didik, yang mengungkapkan konsepsi dan variasi antara mereka, dan ini pada gilirannya

akan menentukan fokus untuk dialog lebih lanjut. Dialog atau percakapan penting ini

dapat dilakukan di media online. Dalam artian kita bisa mengatakan bahwa mahasiswa

bekerja sama dengan dosen. Namun, dalam pembelajaran kolaboratif harus dipahami

bahwa dialog dilakukan kepada sekelompok mahasiswa. Seorang dosen dapat bertindak

sebagai pemandu atau pemimpin, sebagai anggota kelompok dan rekan mahasiswa.

Melalui praktek pembelajaran ini, akan tercipta sebuah komunitas belajar yang positif,
6

di mana mahasiswa mendapatkan pengetahuan konten dan juga mengembangkan

kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Menurut Higgins (2012) bahwa Penggunaan

teknologi untuk kolaboratif (berpasangan atau kelompok kecil) biasanya lebih efektif

daripada penggunaan individu, meskipun beberapa mahasiswa, mungkin membutuhkan

bimbingan bagaimana untuk berkolaborasi secara efektif dan bertanggung jawab.

Pada program studi Tadris Bahasa Inggris (TBI) Universitas Islam Negeri (UIN)

Sultan Maulana Hasanudin Banten, sebagian besar dosen dan mahasiwa sudah memiliki

perangkat mobile dan akun di situs jejaring sosial. Penggunaan jejaring sosial dapat

mengobrol, berbagi beragam informasi misalnya berkaitan dengan perkuliahan, buku,

file dan informasi akademik lainya secara invidual. Padahal jika diorganisasir dengan

baik, kondisi ini berpotensi besar jejaring sosial memfasilitasi terwujudnya koloborasi,

baik antara mahasiwa-dosen maupun antar mahasiswa dalam aktivitas perkuliahan,

misalnya dalam pemberian tugas, diskusi dan untuk memonitor aktivitas mahasiswa

yang sedang berdiskusi. Jaringan internet yang sudah tersedia sejak lama di kampus

seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pembelajaran yang memadukan

model pembelajaran face-to-face dengan online, tapi faktanya perkulahan yang sudah

berlangsung baru bersifat face-to-face. Hal ini tentu tidak mendukung pencapaian visi

dan misi jurusan TBI yaitu “Menjadi Jurusan terdepan dan terkemuka di Indonesia pada

tahun 2020 dalam penyelenggaraan pendidikan Bahasa Inggris yang mengembangkan

dan mengintegrasikan aspek kebahasaan, keislaman, keilmuan, dan menghasilkan tenaga

pendidik professional, berdaya saing, berjiwa entrepreneurship. Sebagai institusi yang

bertugas untuk mempersiapkan alumninya untuk melahirkan tenaga pendidikan yang

profesional di bidang pengajaran bahasa Inggris dibutuhkan banyak persyaratan untuk

menjadi sebuah program studi terdepan dan terkemuka pada tahun 2020, antara lain
7

fasilitas yang mendukung pembelajaran yang berbasis teknologi, karena ini merupakan

kebutuhan pembelajaran abad 21.

Mahasiswa TBI adalah calon guru abad 21 yang seharusnya mendapat model

pembelajaran yang sesuai dengan zamannya, dan para mahasiswa harus dipersiapkan

untuk menjadi guru yang professional yang mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa di

zamannya. Vicky (2014) menjelaskan bahwa bagi mahasiswa, untuk berhasil dalam

dunia sekarang ini dan besok, membutuhkan guru yang memiliki persiapan yang baik

yang juga menerima pembelajaran sepanjang hayat, adaptif, dan menciptakan

perubahan, dan memecahkan secara berkolaboratif dengan rekan-rekan untuk terhadap

masalah-masalah praktis yang kompleks. Anak didik yang akan mereka hadapi adalah

para remaja yang penuh dengan tantangan. Remaja perlu guru bintang, Guru perlu

memberikan instruksi yang ketat, relevan, berdasarkan penelitian, terpadu,

interdisipliner, multimedia, berpusat pada mahasiswa. Ini dapat kita rujuk pada pendapat

yang dikemukakan oleh Vicky (2014) yang mengatakan bahwa tugas dosen di kelas

tidak hanya perlu membantu mahasiswa membaca, tentang berpikir, bertanya, dan

menanggapi teks dan masalah masing-masing disiplin, tetapi dosen juga perlu

membantu mahasiswa mengembangkan kebiasaan berpikir para ahli pada masing-

masing disiplin ilmu.

Dosen perlu mengembangkan budaya penyelidikan kolaboratif dan penghargaan,

memberikan perhatian pada keragaman mahasiswa, menggunakan penilaian formatif

dan sumatif, dan mempromosikan pemantauan diri belajar mahasiswa. Peran pendidik

abad ke-21 adalah sebagai fasilitator belajar mahasiswa, mirip dengan konduktor

orkestra, dosen harus memandu mahasiwa untuk mengakses, membangun,

menghasilkan, menganalisa, mengevaluasi, mensintesis, membuat, dan menyebarkan

pengetahuan. Teknologi merupakan pusat kehidupan dan studi mahasiswa, ini sejalan
8

dengan yang dikatakan oleh Conole (2007) bahwa mahasiswa memiliki harapan yang

tinggi tentang bagaimana harus belajar, memilih teknologi dan lingkungan yang sesuai

dengan kebutuhan mereka dengan pemahaman yang canggih tentang bagaimana untuk

memanipulasi ini untuk keuntungan mereka belajar.

Uraian di atas menjadi dasar pertimbangan peneliti untuk Pengembangan Model

Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial yaitu suatu model

pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran tradisional tatap muka dan

pembelajaran online (e-learning) berbasis Situs Jejaring Sosial Facebook dengan cara

memadukan kelebihan pembelajaran tatap muka dan kelebihan pembelajaran online.

Model ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi atas masalah-masalah yang terjadi

pada pembelajaran mata kuliah writing antara lain; jam perkuliahan mata kuliah writing

sebanyak 2 SKS yang dianggap tidak cukup untuk menyampaikan materi perkuliahan ini

dengan baik, bahan belajar yang berlimpah baik dari dosen, buku tek dan internet belum

dimanfaatkan secara optimal serta praktik-praktik diskusi dan kolaborasi baik antara

dosen-mahasiswa maupun antar mahasiswa baik yang masih terbatas dalam ruangan

kelas, dan belum memenuhi karakter sebagai sebuah kolaborasi. Model yang akan

dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan interaksi antara mahasiswa, antara

mahasiswa dengan dosen, dan mahasiswa dengan bahan pembelajaran, kapan saja dan

dimana saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu sebagaimana dikemukakan Barab,

(1998) terdapat lima cara menggunakan teknologi untuk meningkatkan pembelajaran,

yaitu 1) sumber daya informasi (provide information to support learner inquiry), 2)

kontekstualisasi konten (situate the material to be learned within a rich context), 3) alat

komunikasi (facilitate collaborative and distributed learning), 4) kit konstruksi (provide

concrete tools for building phenomena/understandings), dan 5) visualisasi dan

manipulasi (present phenomena for scrutiny and manipulation). Sementara Angela


9

Scarino (2013) meyimpulkan bahwa teknologi, jika digunakan untuk informasi atau

tujuan sosial, memiliki kapasitas untuk berkontribusi pembelajaran antarbudaya bagi

mahasiswa bahasa. Untuk memaksimalkan keuntungan yang disediakan teknologi untuk

belajar, dosen perlu merancang pengalaman belajar mahasiswa sehingga dapat

memberikan kesempatan untuk menggunakan teknologi yang berbeda dan

menggunakannya dalam cara yang berbeda. Secara khusus, teknologi menyediakan

akses ke dunia yang lebih luas dari pengalaman bahasa dan mengintensifkan kesempatan

untuk keragaman yang lebih besar dari konteks, selain itu, bahasa dan budaya yang

diartikulasikan melalui bahasa mereka sendiri dapat memberikan kedekatan yang lebih

besar dalam kehidupan peserta didik dengan cara yang kaya dengan peluang baru untuk

keterlibatan dan pembelajaran.

Pemilihan Facebook sebagai sarana dan lingkungan pembelajaran kolaborasi untuk

pembelajaran di Perguruan Tinggi didasarkan temuan-temuan penelitian berikut.

Hasil penelitian Tiruwa, A., Yadav, R., & Suri, P. K. (2018) menunjukkan bahwa

Facebook memiliki pengaruh positif pada mahasiswa untuk secara aktif menggunakan

sosial media sebagai media akademik untuk pembelajaran kolaboratif. Mahmud, M. M.,

& Wong, S. F. (2018) dalam penelitiann mereka menemukan bawah penggabungan

penilaian sejawat online dan lingkungan belajar kolaboratif secara substansial

meningkatkan minat dan motivasi mahasiswa.Demikan pula penelitian yang dilakukan

oleh Khalid, F. (2017) menenukan kegiatan berbagi online lewat Facebook

menyenangkan dan bergunan bagi mahasiswa karena mendapatkan dukungan dan

balasan instan sehingga interaksi dan kolaborasi komunal mereka meningkat.Terakhir

penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez-Aguilar, O., & Salas-Valdivia, L. (2019. Hasil

penelitian mereka menunjukkan bahwa penggunaan Facebook di Pendidikan Tinggi

memiliki tingkat replikasi yang tinggi dalam berbagai bidang dan mata pelajaran
10

pendidikan karena mahasiswa sangat menyukai kerja kolaboratif, untuk mencapai

konstruksi pengetahuan baru, generasi pembelajaran yang signifikan, dan pencapaian

keterampilan.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan terdapat banyak keuntungan keuntungan

yang diperoleh melalui model online kolaboratif ini antara lain; (1) pembelajaran lebih

menarik, (2) dapat menumbuhkan minat, (3) metode pembelajaran lebih bervariasi, (4)

adanya unsur pengunaan teknologi dalam pembelajaran (4) membantu atau

memudahkan dosen dalam penyampaian materi, (5) merubah kecendrungan dosen

dalam pembelajaran dimana selama ini dosen cendrung mengunakan media tercetak,

sekarang lebih dapat dikembangkan lagi melalui online, (6) berkembangnya bahan ajar

yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Keuntungan-keuntungan ini hanya dapat

diperoleh jika dikelola dengan baik melalui model dan metode yang tepat, dan model

kolaboratif berbasis Situs Jejaring Sosial Facebook dapat menjadi alternatif untuk

memanfaatkan keuntungan-keuntungan tersebut

B. Pembatasan Masalah Penelitian

Agar masalah penelitian terarah, focus dan tidak meluas peneliti membatasi masalah

pada mengembangkan model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs Jejaring Sosial

Facebook. Penelitian ini ditujukan untuk mahasiswa Tadris Bahasa Inggris semester VII

pada Mata Kuliah Cross-Cultural Undestanding di Universitas Islam Negeri (UIN)

Sultan Maulana Hasanuddin Banten

C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran kolaboratif

berbasis Situs Jejaring Sosial Facebook yang efektif dan layak untuk pembelajaran

mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada Program Studi Tadris Bahasa Inggris
11

Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Sedangkan sub-fokus

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Merancang dan mengembangkan prosedur pengembangan model pembelajaran

kolaboratif berbasis Situs Jejaring Sosial pembelajaran mata kuliah Cross-Cultural

Undestanding pada Program Studi Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri

(UIN) Sultan Maulana Hasanuddin

2. Menganalisis kelayakan model pembelajaran model pembelajaran kolaboratif

berbasis Situs Jejaring Sosial yang dikembangkan.

3. Menganalisis efektivitas model pembelajaran model pembelajaran kolaboratif

berbasis Situs Jejaring Sosial yang dikembangkan.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka rumusan umum

masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah model pembelajaran kolaboratif berbasis

Situs Jejaring Sosial Facebook yang effektif dan layak untuk pembelajaran Mata Kuliah

Cross-Cultural Understanding pada Jurusan Tadris Bahasa Inggris Semester VII

Fakultas Tarbiyah dan Kejuruan UIN SMH Banten”?

Sedangkan secara khusus, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur pengembangan model pembelajaran kolaboratif berbasis

Situs Jejaring Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada

Program Studi Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan

Maulana Hasanuddin

2. Bagaimanakah kelayakan model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs Jejaring

Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada Program Studi Tadris

Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin

Hasanuddin Banten?
12

3. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs Jejaring

Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada Program Studi Tadris

Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin

Hasanuddin Banten?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam

pembelajaran Cross-Cultural Undestanding terkait dengan pembelajaran kolaboratif

berbasis situs jejaring sosia mahasiswa UIN SMH Banten dengan mengembangkan

model pembelajaran kolaboratif berbasis situs jejaring social yang memenuhi standar

pembelajaran untuk pendidikan tinggi. Secara rinci tujuan penelitian dapat dikemukakan

sebagai berikut:

1. Untuk mengembangkan prosedur pengembangan model pembelajaran kolaboratif

berbasis Situs Jejaring Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada

Program Studi Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan

Maulana Hasanuddin Hasanuddin Banten

2. Untuk manganalisis kelayakan model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs

Jejaring Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada Program Studi

Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin

Hasanuddin Banten

3. Untuk menganalisis efektivitas model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs

Jejaring Sosial untuk mata kuliah Cross-Cultural Undestanding pada Program Studi

Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin

Hasanuddin Banten

F. Signifikansi Penelitian

1. Teoretis

Ditinjau dari sudut pandang teoretik, hasil akhir penelitian pengembangan ini

akan menambah kekayaan intelektual bidang teknologi pendidikan khususnya


13

yang berkaitan dengan model pembelajaran kolaboratif berbasis Situs Jejaring

Sosial di Indonesia.

2. Praktis

a. Sebagai referensi bagi dosen di lingkunga Perguruan Tinggi dalam

pembelajaran secara online.

b. Pengembangan model pembelajaran ini dapat dijadikan rujukan mata kuliah

lain pada Jurusan Tadris Bahasa Bahasa Inggris. Produk model bahan

pembelajaran dapat digunakan sebagai model bagi dosen dalam

mengembangkan bahan pembelajaran sesuai dengan pendekatan yang

diinginkan

G. Kebaharuan Penelitian (State of the art)

Media sosial mempunyai pengaruh dalam pembelajaran. Tantangannya adalah

untuk memastikan teknologi yang digunakan untuk mengaktifkan, atau membuat

memanfaatkannya agar dapat meningkatkan praktik pembelajaran lebih efektif dan

efisien. Di antaranya adalah dengan menerapkannya ke dalam model bahwa

pembelajaran kolaboratif online yang dapat memberikan pengalaman kepada

mahasiswa dalam mengenali lingkungan belajar yang didukung oleh teknologi untuk

belajar, bekerja dalam kelompok kecil untuk membuat tugas-tugas otentik.

Liddicoat (2013) dalam penelitiannya meyimpulkan bahwa teknologi, jika

digunakan untuk informasi atau tujuan sosial, memiliki kapasitas untuk berkontribusi

pembelajaran antarbudaya bagi mahasiswa bahasa. Untuk memaksimalkan

keuntungan yang disediakan teknologi untuk belajar, dosen perlu merancang

pengalaman belajar mahasiswa sehingga dapat memberikan kesempatan untuk

menggunakan teknologi yang berbeda dan menggunakannya dalam cara yang berbeda.

Secara khusus, teknologi menyediakan akses ke dunia yang lebih luas dari

pengalaman bahasa dan mengintensifkan kesempatan untuk keragaman yang lebih

besar dari konteks. Selain itu, Bahasa dan budaya yang diartikulasikan melalui bahasa
14

mereka sendiri dapat memberikan kedekatan yang lebih besar dalam kehidupan

peserta didik dengan cara yang kaya dengan peluang baru untuk keterlibatan dan

pembelajaran.( Liddicoat dan Scarino: 2013 )

Pemilihan Facebook sebagai Sarana dan Lingkungan pembelajaran kolaborasi

untuk Mata Kuliah CCU juga didasarkan temuan-temuan beberapa penelitian, antara

lain oleh Tiruwa, A., Yadav, R., & Suri, P. K. (2018).Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Facebook memiliki pengaruh positif pada mahasiswa untuk secara aktif

menggunakan sosial media sebagai media akademik untuk pembelajaran kolaboratif.

Hasil penelitan Mahmud, M. M., & Wong, S. F. (2018) menemukan bawah

penggabungan penilaian sejawat online dan lingkungan belajar kolaboratif secara

substansial meningkatkan minat dan motivasi mahasiswa.

Model pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran tradisional tatap muka

dan pembelajaran online (e-learning) berbasis Situs Jejaring Sosial Facebook dengan

menggabungkan kelebihan pembelajaran tatap muka dan keunggulan pembelajaran

online

Model ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi atas masalah–masalah yang

terjadi pada pembelajaran mata kuliah Cross Culture Understanding.

Pada penelitian ini menggunakan beberapa state of the art (penelitian

sebelumnya) sebagai referensi untuk penelitian ini. Adapun state of the art yang

digunakan berupa jurnal untuk dijadikan acuan penelitian, yaitu:

Tabel 1.1 Jurnal State Of The Art

Nama dan Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Penelitian Hasil Penelitian


Tahun Penelitian
Fitri dan Using social networks: Penelitian Peneltian ini tidak Sebagaian besar mahasiswa
Triyani Facebook usage at the mengungkapka n khusus untuk memiliki akun facebook
Arita Riau College bahwa facebook tujuan sebelum masuk Perguruan
(2015). students. Procedia menyederhanaka pembelajaran, tapi Tinggi (95,14%)
Computer Science, 59, n berbagi secaa survey Mengahbiskan waktu kurang
559-566. informasi serta mengenai dari 1 jama (45%)
berbagi file dalam pengunaan Facebook menyederhanakan
grup facebook serta berbagi informasi serta berbagi file
dibandingkan dalam grup
penggunaan
facebook dengan
15

social media yang


lain
George, J. Facebook to Facebook Manfaat Meneliti keinginan Hasil penelitian ini
(2015). Encounters in Japan: facebook untuk berkomuniasi menunjukkan bahwa
How an Online Social memfasilitasi dalam bahasa menggunakan Facebook dan
Network Promotes pembelajaran inggris antar teman Twitter oleh 50 mahasiswa
Autonomous L2 bahasa Inggris sejawat meningkatkan komunikasi
Production. In New mereka,media yang dengan rekan-rekan Jepang
Media and Perennial digunakan Tidak dengan menggunaan bahasa
Problems in Foreign hanya khusus Inggris
Language Learning Facebook tapi juga
and Teaching (pp. 91- Twitter
112). Springer, Cham.
Al- Using Facebook for Membahas Mengukur Hasil penelitian ini
Dheleai, the Purpose of kinerja persepsi,perbedaan menunjukkan bahwa mahasiswa
Y. M., & Students' akademik persepsi memiliki pandangan positif
Tasir, Z. Interaction and Its mahasiswa menggunakan terhadap penggunaan Facebook
(2017). Correlation with dengan facebook dan untuk interaksi online dengan
Students' Academic menggunakan menganalisis teman sebaya.,serta terdapat
Performance. Turki facebook hubungan antara hubungan antara persepsi interaksi
sh Online Journal persepsi online mahasiswa melalui
of Educational mahasiswa Facebook dan kinerja akademik. r
Technology- menganai interaksi = .567, n = 49, p = .000.
TOJET, 16(4), 170- mahasiswa di
178. facebook dengan
kinerja akademik
Syafrial The empowerment of Facebook Riset ini ditujukan Hasil penelitian ini
(2019) Facebook in language memberikan untuk mengukur menunjukkan bahwa pemanfaat
learning at the Mahasiswa kepercayaan diri Facebook dalam Pembelajaran
university. Asian EFL kesempatan mahasiswa dalam Bahasa di UNSRI Mahasiswa
Journal, 25(51), 43- untuk membaca, menggunakan memiliki kepercayaan diri untuk
61, ISSN 1738-1460 mengomentari facebook pada mempublikasikan karyanya di
dan megomentari kuliah english Facebook. dan memiliki
dan memahami specific purpose kesempatan yang sama untuk
hasil pekerjaan membaca, mengomentari dan
sendiri dan teman megomentari dan memahami hasil
mereka di pekerjaan sendiri dan teman
Facebook. sosial mereka di Facebook. sosial
mereka. mereka.
Rahman, Facebook group as Facebook group Riset ini penelitian Hasil penelitian ini
F., Abbas, media of learning dapat meningkat menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa Grup
A., & writing in ESP interaksi Grup Facebook dapat Facebook dapat membina
Hasyim, context: A case membina kepercayaan diri mahasiswa untuk
M.(2019) study at kepercayaan diri berinteraksi dan merespons secara
Hasanuddin mahasiswa untuk spontan dalam bahasa Inggris,
University. Asian berinteraksi dan penelitian ini menawarkan
EFL Journal, 26(6), merespons secara pengajaran alternatif Bahasa
153-167, ISSN spontan dalam bahasa Inggris, terutama menulis melalui
1738-1460 Inggris, Grup Facebook dalam konteks
ESP
Saddhono, November). Facebook Mengukur persepsi Hasil penelitian ini
K., Facebook as A memudahkan mahasiswa asing menunjukkan bahwa Facebook
Hasibuan, Learning Media in dalam dalam menggunakan banyak digunakan untuk keperluan
A., & TISOL (Teaching pembelajaran facebook dalam komunikasi dan Facebook dapat
Bakhtiar, Indonesian to pembelajaran bahasa meningkatkan minat mahasiswa
M. I. Speakers of Other Indonesia asing untuk belajar bahasa
(2019, Languages) Indonesia serta memudahkan
Learning to Support memudahkan pembelajaran
The Independency bahasa Indonesia dengan
of Foreign Students bimbingan dosen yang bijaksana
16

in Indonesia.
In Journal of
Physics:
Conference
Series (Vol. 1254,
No. 1, p. 012061).
IOP Publishing.

Tiruwa, Modelling Penelitan ini penelitian ini untuk Tujuan penelitian ini untuk
A., Facebook usage for menggunakan memahami faktor- memahami faktor-faktor kunci
Yadav, R., collaborative model faktor kunci yang yang mempengaruhi niat
& Suri, P. learning in higher collaborative mempengaruhi niat mahasiswa untuk menggunakan
K. (2018). education. Journal learning dengan mahasiswa untuk Facebook untuk penggunaan
of Applied Research Facebook menggunakan akademik
in Higher Facebook dalam
Education. pembelajaran

Mahmud, Facebook and Pemberian lingkungan belajar Hasil penelitian


M. M., & collaborative penilaian sejawat kolaboratif secara merekomendasikan perlu
Wong, S. learning: An di lingkungan substansial penggabungan penilaian sejawat
F. (2018). empirical study on belajar meningkatkan minat online dan lingkungan belajar
online kolaboratif dan motivasi kolaboratif secara substansial
assessment. Interna mahasiswa meningkatkan minat dan motivasi
tional Journal of mahasiswa
Learning and
Teaching, 4(2),
107-113.

Khalid, F. Understanding kegiatan berbagi dukungan dan Hasil penelitian menunjukkan


(2017). University Students online lewat balasan instan dalam kegiatan berbagi online lewat
‘Use of Facebook Facebook facebok Facebook menyenangkan dan
for Collaborative meningkatkan Facebook menjadi berguna bagi mahasiswa karena
Learning. Internatio interaksi factor kunci untuk mendapatkan dukungan dan
nal Journal of meningkatkan balasan instan sehingga interaksi
Information and interaksi dan dan kolaborasi komunal mereka
Education kolaborasi komunal meningkat
Technology, 7(8), mahasiswa
595-600.

Gutierrez- Collaborative facebook facebook untuk Hasil penelitian menunjukkan


Aguilar, Learning: The mendukung pendidikan memiliki bahwa menggunakan facebook
O., & Educational pembelajaran tingkat replikasi yang untuk pendidikan memiliki tingkat
Salas- Perspective of kolaboratif untuk tinggi, dalam berbagai replikasi yang tinggi, dalam
Valdivia, Facebook. In 2019 mencapai bidang dan mata berbagai bidang dan mata
L. (2019, XIV Latin American konstruksi pelajaran pendidikan pelajaran pendidikan, karena
October) Conference on pengetahuan baru dan keterampila sangat menyukai kerja kolaboratif,
Learning untuk mencapai konstruksi
Technologies pengetahuan baru, generasi
(LACLO) (pp. 348- pembelajaran yang signifikan, dan
352). pencapaian keterampilan.
pendidikan.
17 
 
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Jejaring Sosial

Pada bagian ini pembahasan mencakup konsep model pembelajaran, pembelajaran

kolaboratif, pembelajaran kolaboratif online, dan pembelajaran kolaboratif online

berbasis jejaring sosial, dan pembelajaran kolaboratif dengan facebook oleh para ahli

dari berbagai perspektif agar didapat pemahman yang komprehensif tentang hakikat

model pembelajaran kolaboratif online berbasis situs jejaring sosial yang akan

dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan ini..

1. Hakikat Model Pembelajaran

Dalam mendefinisikan model pembelajaran dalam disertasi ini, peneliti

menterjemahkan dari beberapa istilah yang berbeda dari bahasa Inggris yaitu teaching

model, instructional model dan model of teaching.

Secara sederhana model pembelajaran didefinisikan oleh Dills (1997) sebagai proses

langkah demi langkah yang dirancang untuk mencapai hasil pendidikan tertentu. Eggen

(2012) mendefinisikan model pembelajaran sebagai desain untuk mengajar dengan

menggunakan keterampilan dan wawasan di bawah instruksi mereka. Model juga

berfungsi sebagai pola atau rencana dalam pembelajaran sebagaimana dikemukan oleh

Joyce et.all. (2015) model pembelajaran adalah pola atau rencana yang dapat digunakan

untuk membentuk kurikulum atau kursus, untuk merancang bahan ajar dan untuk

memandu tindakan dosen. Definisi lebih sesuai ditujukan untuk produk model

pembelajaran (model fisik) yang kontennya perlu diurutkan sebagaimana dikemukan

oleh Robert (2013) bahwa model pembelajaran menyajikan cara tertentu bahwa konten

tersebut diurutkan, model pembelajaran sebagai pola atau rencan untuk memandu
18

tindakan dosen dalam pengajaran sebagai dapat dilihat dari pendapat Yeboah (2014)

mendefinisikan model pembelajaran adalah pedoman atau set strategi yang menjadi

dasar pendekatan untuk mengajar oleh dosen. Pendapat ini memilki konsep yang

memiliki kemiripan dengan Yeboah dan Ghani et.all. (2015) model pembelajaran adalah

seperangkat pedoman atau strategi yang menjadi dasar pendekatan bagi pengajar untuk

mengajar yang didasarkan pada teori-teori. Demikian pula pendapat yang dikemukan

oleh Reigeluth (1983) bahwa model pembelajaran biasanya seperangkat komponen

terintegrasi strategi, seperti: cara tertentu ide-ide konten yang diurutkan, penggunaan

ikhtisar dan ringkasan, penggunaan contoh, penggunaan praktek, dan penggunaan

strategi yang berbeda untuk memotivasi mahasiswa. Vishwanath, (2006) model

pembelajaran merupakan cara mengajar, yang melibatkan pengalaman belajar yang

terstruktur secara sistematis dan berurutan secara logis dan strategi pengajaran yang

spesifik dan bermakna yang dikembangkan dalam istilah teoretis mereka sendiri untuk

mencapai tujuan tertentu atau serangkaian tujuan yang memandu dalam merancang

kegiatan pendidikan yang menciptakan lingkungan dan situasi belajar yang cocok.

Model ini dilihat dari suatu strategi dalam pembelajaran

Dari definisi di atas dapat disimpulkan model pembelajaran adalah pedoman dan

strategi yang terpadu yang di desain untuk memudahkan pengajar menyajikan konten

yang disusun secara sistematis, menjadi dasar untuk mengajar dengan menggunakan

semua keterampilan dan wawasan sehingga pembelajaran dapat memotivasi,

memudahkan dan memotivasi mahasiswa.

2. Konsep Pembelajaran Kolaboratif

Kolaboratif dapat terjadi di hampir semua konteks di mana orang berinteraksi; sama

pentingnya, bagaimanapun, adalah pemahaman bahwa hal itu mungkin tidak akan

terjadi, apakah atau tidak adanya label kolaboratif. Berkolaborasi pada hakikatnya
19

adalah karakter manusia yang sudah ada semenjak manusia dilahirkan, bahkan dalam al-

quran telah dinukilkan semenjak seribu empat ratus tahun yang lalu sebagaimana dapat

kita pahami dari firman Allah “

ِ ‫ﺷﺪِﻳﺪُ ْﺍﻟ ِﻌﻘَﺎ‬


‫ﺏ‬ ِ ‫ﺍﻹﺛْ ِﻢ َﻭ ْﺍﻟﻌُﺪ َْﻭ‬
َ َ‫ﺍﻥ ۚ َﻭﺍﺗﱠﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ۖ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ْﺍﻟ ِﺒ ِ ّﺮ َﻭﺍﻟﺘ ﱠ ْﻘ َﻮ ٰﻯ ۖ َﻭ َﻻ ﺗَﻌَ َﺎﻭﻧُﻮﺍ‬
ِ ْ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫َﻭﺗَﻌَ َﺎﻭﻧُﻮﺍ‬

Artinya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan


jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Al-Maidah Ayat:2)

Kata kolaboratif (collaboration ) menurut Shah (2012) dari berasal dari akar kata

Latin “com” dan “laborate” menyarankan, kolaboratif menunjukkan, "untuk bekerja

sama". Akar Latin com dan laborate menunjukkan bahwa kolaboratif memiliki sesuatu

untuk dilakukan dengan bekerja sama. Namun, ini tampaknya sangat dekat dengan

makna “kerjasama” (cooperation) dan “koordinasi” (coordination). Coleman and Levine

(2008) bahwa kolaboratif adalah kata yang memiliki makna berikut ini:a) seni

menemukan, menghasilkan atau menciptakan sesuatu dengan cara kita sendiri b) sumber

dari segala produktivitas c).bekerja sama dengan orang d) suka cita karena terlibat pada

suatu hubungan dengan seseorang“d) kunci yang akan membuka solusi untuk tantangan

global seperti perang, kekerasan, kemiskinan, rasisme, degradasi lingkungan, dan

pelanggaran hak asasi manusia e) lebih baik daripada yang diharapkan dari masing-

masing bagian, karena cara mereka menggabungkan menambah kualitas yang berbeda

(More than the sum of its parts) f) ketegasan dan positif dalam aksi g) bersama lebih

pintar dari pada sendiri) kontribusi dari orang berbeda labih baik

Definisi kolaborasi yang paling banyak digunakan menggambarkannya sebagai

konstruksi pemahaman bersama melalui interaksi dengan orang lain (Dillenbourg, 1999;

Roschelle dan Teasley, 1995). Diasumsikan bahwa dalam kegiatan kolaboratif, para
20

peserta berkomitmen atau terlibat dalam tujuan dan pemecahan masalah bersama.

Selanjutnya, kolaborasi sering didefinisikan dengan cara yang mengharuskan peserta

untuk terlibat dalam upaya terkoordinasi untuk memecahkan masalah atau melakukan

tugas bersama. Kolaborasi juga biasa disebut sebagai coconstruction of knowledge

(Baker, 2002), membangun pengetahuan kolaboratif (Stahl, 2004), coargumentation

(Baker, 2002), negosiasi makna bersama (Pea,1993), konstruksi pengetahuan umum

(Crook, 2002), pembicaraan eksplorasi (Mercer,1996), atau koordinasi (Barron,2000).

Selain itu, definisi kegiatan kolaboratif yang berhasil menunjukkan sifat kolaborasi, di

mana aspek kognitif, sosial, dan emosional saling terkait erat pengetahuan kolaboratif

(Stahl,2004), coargumentation (Baker,2002), negosiasi makna bersama (Pea,1993),

konstruksi pengetahuan umum (Crook,2002), pembicaraan eksplorasi (Mercer,1996),

atau koordinasi (Barron,2000). Lebih jauh, definisi kegiatan kolaboratif yang sukses

menunjukkan sifat kolaborasi, di mana aspek kognitif, sosial, dan emosional saling

terkait erat. Baker (2002) mendefinisikan kolaborasi sebagai "bentuk kerja sama yang

simetris dan selaras dalam pemecahan masalah, terlepas dari apakah para peserta setuju

atau tidak". Menurut Baker, interaksi adalah simetris jika peserta mengadopsi peran

tertentu secara merata di seluruh interaksi, yaitu, berpartisipasi secara setara dalam

penyelesaian masalah. Meskipun Baker (2002) tidak mengacu pada simetri pengetahuan,

derajat simetri pengetahuan tertentu sangat penting untuk memungkinkan peran yang

sama (Dillenbourg, 1999). Menurut Van Boxtel (2000), semua peserta harus

memberikan kontribusi yang sama untuk elaborasi dan solusi dari masalah yang

dihadapi.

Dalam definisi Baker (2002) bahwa tingkat penyelarasan mengacu pada sejauh

mana peserta berada dalam fase sehubungan dengan berbagai aspek kegiatan

penyelesaian masalah, yaitu, sejauh mana mereka benar-benar bekerja bersama.


21

Misalnya, interaksi tidak selaras dalam situasi di mana mahasiswa tidak memiliki saling

pengertian (konseptual) tentang masalah atau konsep yang ada, dan dengan demikian,

tidak dapat benar-benar bekerja bersama (sampai mereka menegosiasikan pemahaman

bersama). Mempertahankan dan membangun pemahaman bersama membutuhkan

perhatian dan refleksi berkelanjutan pada pemahaman seseorang dan orang lain (Baker,

2002). Mercer (1996) melihat kolaborasi sebagai konstruksi pengetahuan bersama.

Menurutnya, konstruksi ilmu bersama diwujudkan dalam pembicaraan. Ia membedakan

tiga bentuk pembicaraan, yaitu pembicaraan eksploratori, kumulatif, dan disputasional.

Pembicaraan eksplorasi terjadi ketika peserta terlibat secara kritis tetapi konstruktif

dalam ide masing-masing. Dalam pembicaraan eksplorasi, pernyataan dan saran

ditawarkan untuk dipertimbangkan bersama. Ini ditentang dan ditentang dengan

justifikasi dan hipotesis alternatif. Dalam pembicaraan eksplorasi, pengetahuan dibuat

dipertanggungjawabkan kepada publik dan alasannya terlihat. Pembicaraan kumulatif

dan sengketa tidak mendorong pemecahan masalah kritis bersama. Dalam pembicaraan

kumulatif, para peserta membangun secara positif, tetapi tanpa kritik atas apa yang

dikatakan pihak lain. Para peserta menggunakan tipe pembicaraan ini untuk membangun

pengetahuan umum dengan akumulasi. Elemen khas dari pembicaraan kumulatif adalah

pengulangan, konfirmasi, dan elaborasi. Pembicaraan disputasional ditandai oleh

ketidaksepakatan, daya saing, dan pengambilan keputusan individu. Hanya ada beberapa

upaya untuk menyelesaikan masalah bersama atau untuk menawarkan kritik atau saran

yang membangun. Hanya pembicaraan eksplorasi yang berkontribusi pada konstruksi

pengetahuan bersama.

Menurut Barron (2003), kegiatan kolaboratif memiliki sifat ganda, yang berarti

bahwa para peserta harus mengembangkan dan memantau ruang konten dan ruang

relasional. Ruang konten mengacu pada aspek kognitif kolaborasi: bagaimana subjek
22

yang dihadapi beralasan, bagaimana ide dikembangkan dalam diskusi, dan bagaimana

pemahaman bersama dibangun. Ruang relasional lebih mengacu pada cara di mana

peserta berorientasi satu sama lain dalam dialog (atau monolog) dan seberapa bersedia

mereka untuk terlibat dalam interaksi (Barron, 2003). Konten dan ruang relasional

dinegosiasikan secara bersamaan, dan dengan demikian bersaing untuk mendapatkan

perhatianDalam konteks pembelajaran kolaboratif merujuk pada makna sebagai sebuah

pendekatan untuk mengajar dan belajar. Pemahamana ini dapat dilihat dari definisi yang

dikemukakan oleh Srinivas dalam Keith dan Palloff (2010) yang mendefinisikan

kolaboratif sebagai "pendekatan dalam mengajar dan belajar yang memerlukan orang

lain untuk saling bekerja sama dalam mencari solusi masalah, merampungkan tugas

atau membuat suatu projek.

Untuk dapat memahami pembelajaran kolaboratif, maka dapat dilihat secara

komprehensive dari empat dimensi kolaborative yang dikemukan oleh Sawyer (2014)

bahwa pembelajaran kolaborative adalah salah satu bagian dari konsep kolaboratif.

Menurutnya ada empat dimensi tentang kolaborative sebagai jendela (Collaboration-as-

a-window), kolaboratif sebagai hasil sampingan (collaboration-for-distal-outcomes),

kolaboratif sebagai hasil dari proksimal (collaboration-for-proximal-outcomes), dan

kolaboratif sebagai kegiatan belajar (collaboration-as-learning)

Kolaboratif sebagai kegiatan belajar “collaboration as learning”, Pada konteks ini

kolaboratif sebagai proses fokus dan hasil itu sendiri. Belajar dioperasionalkan sebagai

perubahan relasional untuk sistem dengan beberapa bagian, manusia dan bukan

manusia, reorganisasi adaptif dalam sistem yang kompleks.Pengertian kolaboratif

sebagai pembelajaran (collaboration as learning) sangat relevan dengan pengertian

pembelajaran kolaboratif yang akan dibahas berikut ini.


23

Smith (1992) berpendapat bahwa pembelajaran kolaboratif merupakan sebuah

istilah umum untuk berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan upaya intelektual

bersama oleh mahasiswa dan dosen secara bersama, mahasiswa bekerja dalam kelompok

yang beranggotakan dua atau lebih, saling mencari pemahaman, solusi, atau makna, atau

menciptakan produk. Panitz (1999) memandang pembelajaran kolaboratif adalah filosofi

pribadi, bukan hanya teknik kelas, dalam semua situasi di mana orang-orang secara

bersama-sama dalam kelompok, saling menghormati dan menyoroti kemampuan

anggota kelompok individu dan kontribusi, adanya pembagian kewenangan dan

penerimaan tanggung jawab antara anggota kelompok untuk tindakan kelompok

Velarde (2012) mengemukakan bawah pembelajaran kolaboratif adalah teori belajar

atau teknik yang bertujuan untuk menciptakan rangka pembelajaran dengan

menggunakan interaksi sosial “Collaborative Learning is a learning technique that aims

to create learning scaffolds using social interaction”. Dalam kebanyakan situasi

pembelajaran kolaboratif mahasiswa dapat bekerja dalam kelompok dalam mencari

pemahaman atau membuat produk.

Pembelajaran kolaboratif muncul dalam berbagai istilah yang dapat dipertukarkan.

Goodsell dkk (1992) mengemukakan bahwa banyak terminologi yang dipergunakan

untuk pembelajaran kolaboratif, seperti Federated Learning Communities (FlCS);

Kelompok Minat Mahasiswa (FIGS); Komunitas Belajar; Kelompok Belajar

Kolaboratif; Kursus Tertaut; Seminar Antar-disiplin; Upaya penelitian bersama

Mahasiswa-fakultas.

Sementara,Melinda (2004) berpendapat bahwa pembelajaran kolaboratif disebut

juga dengan berbagai nama: Pembelajaran Kooperatif, Pembelajaran Kolaboratif,

Pembelajaran Kolektif, Komunitas Belajar, Peer Teaching, Peer Learning, atau Team

Learning.Dalam tulisan ini peneliti tidak membahas istilah-istilah tersebut secara detail,
24

namun hanya menjadi acuan untuk medapatkan konsep-konsep yang relevan dengan

pembelajaran kolaboratif.

Kesamaan yang dimiliki dari semua istilah itu adalah adanya kerja kelompok atau

bekerja bersama-sama dalam sebuah kelompok. Kolaboratif memerlukan seluruh proses

pembelajaran, termasuk mahasiswa mengajar satu sama lain, mahasiswa mengajari

dosen, dan bisa saja dosen mengajar mahasiswa. Itu berarti bahwa mahasiswa memiliki

tanggungjawab bersama dalam mencapai tujuan pembelajaran dan saling membantu

untuk memahami dan belajar.

Sebagaiman telah peneliti sebutkan di atas dengan merujuk Panitz (1999) bahwa

pembelajaran kolaboratif adalah filosofi pribadi dalam semua situasi di mana orang-

orang secara bersama-sama dalam kelompok, saling menghormati dan menyoroti

kemampuan anggota kelompok individu dan kontribusi, adanya pembagian wewenangan

dan tanggung jawab setiap anggota dalam kelompok yang berbuat atas nama kelompok.

Pembelajaran kolaboratif didasarkan pada konsensus melalui kerjasama dengan anggota

kelompok.

Lee dalam El Emary (2012) mengemukakan bahwa “pembelajaran kolaboratif

adalah sebuah pendekatan pendidikan untuk mengajar dan belajar yang melibatkan

kelompok mahasiswa bekerja sama untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas,

atau membuat suatu produk”. Pada definisi ini pembelajaran kolaboratif didasarkan pada

gagasan bahwa belajar adalah tindakan alami sosial di mana mahasiswa berbicara di

antara mereka sendiri dalam sebuah kelompok untuk melakukan sesuatu dapat berupa

memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat suatu produk dan lain-lain.

Laal (2011) dalam Dabbagh, et.all (2018) bahwa “Pembelajaran kolaboratif

merupakan sebuah pendekatan dalam pembelajaran dengan adanya keterlibatan

kelompok untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat produk ".
25

Definisi di atas menggambarkan karakterisitk pembelajaran kolaboratif bahwa

pembelajaran kolaboratif melibatkan upaya intelektual bersama mahasiswa dan dosen,

mahasiswa bekerja dalam kelompok, saling mencari pemahaman, solusi, atau makna,

atau menciptakan suatu produk. Pembelajaran kolaboratif berpusat pada mahasiswa,

setiap orang didorong berpartisipasi, bekerja sebagai mitra dalam kelompok kecil, saling

mengajukan perntanyaan, atau menciptakan suatu tantangan yang mendorong kegiatan

kelompok dengan demikian pembelajaran bersifat aktif, proses yang konstruktif, belajar

tergantung pada konteks yang kaya, kemampuan mahasiswa yang beragam, belajar

secara inherent secara sosial, pembelajaran memiliki dimensi afektif dan subjektif,

dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang mampu menciptakan adanya

keterlibatan mahasiswa, adanya kerjasama dalam tim serta tanggung jawab pribadi.

Dari beberapa pendapat mengenai pembelajaran kolaboratif, maka peneliti

menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif didasarkan pada konsensus melalui

kerjasama dengan anggota kelompok, berbeda dengan kompetisi di mana individu

adalah anggota terbaik dalam suatu kelompok. Pembelajaran kolaboratif adalah

pembelajaran yang terjadi dimana dua orang atau lebih bekerjasama dalam sebuah

kelompok dengan prinsip setara, demokratis, saling bertanya, saling mencari

pemahaman, saling mencarikan solusi, saling menghargai, saling menghormati, saling

berkontribusi secara positif, semua berpartisipasi, bekerja sebagai mitra, semua

bertanggung jawab untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dapat terjadi di dalam

kelas atau di luar ruangan kelas, baik dengan menggunakan teknologi (komputer,

perangkat mobile, jaringan dan internet) maupun tidak.

Panitz (1999) dalam Roberts (2004) mengemukakan bahwa pembelajaran

kolaboratif dapat memberikan beberapa manfaar yaitu: 1) Manfaat Akademik, 2)

Manfaat sosial dan, 3) Manfaat psikologis.


26

3. Pembelajaran Kolaboratif Online (Online Collaborative Learning)

Konsep pembelajaran kolaboratif pada awalnya adalah di laksanakan di ruangan

kelas. Dimana secara fisik dosen dan mahasiswa hadir pada tempat dan waktu yang

sama. Seiring semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi dalam

kehidupan sehari-hari maka dosen juga memanfaatkannya untuk kepentingan

pembelajaran. Dengan adanya pemanfaatan teknologi ICT dalam pembelajaran secara

kolaboratif maka munculah sebuah phrase baru dalam pembelajaran yaitu pembelajaran

kolaboratif online (Online Collaborative Learning) maksunya yaitu pembelajaran

kolaboratif yang menggunakan flatform online, yaitu secara fisik dan waktu mahasiswa

dan dosen tidak mesti hadir secara bersamaan.

Panitz (1999) dalam Roberts, (2004) berpendapat bahwa berdiskusi di internet juga

disebut kolaboratif. Kolaboratif merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup pribadi

tidak hanya teknik di kelas terjadinya kerjasama juga merupakan struktur interaksi yang

didesain untuk memfasilitasi pemenuhan produk akhir atau tujuan. Inovasi dalam

penggunaan teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi di seluruh aspek kehidupan

kita. Mahasiswa dalam konteks pendidikan, profesional, dan sosial tidak lagi penerima

hanya informasi; teknologi pendidikan kolaboratif memungkinkan mereka untuk

bertindak, bereaksi, dan berinteraksi bentuk-bentuk baru unggul pengetahuan yang pada

gilirannya bersama dan dibuat tersedia untuk orang lain.”

Harasim (2012) menjelaskan bahwa pembelajaran online mengacu pada

penggunaan jaringan komunikasi online untuk aplikasi pendidikan. Pembelajaran online

dapat berupa kursus yang dimediasi oleh Web. Pembelajaran online juga merujuk pada

sebuah kondisi bahwa pembelajaran berlangsung melalui koneksi. Hal ini dapat kita

pahami jika merujuk pada pengertian istilah online yang dikemukan oleh Erdem (2013)

bahwa secara umum "online" menunjukkan keadaan konektivitas, sementara "offline"


27

menunjukkan keadaan terputus. Di sini, kita berarti bahwa “secara online terhubung ke

sistem, dalam operasi, fungsional dan siap untuk layanan. Sebaliknya, sebuah data

offline berarti tidak ada koneksi, dalam media seperti CD, Hard Disk atau kadang-

kadang di atas kertas.

Ada banyak definisi pembelajaran online dalam literatur yang mencerminkan

keragaman praktek dan teknologi yang terkait. Ally (2008) mendefinisikan

pembelajaran online yaitu penggunaan Internet untuk mengakses materi pembelajaran;

untuk berinteraksi dengan konten, instruktur, dan mahasiswa lainnya; dan untuk

memperoleh dukungan selama proses pembelajaran, untuk memperoleh pengetahuan,

untuk membangun makna pribadi, dan tumbuh dari pengalaman belajar. Dabbagh

(2005) mendefinisikan pembelajaran online sebagai lingkungan pembelajaran terbuka

dan terdistribusi yang menggunakan teknologi Internet dan berbasisi web guna

memfasilitasi belajar dan membangun pengetahuan” Robert (2004) menguatkan

pembelajaran kolaboratif yang berlangsung secara daring dapat menambah pengalaman

mahasiswa dalam belajar dengan dukungan teknologi dimana mereka yang bekerja

dalam tim kecil untuk membuat tugas atau mengembangkan suatu projek

Sementara itu, media sosial secara luas mengacu pada alat-alat elektronik (electronic

tools) yang relatif murah dan dapat diakses secara luas yang memungkinkan orang untuk

mempublikasikan dan mengakses informasi, berkolaboratif pada upaya bersama atau

membangun hubungan.

Shea-Schultz (2002) Pembelajaran online disebut juga e-learning, iLearning,

pelatihan online, pelatihan berbasis web. Istilah-istilah di atas menyiratkan bahwa ada

jarak antara mahasiswa dan dari dosen bahwa mahasiswa menggunakan beberapa

bentuk teknologi (biasanya komputer) untuk mengakses materi pembelajaran, bahwa

mahasiswa menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan dosen dan dengan


28

mahasiswa lain, dan bahwa beberapa bentuk dukungan yang diberikan kepada

mahasiswa.

Mengacu pada definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran online berbasis sosial media adalah model pembelajaran berbantuan alat-

alat elektronik yang di mana mahasiswa dalam satu kelompok kecil bekerja sama

mempublikasikan, mengakses informasi, dan berkolaboratif dalam mengerjakan tugas-

tugas proyek otentik untuk mengembangkan produk multimedia. Pada prinsipanya

pembelajaran Kolaboratif merupakan pergeseran peran mahasiswa dalam proses

pembelajaran menjadi mahasiswa yang berberan aktif, pribadi yang menjaga harapan

kelompokknya, dari seabagai kompetitor kolega menjadi Kolaborator. Menjadi

pridabadi yang mandiri, berperan aktif dalam mengambil tanggung jawab dalam

kelompok dan saling adanya ketergantungan dalam belajar. Pendekatan ini menghendaki

adanya perubahan dalam menacapai tujuan pembelajaran dari sekedar penyampaian

pengetahuan menjadi pengkontruksi pengetahuan oleh individu sebagai anggota

kelompok, tugas adalah milik bersama yang diselesaikan oleh setiap individu secara

kolektif tanpa adanya diskrimasi dalam sisi kecakapan.

Lebih lanjut Dabbagh dan Bannan-Ritland (2005) mengemukakan enam karakter

pembelajaran online 1) Globalisasi dan belajar sebagai proses sosial yang melekat dan

memungkinkan melalui teknologi telekomunikasi,2) Konsep kelompok belajar adalah

penting untuk mencapai dan mempertahankan pembelajaran.3) Konsep jarak relatif

tidak penting atau kabur dan tidak terbatas pada pemisahan fisik dari mahasiswa dan

instruktur.4) Peristiwa belajar mengajar (atau kegiatan kursus) didistribusikan di waktu

dan tempat, terjadi serentak dan / atau asynchronous melalui media yang berbeda,5)

Peristiw belajar mengajar (atau kegiatan kursus) menyebar secara serentak (waktu dan

tempat) atau asynchronous melalui media yang berbeda .6) Menggunakan internet atau
29

teknologi berbasis web untuk memfasilitasi pembelajaran dan membangun pengetahuan

melalui tindakan yang berarti dan interaksi

Harasim (2012) menjelaskan bahwa dalam prakteknya pembelajaran online dapat

muncul dalam beberapa model yaitu Adjunct Mode Online Learning, Mixed-mode or

Blended-mode Learning dan Totally Online Learning. Penjelasan ringkas ketiga model

tersebut berikut Pertama, Pembelajaran online penunjang (Adjunct Mode Online

Learning). Model ini mengacu pada penggunaan jaringan komunikasi untuk

meningkatkan pendidikan jarak jauh tradisional tatap muka (face to face). Kedua,

Pembelajaran Mode campuran(Mixed-mode or Blended-mode Learning).model ini

terjadi sebagian besar kelas tatap muka atau pendidikan jarak jauh tentu dilakukan

secara online. Biasanya sekitar 50% dari kegiatan pembelajaran dan kelas keseluruhan

didasarkan pada aktivitas online dalam mode campuran. Dabbagh (2005) menyebut

Blended-mode Learning dengan istilah Web-supported or Web-enhanced instruction

yaitu menggabungkan pembelajaran secara online dengan kegiatan tatap muka. Ketiga,

Pembelajaran Online Secara Penuh (Totally Online Learning).Model Pembelajaran ini

secara penuh ini didasarkan pada pendekatan pembelajaran kolaboratif online seperti

seminar dan diskusi kelompok. Sebagian besar pelopor pembelajaran online awal datang

dari konteks tatap muka di kelas. Para pengguna awal dan pengadopsi menekankan

pembelajaran yang melibatkan kolaboratif mahasiswa, interaksi dan membangun

pengetahuan. Dabbagh (2005) menyebut totally online learning dengan istilah “the fully

online, atau web-only “yaitu suatu pembelajaran yang disampaikan hanya melalai

internet atau tanpa tatap muka.

