Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN HIPOTENSI DENGAN KEJADIAN MUAL

MUNTAH INTRAOPERTIF PASCA SPINAL ANESTESI PADA


PEMBEDAHAN SECSIO CAESARIA DI RSU PERRMATA
HATI MUARA BUNGO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir Dalam Rangka


Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma IV
Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi

DISUSUN OLEH :
JEFI SUWANDI
NIM. 02202204060

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN (ITS)
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secsio Caesariaadalah suatu teknik pembedahan untuk melahirkan
janin melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn,
2010).Menurut penelitian baru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO,
2021)penggunaan operasi sesar terus meningkat secara global, sekarang
terhitung lebih dari 1 dari 5 (21%) dari semua persalinan. Jumlah ini akan
terus meningkat selama dekade mendatang, dengan hampir sepertiga
(29%) dari semua kelahiran kemungkinan akan terjadi melalui operasi
caesar pada tahun 2030, menurut penelitian tersebut tingkat operasi sesar
di seluruh dunia telah meningkat dari sekitar 7% pada tahun 1990 menjadi
21% hari ini, dan diproyeksikan akan terus meningkat selama dekade ini.
Jika tren ini berlanjut, pada tahun 2030 tingkat tertinggi kemungkinan
berada di Asia Timur (63%), Amerika Latin dan Karibia (54%), Asia Barat
(50%), Afrika Utara (48%) Eropa Selatan (47% ) dan Australia dan
Selandia Baru (45%).
Menurut (Hartoyo, 2015)menyatakan bahwa jumlah pasien yang
dilakukan pembedahan tiap tahun mengalami peningkatan. Peningkatan
jumlah pasien tersebut dapat terlihat, dimana pada tahun 2011 pasien
dengan tindakan pembedahan adalah 140 juta jiwa diseluruh rumah sakit
dunia, dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 148 juta jiwa. Sementara
itu, di Indonesia sendiri terdapat 1,2 juta jiwa pasien yang dilakukan
tindakan pembedahan.
Semakin meningkatnya angka pembedahan disetiap tahunnya,
salah satunya adalah pembedahan Secsio Caesariadengan metode Spinal
anastesi. Kata anastesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes (1809
– 1894), yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan.
Secara garis besar ada tujuh hal yang harus diperhatikan pada pasien
pasca anestesi yaitu : masalah pernapasan, kardiovaskular, keseimbangan
cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Munaf, Buku
Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi, 2008). Harus diperhatikan bahwa
komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian
bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain:
pernapasan tidak adekuat, pneumothorakis, atelektasis, hipotensi, gagal
jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif premedikasi,
trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konflusi, mual muntah,
embolisme lemak, dan keracunan barbiturat (Campbell, 1997).
Penurunan tekanan darah setelah dilakukannya anestesi spinal
dianggap sebagai suatu respon yang fisiologis. Pada beberapa kasus,
penurunan tekanan darah yang berat dapat dianggap sebagai suatu
komplikasi dan memerlukan tindakan penatalaksanaan berdasarkan kondisi
klinis pasien. Hipotensi akibat tindakan anestesi spinal dapat didefinisikan
sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan Systolic Blood Pressure (SBP)
>10-30% dalam 30 menit pertama setelah induksi anestesi spinal, atau
penurunan Mean Arterial Blood Pressure (MABP) lebih dari 30% dalam
waktu 10 menit setelah tindakan atau kondisi dimana terjadinya penurunan
tekanan darah hingga diperlukannya intervensi cairan maupun vasopressor
dalam waktu 20 menit setelah dilakukannya tindakan anestesi spinal atau
secara absolut tekanan sistolik mencapai 90-100 mmHg atau adanya
penurunan tekanan darah 25-30% dari tekanan darah preanestesi. Mual
muntah merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat spinal anestesi,
dengan angka kejadian 20-40% (Keat S. , et al., 2013). Hipotensi, hipoksia,
kecemasan atau faktor psikologis, pemberian narkotik sebagai premedikasi,
puasa yang tidak cukup serta adanya rangsangan viceral oleh operator
merupakan beberapa hal penyebab mekanisme terjadinya mual muntah pasca
spinal anestesi. Hipotensi akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
hipoperfusi di chemoreseptor trigger zone (CTZ) sebagai pusat rangsang
muntah (Murloy, 2009).
Hasil penelitian tahun 2008 di Chulalongkorn, Thailand
menunjukkan insiden hipotensi pada spinal anestesi sebesar 52,6% dari 722
pasien, sementara di rumah sakit DR. Hasan Sadikin Bandung didapatkan
insiden hipotensi pada spinal anestesi sebesar 49% (Rustini, 2016)
Pada penelitian yang dilakukan (Tanambel, 2015)Hasil penelitian
didapatkan 15 kasus bedah sesar dengan spinal anestesi berdasarkan
golongan usia ditemukan kelompok usia <20 tahun sebanyak 1 pasien
(6,66%), usia 20-35 tahun sebanyak 11 pasien (73,33%) dan usia >35 tahun
sebanyak 3 pasien (20%).
Pada penelitian (Mulyono I. , 2016)didapatkan insiden kejadian
hipotensi intraoperatif pasca spinal anastesia pada pembedahan secsio cesaria
sebesar 54,21%. Pada (Rustini, 2016) insiden kejadian hipotensi
intraoperatif pasca spinal anastesia pada pembedahan Secsio Caesariasebesar
49%.). Maka berdasarkan kejadian hipotensi intraoperatif pasca spinal
anastesia pada pembedahan Secsio Caesariayang terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor salah satunya adalah mual muntah.
Maka bertolak dari data diatas peneliti tertarik untuk menganalisis
variabel hubungan Hipotensi Dengan Kejadian Mual Muntah Intraoperatif
Pasca Spinal Anestesi Pada Pembedahan Secsio Caesaria di di RSU Peramata
Hati Muara Bungo.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan hipotensi dengan kejadianmual muntah
intraoperatif pasca spinal anestesi pada pembedahan Secsio Caesaria di RSU
Peramata Hati Muara Bungo?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hipotensi dengan
kejadianmual muntah intraoperatif pasca spinal anestesi pada pembedahan
Secsio Caesaria di RSU Peramata Hati Muara Bungo.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden pada pembedahan Secsio
Caesariadi RSU Peramata Hati Muara Bungo
b. Mengidentifikasi kejadian hipotensi intraoperatif pasca spinal anestesi
pada pembedahan Secsio Caesariadi di RSU Peramata Hati Muara
Bungo.
c. Mengidentifikasikejadianmual muntah intraoperatif pasca spinal
anestesi pada pembedahan Secsio Caesariadi RSU Peramata Hati
Muara Bungo
d. Untuk menganalisa hubungan hipotensi dengan kejadianmual muntah
intraoperatif pasca spinal anestesi pada pembedahan Secsio Caesaria di
RSU Peramata Hati Muara Bungo.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi intansi
jasa pelayanan kesehatan baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Manfaat tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Praktis
Sebagai sumbangan informasi mengenai hubungan hipotensi dengan
kejadianmual muntah intraoperatif pasca spinal anastesi pada pembedahan
Secsio Caesaria di RSU Peramata Hati Muara Bungo. Sehingga dapat
mengurangi angka kajadian hipotensi terhadap mual muntah intraoperatif
pasca spinal anastesi.
b. Manfaat Teoritis
Mengembangkan konsep dan kajian yang lebih mendalam tentang hubungan
hipotensi dengan kejadian mual muntah intraoperatif pasca spinal anestesia
pada pembedahan Secsio Caesaria sehingga diharapkan dapat menjadi dasar
dan pendorong dilakukannya penelitian hipotensi dengan kejadian mual
muntah intraoperatif pasca spinal anestesia pada pembedahan Secsio Caesaria
dimasa yang akan datang.
c. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat dalam menerapkan teori dan
mendapatkan gambaran dan pengalaman praktis dalam penilitian tentang
hubungan hipotensi dengan kejadian mual muntah intraoperatif pasca spinal
snastesi pada pembedahan Secsio Caesariadi RSU Peramata Hati Muara
Bungo.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Mual Muntah
1. Definisi Mual Muntah
Mual adalah kecenderungan untuk muntah atau sebagai perasaan di
tenggorokan atau daerah epigastrium yang memperingatkan seorang individu
bahwa muntah akan segera terjadi. Mual sering disertai dengan peningkatan
aktivitas sistem saraf parasimpatis termasuk diaphoresis, air liur, bradikardia,
pucat dan penurunan tingkat pernapasan. Muntah didefinisikan sebagai ejeksi atau
pengeluaran isi lambung melalui mulut, seringkali membutuhkan dorongan yang
kuat (Dipiro, et al., 2015).