4. Pembelajaran Kolaboratif Dengan Situs Jejaring Sosial

Situs Jejaring Sosial (SJS) adalah istilah yang dapat dipertukar dengan istilah sosial

media dalam disertasi ini. Beberapa pakar memberikan definisi bahwa SJS adalah
30

sebagai Platform, sebagai layanan web dan dari sudut pandang online sebagimana dapat

dipahami dari pendapat berikut ini.

Pertama, definisi bahwa SJS sebagai Platform dikemukakan Buettner (2016)

mendefinisikan Situs Jejaring Sosial adalah Platform untuk membangun hubungan sosial

antara orang-orang yang berbagi minat yang sama, kegiatan, latar belakang kehidupan

nyata. Beberapa komponen dari definisi ini memiliki kesamaan dengan Boyd & Ellison

(2013) yang mendefinisikan Situs Jejaring Sosial sebagai sebuah platform komunikasi

jaringan di mana peserta 1) memiliki profil diidentifikasi unik yang consist konten yang

disediakan pengguna, konten yang disediakan oleh pengguna lain, dan / atau data

sistem-tingkat; 2) dapat terbuka mengartikulasikan koneksi yang dapat dilihat dan

dilalui oleh orang lain; dan 3) dapat mengkonsumsi, memproduksi, dan / atau

berinteraksi dengan aliran user-generated content yang disediakan oleh koneksi mereka

di situs.

Kedua SJS sebagai layanan web sebagaimana dikemukakan Manca dalam Mallia

(2013) bahwa Situs Jejaring Sosial adalah layanan web yang memungkinkan pengguna

membuat profil publik atau semi-publik, membuat daftar teman dan melintasi daftar

mereka koneksi, membentuk sebuah komunitas online jaringan publik”. Pendapat seperti

juga mirip dengan pendapat Alhajj and Rokne (2014) yang mendefenisikan Situs

Jejaring Sosial adalah layanan berbasis web yang memungkinkan individu

membuat,berbagi profil, dan mengundang pengguna lain untuk berinteraksi dan berbagi

konten bersama-sama dalam pengaturan dibatasi atau semi dibatasi”.Demikian pula

halnya De Garmo (2014) “Situs Jejaring Sosial situs website internet yang

memungkinkan interaksi sosial antara dua atau lebih pengguna”.

Ketiga dari sudut pandang online, Agosto.eds. (2011) mengemukakan bahwa

“Situs Jejaring Sosial adalah ruang online di mana anggota masyarakat bertemu dalam
31

semua jenis interaksi sosial, dari membaca tentang anggota lainnya, posting gambar dan

klip video, untuk mengirim pesan ke teman-teman online”.Keyes and Jessica (2011)

“Situs Jejaring Sosial adalah komunitas online yang pengguna dapat membuat profil dan

bersosialisasi menggunakan berbagai alat media sosial termasuk blog, video, gambar,

tag, daftar teman, forum, dan pesan”.Keenam,

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Situs Jejaring Sosial

merupakan platform web online yang memungkinkan individu untuk membangun profil

publik atau semi-publik dapat berkomunikasi dengan orang lain yang ada dalam

groupnya dengan menggunakan berbabagai fasilitas yang tersedia dalam situs tersebut,

misalnya dengan menggunkan video, audio, teks dan gambar atau dengan menambatkan

link serta dapat memberikan komentar.

Pembelajaran kolaboratif online dengan dukungan teknologi baru yaitu dapat terjadi

melalui media sosial. Model ini telah menarik perhatian dari peneliti baru-baru ini dan

konsep baru dari e-learning 2.0 didefinisikan sebagai adopsi media sosial dalam

pembelajaran atau pendidikan (Lam, 2015)

Pempek dalam Karal (2015) mengatakan bahwa:Situs jejaring sosial adalah bagian

penting dari teknologi media sosial. Situs jejaring sosial digambarkan sebagai platform

di mana pengguna berbagi informasi profil, referensi, pesan online atau foto secara

online, berbagi video. Situs ini memungkinkan untuk melakukan cara-cara inovatif

dalam berkomunikasi, serta dapat digunakan sebagai jalur ke komunitas online yang

sedang berlangsung dan bersifat user-generated content

Albion (2008) dalam White (2011) berpendapat bahwa media sosial merupakan

perubahan lingkungan yang lebih partisipatif dan berpotensi paradigma untuk

membangun dan berbagi pengetahuan. Menurut Boyd et al. (2007) dan Davis (2003)

dalam Gao (2011) media sosial memberikan dukungan bagi mahasiswa yang tersebar
32

secara geografis untuk berbagi ide dan sumber daya, berkolaborasi dan membuat konten,

dan mengembangkan hubungan dan komunitas praktik dengan yang lain. Media ini

diharapkan kata Anderson (2008); Frydenberg (2006); McLoughlin et al. (2007). Gao,

Qin, and Pei- Rau (2011) bahwa peningkatan kemampuan sosial akan memfasilitasi

pedagogi yang berpusat pada mahasiswa dan memunculkan paradigma pendidikan

alternatif, seperti paradigma pembangunan pengetahuan

Berkolaborasif melalui situs jejaring sosial merupakan fenomena yang tidak dapat

dihindari dan mesti dimanfaatkan. I-Tsun Chiang, et.all (2011) menunjukkan bahwa

Web 2.0 jejaring sosial layak dijadikan tool oleh mahasiswa untuk memotivasi

koleganya untuk berkolaboratif dan belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas dan

mengatasi tantangan. Situs jejaring sosial sudah banyak dijadikan sarana oleh Dosen

pada tingkat Pendidikan Tinggi, sebagaimana temuan Mahmoud M. Maqableh, et al.,

(2015) bahwa ada pengaruh yang signifikan dari situs jejaring sosial pada kinerja

akademik mahasiswa. Disamping itu juga ada dampak yang signifikan penggunaan situs

jejaring sosial menggunakan per minggu pada kinerja akademik mahasiswa. Temuan ini

dapat digunakan untuk menyarankan strategi masa depan dalam meningkatkan

kesadaran mahasiswa dalam manajemen waktu yang efisien dan multitasking yang lebih

baik yang dapat menyebabkan peningkatan aktivitas belajar dan prestasi akademik.

Situs Jejaring sosial sebagai teknologi sosial telah mendapatkan tempat sebagai alat

pedagogis, serta pemahaman pemahaman terhadap potensi pedagogis yang ada padanya.

Menerut Vladlena Benson (2014) Peran media sosial di pendidikan tinggi terdiri dari

lima dimensi yaitu: I) Berperan terjadinya jaringan. 2) sarana pemasaran dan perekrutan.

3) kolaboratif. 4) pengajaran dan sarana belajar, serta 5) manajemen karir menyajikan

peluang menengah dan kewirausahaan. Kelima dimensi telah diuji oleh para akademisi

di berbagai disiplin ilmu pedagogi, teori modal sosial, teknologi informasi, ilmu hukum,
33

dan bidang lainnya, maka memunculkan perspektif penggunaan media sosial dalam

konteks pendidikan tinggi yang terdiri dari 1). Memungkinkan terjadinya jaringan 2).

Pemasaran dan perekrutan 3). Kolaboratif 4). Pengajaran dan pembelajaran. 5). Modal

sosial dan manajemen karir

Media sosial menurut Joosten (2012) dapat meningkatkan kehadiran sosial dosen di

luar kelas. Pada perspektif lain Tanya Joosten (2012) bahwa social media memberikan

karakteristik yang mengarah ke persepsi tinggi kehadiran sosial seseorang yang dapat

dianggap lebih efektif dalam memfasilitasi komunikasi.

Williams dan Christie dalam Venkatesh (2014) mendidefinisikan sebagai kehadiran

sosial sebagai derajat arti penting orang lain dalam interaksi dan arti penting akibat dari

hubungan interpersonal dan kualitas medium komunikasi"

Peran kehadiran sosial dalam pembelajaran online dapat dihubungkan dengan

konteks sosial yang lebih besar yang meliputi motivasi, kesatuan kelompok, komunikasi

verbal dan nonverbal, dan sosial kesetaraan-semua menjadi yang semuanya sangat sulit

untuk mencapai dan mempertahankan dengan tidak adanya kehadiran sosial Hal ini

penting untuk memeriksa kehadiran sosial dalam pembelajaran online karena kami perlu

memastikan bahwa meskipun itu menjadi online, itu dekat dengan representasi dari apa

yang akan di kelas tatap muka. Quintas, Morgado, and Amante (2007) berpendapat

bahwa menurut model kehadiran sosial bawa sarana komunikasi yang berbeda dalam

jumlah saluran informasi interpersonal dapat ditularkan lebih saluran memberikan media

kehadiran sosial yang lebih tinggi

Ngoyi dan Malapile (2014) mengemukakan bahwa ada dua konsep yang diasosiakan

dengan kehadiran social yaitu konsep keintiman dan kedekatan. Konsep keintiman sosial

menurut Shorte et.al. dalam Ngoyi dan Malapile (2014) bahwa kehadiran sosial media

komunikasi memberikan kontribusi terhadap tingkat keintiman yang tergantung pada


34

faktor-faktor seperti jarak fisik, kontak mata dan tersenyum. Pada acara televisi,

penononton bisa mendapatkan seluruh pesan dari pembawa acara jika dibandingkan

dengan mendengarkan pembawa radio. Penononton televisi mampu menilai reaksi

wajah dan gerak tubuh pembawa acara sehingga mereka dapat menafsirkan perilaku

yang ditunjukkan oleh pembawa acara. Adapun konsep kedekatan yaaitu ukuran jarak

psikologis, yang ada antara komunikator dan objek komunikasi. Seseorang dapat

merasakan tingkat kedekatan atau non-kedekatan baik non-verbal dan verbal. Kedekatan

dengan instruktur dapat meningkatkan kehadiran sosial dalam pembelajaran online

karena mahasiswa akan cenderung merasa bahwa meskipun instruktur mereka secara

fisik tidak dalam jangkauan, tanggapan langsung atas pertanyaan mereka dan

membuatnya tampak seolah-olah instruktur hadir secara fisik.

Tu dalam England (2012) mengidentifikasi tiga dimensi kehadiran sosial yaitu:

konteks sosial, komunikasi online, dan interaktivitas. Konteks sosial mengacu pada

mahasiswa dalam kursus online terlibat dalam tugas-tugas pada topik bersama, maka

membangun hubungan antara satu sama lain. Komunikasi online mengacu pada sejauh

mana mahasiswa menggunakan aplikasi online untuk berinteraksi satu sama lain,

termasuk bahasa komunikasi yang dapat diterima dan sesuai untuk apa pun yang mereka

dapat terlibat dalam. Interaktivitas mengacu pada sejauh mana mahasiswa

berkomunikasi satu sama lain dan dengan instruktur secara informal dan langsung

sebagai kurangnya kedekatan dapat berdampak negatif terhadap kehadiran sosial. Studi

tentang interaktivitas Rafaeli (2014) mengatakan bawah merupakan bagian dari evolusi

dalam ontologi dan epistemologi teknologi komunikasi baru pada umumnya, dan

komputer sebagai media.

Kehadiran sosial juga dapat dilihat dari dimensi lain seperti yang dikemukakan oleh

Chen (2015) bahwa penelitian di bidang komunikasi manusia telah mengidentifikasi tiga
35

konsep yang berkaitan erat dengan kehadiran sosial. Konsep itu adalah adalah keintiman

“intimacy”, kedekatan “immediacy”, dan “interaktivitas” interactivity”. Keintiman

adalah perasaan hubungan dekat dengan orang lain. Kedekatan digunakan untuk menilai

jarak psikologis antara komunikator. Interaktivitas merupakan karakteristik dari

pengaturan komunikasi yang berbeda. Dibangun di atas ini, konstruk kehadiran sosial

pertama kali didirikan sebagai "derajat arti penting dari orang lain dalam interaksi dan

arti-penting akibat dari hubungan interpersonal.

Picciano dalam Palloff (2010) menemukan hubungan konsisten antara persepsi

mahasiswa, berinteraksi yang kuat, kehadiran sosial, dan pembelajaran. terkait kehadiran

sosial untuk kepuasan mahasiswa dengan kursus online. Kazmer dalam Palloff dan

KPratt (2010) mencatat bahwa membangun komunitas belajar diperlukan untuk rasa

kehadiran sosial dan, akhirnya, untuk sukses interaksi antar mahasiswa. Murphy dalam

Palloff (2010) mencatat bahwa penggunaan kolaboratif online asynchronous dapat

meningkatkan interaksi kepuasan dan pembelajaran bagi mahasiswa

5. Pembelajaran Kolaboratif dengan Facebook


Facebook dipandang sebagai lingkungan di mana interaksi sosial gratis, nyaman dan

diprakarsai pengguna dan dengan demikian dapat melayani tujuan pendidikan. Survei

(Dunn, 2013) di mana mahasiswa di University of Glasgow dengan jelas melaporkan

sikap positif terhadap Facebook sebagai platform yang efektif untuk belajar. Temuan ini

didasarkan pada persepsi mahasiswa tentang penggunaan media sosial yang diinginkan

untuk meningkatkan pembelajaran meskipun tidak ada pembelajaran formal yang benar-

benar terjadi. Beberapa keuntungan utama yang dirasakan oleh mahasiswa adalah:

a) Meningkatkan motivasi dan keterlibatan mahasiswa dengan materi pelajaran

b) Meningkatkan kolaborasi antar mahasiswa. Hnhanecd interaksi antara mahasiswa

dan instruktur.
36

c) Berbagi data dan informasi yang dipercepat.

d) Menghapus hambatan ekspresi diri dan kontribusi.

e) Memberikan para mahasiswa dengan keterampilan abad ke-21 yang dapat

membantu kemampuan kerja mereka dan meningkatkan tingkat kepuasan.

Keunggulan lain facebook yang dijadikan media untuk pembelajaran kolaboratif

seperti reset Anderson (2011) facebook mendorong kolaboratif. Couillard dalam Patrut

(2013) mampu melibatkan mahasiswa secara aktif dalam belajar.Chickering dalam

Junco (2014) Facebook memfasilitasi pembelajaran berupa kemampuan untuk berbagi,

menghubungkan, partisipasi, dan keterlibatan aktif yang merupakan faktor penting

pembelajaran aktif dan kolaboratif. Patrut (2013) Facebook berpusat pada mahasiswa

Facebook.Lee (2015) facebook memberikan kemampuan dalam multitasking secara

signifikan, Ventura (2013) Facebook memfasilitasi proses belajar mengajar menjadi

lebih fleksibel dan Patrut dan Patrut (2013) Facebook hemat biaya.

Sejumlah riset yang berkaitan pemanfaatan facebook di Indonesia untuk

pembelajaran kolaboratif yaitu: Fitri dkk (2015) melakukan riset 329 responden dari 2

perguruan tinggi di Riau. Mereka menemukan bahwa mahasiswa merasa nyaman belajar

melalui facebook karena facebook telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan

sehari-hari mereka dan facebook dapat mempromosikan kolaborasi dan pertukaran

sosial Kegiatan facebook favorit oleh mahasiswa adalah obrolan online sebagai alat

untuk diskusi online (41%), diikuti dengan mengomentari status, foto atau video yang

dibagikan oleh orang lain (38%), dan melihat posting foto oleh teman-teman mereka

(36%) )

Riset lain yang menjadi bukti pemanfaatan facebook untuk kepentingan tutorial

adalah survey yang dilakukan oleh Riady (2014) pada kelompok mahasiswa di Hong

Kong, Taiwan dan Jakarta yang nyaman untuk akses dan lebih akrab dengan Facebook,
37

ditemukan bahwa Facebook akan menjadi alat bantu pembelajaran baik untuk

"kehidupan akademik". Memfasilitasi mahasiswa untuk mengadakan banyak informasi

dan kegiatan lainnya bersama dengan menggunakannya untuk pengumuman untuk

mahasiswa lain.

B. Konsep Model yang Dikembangkan

1. Pengertian Model

Para ahli memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang apa itu model.Secara

sederhana, menurut Brown (2016) model membantu menjelaskan hal-hal yang sulit

untuk dijelaskan. Ushakov (2015) menambahkan bahwa model adalah abstraksi atau

generalisasi dari pengalaman atau hasil dari transformasi konsep.Maarseveen (1978)

berpendapat bahwa model adalah representasi dari asli bertujuan untuk mewakili

makluk hidup ataupun benda mati yang secara fisik sudah musnah atau sulit dihadirkan

atau juga tidak bisa digunakan karena alasan-alasan tertentu.

Sedangkan Harmon (2001) yang menyatakan model adalah representasi fisik atau

konseptual dari suatu realitas, Gustafson (1997) menyatakan bahwa model adalah

representasi sederhana dari bentuk kompleks, proses dan fungsi dari fenomena fisik atau

ide-ide. Model ini berlaku umum bisa dipergunakan untuk membuat desain

pembelajaran, Kemudian Gustafson (1999) memperbaiki definisi ini dengan definisi

yang baru bahwa model adalah cara melakukan, representasi eksplisit suatu realitas atau

sebuah pola yang merupakan bentuk hubungan dalam arti yang normatif.

Wu dan Coggeshall (2012) berpendapat bawah model adalah representasi dari

sesuatu, dapat berupa model statis atau model dinamis yang mewakili suatu proses.

representasi sederhana dari sistem yang rumit, dapat bersifat statis atau dinamis atau

suatu proses guna membantu kita memahami apa yang sedang terjadi, menjelaskan

bagaimana komponen-kompenen sebuah model berinteraksi, memprediksi apa yang


38

akan terjadi. Model ini cocok untuk diterapkan di praktek laboratorium kimia, biologi,

praktek kedokteran dan teknik.

Richey (2011) memberikan definisi bahwa model merepresentasikan suatu realitas

dengan menampilkan struktur dan tingkatan untuk menyatakan idealisasi dan pandangan

tentang suatu realitas. Pengertian model ini banyak dirujuk oleh para designer

instruksional dan penulis teknologi pendidikan di Indonesia dalam mengartikan model

terutama dalam model pembelajran. Definisi ini diperjelas oleh Suparman (2014)

mengemukan bahwa model merupakan sebagai representasi suatu realitas atau dari suatu

konsep dengan mewujudkan salah satu dari empat dimensi yakni dimensi verbal atau

konseptual, urutan langkah kegiatan atau prosedur, salinan fisik atau visual, atau juga

berupa persamaan atau rumus. Definisi memberikan gambaran yang lebih

komprehensive dimana model tidak hanya sepabagai representasi dari sesuatu tapi juga

menyebutkan komponen yang ada dalam suatu model. Definisi ini banyak dirujuk oleh

mahasiswa di lingkungan Universitas Negeri Jakarta, terutama Prodi Teknologi

Pendidikan (TP) untuk karya tulis thesis dan disertasi pengembangan model. Pendapat

ini memberikan kerangka berpikir untuk karya tulis thesis dan disertasi minimal

membhasa model konseptual yaitu teori teori yang berkaitan dengan bidang yang dikaji,

model prosedural adalah langkah langkah dalam mengembangkan sebuah model

pembelajaran dan model fisikal adalah produk yang dihasilkan dalam riset, lazimnya

berupa bahan instruksional yang dilengkapi dengan pedoman mengajar dosen dan

pedoman untuk mahasiswa

Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa istilah model

digunakan untuk menjelaskan konsep yang bervariasi karena perlu disesuaikan dengan

konteks yang akan digambarkannya. Model merupakan suatu presentasi dari bentuk fisik

yang logis dalam memahami model yang sesungguhnya. Model juga dianggap sebagai
39

hubungan antara teori dan realitas atau untuk memvisualisasikan suatu teori. Model

dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan baru atau mengubah pengetahuan

yang ada. Model ini dapat direkayasa untuk sesuatu yang komplek dan berbahaya jika

tampil di skala penuh. Dalam definisi yang dikutip di atas belum memberikan

klasifikasi model secara jelas, agar dapat dipahami pembagian model yang dijadikan

dasar pengelopokkan model dalam disertasi ini maka perlu diklasifikasi an model secara

jelas.

2. Klasifikasi Model

Para pakar mengklasifikasikan model secara berbeda, antara lain Harre (1983)

mengelompokkan model dalam dua kategori, yaitu model micromorphs (micromorphs)

dan paramorphs (paramorphs). Micromorphs adalah model fisik atau visual dari objek

atau imitasi seperti simulasi komputer atau objek dengan skala kecil dari objek besar

yang sebenarnya. Sedangkan Paramorphs merujuk pada model simbolik biasanya

mewujud dalam bentuk deskripsi verbal. Model Paramorphs ini meliputi model

konseptual yang bersifat analitis, menyinggung bagian-bagian suatu produk,

menganalisis komponen dengan detil dan melihatkan kaitan antar bagian yang akan

dikembangkan. Dengan kata lain bahwa model ini hakikatnya merupakan

konseptualisasi teori-teori atau dengan kata lain perwujudan dari suatu teori. Adapun

model prosedural merupakan model yang memiliki karakter deskriptif, menandakan

tahapan-tahapan yang harus diikuti untuk memproduksi sesuatu. Terakhir model

matematika merupakan rumusan yang mendeskripsikan kaitan antara berbagai bagian

dari suaut situasi)

Skyttner (2005) mengklasifikasikan model berupa model ikon, model analog, model

simbolik, model verbal dan model konseptual. Model ikonik atau fisik adalah presentasi

dari kenyataan yang ingin mereka wakili. Menurutnya model analog adalah presentasi
40

kualitas penting dari realitas melalui kesamaan dalam hubungan antara entitas yang

lebih mudah untuk ditangani.Model simbolik adalah model yang menggunakan simbol

untuk menunjukkan realitas yang menarik. Model verbal merupakan gambaran realitas

melalui penggunaan pernyataan verbal yang menguraikan hubungan antar konsep dan

terakhir model konseptual yaitu penjelasan teoretis, model-model ini bersifat preskriptif,

prediktif, deskriptif, atau jelas

Natarajan (2005) adalah orang yang paling lengkap mengelompokkan model. Dia

membagi model kedalam dua belas kategori, yaitu: Model ikonic (Iconic model) yaitu

model yang memrepresentasikan fisik dari suatu sistem, model analog atau skema model

(Analogue or schematic model) yang menggunakan satu set properti untuk mewakili

suatu yang sistem yang diteliti. Model matematis atau model simbolik yaitu model ini

menggunakan simbol matematika (huruf, angka, dll), model statis (Static model) yaitu

model yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai variabel tidak berubah dengan waktu

selama periode waktu tertentu horizon. Model dinamis (Dynamic model). Model ini

menganggap waktu sebagai salah satu variabel penting. Model deterministik

(Deterministic model) model yang tidak mengambil bentuk yang pasti.Model skolastik

(Stochastic model) adalah model yang menganggap ketidakpastian sebagai aspek

penting dari masalah . Model deskriptive (Descriptive model) adalah model yang hanya

menggambarkan sebuah situasi atau sistem. Model prediktif (Predictive model) adalah

model yang memprediksi sesautu berdasarkan beberapa data,Model preskriptif

(Prescriptive model) adalah model yang memberikan pertimbangan suatu kegiatan

kursus untuk sebuah masalah.Model analitik (Analytic model) adalah model yang

memberikan solusi yang tepat yang diperoleh dengan metode matematika dalam bentuk

tertutup.terakhir adalah model simulasi (Simulation model) merupakan representasi dari


41

realitas yang dengan penggunaannya perangkat yang akan bereaksi dengan cara yang

sama sebagai realitas di bawah sekelompok kondisi.

Berikutnya adalah Xie (2006) mengklasifikasikan model berupa model: ikon,

analog, simbolik, verbal dan konseptual (iconic, analogue, symbolic, verbal and

conceptual). Model ikon atau fisik mewakili realitas sesuatu. Model analog mewakili

realitas melalui kesamaan dalam hubungan antara entitas yang disajikan dalam bentuk

yang lebih mudah untuk menangani. Model simbolik yaitu model yang menggunakan

simbol untuk menunjukkan realitas, Adapun model verbal menggambarkan realitas

melalui penggunaan pernyataan verbal yang ditetapkan hubungan antara konsep-konsep,

terakhir adalah model konseptual yaitu penjelasan teoritis yang bersifat preskriptif,

prediktif, deskriptif atau penjelasan.

Profetto-McGrath, at. All (2010) mengemukakan dua jenis model yaitu model

statistik dan model skema. Model statistik adalah persamaan matematika yang

mengekspresikan sifat dan besarnya hubungan antara satu set variable,model ini diuji

dengan menggunakan metode statistik. Model skema sebuah model konseptual secara

luas menyajikan pemahaman tentang fenomena dan mencerminkan pandangan filosofis

desainer model. Model konseptual yaitu teori-teori yang berfungsi sebagai batu loncatan

untuk menghasilkan hipotesis

Blanchard dalam Kossiakoff (2011) mengelompokkan model dalam tiga kategori

yaitu Model dkema yaitu model berupa diagram yang mewakili proses. Model

Matematika yaitu menggunakan notasi matematika untuk mewakili hubungan atau

fungsi, Model Fisik yaitu model yang mencerminkan beberapa karakteristik fisik dari

sistem yang sebenarnya yang diteliti

Sargent dalam Loper (2015) membagi model kedalam model iconic, graphical,

analog, and mathematical. Model ikonik (Iconic models ) adalah model fisik yang

"terlihat seperti" sistem nyata. Model grafis (Graphical models) adalah berupa grafik
42

yang menggunakan simbol-simbol grafis. Model analog (Analog models) adalah model

yang menggunakan satu set yang berbeda dari karakteristik untuk mewakili karakteristik

dari sistem. Model matematika (Mathematical Models) adalah model yang

menggunakan bahasa matematika (simbol-simbol matematika, ekspresi, hubungan,

operasi, dan logika) untuk menggambarkan suatu sistem. Model ini terdiri dari tiga

kelompok dasar yaitu model matematika: empiris, optimasi, dan struktural.

Terakhir adalah klasifikasi model oleh Liu (2015) yang mengelompokkan model

berdasarkan format model, sifat dan tipe lain. Model berdasarkan format yaitu model

fisik, analog, skema, atau model matematika. Adapun model berdasarkan sifat yaitu

model deterministik atau stokastik. Terakhir pengelompokkan model oleh Liu yang

terdiri dari macromodels dan micromodels. Macromodels mengatasi masalah dalam

populasi yang besar dan di berbagai.Micromodels biasanya berfokus pada lingkup kecil

atau masalah di daerah tunggal.

Dari beberapa pendapat di atas maka model dapat dikelompokkan Mikromorf (fisik)

dan Paramorf (model konseptual, model prosedural, model matematika (Harre,1983),

ikonik, analog, simbolik, verbal dan konseptual (Skyttner,2005) Xie (2006), Model

Skematik dan statistik model (Profetto-McGrath,at.all ,2010), model ikon (fisik), model

analog, model matematika, model statistik, model dinamis, model deterministik, model

stochastic, model deskriptif, model preskriptif, model prediktif, model analitik, model

simulasi (Natarajan dan Balasubramani ,2005), Model Skematik dan Matematika

(Blanchard dan Fabrycky,2011), ikon, grafis, analog, dan matematika (Sargent, 2015),

format representasi model (fisik, analog, skematik, atau model matematika sifat (model

deterministik atau stokastik) tipe lain (macromodels dan micromodels) (Liu ,2015).

a. Model Konseptual

Model konseptual adalah deskripsi yang menyebutkan semua konsep konsep yang

berhubungan satu sama lain dan menjelaskan bagaimana konsep-konsep tersebut sesuai
43

dengan tugas-tugas yang dilakukan pengguna dengan aplikasinya. Harre (1983)

memberikan batasan bahwa model konseptual merupakan model yang bersifat analitis,

dengan menguraikan bagian-bagian suatu produk, mengulas secara rinci komponen

suatu produk dan melihatkan katerkaitan bagian-bagian dari suatu produk yang akan

dikembangkan. Model ini hakikatnya merupakan konseptualisasi teori-teori atau dengan

kata lain perwujudan dari suatu teori.

c. Model Prosedural
Harre (1983) mengemukakan bahwa sebagian besar model prosedural bersifat

verbal, dapat juga berupa flowchart yang memperlihat proses-proses. Model prosedural

paling umum adalah diagram visual dan bersifat prosedural. Contoh penting adalah

model diagram alur generik dari Dick, Carey, dan Carey (2015) dan Smith dan Ragan

(2005). Format visual lain juga digunakan, seperti desain lingkaran tertanam dari model

Morrison, Ross, dan Kemp (2013). Mayoritas model prosedural ini berkaitan dengan

proyek desain yang komprehensif. Sebagian besar model berasal dari aplikasi teori

sistem umum. Gustafson dan Branch (2002) menggambarkan model ini sebagai dimulai

dengan berbagai bentuk analisis, dan berkembang melalui desain serangkaian spesifikasi

untuk lingkungan belajar dan pengembangan bahan pembelajaran. Kegiatan evaluasi

menembus seluruh proses, bahkan melalui manajemen implementasi produk yang

sedang berlangsung. Ada banyak variasi proses desain instruksional umum ini yang

sering diwakili oleh model yang lebih spesifik yang dimaksudkan untuk berhubungan

dengan kekhasan kelompok mahasiswa tertentu, lingkungan belajar, jenis sistem

pengiriman, atau bahkan filosofi desain khusus. Model prosedural desain instruksional

lainnya membahas aspek yang lebih spesifik dari proses desain, pengembangan, dan

evaluasi. Ada model pemilihan media, seperti flowchart model Reiser dan Gagné

(1983). Ada model desain motivasi seperti Mode ARC Keller (1987).
44

d. Model Fisik
Menurut Kossiakoff (2011) model fisik adalah model yang mencerminkan beberapa

atau sebagian besar karakteristik fisik dari sistem yang sebenarnya atau elemen sistem

yang diteliti “Physical Models directly reflect some or most of the physical

characteristics of the actual system or system element under study”.Definisi ini

diperkuat oleh Hughes (1993) mendefinisikan model fisikal adalah sistem fisik yang

direproduksi (biasanya pada ukuran dikurangi) sehingga kekuatan dominan utama yang

bekerja pada sistem direpresentasikan dalam model dalam proporsi yang benar untuk

sistem fisik yang sebenarnya (A Physical Model is a physical system reproduced

(usually at a reduced size) so that the major dominant forces acting on the system are

represented in the model in correct proportion to the actual physical system). Demikian

pula halnya defnisi yang dikemukan oleh Vohra (2006) mengatakan bahwa model fisik

adalah representasi fisik atau skema dari hal yang nyata (A physical model is a physical

or schematic representation of the real thing.)

Model fisik yang dikemukan oleh lebih merujuk pada bahan instruksional yang

dipergunakan dalam pembelajaran oleh mahasiswa hal itu dapat dilihat dari pendapat

Hill and Miller (2013) mengatakan bahwa model fisik adalah representasi nyata dari apa

yang sedang dipejari mahasiswa (Physical models are concrete representations of what

students are learning).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa model fisikal adalah

bentuk fisik dari sebuah model yang digunakan untuk memprediksi perilaku dalam

kegiatan belajar mengajar. Pada penelitian dan pengembangan ini, model fisik yang

dihasilkan berupa bahan instruksional (bahan ajar) yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Pengertian Bahan instruksional (Bahan ajar)

Para pakar bidang pembelajaran memberikan definisi bahan instruksional secara

berbeda, namun secara eksistensi memberikan pandangan yang hampir sama.


45

Definisi berikut ini dilihat sebagai bahan yang dipergunakan untuk mempengaruhi

pembelajaran, sebagaimana dapat dilihat dari definis Newby (2011) mendefinisikan

bahan instruksional adalah item tertentu yang disampaikan pada mahasiswa dalam

pelajaran yang mempengaruhi pembelajaran mereka. Bastable (2008) mengemukakan

bahan instruksional (instructional materials) disebut sebagai alat dan bantu (tools and

aids), termasuk media cetak dan nonprint yang dimaksudkan untuk melengkapi, bukan

menggantikan, ajaran yang sebenarnya.Defnisi ini merujuk pada definisi media dari

jenis dan fungsi dalam pembelajaran. Bahan instruksional yang digunakan sebagai

bahan pembelajaran sejatinya dirancang dan disusun secara effektif sehingga

memudahkan dalam pembelajaran, hal ini dapat diliha dari definisi Abimbade (1997)

dalam Ololube (ed), yang mendefinisikan bahan instruksional adalah bahan apa pun

yang digunakan dalam proses instruksional. Bahan tersebut disusun, dirancang, secara

efektif untuk memfasilitasi pembelajaran dalam rangka membawa pembelajaran lebih

bermakna dan efektif

Dick et.all (2005) merujuk pada bahan yang digunakan dalam pembelajaran yang

dikembangkan secara secara khusus untuk tujuan pembelajaran bahwa bahan

instruksional mengacu pada setiap bahan yang sudah ada sebelumnya yang digabungkan

dengan bahan-bahan yang akan dikembangkan secara khusus untuk tujuan

pembelajaran.

Terakhir pendapat Forsyth (2013) bahwa bahan instruksional alat bantu mengajar

(teaching aids) dan bahan belajar (learning materials) yang menjadi alat bantu mengajar

(teaching aids) yang digunakan oleh dosen untuk membantu dosen menyampaikan

pembelajaran kepada mahasiswa dam sebagai bahan belajar (learning materials) yang

digunakan mahasiswa untuk belajar baik bahan instruksional cetakmaupun bukan

tercetak yang dapat digunakan dengan berbagai strategi instruksional


46

Dari beberapa definisi tersebut di atas maka dapat didefiniskan bahwa bahan

instruksional adalah bahan yang dipergunakan oleh dosen untuk menyampaikan materi

pembelajaran kepada mahasiswa dapat berupa bahan tercetak maupun non tercetak baik

berupa manusia maupun berupa non mahasiswa sehingga tercapainya tujuan

pembelajaran yang sudah ditentukan yang lebih banyak belajar jarak jauh.

Tabel 2.1: Perbandingan konsep bahan instruksional

Newby(2011) bahan instruksional adalah item tertentu yang disampaikan pada


mahasiswa dalam pelajaran yang mempengaruhi pembelajaran mereka
Bastable (2008) mengemukakan bahan instruksional sebagai alat dan bantu (tools and aids),
termasuk media cetak dan nonprint yang dimaksudkan untuk melengkapi,
bukan menggantikan, ajaran yang sebenarnya
Abimbade (1997) bahan instruksional adalah bahan apa pun yang digunakan dalam proses
dalam Ololube (ed) instruksional yang disusun, dirancang, secara efektif untuk memfasilitasi
pembelajaran dalam rangka membawa pembelajaran lebih bermakna dan
efektif
Forsyth (2013) bahan instruksional adalah hal-hal yang digunakan oleh dosen untuk
membantu mereka menyampaikan pesan kepada mahasiswa. bantu mengajar
termasuk papan tulis, flipchart dan transparansi overhead
bahan yang digunakan mahasiswa untuk belajar dan termasuk bahan
instruksional cetak buatan sendiri, program berbasis komputer, video disk
interaktif dan kaset audio yang digunakan dengan sejumlah berbagai strategi
instruksional
Walter Dick, Lou bahan instruksional mengacu pada setiap bahan yang sudah ada sebelumnya
Carey, and James O. yang digabungkan dengan bahan-bahan yang akan dikembangkan secara
Carey (2005) khusus untuk tujuan pembelajaran.

2) Cakupan bahan instruksional

Bahan instruksional (instructional materislas) juga disebut bahan belajar (Learning

materials) dapat berupa visual aid (alat bantu visual ) foto, gambar, diagram dan teks

yang terdapat dalam catatan ringkas, powerpoint, spanduk ditambah dengan media

pandang dengar (audio-visual) atau juga dapat berupa video, dan audio tape, buku

tercetak atau digital, animasi, perankant lunak komputer dan alat bantu pandang dengan

lainnya yang dapat memfasilitasi pembelajaran. Bahan instruksional dapat didefinisikan

merupakan satu set materi atau bahan yang diatur secara teratur dalam rangka memenuhi

kebutuhan kegiatan belajar mengajar yang berupa bahan cetak (printed material)

maupun dalam bentuk pandang dengar (audio-visual, video, multimedia) dan bahan
47

yang berbasis situs. Pemahamana mengenai cakupan bahan ajar seperti di atas dapat

dilihat dari beberapa pendapat yang dikemukakan Dick et all., (2005) bahwa istilah

“bahan pengajaran adalah segalahal bentuk materi yang digunakan dalam pembelajaran

seperti panduan instruktur, daftar bacaan mahasiswa, presentasi PowerPoint, studi kasus,

video, podcast, format multimedia berbasis komputer, dan halaman web untuk

pembelajaran jarak jauh

Pendapat lain,Ololube (2015) menjelaskan bahwa bahan instruksional mencakup

semua materi dan sarana fisik yang dapat digunakan instruktur untuk mengimplementasikan

pembelajaran dan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan instruksional. Materi instruksioanl

dapat berupa seperti papan tulis, selebaran, bagan, slide, overhead, objek nyata, dan rekaman

video atau film, serta bahan dan metode yang lebih baru seperti komputer, DVD, CD-ROM,

Internet, dan konferensi video interaktif.

Menurut Borich (1974) bahan bahan instruksional mengacu pada teks, film, strip

film, manual laboratorium, kimia, alat pengukur, dan realia lainnya. Sedangkan Ololube

(2015 ) menambahkan bahwa alat bantu instruksional atau bahan instruksional juga

dapat berupa manusia dan bukan -manusia yang dipekerjakan oleh Dosen untuk tujuan

komunikasi dan pembelajaran yang efektif (Teaching aids or materials can also be

considered as human and non-human material used by teachers for effective

communication and learning purposes) sebagaimana dikuatkan oleh Meduabum (2004)

dalam Muraina (2015) bahwa :bahan bahan instruksioanl yang paling penting adalah

dosen sendiri, hal ini karena bantuan apa pun yang digunakan, itu hanya dimaksudkan

untuk membantu pengajara dalam mengajar. bahan instruksional yang paling penting

adalah dosen sendiri, hal ini karena bantu dia menggunakan apa pun, itu hanya

dimaksudkan untuk membantu dia dalam mengajar dan tidak untuk membantu mengajar

sendiri.
48

Dick et all., (2015) mengatakan bahwa bahan instruksional meliputi lima komponen

yaitu (a)Kegiatan pra instruksional (Preinstructional activities) termasuk tujuan dan

ulasan bahan serta bahan motivasi dan kegiatan,(b) Isi (Content) yang harus

disampaikan kepada mahasiswa untuk memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan

pembelajaran, termasuk contoh dan non contoh informasi, konsep, atau keterampilan

yang harus dipelajari,(c) Kegiatan partisipasi (participation activities) yang

memungkinkan mahasiswa untuk berlatih atau untuk mencoba konsep atau keterampilan

untuk diri mereka sendiri, dan umpan balik pada kinerja mahasiswa untuk

memungkinkan peninjauan kembali ide-ide mereka atau penyesuaian teknik mereka (d)

Penilaian penguasaan mahasiswa informasi baru dan keterampilan (e) Kegiatan yang

meningkatkan memori dan transfer pengetahuan

3) Pengembangan Bahan Instruksional

Menurut Marrison, et al., (2013) pengembangan bahan instruksional adalah

pelaksanaan rencana desain instruksional (The development of the instruction materials

is the implementation of the instructional design plan). Perancang bahan harus

mempertimbangkan bagaimana secara yang akurat untuk menyampaikan informasi

kepada mahasiswa dengan cara ia memahaminya. Selama proses pengembangan,

desainer harus tetap fokus pada masalah dan tujuan untuk memastikan pembelajaran

mendukung pemecahan masalah yang ada.

Dalam mengembangkan bahan instruksional ada tahapan yang perlu dilalui oleh

seorang designer Tennyson (2012) mengemukakan bahwa dalam mengembangkan

bahan ajar melalui beberapa fase yaitu tahap perencanaan, produksi, dan implementasi.

Ketiga fase ini memiliki karakteristik khusus yang ditentukan oleh variabel yang

berbeda: spesialis yang terlibat dalam setiap fase, durasi kegiatan, teknik yang

diperlukan, dll. Namun demikian, fase-fase ini bukanlah proses yang sepenuhnya
49

independen. Setiap fase mengasumsikan bahwa masalah khusus perlu dipertimbangkan

tetapi juga bahwa spesifikasi dan pengembangan masing-masing menentukan dan saling

mempengaruhi.Solusi dari sebagian besar masalah pengembangan instruksional harus

mengintegrasikan total elaborasi materi.

Salandanan (1996) mengemukakan bahwa tiga phase utama dalam pengembangan

bahan instruksional yaitu tahap desain, tahap produksi, dan tahap evaluasi. Tiga tahap

utama ini secara singkat adalah 1).Tahap Desain.Ini melibatkan persiapan rencana kerja

bahan ajar. Dalam tahapan ini hal yang harus dipertimbangkan adalah populasi target

untuk bahan yang akan disiapkan, Tugas belajar untuk subjek, memilih unit kerja

tertentu, Tujuan pembelajaran utama dipecah menjadi tugas-tugas kecil dan spesifik

yang diurutkan terakhir menyiapkan rencana kerja atau lembar kerja atau Diagram

Perencanaan Instruksional (Instructional Planning Chart,IPC) 2)Tahap Produksi. Dengan

lembar kerja sebagai panduan peneliti melanjutkan ke penulisan materi yang

sebenarnya. 3) Tahapan ketiga adalah Tahap Evaluasi.Uji coba bahan ajar dengan

sampel yang representatif dari populasi target diperlukan untuk menentukan

efektivitasnya.

Sedangkan menurut Shaw (2006) proses pengembangan bahan instruksional

biasanya mencakup empat tahapan yaitu 1) perencanaan unit. 2) mengembangkan draf

pertama unit. 3) mengembangkan versi eksperimental, dan 4) mengembangkan versi

final unit. Setiap tahap disertai dengan kegiatan evaluasi terkait. yang melayani

kebutuhan informasi spesifiknya. Tahap perencanaan dilayani oleh evaluasi konteks

yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi sifat populasi target dan menilai relevansi

tujuan unit. Draf pertama unit dievaluasi melalui pendapat para ahli. Implementasi edisi

eksperimental dievaluasi dalam uji coba kelas, dan keefektifan unit diperkirakan dengan

menilai dampak dari versi finalnya terhadap prestasi mahasiswa


50

Suparman (2014) mengemukan bahwa secara umum bahan instruksional terdiri dari

bahan belajar (learning materilas), panduan mahasiswa (study guide) dan pedoman

dosen (teacher or tutor manual). Bahan belajar mewujud dalam tiga bentuk bahan

instruksional yaitu bahan instruksional mandiri yang biasa disebut modul, bahan

instruksional kompilasi, dan bahan instruksional kombinasi. Di dalamnya terkandung isi

instruksional yang sistematik mengikuti urutan kegiatan instruksional yang terdapat

dalam strategi istruksional. Pengembangan setiap bentuk bahan instruksional perlu

dilakukan oleh suatu tim yang bekerja sama secara intensif. Pengkoordinasian tim

pengembangan tersebut iasanya dipimpin oleh ahli desain instruksional agar hasil kerja

mereka tampil ebagai sistem instruksional yang terpadu walaupun melibatkan berbagai

anggota tim engan kepakaran masing-masing. Pengkoordinasian pengembangan itu

membutuhkan eterampilan manajemen khusus yang didukung oleh tenaga dan

administrasi yang husus pula. Bahan instruksional hasil pengembangan tersebut masih

perlu dievaluasi dan direvisi sebelum digunakan di lapangan dengan mengikuti prosedur

evaluasi formatif yang melibatkan partisipasi mahasiswa dan seluruh subsistem

instruksional. Bahan instruksional disusun untuk suatu mata kuliah atau mata pelajaran

yang terdapat di dalam kurikulum. bahan instruksional itu disusun berdasarkan TIU dan

TIK, karakteristik mahasiswa, dan strategi instruksional untuk setiap tujuan

instruksional. Bahan instruksional merupakan komponen yang sangat terkait erat dengan

isi setiap mata kuliah atau mata pelajaran dan harus relevan dengar tujuan instruksional,

karakteristik mahasiswa dan strategi instruksional.

Lebih lanjut Suparman (2014) menjelaskan bahwa Format bahan instruksional

harus disesuaikan dengan pendekatan instruksional di setiap satuan pendidikan.

Pendekatan instruksional tatap muka membutuhkan bahan instruksional yang berbeda

dengan pendekatan instruksional jarak jauh, berbeda pula dengan pendekatan


51

karakteristik kombinasi keduanya. Pendekatan kombinasi yang lebih banyak tatap muka

dapat membutuhkan format bahan instruksional yang berbeda dengan yang lebih

banyak belajar jarak jauh. Dalam rangkat mengembangkan bahan ajar dosen bisa

berpijak pada strategi pembelajaran, instrument penilaian prestasi belajar, sifat-sifat

awal mahasiswa yang telah dikenali. Selanjutnya kita mesti memperhatikan kondisi

dimana pendidikan diselenggarakan serta jenis kegiatan pembelajaran yang akan

dilakukan

Dick and Carey (2015) berpendapat bahwa dengan adanya strategi pembelajaran di

tangan, desainer siap untuk menjadikan pembelajaran menjadi hidup. Kegiatan analisis

dan desain bertujuan untuk memastikan bahwa produk instruksional yang responsif

terhadap kebutuhan tujuan. Setelah dikembangkan dalam bentuk draft kasar, bahan

dievaluasi dan direvisi sesuai kebutuhan. Lebih lanjut merekan menejelaskan bahwa

dalam mengembangkan bahan instruksional mesti memperhatikan sistem penyampain

pembelajaran dan pemilihan media, komponen paket pembelajaran, bahan ajar yang ada,

dan pengembangan bahan ajar.Menurut S Bastable (2008) faktor yang harus

diperhatikan dalam mengembangkan bahan instruksional yaitu: karakteristik mahasiswa

(characteristics of the learner), karakteristik media (characteristics of the media) yang

cocok untuk mencapai tujuan dari tugas, dan karakteristik tugas (characteristics of the

task ) yang akan dicapai.

Salandanan (2009) memberikan kriteria pemilihan bahan instruksional sbb: 1)

Penekanan (Emphasis), gagasan utama materi dengan jelas dinyatakan untuk mahasiwa,

penekanan terhadap ide-ide diberikan untuk arti yang diinginkan dan tujuan. 2)

Kesatuan (Unity), semua ide utama dalam materi jelas terkait dengan ide materi

spesifik.3) Koherensi (Coherence), ide-ide dalam bahan terkait bersama-sama dengan

cara yang logis. Ide-ide dalam teks harus "diikat bersama-sama.".4) Pengulangan
52

(Repetition), ide-ide baru dalam material, berkaitan dengan ide-ide lain yang

sebelumnya diperkenalkan.Pengulangan membantu mahasiswa untuk memperbaiki apa

yang telah mereka ketahui dan menghubungkannya dengan ide-ide baru. 5) Kosakata

yang tepat (Appropriate Vocabulary), kosakata yang digunakan sesuai dengan tingkat

akademik mahasiswa.Semua istilah teknis baru harus didefinisikan dalam bahasa

asing,jika perlu ditebal.6) Ketepatan audiens (Audience Appropriateness), designer

membuat asumsi yang wajar tentang pengalaman mahasiswa sebelumnya, untuk siapa

bahan tersebut dimaksudkan? 7) Format (Format), format teks memfasilitasi

pemahaman pembaca. Pemahaman sering dibantu oleh judul tebal, jenis huruf miring,

jarak yang tepat bersama-sama dengan ilustrasi yang mendukung, definisi ringkas serta

referensi untuk bahan instruksional lainnya. Format keseluruhan harus dapat meminta

tanggapan yang menguntungkan dan daya tarik dari pembaca. 8) Kualitas Pertanyaan

(Caliber of Questions), adanya pertanyaan mengiringi bahan instruksional,

menghasilkan pemikiran, harus dapat ditafsirkan, dianalisis, disintesis, diterapkan dan

diengevaluasi kontenya. Pertanyaan-pertanyaan harus memerlukan tingkat berpikir

dalam semua tingkat tujuan Tujuan Pendidikan.

Suparman (2014) mengemukakn bahwa bahan instruksional harus sesuai untuk

setiap pendekatan dan harus pula memenuhi persyaratan utama sebagai berikut.

(a) Memuat tujuan instruksional dengan jelas.1) Isinya sesuai bagi kebutuhan

mahasiswa yang dimaksudkan menggunakannya.2) Isinya benar menurut bidang

ilmunya.3) Isinya mutahir, tidak ketinggalan zaman jika dilihat dari segi teori maupun

contoh penerapannya.4) Uraiannya sistematik, logis, dan mudah dipahami.5)

Menggunakan media dan metode yang bervariasi.6)Kutipannya asli.7)Isinya diperkuat

dengan hasil penelitian.8) Latihannya bervariasi dan sesuai untuk pencapaian tujuan

instruksional.9). Tesnya valid dan reliabel.


53

Suparman (2014) umum bahan instruksional terdiri dari bahan belajar (learning

materilas), panduan mahasiswa (study guide) dan pedoman dosen (teacher or tutor

manual). Bahan ini merupakan satu paket bahan yang digunakan oleh mahasiswa dan

dosen selama melaksanakan kegiatan intruksional. Seluruh bahan instruksional tersebut

telah dikembangkan melalui proses yang sistematis atas dasar berbagai teori, terutama

teori belajar, dan teori instruksional. Secara hipotetis, bila bahan tersebut digunakan

maka dalam mencapai tujuan instruksional akan menjadi efektif dan efisien. Hipotesis

ini perlu diuji melalui evaluasi formatif.

3. Model-Model Desain Instruksional

Banyak model yang berbeda yang ditujukan untuk proses desain pembelajaran.

Perancang menciptakan model prosedural untuk mencocokkan karakteristik situasional

yang unik dari suatu organisasi. Desainer instruksional meningkatkan potensi mereka

untuk sukses ketika model yang diterapkan cocok dengan konteks pendidikan. Namun,

perancang instruksional juga harus mempertimbangkan masalah kontekstual spesifik

yang mungkin memerlukan penerapan pertimbangan tambahan (Branch, Robert

Maribe,2009)

Ryder dalam Chen (2011) mendefiniskan model desain instruksional sebagai

representasi yang divisualisasikan dari proses desain instruksional, menunjukkan unsur-

unsur utama atau fase dari proses dan hubungannya. Model desain instruksional menurut

Chyung (2008) memberikan desainer instruksional bimbingan dalam merancang

pembalajaran yang sistematis dan membantu mereka meningkatkan probabilitas yang

diinginkan dalam pembelajaran yang akan mereka rancang. Model dapat memberi

pengaruh yang signifikan terhadap mutu dan proses pembelajaran, karena pembelajaran

yang merupakan suatu proses interaksi dengan melibatkan berbagai komponennya mulai

dari kurikulum, karakteristik mahasiswa, Dosen, media, evaluasi, dan feedback yang
54

digunakan untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran

merupakan suatu proses interaksi yang mengaitkan komponen-komponen yang ada di

dalam pendidikan, mulai dari kurikulum, strategi, media, evaluasi dsb.