2. FaktorPredisposisi
Menurut (Dendy, 2010)Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul
akibat anestesi spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun
penyebab mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah Penurunan tekanan
darah/hipotensi.
Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensisebagai suatu penurunan
tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP)
>10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-gejala seperti: perasaan tidak
nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap (yawning); mual; muntah;
otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan
Secara keseluruhan insiden mual muntah pasca operasi, dilaporkan sekitar
30% tetapi dapat mencapai 70% pada pasien dengan high risk. Peningkatan resiko
mual muntah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menurut (Islam & Jain,
2004)adalah
a. Faktor Pasien
1) Umur : insiden mual muntah terjadi pada 5% infant, 25% anak di
bawah 5 tahun, 51% 6-16 tahun dan 14-40%dewasa.
2) Jenis kelamin : wanita dewasa 2-4 kali lebih beresiko terjadi mual
muntah dibanding laki-laki, kemungkinan disebabkan olehhormon.
3) Kegemukan : BMI [Body Mass Index; BMI = BB (kg) : TB2 (m)]
>30 lebih mudah terjadi mual muntah karena terjadi peningkatan
tekanan intra abdominal. Selain itu membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk menghilangkan agen anestesi larut lemak. Pasien
obesitas juga memiliki volume residual gaster yang lebih besar dan
lebih sering terjadi refluks esofagus.
4) Riwayat mual muntah dan mabuk perjalanan : pasien dengan
pengalaman motion sickness dan mual muntah sebelumnya,
memiliki reflek yang baik untuk menghasilkan mual dan muntah.
Mual muntah 2x lebih sering terutama 24 jampertama.
5) Penundaan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kelainan
intra abdominal, Diabetes Melitus, hipotiroidisme, peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), kehamilan, dan lambung yang penuh
meningkatkan resiko mualmuntah.
6) Bukan perokok : bukan perokok lebih rentan terjadinya mual
muntah daripadaperokok.
b. FaktorPreoperatif
1) Makanan : memperpanjang waktu puasa sebelum operasi atau
masuknya makanan sesaat sebelum operasi meningkatkan insiden
mualmuntah.
2) Kecemasan : stres psikologi dan kecemasan dapat meningkatkan
mual muntah. Kecemasan dapat menyebabkan tertelannya udara
secara tidak sadar (aerofagi). Banyaknya udara yang masuk pada
pasien ansietas sebabkan distensi lambung dan penundaan waktu
pengosongan lambung, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya
mualmuntah.
3) Alasan pembedahan : pembedahan dengan peningkatan TIK,
obstruksi GIT, kehamilan, aborsi, dan kanker dengan kemoterapi.
4) Premedikasi : atropin menunda pengosongan lambung dan
sebabkan tonus esofagus bagian bawah, opioid (morfin dan
petidin) meningkatkan sekresi lambung, menurunkan motilitas
gastrointestinal sehingga tunda waktu pengosongan lambung. Hal
ini menstimulus CTZ dan tingkatkan pembentukan 5-HT oleh sel
chromaffin dan produksi ADH. Obat lain yang biasa digunakan
sebagai peri operative drugs yang meningkatkan insiden mual
muntah:
(a) Menstimulus CTZ, antara lain: opioid, digoksin,
kemoterapi sitotoksik.
(b) Mengiritasi gastrointestinal, antara lain : non steroid
anti- inflammatory drugs (NSAID), suplemenbesi.
(c) Menyebabkan gastric stasis, antara lain: opioid,
hyoscine butylbromide.
c. Faktor Intraoperatif
1) FaktorAnestesi
a) Intubasi : stimulus pada aferen menekan oreseptor faring
sebabkan mualmuntah.
b) Anestetik : anestesi yang lebih dalam atau dorongan
lambung selama pernapasan menggunakan masker dapat
menjadi faktor penyebab mualmuntah.
c) Obat anestesi : Resiko tinggi insiden mual muntah pada
penggunaan opioid, etomidat, ketamin, nitrogen monoksida
dan anestesi inhalasi. Etomidat sebagai agen pengiduksi
anestesi lebih sering menyebabkan mual muntah daripada
tiopental sodium atau propofol. Propofol dilaporkan dapat
mengurangi kejadian mualmuntah.
d) Agen inhalasi : pada anestesi inhalasi, eter dan siklopropan
memiliki angka kejadian yang tinggi untuk mual muntah
disebabkan oleh katekolamin. Sevofluran, enfluran,
desfluran, dan halotan memiliki angka kejadian yang
rendah untuk mual muntah. Nitrogen monoksida
meningkatkan insiden mual muntah, mempengaruhi
reseptor opioid di sentral sehingga menyebabkan perubahan
tekanan pada telinga tengah, stimulus pada saraf simpatis,
dan distensilambung.
e) TeknikAnestesi : Anestesi spinal dan regional memiliki
angka kejadian yang rendah untuk mual muntah daripada
anestesi umum.
B. Hipotensi
1. Definisi Hipotensi
Hipotensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah rendah dari 90/60
mmHg sehingga menyebabkan keluhan. Namun jika tidak terjadi keluhan dapat
dikategorikan kondisi normal. Sedangkan tekanan darah adalah tekanan yang
ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel
berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan darah
rendah yang terjadi saat ventricle beristirahat dan mengisi ruangannya. Tekanan
darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik (Smeltzer & Bare, 2011).
Hipotensi atau tekanan darah rendah adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah rendah dari nilai 90/60 mmHg tekanan darah cukup rendah, sehingga
menyebabkan gejala-gejala seperti pusing dan pingsan (Ramadhan, 2010).
Tekanan darah rendah adalah tekanan darah diastolik yang kurang dari 60
mmHg atau tekanan darah systolic yang kurang dari 90 mmHg. Ciri-ciri darah
rendah adalah sesak napas, nyeri dada, dakit kepala, diare berkepanjangan,
gangguan pencernaan, dsb. Penyebab darah rendah adalah sebagai berikut :
Kekurangan volume darah, pelebaran pembuluh darah, anemia, masalah jantung
perubahan hormon dsb (Wang, 2014).