Pendekatan desain instruksional berfokus pada banyak faktor yang memengaruhi

hasil belajar. Faktor-faktor tersebut adalah (1) tingkat kesiapan yang masing-masing

mahasiswa perlu untuk mencapai tujuan,(2) Strategi pembelajaran yang paling tepat

dalam hal tujuan dan karakteristik mahasiswa (3)Teknologi atau sumber daya lainnya

yang paling cocok,(4)Dukungan yang diperlukan untuk belajar sukses (5) cara

pencapaian tujuan,(6)Revisi diperlukan jika tryout program tidak sesuai harapan

(Morrison, Ross, dan Kemp (2013)

Jamaludin, et.all (2011) mengemukakan bahwa saat ini ada lebih dari 100 model

ISD berbeda, dengan hampir semua didasarkan pada model generik ADDIE. Model-

Model Desain Instruksional yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah Model Dick

dan Carey, Model Morrison, Ross, Kalman and Kemp, Model ADDIE, Model Hanafin

and Peck, Model Borg dan Gall, Model ARCS, dan Model Pengembangan lnstruksional

(MPI).

a) Model Dick dan Carey

Model Dick dan Carey, model pendekatan sistem untuk merancang instruksi,

didasarkan pada asumsi bahwa ada hubungan yang dapat diprediksi antara stimulus dan

respons yang dihasilkannya pada mahasiswa. Ini menggambarkan fase dari proses

berulang yang dimulai dengan mengidentifikasi tujuan instruksional dan berakhir

dengan evaluasi. Model ini mencakup analisis, desain, pengembangan. evaluasi

formatif, plus penilaian kebutuhan dalam hubungan nonlinear (Dick & Carey. 2015).

Dalam pengaturan ruang kelas, bahan ajar terkait dengan respon yang dihasilkannya

pada mahasiswa melalui pembelajaran materi. Instruksional secara khusus ditargetkan


55

pada keterampilan dan pengetahuan yang akan diajarkan dan memasok kondisi yang

sesuai untuk pembelajaran hasil ini.

Model Dick and Carey menetapkan metodologi untuk merancang instruksi

berdasarkan memecah instruksi menjadi komponen yang lebih kecil. Perancang perlu

mengidentifikasi subkills yang harus dikuasai mahasiswa yang, secara agregat,

memungkinkan perilaku yang diinginkan untuk dipelajari. dan kemudian pilih stimulus

dan strategi untuk presentasinya yang membangun masing-masing subskill. Implikasi

instruksional dari model adalah bahwa pembelajaran didasarkan pada penguasaan

seperangkat perilaku yang dapat diprediksi dan karena itu dapat diandalkan. Model ini

mengasumsikan bahwa analisis dan instruksi pengajaran yang benar akan mengarah

pada keterampilan yang dapat ditunjukkan. Berikut ini adalah komponen model Dick

dan Carey dalam The Systematic Design of Instruction.

Gambar.2.1. Model Dick And Carry (Walter Dick, Dan Lou Carey, 2015)

Berdasarkan gambar di atas bahwa komponen komponen\ model Dick dan Carey

adalah

Tahap 1: Identifikasi Tujuan Instruksional

Tahap 2. Melakukan Analisis Instruksional

Tahap 3. Identifikasi Perilaku Masuk dan Karakteristik mahasiswa


56

Tahap 4: Tulis Tujuan Kinerja

Tahap 5. Mengembangkan Item Uji yang direferensikan Kriteria

Tahap 6. Mengembangkan Strategi Instruksional

Tahap 7: Mengembangkan dan Memilih Meterial Instruksional

Tahap 8: Mengembangkan dan Melakukan Evaluasi Formatif

Tahap 9 Merevisi bahan instruksional

Tahap 10: Mengembangkan dan Melakukan Evaluasi Summatif

Menetapkan tujuan pembelajaran atau tujuan biasanya didahului dengan penilaian

kebutuhan. Penilaian kebutuhan adalah proses formal untuk mengidentifikasi perbedaan

antara hasil saat ini dan hasil yang diinginkan untuk suatu organisasi. Dick dan Carey

menggambarkan tujuan kinerja sebagai pernyataan tentang apa yang diharapkan

dilakukan oleh mahasiswa ketika mereka telah menyelesaikan kursus pengajaran

tertentu, yang dinyatakan dalam hal kinerja yang dapat diamati. Tujuan bawahan adalah

tujuan yang harus dicapai untuk mencapai tujuan terminal: tujuan terminal adalah tujuan

yang diharapkan akan dicapai oleh mahasiwa ketika mereka telah menyelesaikan kursus

pengajaran. Melalui mahasiswa dan analisis konteks, karakteristik kunci mahasiswa dan

konteks di mana pembelajaran akan terjadi diidentifikasi. Informasi ini memberikan

dasar untuk mengembangkan instruksi yang ditargetkan secara akurat.

Perancang melakukan analisis instruksional untuk tujuan instruksional untuk

mengidentifikasi keterampilan yang relevan, keterampilan bawahan mereka, dan

informasi yang diperlukan bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan. Teknik analisis

hierarkis diterapkan untuk tujuan dalam domain keterampilan intelektual untuk

mengidentifikasi keterampilan bawahan kritis yang diperlukan untuk mencapai tujuan

dan keterkaitan mereka. Evaluasi formatif digunakan untuk mengumpulkan data dan

informasi yang digunakan untuk meningkatkan suatu program, yang dilakukan saat
57

program masih dikembangkan. Dan akhirnya; penilaian sumatif dilakukan setelah

program pembelajaran dilaksanakan dan evaluasi formatif diselesaikan untuk

menyajikan kesimpulan

b) Model Morrison, Ross, Kalman and Kemp

Model yang kedua adalah Model Kemp. Model ini dikenal dengan model melingkar.

Menurut Marrison et all., (2013) desain instruksional terlebih dahulu dimulai dengan

mengidentifikasi masalah kinerja dan tidak pernah mengasumsikan bahwa pembelajaran

adalah jawaban untuk semua masalah. Jika pembelajaran adalah solusi yang paling

tepat, maka proses desain dapat dimulai. Pendekatan desain instruksional menganggap

pembelajaran dari perspektif mahasiswa bukan dari perspektif konten.

Gambar.2.2. Model Morrison, Ross, Kalman and Kemp (Gary R Marrison. et.all.,2013)

Gambar di atas merupakan suatu rangkaian kerja sistematis dari model yang

dikembangkan oleh Kemp. Sehubungan dengan menentukan tujuan dan daftar topik.

Menetapkan tujuan umum untuk pembelajaran tiap topiknya harus berdasarkan beberapa

hal sebagai berikut;


58

Komponen-komponen ini saling terkait dan bisa membuat seluruh rencana desain

pembelajaran. Pada kenyataannya, komponen tambahan harus memerlukan perhatian

(mis., Konteks di mana mahasiswa belajar dan bekerja) dan, ketika diintegrasikan

dengan empat dasar, membentuk model desain instruksional yang lengkap. Secara

singkat penejelasan elemen-elemen model desain pembelajaran adalah sebagai berikut

(Morrison, Gary R., et al., 2013,h.15-16).

(1) Mengidentifikasi Masalah Pengajaran. Langkah pertama adalah mengidentifikasi

masalah pengajaran. Model mendefinisikan ini sebagai "kebutuhan klien atau masalah

kinerja yang ingin diselesaikan klien" (Morrison, Ross, Kemp, dan Kalman, p.15).

Model ini juga menentukan apakah masalah dapat diselesaikan dengan instruksi, atau

apakah solusi non-struktural akan lebih baik. Salah satu hal yang dilakukan oleh

perancang instruksional pada saat ini adalah melakukan analisis tujuan, di mana

“perancang bekerja dengan pemangku kepentingan utama untuk mengidentifikasi tujuan

proyek yang akan mengarah pada penyelesaian masalah.Jika analisis menentukan bahwa

solusi instruksional paling baik memenuhi tujuan ini, maka perancang terus bekerja

melalui sisa model

(2) Karakteristik mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan informasi

tentang mahasiswa. Para penulis model memberikan contoh-contoh seperti "tingkat

membaca mahasiswa, pengetahuan latar belakang umum, asumsi, atau pengalaman

kerja" (Morrison et al, hal. 15). Audiens dan konteks di mana mereka bekerja / belajar

menentukan jenis informasi apa yang dikumpulkan.

(3) Analisis Tugas. Tujuan instruksional menentukan dengan tepat apa yang harus

dikuasai mahasiswa. Tujuannya menyediakan peta untuk merancang instruksi dan untuk

mengembangkan sarana untuk menilai kinerja mahasiswa. Kami menggunakan tujuan

sebagai salah satu pemeriksaan kualitas pertama kami untuk memastikan bahwa
59

instruksi (termasuk kegiatan pembelajaran) yang kami kembangkan difokuskan pada

penyelesaian masalah kinerja. Ketika kita mulai merancang instruksi, tujuan

membangun titik fokus untuk memastikan strategi dan penilaian kita sesuai.

(4) Tujuan instruksional.Tujuan instruksional menentukan dengan tepat apa yang harus

dikuasai mahasiswa. Tujuannya menyediakan peta untuk merancang instruksi dan untuk

mengembangkan sarana untuk menilai kinerja mahasiswa. Tujuan instruksional sebagai

salah satu pemeriksaan kualitas pertama kami untuk memastikan bahwa instruksi

(termasuk kegiatan pembelajaran) yang kami kembangkan difokuskan pada

penyelesaian masalah kinerja. Ketika mulai merancang instruksi, tujuan membangun

titik fokus untuk memastikan strategi dan penilaian kita sesuai.

(5) Urutan Konten.Urutan di mana informasi disajikan memainkan peran penting dalam

membantu mahasiswa memahami dan mempelajari informasi. Pada pandangan pertama,

orang mungkin berharap untuk menyajikan informasi dalam urutan yang sama seperti

yang didefinisikan oleh analisis tugas. Namun, memesan informasi dalam urutan logis

dapat membantu mahasiswa memahami ide-ide dengan cara yang lebih efisien dan

efektif

(6) Strategi Pengajaran. Banyak desainer menganggap ini bagian dari proses sebagai

langkah kreatif. Ini melibatkan merancang cara-cara kreatif dan kadang-kadang inovatif

untuk menyajikan informasi yang membantu mahasiswa mengintegrasikan informasi

baru dengan ide-ide yang sudah mereka pahami. Proses ini melibatkan banyak

pendekatan mulai dari analogi sederhana hingga simulasi yang kompleks.

(7) Mendesain Pesan.Model didefiniskan pesan sebagai pola kata dan gambar yang kita

buat untuk berkomunikasi dengan mahasiswa. Langkah ini melibatkan menerjemahkan

rencana desain instruksional menjadi unit pengajaran" (Morrison et al, p. 160).

Merancang pesan tidak hanya berkaitan dengan konten itu sendiri, tetapi juga
60

penggunaan kata-kata sinyal, elemen tipografi, dan grafik untuk membuat pesan lebih

mudah dibaca dan dimengerti (Morrison et al, hal. 16.)

(8) Mengembangkan instruksional. Setelah menyelesaikan analisis dan desain, dosen

siap untuk mengembangkan instruksional. Bagian dari proses ini melibatkan penyatuan

semua bagian untuk menghasilkan materi pengajaran seperti rekaman video, halaman

web, materi cetak, atau kaset audio.

(9) Instrumen evaluasi. Instrumen evaluasi adalah apa yang dibuat oleh dosen untuk

menilai mahasiswa dan untuk menentukan apakah dan sampai tingkat apa mahasiswa

telah menguasai materi. Tujuan dapat dinilai dengan item-item tes pilihan ganda,

sedangkan tujuan lain membutuhkan pendekatan yang lebih kompleks seperti portofolio

yang merupakan kumpulan produk kerja yang patut dicontoh selama periode waktu

tertentu” (Morrison et al, hal. 16 ). Dua komponen untuk evaluasi adalah evaluasi

formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif digunakan untuk menentukan

efektivitas instruksi ketika sedang dikembangkan. “Evaluasi formatif paling berharga

ketika dilakukan selama pengembangan dan uji coba. Itu harus dilakukan di awal proses,

sebelum waktu dan sumber daya yang berharga terbuang sia-sia ”(Morrison et al, hal.

252). Evaluasi sumatif datang di akhir proses. Tujuannya adalah mengukur efektivitas

unit pengajaran pada akhir proses (Morrison et al, hal. 255). Penulis model ini

menambahkan jenis evaluasi ketiga, evaluasi konfirmatif, yang sebenarnya hanyalah

perpanjangan dari evaluasi sumatif. Ini digunakan untuk menindaklanjuti dengan

mahasiswa di kemudian hari untuk melihat apakah mereka masih menggunakan

keterampilan yang mereka pelajari (Morrison et al, hal. 256).

c) Model ADDIE

Model ini tercatat pertama kali muncul pada tahun 1975 dalam bentuk model ISD

yang dirancang oleh Pusat Teknologi Pendidikan di Florida State University untuk
61

Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Dasar pembuatan model ini adalah adanya

kesenjangan yang semakin meningkat antara kerumitan aparat pertahanan militer dan

menurunnya pencapaian pendidikan prajurit tingkat awal, lalu solusi potensial untuk

pemecahan masalah ini adalah bentuk pendekatan sistem untuk pelatihan. (Czaja, S. J.,

& Sharit, J,2016). ADDIE adalah model generik, Molenda dalam Czaja dan Sharit

(2013) berpendapat bahwa model ADDIE adalah model yang sehari-hari digunakan

untuk menggambarkan pendekatan sistematis untuk pengembangan instruksional.

ADDIE mewakili huruf pertama yang terkandung dalam masing-masing dari lima

elemen terpisah dari Analysis,Design,Development, Implementation, dan Evaluation.

Gambar.2.3. Model Addie (Branch, 2009)

Berikut ini adalah uraian singkat dari masing-masing komponen (Branch, R. M.

(2009):

(1) Analysis. Analisis berkaitan dengan siapa, apa, di mana, kapan, mengapa, dan oleh

siapa dari proses desain. Dalam elemen ini harus menentukan (a) apakah ada

masalah yang dapat ditangani dengan tepat melalui pembelajaran (b) tujuan dan

sasaran apa yang harus ditangani oleh dosen (c) sumber daya apa yang tersedia
62

untuk pembelajaran (d) yang membutuhkan pembelajaran dan kebutuhan mereka (e)

data lain yang dibutuhkan untuk berhasil menyelesaikan kegiatan pembelajaran.

(2) Design. Desain adalah jantung sebenarnya dari proses desain pembelajaran. Dalam

merancang pembelajaran harus (a) menyiapkan tujuan pembelajaran (b)

mengembangkan teknik dan tugas evaluasi instruksional (c) membuat rencana

evaluasi program (d) menentukan urutan dan struktur pembelajaran (e) menyiapkan

logika dan tujuan peta konsep (g) menyusun materi yang diperlukan.

(3) Development.Tahap pengembangan mencakup (a) menyiapkan materi pembelajaran

untuk mahasiswa dan dan pengajara (b) membuat materi pendukung termasuk

audio, video, dan media lainnya (c) memprogram materi dengan menggunakan

teknologi (d) menguji bahan pembelajaran.

(4) Implementation. Dalam fase implementasi mencakup (a) pelakasanaaan kegiatan

pembelajaran (b) merevisi (c) mengevaluasi mahasiswa dan dosen

(5) Evaluation. Evaluasi berlangsung sepanjang proses desain pembelajaran.

Komponen evaluasi utama mencakup (a) mengkonfirmasi bahwa semua materi

pelajaran sudah benar dan ditinjau oleh ahli atau expert (b)berkonsultasi dengan

pemangku kepentingan untuk memastikan kepatuhan terhadap tujuan pembelajaran

yang telah ditetapkan (c) mematuhi semua elemen rencana desain (d) meninjau dan

bertindak pada semua evaluasi dari peserta, fasilitator, dan pengguna akhir proyek

(f) memastikan kontrol kualitas proses dengan evaluasi yang konstan dan

menyeluruh dari semua elemen pembelajaran.

d) Model Hanafin and Peck

Model pengembangan sistem pembelajaran Hannafin dan Peck berorientasi pada

produk. Model desain pengajaran ini terdiri tiga fase yaitu tahapan yaitu Analisis

kebutuah, Tahapan desain, dan Tahapan pengembangan dan implementasi (Hannafin &
63

Peck 2003). Uraian setiap phased dari model ini merujuk pada karya The Design,

Development, and Evaluation of Instructional Software oleh Hannafin dan Peck (2003)

Gambar.2.5. Model Hanafin and Peck (Hannafin & Peck, 2003)

1. Analisis kebutuah

Tahap pertama dalam proses ini melibatkan analisis kebutuhan yang

menyeluruh. Ini termasuk kebutuhan mahasiswa untuk aktifitas online, seperti tujuan

dan kesenjangan kinerja mereka, serta kebutuhan organisasi. Dosen juga harus

mengembangkan tujuan dan mulai berpikir tentang kegiatan dan sumber daya eLearning

mana yang akan membantu dosen mencapainya dengan paling efektif.

Gunakan penilaian eLearning, survei, dan alat umpan balik lainnya untuk

mengidentifikasi kebutuhan mahasiswa. Dalam lingkungan perusahaan, pengamatan di

tempat kerja juga merupakan metode penilaian yang berharga, karena dapat memberikan

gambaran lengkap tentang tugas, tugas pekerjaan, dan keterampilan yang digunakan

mahasiswa setiap hari.

Jika penguasaan tugas menjadi perhatian utama, maka lakukan analisis tugas

untuk memecah setiap proses atau prosedur menjadi komponen yang paling mendasar,

kemudian tentukan cara terbaik untuk menyampaikan informasi kepada mahasiswa.

Skenario interaktif adalah pilihan ideal, atau apakah tugas itu akan lebih cocok untuk

tutorial online

2. Desain
64

Tahap kedua Model Hannafin-Peck sebenarnya merancang pengalaman

eLearning. Tahap ini meruapakan waktu untuk memetakan setiap aspek program

eLearning dan membuat storyboard atau garis besar yang menyoroti latihan online,

komponen multimedia, dan penilaian eLearning yang akan gunakan.

Pada dasarnya, tahap desain merupakan saat dosen mulai menyatukan semua

bagian sehingga dapat menentukan bagaimana mengisi kesenjangan kinerja dan

memenuhi kebutuhan dan keinginan mahasiswa. Untuk fase desain Hannafin-Peck

Model dalam eLearning, kumpulkan semua sumber daya dan materi daring sehingga

dosen dapat membuat rencana tindakan.

Bertemu dengan Subjek Ahli Masalah untuk mengembangkan daftar takeaways

kunci dan mulai menyusun konten eLearning. Proses desain seringkali memakan waktu,

karena dosen perlu mengembangkan strategi yang jelas dan kohesif untuk digunakan

sebagai fondasi yang bergerak maju. Fase ini bergantung pada organisasi dan

perencanaan, jadi kumpulkan tim eLearning dan buat semua potongan puzzle untuk

kursus eLearning.

3. Pengembangan & Implementasi

Fase ketiga dan terakhir melibatkan pengembangan program eLearning dan

benar-benar mengimplementasikannya. Setelah dosen mengunggahnya ke LMS yang

dipilih dan memastikan bahwa semua elemen ada di tempatnya, maka setelah itu

program dioperasikan. Ini juga biasanya termasuk memelihara program dan

memperbaruinya secara teratur untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang terus

berubah

Dalam hal penerapan Model Hannafin-Peck di eLearning, sekarang saatnya untuk

menyatukan puzzle. Dosen harus membaca ulang dan edit konten eLearning untuk

memastikan semuanya tertata, lakukan pengujian, dan siapkan mahasiswa dengan


65

memberi mereka petunjuk terperinci tentang cara mengakses kursus eLearning. Setelah

dosen melaksanakan program pelatihan online, dosen harus memiliki staf dan fasilitator

TI untuk membantu.

Penilai formatif dapat dilakukan mulai dari awal pembuatan media sampai selama

proses pelaksanaan produk, seperti bahna ajar yang digunakan dikelas oleh Dosen.

Aktifitas mahasiswa dan Dosen selama belajar didalam kelas akan di tinjau, di evaluasi

untuk perbaikan produk yang telah dikembangkan. Sedangkan penilaian sumatif adalah

penilaian akhir dari produk yang dikembangkan. Penilaian sumatif akan menjadi acuan

untuk melihat keefektifan dari produk yang dikembangkan. Hasil penilaian sumatif akan

digunakan lagi untuk memperbaiki produk.

e) Model Borg and Gall

Dalam model Research and development (R & D) Borg and Gall (1983) ada empat

karakter dominan yakni: (1) Research and Collecting Preliminary yakni suatu kajian

awal guna menemukan peneleitian atau temuan yang memiliki keterakaitan dengan riset

yang akan dikembangkan. (2) Developing the product base on this findings bahwa

pengembangan penelitian mesti berdasarkan penelitian yang sudah ditemukan

sebelumnya .(3) Field tested it in settings where it would be used eventually yaitu

melakukan uji coba lapangan sesuai kondisi dan situasi yang relevan dengan produk

sehingga ketikan produk nantinya digunakan maka akan berfungsi dengan baik.(4)

Revising it to correct the deficiencies found in the field-testing stage. Yaitu merevisi

kekurangan yang dimiliki oleh produk saat uji coba lapangan (field triel).

Maka dari keempat karaktersitik utama R&D ini tergambar bawah R&D merupakan

riset yang menghendaki adanya penelitian awal yang berkaitan dengan riset atau produk

yang dikembangkan. Hasil penelitian ini menjadi dasar pengembangan produk. Hal itu

terlihat dari apa yang dikemukan oleh Borg and Gall bahwa “R&D adalah proses yang
66

digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Langkah-

langkah dari proses ini biasanya disebut sebagai siklus R & D, yang terdiri dari

mempelajari temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan produk yang akan

dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan, menguji lapangan dalam

pengaturan di mana ia akan digunakan pada akhirnya , dan merevisinya untuk

memperbaiki kekurangan yang ditemukan pada tahap pengujian lapangan. Dalam

menunjukkan bahwa produk memenuhi tujuan yang ditetapkan secara perilaku.

Kemudian Borg and Gall menjeaskan bawah dalam Research and Development

analisis kebutuhan perlu dilakukan dengan seksama sehingga dapat menghasilkan

produk yang dibanguan berdasarkan hipotetik yang sering digunakan metode penelitian

dasar (basic research). Selanjutnya dilakukan uji coba guna mengetahui tentang kualitas

suatu produk. Setelah dilakukan pembuktian atau kehandalaan produk, maka langkah

selanjutnya yaitu penerapan atau aplikasik. Cara uji coba produk dengan eksperimen ini

dalam penelitian disebut dengan applied research. Adapun penelitian R&D

dimaksudkan guna menemukan, mengembangkan dan mensahkan suatu produk, dengan

demikian penelitian R&D memiliki sifat longitudinal.

Produk-produk pendidikan yang dihasilkan dari Research and Development bisa

dalam bentuk kurikulum khusus guna memenuhi kebutuhan pendidikan, media

pendidikan, bahan ajar, modul pembelajaran, kompetensi tenaga kependidikan, sistem

evaluasi, metode pengajaran, uji kompetensi, manajamen kelas untuk suatu model

pembelajaran dan lain-lain.

Model Borg and Gall terdiri dari 10 langkah sebagaimana dapat dilihat pada

gambar di bawah ini


67

Gambar 2.6. Model Borg & Gall. (Borg and Gall. 1984)

Secara ringkas langkah-langkah penelitian R&D menurut Borg dan Gall (1983)

diuraikan sebagai berikut:

(1) Research and collecting primanary (Meneliti dan mengumpulkan data primer )

Langkah awal ini mencakup analisis kebutuhan, tinjauan literatur, penelitian

sederhana dan standar pelaporan yang diperlukan. Untuk melakukan analisis

kebutuhan ada sejumlah kriteria penting yang berkaitan dengan pengembangan

produk dan pengembangan produk itu sendiri, serta ketersediaan Sumber Daya

Manusia yang memiliki kemampuan dan ketersediaan waktu yang memadai untuk

mengembangkan produk. Tinjauan pustaka atau perpustakaan berguna dalam

mengenali produk yang akan dikembangkan, dan ini dilakukan untuk

mengumpulkan berbagai hasil penelitian dan informasi lain yang berkaitan dengan

kegiatan pengembangan produk yang sedang direncanakan. Penelitian sederhana

bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana informasi yang tersedia saat ini tentang

produk yang akan dikembangkan

(2) Research Planning (Perencanaan Riset ). Bagian ini meliputi penyusuan terhadap

rencana dalam penelitian yang mencakup kompetensi apa saja yang dibutuhkan

ketika penelitian dilaksanakan, formulasi tujuan yang hendak diraih dengan riset

tersebut, rancangan atau prosedur penelitian, bisa jadi dilakukan pengujian dalam
68

lingkup terbatas

(3) Early Product Develop (pengembangan produk awal). Tahapan ini mencakup

menentukan rancangan produk yang akan dihasilkan (desain hipotetik), penentuan

dalam kebutuhan sarana dan prasarana selama proses Research and Development,

penetapan langkah-langkah uji rancangan, dan menetapan gambaran tugas personal

atau individu yang terlibat dalam penelitian. Termasuk juga dalam pengembangan

bahan instruksional, proses instruksional dan alat penilaian atau evaluasi.

(4) Expert Validation (Validasi Expert). Tahapan ini merupakan kegiatan memvalidasi

produk oleh expert. Kegiatan memvalidasi produk oleh ahli tergantung pada

kebutuhan. Keterkaitan dalam penelitian dalam disertasi ini adalah validasi produk

dilakukan oleh content expert (pakar materi), Instructional expert (pakar desain

instruksional), language expert (pakar bahasa ) dan Desain/Media expert (pakar

grafis/Media)

(5) Product Revision (Revisi Produk). Pada tahapan ini kegiatan perbaikan produk

berdasarkan saran dan pendapat dari para pakar yang disebutkan di atas. Perbaikan

draft produk awal menjadi bahan uji coba terbatas (one to one student) yang dapat

dilihat pada uraian Early Test .

(6) Early Test (Uji Coba Awal). Pada tahapan ke enam ini yaitu kegiatan uji produk

yang berkaitan dengan uji efektivitas produk, uji efektivitas strategi pembelajaran

(Lazimnya tahapan ini menggunakan teknik eksperimen model penggulangan).

Hasil dari Uji Coba Awal diharapakan mengahasilkan gambaran mengenai

efektivitas desain, baik dari segi metodologi maupun substansi. Sebagai gambaran

model uji coba ini dilakukan pada one to one student (3 orang mahasiswa dan 9

orang mahasiwa). Dalam memilih sampel dalam one to one student dibuat kriteria

tertentu, misalnya ada yang memiliki kemampuan rendah, sedang dan tinggi,
69

dengan kompisi yang seimbang pada setiap one to one student. Hasil dari uci coba

one to one students ini menjadi bahan atau pedoman dalam mengetahui dampat

dampak terhadap implementasi produk baik sebelum dan sesudah produk diuji

cobakan.

(7) Product Revision (revisi produk). Tahapan ke tujuh yaitu penyempurnaan produk

setelah uji coba one-one student dan kelompok kecil. Dengan demikian perbaikan

pada tahap ini adalah revisi kedua setelah dilakukan validasi oleh pakar. Perbaikan

produk setelah uji coba ini menjadikan produk lebih baik dan teruji pada tahap pre-

test dan post-test.

(8) Operational Field Testing (uji coba lapangan). Sebelum menghasilakn produk final

maka dilakukan uji coba lapagan terhadap 30 responden (mahasiswa). Untuk bidang

pendidikan langkah ini sebaiknya dilakukan dengan skala kecil, misalnya beberapa

sekolah atau universitas hal ini berkaitan dengan kemampuan pendanaan. Uni coba

lapangan ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan adaptabilitas produk bagi

pengguna produk. Hasil uji lapangan adalah rancangan produk yang siap diterapkan

baik secara metodologi maupun substansi. Instrument pelengkap untuk pengujian

produk dapat dilakukan dengan kusioner, interview, dan observasi dan kemudian

semua hasilnya dikaji.

(9) Final Product Revision (revisi produk akhir ). Tahapan ini merupakan tahap

perbaikan produk yang sedang dikembangkan. Revisi produk akhir dinggapap

penting guna memastikan akurasi produk yang sedang dibuat. Pada tahap ini sudah

diperoleh produk yang memiliki efektivitas yang handal atau dapat

dipertanggungjawabkan. Hasil revisi produk final mempunyai nilai "generalisasi"

yang andal. Karena penyempurnaan didasarkan masukan atau hasil uji kelayakan

dalam skala yang lebih luas.


70

(10) Disemination and Implementasi (Desiminasi dan Penerapan). Desiminasi dan

implementasi yaitu akativitas pelaporanproduk pada event-event profesional di

dalam jumal ilmiah dan implementasi produk pada praktik pendidikan. Penerbitan

produk untuk disebar luaskan gratis atau dengan berbayar untuk dimanfaatkan oleh

khalayak ramai. Desiminasi dan Penerapan produk harus dilakukan setelah melalui

quality control. Disamping harus dilakukan pengawasan terhadap penggunaaan

produk oleh publik dalam rangka mendapatkan masukan untuk mengontrol kualitas

produk dalam rangka perbaiakn berikutnya, jika diperlukan.

f) Model ARCS

Dasar teori untuk model ARCS yaitu motivasi yang menyebabkan stimulasi, arah,

intensitas, dan kegigihan perilaku. Keller dalam Arnone (2005) membuat perbedaan

antara upaya dan kinerja sebagai kategori perilaku. Kinerja mengacu pada pencapaian

tujuan relatif terhadap standar yang ditetapkan, dan karenanya diukur terhadap standar.

Kinerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kemampuan atau keterampilan dan

cukup mudah diukur. Upaya mengacu pada terlibat dalam upaya dengan maksud untuk

mencapai tujuan. Biasanya diukur dengan kegigihan atau intensitas usaha. Ukuran

umum yaitu "waktu tugas" berapa lama anak berusaha mencapai perilaku, keterampilan,

atau pengetahuan yang diinginkan? Itu belum tentu terkait dengan kemampuan. Dengan

demikian upaya dapat dianggap sebagai ukuran langsung dari motivasi. Karena kinerja

dapat dipengaruhi oleh kemampuan atau faktor lain, itu dianggap sebagai ukuran tidak

langsung.

Model ARCS didasarkan pada teori nilai-harapan, dan kerangka kerja ini

memungkinkan kita untuk memeriksa teori-teori lain yang menjadi faktor nilai dan

harapan untuk sukses. Menurut model ARCS (Keller, 2010), ada empat persyaratan
71

umum yang harus dipenuhi agar orang termotivasi untuk belajar, dan ada strategi praktis

untuk digunakan dalam mencapai masing-masing dari empat persyaratan (gambar 2.7).

Model ini terdiri dari empat kategori yang menjadi komponen utamanya, yaitu

Attention (A), Relevance (R), Confidence (C), dan Satisfaction (S). Empat komponen ini

mewakili seperangkat kondisi yang diperlukan bagi seseorang untuk menjadi termotivasi

sepenuhnya, dan masing-masing dari empat kategori memiliki sub-komponen, atau sub-

kategori yang mewakili aspek-aspek tertentu dari motivasi, sebagai berikut:

(1) Attention (Perhatian) Menurut Keller Perhatian dapat diperoleh dalam dua cara: (1)

gairah perceptual - menggunakan kejutan atau tidak pasti untuk mendapatkan minat.

Menggunakan peristiwa yang baru, mengejutkan, tidak sesuai, dan tidak pasti; atau

(2) Gairah penyelidikan - merangsang rasa ingin tahu dengan mengajukan

pertanyaan atau masalah yang menantang untuk dipecahkan.

(2) Relevance (Relevansi) yaitu menetapkan relevansi untuk meningkatkan motivasi

mahasiswa. Untuk melakukan ini, gunakan bahasa konkret dan contoh-contoh yang

akrab dengan mahasiswa. Enam strategi utama yang dijelaskan oleh Keller meliputi:

Pengalaman - Beri tahu mahasiswa bagaimana pembelajaran baru akan

menggunakan keterampilan yang ada. Kita sebaiknya belajar dengan membangun

pengetahuan atau keterampilan yang telah kita tentukan sebelumnya. Present Worth

(3) Confidence. Kepercayaan membantu mahasiswa memahami kemungkinan mereka

untuk sukses. Jika mereka merasa tidak dapat memenuhi tujuan atau biaya (waktu

atau usaha) terlalu tinggi, motivasi mereka akan berkurang. Berikan tujuan dan

prasyarat dengan membantu mahasiswa memperkirakan probabilitas keberhasilan

dengan menyajikan persyaratan kinerja dan kriteria evaluasi.

(4) Satisfaction (kepuasaan). Kepuasan belajar harus dapat memuaskan melalui

beberapa cara, dapat dari rasa prestasi, pujian dari atasan, atau sekadar hiburan. Buat
72

mahasiswa merasa seolah-olah keterampilan itu bermanfaat atau bermanfaat dengan

memberikan kesempatan untuk menggunakan pengetahuan yang baru diperoleh

dalam lingkungan nyata. Berikan umpan balik dan penguatan. Ketika mahasiswa

menghargai hasilnya, mereka akan termotivasi untuk belajar. Kepuasan didasarkan

pada motivasi, yang bisa bersifat intrinsik atau ekstrinsik dan tugas tidak boleh

berlebihan .

Persyaratan pertama dari model ini yaitu mendapatkan dan mempertahankan

perhatian mahasiswa. Dalam proses pembelajaran, perhatian mahasiswa harus diarahkan

ke isyarat yang sesuai. Sebelum perhatian dapat diarahkan, itu harus diperoleh. Setelah

ini selesai, penting untuk menunjukkan kepada mahasiswa relevansi dari materi yang

disajikan. Sebelum mahasiswa dapat termotivasi untuk belajar, mereka harus percaya

bahwa pengajaran tersebut terkait dengan tujuan atau motif pribadi yang penting.

Setelah relevansi berhasil dibuat, mahasiswa mungkin masih tidak termotivasi dengan

baik karena terlalu sedikit atau terlalu banyak kepercayaan atau harapan untuk sukses.

Mereka dapat memiliki ketakutan akan topik atau situasi yang mencegah mereka belajar

secara efektif atau pada ekstrem lainnya. Untuk alasan ini, penting untuk merancang

bahan dan lingkungan belajar yang membangun tingkat kepercayaan yang sesuai

sehubungan dengan harapan mahasiswa untuk sukses. Untuk memiliki keinginan yang

berkelanjutan untuk belajar, mahasiswa harus memiliki rasa puas dengan proses atau

hasil dari pengalaman belajar.

Kepuasan dapat dihasilkan dari faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik

termasuk peluang untuk kemajuan, sertifikat, atau imbalan materi lainnya. Faktor-faktor

intrinsik seringkali diabaikan tetapi bisa sangat kuat. Faktor-faktor ini termasuk perasaan

harga diri dan prestasi yang dihasilkan dari berhasil menyelesaikan kegiatan
73

pembelajaran. Model ARCS telah diterapkan pada lingkungan instruksional berbasis

komputer untuk membantu meningkatkan aspek motivasi dari instruksi.

g) Model Pengembangan lnstruksional (MPI)

Model Pengembangan lnstruksional (MPI) dikembangkan oleh Suparman (2014).

Model pengembangan pembelajaran dikontruksi dengan berbasis prinsip instruksional

pembelajaran tatap muka (face to face) dan pembelajaran jarak jauh. MPI dirancang

guna dimanfaat pada tingkat mata pelajaran dan kursus, bukan untuk program studi dan

program yang bersifat lebih masif. Dengan demikian yang menjadi targetnya yaitu

dosen yang baru memiliki niat untuk mengembangkan kursus atau mata pelajarannya

dengan sistematis.

Gambar.2.8. Model Pengembangan Instuksional (Atwi Suparman, 2014)

Delapan tahapan Model Pengembangan lnstruksioanl (MPI) terdiri dari tiga tahapan

yaitu:

Tahapan Pertama model MPI ini mencakup (1) Mengenali kebutuhan instruksional

dan menulis tujuan instruksional umum;(2).Melakukan analisis instruksional; (3).

Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa


74

Tahap kedua yaitu mengembangkaan yang menakup empat (1).Menulis tujuan

instruksional khusus; (2).Menyusun alat penilaian hasil belajar;(3).Menyusun strategi

instruksional; dan (4).Mengembangkan bahan instruksional

Tahap ketiga meliputi mengevaluasi dan merevisi bahan instruksioanl. Tahapan ini

terdiri dari satu langkah (langkah 8) yakni menyusun desain dan melaksanakan evaluasi

formatif yang memuat di dalamnya akativitas merevisi bahan instruksional. Walaupun

hanya terdiri dari satu langkah,tahap ketiga ini terdiri dari satu set kegiatan panjang dan

menantang. Satu set kegiatan itu meliputi evaluasi oleh para pakar dan revisi oleh

beberapa mahasiswa dan revisi, evaluasi oleh kelompok kecil dan dosen diikuti dengan

revisi, dlan akhirnya ditutup dengan kegiatan uji coba lapangan diikuti dengan revisi.

Hasil akhir langkah kedelapan berupa suatu sistem instruksional atau produk

instruksional yang siap pakai.

4. Rancangaan Model Prosedural Pengembangan Model Pembelajaran

Kolaboratif Online Berbasis Jejaring Sosial

Berdasarkan uraian tentang model-model desain instruksional pada bagian

terdahulu, pengembangan model pembelajaran kolaboratif online berbasis situs jejaring

sosial pada penelitian dan pengembangan ini menggunakan model prosedur yang

diadaptasi dan dimodifikasi dari model Borg dan Gall, ADDIE dikombinasikan dengan

Mancy And Reid Model. Model ini diharapkan dapat menjawab tantangan zaman bagi

calon Dosen masa depan (abad 21) dimana penggunaan teknologi dalam pembelajaran

tidak lagi bisa diabaikan. Hal ini didasarkan pada beberapa pendapat Hannafin dalam

Gorsky (2007) yang mengemukakan perlunya mengembangkan sebuah model baru yang

sesuai dengan kebutuhan sekarang karena model yang baik adalah model yang sesuai

dengan kebutuhan di lapangan.


75

Pendekatan Model ADDIE telah berhasil diterapkan untuk berbagai pengajaran dan

pembelajaran online. Strickland (2008) dalam Chao,ed.(2009) melaporkan bahwa model

ADDIE digunakan untuk mengembangkan materi kursus multimedia, desain antarmuka

pelatihan berbasis Web, membuat ruangan virtual untuk mahasiswa calon Dosen dan

sebagainya. Dalam proses pengembangan materi kursus untuk sistem pengajaran online,

model ADDIE dapat diterapkan untuk menciptakan bahan-bahan kursus yang cocok

untuk mengajar berbasis web dan belajar. Chao, ed (2007) mengatakan bahwa teori

desain instruksional memberikan pedoman bagi proses pembangunan materi pengajaran

online. Untuk memastikan bahwa bahan ajar secara online memenuhi persyaratan kursus

berbasis teknologi, instruktur yang mungkin perancang materi pengajaran secara online

dan pengembang harus menyelesaikan tugas-tugas di setiap fase dari model ADDIE

yang meliputi analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan fase evaluasi.

Donnelly dalam Marcus-Quinn (2010) menyatakan bahwa dengan model ADDIE dapat

kita lakukan kolaboratif karena menghemat waktu dan tidak semua orang dalam

kelompok perlu mengembangkan tingkat yang sama keterampilan teknis.

Menurut Marcus-Quinn (2010) Model ADDIE menyediakan pendekatan sederhana

namun sistematis untuk proses desain dan pengembangan. Kunci untuk instruksional

efektif terletak pada konsep desain, didefinisikan oleh Seels dan Richey (1994) sebagai

proses menentukan kondisi untuk belajar. Tujuan dari desain yaitu untuk menciptakan

strategi dan produksi di tingkat makro, seperti program dan kurikulum, dan pada tingkat

mikro, seperti pelajaran dan modul.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Model ADDIE merupakan akronim untuk

Analyze, Design, Develop, Implement dan Evaluate yang sesuai dengan lima tahap

model. Model ini dimulai dengan analisis kebutuhan instruksional dan solusi, diikuti

oleh desain dan pengembangan tujuan pembelajaran dan metodologi, pelaksanaan


76

konten pendidikan, dan evaluasi sumatif dari produk yang dihasilkan. Evaluasi formatif

dan revisi terjadi melalui seluruh proses pembangunan untuk menjamin produk tersebut

patuh terhadap tujuan instruksional (Barbosa and Maldonado.2011) .Pendekatan ini

merupakan konsep pengembangan produk yang dapat diterapkan untuk menciptakan

pembelajaran berbasis kinerja. Landasan filosofis pendekatan ADDIE menekankan

pembelajaran bermakna berpusat pada mahasiswa, inovatif, otentik dan inspiratif. Oleh

karena itu, pendekatan ini merupakan sebuah desain yang mendorong pembelajaran

yang aktif, multifungsional, situasional dan inspiratif. Pendekatan ADDIE bisa disorot

dari dua aspek: sebagai konsep dan sebagai cara mengelola prosedur yang dikaitkan

dengan desain pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengusulkan

rancangan model prosedur pengembangan model pembelajaran kolaboratif online

berbasis situs jejaring sosial pada penelitian dan pengembangan ini sebagaimana

divisualisasikan pada gambar 2.16.


77

Gambar .2.16 .Model Prosedur Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif

Berbasis Situs Jejaring Sosial

(1)Investigasi awal

Kegian ini terdiri dari kajian konseptual dan studi lapangan bertujuan untuk

membahas hasil kajian sebelumnya yang relevan dengan komponen-komponen yang

akan dikembangkan dalam produk

Tahapan ini melingkupi analisis terhadap kebutuhan, kajian pustaka (literatur)

penelitian terbatas atau ukuran kecil dan standar. Dalam menganalisis kebutuhan

beberapa indikator yang terhubung dengan pentingnya pengembangan produk dan

pengembangan produk itu sendiri, juga ketersediaan Sumber daya manusia yang ahli
78

dan ketersedia waktu yang memadai untuk pengembangan produk. Studi pustaka

dimaksudkan untuk mengetahui perkembangakan produk yang sudah teredia di lapangan

sehingga dapat dipredikasi model produk yang akan dikembangkan, dan ini

dimaksudkna untuk menghimpun hasil kajian dan informasi terkait dengan produk yang

ada dalam rencana pengembangan. Sedangkan Studi skala kecil berguna untuk masukan

bagi peneliti tentang sejauh mana produk sudah dikembangkan saat ini oleh peneliti lain

(2) Analisis

Langkah-Langkah Analisis terdiri dari: (a) memvalidasi kesenjangan kinerja,

mengukur kinerja aktual, menetapkan kinerja yang ingin dicapai, mengidentifikasi

penyebab; (b) merumuskan tujuan instruksional dengan menggunakan taksonomi bloom

atau taksonomi lain; (c) mengidentifikasi kemampuan, pengalaman, motivasi, sikap

mahasiswa ; (d) menganalisis sumberdaya dan ketersediaan teknologi

(3)Desain

Desain merupakan tahapan setelah dilakukan proses analisis. Pada tahap ini

meruapakan tidak lanjut dari langkah analisis. Desain pembelajaran dapat dikatakan

suatu desain dalam proses pembelajaran. Rancangan dibuat setelah mempelajari

masalah, kemudian mencari solusi melalui pengenalan dari kegiatan analisis kebutuhan

yang dilakuan dalam proses sebelumnya. Tahap ini memiliki tujuan dalam rangka

membuat strategi pembelajaran yang sesuai dengan demikian mahasiswa dapat

mencapai tujuan yang sudah ditenatukan, khususnya dalam mencapai standar

kompetensi yang telah ditetap dalam proses pembelajaran

Tahapan ini bertujuan untuk memverifikasi kinerja yang akan dicapai serta

menentukan metode penilaian yang cocok. Prosedur dalam mendisain pembelajaran

secara umum yaitu: (a) Menyusun daftar tugas-tugas; (b) Menyusun tujuan kinerja; (c)

Menyusun strategi tes; (d) Menghitung investasi/biaya yang dikeluarkan. Komponen


79

rancangan dapat menggunakan susunan tugas dalam bentuk diagram, peralatan

pelengkap, tes lengkap, Strategi tes, Usulan Rancangan Anggaran yang akan

dikeluarkan.

(4) Pengembangan

Bagian ini terdiri dari tiga komponen yaitu: Bagian ini terdiri dari tiga komponen

yaitu: (a) menyusun alat penilaian hasil belajar, (b) mengembangkan strategi

pembelajaran kolaboratif, dan (c) mengembangkan bahan pembelajaran

(a) Menyusun alat penilaian hasil belajar berupa instrumen test untuk mata kuliah akan

di diteliti. Butiran test disusun dalam bentuk pilihan ganda, baik untuk instrumen

pretest maupun posttest.

(b) Mengembangkan strategi pembelajaran kolaboratif, meliputi:

(1) Tahap Persiapan (Preparation).Tahap pertama model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial didahului dengan mempersiapkan dosen dan

mahasiswa dengan keterampilan prasyarat (pre-requisite skills) yang

dibutuhkan dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan situs jejaring

sosial Facebook

(2) Tahap Pelibatan (Engagement). Setelah mahasiswa memiliki kemampuan yang

memadai dalam tahapan persiapan maka dosen melakukan upaya pemikataan

terhadap mahasiswa melalui tahapan penilaian terhadap kemampuan, minat,

bakat dan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Lalu,

mahasiswa dikelompokkan yang di dalamnya terdapat mahasiswa terpandai,

sedang, dan mahasiswa yang rendah prestasinya.

(3) Tahap Eksplorasi (Exploration). Pada tahapan ini dosen mulai membagi tugas

misalnya berupa problematika yang berkaitan dengan perkuliahan yang mesti

dicarikan solusinya oleh kelompok tersebut.dan menyediakan materi


80

perkuliahan dalam berbagai format seperti file teks, presentasi PPT, atau

dokumen PDF, serta video.Berbekal tugas dan bahan yang diberikan semua

anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa

ilmu, pendapat ataupun gagasannya. Pada fase ini dan tahap Transformasi

terjadi pembelajaran kolaboratif

(4) Tahap Transformasi (Transformation) merupakan tahap perubahan yang

hendak dicapai dalam pembelajaran. Perubahan ini bisa terjadi di kalangan

mahasiswa dengan saling bertukar gagasan atau pendapat melalaui diskusi

kelompok.Dengan demikain mahasiswa yang semula capaian dalam

pembelajaran masih rendah, seacara perlahan akan meningkat melalaui proses

transformasi dari mahasiswa yang memiliki kemampuan tinggia atau prestasi

tinggi terhadapa kepada mahasiaswa yang capaian pengetahuan atau

prestasinya masih rendah.

(5) Tahap Presntasi (Presentation) yaitu tahap penyajian gagasan atau solusi

terhadap persoalan yang sudah didiskusikan. Kegiatan ini dilakukan setelah

melakukan diskusi kemuydian menyusun laporan, kemudian setiap kelompok

menyajikan hasil gagasan mereka. Ketika satu kelompok menyajikan

presentasi, kelompok lain mesti mencermati, mengamati, dan

mengkomperasikan hasil penyajian mereka kemudian memberikan tanggapan

(6) Tahap Refleksi (Reflection). Setelah melakukan penyajian hasil diskusi,

kemudia terjadi kegiatan tanya-jawab antar kelompok. Kelompok yang

mepresentasikan makalahnya akan menerima tanggapan ataupun sanggahan

dan pertanyaan, dari kelompok lain. Melalui sejumlah pertanyaan yang

diberikan kelompok lain, maka setiap anggota dalam kelompok mesti

bekerjasama untuk merespon dengan sebaik mungkin


81

(c) Mengembangkan bahan pembelajaran

Dalam mengembangkan bahan pembelajaran, maka tujuan dari tahapan ini dapat

melahirkan dan memvalidasi instruksional material melalui (1) pembuatan isi; (2)

Menseleksi dan mendesain media pendukung; (3) Merancang panduan untuk para

mahasiswa; (4) Membentuk panduan untuk dosen; (5) Menyusun revisi formatif; (6)

Membentuk pilot tes atau tes awal dan tahapan menyelenggarakannya.

(5) Implementasi dan Evaluasi

Perancanaan pembelajaran yang sudah dirancang tidak dapat diketahui hasilnya jika

tidak terdapat sebuah kegiatan atau tindakan. Dengan adanya kegiatan tersebut merasa

sangat bermanfaat sebab instryuksional akan melahirkan hal baru berupa manfaat yang

dapat mengahsilkan pengalaman sehingga dapat dijadikan acuan apabila telah

melahirkan suatu hasil. Maka penerapan dianggap perlu, sebab dengan adanya

implementasi yang berarti suatu rencana dapat dibuktikan kehandalannya. Implementasi

dan Evaluasi merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan dalam model ADDIE.

Langkah ini meruapakan satu kesatuan dengan langkah sebelumnya sebagai pelengkap

dan dapat berpengaruh ketika pembelajaran dilaksanakan. Pada tahapan ini yang

dilakukan yaitu mempersiapkan dan mempromosikan ke mahasiswa serta ke dosen

dalam rangka menyiapkan diri ketika terjadi kegiatan pembelajaran.

Penerapaan atau implementasi bahan pembelajaran meruapakan tahap keempat dari

model ADDIE. Langkah ini memiliki tujuan utama yaitu (1) Memandu mahasiswa

untuk meraih kompetensi yang hendak dicapai; (2) Memberikan jaminan bahwa

pemecahan masalah untuk solusi untuk mengatasi kesenjangan hasil belajar yang

dialami mahasiswa. (3) Memastikan bahwa pada akhir kegiatan instruksioanl,

Mahasiswa perlu memiliki kecakapan bidang pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan

prilaku sesuai dengan yang dibutuhkan.


82

Desain pembelajaran yang sudah dibuat secara ajag akan melalui prosedur

pengembangan model ADDIE ini berakhir pada tahapan evaluasi. Evaluasi adalah tahap

dimana kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi tentanga kesuksesan

sebuah desain pembelajaran. Bebrapa kegiata yang dilakukan guna mensukseskan

proses ini yaitu tidak hanya sekedar melakukan tahap ini saja namun kegiatan evaluasi

dapat juga terjadi pada proses yang sudah dilakukan sebelumnya. Ketika pelaksanaan

kegiatan evaluasi yang perlu mendapat memperhatian yaitu sejumlah tujuan yang

hendak diraih saat awal desain mesti selalu mendapat perhatian agar evaluasi tidak

merembet kemana mana, karena suatu evaluasi memiliki indikator untuk mengetahui

tingkat ketercapaian batas yang sudah ditentukan dari kegiatan. Dengan demikian

diperlukan informasi dan data-data yang akan dievaluasi guna kelancaran proses

evaluasi.

Fase implementasi dan evaluasi mempunyai tujuan mengenai sejauh mana

penerapan dan kualitas dari produk dan proses sebelum dan setelah pelaksanaan

kegiatan. Tahapan utama dari kegiatan evaluasi mencakup (1) Menentukan kriteria

evaluasi; (2) menseleksi alat evaluasi; (3) Mengadakan evaluasi itu sendiri. Hasil dari

kegiatan evaluasi yaitu perencanaan evaluasi. Beberapa komponen perencanaan

evaluasi mencakup ringkasan mengenai tujuan, instrument pengumpul data, komitment

terhadap waktu baik secara individu maupun kelompok pada etiap jenjang evaluasi;

Maka setiap satu set kriteria penilaian evaluasi amak dilengkapi dengan satu set alat

untuk evaluasi.

Dalam proses pengembangan model pembelajaran kolaboratif online berbasis situs

jejaring sosial ini, akan dilakukan evaluasi formatif secara bertahap, mulai dari evaluasi

teman sejawat, kajian ahli, dan juga evaluasi satu-satu terbatas dari uji lapangan. Melalui

tahap ini nantinya akan diperoleh model pembelajaran yang lebih baik, karena telah
83

dilakukan perbaikan atas kelemahan-kelemahan pada masing-masing komponen

pembelajaran. Evaluasi (evaluation) adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat

atau kegunaan suatu objek. Dari sudut pedidikan yang dimaksud dengan evaluasi ialah

suatu proses sistematik untuk menentukan sampai seberapa jauh tujuan intruksional

dicapai oleh pembelajar. Kegunaan atau fungsi evaluasi atau penilaian seringkali

disamakan dengan tujuan penilaian atau evaluasi. Bila dilihat dari arti kata, maka pada

tujuan penilaian terkandung arti sesuatu yang akan dicapai sedangkan pada fungsi

menunjukan pada peranan yang dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan.

(a) Telaah Pakar

Pada tahap ini model pembelajaran Pembelajaran Berbasis situs jejaring sosial yang

dikembangkan dievaluasi oleh ahli materi, ahli desain instruksional, ahli bahasa dan ahli

desain grafis. Setiap bidang akan dinilai oleh dua orang pakar. Sedangkan instrumen

pada tahap evaluasi dikembangkan dalam rangka mengevaluasi setiap produk yang

dikembangkan pada tahap pengembangan.

Setelah instrumen di buat peneliti melakukan telaah pakar kepada ahli materi untuk

mencermati produk yang dikembangkan tentang konten materi. Masukan dan hasil

validasi ahli akan menjadi masukan untuk memperbaiki produk pada langkah revisi.

(b) Uji Coba Satu-satu dengan Mahasiswa

Setelah model di validasi oleh para ahli peneliti melakukan uji coba one to one

student. Uji coba satu-satu ini merupakan uji coba awal terhadap produk yang

dikembangkan. Uji coba satu-satu dilakukan pada tiga orang mahasiswa yang dibentuk

secara khusus yang terdiri dari satu orang yang memiliki kemampuan tertinggi, satu

orang dengan kemampuan sedang dan yang terakhir dengan kemampuan rendah.

Penilaian yang dilakukan terhadap tiga orang ini bertujuan untuk mendapat data tentang

produk yang dikembangkan, sebagai bahan acuan dalam revisi. Sebelum diberikan pada
84

uji coba kelompok kecil (small group). Hasil uji coba one to one student juga

memberikan masukan revisi pada produk dan model-model yang ada dalam bahan ajar.

(c) Uji Coba Kelompok Kecil

Sesudah model direvisi selanjutnya akan diujicobakan pada kelompok kecil, yaitu

kepada 9 orang responden mahasiswa yang akan menjadi sasaran target penelitian. Uji

coba dilakukan di UIN SMH Banten dengan membentuk kelas khusus. Setelah

perlakukan mahasiswa diminta untuk melihat, menyaksikan bahan ajar, media

pembelajaran model Pembelajaran Berbasis situs jejaring sosial, kemudian mereka akan

diminta komentar/masukan tentang model. Berdasarkan masaukan dari small group ini

model direvisi.

(d) Uji coba kepada kelompok besar

Melakukan uji coba kelompok besar. Dalam konteks yang nyata. Pada tahap ini

model diterapkan dalam pembelajaran Cross-Cultural Undestanding mahasiswa Jurusan

Tadris Bahasa Inggris UIN SMH Banten. Adapun jumlah mahasiswa yang menjadi

kelas eksperimen ini yaitu 30 orang mahasiswa. Implementasi Model ini hanya

dilakukan pada mahasiswa UIN SMH Banten dengan melakukan eksperimen pada

mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris.

C. Kerangka Teoritik Pengembangan Model Pembelajaran Kolaborative Dengan

Situs Jejaring Sosial Facebook

1. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran yang Mendukung Pembelajaran

Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial

Kata belajar merupakan istilah yang sangat akrab ditelinga setiap orang. Namun

istilah ini didefinisikan beragam oleh para ahli. Perbedaan-perbedaan definisi tentang
85

belajar terutama terlihat perbedaan-perbadaan sudut pandang yang dapat terbagi dalam

beberapa aliran, antara lain: a) behaviorisme, c) kognitivisme, dan c) konstruktivisme.

a. Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan bentuk perilaku atau

respon yang terjadi terutama karena adanyanya stimulus teutama dari lingkungan.

Menurut Gundry (1992) belajar merujuk pada proses memperoleh kemampuan non-

materi (penguasaan keterampilan dan pengetahuan) sehingga keterampilan dan

pengetahuan yang sudah dikuasai ini dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama,

Santrock (2017) mengemukakan bahwa belajar secara umum sebagai pengaruh yang

relatif permanen pada keterampilan perilaku, pengetahuan, dan pemikiran yang datang

melalui pengalaman, sementara menurut.Mangal (2009,) belajar adalah proses yang

membawa perubahan yang relatif permanen dalam perilaku pembelajar melalui

pengalaman atau praktek.

Schunk (2012) menyebut perilaku pembelajar dengan kapasitas berperilaku dengan

cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya yang

bertahan relatif permanen. Gagne (1985) menyebutkan perubahan kapasitas berperilaku

dengan perubahan disposisi manusia atau kemampuan yang bertahan selama periode

waktu tertentu dan bukan sebagai akibat dari proses pertumbuhan “learning is a change

in human disposition or capability that persists over a period of time and is not simply

ascribable to processes of growth”. Lebih lanjut Gagne et.all (2005) menjelaskan bahwa

belajar merupakan proses alami yang mengarah ke perubahan apa yang kita ketahui, apa

yang bisa kita lakukan, dan bagaimana kita berperilaku, Perilaku yang berubah yang

dapat bertahan lama sebagai hasil dari praktek dan pengalaman merupakan representasi

mental seseorang.
86

Bertolak belakang dengan pendapat Gagne (1985) yang menyebutkan belajar

bertahan selama periode waktu tertentu, maka Ormrod (2015) menyebutnya perubahan

jangka panjang dalam representasi mental atau asosiasi karena mengalaminya. “general

definition of learning is: a long-term change in mental representations or associations

due to experience”. Lebih lanjut Ormrod (2015) menguraikan secara ringkas bahwa a)

belajar adalah perubahan jangka panjang, penggunaan sementara informasi, tetapi tidak

selalu berlangsung selamanya “learning is a long-term change, in that it isn’t just a

brief, transitory use of information-but it doesn’t necessarily last forever.”b) belajar

melibatkan representasi mental atau asosiasi dan memiliki dasar dalam otak “learning

involves mental representations or associations and so presumably has its basis in the

brain”. dan c) belajar adalah perubahan karena pengalaman (bukan hasil pematangan

fisiologis, kelelahan, alkohol atau narkoba, atau yang ditimbulkan oleh penyakit mental

“learning is a change due to experience, rather than the result of physiological

maturation, fatigue, alcohol or drugs, or onset of mental illnes.

Selaras dengan pendapat di atas, menurut Parsons (2001), belajar merujuk pada

peningkatan pengetahuan, perubahan dalam berperilaku yang relatif menetap dalam

kehidupan yang bukan disebabkan kecenderungan genetik. Perubahan berperilaku yang

relative menetap dan kapasitas pengetahuan yang diperoleh dari suatu latihan dan tau

yang diperoleh melalui pengalaman

Sebuah definisi tentang belajar yang lebih mendalam dapat dilihat dari pengertian

belajar yang dikemukan oleh Spector (2009) belajar adalah perubahan-perubahan dalam

kemampuan, sikap, keyakinan, pengetahuan, model mental, dan keterampilan seseorang

yang berlangsung secara terus-menerus

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah” proses

perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap, perilaku, pandangan hidup dan keyakinan


87

yang berlangsung secara terus menerus dan relatif menetap yang diperoleh dari latihan

serta pengalaman belajar “learning is a process of changing the knowledge, skills,

attitudes, behavior, way of life and beliefs that continues over time and is relatively

settled obtained from training and learning experience. Dikaitkan dengan pembelajaran

kolaboratif dengan sosial media, maka facebook merupakan lingkungan yang dapat

menyediakan pengalaman-pengalaman yang secara terus-menerus memberikan stimulus

berupa informasi- informasi yang penting dalam membentuk perilaku mahasiswa.

Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa dalam

pandangan behaviorisme, belajar merupakan proses yang menimbulkan perubahan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat bertahan lama sebagai hasil dari

praktek dan pengalaman dan sosial media dapat menjadi lingkungan yang memberikan

pengalaman bagi perubahan perilaku mahasiswa.

b. Teori Kognitivisme

Bertolak belakang dengan pandangan behaviorisme, teori kognitivisme memandang

bahwa belajar adalah tentang konstruksi aktif pengetahuan baru dengan berinteraksi

dengan informasi baru.

Manusia memproses informasi setiap menit. Beberapa informasi ini disaring dan

beberapa dimasukkan ke dalam apa yang kita tahu dan ingat. Perubahan-perubahan

dalam kemampuan adalah hasil dari apa yang kita sebut situasi belajar sebagaimana

dapat kita pahami dari pendapat Gagne, et al (2005) bahwa situasi belajar terdiri dari dua

bagian yaitu ekternal dan internal “ a learning situation has two parts: one external to

the learner and the other internal. The internal part of the learning situation, it appears,

derives from the stored memories and intentions of the learner. Prinsip-prinsip yang

harus diperhatikan oleh seorang dosen saat merancang sebuah pembelajaran agar

pembelajaran dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan, sebagimana dapat dirujuk
88

kepada Gagne, et al (2005) bahwa prinsip belajar yang harus menjadi pertimbangan

ketika seorang dosen hendak merancang pembelajaran yaitu:

a) Kedekatan (Contiguity). Prinsip kedekatan menyatakan bahwa situasi stimulus

harus disajikan bersamaan dengan respon yang diinginkan.

b) Pengulangan (Repetition). Prinsip pengulangan menyatakan bahwa situasi stimulus

dan respon yang harus diulang, atau berlatih, untuk pembelajaran ditingkatkan dan

untuk retensi untuk menjadi lebih terjamin.

c) Penguatan secara historis (Reinforcement Historically) Penguatan historis, prinsip

penguatan telah dinyatakan sebagai berikut: Belajar dari tindakan baru ini diperkuat

ketika terjadinya tindakan yang diikuti oleh keadaan yang memuaskan urusan,

d) Prinsip social budaya (Social-Cultural Principles of Learning). konteks sosial-

budaya pembelajaran mungkin sama pentingnya faktor sebagai komponen lainnya

yang tidak dapat oleh perancang instruksional.

Teori kognitivisme juga meyakini bahwa belajar melibatkan perubahan mental.

Namun demikian, belajar perubahan tersebut tidak harus tercermin dalam perilaku

nyata. Menurut Jeanne Ellis Ormrod, teori kognitivisme menekankan pada cara orang

berpikir mengenai suatu informasi yang mereka terima dari lingkungan, serta bagaimana

rangsangan sekitar mereka rasakan, serta bagaimana mereka cara menempatkan: bagian

mana yang mereka pertimbangkan sebagai sesautu yang memiliki kenangan, serta cara

mereka menemukan apa yang mereka pelajari ketika mereka perlu menggunakannya

(Ormrod & Davis, 2012). Ini menjelaskan pandangan kognitivisme tentang informasi

sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dari belajar, karena belajar hanya akan efektif

ketika mahasiswa menghubungkan informasi baru dan pengalaman untuk hal-hal yang

mereka sudah tahu.

c. Teori Konstruktivisme
89

Teori konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan dikonstruksikan dan makna

dibuat melalui interaksi dengan orang lain, dan melalui memfasilitasi atau

memanfaatkan aspek-aspek sosial pembelajaran, orang belajar dengan baik. Rennie

(2019 ) berpendapat bahwa konstruktivisme adalah teori tentang belajar yang

berpendapat bahwa mahasiswa membangun pengetahuan untuk diri mereka sendiri.

Setiap mahasiswa secara individu membangun makna ketika dia belajar.

Schunk (2012) menyebutkan bahwa teori-teori yang dikemukana oleh Piaget dan

Vygotsky adalah fondasi bagi terori konstruktivisme berikutnya. Hal pokok dalan teori

ini adalah penekanan pada peran konstruksi pengetahuan. Teori konstruktivisme

berfokus pada interaksi orang dengan situasi dan kondisi dalam perolehan dan

peningkatan pengetahuan serta keterampilan. Adapun yang menjadi asumsi kunci dari

konstruktivisme adalah mahasiswa seacara aktif mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan untuk diri mereka sendiri.

Harasim (2012) menjelaskan bahwa konsep konstruktivisme Piaget berkaitan dengan

studi tentang bagaimana pengetahuan diinternalisasi dan bagaimana orang belajar.

Untuk konstruktivisme Piaget fokusnya adalah pada orang yang mengetahui dan

hubungan teman sejawat, kekuatan menyamakan kedudukan, hubungan untuk

menciptakan tantangan yang optimal serta dukungan untuk menyelidiki pengetahuan.

Konstruktivisme yang dimediasi media sosial menyediakan daya tarik untuk belajar,

pengembangan pengetahuan, pembuatan makna, dan perubahan pikiran. Schrader (2016)

konstruktivisme dianggap secara bersama dengan komponen umum menyatu dengan

dayatarik media sosial yang dapat menghubungkan mahasiswa dalam dunia teknologi

saat ini dan besok. Media sosial mewujudkan konstruktivisme itu sendiri ketika

pengguna terlibat dalam pengembangan makna mereka sendiri. Media sosial

memungkinkan pengguna untuk membangun dan mengarahkan koneksi melalui


90

penggunaan format seperti Facebook. Media sosial adalah konstruktivis karena

melibatkan pengguna dengan membentuk koneksi rekursif melalui posting, berbagi,

berkolaborasi, memposting ulang, dan mensintesis pengalaman pengguna sebelumnya.

Ershler (2015) menjelaskan bahwa media sosial menyediakan sarana dan peluang

baru untuk belajar yang konsisten dengan prinsip utama konstruktivisme sosial dan

kognitif, dan memperluas proses pembelajaran dan konstruksi makna ke komunitas yang

lebih beragam dan kegiatan bersama yang dapat diakses secara universal yang secara

bersama-sama. Lin (2016) Pembelajaran kolaboratif dalam tradisi Vygotskian bertujuan

interaksi sosial baik antara mahasiswa atau antara mahasiswa dan Dosen, dan pada

dasarnya membantu mahasiswa dalam memajukan melalui Zona Pengembangan

proksimal (ZPD), oleh Vygotsky (1978) didefinisikan sebagai: " distingsi antara level

perkembangan nyata dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan nyata

seperti pemecahan masalah independen dapat menacapai tingkat perkembangan

potensial dibawah bimbingan orang dewasa atau bekerjasama dengan rekan-rekan yang

lebih mampu. Dillenbourg dalam Lin (2014) menyatakan bahwa konsep pembelajaran

Kolaboratif sebagian besar berakar pada teori sosial budaya Vygotsky yang memandang

belajar sebagai proses sosial inheren diaktifkan melalui Zona Pengembangan proksimal

(ZPD). Pandangan sosial konstruktivisme Vygotsky ini telah memberikan kontribusi

signifikan terhadap epistemologi konstruktivis sosial dan menyoroti bagaimana

pembelajaran dimediasi sesuai dengan konteks dan pengalaman dengan rekan-rekan.

Pandangan ini menerangi hubungan kausal antara interaksi sosial dan perkembangan

kognitif individu. Berdasarkan pendapat ini pembelajaran kolaboratif secara alami

menciptakan peluang untuk mengembangkan kognisi mahasiswa dengan aktif

berkomunikasi dengan rekan-rekan yang lebih mahir dan dengan demikian memperluas
91

potensi konseptual, memberikan rekan-rekan dengan ide-ide baru dan dengan demikian

membentuk proses sosial yang saling menguntungkan belajar.

Ershler (2015) konstruktivisme kognitif dan sosial yang berhubungan secara khusus

untuk penggunaan media baru dan sosial dan mempromosikan pembelajaran dan

merangsang evolusi pembuatan makna. Pembuatan makna dapat dilakukan melalui

media sosial. Konstruktivisme kognitif menurut Schrader (2016) fokus pada bagaimana

orang membangun pengetahuan ketika berinteraksi dengan konten pengetahuan dan

proses aktif dari suatu interaksi. Hal ini dapat terjadi baik secara individu sebagai "agen

pengetahuan" tunggal, sebagaimana ketika Piaget menyebut orang yang berpengetahuan,

mahasiswa dapat membangun pengetahuan dalam kelompok teman sebaya atau ahli.

Lave dalam Ershler (2016) menggunakan konsept konstruktivisme sosial Vygotsky

dalam komunitas Facebook secara sosial dapat digunakan untuk kerja kelompok,

mengajar rekan, berbagi dokumen, editing secara berkelompok, dan kolaboratif,

baikdengan pemula ahli atau aktivitas pembelajaran antar rekan sejawat. Wozniak(2019)

mengemukan bahwa teori belajar konstruktivis sosial sekarang relevan di era digital

lebih dari sebelumnya karena orang-orang berbagi informasi dan berkomunikasi dengan

cepat dan dalam volume yang tak tertandingi oleh waktu lain dalam sejarah. Teori

konstruktivis sosial menurut pandangan Murphy (2011) menekankan pentingnya budaya

dan konteks dalam memahami apa yang dialami komunitas dan dalam membangun

pengetahuan dibangun di atas pemahaman ini. Pritchard dan Woollard (2009)

memperhatikan tiga aspek pemikiran konstruktivis sosial, yaitu: realitas, pengetahuan

dan pembelajaran. Realitas. konstruktivis sosial memberitahu kita bahwa realitas

dibangun melalui berbagi kegiatan sosial manusia. Pengetahuan, konstruktivis sosial

juga memberitahu kita bahwa pengetahuan adalah ciptaan manusia dan bahwa itu

dibangun dengan cara sosial dan budaya. Pembelajaran, konstruktivis sosial mengatakan
92

bahwa belajar adalah proses sosial. Hal ini tidak hanya sebuah proses individu, maupun

proses pasif.

Menerapkan teori konstruktivisme dalam pembelajaran kolaboratif dengan sosial

medai memiliki beberapa prinsip sebagaimana dikemukan oleh Rennie (2019 ) bahwa

prinsip umum pembelajaran yang berasal dari konstruktivisme dan yang didukung

dengan baik melalui sosial media adalah : (1) belajar adalah proses aktif di mana

mahasiswa terlibat dengan ide-ide dan berinteraksi dengan mahasiswa lain untuk

membangun makna;(2) refleksi pada pembelajaran adalah komponen kunci lain dari

teori konstruktivis. belajar terdiri dari membangun makna dan membangun sistem

makna;(3) belajar melibatkan bahasa dan ekspresi diri. Lingkungan online mendukung

fungsi ini; (4) pembelajaran adalah kegiatan sosial: pembelajaran terkait erat dengan

hubungan mahasiswa dengan dosen, teman sebaya keluarga, serta kenalan biasa;(5)

Pelajaran adalah kontekstual: belajar dalam hubungan dengan apa lagi yang kita tahu,

apa yang kita yakini, prasangka kita dan ketakutan kita;(6) Seseorang membutuhkan

pengetahuan untuk belajar,semakin banyak seseorang tahu, menuntut belajar yang

banyak ;(7) Pelajaran tidak instan: butuh waktu untuk belajar. Untuk pembelajaran yang

signifikan, kita perlu meninjau kembali ide-ide, merenungkannya, mencobanya, bermain

dengannya dan menggunakannya.

Pendapat lainnya yaitu oleh Chickering (1987) dalam Taylor (2016) mengemukakan

tujuh prinsip konstruktivisme dengan sosial media yaitu: (1) Mendorong kontak antara

mahasiswa dan fakultas; (2) Mengembangkan hubungan timbal balik dan kerjasama

antar mahasiswa; (3) Mendorong belajar aktif; (4)Memberikan umpan balik yang cepat;

(5) Menekankan waktu pada tugas.; dan (6) Berkomunikasi dengan harapan yang tinggi.

Berbeda dengan belajar (learning), istilah pembelajaraan peneliti terjemahkan dari

kata bahasa Inggris instruction dan teaching. Kata pembelajaran dan instruksional
93

adalah istilah yang dipertukarkan dalam membahasa bagian pengertian pembelajaran.

memiliki padanan dengan kata instruction dalam bahasa Inggris. Kata Instruction

diterjemahkan oleh Suparman (2014) menjadi instruksional atau pembelajaran. Kata

pembelajaran (instruction) berasal dari kata kerja to instruct . Akdeniz, ed (2016) yang

mengatakan bahwa arti kata instruct berasal dari akar “to build” or. “to structure”. Arti

kata dari instruksional berasal dari akar kata "membangun" atau "menyusun”. Pendapat

Akdeniz, ed (2016) ini memilik kemiripan dengan apa yang dikemukakan oleh Günter

et.all (2016) bahwa akar kata mengajar "membangun" atau "untuk struktur." to build” or

“to structure”.

Alice, et.all (2016) memberikan analogi alami antara instruksional dan membangun

berdasarkan proses penataan lingkungan. Dosen sebanding dengan pembangun dalam

tiga cara: a) perencanaan untuk audiens yang spesifik (Planning for a specific audience).

b) merumuskan tujuan dan prosedur evaluasi (Formulating objectives and evaluation

procedures), dan c) memilih bahan dan prosedur (Selecting materials and procedures).

Reigeluth (1983) memberikan komentar bahwa perbedaan telah dibuat dalam

literatur baru-baru antara "instruksional" dan "konstruksi," dengan implikasi

instruksional yang perlu dilakukan untuk mahasiswa (yaitu, mahasiswa pasif),

sedangkan konstruksi dilakukan oleh mahasiswa (yaitu, mahasiswa aktif). prinsip utama

dari konstruktivisme adalah bahwa orang hanya dapat belajar dengan membangun

sendiri pengetahuan mereka, bahwa belajar membutuhkan rekayasa aktif dari bahan

yang akan dipelajari dan tidak dapat terjadi secara pasif. Perhatian kita adalah dengan

cara membantu mahasiswa belajar, yang berarti mengidentifikasi cara-cara untuk

membantu mahasiswa membangun pengetahuan. Oleh karena itu, instruksional adalah

untuk mendorong pembelajaran apapun yang mendorong pembangunan. instruksional

tidak dapat dikatakan instruksional jika tidak mendorong pembangunan.


94

Pengertian pembelajaran secara terminologi dengan merujukan beberapa pendapat

berikut. Sacara sederhana Sidhu (2010) mendefinisikan pembelajaran berarti

serangkaian peristiwa yang memfasilitasi pembelajaran. Akdeniz.ed (2016)

mendefinisikan instruksional sebagai seluruh proses yang diterapkan untuk belajar

terjadi dan untuk pengembangan perilaku yang diharapakan dari mahasiswa “Instruction

refers the whole process applied for learning to occur and for the development of the

target behavior that learners are expected to have”. Gagne, et al (2005) memberikan

defenisi tentang pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa yang tertanam dalam

kegiatan dengan tujuan untuk memfasilitasi pembelajaran “instruction as a set of events

embedded in purposeful activities that facilitate learning”. Pembelajaran mengandung

makna bahwa serangkaian kegiatan belajar itu dirancang lebih dahulu agar terarah pada

tercapainya perubahan perilaku yang diharapkan dengan difasilitasi dosen. Definisi

Gagne, et.al (2005) secara prinsip memiliki kesamaan dengan apa yang dikemukakan

oleh Reigeluth (2009) mendefinisikan instruksional sebagai sesuatu yang dilakukan

dengan sengaja untuk memfasilitasi pembelajaran “instruction is defined as anything

that is done purposely to facilitate learning”. Menurut Smaldino et. all (2015)

pembelajaran mengacu pada setiap upaya yang disengaja untuk merangsang belajar

dengan pengaturan yang disengaja dari pengalaman untuk membantu mahasiswa

mencapai perubahan yang diinginkan dalam kemampuan.

Belajar dapat terjadi tanpa pembelajaran, namun akan berlangsung lebih lama bila

dilakukan tanpa pembelajaran (instruction). Dalam praktek kita temukan bahwa

pembelajaran tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal dan non formal tapi juga

terjadi di industri-industri dimana adanya kegiatan pelatihan keterampilan awal dan

pelatihan berkelanjutan untuk membantu karyawan memperoleh keterampilan dan

pembelajaran yang diperlukan untuk berhasil dalam kerja berubah.


95

Wankel, et al. (2011) mengemukan bahwa Sosial media menyediakan pengguna

dengan cara dinamis untuk berinteraksi, membuat, dan berbagi, yang mendorong

interaksi dan partisipasi. Disamping itu White. et.all (2011) menambahkan bawah media

sosial memperluas dimensi untuk memahami proses partisipatif dalam lingkungan

virtual, dan dengan perpanjangan, lingkungan belajar virtual. Dosen harus menggunakan

potensi media sosial untuk belajar, karena pembangunan pengetahuan dipengaruhi oleh

keterlibatan sosial, Akibatnya, penafsiran realitas pendidikan yang baru, di mana proses

teknologi dan sosial menyatu dengan proses pembelajaran, membutuhkan penggabungan

proses kolaboratif, mempromosikan berkolaboratif pengembangan pengetahuan.

Pembelajaran Kolaboratif dengan Facebook menurut Gorg Mallia (2014) dapat

digunakan untuk belajar formal yang berguna untuk 1) menemukan mahasiswa lain di

kursus, 2) mendapatkan informasi kontak teman-teman sekelasnya, 3) meninggalkan

pesan di dinding mahasiswa tentang kelas, 4) mencari tahu apa yang tidak terjawab di

kursus dari mahasiswa lain, 5) mengatur pertemuan dengan mahasiswa lain, 6)

menggunakan FB chat untuk membahas sesuatu yang berhubungan dengan kelas, 7)

berbicara tentang kuliah kelas, 8) memperoleh catatan kelas dari mahasiswa lain.

Berikut ini model-model pembahasan pembelajaran kolaboratif

2. Model-model Pembelajaran Kolaboratif

Berikut ini peneliti memaparkan tujuh model pembelajaran kolaboratif. Model-

Model ini akan dijadikan rujukan dalam mengembangkan model Pembelajaran

Kolaboratif berbasis Jejaring Sosial Facebook

a. Model The Stages of Collaboration (Palloff And Pratt).

Palloff (2010) menjelaskan bahwa kolaboratif tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan

perencanaan dan koordinasi pada bagian dari instruktur untuk melaksanakan kegiatan

kolaboratif berhasil di kelas online. Setelah kegiatan telah dimulai, instruktur perlu
96

tinggal hadir dan terlibat dalam rangka untuk memastikan bahwa mahasiswa akan

terlibat dengan satu sama lain dalam cara yang berarti. Kegiatan kolaboratif

mengharuskan instruktur memberdayakan mahasiswa untuk mengambil alih proses

pembelajaran. Akibatnya, penting, sebelum memasukkan pembelajaran kolaboratif

dalam kursus online, yang instruktur melakukan evaluasi untuk menentukan seberapa

nyaman dia adalah dengan melepaskan kendali.

Berikut ini adalah tahapan keterlibatan instruktur bekerjasama, bersama dengan

beberapa tips untuk berhasil menavigasi setiap fase menurut Palloff (2010)

(1) Menetapkan Tahapan (Set the Stage)

Menetapkan Tahap melibatkan sejumlah kegiatan termasuk memberikan penjelasan

tentang pentingnya kerja kolaboratif serta panduan yang jelas untuk menyelesaikan itu.

Hasil penelitian studi kasus dengan Yamashiro Ge dan Lee mencatat bahwa persiapan

mahasiswa sebelum keterlibatan dalam kegiatan kolaboratif secara signifikan

meningkatkan pencapaian kognitif peserta. Persiapan meliputi menyajikan agenda dan

instruksi untuk kegiatan serta memastikan bahwa mahasiswa merasa nyaman dengan

teknologi yang digunakan. Jika mahasiswa yang jelas tentang sifat kegiatan dan

bagaimana mereka untuk menyelesaikannya, mereka jauh lebih mungkin untuk

menerima tantangan itu dan bergerak maju dengan intervensi instruktur minimal.

Berikut refleksi dari seorang mahasiswa setelah menyelesaikan kegiatan kolaboratif

menggambarkan pentingnya pengaturan panggung

(2) Menciptakaan Lingkungan (Create the Environment)

Agar kegiatan kolaboratif terjadi dengan baik, mahasiswa harus memiliki tempat

untuk bertemu dan mengetahui parameter bagaimana mereka harus terhubung. Dengan

kata lain, tidak semua aktivitas harus terjadi pada papan diskusi Jika demikian, akan ada

ruang yang dibuat untuk masing-masing kelompok untuk bertemu secara pribadi
97

(3) Pemodelan Proses (Model the Process)

Instruktur tidak dapat hanya mengatur kegiatan kolaboratif dan berjalan jauh dari

itu, meninggalkan mahasiswa untuk berjuang sendiri. Dengan pemodelan perilaku

kolaboratif dalam kursus dan dengan memungkinkan mahasiswa untuk bernegosiasi

beberapa parameter di mana mereka akan bekerja dengan satu sama lain dan dengan

instruktur, instruktur menunjukkan apa kolaboratif yang baik terlihat seperti. Sebagai

mahasiswa lain mencerminkan:

(4) Mamandu Proses (Guide the Process)

Pemodelan proses adalah langkah pertama, namun tanggung jawab instruktur tidak

berakhir di sana. Instruktur juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing proses

setelah dimulai. Brookfield berkomentar pada gagasan ini ketika ia mengatakan,

"Seorang dosen tidak bisa menjadi lalat di dinding jika itu berarti menjadi seorang

pengamat tidak mengganggu. Jika seorang dosen mengatakan apa-apa, ini akan

ditafsirkan baik sebagai pemotongan persetujuan atau kesepakatan sebagai tacit.

Mahasiswa akan selalu bertanya-tanya apa pendapat dosen tentang apa yang mereka

lakukan. Lebih baik untuk memberikan beberapa indikasi singkat tentang apa yang ada

di pikiran dosen kepada upaya mahasiswa. Ketika datang ke kegiatan kolaboratif,

membiarkan mahasiswa tahu sebelumnya bagaimana instruktur berniat untuk terlibat

dengan proses dan bagaimana ia berencana untuk membimbing memberikan mereka

rasa percaya diri yang mereka butuhkan untuk bergerak maju.

(5) Mengevaluasi Proses (Evaluate the Process)

Refleksi dari mahasiswa bahwa kita telah berbagi dalam bagian sebelumnya dari

daftar ini adalah potongan evaluasi kegiatan kolaboratif. Hal ini penting untuk

memasukkan beberapa bentuk evaluasi pada penutupan acara kolaboratif atau kegiatan

di kelas online. Proses ini memungkinkan instruktur untuk mendapatkan informasi


98

apakah tujuan pembelajaran dari kegiatan tertentu bertemu dan memberikan mahasiswa

kesempatan untuk berdiskusi pengalaman. Pada bagian ini diskusi yang lebih luas

tentang bagaimana evaluasi kegiatan kolaboratif dapat terjadi.

Pada bagian ini penekanan pada dua konsep tentang evaluasi. Pertama, persepsi

mahasiswa dari nilai kegiatan kolaboratif yang mereka alami adalah sangat penting

dalam menentukan keberhasilan kegiatan atau kegagalan, dan kedua, penekanan dalam

evaluasi harus pada pembelajaran yang dihasilkan oleh aktivitas

a. Model Reid
Reid et al.(1989) dalam Roberts (2004) mengemukakan bahwa ada lima tahapan

untuk merancang pembelajaran kolaboratif: keterlibatan, eksplorasi, transformasi,

presentasi, dan refleksi. Kelima tahapan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Engagement. Setelah mahasiswa memiliki kemampuan yang memadai dalam

tahapan persiapan maka dosen melakukan upaya pemikataan terhadap mahasiswa

melalui tahapan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan kecerdasan yang

dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Lalu, mahasiswa dikelompokkan yang di

dalamnya terdapat mahasiswa terpandai, sedang, dan mahasiswa yang rendah

prestasinya.

(2) Exploration. Pada tahapan ini dosen mulai membagi tugas, misalnya berupa

problematika yang berkaitan dengan perkuliahan yang mesti dicarikan solusinya oleh

kelompok tersebut. Berbekal tugas yang diberikan semua anggota kelompok harus

berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun

gagasannya.

(3) Transformation adalah merupakan tahap perubahan yang hendak dicapai dalam

pembelajaran. Perubahan ini bisa terjadi di kalangan mahasiswa dengan saling bertukar

gagasan atau pendapat melalaui diskusi kelompok. Pada tahap ini kegiatan kolaboratif

(4) Presentation adalah tahap penyajian gagasan atau solusi terhadap persoalan

yang sudah didiskusikan. Kegiatan ini dilakukan setelah melakukan diskusi kemuydian
99

menyusun laporan, kemudian setiap kelompok menyajikan hasil gagasan mereka.

Ketiak satu kelompok menyajikan presentasi, kelompok lain mesti mencermati,

mengamati, dan mengkomperasikan hasil penyajian mereka kemudian memberikan

tanggapan

(5) Reflection. Setelah melakukan penyajian hasil diskusi, kemudia terjadi kegiatan

tanya-jawab antar kelompok. Kelompok yang mepresentasikan makalahnya akan

menerima tanggapan ataupun sanggahan dan pertanyaan, dari kelompok lain. Melalui

sejumlah pertanyaan yang diberikan kelompok lain, maka setiap anggota dalam

kelompok mesti bekerjasama untuk merespon dengan sebaik mungkin

b. Model Integrative Learning Design Framework (IDLF)


Dabbagh (2005) bahwa model Integrative Learning Design Framework (IDLF)

merupakan model yang khusus dikembangkan untuk proses pembelajaran masa depan,

yaitu online- learning atau web-based learning yang mengoptimalkan manfaat teknologi

telekomunikasi. Model desain pembelajaran ini berbasis jaringan web-based learning

atau online learning. Sebagai pengembangan model pembelajaran yang kongkrit, model

ini memiliki tiga tahapan yaitu: eksplorasi, enactement, serta evaluasi sebagaimana

tergambar pada gambar 2.10.

Gambar 2.9. Model Integratve Learning Design Framewor (IDLF) (Dabbagh and

Bannan-Ritland, 2005)

Adapun langkah-langkah dari pengembangan Model pembelajaran Integrative


100

Learning Design Framework (IDLF), adalah sebagai berikut:

(1) Ekplorasi (Exploration) Tahap ini pengembang pembelajaran mendokumentasikan,

mengumpulkan informasi terkait dengan latar pembelajaran, misalnya informasi

tentang mahasiswa,

(2) Penyusun (enactment) merupakan tahapan pemetaan informasi yang telah diperoleh

melalui eksplorasi,termasuk informasi tentang proses pembelajaran, meteri berikut

konteksnya, model pedagogik, serta menentukan strategi pembelajaran online.

(3) Evaluasi (Evaluation). Menentukan tujuan hasil yang diinginkan, dan metode

evaluasi desain pembelajaran online-atau didukung teknologi, menggabungkan

evaluasi dan revisi siklus formatif.

c. Model Online Theme-Based Collaborative Learning (OTBCL Model)

Yonggu Wang and Kedong Li (2008) menyebut OTBCL model akronim dari

“Online Thematic Collaborative Learning Model”.

Gambar.2.10. Model Online theme-based collaborative learning (Li and Zhao,

2008).
101

Model ini terdiri dari tiga lingkaran: lingkaran luar, lingkaran tengah dan lingkaran

dalam. Di lingkaran luar, ada delapan kegiatan belajar eksplisit, adalah langkah-langkah

yang khas dan diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran kolaboratif tematik online.

Dalam lingkaran tengah, itu adalah portofolio pembelajaran yang dijadikan sebagai alat

bantu untuk introspeksi mahasiswa dan evaluasi dosen. Portofolio pembelajaran diwakili

oleh beberapa indikator partisipatif yang dikurangi dengan tindakan mahasiswa yang

dapat dilacak dan login lingkaran luar. Dalam lingkaran meliputi proses penalaran dan

pemikiran dalam pikiran mahasiswa: rencana, tindakan dan refleksi. Dalam gambaran

model, portofolio pembelajaran di lingkaran tengah, yang berfungsi sebagai media sosial

dan alat-alat teknologi, dukungan dan memfasilitasi proses sosialisasi antara

interpersonal dalam lingkaran luar dan internalisasi mental dalam lingkaran dalam.

Langkah-langkah khas secara online pembelajaran kolaboratif berbasis tema-dijelaskan

di bawah ini

(1) Memilih tema.

Pilihan tema adalah pusat keberhasilan akhir dari proyek. Dalam fase ini, dosen

menganalisis tujuan dan isi kurikulum, dan membagi kurikulum menjadi beberapa

tema pembelajaran yang memiliki tujuan yang pasti dan tugas-tugas tertentu. Ada

tiga prinsip ketika memilih tema: a) tema ini didasarkan pada satu masalah atau

proyek; b) tujuan dari tema dicapai dan terukur; c) tugas tema yang praktis dan

dapat dibagi menjadi beberapa sub-tugas.

(2) Pembentukan kelompok belajar

Kelompok dapat dibentuk dalam berbagai cara: kelompok dosen yang

ditugaskan, mahasiswa-diri pilih, dan alokasi random / pilihan. Ukuran kelompok

biasanya tidak lebih dari 8 anggota. Selain itu, ketika membentuk kelompok, perlu
102

untuk menetapkan anggota untuk menjadi pemimpin kelompok, yang mengelola

urusan belajar dan mengkoordinasikan korelasi antara anggota dalam kelompok.

(3) Menetapkan tugas-tugas kelompok dan mengidentifikasi peran individu.

Berdasarkan tujuan dan tugas dari tema, anggota kelompok perlu untuk lebih

menetapkan tujuan dan memaksakan tugas dengan berkomunikasi satu sama lain.

Kemudian, anggota membagi tugas kelompok menjadi beberapa subtasks, dan

menetapkan peran tertentu untuk masing-masing anggota yang bertanggung jawab

dengan satu atau lebih sub-tugas.

(4) Merancang aktivitas kelompok

Kegiatan belajar adalah skema dan perancah proses pembelajaran kolaboratif.

Merancang kegiatan belajar kelompok berarti mengubah tugas ke dalam sejumlah

peristiwa belajar yang diatur oleh jadwal yang wajar. Oleh karena itu, dalam tahap

ini, anggota harus memberikan perhatian mereka untuk aspek-aspek: urutan

peristiwa pembelajaran, rasionalitas jadwal, hasil pasti dalam setiap acara belajar.

Selain itu, negara-negara dari kegiatan belajar harus dinamis menunjukkan

kemajuan yang sebenarnya dari peristiwa belajar secara real time. Ketika acara

pembelajaran tertentu dijatuhkan di belakang jadwal kegiatan belajar, anggota

kelompok akan diingatkan pada waktunya.

(5) Mengumpulkan, Mengubah dan Berbagi Sumber Belajar.

Sumber belajar memberikan isi untuk anggota kelompok belajar. Pada awal fase

ini, dosen perlu memberikan beberapa sumber belajar tentang tema, yang dapat

membuat mahasiswa memahami pengetahuan dasar tentang tema. Kemudian,

anggota setiap kelompok mengumpulkan sumber daya mereka belajar dengan web

seperti Google, dan sebagainya. Mahasiswa membangun pengetahuan masing-

masing dengan mengasimilasi sumber belajar, dan berbagi sumber belajar dalam
103

kelompok repositori pribadi atau sumber daya publik kelas. Akhirnya, anggota

dapat menilai dan komentar para sumber belajar bersama dengan rekan-rekan

mereka.

(6) Berkomunikasi, berkolaboratif dan mensintesis kerja kelompok

Sumber belajar memberikan isi untuk anggota kelompok belajar. Pada awal fase

ini, kdosen perlu memberikan beberapa sumber belajar tentang tema, yang dapat

membuat mahasiswa memahami pengetahuan dasar tentang tema. Kemudian,

anggota setiap kelompok mengumpulkan sumber daya mereka belajar dengan web

mencari mesin, seperti Google, Yahoo, Msn dan sebagainya. Mahasiswa

membangun pengetahuan masing-masing dengan mengasimilasi sumber belajar,

dan berbagi sumber belajar dalam kelompok repositori pribadi atau sumber daya

publik kelas. Akhirnya, anggota dapat menilai dan komentar para sumber belajar

bersama rekan-rekan mereka.

(7) Berbagi hasil belajar antara kelompok

Setelah menyelesaikan pekerjaan kelompok, anggota kelompok perlu berbagi

buah belajar mereka dengan kelompok-kelompok lain di kelas. Di sisi lain, anggota

kelompok lain dapat menilai dan mengomentari buah belajar kelompok. Rata dari

kerja kelompok adalah indeks untuk mengevaluasi kinerja berbasis tugas kelompok.

(8) Mengevaluasi kegiatan pembelajaran kolaboratif

Ada dua macam metode untuk mengevaluasi kinerja kolaboratif berbasis tugas,

satu adalah evaluasi dosen, dan yang lainnya adalah evaluasi rekan. Dalam model,

kita mengintegrasikan dua jenis metode evaluasi. Pertama, anggota kelompok skor

dan berkomentar anggota lain dari kelompok yang sama. Kemudian dosen

mengevaluasi setiap anggota berdasarkan skor dan komentar dari rekan-rekan dan

indikator mereka dalam portofolio pembelajaran.


104

d. Model The Five-Stage Framework


Model ini meruapakan salah salah satu model pembelajaran kolaboratif yang dibuat

oleh Salmon. Salmon (2012) mengusulkan kerangka lima tahap untuk meningkatkan

aktif dan interaktif pembelajaran online oleh individu dan kelompok. Salmon (2012)

menyebutnya belajar sebagai e-tivities. Kerangka Lima tahap menguraikan tahap khusus

dari proses pembelajaran online dan menyediakan desain belajar terstruktur,

memfasilitasi mahasiswa secara online pada setiap tahap dalam konstruksi pengetahuan

dan keterampilan teknis yang diperlukan untuk membangun pengetahuan.

Salmon menvisualisasikan kerangka sebagai anak tangga, bergerak dari Tahap 1 ke

Tahap 5 di mana mahasiswa menjadi lebih bertanggung jawab untuk pembelajaran

mereka sendiri dan bahwa kelompok mereka.berikut ini tahapan Model Five-stage:

Tabel.2.2:Five-stage Model of Teaching and Learning Online (Salmon, 2012)

Stages Technical Support E-moderating

1. Access and motivation Setting up system and access Welcoming and engaging

2. Online socialization Sending and receiving messages Familiarizing

3. Information exchange Searching Facilitating

4. Knowledge construction Conferencing Facilitating Process

5. Development Providing links Supporting/ Responding

Kerangka Lima tahap menggambarkan proses perkembangan terstruktur yang

instruktur harus berjalan mahasiswa melalui mahasiswa sehingga secara online dapat

membangun keterampilan dan kepercayaan diri dalam lingkungan pembelajaran online.

Indikator dari setiap tahap memungkinkan instruktur untuk mengetahui bagaimana

"individu cenderung mengeksploitasi sistem pada setiap tahap" (Salmon, 2012,)

sehingga mereka dapat membuat kegiatan lebih menarik untuk melibatkan mahasiswa

pada tahapan yang berbeda.


105

f) Model PIP

Model PIP (Participation, Interaction,Performance) diperkenalkan oleh Kreijns

(2018) dimaksudkan untuk menunjukkan fungsi ganda dari interaksi sosial, yaitu untuk

proses meta-kognitif dan sosio-kognitif dan untuk proses sosial dan sosial-emosional,

dan bagaimana proses ini mempengaruhi pembelajaran dan kinerja sosial. Proses meta-

kognitif dan sosio-kognitif adalah proses-proses di mana pembelajaran kelompok dan

co-konstruksi berlangsung dan dipandang penting untuk mengatur pembelajaran

kolaboratif dalam kelompok.

Komponen-komponen model PIP meliputi:.

(1) Teknik Pedagogis. Para peneliti telah mengembangkan pedagogi yang secara

khusus cocok untuk pembelajaran kolaboratif dengan komputer. Teknik Pedagogis

didukung oleh dua pendapat pertama mengeksploitasi kemungkinan grafis dari

tampilan komputer dengan memperkenalkan ruang kerja grafis bersama. Kelompok

kedua keefektifan skrip pada sejauh mana interaksi sosial dan kognitif yang

produktif muncul antara anggota kelompok pembelajaran kolaboratif. ketiga

menambah teori beban kognitif bahwa ketika kompleksitas tugas kelompok

melebihi tingkat kompleksitas yang dapat diproses sendiri oleh seorang individu,

tugas tersebut harus dibagi di antara lebih banyak individu

(2) Kemampuan akademis. Keterampilan akademik mengacu pada "kemampuan untuk

mengidentifikasi dan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui, untuk

memahami berbagai bentuk ekspresi dan evaluasi mereka dan untuk mengambil

perspektif orang lain yang beroperasi dalam kerangka epistemik yang berbeda.

(3) Keterampilan sosial. keterampilan sosial diperlukan dan melengkapi keterampilan

akademik. Johnson (2014) memasukkan ketrampilan kelompok kecil dalam lima

kondisi mereka karena “peserta harus (a) saling mengenal dan mempercayai, (b)
106

berkomunikasi secara akurat dan tidak ambigu, (c) menerima dan mendukung satu

sama lain, dan (d) menyelesaikan konflik secara konstruktif.

(4) Disposisi. Disposisi seperti sikap dan kepercayaan terhadap pembelajaran

kolaboratif harus diperhitungkan karena mempengaruhi partisipasi dan interaksi

sosial baik dalam dimensi pendidikan maupun sosial.

(5) Ruang Sosial. pembelajaran kolaboratif yang efektif hanya dapat terjadi ketika suatu

kelompok produktif dan berfungsi dengan baik dengan iklim kelompok yang positif,

rasa saling percaya, rasa memiliki dan komunitas membuat kelompok itu menjadi

tempat yang aman secara psikologis untuk berbagi pengetahuan.

(6) Kehadiran Sosial. kehadiran sosial yaitu tingkat arti-penting orang lain dalam

interaksi dan konsekuensi yang menonjol dari hubungan antarpribadi. kehadiran

sosial memengaruhi partisipasi, interaksi sosial, kepuasan, dan hasil belajar

g) Model Interactive Collaborative Design

Interactive Collaborative design model dikembangkan oleh Mahnaz Moallem.

Model ini terdiri dari lima komponen sebagaimana tertera pada gambar berikut.

Gambar 2.11 Model Interactive Collaborative design (Hong Zhan, 2008)


107

(1) Interaksi kelompok

Interaksi kelompok kecil menunjukkan bahwa diskusi kelompok atau

percakapan sangat dipengaruhi oleh sifat tugas pemecahan. Beberapa tugas

pemecahan masalah mungkin lebih cocok untuk online kolaboratif lingkungan

belajar. McGrath & Hollingshead menyarankan bahwa sebagian besar tugas-tugas

kelompok dapat diklasifikasikan ke dalam kategori yang mencerminkan empat

proses dasar. Empat kategori membutuhkan mahasiswa untuk a) menghasilkan b)

memilih (Dukungan Komunitas) c) bernegosiasi dan d) mengeksekusi. Atas dasar

teori ini, pola perbedaan terjadi antara informasi kekayaan persyaratan tugas dan

potensi kekayaan informasi dari media komunikasi.

(2) Konteks aktivitas

Untuk membangun model diasumsikan bahwa pengetahuan, pemahaman, dan

berarti secara bertahap muncul melalui interaksi (wacana sosial) dan menjadi

didistribusikan di antara mereka yang berinteraksi (konstruksi pengetahuan

bersama). Selain itu, pengetahuan sering didistribusikan di antara peserta dan

terletak dalam konteks aktivitas spesifik. Dalam pendekatan situasi ini, konstruksi

pengetahuan sosial berkembang didistribusikan pengetahuan, keterampilan, dan

pemahaman di sekitar aktivitas sasaran. Dengan demikian, diasumsikan bahwa

kedua bentuk interaksi (individu dan sosial) adalah bagian dari proses yang sama

konstruksi pengetahuan dan sangat penting untuk pembangunan dan asimilasi

(3) Interkasi dengan teman sebaya

Hasil pembelajaran online ini mengkonfirmasi bahwa sukses, interaktif

dan kolaboratif kursus online membutuhkan dirancang dengan baik dan

dikembangkan dengan baik tugas-tugas kolaboratif atau masalah, atau kegiatan

yang merangsang interaksi teman sebaya dan mendorong kolaboratif rekan. Mereka
108

juga menyarankan bahwa tugas kolaboratif online atau kegiatan yang menyediakan

struktur dapat mengurangi mahasiswa kebingungan. Karena fleksibilitas waktu dan

tempat dan kedekatan masalah yang ditimbulkan oleh tidak adanya kaya

komunikasi nonverbal dalam tugas-tugas kolaboratif online, mengembangkan

fokus, waktu, harapan yang jelas, dan peran didefinisikan dengan baik untuk setiap

peserta, dan format evaluasi yang jelas untuk tugas online sangat penting dalam

meningkatkan interaktivitas dan mencegah kebingungan dan frustrasi. Selain itu,

penting bahwa pengetahuan domain diintegrasikan dengan baik ke dalam masalah.

Domain pengetahuan yang terintegrasi dengan baik adalah penting untuk tugas-

tugas pemecahan masalah secara online karena membantu mahasiswa memahami

masalah dan tetap dalam domain pengetahuan karena mereka memecahkan masalah

(4) Interaksi secara individu

Dua jenis interaktivitas diidentifikasi di belajar dimediasi komputer, a)

interaksi kognitif atau individu (interaksi dengan konten) dan b) interaksi sosial atau

interpersonal. Sementara kedua jenis interaktivitas yang penting untuk belajar,

pandangan konstruktivis sosial dari mengetahui menekankan peran penting dari

dimensi manusia interaktivitas dalam belajar. Menurut konstruktivis sosial, belajar

adalah konstruksi sosial yang dimediasi oleh bahasa dan wacana sosial. Pandangan

sosial mengetahui menyoroti gagasan bahwa melalui pembangunan hasil bersama

atau artefak bahwa mahasiswa terlibat dalam siklus perkembangan yang

memfasilitasi perubahan konseptual. Pandangan sosial interaktivitas menekankan

pada lingkungan belajar kolaboratif dan kooperatif dan mendorong dialog aktif

Dalam lingkungan seperti itu mahasiswa yang terkena berbagai perspektif yang

berfungsi untuk membentuk perancah kognitif sebagai mahasiswa pertukaran

informasi dengan satu sama lain, orang-orang di sekitar mereka dan para ahli di

lapangan. Selanjutnya, pandangan sosial interaktivitas menggunakan pembelajaran.

berbasis masalah sebagai prosedur instruksional untuk mentransfer kontrol atas


109

Proses belajar dari dosen kepada mahasiswa dan untuk struktur dan mendukung

serangkaian hati-hati direncanakan kegiatan pembelajaran kolaboratif, yang

merupakan isi dan tugas dari instruksi secara online

(5) Dukungan Emosi

Emosi, perasaan, motivasi, dan sikap merupakan bagian integral dari

pengembangan intelektual dan sosial. Sebagai komunitas, mahasiswa harus saling

peduli dan mengerti perasaan masing-masing anggota. Selanjutnya, dalam rangka

untuk mempertahankan hubungan positif dengan satu sama lain, anggota komunitas

harus memiliki perasaan atau empati untuk satu sama lain dan memberikan

dukungan emosional bila diperlukan. Dukungan emosional ini bisa dalam bentuk

memberikan umpan balik, berbagi frustrasi, memberikan dorongan atau

menawarkan bantuan dan petunjuk.