2. Hipotensi pada Anastesi Spinal


Hipotensi pada spinal anestesi terjadi karena adanya blokade simpatik yang
tinggi sehingga mengakibatkan perubahan fluktuatif pada tekanan darah. Anestesi
nervus-nervus lumbalis menyebabkan blokade simpatis yang progresif,
menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tahanan perifer serta aliran balik vena
ke jantung dan turunnya curah jantung (James, 2013).
Hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat dari blokade saraf simpatis
yang berfungsi mengatur tonus otot pembuluh darah Blokade serabut saraf
simpatis preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi vena, sehingga terjadi
pergeseran volume darah terutama ke bagian splanik dan juga ekstermitas bawah
sehingga akan menurunkan aliran darah balik ke jantung (Tanambel, 2015).
Hipotensi biasanya terjadi pada 10 menit pertama setelah suntikan, oleh karena itu
perlu dilakukan pemantauan tekanan darah setelah penyuntikan sampai menit ke
10 setelah penyuntikan (Katz, 2010).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipotensi Spinal Anastesi
a) Ketinggian Blok Simpatis
Hipotensi pada spinal anestesi berkaitan dengan luas blokade simpatis
yang mempengaruhi tahanan perifer dan curah jantung. Faktor yang
mempengaruhi luas spinal blok adalah barisitas dan densitas. Barisitas adalah
rasio densitas obat anestesi spinal yang dibandingkan dengan densitas cairan
spinal pada suhu 37oC. Densitas diartikan sebagai berat dalam gram dari 1 ml
cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Berdasarkan barisitas dan densisitas, Obat
anestesi digolongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Contoh:
Bupivakain 0,5%.
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan
serebrospinal pada suhu 37⸰C adalah 1,003 gr/ml. Contoh:
tetrakain, dibukain.
3) Isobaric
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila
densitasnya sama dengan densitas cairaan serebrospinalis pada
suhu 37OC. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan
serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua
pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-
1,001 gr/ml.
b) Posisi
Pasien Pengaturan posisi pasien selama atau setelah penyuntikan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap blokade saraf. Pemeliharaan posisi duduk
(sitting) setelah penyuntikan akan menimbulkan blokade lumbal bagian bawah
dan saraf-saraf di daerah sakral (Gwinnutt, 2011). Pada posisi duduk, obat
anestesi akan lebih banyak menetap dibawah lokasi penusukan sehingga pada
saat pasien dibaringkan terjadi penghaambatan regresi ke titik rendah yang
menyebabkan blokade simpatis rendah, penurunan tahanan vascular akan
lebih kecil yang menghasilkan penurunan tekanan darah menjadi lebih kecil
(Fauzan, 2016).
c) Faktor yang berhubungan dengan pasien
Kondisi pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga
mempengaruhi derajat hipotensi. pada pasien dengan keadaan hypovolemia
dapat menyebabkan depresi yang serius pada sistem kardiovaskuler selama
spinal anestesi, oleh sebab itu hypovolemia merupakan salah satu kontra
indikasi pada spinal anestesi (Latief, 2010).
d) Faktor Agen Anestesi Spinal
Derajat hipotensi tergantung juga pada agen anestesi spinal. Pada level
anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil
dibandingkan tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-
serabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine.
Barisitas agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama
anestesi spinal. Agen tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat
lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agen yang isobarik
ataupun hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris
dan simpatis. Dimana agen hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent
isobarik maupun hipobarik sehingga menyebabkan blokade simpatis yang
lebih tinggi.
Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada anestesia spinal adalah
pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional anestesia, modifikasi posisi
dan kompresi tungkai pasien untuk menambah aliran balik (seperti pemakaian
Esmarc Bandages), pemberian cairan intravena.
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu
sendiri. Obat anestesi lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap
miokardium maupun otot polos vaskuler perifer. Semua obat anestesi
mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal
tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih
besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine. Salah satu cara
untuk menurunkan insidensi hipotensi paska anestesi spinal dapat
menggunakan vasopresor. Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek
sebagai berikut:
1) Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
2) Tidak menstimulasi saraf pusat
3) Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan

Vasopresor yang sering di gunakan untuk kasus hipotensi adalah


ephedrine. Karena ephedrine memiliki efek kardiovaskuler, yang dapat
meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung.
Selain itu juga memiliki efek bronkodilator. Ephedrine memiliki durasi yang
lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak langsung
dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung dari
ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer
postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. Efek tidak langsungnya
dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari
noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua reseptor (ß) beta untuk
meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanandarah sistolik dan diastolik.
Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine
sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif
terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5mg ephedrine
IV(bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. (Kol, et al.,
2009)dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa pemberian ephedrine 0.5
mg/kg sebagai profilaksis dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian
hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian ephedrine sebagai profilaksis dapat
menurunkan angka kejadian hipotensi dari 95 % menjadi 38 %. Ephedrine
dengan dosisi 10-25mg intravena pada orang dewasa, merupakan suatu
simpatomimetik yang dapat meningkatkan tekanan darah sistemik akibat blok
sistem saraf simpatis pada anestesi spinal, hipotensi karena inhalasi atau obat-
obatan anestesi intravena.
Selain menggunakan vasopresor ephedrine, insidensi hipotensi juga dapat
diturunkan dengan pemberian preload kristaloid sebagai salah satu tindakan
preventif yang meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan
intravena.
4. Efek Samping Hipotensi
Hipotensi dapat menyebabkan iskemik miokard pada area yang aliran
darahnya telah mengalami stenosis dan juga mempengaruhi perfusi cerebral
terutama pasien yang telah mengalami stenosis di arteri intracerebral atau karotis.
Hipotensi juga akan mengganggu autoregulasi organ-organ vital yang biasanya
dipertahankan dalam rentang MAP (mean arterial pressure) 60-160 mmHg
(Rabadi, 2013).

C. Anestesi Spinal
1. Definisi Anestesi Spinal
Anestesi spinal atau blok subarachnoid adalah salah satu teknik regional
anestesi dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal secara langsung ke dalam
cairan serebrospinalis di dalam ruang subarakhnoid pada regio lumbal di bawah
lumbal 2 dan pada regio sakralis di atas vertebra sakaril 1, untuk menimbulkan
atau menghilangkan sensasi dan blok motorik. Anestesi spinal pertama kali
diperkenalkan oleh Corning pada tahun 1885. Pada tahun 1889, anestesi spinal
dipraktekkan dalam pengelolaan anestesi untuk operasi pada manusia oleh Bier.
Pitkin (1928), Cosgrove (1937) dan Adriani (1940) merupakan pelopor lain yang
berperan dalam perkembangan anestesi spinal sehingga populer sampai saat ini.
Faktor yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis obat, berat
jenis obat, penyebaran obat, posisi tubuh, efek vasokontriksi, tekanan intra
abdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien,
obesitas dan kehamilan.
Spinal atau Sub Arachnoid Block (SAB) merupakan salah satu tehnik anestesi
regional dengan cara penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarachnoid di regio vertebra Lumbalis 2-3, Lumbalis 3-4, Lumbalis 4-5
menggunakan tehnik (midline/median atau paramedian) dengan jarum spinal
yang sangat kecil dengan tujuan untuk mendapatkan ketinggian blok atau analgesi
setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Blokade sensorik dan
motorik secara memuaskan tercapai dalam 12-18 menit dan hanya dengan
sejumlah kecil obat yang yang diperlukan serta adanya pertimbangan bahwa
operasi yang akan dilakukan berada pada bagian abdominal bawah yang sesuai
dengan indikasi (Mangku & Senapathi, 2010).
2. Indikasi Anestesi Spinal
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, daan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi, urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstreti-ginekologik, dan bedah anak (Majid , 2011).