Dengan demikian, diasumsikan bahwa dalam lingkungan belajar kolaboratif

dan percakapan, dukungan emosional akan disediakan bersama dengan dukungan

sosial dan kognitif. Selain itu, diasumsikan bahwa lingkungan pembelajaran

berbasis masalah menyediakan struktur untuk menghasilkan transaksi antara

pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi. Dalam lingkungan seperti itu relevansi

pribadi dirangsang oleh masalah otentik tanpa menurunkan tingkat kompleksitas

kognitif.

h) Model WisCom Cycle of Inquiry module design

Gunawardena. et al (2006) mengusulkan Model WisCom untuk pembelajaran

kolaboratif. Model WisCom memberikan kerangka desain untuk mengembangkan

kebijaksanaan komunitas didukung oleh inovasi pengetahuan, mentoring, dan dukungan

mahasiwa yang memungkinkan untuk transformasi perspektif sebagai tujuan akhir, yang

terjadi baik di tingkat individu dan masyarakat. Bagian berikutnya membahas masing-

masing dimensi dari WisCom. Model WisCom adalah berpusat masyarakat. Lingkungan

belajar yang berpusat masyarakat menawarkan perspektif baru tentang pentingnya

menciptakan lingkungan yang mendukung di mana mahasiswa dapat menavigasi proses


110

belajar, berkolaboratif, dan menjadi kolektif bijaksana. tujuan WisCom adalah untuk

menciptakan sebuah komunitas yang bijaksana yang berbagi misi yang sama, terlibat

dalam refleksi dan dialog, percaya pada saling percaya, menghormati, dan komitmen,

peduli untuk kebaikan bersama, dan memberdayakan anggotanya. Masyarakat

memberikan kesempatan bagi peserta untuk berinteraksi, menerima umpan balik, dan

belajar dan tumbuh bersama. Bakat dari masyarakat sebagai nilai inti dari masyarakat

kebijaksanaan, di mana bakat (atau konsep Barat kecerdasan) didefinisikan sebagai

kemampuan individu untuk berkontribusi atau "memberikan kembali" ke kesejahteraan

seluruh masyarakat. orang-orang berbakat yang memiliki keahlian khusus atau

kemampuan, sementara orang-orang berbakat memiliki keterampilan atau kemampuan

yang sama dan juga mampu mengajar atau berbagi bakat ini dengan orang lain. Individu

terlihat dalam hubungan dengan masyarakat. kebijaksanaan tampaknya merupakan

integrasi kognisi, mempengaruhi, dan reflektifitas. Pembelajaran reflektif merupakan

aspek penting dari perspektif transformasi, dan tujuan instruksional dari model WisCom.

Model ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.12 Wiscom Cycle Of Inquiry Module Design (Gunawardena. et al.,


2006)
111

Secara rinci model tersebut diuraikan sebagai berikut:

Langkah Kesatu diadaptasi dari Bransford et.all untuk konteks pembelajaran

kolaboratif, umumnya mengorganisir sekitar tantangan belajar. Tantangan belajar ini

meliputi tiga tugas desain penting:

(1) Merancang tugas kinerja otentik terbuka (misalnya, berbasis kasus atau skenario

berbasis masalah untuk kursus jangka pendek, atau tantangan berbasis proyek lebih

lama peristiwa durasi belajar). Topik yang dipilih harus benar-benar memungkinkan

mahasiswa untuk mendapatkan keuntungan dengan mendengar pendapat dan

pengalaman masing-masing.

(2) Menjamin tugas kinerja sesuai dengan kapasitas saat ini mahasiswa dalam domain

konten dan mendukung pembelajaran kolaboratif.

(3) Merancang model komunikasi yang mempromosikan kreatif, namun tertib, diskusi

dan memberikan masukan; dan mendukung kehadiran sosial dan penilaian formatif

sedang berlangsung.

Langkah Kedua. Pada tahap ini selama eksplorasi awal, peserta mewujudkan skema

makna saat ini dan mulai menghasilkan ide-ide awal untuk mengatasi

tantangan.Pentingnya tahap ini dalam menciptakan budaya masyarakat yang memiliki

kebijaksanaan tidak bisa terlalu ditekankan. Tingkat identitas masyarakat yang terbagi

dan pemberdayaan persepsi anggota seacara individu dibuat di sini sehingga berdampak

pada proses pembelajaran transformasional sepanjang siklus penyelidikan.

Desainer harus mendorong: identitas bersama yang dapat dikembangkan dengan

menggunakan teknik kehadiran sosial tujuan dan misi bersama; peluang untuk refleksi

kritis, dialog, munculnya, perubahan, dan transformasi; lingkungan yang aman bagi

pertukaran beragam pandangan dan berbagai perspektif; memelihara subkelompok yang

lebih kecil; saling percaya, keintiman, rasa hormat, dan komitmen; ruang untuk interaksi

sosial; dan peduli untuk kebaikan bersama anggota. Moderator / fasilitator belajar (baik

itu instruktur atau mahasiswa) memainkan peran penting dalam membangun sebuah

komunitas kebijaksanaan oleh memanusiakan environ pembelajaran online.


112

Dalam rangka memfasilitasi konstruksi sosial pengetahuan, moderator harus

mendorong peserta untuk menghasilkan ide-ide, menghubungkan mereka, dan

meringkas diskusi.

Ringkas dapat berupa sintesis sumatif yang berisi daftar dan menghubungkan

ide-ide yang dihasilkan, atau sintesis permintaan-berpose yang menimbulkan pertanyaan

untuk membantu peserta menemukan hubungan antara ide-ide. Tugas desain di WisCom

meliputi:(a) berkomunikasi jelas "harapan konteks" yang mempromosikan kesetaraan

sosial dan komitmen untuk tujuan pembelajaran umum. Menyediakan "aturan dasar,"

kewajiban respon (atau rekomendasi), harapan peran yang jelas, dan protokol

komunikasi yang mendukung lingkungan sosial yang demokratis dan menghormati akan

membantu mahasiswa dalam merumuskan ide awal dan membuat kepercayaan diri

dalam upaya selanjutnya untuk berkomunikasi ide kepada orang lain. (b) Menetapkan

sistem untuk memilih "perekam" untuk mengatur masukan peserta awal dan sistem

pengindeksan yang akan membedakan masukan ini dari tahap selanjutnya dari proses

pembelajaran. (c) Menetapkan siklus umpan balik yang mencakup sering klarifikasi,

mendorong partisipasi, "tenun" dan merangkum pengalaman dan komentar,

mengungkapkan konsensus, dan manfaat kolaboratif. (d) Merancang sebuah metode

evaluasi untuk menilai "pra-pengetahuan" sebagai dasar untuk mengukur "nilai tambah"

keuntungan belajar dari waktu ke waktu.

Langkah Tiga. Peserta berkonsultasi sumber yang relevan dengan tantangan (s)

termasuk penelitian eksternal dan kemampuan untuk belajar dari para ahli konten dan

mentor. Skema yang berarti memperluas sebagai mentor memperkenalkan poin dan

perspektif yang tidak dipertimbangkan oleh peserta dalam eksplorasi awal mereka

penting. Ide-ide baru diuji terhadap asumsi dan kepercayaan yang dianut sebelumnya.

Seorang mentor tidak perlu tahu segalanya, tapi tahu bagaimana mengakses sumber

daya yang relevan dan tepat, dan bersedia untuk menjadi teman dan penasihat.. Rekan

mentoring efektif jika pemula dan ahli mahasiswa dapat dicocokkan dengan hati-hati.
113

Dalam aplikasi model WisCom, mahasiswa yang telah mengambil kursus sebelumnya

menjabat sebagai mentor relawan. Rancangan tugas meliputi : (a) memilih mentor

dengan tingkat yang sesuai keahlian konten; (b) mentor pelatihan dalam strategi

bimbingan belajar dan mentor mendorong untuk memulai dan mempertahankan dialog

publik baik di daerah diskusi serta pribadi melalui email; (c) menjamin ketersediaan

diakses dan tepat waktu dari sumber eksternal yang sesuai termasuk posting artikel, link,

dan sumber daya yang disarankan Web; (d) pelaksanaan monitoring dari model

komunikasi dan siklus umpan balik; dan (e) menyediakan sebuah metode untuk arsip

dan merekam ide-ide, sumber daya, dan perspektif ditemukan paling berguna untuk para

peserta. Dicari, database diindeks adalah alat yang berguna untuk mengelola informasi

ini dan dapat diakses di masa depan sebagai siklus penyelidikan mengembang.

Langkah Keempat. Selama refleksi dan reorganisasi, mahasiswa terlibat dalam proses

refleksi diri yang kritis dan reorganisasi struktural yang menginternalisasi proses

pembelajaran. Individu merevisi tua atau mengembangkan asumsi baru. Setelah evaluasi

dan revisi-yang mungkin termasuk subset dari rekan-rekan-mahasiswa dapat berbagi

perspektif baru. Namun, kesediaan untuk berbagi proporsional dengan yang dirasakan

tingkat individu pemberdayaan anggota dalam komunitas kebijaksanaan yang terjadi

sebelumnya. Selain pentingnya membangun masyarakat, rekaman inovasi pengetahuan

dan akses mengambil tempat terkemuka sebagai pertimbangan desain. Fasilitator belajar

'tugas desain reflektif meliputi: (a) menyusun metode (atau ruang virtual) yang

mendukung mahasiswa disengaja dan diarsipkan refleksi diri seperti jurnal pembelajaran

pribadi dan laporan diri; dan (b) menetapkan metode untuk kelompok-kelompok kecil

untuk terlibat dalam reflektif "pra-publik" dialog

Langkah Kelima. Dalam negosiasi dan pelestarian, anggota masyarakat menyatukan

hasil tugas kinerja. Alternatif yang layak dipertimbangkan, diprioritaskan, dan

diselesaikan dalam serangkaian negosiasi antara anggota masyarakat. Artefak

pengetahuan diciptakan dan dipelihara bahwa koneksi dukungan seluruh domain belajar.
114

Sekali lagi, mentor melayani peran penting dalam melegitimasi komoditas pengetahuan

diciptakan selama acara pembelajaran. Di sini, desainer: (a) Desain metode untuk

meringkas penciptaan pengetahuan. Pemetaan konsep, matriks, dan diagram visual alat

pelestarian berguna. Menyediakan aplikasi perangkat lunak dan pelatihan peserta untuk

mempekerjakan mereka selama fase ini sangat penting dalam memastikan bahwa

pengetahuan diaktifkan dicatat sebagai dasar untuk akses lebih lanjut dan pengambilan.

(b) Menyediakan skema organisasi untuk arsip pengetahuan baik teknis dan non-teknis

diindeks dengan cara yang mendukung pengambilan mudah dan pencarian masa depan.

(c) Mengimplementasikan alat pasca-pengalaman untuk perbandingan pengetahuan

(Langkah 5) untuk eksplorasi awal (Langkah 2). Selama dua langkah terakhir,

perubahan proses kognitif mahasiswa, dikombinasikan dengan alat yang digunakan

untuk arsip komoditas pengetahuan, memberikan mungkin kontras terbesar untuk

WisCom sebagai metodologi pembelajaran dan pengajaran baru. Dengan desain yang

terampil yang disediakan oleh instruktur, dan sebagai mahasiswa maju melalui zona

pengembangan proksimal Vygotski, kinerja mahasiswa adalah scaffolded dan

masyarakat meluas pemahamannya. Berulang, sifat dinamis dari proses pembelajaran

transformatif dalam komunitas kebijaksanaan seperti itu terjadi di salah satu acara

belajar diilustrasikan dalam Gambar 1. Namun, sebagai mahasiswa memperoleh

keterampilan yang diperlukan untuk navigasi dalam sebuah komunitas kebijaksanaan

siklus penciptaan pengetahuan, akses, memungkinkan, dan pelestarian melebar. Artefak

yang dinegosiasikan dan diawetkan berfungsi sebagai batu loncatan untuk siklus lanjut

penyelidikan. Sebagai tantangan meningkatkan begitu kapasitas mahasiswa untuk

mengatasi tingkat yang lebih besar kompleksitas. Hasilnya: sebuah spiral yang terus

melebar penyelidikan seluruh program pendidikan. Pertumbuhan kebetulan dalam

kapasitas untuk berhasil menavigasi dalam domain konten memungkinkan masyarakat

untuk mengatasi tingkat yang lebih tinggi dari tantangan dan mencapai everincreasing

keuntungan pembelajaran transformasional.


115

2. Rancangan Model yang dikembangkan

Rancangan model yang dikembangkan pada penelitian ini adalah mengadopsi

model yang dimodifikasi yaitu model Borg dan Gall, ADDIE dikombinasikan dengan

Model Reid. Pembahasan pada bagian ini meliputi analisi terhadap Komponen Dasar

Model Reid, Komponen Model reid Reid et al. dalam Pritchard (2009). Rancangan

model pembelajaran kolaboratif online berbasis situs jejaring sosial yang dihasilkan

melalui penelitian dan pengembangan ini divisualisasikan pada gambar 2.15.

Providing
Preparation
pre-requsite skills

Creation of
Engagement
a Facebook group

Putting up
Exploration
Announcements

Sharing
Transformation
Course Resources

Organizing Tutorial Sessions


Presentation
Conducting Discussions

Other Administrative
Reflexion
Matters

Gambar. 2.13.Model Pembelajaran Kolaboratif Online Berbasis Situs Jejaring Sosial

(SMOCL)

(1) Tahap Persiapan (Preparation)

Pada tahap ini, dosen membekali mahasiwa dengan keterampilan prasyarat yang

dibutuhkan untuk melaksanakan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran

kolaboratif online berbasis situs jejaring sosial Facebook yang mencakup: membuat
116

akun,membuat group, cara menulis dan mengirim pesan, menjawab pesan,mengenali

dan menggunakan simbol, dan mengirim media (attachment)

(2) Tahap Pelibatan (Engagement)

Pada tahap ini, dosen melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan

kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Lalu, mahasiswa

dikelompokkan yang di dalamnya terdapat mahasiswa terpandai, mahasiswa sedang, dan

mahasiswa yang rendah prestasinya. Selanjutnya dosen membuat grup Facebook

sebelum awal perkuliahan. Akses Facebook diatur ke mode terbuka untuk publik (Open

to Public) sehingga akses tidak memerlukan peserta untuk menjadi teman. Setelah

semua mahasiswa bergabung. Group Facebook kemudian ditutup sehingga menutup

akses pengunjung yang bukan anggota kelas untuk mengakses secara acak (random).

Kegiatan yang dilakukan mahasiswa dalam kelompok Facebook pada langkah ini antara

lain: mengatur profil(profile), memasang pengumuman, berbagi sumber daya,

mengorganisir sesi pertemuan diskusi online.

(3) Tahap Eksplorasi (Exploration)

Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu dosen mulai memberi tugas dan menyediakan

materi perkuliahan dalam berbagai format seperti file teks, presentasi PPT, atau

dokumen PDF, serta video melalui dinding Facebook ( Facebook Wall), misalnya

dengan memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan

masalah yang diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk

menyumbangkan kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya. Dinding

Facebook memungkinkan publikasi pengumuman, yang meliputi dokumen, hyperlink,

gambar dan video. Dinding juga akan memungkinkan mahasiswa untuk berbagi sumber

daya dan menerima umpan balik dari dosen atau mahasiswa lain di dalam group. Fitur

lain yang membantu pada wall ini adalah setiap kali topik diskusi, dokumen atau gambar
117

dibuat dalam kelompok Facebook, maka secara otomatis akan muncul di dinding, yang

akan membuat kemudian facebook akan mengirimkan pesan (notifikasi) kepada setiap

anggota group. Pada fase ini terjadi pembelajaran kolaboratif ada tahapan ini dosen

mulai membagi tugas misalnya berupa problematika yang berkaitan dengan perkuliahan

yang mesti dicarikan solusinya oleh kelompok tersebut.dan menyediakan materi

perkuliahan dalam berbagai format seperti file teks, presentasi PPT, atau dokumen PDF,

serta video.Berbekal tugas dan bahan yang diberikan semua anggota kelompok harus

berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun

gagasannya. Pada fase ini dan tahap Transformasi terjadi pembelajaran kolaboratif

(4) Tahap Transformasi (Transformation)

Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa, lalu

setiap anggota saling bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu,

mahasiswa yang semula mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat

menaikkan prestasinya karena adanya proses transformasi dari mahasiswa yang

memiliki prestasi tinggi kepada mahasiswa yang prestasinya rendah.Pada langkah ini,

dosen

(5) Tahap Presentasi (Presentation)

Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok

mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan

presentasi, maka kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil

presentasi tersebut, dan menanggapi. Tahap presentasi mencakup dua kegiatan utama,

yaitu mengorganisasikan sesi tutorial dan melakukan diskusi.Pada langkah ini, dosen

juga memantau partisipasi mahasiswa yang mengunjungi group, yang disimmpan secara

otomatis oleh Facebook setiap kali mereka mengunjungi group.


118

Langkah berikutnya pada tahap ini adalah pelaksanaan diskusi online menggunakan

ruang umpan balik (feedback) dan ruang diskusi (discussion) dimana dosen hanya

berperan sebagai fasilitator.

(6) Tahap Refleksi (Reflection)

Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar

kelompok. Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan, tanggapan

ataupun sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang diajukan oleh

kelompok lain, anggota kelompok harus bekerjasama secara kompak untuk menanggapi

dengan baik. Pada akhir diskusi dosen bersama mahasiswa.


119 
 
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penjelasan pada bagian ini akan berfokus pada Tempat dan waktu penelitian,

Desain penelitian, rancangan pengembangan model, dan teknik analisis data

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bertempat di UIN SMH Banten. Adapun yang menjadi objek

penelitian disini adalah mahasiswa pada jurusan Bahasa Inggris. Pemilihan mahasiswa

jurusan Bahasa Inggris ini dikarenakan pada umumnya mahasiswa pada jurusan bahasa

inggris karena mereka telah memiliki kemampuan atau konsep dasar tentang social

media, kolaborasi dan kelengkapan perangkat mobil, adanya jaringan internet. Sehingga

diharapkan proses penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan tidak terkendala dengan

masalah umum dan teknis.

Penelitian ini dilaksanakan pada awal semester ganjil 2018. Penelitian pendahuluan

dilakukan di bulan Mei, pengembangan draft produk bulan Januari sd Maret, Uji pakar

April dan Mei, Revisi Juni,One to one student Juli, evaluasi Small group September,

Field trial November sampai dengan Pebruari 2019 Pengambilan data hasil belajar akhir

bulan Maret 2019.

B. Desain Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan pada penelitian ini adalah

research and development (R&D) sebagaimana dikemukakan Richey dan Klein (2007:

“the systematic study of design, development and evaluation processes with the aim
of establishing an empiricalbasis for the creation of instructional and non-
instructional products and tools and new or enhanced models that govern their
development”

Agar dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang permasalahan daan

pertanyaan penelitian, peneliti juga juga memadukan pendekatan penelitian campuran

(mixed-methods) sebagai pendekatan analisis data penelitian, karena data yang


120

dihasilkan pada penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Asumsi

dasarnya adalah penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif, secara gabungan,

memberikan pemahaman yang lebih baik tentang permasalahan daan pertanyaan

penelitian daripada jika sendiri-sendiri (Creswell & Clark, 2015).

Secara garis besar desain penelitian pada tahapan Pengembangan Model

Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial pada mata kuliah Cross-

Cultural Undestanding didasarakan pada model Borg and Gall, ADDIE dan Model

Reid.

Borg and Gall menjelaskan 10 langkah penelitian pengembangan sebagai berikut: 1)

Penelitian dan pengumpulan data (research and informating collecting), 2) Perencanaan

(Planning), 3) Pengembangan draft produk (develop preliminary form of product), 4)

Uji coba lapangan awal (main product revision), 5) Merevisi hasil uji coba (main

product revision), 6) Uji coba lapangan (main field testing), 7) Penyempurnaan produk

hasil uji lapangan (operational product revision), 8) Uji pelaksanaan lapangan

(operational field testing ), 9) Penyempurnaan produk akhir (final product revision), dan

10) Diseminasi dan implementasi. (Borg & Gall, 2002) Dari Sepuluh langkah

pengembangan yang dikemukakan oleh Borg and Gall di atas yang dipakai dalam

penelitian pengembangan ini adalah langkah 1, 2, dan 3 yang masuk kedalam

Pendahuluan yaitu: Penelitian dan pengumpulan data, dan perencanaan. Sedangkan

langkah-langkah pengembangannya menggunakan model ADDIE dan Model Reid.

C. Rancangan Pengembangan Model

Penelitian dan pengembangan di sini mencakup proses pengembangan dan validasi

produk.Model desain instruksional untuk online learning ini merupakan modifikasi

desain instruksional ADDIE yang disesesuaikan dengan karakteristik online learning.

Model tersebut adalah sebagaimana bagan berikut:


121

Gambar 3.1 Model Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Situs Jejaring Sosial
(Diadaptasi dari Borg and Gall, ADDIE, Reid Model)

Peneliti menyajikan rancangan atau desain model dalam bentuk bagan (flowchart),

disertai penjelasan alur yang ada pada bagan. Model ini dirancang dengan menggunakan

modifikasi dari model Borg and Gall, Addie dan Reid Model

1. Investigasi awal (Preliminary Investigation)

Bagian ini terdiri dari kajian konseptual dan studi lapangan bertujuan untuk mengkaji

hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas komponen-komponen

yang akan dikembangkan.


122

Langkah pertama ini meliputi analisis kebutuhan, studi pustaka, studi literatur,

penelitian skala kecil dan standar laporan yang dibutuhkan. Untuk melakukan analisis

kebutuhan pada beberapa kriteria yang terkait dengan urgensi pengembangan produk

dan pengembangan produk itu sendiri, juga ketersediaan SDM yang kompeten dan

kecukupan waktu untuk mengembangkan. Adapun studi literatur dilakukan untuk

pengenalan sementara terhadap produk yang akan dikembangkan, dan ini dilakukan

untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan

pengembangan produk yang direncanakan. Sedangkan riset skala kecil perlu dilakukan

agar peneliti mengetahui beberapa hal tentang produk

2. Analisis (Analysis)

Langkah-Langkah Analisis : a) Validasi kesenjangan kinerja : Mengukur kinerja

aktual, Menetapkan kinerja yang ingin dicapai, Mengidentifikasi penyebab; b)

Merumuskan tujuan instruksional : Menggunakan taksonomi Bloom dan taksonomi lain;

c) Mengidentifikasi karakteristik mahasiswa : Kemampuan, pengalaman, motivasi,

Sikap dan Lain-lain; d) Menganalisis sumberdaya dan Ketersediaan Teknologi

3. Desain (Design)

Desain merupakan tahap setelah proses analisis dimana tahap ini adalah tidak lanjut

atau kegiatan inti dari langkah analisis. Desain pembelajaran juga dikatakan sebagai

rancangan dalam proses pembelajaran. Desain disusun dengan mempelajari masalah,

kemudian mencari solusi melalui identifikasi dari tahap analisis kebutuhan pada proses

sebelumnya. Salah satu tujuan dari tahap ini adalah menentukan strategi pembelajaran

yang tepat agar mahasiswa dapat mencapai tujuan dalam proses pendidikan, khususnya

dalam mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan dalam proses pembelajaran

Tujuan tahap ini adalah memverifikasi kinerja yang akan dicapai dan pemilihan

metode tes yang sesuai. Langkah-langkah umum yang ditempuh dalam mendisain
123

pembelajaran adalah: 1.) Menyusun daftar tugas-tugas; 2.) Menyusun tujuan kinerja; 3.)

Menyusun strategi tes; 4.) Menghitung investasi/biaya yang dikeluarkan. Komponen

Disain yang digunakan berupa Diagram susunan tugas, Perangkat pelengkap tentang

tujuan pembelajaran, Perangkat tes lengkap, Strategi Tes, Proposal investasi/biaya yang

dikeluarkan.

4. Pengembangan (Develop)

Bagian ini terdiri dari tiga komponen yaitu Menyusun alat penilaian hasil belajar,

Mengembangkan strategi pembelajaran kolaboratif, Mengembangkan bahan

pembelajaran

a. Menyusun alat penilaian hasil belajar.

Alat penilaian hasil belajar berupa instrumen test untuk mata kuliah Cross-Culture

Undestanding yang terdiri dari 200 butir item soal dengan bentuk multiple choice,100

butir test untuk pe-test dan 100 soal untuk post-test

b. Mengembangkan strategi pembelajaran kolaboratif

1) Preperation. Tahap pertama model pembelajaran kolaboratif online berbasis

jejaring sosial didahului dengan mempersiapkan dosen dan mahasiswa dengan

keterampilan prasyarat (pre-requisite skills) yang dibutuhkan dalam

melaksanakan proses pembelajaran

2) Engagement. Setelah mahasiswa memiliki kemampuan yang memadai dalam

tahapan persiapan maka pengajar melakukan upaya pemikataan terhadap

mahasiswa melalui tahapan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan

kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Lalu, mahasiswa

dikelompokkan yang di dalamnya terdapat mahasiswa terpandai, sedang, dan

mahasiswa yang rendah prestasinya.


124

3) Exploration. Pada tahapan ini pendidik mulai membagi tugas, misalnya berupa

problematika yang berkaitan dengan perkuliahan yang mesti dicarikan solusinya

oleh kelompok tersebut. Berbekal tugas yang diberikan semua anggota dalam

kelompok harus mengupayakan kontribusi dalam keilmuan ataupun gagasannya.

4) Transformation merupakan fase perubahan yang ingin diraih dalam

instruksional. Perubahan ini bisa terjadi di kalangan mahasiswa dengan saling

bertukar gagasan atau pendapat melalaui diskusi kelompok.Dengan demikain

mahaiswa yang semula capaian dalam pembelajaran masih rendah, seacara

perlahan akan meningkat melalaui proses transformasi dari mahaiswa yang

memiliki kemampuan tinggia atau prestasi tinggi terhadapa kepada mahasiaswa

yang capaian pengetahuan atau prestasinya masih rendah.

5) Presentation adalah tahap penyajian gagasan atau solusi terhadap persoalan

yang sudah didiskusikan. Kegiatan ini dilakukan setelah melakukan diskusi

kemuydian menyusun laporan, kemudian setiap kelompok menyajikan hasil

gagasan mereka. Ketiak satu kelompok menyajikan presentasi, kelompok lain

mesti mencermati, mengamati, dan mengkomperasikan hasil penyajian mereka

kemudian memberikan tanggapan

6) Reflection. Setelah melakukan penyajian hasil diskusi, kemudia terjadi kegiatan

tanya-jawab antar kelompok. Kelompok yang mepresentasikan makalahnya akan

menerima tanggapan ataupun sanggahan dan pertanyaan, dari kelompok lain.

Melalui sejumlah pertanyaan yang diberikan kelompok lain, maka setiap anggota

dalam kelompok mesti bekerjasama untuk merespon dengan sebaik mungkin

c. Mengembangkan bahan instruksional

Dalam mengembangkan bahan pembelajaran, maka tujuan dari tahapan ini

dapat melahirkan dan memvalidasi instruksional material melalui (1) pembuatan isi;
125

(2) Menseleksi dan mendesain media pendukung; (3) Merancang panduan untuk

para mahasiswa; (4) Membentuk panduan untuk dosen; (5) Menyusun revisi

formatif; (6) Membentuk pilot tes atau tes awal dan tahapan menyelenggarakannya.

5. Implementasi ( Implement)

Perancanaan pembelajaran yang sudah dirancang tidak dapat diketahui hasilnya

jika tidak terdapat sebuah kegiatan atau tindakan. Dengan adanya kegiatan tersebut

merasa sangat bermanfaat sebab instryuksional akan melahirkan hal baru berupa

manfaat yang dapat mengahsilkan pengalaman sehingga dapat dijadikan acuan

apabila telah melahirkan suatu hasil. Maka penerapan dianggap perlu, sebab dengan

adanya implementasi yang berarti suatu rencana dapat dibuktikan kehandalannya.

Implementasi dan Evaluasi merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan

dalam model ADDIE. Langkah ini meruapakan satu kesatuan dengan langkah

sebelumnya sebagai pelengkap dan dapat berpengaruh ketika pembelajaran

dilaksanakan. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan dan

mempromosikan ke mahasiswa serta ke tenaga pendidik dalam rangka menyiapkan

diri ketika terjadi kegiatan pembelajaran.

Dalam model ADDIE pada tahap Implementasi bahan pembelajaran memiliki

tujuan (1) Memandu mahaiswa untuk meraih kompetensi yang hendak dicapai; (2)

Memberikan jaminan bahwa pemecahan masalah untuk solusi untuk mengatasi

kesenjangan hasil belajar yang dialami mahasiswa. (3) Memastikan bahwa pada

akhir kegiatan instruksioanl, Mahasiswa perlu memiliki kecakapan bidang

pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan prilaku sesuai dengan yang dibutuhkan.

6. Evaluasi (Evaluate)

Evaluasi adalah pilihan sistematis atas nilai, nilai, dan signifikansi subjek,

menggunakan kriteria yang ditentukan oleh standar perencanaan keberhasilan suatu

rencana pembelajaran. Tujuan utama evaluasi, selain mendapatkan wawasan tentang

sebelumnya atau yang sudah ada, adalah untuk memudahkan refleksi dan membantu
126

dalam mengubah masa depan. Evaluasi sering digunakan untuk mengkarakterisasi

dan menilai subyek yang diminati dalam berbagai perusahaan manusia, termasuk

senior, peradilan pengadilan, yayasan, organisasi nirlaba, pemerintah, perawatan

kesehatan, dan layanan manusia lainnya. Ini jangka panjang dan dilakukan pada

akhir periode waktu.

Desain pembelajaran yang sudah dibuat secara ajag akan melalui prosedur

pengembangan model ADDIE ini berakhir pada tahapan evaluasi. Evaluasi adalah

tahap dimana kegiatan yang dilakukan adalah bermkasud untuk mendapatkan

informasi tentanga kesuksesan sebuah desain pembelajaran. Bebrapa kegiata yang

dilakukan guna mensukseskan proses ini yaitu tidak hanya sekedar melakukan tahap

ini saja namun kegiatan evaluasi dapat juga terjadi pada proses yang sudah

dilakukan sebelumnya. Ketika pelaksanaan kegiatan evaluasi yang perlu mendapat

memperhatian adalah bahwa sejumlah tujuan yang hendak diraih saat awal desain

mesti selalu mendapat perhatian agar evaluasi tidak merembet kemana mana, karena

suatu evaluasi memiliki indikator untuk mengetahui tingkat ketercapaian batas yang

sudah ditentukan dari kegiatan. Dengan demikian diperlukan informasi dan data-data

yang akan dievaluasi guna kelancaran proses evaluasi.

Tahapan utama dari kegiatan evaluasi mencakup (1) Menentukan kriteria evaluasi;

(2) menseleksi alat evaluasi; (3) Mengadakan evaluasi itu sendiri. Hasil dari kegiatan

evaluasi adalah perencanaan evaluasi. Beberapa komponen perencanaan evaluasi

mencakup ringkasan mengenai tujuan, instrument pengumpul data, komitment

terhadap waktu baik secara individu maupun kelompok pada etiap jenjang evaluasi;

Maka setiap satu set kriteria penilaian evaluasi amak dilengkapi dengan satu set alat

untuk evaluasi.

a. Uji Coba dan Revisi Model

Terkait dengan rekomendasi ini, dalam proses pengembangan model akan dilakukan

evaluasi formatif secara bertahap, mulai dari evaluasi teman sejawat, kajian ahli, dan
127

juga evaluasi satu-satu terbatas dari uji lapangan. Melalui tahap ini nantinya akan

diperoleh model pembelajaran yang lebih baik, karena telah dilakukan perbaikan atas

kelemahan-kelemahan pada masing-masing komponen pembelajaran. Evaluasi

(Evaluation) adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu

objek. Kegunaan evaluasi untuk menunjukan peranan yang dijalankan dalam rangka

pencapaian tujuan.

1) Telaah Pakar

Pada tahap ini model pembelajaran Pembelajaran Berbasis Situs Jejaring Sosial

yang dikembangkan dievaluasi oleh ahli materi, ahli desain instruksional, ahli bahasa

dan ahli desain grafis. Setiap bidang akan dinilai oleh satu orang pakar. Sedangkan

instrumen pada tahap evaluasidi kembangkan dalam rangka mengevaluasi setiap

produk yang dikembangkan pada tahap pengembangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada awal semester ganjil 2018. Penelitian

pendahuluan dilakukan di bulan Januari, pengembangan draft produk bulan Januari sd

Maret, Uji pakar April dan Mei, Revisi Juni,One to one student Juli, evaluasi Small

group September, Field trial November sampai dengan Pebruari 2019 Pengambilan

data hasil belajar akhir bulan Maret 2019. Untuk lebih rincinya jadwal dapat dilihat

pada lampiran.

Pelaksanaan evaluasi formatif melalui uji coba satu-satu dengan pakar

dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2018. Jumlah pakar yang dilibatkan pada

evaluasi tahap ini sebanyak 4 orang yaitu: 1) pakar desain pembelajaran; 2) pakar

materi; 3) pakar media/desain grafis; dan 4) pakar bahasa. Masukan/mendapat dari

pakar ini digunakan untuk melakukan revisi draft bahan pembelajaran yang

dikembangkan. Informasi dan masukan dari pakar yang digunakan pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a) Pakar Desain Pembelajaran

Nama :Dr.Hidayatullah,.M.Pd
128

Jabatan : Ketua LPM UIN SMH Banten

Tanggal evaluasi : 04 April 2018

Hasil evaluasi dengan pakar desain pembelajaran terhadap draft bahan

pembelajaran untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN

Sultan Maulana Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang

perlu diperbaiki, yaitu:

(1) Perumusan tujuan instruksional umum (TIU) perlu disempurnakan,

karena ada perumusan TIU yang belum tepat seperti penggunaan kata

memahami. Inkonsisten perumusan tujuan, Penggunaan kata operasional yang

tepat dapat menjadi petunjuk pada perumusan tujuan instruksional khusus.

(2) Kesesuaian antara TIU dan TIK, perlu diperbaiki karena TIK masih banyak

yang tidak merujuk ke TIU

(3) Kesesuai materi dengan TIK perlu diperbaiki, karena banyak isi bahan ajar

yang tidak mendukung TIK

(4) Contoh–contoh yang terdapat dalam bahan ajar perlu diperbaiki karena kurang

menarik mahasiswa

(5) Evaluasi/ test belum mengacu pada tujuan/kompetensi yang ditetapkan

Berdasarkan masukan dari pakar desain pembelajaran, maka peneliti

melakukan perbaikan bahan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi:

(1) Penyempurnaan Perumusan tujuan instruksional umum (TIU) dengan

menggunakan kata operasional.

(2) Menyesuaikan perumusan antara TIU dan TIK dalam setiap unit modul

(3) Memperbaiki bahan ajar yang seuaia dengan dengan TIK

(4) Memperbaiki contoh –contoh yang terdapat dalam bahan ajar

(5) Memperbaiki evaluasi/ test agar mengacu pada tujuan/kompetensi yang

ditetapkan

b) Pakar Materi
129

Nama : Doktor Naf’an Tarihoran

Jabatan : Wakil Direktur Pasca Sarjana UIN SMH Banten

Tanggal evaluasi : 4 Mei 2018

Hasil evaluasi dengan pakar materi terhadap draft bahan pembelajaran untuk

mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana

Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang perlu diperbaiki,

yaitu:

(1) Perlu penyempurnaan Konsep-konsep cakupan disiplin ilmu cross cultural

understanding, karena bebebrapa Konsep-konsep belum sesuai dengan cakupan

disiplin ilmu cross cultural understanding,.

(2) Perlu memperbaiki Konsep yang ada dalam bahana ajar karena masih kurang

relevan dengan keadaan sekarang.

(3) Keakurasian Konsep/materi yang dijelaskan dalam bahan ajar belum tepat, perlu

diperbaiki agar keakurasian dapat dicapai

(4) Konsep-konsep yang disusun belum disusun secara sistematis, sehingga sulit

dipahami secara menyeluruh

Berdasarkan masukan dari pakar materi, maka peneliti melakukan perbaikan

bahan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi:

(1) penyempurnaan Konsep-konsep cakupan disiplin ilmu cross cultural

understanding.

(2) memperbaiki Konsep yang ada dalam bahana ajar agar relevan dengan keadaan

sekarang.

(3) Memperbaiki keakurasian Konsep/materi yang dijelaskan dalam bahan ajar

(4) Menyusun konsep-konsep yang disusun secara sistematis

c) Pakar Media/Desain Grafis

Nama : Dr. Menul Teguh Riyanti Sukarno,M.Pd

Jabatan : Wadek 2 FSRD Universitas Trisakti


130

Tanggal evaluasi : 15 April 2018

Hasil evaluasi dengan pakar media/desain grafis terhadap draft bahan

pembelajaran untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN

Sultan Maulana Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang

perlu diperbaiki, yaitu:

(1) Perbaikan gambar sampul, dan gambar lain yang disajikan pada bahan

pembelajaran.Gambar yang disajikan pada bahan pembelajaran semestinya

harus jelas untuk memudahkan mahasiswa melihat dan mempelajari.

(2) Perlunya memasukan gambar yang sesuai dengan konteks materi bahan ajar

agar dapat mendukung penyampain pesan materi, misalnya gambar orang

Indonesia untuk kontek Indonesia

(3) Perlunya memperbaiki gambar yang ada dalam materi dengan porsi yang sesuai

suapaya menarik bagai mahasiswa

(4) Disarankan agar menggunakan gambar sendiri atau orang yang dikenal, untuk

gambar yang memiliki hak cipta

(5) Masih adanaya inkonsistensi jenis dan ukuran huruf tiap unit atau bagian dalam

bahan ajar, misalnya jenis dan ukuran huruf untuk judul setiap unit/chapter dan

isi bahan ajar

(6) Layout antara unit satu dengan yang lain sama, sub unit satu dengan yang lain

sama tidak konsisten.

Berdasarkan masukan dari pakar media/desain grafis, maka peneliti melakukan

perbaikan bahan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi:

(1) Memperbaiki gambar sampul, dan gambar lain yang disajikan pada bahan

pembelajaran untuk memudahkan mahasiswa melihat dan mempelajari.

(2) memasukkan gambar yang sesuai dengan konteks materi bahan ajar agar dapat

mendukung penyampain pesan materi.

(3) Menyesuaiakan porsi gambar dalam bahan ajar yang menarik bagai mahasiswa
131

(4) Mengganti gambar dengan gambar orang yang dikenal dengan minta izin secara

lisan

(5) Memperbaiki jenis dan ukuran huruf tiap unit /chapter dalam bahan ajar

sehinga jenis dan ukuran huruf sama

(6) Melayout ulang unit/chapter, sub unit satu sehingga konsisten dalam bahan ajar

d) Pakar Bahasa

Nama : Doktor Yayu Heryatun MPd

Jabatan : Dosen Bahasa Inggris UIN SMH Banten

Tanggal evaluasi : 02 Mei 2018

Hasil evaluasi dengan pakar bahasa Inggris terhadap draft bahan pembelajaran

untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana

Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang perlu diperbaiki,

yaitu:

(1) Banyak kalimat dalam bahan ajar sulit dipahami mahasiswa karena banyak yang

kalimat berbelit-belit dan panjang

(2) Bahasa yang digunakan belum sesuai dengan bahasa mahasiswa, banyak

menggukan pilihan kata yang sulit

(3) gaya bahasa dalam bahan ajar kurang komunikatif sehingga pesan yang

disampaikan tidak diapahami mahasisa

(4) Terdapat makna kalimat yang susah dipahami sehingga mahaiswa dapat sulit

menarik kesimpulan mengenai makna kalimat.

(5) Banyak tanda banya yang tidak sesuai dengan fungsinya dalam

kalimat,misalnya titik koma tanda seru tanda tanya titik dua titik koma tanda

kutip apostrof tanda penghubung dan pisah tanda kurung.

(6) Relevansi antara kalimat pada beberapa unit perlu diperbaiki karena, banyak

ketidak cocokan antar kalimat dalam satu paragraph


132

(7) Terdapat pengguna ejaan yang dicampur antara gaya Amerika dan British dalam

setiap unit, sehingga perlu diperbaiki agar mengguna gaya bahasa yang sama

Berdasarkan masukan dari pakar bahasa inggris, maka penenliti melakukan

perbaikan bahan pembelajaran yang dikembangkan, meliputi

(1) Mengganti kalimat dalam bahan ajar sulit dipahami mahasiswa dengan kalimat

yang mudah dipahami

(2) Menyesuaikan bahsa dengan kemampuan bahasa mahasiswa

(3) Memperbaiki gaya bahasa menajdi gaya yang komunikatif sehingga pesan yang

disampaikan dapat dipahami mahasisa

(4) Merubah kalimat yang ada dalam bahan ajar sehingga makna kalimat dapat

dipahami dengan demikian mahasiswa dapat menarik kesimpulan sesuai dengan

makna yang dimaksud dalam kalimat.

(5) Memperbiki tanda banca sesuai dengan fungsinya dalam kalimat.

(6) Memperbaiki kalimat dalam dibeberapa bagian dalam bahan ajar sehingga

cocokan antar kalimat dalam satu paragraph dapat dicapai

(7) Merubah gaya bahasa yang tidak konsisten yang ada dalam setiap unit, sehingga

gaya bahasa yang sama dalam setiap unit/chapter

Setelah instrumen di buat peneliti melakukan telaah pakar kepada ahli materi

untuk mencermati produk yang dikembangkan tentang konten materi. Masukan dan

hasil validasi ahli akan menjadi masukan untuk memperbaiki produk pada langkah

revisi.

2) Uji Coba Satu-Satu

Setelah model di validasi oleh para ahli peneliti melakukan uji coba 1-1. Uji coba

satu-satu ini merupakan uji coba awal terhadap produk yang dikembangkan. Uji coba

satu-satu dilakukan pada satu orang mahasiswa dan satu orang Dosen yang dibentuk

secara khusus. Penilaian yang dilakukan oleh satu- satu orang ini bertujuan untuk

mendapat data tentang produk yang dikembangkan, sebagai bahan acuan dalam revisi.
133

Sebelum diberikan pada uji coba kelompok kecil. Hasil uji coba one to one juga

memberikan masukan revisi pada gambar, isi terlalu padat dan model-model yang ada

dalam bahan ajar.

3) Uji coba kelompok kecil

Sesudah model direvisi selanjutnya akan diujicobakan pada kelompok kecil, yaitu

kepada 9 orang responden mahasiswa yang akan menjadi sasaran target penelitian. Uji

coba dilakukan di UIN SMH Banten dengan membentuk kelas khusus. Setelah

perlakukan mahasiswa diminta untuk melihat, menyaksikan bahan ajar, media

pembelajaran model Pembelajaran Berbasis Situs Jejaring Sosial, kemudian mereka

akan diminta komentar/masukan tentang model. Berdasarkan masukan dari small

group ini model direvisi.

4) Uji coba kelompok besar (Field Try-out)

Melakukan uji coba lapangan. Dalam konteks yang nyata. Pada tahap ini model

diterapkan dalam pembelajaran Cross-Cultural Undestanding mahasiswa Jurusan

Tadris Bahasa Inggris UIN SMH Banten. Adapun jumlah mahasiswa yang menjadi

kelas eksperimen ini adalah 30 orang mahasiswa. Implementasi model ini hanya

dilakukan pada mahasiswa UIN SMH Banten dengan melakukan eksperimen pada

mahasiswa jurusan Perpustakaan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan untuk studi pendahuluan guna mendapatkan gambaran atau

data awal tentang kondisi tempat penelitian dilakukan dengan cara wawancara kepada

ketua program Study Tadris Bahasa Inggris, kepada dosen mata kuliah Cross Culture

Understanding, serta mahasiswa yang sudah menyelesaikan Mata Kuliah Cross Culture

Understanding. Data yang dibutuhkan untuk melihat proses pembelajaran di Prodi Study

Tadris Bahasa Inggris dipergunakan instrumen observasi. Data yang diperlukan untuk
134

melakukan perbaikan bahan instruksional dikumpulkan dengan memberikan questioner

kepada Expert, one to one learners, Small Group, dan Field Trial

Selain data data yang tersebut di atas juga data berupa data hasil Pre-Test dan

Post-Test small group,Kelas Field Trial dan ujian akhir semester mata kuliah Cross-

Culture Understanding untuk melihat kemajuan belajar mahasiswa

E. Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah uji formatif dan sumatif. Data

formatif adalah data yang dikumpulkan sebagai tahapan untuk menganalisis kebutuhan

awal dari perlunya dikembangkan model pembelajaran. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah;kuisioner, skala sikap, dan tes yang diberikan kepada

mahasiswa dan Dosen, kuisioner adalah pengumpul data yang berbentuk pertanyaan

yang akan di isi atau di jawab oleh responden. Skala digunakan untuk memperoleh

gambaran kuantitatif aspek kondisi pembelajaran, perangkat pembelajaran dengan

indikator jawaban sudah tepat, kurang tepat, dan tidak tepat. Sedangkan tes adalah

prosedur sistematik yang dibuatkan dalam bentuk tugas-tugas yang distandardisasikan

dan diberikan kepada individu atau kelompok untuk dikerjakan, dijawab, atau direspon,

baik dalam bentuk tertulis, lisan maupun perbuatan. Teknik penyusunan dan

pegembangan instrumen adalah sebagai berikut (Djaali dan Muljon, 2008)

1. Berdasarkan teori merumuskan konstruk dari variabel

2. Berdasarkan konstruk dikembangkan dimensi dan indikator variabel

3. Membuat kisi-kisi

4. Menetapkan besaran atau parameter misal sudah tepat, kurang tepat, dan tidak

tepat

5. Menulis butir-butir instrumen berbentuk pertanyaan atau pernyataan

6. Butir-butir yang telha ditulis merupakan konsep instrumen yang melalui proses

validasi teori dan empirik

7. Revisi atau perbaikan berdasarkan saran pakar


135

8. Melakukan uji coba

9. Pengujian validitas

10. Kesimpulan valid atau tidaknya perangkat instruman

11. Menghitung koefisien reliabilitas. Rentangan nilai (0-1) adalah besaran yang

menunjukan kualitas atau konsistensi hasil ukuran instrumen.

Hasil analisis kebutuhan ini digunakan sebagai dasar dalam merencanakan dan

mengembangan model pembelajaran Cross-Cultural Undestanding. Pembuatan

instrumen disesuaikan dengan kisi-kisi sebagaimana teori yang dikembangkan

sebagaiman yang telah di jelaskan sebelumnya. Analisis data dalam penelitian ini

dilakukan merujuk pada yang dikemukakan Putra (2001) sebagai berikut:

1. Mengumpulkan seluruh data hasil pengamatan dan wawancara berupa catatan

lapangan, catatan wawancara, dan catatan diskusi.

2. Melakukan analisis pertama untuk memilah data kedalam kategori; kategori

pertama terkait dengan penyempurnaan model, kategori kedua berkenaan dengan

pemunculan kolaborasi aktif.

3. Melakukan analisis kedua didalam masing-masing katogeri; untuk kategori pertama

analisis dilakukan untuk menemukan data pendukung bagi penyempurnaan

model;untuk kateogri kedua analisis dilakukan untuk memetakan kecendrungan

perilaku, dan kreativitas yang muncul

4. Melakukan proses sintesis, yaitu mengolah keseluruhan data dengan uji t satu untuk

merumuskan model akhir.

Menurut Djaali Dan Muljono (2008) agar data dipertanggungjawabkan

keabsahannya maka , digunakan pemeriksaan data melalui:

1. Ketekunan pengamatan

Ketekunan pengamatan adalah mencari kedalaman. Untuk itu diadakan

pengamatan yang teliti secara berkesinambungan sampai muncul prilaku yang

diharapkan, karena itu diikutsertakan Dosen kolaborator yang mengamati


136

dilengkapi dengan lembar pengamatan dan mengunakan handycam.

2. Triangulasi

Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berdiskusi bertanya ulang

dengan Dosen pelajaran Cross-Cultural Undestanding dan Dosen lainnya

sehubungan dengan pelaksanaan pembelajaran sub pokok bahasan Cross-Cultural

Undestanding dalam pembelajaran wawasan bahasa dan budaya. Triangulasi ini

dilakukan untuk mencek kebenaran dan melengkapi data yang diperoleh..

3. Pengecekan anggota melalui diskusi

Pengecekan anggota melalui diskusi dilakukan sesudah penelitian dan pengamatan

tahap demi tahap dan setelah semua pekerjaan selesai dilakukan untuk

meningkatkan kepercayaan.

4. Pengolahan data dilakukan dengan excel dan SPSS versi 22

5. Melakukan interpretasi skor. Berdasarkan skor aktual yang diperoleh, maka kualitas

proses belajar mengejar dikelompokkan sebagai berikut

Tabel.3.1. Interprestasi Skor

Skor Kualitas proses belajar mengajar


86-100 Sangat baik
71 -85 Baik
56-70 Sedang
41 -55 Rendah
20-40 Sangat tidak efektif

Data yang diperoleh dari skala sikap dan kuisioner akan di interprestasikan

sebagaimana di atas. Instrumen yang dikembangkan sebelum dieksperimenkan terlebih

dulu dilakukan uji coba instrumen, untuk melihat validitas dan reliabilitas instrumen

yang dikembangkan. Pengolahan dilakukan dengan SPSS versi 22 dan Excel 2010.
137 
 
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

1. Kajian Literatur

Kajian literatur adalah ringkasan komprehensif dan penilaian kritis dari literatur

yang relevan dengan topik penelitian. Ini menyajikan pembaca dengan apa yang sudah

dikenal di bidang ini dan mengidentifikasi kontroversi tradisional dan saat ini serta

kelemahan dan kesenjangan di lapangan.

Dalam disertasi yang melibatkan pengumpulan data, peneliti membahas apa yang

ditemukan di tubuh literatur melalaui dua tahap. Pertama, Peneliti menyajikan tinjauan

literatur untuk menunjukkan pemahaman peneliti tentang apa yang telah ditulis di

bidangnya. Ini digunakan untuk menginformasikan desain studi. Peneliti kemudian

meninjau kembali setelah temuan peneliti untuk membahas persamaan dan perbedaan

antara apa yang peneliti temukan dan apa yang telah ditemukan peneliti sebelumnya.

Dalam disertasi ini peneiti hanya menggunakan literatur untuk membuat argumen

pengantar atau memberikan latar belakang penelitian, yang juga akan menginformasikan

desain penelitian(Williamson & Whittaker ,2017). 

Pada bagian kajian literatur ini peneliti mengemukakan konsep-konsep yang

melandasi pengembangan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring

sosial, meliputi: a. konsep belajar, b. konsep pembelajaran, c. konsep pembelajaran

kolaboratif, d. konsep pembelajaran online, dan e. konsep jejaring sosial.

a. Konsep Belajar

Pengembangan model pembelajaran kolaboratif berbasis jejaring sosial pada

penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep belajar yang dikemukakan oleh Gundi
49T 49T
138

(1992), Gagne (1995), Schunk (2012), Ormrod (2015), Parson (2011), dan Spector

(2009) bahwa:

1) Belajar merupakan proses dan bukan produk.

2) Belajar melibatkan semua pengalaman dan pelatihan dari seorang individu yang

membantunya menghasilkan perubahan perilakunya.

3) Belajar menyebabkan perubahan dalam perilaku tetapi tidak selalu berarti bahwa

perubahan ini selalu membawa perbaikan atau pengembangan ke arah yang positif.

Kita kesempatan yang sama untuk melayang ke sisi debit dari kepribadian manusia.

4) Belajar mempersiapkan individu untuk berdapatasi.

5) Belajar berorientasi pada tujuan. Jika tidak ada tujuan, maka hampir tidak akan ada

belajar apapun.

6) Ruang lingkup pembelajaran mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, prilaku,

keyakinan dan pandangan hidup.

7) Belajar berlangsung seumur hidup untuk semua orang yang dimulai dari ayunan

sampai sampai ke liang kubur.

8) Belajar tidak mencakup perubahan perilaku karena kematangan fisik, kelelahan,

sakit atau obat-obatan.

Kesimpulan dari pokok pikiran di atas adalah bahwa belajar merupakan proses

perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap, perilaku, pandangan hidup dan keyakinan


49T 49T57

yang berlangsung secara terus menerus dan relatif menetap yang diperoleh dari latihan

serta pengalaman belajar.

b. Konsep pembelajaran

Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Jejaring Sosial pada

penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep pembelajaran yang dikemukakan oleh

Miarso (2004), Gagne, et al. (2005), Reigeluth (2009), Smaldino, et.all (2015), Clark,
139

and Mayer. (2016), Dijkstra, et al (1989), Akdeniz (2016). Boekaerts and Simons

(1995), Mauch (2009), Zweizig (1999), Sidhu (2010), Bahwa:

1) Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar

orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain

2) Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang tertanam dalam kegiatan dengan

tujuan untuk memfasilitasi pembelajaran

3) Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan dengan sengaja untuk memfasilitasi

pembelajaran

4) Pembelajaran adalah setiap upaya yang disengaja untuk merangsang belajar dengan

pengaturan yang disengaja dari pengalaman untuk membantu mahasiswa mencapai

perubahan yang diinginkan dalam kemampuan

5) Pembelajaran adalah Rekayasa pelatihan profesional dari pengalaman pelajar untuk

mendorong pembelajaran

6) Pembelajaran adalah upaya membawa mahasiswa dengan menggunakan metode

yang baik dalam kondisi tertentu dalam suatu system untuk mencapai tujuan yang

telah ditentukan

7) Pembelajaran adalah proses kegiatan yang membantu aktualisasi diri dan memenuhi

kebutuhan sendiri

8) Pembelajaran adalah mengacu pada langkah-langkah dan kondisi yang

diperkenalkan dalam lingkungan belajar mahasiswa untuk mempromosikan

pembelajaran

9) Pembelajaran adalah fasilitasi yang disengaja menuju tujuan yang telah ditentukan

yang disampaikan oleh Dosen atau bentuk lainnya

10) Pembelajaran adalah sebagai kegiatan yang diberikan Dosen kepada mahasiswa

mereka
140

11) Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang memfasilitasi pembelajaran

Kesimpulan dari pokok pikiran di atas adalah bahwa pembelajaran merupakan

rangkaian kegiatan yang disengaja oleh pengajar dalam lingkungan belajar yang
3T 3T

mempengaruhi mahasiswa sehingga perubahan kemampuan, sikap, keyakinan,

pengetahuan, dan keterampilan seseorang terfasilitasi dalam mencapai tujuan yang telah 3T

ditentukan sehingga terwujud aktualisasi diri dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
3T

c. Konsep Pembelajaran Kolaboratif

Pengembangan model pembelajaran kolaboratif berbasis jejaring sosial pada

penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep pembelajaran kolaboratif yang

dikemukakan oleh MacGregor (1992), Panitz.(1999), Srinivas (2011), Lee dan Wong

(2012), Alexandrov, et.al. (2012), serta Enyedy dan Stevens (2014) bahwa:

1) Pembelajaran kolaboratif berbagai pendekatan Pendidikan yang melibatkan upaya

intelektual bersama oleh mahasiswa dan pengajar secara bersama, dimana

mahasiswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan dua atau lebih, saling

mencari pemahaman, solusi, atau makna, atau menciptakan produk”.

2) Pembelajaran kolaboratif adalah filosofi pribadi, bukan hanya teknik kelas, dalam

semua situasi di mana orang-orang secara bersama-sama dalam kelompok, saling

menghormati dan menyoroti kemampuan anggota kelompok individu dan

kontribusi, adanya pembagian kewenangan dan penerimaan tanggung jawab antara

anggota kelompok untuk tindakan kelompok

3) Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah pendekatan Pendidikan untuk mengajar dan


57T 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57

belajar yang melibatkan kelompok mahasiswa saling bekerja sama untuk


49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57

memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat suatu produk


49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57
141

4) Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah pendekatan Pendidikan untuk mengajar dan


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

belajar yang melibatkan kelompok mahasiswa bekerja sama untuk memecahkan


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

49T masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat suatu produk”.


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

5) Pembelajaran kolaboratif adalah teori belajar atau teknik yang bertujuan untuk
49T 49T

menciptakan rangka pembelajaran dengan menggunakan interaksi social


3T 3T

6) Pembelajaran kolaboratif sebagai kegiatan belajar yang dihasilkan sebagai proses


49T 49T 49T 49T

fokus dan hasil itu sendiri.

Kesimpulan dari pokok pikiran di atas adalah bahwa pembelajaran kolaboratif

merupakan pendekatan Pendidikan yang bersifat filosofis dan pembelajaran yang


49T 49T57 49T57 49T57

melibatkan pengajar dan mahasiswa dalam kelompok pembelajaran baik dua orang
57T 57T 49T57 49T

atau lebih bekerjasama dalam sebuah kelompok dengan prinsip setara, demokratis,

saling bertanya, saling mencari pemahaman, saling mencarikan solusi, saling

menghargai, saling menghormati, saling berkontribusi secara positif, semua

berpartisipasi, bekerja sebagai mitra baik di dalam maupun di luar kelas semua

bertanggung jawab untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau membuat 49T 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57 49T57

suatu produk.
49T57

d. Konsep Pembelajaran Online

Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Jejaring Sosial pada

penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep pembelajaran online yang dikemukakan

oleh Carliner (1999), Carliner.(2004), Dabbagh dan Bannan-Ritland (2005), Ally (2008)

Erdem, Rokne dan Khoury (2013) serta Harasim (2017) bahwa:

1) Pembelajaran online adalah sebagai bahan Pendidikan yang disajikan dengan

computer

2) Pembelajaran online mengacu pada pembelajaran dan sumber daya pendukung

lainnya yang tersedia melalui komputer.


142

3) Pembelajaran online sebagai lingkungan pembelajaran terbuka dan terdistribusi 49T 49T 49T 49T 49T

yang menggunakan teknologi internet dan berbasisi web guna memfasilitasi belajar
49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

dan membangun pengetahuan


49T 49T 49T

4) Pembelajaran secara online terhubung ke sistem, dalam operasi, fungsional dan siap 49T 49T 49T 49T 49T 4 9T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

untuk layanan.
49T 49T

5) Pembelajaran online adalah penggunaan internet untuk mengakses materi 49T 49T 49T 49T 49T

pembelajaran; untuk berinteraksi dengan konten, dosen dan mahasiswa lainnya;


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

dan untuk memperoleh dukungan selama proses pembelajaran, untuk memperoleh


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

pengetahuan, untuk membangun makna pribadi, dan tumbuh dari pengalaman


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

belajar 49T

6) Pembelajaran online mengacu pada penggunaan jaringan komunikasi online untuk

aplikasi Pendidikan dalam bentuk penunjang, campuran, dan secara Penuh 49T 49T

Kesimpulan dari pokok pikiran di atas adalah bahwa pembelajaran online

penggunaan jaringan komunikasi online dan berbasis web guna memfasilitasi belajar 49T 49T

dan membangun pengetahuan bagik sebagai penunjang, campuran, maupun secara


49T 49T 49T 49T 49T 49T

Penuh.

e. Konsep jejaring sosial

Pengembangan model pembelajaran kolaboratif berbasis jejaring sosial pada

penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep belajar yang dikemukakan oleh Boyd dan

Ellison (2013) Buettner (2016), Manca dan Ranieri (2014). Agosto dan Abbas (2011)

Keyes (2011) Alhajj, Reda, dan Rokne (2014), serta DeGarmo (2014) bahwa jejaring 72T 72T

sosial adalah:

1) Jejaring sosial adalah Platform untuk membangun jaringan sosial atau hubungan 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

sosial antara orang-orang yang berbagi minat yang sama.


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T
143

2) Situs Jejaring Sosial adalah layanan web yang memungkinkan pengguna membuat 49T 49T 49T

profil publik atau semi-publik, membentuk sebuah komunitas online jaringan publik
49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49TP

3) Situs Jejaring Sosial adalah ruang online di mana anggota masyarakat bertemu 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

dalam semua jenis interaksi sosial, dari membaca tentang anggota lainnya, posting
49T 4 9T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

gambar dan klip video, untuk mengirim pesan ke teman-teman online.


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

4) Situs Jejaring Sosial adalah komunitas online yang pengguna dapat membuat profil 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

dan bersosialisasi menggunakan berbagai alat media sosial termasuk blog, video,
49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

gambar, tag, daftar teman, forum, dan pesan


49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

5) Situs Jejaring Sosial situs website internet yang memungkinkan interaksi sosial dan 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

berkolaborasi antara dua atau lebih pengguna 49T 49T 49T 49T 49T 49TP

Kesimpulan dari pokok pikiran di atas adalah bahwa jejaring sosial merupakan

layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk membangun profil publik
49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T 49T

atau semi-publik dapat berkomunikasi dengan orang lain yang ada dalam groupnya
49T 5T49 5T 49T

dengan menggunakan berbabagai fasilitas yang tersedia dalam situs tersebut. 49T

2. Study Lapangan (Data dan Informasi )

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan merupakan satu Fakultas di Universitas Islam

Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang berdiri pada tanggal 3 April 2017

melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2017 yang berada di provinsi Banten yang

beralamat di jalan jendral sudirman No.30 Serang Banten, Kecamatan Serang Kota

Serang. UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten ini dahulunya adalah Institut Agama

Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten.

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan memiliki visi menjadi Fakultas yang unggul dan

terkemuka dalam mengembangkan ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang integratif dan

menyiapkan Dosen dan Tenaga Kependidikan yang Islami dan berwawasan global

tahun 2030
144

Adapun Misi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan adalah 1).Menyelenggarakan

Pendidikan dan pengajaran yang profesional, berkualitas, dan berwawasan global 2).

Melaksanakan penelitian, kajian dan mengembangkan ilmu tarbiyah dan Keguruan

secara integratif 3).Menyelenggarakan Pendidikan Profesi Dosen 4). Menyelenggarakan

kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang berbasis ilmu tarbiyah dan Keguruan

5).Memberikan layanan akademik dan non akademik yang berkualitas 6).Melakukan

kerjasama dan pengembangan jejaring dengan berbagai institusi dan pemangku

kepentingan

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan memiliki tujuan 1). Menghasilkan lulusan yang

islami, kompetitif, dan kompenten; 2). Menghasilkan calon Dosen dan Tenaga

Kependidikan yang islami dan Profesional; 3). Menghasilkan penelitian dan publikasi

ilmiah yang berkualitas dan integratif di bidang ilmu tarbiyah dan Keguruan ; 4).

Mewujudkan pengabdian kepada masyarakat yang partisipatif dan memberdayakan

masyarakat terutama di bidang Pendidikan dan Keguruan ; 5).Mewujudkan layanan

akademik dan non akademik yang berkualitas; 6).Mewujudkan program kerjasama

dengan berbagai institusi baik dalam maupun luar negeri dan para pemangku

kepentingan lainnya;7).Menciptakan suasana yang islami dan kondusif bagi

pengembangan budaya akademik di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN

Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan saat ini memiliki enam program studi S1:

Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Pendidikan Dosen Madrasah

Ibtidaiyah, Tadris Bahasa Inggris, Manajemen Pendidikan Islam, Pendidikan Islam

Anak Usia Dini, Prodi Fisika, dan Prodi Biologi

Program Studi Tadris Bahasa Inggris memiliki visi yaitu menjadi jurusan yang

unggul dan terkemuka di tingkat internasional pada tahun 2030 dalam penyelenggaraan
145

Pendidikan Bahasa Inggris dengan mengintegrasikan aspek keilmuan dan menghasilkan

Dosen yang professional, islami, berdaya saing, dan berjiwa entrepreneur.

Adapun misi Program Studi Tadris Bahasa yaitu 1) menyelenggarakan Pendidikan

Bahasa Inggris yang professional dan berwawasan global. 2).Menyelenggarakan

Pendidikan yang mengintegrasikan kompentensi pedagogic dan entrepreneurship

berlandaskan nilai-nilai keislaman, 3). Melaksanakan penelitian, pengkajian, dan

pengembangan Ilmu dalam bidang Bahasa Inggris,4). Menyelenggarakan pengabdian

kepada masyarakat dalam bidang Pendidikan, kebahasaan, dan entrepreneurship. 5).

Melakukan kerjasama di tingkat nasional, regional dan internasional dalam

pengembangan Pendidikan Bahasa Inggris.

Tujuan Program Studi Tadris Bahasa 1). Menghasilkan tenaga Pendidikan dan

kependidikan yang professional dalam bidang Bahasa Inggris, berdaya saing dan berjiwa

kewirausahaan. 2).Menghasilkan tenaga Dosen dan kependidikan yang memiliki

kompetensi pedagogic, profesional, kepribadian dan social yang dilandasi nilai-nilai

akhlakul karimah. 3).Menghasilkan karya-karya penelitian dan inovasi dalam bidang

Pendidikan Bahasa Inggris yang dapat di manfaatkan oleh stakeholders dan

menghasilkan tenaga Dosen dan kependidikan yang memiliki dedikasi dan komitmen

yang tinggi kepada masyarakat dalam penyebaran pengimplementasian Pendidikan

Bahasa Inggris. 4). Membangun kerjasama dalam skala nasional, maupun internasional

dalam pengembangan Pendidikan Bahasa Inggris, penelitian atas dasar pengembangan

dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang mandiri dan berdaya saing

global serta berjiwa kewirausahaan.

Pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen masih menggunakan

pembelajaran tatap muka di kelas, dan hanya sedikit dosen yang menggunakan social
146

media untuk pembelajaran, itupun secara informal, hanya untuk memrikan informasi

perkuliah

3. Identifikasi Kebutuhan Mahasiswa

Hasil analisis kebutuhan digunakan dalam melakukan pengembangan model

pembelajaran kolaboratif berbasisi situs jejaring social Facebook untuk mata kuliah

Cross Culure Understanding. Informasi tentang kebutuhan mahasiswa diambil dengan

instrumen kuesioner dan wawancara dengan mahaiswa, dosen, ketua Program Studi

Tadris Bahasa Inggris. Hasil pengumpulan data kuesioner yang diberikan kepada

mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris ditemukan beberapa permasalahan

pembelajaran seperti berikut:

1) Dosen belum menyediakan sumber belajar modul yang dapat mendukung

mahasiswa menguasai bahan pembelajaran/instruksional mata kuliah Cross Culure

Understanding.

2) Dosen dalam proses pembelajaran Cross Culure Understanding belum memberikan

umpan balik setiap topik pembahasan

3) Masih kekurangan waktu untuk proses pembelajaran di Fakultas, sehingga banyak

materi pelajaran yang tidak dibahas di dalam kelas.

4) Sarana belajar seperti komputer dan peralatan IT lainnya di Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan tidak mencukupi kebutuhan mahasiswa, karena keterbatasan peralatan

komputer.

5) Materi instruksional mata kuliah Cross Culure Understanding yang diberikan oleh

Dosen belum dikemas dalam bentuk modul sehingga sumber yang berlimpah

membuat mahasiwa kebingunan memilih sumber yang relevan untuk setiap pokok

bahasan

6) Sebagaian besar mahasiwa belum bisa belajar mandiri tanpa dibantu Dosen
147

7) Jaringan internet yang tersedia di kampus belum dimanfaatkan untuk tujuan

pembelajaran

8) Proses Perkuliahn masih bersifat tatap muka di rungan kelas

9) Tugas-tugas yang diberikan masih dalam bentuk bahan tercetak

10) Desain pembelajaran mata kuliah Cross Culure Understanding belum menarik

11) Dosen belum menggunakan media social untuk tujuan pembelajaran formal

Hasil wawancara dengan ketua Program Studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan UIN SMH Banten dapat disajikan permasalahan pembelajaran

sebagai berikut:

1) Dosen mata kuliah Cross Culure Understanding belum membuat bahan ajar dalam

satu paket mata kuliah, dosen hanya memberikan sejumlah buku elektronik untuk

dibaca, bahan terlalu anyak membuat mahasiswa kesulitan dalam memahami

materi

2) Pelaksanaan pembelajaran kurang lancar terjadi dikelas semester VI dikarenakan

dosen sering dinas luar dan mengikuti rapat, seminar dan workshop

3) Fasilitas internet yang disediakan oleh Fakultas belum maksimal dipergunakan

untuk pembelajaran.

4) Materi pelajaran ada yang tidak tercapai karena terkendala waktu, khususnya

bertepatan dengan acara seminar dan workshop

5) Program Studi Tadris Bahasa Inggris membutuhkan sarana yang sifatnya mudah

digunakan oleh dosen dan mahasiswa

6) Mahasiswa kurang aktif memanfaatkan waktu untuk berdiskusi bila dosen tidak

hadir.

7) Dosen bmenggunakan social media Facebook baru sebatas tujuan informal (

berbagi bahana kuliah dan pengumaman perkuliahan


148

Hasil pengumpulan data dari dosen mata kuliah Cross Culure Understanding

didapat permasalahan pembelajaran sebagai berikut:

1) Waktu untuk pembelajaran mata kuliah Cross Culure Understanding masih kurang

hanay 100 menit sedangakan materi yang harus disampaikan untuk durasi waktu

150 menit.

2) Masalah pembelajaran lain yang ditemui dosen adalah tidak bisa melaksanakan

proses belajar mengajar dengan baik karena mahasiswa sering datang terlambat

3) Materi pelajaran ada yang tidak tercapai karena terkendala adanya kegiatan luar

yang harus diikui oleh dosen misalnya seminar, rapat dan workshop

Berdasarkan pada permasalahan pembelajaran pada uraian di atas, maka peneliti

telah melaksanakan Pengembangan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs

Jejaring Social Facebook

4. Pengembangan Model Pembelajaran

Dalam Pengembangan model kolaboratif berbasis situs jejaring sosial ini

mengadopsi beberapa model pengembangan, yaitu model Borg dan Gall (1983),

ADDIE (Branch, 2009) dikombinasikan dengan model Reid (Robert, 2004).

Rancangan model prosedur pengembangan pada penelitian dan pengembangan ini,

yaitu sebagai berikut:


149

Gambar .4.1 Prosedur Pengembnagan Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis

Situs Jejaring Sosial

Berikut akan dikemukakan deskripsi data dari setiap tahapan penelitian dan
49T 49T

pengembangan ini, yaitu:

a. Hasil Analisis Tahapan Penelitian dan Pengembangan

Tahapan Analisis terdiri dari: 1) Analisis kesenjangan kinerja, 2) Merumuskan


49T

tujuan instruksional, 3) Identifikasi perilaku dan karakteristik mahasiswa , dan 4)

Analisis sumberdaya dan ketersediaan teknologi.

1) Hasil analisis kesenjangan kinerja mahasiswa


150

Bagian ini mendeskripsikan hasil analisis kesenjangan kinerja mahasiswa pada mata

kuliah CCU Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN SMH Banten yang memuat

informasi tentang kinerja saat ini, dan kinerja yang diharapkan serta penyebab

kesenjangan kinerja. Hasil analisis kesenjangan kinerja disajikan pada tabel 4.1 sebagai

berikut:

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kesenjangan Kinerja

Kinerja yang Prosentese


Kinerja Aktual Penyebab Utama
Diharapkan Kesenjangan
mahasiswa memahami 80,% mahasiswa 1. Belum ada modul
konsep dasar budaya memahami konsep dasar pembelajaran
hubungan budaya budaya hubungan budaya CCU yang
dengan komunikasi, dengan komunikasi, komfrehensif
37,14 memahami peran memahami peran penting 2. mahasiswa 42,86
penting budaya dalam budaya dalam budaya kurang diberikan
budaya dalam dalam membelajarkan kesempatan untuk
membelajarkan bahasa bahasa asing, mengexplorasi
asing, gagasan dalam
mahasiswa mampu 85,71% Mahasiwa kelompok
memahami konflik memahami konflik antar 3. Kurangnya waktu
48,57 untuk membahasa 37,14
antar budaya budaya
materi yang
mamahasiswa 74,29% mahasiswa terlalu banyak
memahami isu gender memahami isu gender 4. Dosen belum
37,14 dengan budaya dalam dengan budaya dalam memanfaatkan 37,15
keluarga Inggris dan keluarga Inggris dan TIK dalam
Amerika Amerika perkulihan
mahasiswa memahami 71,43% Memahami
kehidupan dan nilai- konsep kehidupan dan
31,43 40,00
nilai dalam konteks nilai-nilai dalam konteks
Amerika Amerika

2) Hasil merumuskan tujuan instruksional

Pada bagian ini disajikan rumusan tujuan instruksional yang merupakan tujuan

utama berupa kinerja yang diharapkan ditampilkan mahasiswa setelah melaksanakan

pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang dikembangkan melalui penelitian

dan pengembangan ini.

Tujuan pembelajaran dirumuskan mengacu pada capaian pembelajaran mata kuliah

CCU pada kurikulum Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana

Hasanuddin. Hasil merumuskan tujuan instruksional disajikan dalam bagan 4.1.


151

Memahami konsep dasar budaya yang terkait dengan pembelajaran bahasa; menyadari keragaman
budaya di negara-negara berbahasa Inggris; memahami beberapa perbedaan dan persamaan antara
budaya bahasa target dan budaya bahasa asli mereka dan konteks budaya indonesia, memahami
konsep konflik budaya dan penyesuaian serta akrab dengan beberapa pola komunikasi tertentu

4 Memahami konsep kehidupan dan 3. Memahami hubungan gender dengan budaya,


nilai-nilai dalam konteks Amerika isu-isu gender dalam pendidikan, pekerjaan,
  konteks masyarakat dan gender dalam
keluarga Inggris

1. Memahami konsep dasar budaya dan hubungannya dengan komunikasi, 2. Memahami


dan Komunikasi Antarbudaya dan menyatakan pentingnya pemahaman konflik antar
budaya dalam membelajarkan bahasa asing, dan memberikan contoh- budaya
contoh studi budaya dalam membelajarkan bahasa asing.  
 

Bagan 4. 1. Rumusan Tujuan Instruksional

3) Hasil identifikasi karakteristik mahasiswa

Berdasarkan hasil angket yang disebarkan kepada mahasiswa yang menjadi sasaran
49T 49T

penelitian ini, diperoleh data demografi sebagai berikut:

a) Semua mahasiswa memiliki handphone dan Laptop.ini menggambarkan bahwa

mahasiswa berpeluang untuk menggunakan internet dan social media Facebook

b) Dari 30 Mahasiswa,sebanyak 28 persen mahasiswa lahir tahun 1997, 53 persen

mahasiswa lahir tahun 1998, 3 persen mahasiswa lahir tahun 1999. Secara lengkap

rerata usia mahasiswa ditampilkan pada Bagan 4.2 sebagai berikut:


152

Bagan 4.2 Rerata Usia Mahasiswa

Bagan di atas menunjukan ini menunjukkan kematangan kognitif mereka untuk

dapat berkontribusi lebih efisien untuk proses, dan keterampilan kognitif mereka

yang maju dapat membuat mereka lebih efektif dalam memahami, menghasilkan,

dan menavigasi pengambilan keputusan yang diperlukan dalam masing-masing

konteks.

c) Semua mahasiswa memiliki akun Facebook, mahasiswa menggunakan facebook

setiap hari untuk update status, berbagi informasi perkuliahan secara pribadi

(tujuan akademik) dengan durasi waktu yang berbeda. Secara lengkap tujuan

penggunaan Facebook ditampilkan pada bagan 4.3 sebagai berikut:


73T 73T

Bagan 4.3. tujuan penggunaan Facebook oleh Mahasiswa


73T 73T

Bagan di atas menunjukkan bahwa media sosial Facebook sudah sangat familiar

dengan keseharian mahasiswa dan sudah berkembang dalam konteks pembelajaran

informal.

4) Hasil analisis sumberdaya dan ketersediaan teknologi.


49T 49T 49T 49T

Berdasarkan hasil analisis ketersediaan sumberdaya dan teknologi, berkaitan dengan

pelaksanaan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial pada

Program Studi Tadris Bahasa Inggris di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten,

diperoleh data sebagai berikut:


153

a) Dosen menggunakan facebook setiap hari untuk update status dan berbagi informasi

perkuliahn dengan mahasiswa secara pribadi, ini menunjukkan bahawa dosen sudah

terbiasa menggunakan facebook.

b) Fasilitas wireless kampus tersedia secara gratis, ini menunjukkan bahwa jaringan

internet mendukung mahasiswa untuk berkolaborasi secara online

c) Fakultas mendukung penggunakan teknolog internet dalam pembelajaran, hal ini

merupakan dukungan pembelajaran berbasis social media, hal ini sejalan dengan

visi Tarbiyah dan Keguruan yang Integratif dan Menyiapkan Dosen dan Tenaga

Kependidikan yang Islami dan Berwawasan Global Tahun 2030 (Wawasan 2030)

B. Hasil Perancangan dan Pengembangan (Design and Development)

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis tugas, hasil merumuskan

tujuan kinerja, hasil menyusun instrumen penilaian, hasil menyusun strategi

instruksional

1) Hasil analisis tugas

Analisis tugas merupakan identifikasi sistematis terhadap pengetahuan, sikap, dan


80T

keterampilan yang diharapkan ditampilkan mahasiswa pada akhir pembelajaran. Hasil

analisis tugas ini adalah cetak biru (blueprint) pembelajaran yang berfungsi sebagai

sebagai kerangka kerja untuk mengembangkan model pembelajaran kolaboratif online

berbasis jejaring sosial. Hasil analisis tugas disusun dalam bentuk diagram sebagai
80T

berikut:
154

Gambar 4.2 Hasil Analisis Tugas

2) Hasil merumuskan tujuan kinerja

Pada tahap ini dilakukan perumusan tujuan kinerja atau tujuan instruksional khusus
80T 80T 80T 80T

mata kuliah CCU yang diturunkan dari diagram analisis tugas yang dihasilkan dari

tahapan penelitian sebelumnya. Tujuan kinerja dirumuskan dengan format CPS, yaitu: C

(criteria), P (perrformance), dan S (Criteria(s). Tabel 4.2 berikut contoh hasil rumusan

tujuan kerja:

Tabel 4.2 Hasil merumuskan tujuan kinerja

Tujuan Kinerja Berformat


Tujuan Instruksional Tujuan Kinerja
CPS
After studying this unit 1. Students will be able to define 1. If students are required
students expected to be able culture define culture, at least they
to understand the basic state at least three defintions
concept of culture and its corectly
relation to communication, 2. Students will be able to give 2. If students are demanded to
and Intercultural examples of culture give two examples of culture,
Communication and state they can write at least two
the importance of examples of culture exatly
understanding culture in 3. Students will be able differ 3. If students are asked to differ
teaching a foreign cultural values and cultural cultural values and cultural
language, and to give norm norm, they can distinguish
examples of cultural studies at least two cultural values
in teaching a foreign and cultural norm correctly
155

language. 4. Students will be able to 4. If students are appealed to


identify relation cultural identify relation cultural
norms and values norms and values, they can
describe at least two relation
truely
5. Students will be able to give 5. If students are required to
examples of cultural value in give examples of cultural
indonesia value in indonesia , they can
write at least three examples
of cultural value in indonesia
truly
6. Students will be able to give 6. If students are demanded to
examples of cultura in write examples of cultura in
Indonesia Indonesia, they can write at
least two example correctly
7. Students will be able to define 7. If students are asked students
cultural Norms to define cultural Norms ,
they can write at least two
definition cultural Norms
truely
8. Students will be able to give 8. If students are appealed give
examples of cultural norms examples of cultural norms,
they can state at least two
definition correctly
9. Students will be able to analyze 9. If students are required
the importance of intercultural
30T 30T analyze the importance of
30T 30T

communication intercultural communication,


they can state at least two
reasons correctly
10. Students will be able to 10. If students are asked to
identify the relationship identify the relationship
Between Culture And language between Culture and
language they can state at
least two relation correctly

Secara lengkap, hasil rumusan tujuan kerja dilampirkan pada lampiran 13.

3) Hasil menyusun instrumen penilaian

Penyusunan instrumen penilaian dilakukan untuk memberikan umpan balik kepada


80T

dosen dan perancang instruksional untuk mengetahui sejauhmana mahasiswa mencapai

tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Hasil penyusunan instrumen penilaian

disebagaimana disajikan pada tabel 4.3.

Secara lengkap, butir-butir item penilaian pada penelitian dan pengembangan ini
80T

meliputi butiran Pre-Test lampiran - 2 ( Butiran Soal Pre - Test ) dan Post-Test, lampiran

- 3 ( Butiran Soal Post - Test)


156

Tujuan
No Instruksional No Item Tes
Khusus
1. Students will be 1. The followings are definition of culture, except
able to define A. Culture as “collective programming of the mind; it manifests
culture itself not only in values, but in more superficial ways: in sym-
bols. Heroes, and rituals
B. Culture as “all that human beings learn to do, to use, to
produce, to know, and to believe as they grow to maturity and
live out their lives in the social groups to which they belong
C. Cultures as “ a learned set of shared interpretations about
beliefs, values, norms, and social practices, which affect the
behaviors of a relatively large group of people.
D. Culture are ethnic, religious and professional cultures;
individuals
2. When studying different areas of the world, it is important to have an
idea of a particular regions culture before continuing. But, how do
we define "culture"?
A. Particular Person's Lifestyle
B. Delicious Desert From Oregon Dairy
C. all the elements that make up a society or civilization
D. particular segment that has interesting values
3. Which of the following statements is true of culture?
A. Languages are cultures.
B. Archaeologists dig up culture in their excavations.
C. Culture is a powerful human tool for survival,
D. all of the above
4. Which of the following was not identified as a defining feature of
culture?
A. Culture is learned.
B. Culture is cumulative.
C. Culture is symbolic.
D. Culture is transmitted.
E. Culture is shared.
2. Students will be 5. The followings are examples of culture, except…..
able to give A. Traditional dance
examples of culture B. Wedding ceremony
C. School system
D. Kinship system
6. Values, traditions, and beliefs are all examples of
A. material culture,
B. customs.
C. cultural relativism,
D. non-material culture.
3. Students will be 7. Which is the statements below describe difference cultural norms
able differ cultural and cultural values
values and cultural A. cultural norms is the collective expectations of what constitute
norm proper or improper behavior in a given situation, on the other
hand cultural values are generally accepted standards of
behavior for any cultural group
B. cultural norms are dimensions that members of a particular
group consider important and desirable. on the other hand
cultural values are the collective expectations of what constitute
proper or improper behavior in a given situation,
C. cultural norms are systems of knowledge shared by a relatively
large group of people, on the other hand cultural values are
generally accepted standards of behavior for any cultural group
D. cultural norms are a set of priorities that guide “good” or “bad”
behaviors, “desirable” or “undesirable” practices, and “fair” or
157

“unfair” actions on the other hand cultural values systems of


knowledge shared by a relatively large group of people
8. Widely held beliefs and ideas that a society deems to be worthwhile
and desirable
A. Culture
B. Norms
C. Relative
D. Values
4. Students will be 9. Cultural norms and values are closely related because
able to identify A. they are contradictory
relation Cultural B. they are both examples of a progressive culture
norms and values C. values are attitudes, and norms are the behaviors related to the
attitudes
D. they are types of character traits
10. The relation Cultural norms and values is identified by statement
below
A. Norms and values are two sorts of ideas that members of a
culture might share.
B. Norms are not the ideas members of a culture share about the
way things ought to be done
C. Norms and values are not often embedded in rules of behavior
that reflect and reinforce culture
D. Norms and values are two sorts of ideas that members of a
culture might not share.
5. Students will be 11. Which of the followings is the example of cultural value in
able to give Indonesia?
examples of A. Family
cultural value in B. Personal privacy
Indonesia C. Independence
D. D. Self reliance
12. Cultural value in Indonesia are
A. The Candidate of Marriage Couple cannot See Each Other
73T

B. Always Say “Excuse Me”


73T

C. A girl may not eat in front of the door


73T

D. All are corrects


73T

13. The most popular cultural value is celeberated by muslim in


73T 73T

Indonesia when Idul Fitri is know as…


A. Mudik Tradition
73T

B. Grebekkan Maulud
73T

C. Greeting
73T

D. Visiting neighbour
73T 30T7 30T

6. Students will be 14. Karapansapi as ....


able to give A. Baline’s culture
examples of cultura B. one of celebration in Madura can also be considered as are
in Indonesia presentation of Madura’s culture
C. one of celebration in Buneo can also be considered as are
presentation of Dayak’s culture
D. Celebes’s culture
15. Sumatera culture also is called as...
A. Balinese
B. Bajau
C. Javanese
D. Minangkabau
16. The plate dance (Tari Piring) is a dance art dance which is owned by
30T 30T


A. the Minangkabau people from West Sumatra
B. The Batak people from Norh Sumatera
30T

C. he people of Riau from sumatera island


30T 30T 30T

D. The Acehnese are an ethnic group from Aceh 30T

7. Students will be 17. cultural norms is defined by Olsen (1978) as


158

able to define A. As something that is considered very important by somebody


cultural Norms B. Rules that are applied and accepted in all community
C. Rules set by the Government in a certain country
D. As the collective expectations of what constitute proper or
improper behavior in a given situation

18. .............are cultures where value the group over the individual. Self
is defined by group membership and/or family
A. Cultural norms
B. Individualist cultures
C. Deductive reasoning
D. Collectivist cultures

19. Behaviour patterns that are typical of specific groups is defined as


A. Cultural norms
B. Explicit and implicit guidelines
C. Define the terms "culture" and "cultural norms"
D. Lonner's definition of culture
8. Students will be 20. What would the Indonesians reject this offer “ Wouldn’t you like
able to give coffee?”
examples of A. Yes, I would like coffee
cultural Norms B. No, I wouldn’t like coffee
C. Yes, I would like coffee
D. No, I would like tea, please
21. What would the Japanese accept this offer “ Wouldn’t you like
coffee?”
A. Thank you
B. Yes
C. No
D. Sorry
22. What would the French people reject this offer “ Would you like
something to drink?”
A. Thank you
B. No, thank you
C. No, please
D. No, but thank you

9. Students will be 23. Communicating and establishing relationships with people from
able to analyze different cultures can lead to a whole host of benefits. The are..
the importance of
30T 30T A. promoting intercultural understanding and building an effective
intercultural intercultural communication
communication B. Healthier communities; increased international, national, and local
commerce; reduced conflict; and personal growth through
increased tolerance
C. promoting intercultural understanding in cultural diversity and
reducing intercultural tensions
D. increasing international, national, and local commerce; reducing
conflict; and personal growth through increased tolerance
24. 1. International tensions
2. National conflicts
3. Intrapersonally needed- for personal, social, and professional
lives and relationships
4. Growing tensions due to ineffective communication between
cultures.
5. Dependent on what we choose to say and what others choose to
listen to.
6. Identify misunderstandings and misinterpretations
The staments above mention…
A. What are the needs for interculturat communication?
B. Describe the last four dimensions of intercuttural
159

communication.
C. Distinguish between fixed, semi-fixed, and informal spaces.
D. What are the benefits of intercuttural communication?
10. Students will be 25. Statements below is dealing with the relationship between language
able to identify the and culture
Relationship A. Language is not embedded in culture; language utterances
Between Culture cannot be made outside the context of a certain culture nor be
And language fully interpreted as separate from this culture.
B. language can be embedded only into same cultures
C. languages and cultures are not being mutually interacting and
reinforcing
D. Culture defines language and language is shaped by culture;
26. The followings are people who conducted studies on language and
culture, except….
A. Wilhelm von Humboldt
B. Risager
C. Damen
D. D. Gurito
27. Which of these Indonesians words does not have an exact English
translation?
A. Galau, gemas, kebelet
30T

B. Sepupu
C. Paman
D. Cantik
28. The cultural element of language Is one of the most diverse when
looking at different societies from around the world. Which of the
following examples is NOT an example of language?
A. Reading
B. Writing
C. Speaking
D. Gestures or body language
29. Which of these English words does not have an exact Indonesian
translation?
A. Christmas
B. Thanksgiving
C. Smile
D. Dance
30. Which of these short conversations shows cultural
misunderstanding?
A. + : You have a beautiful eyes ( America)
- : Thank you
B. + : Wow, your dress is very beautiful? ( America)
- : Ah, this is ugly and cheap (blushing) (indonesia)
C. + : Can you meet me after lunch? ( America)
- : I can’t!
D. + : What do you think of his idea? ( America)
- : It’s the worse idea I’ve ever heard!
Tabel 4.3 Hasil menyusun instrumen penilaian. 80T

4) Hasil menyusun strategi instruksional.

Pada tahap ini penyusunan strategi pembelajaran disesuaikan dengan rumusan


80T 80T 80T 80T

tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Kegiatan ini meliputi; pemilihan model,
160

pendekatan, metode, pemilihan format media, serta pengaturan waktu yang dipandang

mampu memberikan pengalaman yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran

Strategi instruksional disusun berdasarkan urutan tahapan pembelajaran kolaboratf

dan dirancang untuk 8 pertemuan yang di sesuaikan dengan alokasi waktu yang tersedia.

Susunan strategi instruksional meliputi tahap pendahuluan (deskripsi singkat, relevansi

dan manfaat, tujuan intruksional khusus), tahap penyajian (uraian,contoh dan non

contoh/latihan, rangkuman dan glosarium) dan penutup (tes formatif dan umpan balik,

dan tindak lanjut).

Prosedur dan skenario pelaksanaan diskusi pada model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial untuk kolaboratif online dijelaskan berikut .

a. Sesi pertama, sesi sebelum pembelajaran kolaboratif online.

Penjelasan model diskusi, pembagian kelompok, tugas kelompok, tugas individu,

dan kriteria penilaian diberitahukan diawal perkuliahan atau di awal pertemuan pada

kelas tatap muka sebagai kontrak perkuliahan.

Dosen membagi mahasiswa dalam beberapa kelompok dan menjelaskan tugas

kelompok. Dosen atau mahasiswa membuat grup tertutup di facebook dan mewajibkan

semua mahasiswa untuk bergabung.

Pada awal perkuliahan, selama satu minggu mahasiswa diminta untuk bergabung

pada grup diskusi facebook dan mempelajari aplikasi facebook yang akan digunakan.

Tujuannya untuk memastikan bahwa semua mahasiswa memiliki akses ke forum

diskusi, dan mereka sudah mengerti cara menggunakan fitur-fiturnya untuk terlibat aktif

dalam diskusi online. Karena kolaboratif online merupakan sesuatu yang baru bagi

sebagian besar mahasiswa, maka pada minggu pertama ini mahasiswa latihan

berkolaboratif online di facebook sebelum mereka berpartisipasi dalam kolaboratif

online yang sebenarnya.


161

Semua mahasiswa akan memperoleh PKM secara online dengan mengunduh file

yang sudah dibagi dalam grup. PKM berisi tujuan pembelajaran, materi dan masalah

yang akan didiskusikan untuk pertemuan berikutnya. Tujuannya supaya mahasiswa

membaca atau menemukan sendiri artikel-artikel terkait, sebelum materi tersebut

dibahas dalam diskusi tatap muka. Hal ini dapat menjadi kegiatan belajar yang baik bagi

mahasiswa.

Secara ringkas skenario pembelajaran yang menjelaskan peran dan aktivitas dari

dosen dan mahasiswa serta tujuan dari sesi ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Fase Aktivitas dosen Aktivitas mahasiswa


1. Menjelaskan gambaran umum 1. Memperhatikan dan bertanya
materi perkuliahan dan sistem jawab tentang materi perkuliahan
penilaian. yang akan dipelajari dan sistem
2. Menjelaskan kegiatan penilaian
perkuliahan, dibagi dua tahap: 2. Memperhatikan dan bertanya
tatap muka dalam kelas jawab tentang kegiatan
(ofline/F2F) dan online perkuliahan,
(facebook/FB) selama 8 kali. 3. Membagi diri dalam kelompok
3. Membagi mahasiswa dalam yang sudah ditentukan. Masing-
kelompok sesuai dengan jumlah masing kelompok memilih ketua,
Pra instruksional topik yang akan di bahas. moderator dan notulen.
hanya pada 4. Menjelaskan tugas kelompok 4. Mempelajari tugas tim pemandu
pertemuan pemandu diskusi sebagai tim penilaian teman
pertama, sebagai 5. Meminta semua mahasiswa sejawat.
kontrak dengan bantuan koordinator mata 5. mahasiswa dibantu oleh
perkuliahan kuliah untuk bergabung dalam koordinator mata kuliah bergabung
grup diskusi facebook. dalam grup diskusi facebook dan
mempelajari aplikasi facebook
6. Memandu latihan kolaboratif yang akan digunakan.
online di facebook 6. Melakukan latihan diskusi secara
7. Membagikan PKM seca online online di facebook
dan memotivasi semua 7. Masing-masing mahasiswa
mahasiswa untuk mempelajari mempersiapkan PKM (Panduan
dan melengkapi PKM. Kerja Mahasiswa) sesuai materi
yang akan didiskusikan.

Tabel. 4.4. Skenario pembelajaran sesi sebelum diskusi tatap muka

b. Sesi kedua, sesi kolaborative online di facebook setelah tatap muka.

Sesi ini merupakan lanjutan dari pembahasan materi yang tidak tuntas pada diskusi

kelas dan tambahan materi diskusi sebagai pengayaan. Kolaboratif online pada model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial berlangsung selama delapan kali

juga terbagi dalam tiga fase:


162

(1) Fase 1. Persiapan

Masing-masing tim pemandu diskusi membuat status pada grup facebook dan

mengemukakan kembali fokus pertanyaan/masalah yang belum tuntas untuk

dibahas dalam diskusi online.

(2) Fase 2. Mahasiswa melaksanakan kolaboratif online yang dipandu oleh anggota

kelompok pemandu diskusi online

a. Fase Pelibatan (Engagement). Kelompok pemandu diskusi memandu jalannya

diskusi dengan mengingatkan pertanyaan yang belum tuntas dan yang sudah

tuntas pada status masing-masing. Pada langkah ini, dosen menyediakan materi
49T 49T 49T

perkuliahan dalam berbagai format seperti file teks, presentasi PPT, atau
49T 49T 49T 49T

dokumen PDF. 49T

b. Fase Eksplorasi (Exploration). Mahasiswa mengeksplorasi masalah/pertanyaan,

menjelaskan pemikiran mereka terhadap masalah yang dibahas ada tahapan ini

dosen mulai membagi tugas misalnya berupa problematika yang berkaitan

dengan perkuliahan yang mesti dicarikan solusinya oleh kelompok tersebut.dan

menyediakan materi perkuliahan dalam berbagai format seperti file teks,

presentasi PPT, atau dokumen PDF, serta video.Berbekal tugas dan bahan yang

diberikan semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan

kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya. Pada fase ini dan tahap

Transformasi terjadi pembelajaran kolaboratif

c. Fase Transformasi (Transformation).Mahasiwa dalam kelompok mereka saling

bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, mahasiswa

yang semula mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan

prestasinya karena adanya proses transformasi dari mahasiswa yang memiliki


163

prestasi tinggi kepada mahasiswa yang prestasinya rendah. (catatan tertulis dan

Video via kamera HP

d. Fase Presentasi (Presentation).Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun

laporan, lalu setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya (video). Pada

saat salah satu kelompok melakukan presentasi, maka kelompok lain mengamati,

mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi.Tahap

presentasi mencakup dua kegiatan utama, yaitu mengorganisasikan sesi tutorial

dan melakukan diskusi. Untuk mengorganisasikan sesi tutorial, dosen

menggunakan fasilitas yang telah disediakan pada facebook, yaitu event. Melalui

fasilitas ini, dosen mengatur materi perkuliahan untuk setiap pertemuan

(mingguan) dengan meng-upload materi ke dalam event.Selain itu dosen

mengatur gambar profil pada event yang merepresentasikan topik pada setiap

sesi serta mengatur akses mahasiswa pada materi agar memudahkan mahasiswa

untuk mengaksesnya. Tanpa harus melakukan permintaan. Facebook akan

mengirimkan pesan kepada setiap anggota group setiap kali ada informasi baru.

Pada langkah ini, dosen juga memantau partisipasi mahasiswa yang mengunjungi

group, yang disimmpan secara otomatis oleh Facebook setiap kali mereka

mengunjungi group

e. Fase Refleksi (Reflection).Masing-masing kelompok diskusi mahasiswa secara

berkelompok memberi jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau

permasalahan yang belum tuntas yang dilengkapi dengan tautan/sumber rujukan

yang bisa dipelajari oleh temannya.melalui Facebook.

(3) Fase 3. Penutup.

a) Diakhir diskusi kelompok pemandu menutup diskusi dan melakukan

penilaian terhadap aktivitas diskusi temannya


164

b) Kelompok pemandu membuat kesimpulan, dan membuat laporan diskusi

tatap muka dan online.

c) Laporan diskusi ini menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan:

(a) Apa kesimpulan kolaboratif online dari setiap status (masalah yang

didiskusikan)?

(b) Apa saja referensi (situs web, artikel, buku) yang dapat digunakan untuk

mencari informasi dari setiap topik diskusi yang sudah dibahas

minggu ini?

d) Masing-masing mahasiswa membuat penilaian diri terhadap diskusi yang

sudah mereka lakukan selama 8 kali. Penilaian diri ini hanya dilakukan

sebanyak tiga kali, setelah setiap tiga topik selesai dibahas melalui diskusi

online. Melalu penilaian diri mahasiswa diminta mengomentari

pembelajaran mereka sendiri berdasarkan kriteria penilaian yang sudah

ditetapkan.

Secara lengkap hasil penyusunan strategi instruksional disajikan pada pada

lampiran Lampiran - 14 ( Hasil Menyusun Strategi Instruksional ). Contoh

rancangan strategi model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial

seperti yang disajikan pada tabel 4.4

4. Hasil mengembangkan bahan pembelajaran

Pada penelitian dan pengembangan ini, pengembangan bahan pembelajaran

dilakukan untuk dua jenis bahan pembelajaran, meliputi bahan cetak dan bahan

online. Pengembangan bahan pembelajaran cetak terdiri dari: a) Modul mata kuliah

CCU, b) Buku Panduan untuk dosen dan c) Buku Panduan untuk mahasiswa.

a) Hasil pengembangan bahan pembelajaran cetak

1) Modul mata kuliah CCU.