3. Kontraindikasi Anestesi Spinal


Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan
tekanan intrakranial. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior
spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan
OAINS heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil (Majid ,
2011).

4. Komplikasi Anestesi Spinal


Menurut (Majid , 2011)komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi
dini dan komplikasi delayed. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi,
respirasi dan gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat
sebanyak 10-15ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan
anestesi spinal. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin IV sebanyak 19
mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang
dikehendaki. Bradikardi dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang
atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan SA 1/8-1/4 mg IV.

b. Komplikasi respirasi
1) Analisis gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
2) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontaindikasi untuk blok
spinal tinggi.
3) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medula.
4) Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
c. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan akibat pemakaian obat narkotik. Pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

D. Secsio Caesaria
1. Definisi Secsio Caesaria
Secsio Caesariaadalah suatu pembedahan untuk melahirkan janin melalui
insisi pada dinding abdomen dan uterus ibu (Oxorn H. , 2011). Secsio
Caesariaadalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan
utuh serta berat janin > 500 gr (Wiknjosastro, 2016).
2. Indikasi Secsio Caesaria
Menurut (Oxorn H. , 2011), indikasi Secsio Caesariaterbagi menjadi:
a) Panggul sempit dan dystocia mekanis; Disproporsi fetopelik, panggul
sempit atau janin terlampau besar, malposisi dan malpresentasi,
disfungsi uterus, distocia jaringan lunak, neoplasma dan persalinan yang
tidak maju.
b) Pembedahan sebelumnya pada uterus; Secsio Caesaria, histerektomi,
miomektomi ekstensif dan jahitan luka pada sebagian kasus dengan
jahita cervical atau perbaikan ostium cervicis yang inkompeten
dikerjakan Secsio Caesaria.
c) Perdarahan; disebabkan plasenta previa atau abruptio plasenta.
d) Toxemia gravidarum; mencakup preeklamsi dan eklamsi, hipertensi
esensial dan nephritis kronis.
e) Indikasi fetal; gawat janin, cacat, insufisiensi plasenta, prolapsus
funiculus umbilicalis, diabetes maternal, inkompatibilitas rhesus, post
moterm caesarean dan infeksi virus herpes pada traktus genitalis.
3. Kontraindikasi Secsio Caesaria
Kontraindikasi Secsio Caesariameliputi janin dalam keadaan mati, ibu hamil
dengan syok, anemia hebat sebelum diatasi dan kelainan kogenital
(Prawirohardjo S. , 2016)

E. Litelature Riview Jurnal


Menurut (Ashagrie, 2019) Insiden mual muntah intraoperative sebanyak 18,5%,
studi observasional dilakukan pada tanggal 20 maret sampai 30 mei 2019 pada 373
ibu hamil yang melahirkan dengan operasi Secsio Caesaria dengan teknik spinal
anastesi di dua rumah sakit dikota Cape Town. Penambahan Opioid neuraksial
lipofilik kedalam larutan anastesi local dapat secara efektif mengurangi nyeri yang
menurunakan kejadian IONV dari 47% menjadi 7%.
Menurut Djari (2021) Vasopresor : Fenilefrin masih unggul dalam mengurangi
hipotensi dangan keunggulan memertahankan SVR lebih baikd ari yang lain, diikuti
oleh Norepinefrin yang menjadi alternative karena tidak mempengaruhi ibu dan
neonates selain itu dosis norepinefrin yang disarankan adalah
5µg/kg/jam-10µg/kg/jam.
Menurut (Rustini, 2016) Insiden hipotensi pada pasien yang menjalani Secsio
Caesaria dengan teknik spinal anastesi di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
sebanyak 49% dengan factor resiko yang diduga menyebabkan hipotensi maternal
tidak menunjukkan hubungan anatara hipotensi dan faktor resiko.
Menurut (Setyowati, 2016)penelitian terhadap 66 responden yang dibagi 2
kelompok yaitu preload haes 130% ringer lactat yang ditambah ondansentron 4mg
(Kelompok 1) dan kombinasi ringer lactat dan efedrin 25mg yang ditambah 4mg
ondansentron menjunkkan bahwa kelompokpreload haes 130% ringer lactat yang
ditambah ondansentron 4mg lebih efektif menjegah hipotensi pada spinal anestesi.

Anda mungkin juga menyukai