165

Modul mata kuliah CCU yang dihasilkan penelitian dan pengembangan ini

merupakan bahan pembelajaran yang memuat materi-materi yang akan dibelajarkan

kepada mahasiswa selama satu semester. Modul ini terdiri empat modul yang

meliputi:

Tabel 4.5 Hasil penyusunan strategi pembelajaran

Mata
ilmu cross cultural understanding
Kuliah
After studying this unit students expected to be able to understand the basic concept
of culture, cultural values and cultural norm, the importance of intercultural
TIU
communication, Communication and Intercultural Communication, relationship
Between Culture And language

Urutan
Garis Besar Isi Metode Media& Alat Waktu
Kegiatan
1. 2. 3. 4. 5.
Tahap pendahuluan
Deskripsi After studying this unit students Diskusi 1. Laptop/HP 1 menit
singkat expected to understand the basic kelompok 2. buku panduan
concept of culture, cultural values dalam kelas dosen
and cultural norm, the importance of
30T 30T 3. buku panduan
intercultural communication, maahsiwa
Communication and Intercultural 4. Modul CCU
Communication, relationship
Between Culture And language
Relevansi students expected to understand the 2 menit
dan basic concept of culture, cultural
manfaat values and cultural norm,
the importance
30T of intercultural
30T

communication, Communication and


Intercultural Communication,
relationship Between Culture And
language
Tujuan 1. Students will be able to define 5 menit
Instruksio culture
nal 2. Students will be able to give
Khusus examples of culture
3. Students will be able differ
cultural values and cultural norm
4. Students will be able to identify
relation cultural norms and values
5. Students will be able to give
examples of cultural value in
indonesia
6. Students will be able to give
examples of cultura in Indonesia
7. Students will be able to define
cultural Norms
8. Students will be able to give
examples of cultural norms
9. Students will be able to analyze
the importance of intercultural
30T 30T

communication
166

10. Students will be able to to


identify the relationship
Between Culture And language
Tahapan penyajian oleh dosen
Uraian Menguraikan tentang: 1. Laptop/HP 25
1. Students will be able to define 2. Koneksi internet
culture 3. buku panduan
2. Students will be able to give dosen
examples of culture 4. buku panduan
3. Students will be able differ maahsiwa
cultural values and cultural norm 5. Modul CCU
4. Students will be able to identify
relation cultural norms and values
5. Students will be able to give
examples of cultural value in
indonesia
6. Students will be able to give
examples of cultura in Indonesia
7. Students will be able to define
cultural Norms
8. Students will be able to give
examples of cultural norms
9. Students will be able to analyze
the importance of intercultural
30T 30T

communication
10. Students will be able to to
identify the relationship
Between Culture And language
Contoh Students are given give examples of
language usage cultural context
Non Students are given give examples of
Contoh language usage out of cultural
context
Latihan Mahasiswa diberikan soal latihan Berdiskusi
dalam group
kecil di kelas
dan
mempraktekkan
dalam group FB
examples of
cultura in
Indonesia

Test Mahasiswa diberikan test formatif Mahasiswa


Formatif mengerjakan
soal tertulis
yang berkaitan
dengan basic
concept of
culture, cultural
values and
cultural norm,
the importance
30T 30T

of intercultural
communicatio,
Communication
and
Intercultural
Communication
, relationship
167

Between
Culture And
language
Rangkum Urain singkat basic concept of
an culture, cultural values and cultural
norm, the importance of
30T 30T

intercultural communication,
Communication and Intercultural
Communication, relationship
Between Culture And language
Glosari Daftar istilah penting yang berkaitan
dengan, cultural values and cultural
nor, culture and language
TAHAP PENUTUP
Unpan 1. Penilai atas diskusi kelompok 20
balik yang sudah dilakukan
2. the basic concept of culture,
cultural values and cultural norm,
the importance of intercultural
30T 30T

communication, Communication
and Intercultural Communication,
relationship Between Culture And
language
3. Pemberian motivasi pada
mahasiswa pentingnya memahami
hubungan culture and language
dalam kehidupan sehari dan dalam
mengajar
Tindak Mahasiswa diminta Diskusi 1. Laptop/HP
lanjut mendiskusikan examples of kelompok 2. Koneksi
cultural value in indonesia dn online lewat FB internet
examples of cultura in Indonesia

Strategi pembelajaran tatap muka dilanjutkan dengan skenario pembelajaran sesi

kolaboratif online di Facebook, sebagaimana di tampilkan pada table.4.6

Tabel 4.6. Skenario pembelajaran sesi kolaboratif online di Facebook

Fase Aktivitas dosen Aktivitas mahasiswa


Fase 1: 1. Memastikan tim peman- du diskusi Kelompok pemandu diskusi membuat
Perkenalan telah membuat status lanjutan status di grup dan menuliskan
(hari pertama) diskusi kelas di facebook ertanyaan/masalah yang belum tuntas
2. Jika diperlukan memberikan fokus saat diskusi tatap muka
materi/masalah pada status yang Peserta diskusi boleh mengajukan
akan dibahas. masalah/ pertanyaan baru yang berkaitan
dengan materi diskusi.
Fase 2 : kolaboratif online
Engagement Melakukan brainstorming pada Mahasiswa mahasiswaberpikir tentang
57T

mahasiswa untuk Mengingat


57T apa yang mereka sudah tahu tentang
pengetahuan yang pernah diajarkan topik. secara umum, mahasiswaakan
tentang topic yang akan didiskusikan datang ke pelajaran dengan pengetahuan
sehingga dapat menarik perhatian terkait yang cukup. mereka perlu
mahasiswa, diingatkan tentang apa yang telah
mereka ketahui. daftar tujuan, sasaran,
dan hasil untuk topik juga disediakan.
properti tujuan menetapkan
mahasiswaharapan untuk informasi,
168

keterampilan, dan kiriman yang akan


dicapai dalam modul ini
Presentation Memberikan panduan pada mahasiswa Meringkas dan membaca, mengutarakan
57T 3T57

tentang topic utama dan menyediakan dengan di shoot via kamera hp


sebuah kerangka reference untuk
aktivitas pembelajaran. Informasi
spesisifk disajikan dan dikaitkan
dengan pengetahuan sebelumnya
Transformation Mengkonstruksi dan mempraktekkan Menyajikan tugas atau kegiatan mereka.
57T

konsep tugas "nyata".


Exploration memberikan mahasiswa kesempatan
57T Bereksperimen cara menggunakan
57T

untuk Bereksperimen cara bahasa inggris ke bahasa target


menggunakan bahasa inggris ke
bahasa target
Reflection Melekaukan evaluasi terhadap proses, Refleksi atau evaluasi adalah seksi
57T 57T

/evaluasi tugas kelompok yang terlibat dalam diskusi dalam kelompok


57T

pembelajaran kolaboratif
Fase 3: 1. Mengingatkan kelompok pemandu 1. Kelompok pemandu diskusi membuat
penutup diskusi membuat kesimpulan, kesimpulan dan menutup diskusi.
penilaian dan laporan diskusi online. 2. Kelompok pemandu diskusi membuat
2. Memberikan penghargaan terhadap laporan diskusi dan memberikan
keberhasilan mahasiswa. penilaian terhadap aktifitas kolaboratif
3. meminta mahasiswa membuat online yang terjadi FB selama 8 kali.
penilaian diri” terhadap apa yang 3. Mahasiswa membuat penilaian diri
sudah mereka pelajari dari terhadap apa yang mereka sudah
kolaboratif online pelajari dari materi diskusi online.

Modul 3: Gender Issues In British And United Stated Of America


49T

Modul 4: Life And Values


49T

Secara keseluruhan komponen-komponen modul yang dikembangkan terdiri dari:

1. Tittle

2. Introduction

3. Content Outline

4. Instruction to the users

5. Objectives

6. Learner activities

7. Summary

8. Formative Tests

9. Leaner Feedback

10. References
169

11. Glosary

2) Buku Panduan Dosen

Buku panduan dosen secara rinci memuat panduan tentang pedoman pelaksanaan

pembelajaran mata kuliah CCU menggunakan model pembelajaran kolaboratif online

yang dihasilkan penelitian dan pengembangan ini. Secara keseluruhan buku panduan

dosen ini terdiri dari:

Halaman muka
49T

Kata pengantar
49T

Daftar isi
49T

Daftar lampiran
49T

Bagian 1 Pendahuluan
49T

A. Latar Belakang
49T

B. Tujuan
49T

C. Peta Kompetensi
49T

D. Garis Besar Isi Modul


49T

E. Gambaran Singkat Model Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Situs Jejaring Sosial


49T

Bagian 2 Petunjuk Penggunaan Modul


49T

Modul 1: Foundation of Cross Cultural Communication


49T

Modul 2: Intercultural Conflict, Acculturation , Culture Shock, and Intercultural


49T

49T Competence

Modul 3: Gender Issues In British And United Stated Of America


49T

Modul 4: Life And Values


49T

Bagian 3 Penutup
49T

Lampiran-Lampiran
49T

3) Buku Panduan Mahasiswa


170

Buku panduan mahasiswa secara rinci memuat panduan bagi mahasiswa agar secara

mandiri dapat mempelajari modul mata kuliah CCU menggunakan model pembelajaran

kolaboratif online yang dihasilkan penelitian dan pengembangan ini.

Secara keseluruhan buku panduan dosen ini terdiri dari:


49T

Halaman muka
49T

Kata pengantar
49T

Daftar isi
49T

Daftar lampiran
49T

Bagian 1 Pendahuluan
49T

Latar Belakang
49T

Tujuan
49T

Peta Kompetensi
49T

Garis Besar Isi Modul


49T

Diagram Proses Pembelajaran


49T

Petunjuk Umum Penggunaan Modul


49T

Bagian 2 Petunjuk Penggunaan Modul


49T

Modul 1: Foundation of Cross Cultural Communication


49T

Modul 2:
49T Intercultural Conflict, Acculturation , Culture Shock, and Intercultural

Competence

Modul 3: Gender Issues In British And United Stated Of America


49T

Modul 4: Life And Values


49T

Bagian 3 Penutup
49T

Lampiran-lampiran
49T

b) Hasil pengembangan bahan pembelajaran online


171

Bahan pembelajaran online yang dikembangkan terdiri dari pengaturan aplikasi

Facebook dalam bentuk group belajar yang diatur berdasarkan tahapan-tahapan

pembelajaran kolaboratif online yang dikembangkan. Selain pengaturan aplikasi

facebook, juga dikembangkan bahan bahan pembelajaran berupa video-video dan

naskah teks yang diunggah sebagai bahan diskusi mahasiswa selama melakukan diskusi

dan kolaborasi secara online. Pengaturan aplikasi facebook untuk pembelajaran

kolaboratif online berbasis jejaring sosial dapat dilihat pada gambar.4.3


80T

Engagement Phase
80T Exploration Phase
80T 80T

Transformation Phase 80T Presentation Phase


80T
172

reflection Phase
80T 80T 80T

Gambar.4.3. Pengaturan Facebook untuk Model Pembelajaran Kolaboratif Online


80T

Berbasis Jejaring Sosial

C. Validasi Dan Uji Coba Produk

1. Validasi

Validasi Produk bahan pembelajaran dilakukan oleh empat orang pakar yaitu: a.

Pakar Desain; b Pakar Materi; c. Pakar Media; dan d Pakar Bahasa.

a. Validasi Produk Dengan Pakar

Pelaksanaan validasi produk (bahan pembelajaran ) dengan pakar dilaksanakan

pada tanggal 28 April s.d 13 Mei 2018. Jumlah pakar yang dilibatkan pada validasi

produk ini sebanyak 4 orang yaitu: (1) pakar desain pembelajaran; (2) pakar materi; (3)

pakar media; dan (4) pakar bahasa. Masukan/mendapat dari pakar ini digunakan untuk
173

melakukan revisi draft bahan pembelajaran yang dikembangkan. Informasi dan

masukan dari pakar yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Validasi dengan Pakar Desain Pembelajaran

Hasil evaluasi dengan pakar desain pembelajaran terhadap draft bahan

pembelajaran untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan

Maulana Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang perlu

diperbaiki, yaitu:

Saran Perbaikan Perbaikan


1. Perumusan beberapa TIU pada unit One Chapter Memperbaiki Perumusan TIU pada unit One
2 belum menggunaan kata operasional Chapter 2 dengan menggunaan kata operasional
2. Kesesuaian beberapa TIU dengan TIK pada unit Memperbaiki beberapa TIK pada unit Two
Two chapter 3 perlu diperbaiki chapter 3 yang sesuai dengan TIU
3. Kesesuai materi dengan TIK pada Unit Three Memperbaiki isi bahan ajar Unit Three chapter
chapter 5 perlu diperbaiki, karena isi bahan ajar 5 yang mendukung TIK
belum mendukung TIK
4. Contoh –contoh yang terdapat Unit Three, Memperbaiki contoh –contoh yang terdapat
Chapter 6 dalam bahan ajar kurang menarik Unit Three, Chapter 6 dalam bahan ajar yang
mahasiswa menarik mahasiswa
5. Evaluasi/ test unit One Chapter 1 belum Memperbaiki Evaluasi/ test unit One Chapter 1
mengacu pada tujuan/kompetensi yang agar mengacu pada tujuan/kompetensi yang
ditetapkan ditetapkan
Tabel 4.7. Masukan Pakar Desain Pembelajaran

Setelah perbaikan dilakukan dan didiskusikan lagi dengan pakar desain pembelajaran,

maka dapat disimpulkan bahwa desain pembelajaran layak digunakan

b) Validasi dengan Pakar Materi

Validasi yang dilakukan oleh pakar pakar materi terhadap draft bahan

pembelajaran untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN

Sultan Maulana Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang

perlu diperbaiki, yaitu:

Tabel 4.8. Masukan Pakar materi

Saran Perbaikan Perbaikan


1. Perlu penyempurnaan Konsep-konsep cakupan penyempurnaan Konsep-konsep yag
disiplin ilmu cross cultural understanding, karena sesuai dengan disiplin ilmu cross
bebebrapa Konsep-konsep belum sesuai dengan cultural understanding
cakupan disiplin ilmu cross cultural understanding.

2. Perlu memperbaiki Konsep yang ada dalam bahana memperbaiki Konsep yang ada
174

ajar karena masih kurang relevan dengan keadaan dalam bahana ajar yang relevan
sekarang. dengan keadaan sekarang.
3. Keakurasian Konsep/materi yang dijelaskan dalam Memperbaiki Keakurasian
bahan ajar belum tepat, perlu diperbaiki agar Konsep/materi dalam bahan ajar
keakurasian dapat dicapai
4. Konsep-konsep yang disusun belum disusun secara Memperbaiki susunan Konsep-
sistematis, sehingga sulit dipahami secara konsep dengan disusun sistematis,
menyeluruh sehingga sulit dipahami secara
menyeluruh
Setelah memperbaiki produk pembelajaran dan didiskusikan lagi dengan pakar

materi, maka maka dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran layak digunakan

3) Validasi dengan Pakar Media/Desain Grafis

Hasil evaluasi dengan pakar media/desain grafis terhadap draft bahan

pembelajaran untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN

Sultan Maulana Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang

perlu diperbaiki, yaitu:

Tabel 4.9.masukan pakar media/Graphis

Saran Perbaikan Perbaikan


1. Perbaikan gambar sampul, dan gambar lain yang Memperjelas gambar sampul, dan
disajikan pada bahan pembelajaran.Gambar yang gambar lain dengan gambar yang
disajikan pada bahan pembelajaran semestinya harus berwarna untuk memudahkan
jelas untuk memudahkan mahasiswa melihat dan mahasiswa melihat dan
mempelajari. mempelajari.
2. Perlunya memasukan gambar yang sesuai dengan memasukan gambar yang sesuai
konteks materi bahan ajar agar dapat mendukung dengan konteks materi bahan ajar
penyampain pesan materi, misalnya gambar orang yang mendukung penyampain pesan
Indonesia untuk kontek Indonesia materi,
3. Perlunya memperbaiki gambar yang ada dalam memperbaiki porsi gambar yang ada
materi dengan porsi yang sesuai suapaya menarik dalam materi sehingga menarik bagi
bagai mahasiswa mahasiswa
4. Disarankan agar menggunakan gambar sendiri atau Menukar beberapa gambar dengan
orang yang dikenal, untuk gambar yang memiliki gambar yang tidak memiliki hak
hak cipta cipta
5. Masih adanya inkonsistensi jenis dan ukuran huruf Merubah ukuran huruf pada semua
tiap unit atau bagian dalam bahan ajar, misalnya modul dengan porsi yang sesuai.
jenis dan ukuran huruf untuk judul setiap menggunakan font Arial pada setiap
unit/chapter dan isi bahan ajar unit/chapter dan isi bahan ajar
6. Layout antara unit satu dengan yang lain sama, sub Memperbaiki Layout semua unit
unit satu dengan yang lain sama tidak konsisten. agar konsisten

Setelah memperbaiki produk pembelajaran dan didiskusikan lagi dengan pakar

media/desain grafis maka dapat disimpulkan bahwa desain pembelajaran layak

digunakan

4) Validasi dengan Pakar Bahasa


175

Hasil evaluasi dengan pakar bahasa Inggris terhadap draft bahan pembelajaran

untuk mata kuliah CCU program studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana

Hasanuddin secara umum sudah baik, namun beberapa hal yang perlu diperbaiki,

yaitu:

Tabel 4.10.Masukan Pakar Bahasa

Saran Perbaikan Perbaikan


1. Banyak kalimat dalam bahan ajar sulit dipahami Memperbaiki kalimat yang sulit
mahasiswa karena banyak yang kalimat berbelit-belit dipahami mahasiswa
dan panjang
2. Bahasa yang digunakan belum sesuai dengan bahasa Menyesuaikan bahasa yang sesuai
mahasiswa, banyak menggukan pilihan kata yang sulit dengan kemampuan mahasiswa
3. gaya bahasa dalam bahan ajar kurang komunikatif Memperbaiki gaya bahasa menjadi
sehingga pesan yang disampaikan tidak diapahami bahasa komunikatif
mahasisa
4. Terdapat makna kalimat yang susah dipahami sehingga Memperbaiki kalimat yang susah
mahaiswa dapat sulit menarik kesimpulan mengenai dipahami mahasiswa sehingga
makna kalimat. mudah menyimpulkan
5. Banyak tanda banya yang tidak sesuai dengan fungsinya Memperbaiki tanda baca agar sesuai
dalam kalimat,misalnya titik koma tanda seru tanda dengan fungsinya dalam kalimat,
tanya titik dua titik koma tanda kutip apostrof tanda
penghubung dan pisah tanda kurung.
6. Relevansi antara kalimat pada beberapa unit perlu Memperbaiki kalimat pada beberapa
diperbaiki karena, banyak ketidak cocokan antar kalimat unit untuk mencapai relevansi
dalam satu paragraph
7. Terdapat pengguna ejaan yang dicampur antara gaya Memperbaiki gaya Bahasa menjadi
Amerika dan British dalam setiap unit, sehingga perlu American standar
diperbaiki agar mengguna gaya bahasa yang sama

Setelah memperbaiki produk pembelajaran dan didiskusikan lagi dengan pakar

Bahasa maka dapat disimpulkan bahwa desain pembelajaran layak digunakan

2. Uji Coba Produk

Uji Coba Produk (bahan pembelajaran) dilakukan setelah dilakukan validasi oleh

pakar design instruksional, pakar materi, pakar bahasa dan pakr media/grafis.

a. Uji coba produk dengan satu-satu dengan mahasiswa

Berdasarkan saran / masukan dari ahli Desain, ahli materi, ahli media/desain

grafis dan ahli bahasa selanjutkan draft pertama bahan instruksional digunakan untuk

melaksanakan evaluasi dengan one-to-one learners. Model draft kedua dihasilkan

melalui one-to-one Learners. Pelaksanaan evaluasi formatif one- to- one learners
176

lakukan dengan 3 (tiga) orang mahasiswa program studi Tadris Bahasa Inggris.

Mahasiswa tersebut berasal dari peringkat atas, peringkat tengah, dan peringkat

bawah di kelas semester VI . Pada uji coba one-to-one learners ini, mahasiswa

diperkenalkan dengan bahan pembelajaran Cross Culture Understanding.Uji coba

dengan one-to-one learners ini ditunjukan untuk mengurangi kesalahan yang terdapat

pada bahan Cross Culture Understanding mata kuliah Cross Culture Understanding

kelas semester VI.

Berdasarkan hasil uji coba satu-satu dengan mahasiswa , diperoleh masukan

sebagai berikut:

Tabel 4.11.Uji Coba Satu-Satu Dengan Mahasiswa


No Masukan Perbaikan
1. Contoh- contoh masih kurang dalam Menambah contoh-contoh dalam
beberapa chapter dari setiap unit dalam beberapa chapter dari setiap unit dalam
modul sehingga agak sulit memahami modul sehingga agak sulit memahami
materi pembelajaran materi pembelajaran
2. Bahasa yang digunakan dalam beberapa Memperbaiki bahasa dalam beberapa
bagian dalam chapter dalam bahan ajar bagian dalam chapter dalam bahan ajar
masih sulit dipahami karena agar mudah dipahami dengan
menggunakan pilihan kata yang sulit menggunakan pilihan kata yang lebih
mudah
3. Beberapa gambar, diagram, dan ilustrasi gambar, diagram, dan ilustrasi yang
yang disajikan dalam modul kurang, disajikan dalam modul diberikan
tidak berwarna menjadikan materi tidak berwarna menjadikan materi tidak
menarik sehingga pemahaman terhadap menarik sehingga pemahaman terhadap
materi pembelajaran agak sulit materi pembelajaran agak sulit
Berdasarkan Uji coba produk dengan one-to-one learners maka dapat disimpulkan

bahwa bahan pembelajaran layak

b. Uji coba produk dengan kelompok kecil (Small Group)

Model draft ketiga dihasilkan setelah melalui uji coba kelompok kecil (Small

Group). Evaluasi formatif Small Group dilakukan dengan 9 (sembilan) mahasiswa yang

berasal dari 3 (tiga) kelompok mahasiswa yang berbeda yaitu 3 orang mahasiswa

peringkat atas, 3 orang dari peringkat menengah dan 3 orang dari peringkat bawah kelas

Vl program Tadris Bahasa Inggris Tujuan dilakukannya evaluasi formatif Small Group

ini adalah untuk mengidentifikasi kekurangan bahan pembelajaran yang sudah diuji
177

cobakan pada one-to-one learners. Uji coba dengan Small Group ini diawali dengan

pemberian soal Pre test. Pengumpulan informasi untuk penyempurnaan bahan

pembelajaran dilakukan dengan cara mencobakan bahan pembelajaran kepada 9 orang

mahasiswa . Materi yang dipelajari adalah foundation of cross cultural communication.

Setelah melalui uji coba kelompok kecil (Small Group) ini maka dapat disimpulkan

bahwa bahan pembelajaran layak.

Tabel 4.12. Hasil evaluasi kelompok kecil

No Masukan Perbaikan
1. Desain modul pada unit four masih kurang Memperbaiki desain modul pada unit four agar
menarik dibaca menarik dibaca
2. Beberapa istilah yang digunakan dalam Memperbaiki istilah yang digunakan dalam modul
modul agak sulit dipahami agar mudah dipahami
3. Beberapa ilustrasi yang disajikan dalam Memperbaiki ilustrasi yang disajikan dalam modul
modul masih kurang menarik yang masih kurang menarik
Berdasarkan Uji coba produk dengan kelompok kecil maka dapat disimpulkan

bahwa bahan pembelajaran layak.

Untuk menguji efektivitas model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring

sosial, hasil pretest dan posttest yang diberikan kepada mahasiswa pada ujicoba

kelompok kecil menunjukkan data sebagai berikut:

Tabel 4.13 Rerata nilai pretest dan posttest ujicoba kelompok kecil

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Std. Error Statistic
Pretest 9 76,33 1,000 3,000
Postest 9 79,56 1,144 3,432
Valid N (listwise) 9

Tabel di atas menunjukkan bahwa rerata nilai posttest (76,33) lebih tinggi dari

rerata nilai pretest (79,56) dengan selisih keduanya sebesar 3,23. Berdasarkan data pada

tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan nilai rerata mahasiswa sebelum

dan setelah uji coba. Hal ini menunjukkan adanya efektivitas hasil perbaikan yang

dilakukan pada ujicoba sebelumnya, yaitu ujicoba satu-satu dengan pakar dan ujicoba
178

satu-satu dengan mahasiswa . Data hasil pretest dan posttes tersebut di atas kemudian

dihitung normalitas distribusinya menggunakan uji Liliefors.

Berdasarkan hasil perhitungan secara analitik, diperoleh harga Lo = 0,116 pada data R R

pretest dan harga Lo = 0,115 pada data posttest. Kemudian diperoleh harga Ltabel (Lt) dengan
R R R R R R

taraf kepercayaan 95% dan N = 9 adalah L t (0,05; 9) = 0,271. Dengan demikian, karena
R R

L o = 0,116 dan 0,115 < L t (0,05; 9) = 0,271, maka dapat disimpulkan bahwa data hasil
R R R R

pretest dan posttest pada uji coba kelompok kecil berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan pengujian efektivitas model pembelajaran kolaboratif online

berbasis situs jejaring sosial dengan one-sample t-test. Berdasarkan hasil uji-t yang

dilakukan dengan SPSS V. 22 diperoleh hasil perhitungan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.13 Hasil one-sample t-test pada uji coba kelompok kecil

Test Value = 9
95% Confidence Interval of the
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference
Lower Upper
Posttest 61,677 8 ,000 70,556 67,92 73,19

Berdasarkan hasil one-sample t-test pada data hasil uji coba kelompok kecil

diperoleh nilai t hitung sebesar 61,677 dengan derajat kebebasan 8. Sedangkan nilai
R R

signifikansi uji dua sisi (2-tailed) adalah sebesar 0,000. Karena nilai t hitung >t tabel (61,677 R R R R

>2,306) atau P value (0,000 < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial efektif meningkatkan hasil

belajar mata kuliah CCU pada uji coba kelompok kecil.

Selanjutnya peneliti melakukan penghitungan ukuran pengaruh (effect size) untuk

mengetahui pengaruh model pembelajaran kolaboratif online terhadap hasil belajar

mahasiswa pada mata kuliah CCU. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan

rumus Cohen Eta squared, diperoleh nilai sebesar 0,99 yang berarti bahwa terdapat

pengaruh yang kuat (strong effect), model pembelajaran pengaruh model pembelajaran

kolaboratif online terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah CCU.
179

Selain melakukan ujicoba terhadap efektivitas model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial yang dikembangkan melalui penelitian dan

pengembangan ini, peneliti juga menyebarkan angket kepada mahasiswa dan dosen

untuk mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen terhadap model yang dikembangkan

mencakup tingkat: (1) perhatian, (2) relevansi, (3) kepercayaan diri, dan (4).

Berdasarkan hasil angket tersebut diperoleh informasi sebagaimana digambarkan pada

bagan 4.4

Bagan 4.16.Persepsi Mahasiswa Dan Dosen Terhadap Model Pembelajaran Online

Berbasis Jejaring Sosial Pada Ujicoba Kelompok Kecil

Berdasarkan bagan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa baik mahasiswa

maupun dosen secara keseluruhan memberikan penilaian yang baik terhadap model

pembelajaran online berbasis jejaring sosial yang dikembangkan melalui penelitian dan

pengembangan ini.

c. Uji coba produk dengan uji coba lapangan (evaluasi field trial)

Evaluasi uji coba lapangan (field trial) dilakukan terhadap 30 mahasiswa yang

terdiri dari mahasiswa yang berasal dari tiga kelompok mahasiswa dengan kemampuan

yang berbeda, yaitu 10 mahasiswa dengan tingkat kemampuan tinggi, 10 mahasiswa

berkemampuan sedang, dan 10 mahasiswa berkemampuan rendah.

Tujuan dilakukannya evaluasi kelompok besar ini adalah untuk menguji efektivitas

bahan pembelajaran yang sudah diuji cobakan pada evaluasi kelompok kecil. Uji coba
180

kelompok besar ini diawali dengan pemberian soal Pretest dan di akhir pembelajaran,

mahasiswa diberikan soal posttest. Hasil pretest dan posttest yang diberikan kepada

mahasiswa pada ujicoba kelompok kelompok besar menunjukkan data sebagai berikut:

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Pretest 72,83 30 4,786 ,874

Posttest 78,40 30 3,244 ,592

Tabel 4.17 Rerata Nilai Pretest Dan Post-test Ujicoba Kelompok Besar

Tabel di atas menunjukkan bahwa rerata nilai posttest (72,83) lebih tinggi dari

rerata nilai pretest (78,40) dengan selisih keduanya sebesar 5,57. Berdasarkan data pada

tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan nilai rerata mahasiswa sebelum

dan setelah uji coba. Hal ini menunjukkan adanya efektivitas hasil perbaikan yang

dilakukan pada ujicoba sebelumnya, yaitu uji coba kelompok kecil. Data hasil pretest

dan posttes tersebut di atas kemudian dihitung normalitas distribusinya menggunakan uji

Liliefors.

Berdasarkan hasil perhitungan secara analitik, diperoleh harga Lo = 0,075 pada data
R R

pretest dan harga Lo = 0,100 pada data posttest. Kemudian diperoleh harga Ltabel (Lt) dengan
R R R R R R

taraf kepercayaan 95% dan N = 9 adalah L t (0,05; 30) = 0,161. Dengan demikian, karena
R R

L o = 0,075 dan 0,100 < L t (0,05; 9) = 0,161, maka dapat disimpulkan bahwa data hasil
R R R R

pretest dan posttest pada uji coba kelompok kecil berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan pengujian efektivitas model pembelajaran kolaboratif online

berbasis situs jejaring sosial dengan one-sample t-test. Berdasarkan hasil uji-t yang

dilakukan dengan SPSS V. 22 diperoleh hasil perhitungan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.13 Hasil one-sample t-test pada uji coba kelompok kecil

Test Value = 9
181

95% Confidence Interval of the


t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference
Lower Upper
Posttest 81,717 29 ,000 48,400 47,19 49,61

Berdasarkan hasil one-sample t-test pada data hasil uji coba kelompok kecil

diperoleh nilai t hitung sebesar 81,717 dengan derajat kebebasan 29. Sedangkan nilai
R R

signifikansi uji dua sisi (2-tailed) adalah sebesar 0,000. Karena nilai t hitung >t tabel (81,717
R R R R

>2,306) atau P value (0,000 < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial efektif meningkatkan hasil

belajar mata kuliah CCU pada uji coba kelompok kecil.

Selanjutnya peneliti melakukan penghitungan ukuran pengaruh (effect size) untuk

mengetahui pengaruh model pembelajaran kolaboratif online terhadap hasil belajar

mahasiswa pada mata kuliah CCU. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan

rumus Cohen Eta squared, diperoleh nilai sebesar 0,99 yang berarti bahwa terdapat

pengaruh yang kuat (strong effect), model pembelajaran pengaruh model pembelajaran

kolaboratif online terhadap hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah CCU.

Selain melakukan ujicoba terhadap efektivitas model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial terhadap mahasiswa mulai dari one to one student,

keompok kecil dan uji coba lapangan yang menghasilkan menghasilkan prototipe bahan

pembelajaran, peneliti juga menyebarkan angket kepada mahasiswa dan dosen untuk

mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen terhadap model yang dikembangkan

mencakup tingkat: (1) perhatian, (2) relevansi, (3) kepercayaan diri, dan (4).

Berdasarkan hasil angket tersebut diperoleh informasi sebagaimana digambarkan pada

bagan 4.5
182

Bagan 4.5 Persepsi mahasiswa dan dosen terhadap Model Pembelajaran On-line

Berbasis Jejaring Sosial pada Ujicoba Kelompok Besar

Berdasarkan bagan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa baik mahasiswa

maupun dosen secara keseluruhan memberikan penilaian yang baik terhadap model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial yang dikembangkan melalui

penelitian dan pengembangan ini.

D. Pembahasan

Pada bagian ini akan dideskripsikan kekuatan dan kelemahan model kolaboratif

online learning berbasis jejaring sosial pada setiap tahapan penelitian dan

pengembangan dan kaitannya dengan hasil-hasil penelitian sejenis serta faktor-faktor

yang mendukung dan menghambat pengembangan model.

1. Kekuatan Model

Kekuatan-kekuatan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial

ini antara lain, sebagai berikut:

a. Tahap Analisis

1) Analisis Kesenjangan Kinerja

80T Analisis kesenjangan kinerja atau sering dipertukarkan dengan istilah analisis

kebutuhan merujuk pada melakukan analisis front-end dengan membandingkan

kinerja aktual dan ideal mahasiswa dan mengidentifikasi peluang dan strategi untuk
80T 80T
183

peningkatan kinerja (Rothwell, 2000). Pendapat ini memberikan gambaran bahwa

tahapan analisis kesenjangan kinerja merupakan langkah awal dalam

pengembangan pembelajaran berkaitan dengan mengidentifikasi masalah kinerja

mahasiswa dan menentukan penyebabnya, menilai hasil atau dampak intervensi

yang telah berjalan sebelumnya. Dengan kata lain, analis kesenjangan kinerja

mengungkap masalah dan mengisolasi penyebabnya, untuk kemudian dapat

diputuskan jenis intervensi yang akan diambil untuk memecahkan masalah,

mengatasi penyebabnya, sehingga dapat memperbaiki program pembelajaran

sebelumnya.

Peningkatan kinerja mahasiswa didasarkan pada premis bahwa ada kebutuhan


80T

untuk perbaikan atau, lebih khusus, bahwa ada perbedaan antara apa yang

sebenarnya terjadi dan apa yang diinginkan terjadi. Hasil analisis kesenjangan

kinerja memberikan informasi yang digunakan untuk mengembangkan

pembelajaran yang memberikan solusi yang efektif, ekonomis, dan praktis.

Menurut O’Reilly (2016), analisis kesenjangan kinerja berguna untuk: 1)


80T 80T 80T

memberikan arahan untuk program, proyek, dan kegiatan, 2) memungkinkan

perancang pembelajaran untuk menentukan prioritas dan mengalokasikan sumber

daya yang dibutuhkan, 3) menciptakan kohesi melalui penyelarasan tujuan, strategi,

pengembangan profesional, dan hasil yang diinginkan, 4) Memungkinkan

pembandingan dan pemantauan implementasi dan dampak, serta 5) membantu

mengidentifikasi strategi yang tepat untuk meningkatkan praktik pembelajaran yang

tepat yang dapat memberikan perubahan.

Uraian di atas menjelaskan, bahwa model pembelajaran kolaboratif online


80T

berbasis jejaring sosial yang dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan

ini memiliki dasar dan landasan yang kuat, karena didasarkan pada adanya
184

kebutuhan terhadap pengembangan model sebagai solusi atas praktik pembelajaran

terdahulu. Hasil analisis kesenjangan kinerja yan dilakukan pada tahapan ini

memberikan informasi yang berguna mengembangkan pembelajaran yang

memberikan solusi yang efektif untuk meningkatkan kinerja mahasiswa pada mata

kuliah CCU pada Program Studi Tadris Bahasa Inggris di UIN Sultan Maulana

Hasanuddin Banten.

Hasil
80T penelitian O’Reilly
80T 80T (2016) menunjukkan bahwa untuk dapat

mengintegrasikan teknologi secara efektif ke dalam pembelajaran, tahapan analisis

kesenjangan kinerja atau analisis kebutuhan sangat diperlukan, informasi yang

diperoleh pada tahapan ini dapat memberikan informasi yang berharga dan

menawarkan kerangka kerja terutama dalam mengalokasikan sumber daya,

dukungan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan program pembelajaran

yang dikembangkan. Hasil penelitian lainnya, yaitu penelitian yang dilakukan

Eshtehardi (2017) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang dirancang secara


80T

tepat untuk memenuhi kebutuhan pengembangan modul pembelajaran bahasa dapat 80T

meningkatkan keterampilan produktif, tata bahasa, kosakata mahasiswa.

2) Merumuskan Tujuan Instruksional

80T Tujuan instruksional pada hakikatnya merupakan pernyataan tentang apa yang

diharapkan diketahui dan dapat dilakukan dan dipahami pada akhir pembelajaran.

Perumusan tujuan instruksional memainkan peran yang penting proses desain

instruksional untuk memastikan bahwa mahasiswa melakukan upaya-upaya yang

seharusnya dilakukan untuk mempelajari apa-apa yang seharusnya mereka pelajari.

Oleh karena itu tujuan instruksional harus dirumuskan secara jelas sehingga dapat

menggambarkan jenis keterampilan yang harus dicapai pada akhir pembelajaran.

atau apa yang ingin mereka pelajari.


185

Menurut Parker (2013), Strong learning objectives set up goals for what learners
80T 80T

will be able to do, and they also indicate how well they should be able to do it.

Lebih lanjut Parker menjelaskan, bahwa rumusan tujuan instruksional yang kuat
80T

harus: (1) dapat diobservasi (observable), (2) dapat diukur (measurable), (3) dapat
80T

dicapai (attainable), dan (4) spesifik (specific).

Perumusan tujuan instruksional untuk pengembangan model pembelajaran

kolaboratif online berbasis jejaring sosial ini mengacu pada capaian pembelajaran

(CP) lulusan Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana Hasanuddin

Banten. Ini berarti bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan untuk

pembelajaran mata kuliah CCU ini selaras dengan pernyataan mutu lulusan program

studi yang dapat dipertanggungjawabkan baik isi, kelengkapan deskripsi sesuai

level kualifikasinya dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Kekuatan rumusan tujuan instruksional untuk pengembangan model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial untuk pembelajaran mata

kuliah CCU dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain: (1) kelengkapan

unsur deskripsi, (2) kesesuaian dengan jenjang kualifikasi, (3) kejelasan batas

bidang keilmuan/keahlian program studi, (4) tingkat kedalaman dan keluasan materi

yang harus dikuasai, serta (5) kejelasan rumusan.

Beberapa hasil penelitian, antara lain penelitian Marasigan, et.al (2019)


80T 80T 80T

mengungkapkan bahwa pernyataan tujuan instruksional dapat membantu untuk

memperjelas tujuan dan kualifikasi program pembelajaran dan membuatnya lebih

mudah bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, seperti mahasiswa , dosen,

orangtua, maupun stakeholder terkait lainnya. Pernyataan serupa dikemukakan

dalam penelitian Daliri, Munir, dan Daliri (2018), bahwa tujuan pembelajaran yang
80T 80T

baik harus menggambarkan hasil pembelajaran yang dapat menjelaskan apa yang
186

peserta dapat lakukan, ketahui atau yakini sebagai hasil dari pengajaran. Tujuan

akan menjadi terarah jika dilaksanakan dengan efektif dan direncanakan

berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan.

Uraian di atas menjelaskan, bahwa tujuan instruksional yang dirumuskan dengan


80T 80T 80T

baik sangat bermanfaat dalam merancang suatu program pembelajaran. Ketika

digunakan secara efektif, tujuan pembelajaran menjadi dasar dan landasan bagi

seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

yang diharapkan, dengan kata lain, setiap orang mengetahui secara jelas peranan

mereka dalam proses pembelajaran, dan hasil apa yang mereka inginkan setelah

proses pembelajaran berakhir.

3) Analisis karakter mahasiswa

Mahasiswa memiliki latar belakang yang berbeda, motivasi, dan preferensi


80T

dalam proses belajar mereka. Karena itu, ketika merancang bahan ajar, penting

untuk mengakomodasi unsur-unsur yang mencerminkan perbedaan individu dalam

pembelajaran. Menurut Stern (1991),kesadaran akan karakteristik pelajar dan

perbedaan individu di antara pembelajar bahasa dapat membuat menumbuhkan

kepekaan dosen dalam merespon reaksi mahasiswa terhadap pembelajaran. Konsep

karakteristik mahasiswa harus mendapat tempat dalam teori pengajaran bahasa,

baik faktor kognitif maupun afektif. Latar belakang Pendidikan, pengalaman belajar

bahasa sebelumnya, serta komponen penilaian bakat dan gaya belajar dapat

memberikan indikasi bagaimana mahasiswa cenderung merespons tuntutan

kognitif. Analisis karakteristik afektif dapat menunjukkan bagaimana individu

cenderung merespons tuntutan emosional, motivasi, dan interpersonal dalam

pembelajaran.
187

Pembelajaran yang mengintegrasikan teknologi komunikasi dan informasi dalam


80T

lingkungan virtual membutuhkan perhatian yang serius perancang pembelajaran

terhadap karakteristik mahasiswa yang akan menjadi sasaran pembelajaran.

Meskipun menawarkan banyak keuntungan, pemanfaatan teknologi komunikasi dan

informasi sangat rentan terhadap kegagalan, karena jenis pembelajaran ini salah

satunya membutuhkan kesiapan mahasiswa untuk dapat terlibat aktif di dalamnya.

Hal ini sebagaimana dikemukakan Sampson, et.al (2019) sebagai berikut:

Knowing learner characteristics and monitoring e-learning behaviors will


help researchers and practitioners in both the prevention of dropout
behaviors and determination of learners who have a tendency to quit. This
can be accomplished in two stages: In the first stage, the learners are
identified; in the second stage, improvements are made in the e-lcarning
environment.

Hasil penelitian dan pengembangan ini menunjukkan, bahwa pada tahap

identifikasi karakteristik mahasiswa diperoleh data bahwa: (1) semua mahasiswa


80T 80T

memiliki handphone dan laptop, (2) rerata usia mahasiswa 21-22 tahun, dan (3)

semua mahasiswa memiliki akun Facebook, 95 mahasiswa menggunakan facebook

setiap hari untuk update status, berbagi informasi perkuliahan. Data ini

menunjukkan bahwa mahasiswa sasaran telah memiliki kematangan kognitif untuk

berkolaborasi. Selain itu sosial media familiar dengan keseharian mereka. Kondisi

ini menunjukkan internet dan social media sudah menjadi bagian kehidupan sehari-

hari mahasiswa , sehingga berpeluang untuk memperkuat pembelajaran melalui

proses kolaborasi secara online yang diracang dalam penelitian ini.

Beberapa hasil penelitian, antara lain penelitian Widyastuti, dan Utami (2018)

menyimpulkan, bahwasebagai pusat pembelajaran di kelas, Dosen memiliki peran


80T

penting dalam menyelaraskan karakateristik mahasiswa dengan tujuan

pembelajaran yang ingin dicapai, dalam hal model, strategi, metode atau media

pembelajaran. Dosen dituntut untuk dapat menyesuaikan karakateristik peserta


188

untuk mendukung perubahan paradigma pengajaran dari yang berpusat pada dosen

menjadi yang berpusat pada mahasiswa.Sementara penelitian Chang (2018)


80T

menyimpulkan, bahwa bahan-bahan pembelajaran harus memungkinkan mahasiswa


80T

untuk secara aktif belajar, berinteraksi secara sosial, secara bebas mengeksplorasi

hal-hal baru dan secara bermakna. Untuk itu, pengembangan bahan pembelajaran

harus disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa sasaran. Selain itu bahan

pembelajaran yang dikembangkan juga harus dapat membantu mencapai capaian

pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum.

4) Analisis sumberdaya dan teknology

Keputusan tentang opsi mengembangkan pembelajaran harus bergantung pada


80T

lokasi peserta yang diusulkan, jenis tujuan yang akan dikembangkan, konten yang

akan disampaikan, dan ketersediaan sumber daya teknologi (Woodward2T80 and

Cuban, 2001). Pendapat ini mengindikasikan bahwa pengambilan keputusan untuk


2T80

mengembangkan suatu model pembelajaran salah satunya adalah

mempertimbangkan ketersediaan teknologi yang memungkinkan model

pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan secara efektif.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan Teknologi Informasi dan


80T

Komunikasi telah menjadi fenomena abad ke-21 dan tumbuh memainkan peran

penting sebagai alat yang ideal untuk memperoleh, menyimpan, menyebarluaskan,

dan menerapkan pengetahuan. Potensi besar teknologi komunikasi dan informasi

dipercaya dapat menembus ruang batas dan waktu, menciptakan pembelajaran

aktif,meningkatkan produktivitas, motivasi, pemikiran tingkat tinggi, kemandirian,

dan kolaborasi mahasiswa . Hal tersebut meningkatkan antusiasme yang tinggi di

kalangan Pendidikan dan perancang pembelajaran dalam mengintegrasikan

Teknologi Informasi dan Komunikasi ini ke dalam pembelajaran. Meskipun tidak


189

banyak hasil-hasil penelitian yang mengungkapkan kegagalan integrasi Teknologi

Informasi dan Komunikasi ini dalam praktik pembelajaran, namun beberapa hasil

penelitian mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat keberhasilan penerapan

Teknologi Informasi dan Komunikasi ke dalam pembelajaran, antara lain penelitian

Yasmin (2018) yang mengungkapkan bahwa tantangan utama yang dihadapi para

dosen dalam mengintegrasikan teknologi komunikasi ke dalam pembelajaran adalah

terbatasnya bahan-bahan pembelajaran yang relevan dan kurang memadainya

ketersediaan sarana dan prasarana teknologi itu sendiri. Sementara hasil penelitian

Palagolla dan Wickramarachchi (2019) menyimpulkan bahwa Untuk kurang


80T 80T

efektifnya pengintegrasikan teknologi komunikasi dan informasi ke dalam

pembelajaran disebabkan oleh beberapa faktor, antara kurangnya tersedianya

infrastruktur TIK, dukungan kepemimpinan yang buruk, perencanaan sekolah yang

tidak memadai, kurangnya kompetensi TIK, dan sikap terhadap TIK. Penelitian ini

juga menyoroti menyoroti pentingnya kesiapan para Dosen dalam menerapkan

pembelajaran berbasis TIK yang turut berperan dalam kesuksesan penerapannya ke

dalam pembelajaran. Hasil penelitian Harrell, dan Bynum (2018) mengungkapkan


80T

bahwa kepercayaan diri dosen memainkan peran penting dalam keinginan untuk

menggunakan alat-alat teknologi di dalam kelas. Oleh karena itu, dosen harus

didukung dengan memberikan mereka pengembangan profesional yang memadai.

Ditambah dengan infrastruktur yang buruk, kurangnya bandwidth jaringan dan

kekurangan perangkat yang cukup untuk penggunaan ruang kelas dapat

menyebabkan dosen merasa putus asa dan meninggalkan sepenuhnya menerapkan

teknologi ke dalam praktik pembelajaran.

Uraian di atas, yang didukung hasil-hasil penelitian yang relevan memberikan

gambaran pentingnya kesiapan sumberdaya dan ketersediaan infrastruktur TIK


190

dalam menerapkan model-model pembelajaran berbasis TIK. Tanpa dukungan

tersebut, antusiasme yang tinggi untuk mengintegrasikan TIK ke dalam

pembelajaran tidak hanya akan menjadikan pembelajaran menjadi tidak efektif,

lebih daripada itu, hal tersebut justru dapat menyebabkan dosen dan mahasiswa

merasa putus asa dan meninggalkan sepenuhnya menerapkan teknologi ke dalam

praktik pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis kesiapan sumberdaya manusia dan ketersediaan

sarana dan prasarana TIK dalam menerapkan model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial di UIN SMH Banten, diperoleh data bahwa Dosen

menggunakan facebook setiap hari untuk update status dan berbagi informasi

perkuliahn dengan mahasiswa secara pribadi, ini menunjukkan bahawa dosen sudah

terbiasa menggunakan facebook. Selain itu, UIN SMH Banten telah dilengkapi

dengan fasilitas koneksi internet nirkabel (wireless hotspot) yang tersedia di hampir

seluruh area kampus dan dapat diakses, baik oleh para dosen maupun mahasiswa.

Hal ini mengindikasikan bahwa kesiapan sumberdaya manusia dan ketersediaan

infrastruktur TIK sangat memungkinkan dilaksanakannya model pembelajaran

kolaboratif online berbasis jejaring sosial di UIN SMH Banten yang dihasilkan dari

penelitian dan pengembangan ini.

5) Perancangan dan pengembangan (design and development)

1) Analisis Tugas

Analisis tugas dalam pembelajaran mengacu pada suatu proses memecah-


80T

mecah keterampilan yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil

(Ledford, Lane, dan Barton, 2119). Pendapat lain dikemukakan Mazhisham, et.al
2T80 2T80 80T 8 0T

bahwa tingkat analisis ini berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan apa yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan atau tugas tertentu.
191

Pendapat-pendapat ini memberikan gambaran bahwa analisis tugas merupakan


80T

tahapan penting dalam pengembangan instruksional karena pada tahapan ini tujuan

pembelajaran didefinisikan, dipecah dan dikelompokkan berdasarkan jenis

pengetahuan, sikap atau keterampilan yang harus dicapai mahasiswa setelah

pembelajaran berlangsung, serta diurutkan secara tepat dan logis sehingga dapat

membantu perancang pembelajaran untuk membuat keputusan tentang strategi

maupun media pembelajaran yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan (Jonassen, Tessmer and Hannum (1989)
80T 80T

bahwa analisis tugas pembelajaran memiliki lima fungsi yang berbeda, meliputi: (a)

menginventarisir tugas, (b) memilih tugas, (c), menDosentkan tugas (d)

menganalisis tingkat konten, dan (e) mengklasifikasikan tugas.

Jonassen, Tessmer dan Hannum (1989) mengemukakan bahwa:


80T 80T 80T

A poorly executed task analysis often results in gaps in the instructional


80T 80T 80T

sequence, because elements of the task were not revealed by the analysis. Gaps
in the instructional sequence result in insufficient learning and subsequent
deficient performance

Pendapat di atas menggambarkan bahwa analisis tugas yang dijalankan dengan


80T

buruk sering menghasilkan kesenjangan dalam urutan pengajaran, karena elemen

tugas tidak diungkapkan oleh analisis. Kesenjangan dalam urutan instruksional

menghasilkan pembelajaran dan kinerja yang tidak memadai. Berkenaan dengan hal

tersebut, pada penelitian ini analisis tugas dilakukan dengan memperhatikan

kelengkapan kriteria kelengkapan rumusan pembelajaran dengan rumusan ABCD

(Audience, Behavior, Condition, dan Degree), sehingga rumusan hasil pembelajaran

yang dihasilkan jelas sasaran, perilaku yang diharapkan akan ditampilkan

mahasiswa setelah pembelajaran, dan dapat diukur. Hasil penelitian Bansal dan
80T

Tripathi (2017) menyimpulkan bahwa kurang komprehensifnya analisis tugas dapat


192

menyebabkan program pembelajaran tidak dapat memenuhi kriteria objektif

program pembelajaran tersebut saat diimplementasikan ke dalam dunia nyata. 80T

2) Penyusunan instrumen penilaian,

Alat ukur yang baik mengukur apa yang seharusnya diukur, konsisten, dan

dengan pengeluaran minimum waktu, energi, dan biaya. Pendapat ini menjelaskan

bahwa tujuan pengembangan instrumen penilaian pada hakikatnya adalah adalah

untuk memastikan bahwa instrumen tes yang dikembangkan mampu mewakili

seluruh domain dan mampu mengukur hasil pembelajaran secara tepat, konsisten

dengan biaya, waktu dan energi yang minimal.

Penerapan model pembelajaran yang memadukan pembelajaran tatap muka dan

pembelajaran online yang dikembangkan pada penelitian dan pengembangan ini

membawa konskuensi, bahwa hasil belajar mahasiswa tidak hanya dinilai

berdasarkan hasil belajar secara tatap muka, namun juga harus dinilai dari aktivitas

pembelajaran yang dilaksanakan secara online.

Untuk mengetahui efektivitas model yang dikembangkan, pada penelitian

mahasiswa diberikan instrumen pretest dan posttest. Penyusunan instrumen

dilakukan berdasarkan hasil analisis tugas di mana setiap item tes baik pretest dan

posttest memiliki bobot yang sama. Penyusunan instrumen penilaian pada penelitian

dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) mengidentifikasi tujuan

instruksional, (2) membuat tabel spesifikasi tes, (3) Mengidentifikasi tujuan

pembelajaran khusus (4) menentukan Jenis penilaian yang tepat, (5) menentukan

bobot setiap item tes, dan (6) merangkai instrumen tes, dan (7) menguji validitas

dan reliabilitas instrumen.

Melalui langkah-langkah yang sistematis di atas, instrumen penilaian yang

dihasilkan diharapkan dapat mengukur secara tepat apa yang hendak diukur.
193

Instrumen beserta rubrik penilaian untuk setiap aktivitas pembelajaran dilampirkan

di dalam modul pembelajaran yang dikembangkan agar dapat dipelajari oleh

mahasiswa di rumah.

3) Mengembangkan Strategi Instruksional


80T

Strategi pembelajaran pada hakikatnya adalah penyajian konten pembelajaran


80T

berupa teknik pemberian informasi untuk memberikan beragam metode, kegiatan,

dan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran

yang diinginkan. Berdasarkan pendapat ini, Merencanakan prosedur dari setiap

materi pembelajaran, terlepas dari jenis informasi yang akan dikomunikasikan,

mengharuskan dosen memilih atau mengembangkan strategi yang sesuai untuk

memenuhi tujuan pelajaran yang diinginkan, karena terdapat banyak strategi

pembelajaran yang mungkin diterapkan dosen. Meskipun demikian, menurut Hunt, 2T80

Wiseman, dan Touzel (2009), pemilihan strategi harus didasarkan, terutama, pada
2T80

korelasi tujuan pelajaran, yaitu, hasil belajar mahasiswa yang diinginkan, dengan

kesiapan mahasiswa. Kesiapan dapat dianggap dalam arti luas mencakup

penguasaan pengetahuan atau keterampilan prasyarat, tingkat motivasi, dan tahap

perkembangan, dan lain-lain.

Pada penelitian dan pengembangan ini, peneliti mengembangankan suatu model


80T

pembelajaran yang memadukan strategi pembelajaran tatap muka dengan strategi

pembelajaran online. Pemilihan strategi pembelajaran yang variatif ini, diharapkan

dapat motivasi dan hasil belajar mahasiswa . Menurut Orlich, et.al. (2009) Dengan

menerapkan strategi pembelajaran yang variatif, seorang dosen akan

mengakomodasi spektrum perbedaan belajar individu di kelas dan tidak terjebak

dalam kebiasaan yang rutin dilakukan.


194

Pemilihan strategi yang baik tentu saja bukan karena variasinya, namun yang
80T

lebih penting, strategi pembelajaran yang dipilih harus sesuai dengan karakteristik

materi atau informasi yang akan disampaikan kepada mahasiswa , di samping harus

di sesuaikan dengan karakteristik mahasiswa itu sendiri. Hal ini sebagaimana

temuan hasil penelitian Osondu (2018) yang menemukan pemilihan strategi

pembelajaran yang mengakomodir perbedaan karakteristik mahasiswa berpengaruh

signifikan terhadap hasil belajar mahasiswa . Kesimpulan serupa dikemukakan

dalam hasil penelitian Mundy, Kupczynski dan Challoo (2018) bahwa Penerapan
80T 80T

strategy yang tepat dan sesuai dengan karateristik materi dan mahasiswa

berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar mahasiswa.

b. Implementasi dan Evaluasi (Implement and Evaluate)

Implementasi dan evaluasi pengembangan model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial ini dilaksanakan dalam bentuk evaluasi formatif yang

terdiri serangkaian tahapan, meliputi: (1) evaluasi satu-satu dengan pakar, (2)

evaluasi satu-satu dengan mahasiswa , (3) evaluasi kelompok kecil, dan (4) evaluasi

kelompok besar. Rangkaian tahapan tersebut dilalui untuk menguji efektivitas

model pembelajaran yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan ini

untuk diterapkan pada pembelajaran mata kuliah CCU pada Program Studi Tadris

Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menurut Tessmer (1993),

secara keseluruhan rangkaian tahapan dalam evaluasi formatif bertujuan untuk

mengetahui apakah produk pembelajaran yang dikembangkan: (1) efektif, yaitu

mahasiswa mempelajari apa yang ingin perancang ingin mereka pelajari, (2)

efisien, mahasiswa belajar dengan waktu atau biaya yang efektif, (3)

menumbuhkan minat dan motivasi, mahasiswa ingin belajar dan menghadiri

pembalajaran, (4) Berguna, pengguna dapat dengan mudah menggunakan produk di


195

lingkungan belajar, dan (5) Diterima mahasiswa atau dosen menggunakannya

seperti yang dimaksudkan atau tidak menggunakannya sama sekali. Secara singkat,

dapat dikatakan bahwa evaluasi formatif ditujukan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran, dalam arti bahwa rangkaian evaluasi formatif dilaksanakan sebagai

bentuk pertanggungjawaban perancang pembelajaran bahwa produk pembelajaran

yang dikembangkannya, dianalisis, didesain, dikembangkan, dan diterapkan secara

benar.

Mengacu pada uraian di atas, pengembangan model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial telah dilaksanakan secara sistematis serta

diimplementasikan dan dievaluasi melalui rangkaian pada evaluasi formatif

memberikan jaminan bahwa produk hasil penelitian dan pengembangan ini layak

digunakan sebagai model pembelajaran pada pembelajaran matakulia CCU pada

Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Hal

tersebut didasarkan pada proses evaluasi yang dilaksanakan secara bertahap dan

melibatkan banyak pihak, antara lain pakar desain instruksional, pakar materi, pakar

media, pakar bahasa, serta dosen dan mahasiswa. Berdasarkan hasil evaluasi pada

setiap tahapan kemudian dilakukan revisi. Proses evaluasi dan revisi yang

dilaksanakan secara berjenjang dan melibatkan banyak pihak tersebut memberikan

keyakinan bahwa produk pembelajaran yang dihasilkan layak diterapkan di UIN

Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

2. Kelemahan model

Kelemahan-kelemahan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring

sosial ini antara lain, sebagai berikut:

a) Model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosia yang

dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan ini dirancang dengan


196

memanfaatkan media sosial sebagai alat bantu yang berfungsi sebagai suplement

yang memfasilitasi mahasiswa untuk berdiskusi dan berkolaborasi secara online

di luar jam perkuliahan. Mahasiswa yang tinggal di wilayah-wilayah yang akses

internetnya terbatas akan mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam

aktivitas diskusi dan kolaborasi sehingga hasil yang diharapkan agar seluruh

mahasiswa terlibat aktif dalam kelompok-kelompok diskusi untuk

menyelesaikan permasalahan yang dihadapkan kepada mereka tidak berjalan

secara efektif. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan waktu diskusi dan

kolaborasi yang jelas agar para mahasiswa dapat mengatasi kendala tersebut,

antara lain dengan mengatur jadwal diskusi pada waktu-waktu di mana

mahasiswa masih berada di sekitar area kampus yang akses internetnya tersedia

setiap saat.

b) Pemanfaatan facebook dalam bodel pembelajaran kolaboratif online berbasis

jejaring sosial ini pada hakikatnya adalah pemanfaatan media yang sudah ada (by

utilization) dan bersifat sebagai komplemen atau pelengkap untuk memperkaya

pembelajaran di kelas dengan mengatur lingkungan virtual sebagai wahana bagi

mahasiswa untuk dapat berdiskusi dan berkolaborasi. Karena sifatnya yang

hanya memanfaatkan media yang sudah ada, terdapat beberapa keterbatasan

facebook dalam penerapan model pembelajaran ini, antara lain bahwa Facebook

tidak dapat menampilkan secara langsung file-file dalam format dokumen seperti

format *.doc, *.ppt, atau *.pdf, sehingga dosen, perlu mengkonversi file-file

yang akan diunggah ke dalam bentuk image (*.jpg). Selain itu, dalam

mengunggah file-file dalam bentuk video, jika diinginkan kualitas video yang

baik akan menghasilkan ukuran file yang sangat besar sehingga menyulitkan

mahasiswa untuk menonton secara langsung atau mengunduhnya, sehingga file

video harus dikompres sedemikian rupa agar ukuran filenya menjadi kecil.

Namun hal itu akan berdampak pada menurunnya kualitas video.


197

c) Mahasiswa umumnya tidak dapat dibiarkan sendiri melakukan aktivitas diskusi

secara online tanpa bimbingan dan pengawasan dari dosen pengampu mata

kuliah, sehingga dibutuhkan komitmen tinggi dosen yang bersangkutan untuk

ikut terlibat aktif memantau jalannya diskusi yang pelaksanaannya lebih banyak

dilakukan di luar jam kerja dosen. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada

kesepakatan antara dosen dan mahasiswa tentang jadwal diskusi online akan

dilakukan.

3. Kaitan hasil penelitian dan pengembangan dengan penelitian sejenis

Beberapa pengembangan dan kaitannya dengan hasil-hasil penelitian sejenis serta

faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pengembangan model, antara lain

sebagai berikut:

a. Hasil-hasil penelitian sejenis pengembangan model

1) Penelitian Annamalai, Tan, dan Abdullah (2016) yang berjudul: “Teaching

Presence in an Online Collaborative LearningEnvironment via Facebook”. Para

peneliti mengemukakan bahwa Web 2.0 memunculkan sejumlah platform untuk

mendorong pembelajaran kolaboratif online. Platform-platform tersebut ini

memungkinkan mahasiswa untuk secara efisien menyimpan, mencari, dan

menampilkan informasi dan terlibat dalam lingkungan pembelajaran kolaboratif

secara online. Meskipun demikian kegiatan pembelajaran kolaboratif secara online

membutuhkan pengawasan doses yang efektif, karena pengelompokan mahasiswa

tanpa instruksi yang tepat tidak menjamin terjadinya kolaborasi yang efektif.

Karena itu, perlu adanya kehadiran dosen terkait dalam kegiatan belajar mengajar

online yang bertindak sebagai fasilitator untuk membangun dan mendorong

interaksi antara dosen dan mahasiswa dengan tujuan membangun, memfasilitasi

dan memvalidasi pemahaman antara mahasiswa-mahasiswa dan dosen-mahasiswa.

Popularitas Facebook yang luar biasa, ditambah dengan jumlah tulisan yang

diproduksi oleh mahasiswa , menggambarkan potensi Facebook sebagai platform


198

yang efektif untuk melakukan diskusi dan kolaborasi. Karena itu, dalam penelitian

ini, peneliti melakukan investigasi terhadap pentingnya kehadiran dosen dalam

pembelajaran kolaboratif di lingkungan Facebook.

Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran dosen sangat penting

dalam pembelajaran kolaboratif di lingkungan Facebook sebagai ahli materi yang

berperan mengarahkan perhatian mahasiswa pada aspek-aspek penting dari tugas.

Dosen perlu secara konstan mendorong, memperkuat kontribusi mahasiswa . Hal

Ini akan memotivasi dan mendorong mereka untuk tetap terlibat dalam tugas-tugas

yang diberikan. Dengan demikian, interaksi yang berkaitan dengan kehadiran

dosen untuk mendorong mahasiswa untuk terus menulis di lingkungan

pembelajaran kolaboratif online sangat diperlukan sebagai "orkestra pembelajaran

online" di mana dosen berperan menyatukan unsur-unsur kehadiran kognitif dan

sosial secara harmonis dalam upaya mencapai hasil belajar.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa model pembelajaran kolaboratif

online denga komunitas Facebook cocok diterapkan pada lingkungan virtual


80T

online. Selain sederhana, model ini efektif dan efisien meningkatkan hasil belajar
80T

mahasiswa . Meskipun demikian, Dosen harus mengetahui peran pedagogisnya

sebagai fasilititator pembelajaran di lingkungan online. Dosen harus tahu kapan

harus melakukan intervensi dan apa yang harus diintervensi. Dalam lingkungan

online, mahasiswa harus didorong untuk mengajukan pertanyaan yang memotivasi

mereka untuk mencari wawasan baru.

1) Persamaan

Persamaan antara penelitian yang dilakukan Annamalai, Tan, dan Abdullah

dengan penelitian pengembangan yang peneliti lakukan terletak pada konsep

pembelajaran kolaboratif online yang memanfaatkan Facebook sebagai

lingkungan pembelajaran virtual.

2) Perbedaan
199

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti adalah pada pendekatan dan

tujuan penelitian, di mana penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan

mendeskripsikan peran Dosen dalam suatu model pembelajaran kolaboratif online

yang memanfaatkan facebook sebagai lingkungan pembelajaran virtual.

Sementara, penelitian peneliti adalah penelitian pengembangan yang bertujuan

mengembangkan suatu model pembelajaran kolaboratif online yang

memanfaatkan facebook lingkungan pembelajaran virtual.

2) Penelitian Al-Rahmi dan Zeki (2016) yang berjudul: “A model of using social

media for collaborative learning to enhance learners’ performance on learning”.

Para peneliti mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi internet saat ini

menyediakan banyak ruaang interaktif, seperti Face-book, Blog dan YouTube

maupun platform-platform yang lain. Jika sebelumnya media sosial secara umum

untuk tujuan berinteraksi dalam lingkungan sosial, namun akhir-akhir ini media

sosial juga banyak dimanfaatkan di lingkungan Pendidikan karena potensinya

mendorong pembelajaran kolaboratif. Salah satu manfaat paling potensial dari

media sosial adalah kemampuannya mentransformasikan lingkungan belajar

pribadi menjadi pendekatan pedagogis baru untuk meningkatkan kemandirian

belajar mahasiswa . Melalui transformasi ini, mahasiswa memiliki kendali atas

kegiatan belajar mereka.

Penelitian ini didasarkan pada teori konstruktivisme dan Model Penerimaan

Teknologi (TAM). Model pertama menyoroti dan mengusulkan bahwa interaksi

antara mahasiswa dan Dosen adalah tahap penting pembelajaran kolaboratif.

Model berikutnya menyoroti topik adopsi teknologi baru yang sangat dipengaruhi

oleh manfaat yang dirasakan dan kemudahan penggunaannya.

Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari tujuh faktor yang diteliti
80T

pengaruhnya terhadap kinerja mahasiswa untuk mempelajari Quran dan Hadits

menunjukkan bahwa di kelas-kelas yang menerapkan model Mobile Inverted

Constructivism (MIC), mahasiswa lebih termotivasi untuk belajar dan


200

menunjukkan prestasi kreatif dibandingkan pembelajaran pada kelas tradisional.

Hasil penelitian ini mengkonfirmasi bahwa media sosial menurut persepsi

mahasiswa memiliki banyak kelebihan, berguna, mudah digunakan.

menyenangkan, dan mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam pelaksanaan

pembelajaran kolaboratif.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa platform facebook memungkinkan


80T

mahasiswa untuk bertukar dan berbagi informasi dengan rekan-rekan mereka.

Berdasarkan tujuh faktor yang diteliti pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja

mahasiswa , yang meliputi: persepsi manfaat, persepsi kesenangan, dan persepsi

kemudahan penggunaan. penggunaan media sosial. pembelajaran kolaboratif,

kepuasan mahasiswa dan kinerja mahasiswa disimpulkan bahwa pembelajaran

kolaboratif dan kepuasan mahasiswa memiliki pengaruh positif pada kinerja

mahasiswa dalam konteks belajar Quran dan Hadits. Selain itu konstruk kepuasan

mahasiswa memiliki pengaruh terbesar, yang bermakna bahwa kepuasan

mahasiswa yang tinggi terhadap penggunaan facebok dalam pembelajaran

kolaboratif mengarah pada kinerja mahasiswa yang lebih baik.

1) Persamaan

Persamaan antara penelitian yang dilakukan A Al-Rahmi dan Zeki dengan

penelitian pengembangan yang peneliti lakukan adalah pada konteks penelitian,

yaitu pemanfaatan facebook sebagai lingkungan pembelajaran virtual untuk

pembelajaran kolaboratif online.

2) Perbedaan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti adalah pada pendekatan, di

mana penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui

pengaruh faktor-faktor meliputi: persepsi manfaat, persepsi kesenangan, dan


80T

persepsi kemudahan penggunaan pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja

mahasiswa pembelajaran kolaboratif yang. penggunaan media sosial. Sementara, 80T

penelitian peneliti adalah penelitian pengembangan yang bertujuan


201

mengembangkan suatu model pembelajaran kolaboratif online yang

memanfaatkan facebook lingkungan pembelajaran virtual.

b. Faktor pendukung dan penghambat penelitian pengembangan

a. Faktor pendukung

Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan penelitian ini, antara lain sebagai

berikut:

(a) Dukungan kebijakan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Maulana

Hasanuddin yang mendorong setiap dosen di lingkungan UIN Sultan Maulana

Hasanuddin untuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dalam

setiap aktivitas perkuliahan dalam rangka mewujudkan visi Fakultas Tarbiyah

dan Keguruan , yaitu menyiapkan Dosen dan tenaga kependidikan yang islami

dan berwawasan global Tahun 2030 (Wawasan 2030).

(b) Dukungan dari dosen pengampu yang terlibat dalam tahapan ujicoba, baik uji

coba kelompok kecil, maupun ujicoba kelompok besar. Pelaksanaan model

pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial yang dikembangkan

melalui penelitian dan pengembangan ini tidak hanya melibatkan aktivitas

pembelajaran di dalam kelas pada saat jadwal perkuliahan, namun juga

melibatkan aktivitas online diluar jam perkuliahan. Tanpa adanya dukungan

dan komitmen yang kuat dari dosen pengampu mata kuliah untuk senantiasa

terlibat aktif dalam aktivitas online tersebut, model pembelajaran kolaboratif

online berbasis jejaring sosial ini tidak akan dapat berjalan sesuai dengan

skenario yang direncanakan.

(c) Antusiasme mahasiswa yang tinggi untuk berperan serta aktif dalam kegiatan

pembelajaran ini merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan

penerapan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial.

Sebagai bagian dari kehidupan keseharian mahasiswa, pembelajaran melalui

Facebook dianggap mampu mengakomodir karakteristik mahasiswa saat ini


202

yang menganggap perangkat digital merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari kehidupan mereka.

b. Faktor penghambat

1) Keberhasilan penerapan model pembelajaran kolaboratif online berbasis

jejaring sosial sangat bergantung pada ketersediaan akses internet,

sehingga pada saat terdapat gangguan jaringan internet, atau bagi

mahasiswa yang tinggal di daerah yang akses internetnya kurang

memadai, aktivitas diskusi online akan terganggu. Untuk mengatasi hal

tersebut, beberapa kelompok diskusi melakukan penjadwalan diskusi

pada saat-saat akses internet mudah diperoleh, sehingga aktivitas diskusi

dapat berjalan secara efektif.

2) Meskipun mahasiswa dan dosen sudah terbiasa berkomunikasi melalui

Facebook maupun paltform-platform media sosial lainnya, namun masih

terdapat sebagian mahasiswa belum terampil mengunduh, mengunggah,

mengkonversi data serta keterampilan prasyarat lainnya yang

dibutuhkandalam menerapkan model pembelajaran kolaboratif online

berbasis jejaring sosial ke dalam pembelajaran. Oleh sebab itu, sebelum

model pembelajaran ini diterapkan, mahasiswa dan dosen perlu dibekali

dengan keterampilan prasyarat tersebut sebelum model pembelajaran

diterapkan.
203 
 
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN
Pengembangan model pembelajaran kolaboratif online berbasis jejaring sosial ini
dikembangkan berdasarkan tahapan-tahapan penelitian pengembangan, mengacu pada
model desain Instruksional ADDIE, yang terdiri atas: Analyze, Design, Development,
Implement, dan Evaluate. Hasil penelitian ini berupa Bahan Pembelajaran tercetak
berupa modul mata kuliah Cross-Cultural Understanding, pedoman untuk dosen,
pedoman untuk mahasiswa, serta bahan pembelajaran online berupa pengaturan
lingkungan belajar online pada alikasi Facebook.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosedur pengembangan model pembelajaran online kolaboratif online berbasis
jejaring sosial ini mengadopsi beberapa model pengembangan, yaitu model Borg
dan Gall (1983), ADDIE (Branch, 2009) dikombinasikan dengan Mancy And Reid
Model (Robert, 2004). Model prosedural penelitian dan pengembangan ini
mencakup empat tahapan utama, meliputi: 1) penelitian pendahuluan, mencakup: a)
kajian literatur, dan b) studi lapangan, 2) analisis, mencakup: a) analisis
kesenjangan kinerja, b) merumuskan tujuan instruksional, c) mengidentifikasi
karakteristik peserta didik, dan d) menganalisis ketersediaan sumberdaya dan
teknologi, 3) desain dan pengembangan, mencakup: a) melakukan analisis tugas, b)
merumuskan tujuan kinerja, c) menyusun instrumen penilaian, d) mengembangkan
strategi pembelajaran kolaboratif online learning, dan d) mengembangkan bahan
pembelajaran, dan 4) implementasi, mencakup: a) validasi ahli dan revisi, b) ujicoba
satu-satu dengan peserta didik dan revisi, c) uji coba kelompok kecil dan revisi,
serta d) ujicoba kelompok besar.
2. Hasil penelitian ini layak untuk digunakan untuk pembelajaran mata kuliah CCU
pada program studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten, baik peserta didik maupun dosen secara
keseluruhan memberikan penilaian yang baik terhadap: (1) perhatian, (2) relevansi,
204

(3) kepercayaan diri, dan (4).kepuasan model pembelajaran kolaboratif online


berbasis jejaring sosial. Pemanfaatan facebook pada model pembelajaran
kolaboratif online berbasis jejaring sosial yang dirancang dengan mengoptimalkan
faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja peserta didik, yang meliputi:
persepsi manfaat, persepsi kesenangan, dan persepsi kemudahan penggunaan.
penggunaan media sosial. pembelajaran kolaboratif, kepuasan dan kinerja
mahasiswa terbukti dapat menjadikan facebook sebagai lingkungan belajar
kolaboratif yang memiliki pengaruh positif terhadap kinerja mahasiswa.
3. Model pembelajaran kolaboratif online learning yang dihasilkan dari penelitian dan
pengembangan ini efektif meningkatkan kinerja mahasiswa Program Studi Tadris
Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Maulana Hasanuddin
Banten. Berdasarkan hasil uji-t pada ujicoba kelompok kecil diperoleh nilai
signifikansi untuk uji dua sisi (2-tailed) sebesar 0,006.< 0,05 yang berarti terdapat
perbedaan signifikan antara rerata nilai pretest dengan nilai posttest. Sedangkan
hasil Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Cohen Eta squared,
diperoleh nilai sebesar 0,66 yang berarti bahwa terdapat pengaruh yang kuat (strong
effect), model pembelajaran pengaruh model pembelajaran kolaboratif online
terhadap hasil belajar peserta didik pada mata kuliah CCU. Sedangkan hasil angket
terkait penilaian mahasiswa dan dosen terhadap model pembelajaran kolaboratif
online learning keseluruhan memberikan penilaian yang baik. Hasil uji-t pada
ujicoba kelompok besar menunjukkan nilai signifikansi untuk uji dua sisi (2-tailed)
sebesar 0,000.< 0,05 yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara rerata nilai
pretest dengan nilai posttest. Sedangkan hasil Berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan rumus Cohen Eta squared, diperoleh nilai sebesar 0,99 yang berarti
bahwa terdapat pengaruh yang kuat (strong effect), model pembelajaran pengaruh
model pembelajaran kolaboratif online terhadap hasil belajar peserta didik pada
mata kuliah CCU. Sedangkan hasil angket terkait penilaian mahasiswa dan dosen
terhadap model pembelajaran kolaboratif online learning keseluruhan memberikan
penilaian yang baik.
205

4. Pembelajaran kolaboratif untuk mata kuliah CCU dengan menggunakan Facebook


efektif untuk kelompok kecil ( 10 persert), hal ini disebabkan karena Dosen harus
mengontrol aktivitas diskusi online oleh mahasiswa, sementara dosen tidak
memiliki banyak waktu untuk mengontrol jumlah peserta diskusi yang lebih
banyak.
B. Implementasi
1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produk hasil penelitian dan
pengembangan ini dapat secara efektif meningkatkan hasil belajar mahasiswa,
hal ini mengindikasikan, bahwa suatu model pembelajaran perlu dilandasi oleh
teori-teori belajar dan pembelajaran yang kuat, karena teori-teori belajar dan
pembelajaran memberikan dasar untuk pemilihan strategi pengajaran dan
memungkinkan prediksi yang dapat diandalkan mengenai efektivitasnya. Agar
berhasil dalam mengembangkan Teori pembelajaran adalah sumber verifikasi
bagi strategi pembelajaran serta merupakan landasan untuk pemilihan strategi
pembelajaran yang spesifik. Teori-teori belajar dan pembelajaran juga
memberikan informasi tentang hubungan antara strategi, konteks, dan
karakteristik peserta didik agar dapat terintegrasi secara lebih baik. Hal penting
lainnya, teori pembelajaran memungkinkan prediksi yang dapat diandalkan
tentang efektivitas strategi pembelajaran yang akan dipilih.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini, model pembelajaran produk hasil penelitian dan
pengembangan ini layak diterapkan untuk pembelajaran mata kuliah CCU pada
program studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Maulana Hasanuddin Banten. Hal ini mengindikasikan bahwa proses
sistematis dalam merancang pembelajaran harus ditujukan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi. Pemilihan model desain instruksional menyediakan
kerangka kerja prosedural untuk keberhasilan pengembangan.
3. Perancangan produk-produk pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan kinerja
pembelajaran itu sendiri. Peningkatan ini dapat berupa peningkatan efektivitas
atau efisiensi pembelajaran. Implikasinya adalah, bahwa produk pembelajaran
yang dihasilkan melalui penelitian dan pengembangan harus mampu memenuhi
206

kriteria-kriteria produk pembelajaran yang baik, antara lain produk tersebut


dapat berguna, dapat diakses secara mudah, menarik, dapat memotivasi peserta
didik untuk terus terlibat dalam pembelajaran serta dapat meningkatkan
perhatian, relevansi, kepercayaan diri, dan kepuasan peserta didik terhadap
produk yang dikembangkan
4. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi
sebagai berikut:
1. Untuk mewujudkan visi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, yaitu menyiapkan

pendidik dan tenaga kependidikan yang islami dan berwawasan global Tahun
2030 (Wawasan 2030), para desainer instruksional di lingkungan Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Maulana Hasanuddin agar dapat
mengembangkan model-model pembelajaran dan sumber-sumber belajar
berbasis teknologi dan informasi baik dengan merancang dan mengembangkan
sendiri sumber belajar by design atau dengan mengembangkan dan memodifikasi
media-media yang telah tersedia (by utilization).
2. Bagi para desainer instruksional di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UIN Sultan Maulana Hasanuddin, model pembelajaran dapat dikembangkan dan


dimodifikasi untuk pembelajaran mata kuliah lainnya. Tidak hanya
menggunakan platform Facebook seperti pada penelitian ini, namun dapat
menggunakan platform-platform sosial media lain yang tersedia.
3. Bagi para mahasiswa agar dapat terus mengembangkan keterampilan teknologi

dan informasi, karena penguasaan teknologi dan informasi merupakan


keterampilan yang sangat dibutuhkan di abad ke-21 ini, terutama yang berkaitan
dengan penggunakan teknologi digital, sarana komunikasi dan/atau jaringan
yang sesuai untuk mengakses, mengelola, memadukan, mengevaluasi dan
menciptakan informasi agar berfungsi dalam ekenomi pengetahuan.
 
207 

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D. (2015). Meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam diskusi kelas melalui


penggunaan facebook. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 21(2).
Ahmed, M., & Hessa, A. (2014). The Exploration of undergraduate Students' Facebook
Activities for Collaborative Learning: A case study of International Islamic
University Malaysia. Asian journal of social sciences & humanities, 3(3), 148-156.
Al-Dheleai, Y. M., & Tasir, Z. J. T. O. J. o. E. T.-T. (2017). Using Facebook for the
Purpose of Students' Interaction and Its Correlation with Students' Academic
Performance. 16(4), 170-178.
Alev, A. (2010). Learning And Instructional Technologies For The 21st Century.
Turkish Online Journal of Distance Education, 11(4), 201-205.
Alhazmi, A. K., & Rahman, A. A. (2013). Facebook in Higher Education: Social and
Academic Purposes. International Journal of Computers & Technology, 12(3),
3300-3305.
Ally, M. (2004). Foundations of educational theory for online learning. Theory and
practice of online learning, 2, 15-44.
Annamalai, N., Tan, K., & Abdullah, A. (2016). Teaching presence in an online
collaborative learning environment via Facebook. Journal of Social Science &
Humanities, 24(1), 197-212.
Arnone, M. P. (2005). Motivational design: the secret to producing effective children's
media: Scarecrow Press.
Baker, M. J. (2002). Forms of cooperation in dyadic problem-solving. Revue
d'intelligence artificielle, 16(4-5), 587-620.
Bansal, A., & Tripathi, J. P. (2017). A Literature Review on Training Need Analysis.
IOSR Journal of Business and Management, 19(10), 50-56.
Barab, S. A., Hay, K. E., & Duffy, T. M. (1998). Grounded constructions and how
technology can help. TECH TRENDS-WASHINGTON DC-, 43, 15-23.
Barbosa, E. F., & Maldonado, J. C. (2011). Collaborative development of educational
modules: a need for lifelong learning. In E-infrastructures and technologies for
lifelong learning: next generation environments (pp. 175-211): IGI Global.
Barkley, E. F., Cross, K. P., & Major, C. H. (2014). Collaborative learning techniques:
A handbook for college faculty: John Wiley & Sons.
Barron, B. (2000). Achieving coordination in collaborative problem-solving groups. The
journal of the learning sciences, 9(4), 403-436.
Barron, B. (2003). When smart groups fail. The journal of the learning sciences, 12(3),
307-359.

 
 
208  
 

Benson, V., & Morgan, S. J. (2014). Cutting-edge technologies and social media use in
higher education: Information Science Reference.
Borg, W. R., & Gall, M. D. (1984). Educational research: An introduction.
Borich, G. D. (1974). Evaluating educational programs and products: Educational
Technology.
Branch, R. M. (2009). Instructional design: The ADDIE approach (Vol. 722): Springer
Science & Business Media.
Brinkmann, S. (2013). John Dewey: Science for a changing world (Vol. 1): Transaction
Publishers.
Brown, A. H., & Green, T. D. (2019). The essentials of instructional design: Connecting
fundamental principles with process and practice: Routledge.
Chao, L. (2007). Strategies and technologies for developing online computer labs for
technology-based courses: IGI Global.
Chen, X., Fang, Y., & Lockee, B. (2015). Integrative review of social presence in
distance education: Issues and challenges. Educational research and reviews,
10(13), 1796.
Chiang, I.-T., Liu, E. Z.-F., Chen, S.-T., & Shih, R.-C. (2011). Using web 2.0 social
networking to enhance collaborative learning in preparing graduation events. Paper
presented at the International Conference on Technologies for E-Learning and
Digital Entertainment.
Clark, R. C., & Mayer, R. E. (2016). E-learning and the science of instruction: Proven
guidelines for consumers and designers of multimedia learning: John Wiley & Sons.
Conole, G., Creanor, L., Irving, A., & Paluch, S. (2007). In their own words: Exploring
the learner’s perspective on e-learning. London: JISC. In.
Conrad, R.-M., & Donaldson, J. A. (2011). Engaging the online learner: Activities and
resources for creative instruction (Vol. 38): John Wiley & Sons.
Creswell, J. W. (2002). Educational research: Planning, conducting, and evaluating
quantitative: Prentice Hall Upper Saddle River, NJ.
Crook, C. (2002). Deferring to resources: collaborations around traditional vs computer‐
based notes. Journal of Computer Assisted Learning, 18(1), 64-76.
Czaja, S. J., & Sharit, J. (2012). Designing training and instructional programs for older
adults: CRC Press.
Dabbagh, N., & Bannan-Ritland, B. (2005). Online learning: Concepts, strategies, and
application: Pearson/Merrill/Prentice Hall Upper Saddle River, NJ.
Dahri, A. J., & Muneer, R. (2019). Bloom’s Taxonomy of Education Objectives in
Writing Instructional Objective for Sciences Subject At Secondary School Level: A
Case Study of Sindh. Grassroots, 52(2).

 
 
 
209 

Daniels, H. (1996). An introduction to Vygotsky: Taylor & Francis US.


DeBlassie, R. R. (1974). Measuring and evaluating pupil progress: Ardent Media.
Dick, W., Carey, L., & Carey, J. (2001). The systematic design of instruction. 6th. New
York: Longmann.
Dijkstra, S., Schott, F., Seel, N., Tennyson, R. D., & Seel, N. M. (2013). Instructional
Design: International Perspectives II: Volume I: Theory, Research, and Models:
volume Ii: Solving Instructional Design Problems: Routledge.
Dillenbourg, P. (1999). What do you mean by collaborative learning? In.
Dills, C. R., & Romiszowski, A. J. (1997). Instructional development paradigms:
Educational Technology.
Djaali, H., & Muljono, P. (2008). Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
Dooly, M. (2008). Telecollaborative language learning: A guidebook to moderating
intercultural collaboration online: Peter Lang.
Dunn, L. (2013). Using social media to enhance learning and teaching.
Eger, L. (2015). Is Facebook a similar learning tool for university students as LMS?
Procedia-Social and Behavioral Sciences, 203, 233-238.
El Emary, I. M. (2012). Emergent Evaluation Criteria for Collaborative Learning
Environment. In Virtual Communities, Social Networks and Collaboration (pp. 15-
33): Springer.
England, L. (2012). Online language teacher education: TESOL perspectives:
Routledge.
Eshtehardi, R. (2017). Needs Analysis and Course Design; A Framework for Designing
Exam Courses. International Journal of Applied Linguistics and English Literature,
6(6), 274-288.
Fitri, T. A. (2015). Using social networks: Facebook usage at the Riau College students.
Procedia Computer Science, 59, 559-566.
Gagné, R. M., & Gagné, R. M. (1985). Conditions of learning and theory of instruction:
Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, R. M., Wager, W. W., Golas, K. C., Keller, J. M., & Russell, J. D. (2005).
Principles of instructional design. Performance Improvement, 44(2), 44-46.
George, J. (2015). Facebook to Facebook Encounters in Japan: How an Online Social
Network Promotes Autonomous L2 Production. In New Media and Perennial
Problems in Foreign Language Learning and Teaching (pp. 91-112): Springer.
Giadrosich, D. L. (1995). Operations research analysis in test and evaluation: American
Institute of Aeronautics and Astonautics.

 
 
210  
 

Gorsky, P. (2008). The" Theory Of Instructional Dialogue": Toward A Unified Theory


Of Instructional Design. In Understanding online instructional modeling: Theories
and practices (pp. 47-69): IGI Global.
Gunawardena, C. N., Ortegano‐Layne, L., Carabajal, K., Frechette, C., Lindemann, K.,
& Jennings, B. (2006). New model, new strategies: Instructional design for building
online wisdom communities. Distance Education, 27(2), 217-232.
Gundry, J. (1992). Understanding collaborative learning in networked organizations. In
Collaborative learning through computer conferencing (pp. 167-178): Springer.
Gustafson, K. L. (1991). Survey of instructional development models: ERIC
Clearinghouse on Information & Technology.
Gustafson, K. L., & Branch, R. M. (1997). Revisioning models of instructional
development. Educational Technology Research and Development, 45(3), 73-89.
Gutierrez-Aguilar, O., & Salas-Valdivia, L. (2019) Collaborative Learning: The
Educational Perspective of Facebook. In 2019 XIV Latin American Conference on
Learning Technologies (LACLO) (pp. 348-352). IEEE.
Harasim, L. (2017). Learning theory and online technologies: Taylor & Francis.
Harmon, R. S., Doe III, W. W., & Doe, W. W. (2001). Landscape erosion and evolution
modeling: Springer Science & Business Media.
Harrell, S., & Bynum, Y. (2018). Factors affecting technology integration in the
classroom. Alabama Journal of Educational Leadership, 5, 12-18.
Harris, M., & Butterworth, G. (2012). Developmental psychology: A student's
handbook: Psychology Press.
Higgins, S., Xiao, Z., & Katsipataki, M. (2012). The impact of digital technology on
learning: A summary for the education endowment foundation. Durham, UK:
Education Endowment Foundation and Durham University.
Hodell, C. (2007). Basics of instructional systems development (Vol. 9706): American
Society for Training and Development.
Hunt, G. H., Wiseman, D. G., & Touzel, T. J. (2009). Effective teaching: preparation
and implementation: Charles C Thomas Publisher.
Hurt, N. E., Moss, G. S., Bradley, C. L., Larson, L. R., Lovelace, M., Prevost, L. B., . .
. Camus, M. S. (2012). The" Facebook" Effect: College Students' Perceptions of
Online Discussions in the Age of Social Networking. International Journal for the
Scholarship of Teaching and Learning, 6(2), n2.
Jamaludin, H., Wahab, H., & Hamzah, S. (2012). Conducting Needs Analysis in
Preparation towards the Development of Electronic Self-Instructional Materials (e-
SIM). In Instructional Technology Research, Design and Development: Lessons
from the Field (pp. 43-55): IGI Global.

 
 
 
211 

Jones, P., & Davis, R. (2008). Instructional design methods integrating instructional
technology. In Handbook of research on instructional systems and technology (pp.
15-27): IGI Global.
Joosten, T. (2012). Social media for educators: Strategies and best practices: John Wiley
& Sons.
Junco, R. (2014). Engaging students through social media: Evidence-based practices for
use in student affairs: John Wiley & Sons.
Kabilan, M. K., Ahmad, N., & Abidin, M. J. Z. (2010). Facebook: An online
environment for learning of English in institutions of higher education? The Internet
and higher education, 13(4), 179-187.
Karal, H., Kokoc, M., & Cakir, O. (2017). Impact of the educational use of Facebook
group on the high school students’ proper usage of language. Education and
Information Technologies, 22(2), 677-695.
Keller, J. M. (1987). The systematic process of motivational design. Performance+
Instruction, 26(9‐10), 1-8.
Khalid, F. (2017). Understanding University Students ‘Use of Facebook for
Collaborative Learning. International Journal of Information and Education
Technology, 7(8), 595-600.
Khatib, T., & Karajeh, H. (2015). The Impact of Social Media Networks Websites Usage
on Students’ Academic Performance.
Kock, N. (2009). E-Collaboration: Concepts, Methodologies, Tools, and Applications:
Concepts, Methodologies, Tools, and Applications: IGI Global.
Kole, S. (2010). Utilizing Open Source Tools for Online Teaching and Learning:
Applying Linux Technologies, by LEE CHAO. Indian Journal of Open Learning,
19(3), 226-227.
Lam, J. (2015). Collaborative learning using social media tools in a blended learning
course. Paper presented at the International Conference on Hybrid Learning and
Continuing Education.
Ledford, J., Lane, J. D., & Barton, E. E. (2019). Methods for Teaching in Early
Education: Contexts for Inclusive Classrooms: Routledge.
Lee, E. B. (2015). Too much information: Heavy smartphone and Facebook utilization
by African American young adults. Journal of Black Studies, 46(1), 44-61.
Liddicoat, A. J., & Scarino, A. (2013). Intercultural language teaching and learning:
John Wiley & Sons.
Lin, L. (2016). Investigating Chinese HE EFL Classrooms: Springer.
Luce, D. L. (2019). Social Media Tools for Learning: Activating Collaboration
Strategies for Success. In: Taylor & Francis.

 
 
212  
 

Luce, D. L. (2019). Social Media Tools for Learning: Activating Collaboration


Strategies for Success. In: Taylor & Francis.
MA, S. (2012). Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar & Inovator
Pendidikan. Jakarta: Erlangga, 34-38.
Mahmud, M. M., & Wong, S. F. (2018). Facebook and collaborative learning: An
empirical study on online assessment. International Journal of Learning and
Teaching, 4(2), 107-113.
Mahmud, M. M., & Wong, S. F. (2018). Facebook and collaborative learning: An
empirical study on online assessment. International Journal of Learning and
Teaching, 4(2), 107-113.
Mangal, S., & Mangal, U. (2009). Essentials of educational technology: PHI Learning
Pvt. Ltd.
Marasigan, N. V. (2019). Development and validation of a self-instructional material on
selected topics in Analytic Geometry integrating electronic concepts. International
Journal of Recent Innovations in Academic Research, 3(5), 129-141.
Marcus-Quinn, A., & Geraghty, B. (2010). Design and Development of a Reusable
Digital Learning Resource: A Case Study Teaching Japanese Script. In Critical
Design and Effective Tools for E-Learning in Higher Education: Theory into
Practice (pp. 294-309): IGI Global.
Mariotti, J. L., & Pascarella, P. (2000). Collaborating for success: Berrett-Koehler
Publishers.
Mazhisham, P. H., Khalid, M. Y., Nazli, N. N. N. N., Manap, R., & Hussain, N. H. M.
(2018). Identification of training needs assessment in organizational context.
International Journal, 1(5), 20-30.
McEwan, B. (2011). Hybrid engagement: How Facebook helps and hinders students’
social integration. Higher education administration with social media: Including
applications in student affairs, enrollment management, alumni relations, and career
centers, 2, 3Á23.
Mercer, N. (1996). The quality of talk in children's collaborative activity in the
classroom. Learning and instruction, 6(4), 359-377.
Meshur, H. F. A., & Bala, H. A. (2015). Distance learning in architecture/planning
education: A case study in the faculty of architecture at Selcuk University. In
Assessing the role of mobile technologies and distance learning in higher education
(pp. 1-28): IGI Global.
Metzler, M. (2017). Instructional models in physical education: Taylor & Francis.
Moallem, M. (2003). An interactive online course: A collaborative design model.
Educational Technology Research and Development, 51(4), 85.
Moore, K. D. (2014). Effective instructional strategies: From theory to practice: Sage
Publications.

 
 
 
213 

Morrison, G. R., Ross, S. J., Morrison, J. R., & Kalman, H. K. (2019). Designing
effective instruction: John Wiley & Sons.
Mustofa, S. (2011). Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif: UIN-Maliki Press.
Nosko, A., & Wood, E. (2011). Learning in the digital age with SNSs: Creating a profile.
In Social media tools and platforms in learning environments (pp. 399-418):
Springer.
Nusa, P. (2011). Research and Development: Penelitian dan Pengembangan. In: Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
O'Reilly, E. (2016). Developing technology needs assessments for educational
programs: An analysis of eight key indicators. International Journal of Education
and Development using ICT, 12(1).
Ormrod, J. E., & Jones, B. D. (2014). Essentials of educational psychology: Big ideas
to guide effective teaching: Pearson.
OSONDU, S. I. Scholars Journal of Engineering and Technology (SJET) ISSN 2347-
9523 (Print).
Özyer, T., Erdem, Z., Rokne, J., & Khoury, S. (2013). Mining Social Networks and
Security Informatics: Springer.
Palagolla, W., & Wickramarachchi, A. (2019). Effective integration of ICT to facilitate
the secondary education in Sri Lanka. arXiv preprint arXiv:1901.00181.
Palloff, R. M., & Pratt, K. (2007). Building online learning communities: Effective
strategies for the virtual classroom: John Wiley & Sons.
Palloff, R. M., & Pratt, K. (2010). Collaborating online: Learning together in community
(Vol. 32): John Wiley & Sons.
Pammer-Schindler, V., Pérez-Sanagustín, M., Drachsler, H., Elferink, R., & Scheffel,
M. (2018). Lifelong Technology-Enhanced Learning: 13th European Conference
on Technology Enhanced Learning, EC-TEL 2018, Leeds, UK, September 3-5,
2018, Proceedings (Vol. 11082): Springer.
Panitz, T. (1999). Collaborative versus Cooperative Learning: A Comparison of the Two
Concepts Which Will Help Us Understand the Underlying Nature of Interactive
Learning.
Parker, R. E. (2013). Redesigning Courses for Online Delivery: Design, Interaction,
Media & Evaluation: Emerald Group Publishing.
Parsons, R. D., Hinson, S. L., & Sardo-Brown, D. (2001). Educational psychology: A
practitioner-researcher model of teaching: Wadsworth/Thomson Learning.
Patria, L., & Yulianto, K. (2011). Pemanfaatan Facebook untuk Menunjang Kegiatan
Belajar Mengajar Online Secara Mandiri.
Patrut, M., & Patrut, B. (2013). Social media in higher education: Teaching in Web 2.0:
IGI Global.

 
 
214  
 

Pea, R. D. (1993). Practices of distributed intelligence and designs for education.


Distributed cognitions: Psychological and educational considerations, 11, 47-87.
Peck, K. L. (1988). The design, development & evaluation of instructional software:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Pidd, M. (1997). Tools for thinking—Modelling in management science. Journal of the
Operational Research Society, 48(11), 1150-1150.
Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the horizon, 9(5).
Pritchard, A. (2008). Studying and learning at university: vital skills for success in your
degree: Sage.
Pritchard, A. (2017). Ways of learning: Learning theories for the classroom: Routledge.
Pritchard, A., & Woollard, J. (2013). Psychology for the classroom: The social context:
Routledge.
Profetto-McGrath, J., Polit, D. F., & Beck, C. T. (2010). Canadian essentials of nursing
research: Lippincott Williams & Wilkins.
Quintas-Mendes, A., Morgado, L., & Amante, L. (2008). Online Communication and E-
learning. In Handbook of research on instructional systems and technology (pp.
927-943): IGI Global.
Rahman, F., Abbas, A., Hasyim, M., Rahman, F., Abbas, A., & Hasyim, M. Facebook
Group as Media of Learning Writing in ESP Context: A Case Study at Hasanuddin
University. Asian EFL Journal, 26(6), 153-167, ISSN 1738-1460
Ramirez-Velarde, R. V., & Alexandrov, V. (2007). Web 2.0 Technologies applied to
collaborative learning. Paper presented at the ICL2007 Conference.
Reigeluth, C. M. (1983). Instructional design theories and models: An overview of their
current status: Routledge.
Rennie, F., & Smyth, K. (2019). Digital Learning: The Key Concepts: Routledge.
Riady, Y. (2014). Assisted learning through Facebook: A Case Study of Universitas
Terbuka's Students Group Communities In Jakarta, Taiwan And Hong Kong.
Turkish Online Journal of Distance Education, 15(2), 227-238.
Richey, R. C., Klein, J. D., & Tracey, M. W. (2010). The instructional design knowledge
base: Theory, research, and practice: Routledge.
Roberts, T. S. (2005). Computer-supported collaborative learning in higher education.
In Computer-supported collaborative learning in higher education (pp. 1-18): IGI
Global.
Rodriguez, M., Mundy, M.-A., Kupczynski, L., & Challoo, L. (2018). Effects of
Teaching Strategies on Student Success, Persistence, and Perceptions of Course
Evaluations. Research in Higher Education Journal, 35.

 
 
 
215 

Ronteltap, F., & Eurelings, A. (2002). Activity and interaction of students in an


electronic learning environment for problem-based learning. Distance Education,
23(1), 11-22.
Roodt, S., de Villiers, C., & Joubert, P. (2012). Collaborative learning for the net
generation: Using social networks in an undergraduate course. International Journal
of Innovation in the Digital Economy (IJIDE), 3(3), 10-24.
Rothwell, W. J. (2000). Workplace Learning and Performance Roles: The Evaluator:
American Society for Training and Development.
Saddhono, K., Hasibuan, A., & Bakhtiar, M. I. (2019, November). Facebook as A
Learning Media in TISOL (Teaching Indonesian to Speakers of Other Languages)
Learning to Support The Independency of Foreign Students in Indonesia. In Journal
of Physics: Conference Series (Vol. 1254, No. 1, p. 012061). IOP Publishing.
Salandanan, G. G. (2009). Teacher education: Goodwill Trading Co., Inc.
Salmon, G. (2003). E-moderating: The key to teaching and learning online: Psychology
Press.
Sampson, D., Spector, J. M., Ifenthaler, D., Isaías, P., & Sergis, S. (2019). Learning
technologies for transforming large-scale teaching, learning, and assessment:
Springer.
Santrock, J. W. (2017). Educational psychology: McGraw-Hill Education.
Sawyer, R. K. (2005). The Cambridge handbook of the learning sciences: Cambridge
University Press.
Schrader, D. E. (2015). Constructivism and learning in the age of social media:
Changing minds and learning communities. New Directions for Teaching and
Learning, 2015(144), 23-35.
Schraeder, T. L. (2019). Physician Communication: Connecting with Patients, Peers,
and the Public: Oxford University Press.
Schunk, D. H. (2012). Learning theories an educational perspective sixth edition:
Pearson.
Shadiev, R., Hwang, W.-Y., & Huang, Y.-M. (2015). A pilot study: Facilitating cross-
cultural understanding with project-based collaborative learning in an online
environment. Australasian Journal of Educational Technology, 31(2).
Shaw, I., Shaw, I. G. R., Greene, J. C., & Mark, M. M. (2006). The Sage handbook of
evaluation: Sage.
Shea-Schultz, H., & Fogarty, J. (2002). Online learning today: Strategies that work:
Berrett-Koehler Publishers.
Shraim, K. (2014). Pedagogical innovation within Facebook: A case study in tertiary
education in Palestine.
Smith, B. L., & MacGregor, J. T. (1992). What is collaborative learning. In: Washington.

 
 
216  
 

Spector, J. M., Merrill, M. D., Elen, J., & Bishop, M. J. (2014). Handbook of research
on educational communications and technology: Springer.
Stabile, C., & Ershler, J. (2015). Constructivism Reconsidered in the Age of Social
Media: New Directions for Teaching and Learning, Number 144: John Wiley &
Sons.
Stacey, E. (2005). A constructivist framework for online collaborative learning: Adult
learning and collaborative learning theory. In Computer-supported collaborative
learning in higher education (pp. 140-161): IGI Global.
Stahl, G. (2004). Building collaborative knowing. In What we know about CSCL (pp.
53-85): Springer.
Sultana, A. S., & Viswanathan, U. M. (2018). Senior Editor: Paul Robertson. Asian EFL
Journal, 20(4).
Syafrial (2019). The empowerment of Facebook in language learning at the university.
Asian EFL Journal, 25(51), 43-61, ISSN 1738-1460
Taylor, M. (2015). Leveraging social media for instructional goals: Status, possibilities,
and concerns. New Directions for Teaching and Learning, 2015(144), 37-46.
Taylor, V. (2005). Online group projects: Preparing the instructors to prepare the
students. In Computer-supported collaborative learning in higher education (pp. 19-
50): IGI Global.
Tennyson, R. D. (2012). Automating instructional design, development, and delivery
(Vol. 119): Springer Science & Business Media.
Tiruwa, A., Yadav, R., & Suri, P. K. (2018). Modelling Facebook usage for collaborative
learning in higher education. Journal of Applied Research in Higher Education.
Ushakov, D. (2014). Urbanization and migration as factors affecting global economic
development: IGI Global.
Van Boxtel, C. (2000). Collaborative concept learning. Unpublished PhD dissertation.
Utrecht University, Utrecht.
van Maarseveen, H. T. J., & van der Tang, G. F. (1978). Written constitutions: a
computerized comparative study: Brill.
Ventura, R., & Quero, M. J. (2013). Using Facebook in university teaching: A practical
case study. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 83, 1032-1038.
Vishwanath, H. (2006). Models of teaching in environmental education: Discovery
Publishing House.
Vygotsky, L. (1978). Mind and society: Thr development of higher psychological
processes. Ed (Cole M. John.
Wang, C.-M. (2012). Using Facebook for cross-cultural collaboration: The experience
of students from Taiwan. Educational Media International, 49(1), 63-76.

 
 
 
217 

Wankel, C. (2011). Teaching arts and science with the new social media: Emerald Group
Publishing.
Wankel, L., & Blessinger, P. (2013). New pathways in higher education: An
introducttion to using mobile technologies. Increasing student engagement and
retention using mobile applications: Smartphones, Skype and texting technologies,
3-19.
White, B., King, I., & Tsang, P. (2011). Social media tools and platforms in learning
environments: Springer Science & Business Media.
Widyastuti, R., & Utami, I. S. (2018). Development of Product-Based Job Sheet as
Instructional Media in Vocational Education. Journal of Educational Science and
Technology (EST), 4(2), 119-125.
Wu, J., & Coggeshall, S. (2012). Foundations of predictive analytics: CRC Press.
Yang, J., Kinshuk, Yu, H., Chen, S.-J., & Huang, R. (2014). Strategies for smooth and
effective cross-cultural online collaborative learning. Journal of Educational
Technology & Society, 17(3), 208-221.
Yasmin, F. (2018). Challenges to Computer Assisted Language Teaching at University
Level. International Journal of Language and Literature, 6(2), 86-93.
Zain, J. M., Mohd, W. M. W., & El-Qawasmeh, E. (2011). Software Engineering and
Computer Systems, Part III: Second International Conference, ICSECS 2011,
Kuantan, Pahang, Malaysia, June 27-29, 2011, Proceedings (Vol. 181): Springer
Science & Business Media.
Zaphiris, P., & Ioannou, A. (2014). Learning and Collaboration Technologies:
Designing and Developing Novel Learning Experiences: First International
Conference, LCT 2014, Held as Part of HCI International 2014, Heraklion, Crete,
Greece, June 22-27, 2014, Proceedings (Vol. 8523): Springer.
Zhan, H. (2008). The effectiveness of instructional models with collaborative learning
approaches in undergraduate online courses: Northern Arizona University.
Zygouris-Coe, V. I. (2014). Teaching discipline-specific literacies in grades 6-12:
Preparing students for college, career, and workforce demands: Routledge.

 
 

Anda mungkin juga menyukai