Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio caesaria merupakan tindakan pembedahan untuk melahirkan


janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Liu, 2007;
Rositasari & Dyah, 2017). Menurut Mansjoer (2008) sectio caesaria dapat
dilaksanakan bila ibu tidak dapat melahirkan melalui proses alami
(persalinan pervaginam). Operasi dilakukan dengan tujuan agar keselamatan
ibu dan bayi dapat tertangani dengan baik. Dalam pelaksanaannya sebelum
dilakukan pembedahan sectio caesaria pasien mendapatkan anastesi spinal
atau epidural pada operasi elektif atau anastesi umum pada keadaan darurat
(Mansjoer, 2008; Rositasari & Dyah, 2017).

Menurut WHO, peningkatan persalinan dengan operasi sectio


caesaria di seluruh negara terjadi semenjak tahun 2007- 2008 yaitu 110.000
per kelahiran di seluruh Asia. Di Indonesia sendiri, angka kejadian operasi
sectio caesaria juga terus meningkat baik di rumah sakit pemerintah
maupun di rumah sakit swasta. Menurut data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan terjadi kecenderungan
peningkatan operasi sectio caesaria di Indonesia dari tahun 1991 sampai
tahun 2007 yaitu 1,3-6,8 persen. Persalinan sectio caesaria di kota jauh
lebih tinggi dibandingkan di desa yaitu 11 persen dibandingkan 3,9 persen.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018
angka kejadian persalinan sectio caesarea di Indonesia adalah sebesar 17,6%
tertinggi di wilayah DKI Jakarta sebesar 31,3% dan terendah di Papua
sebesar 6,7% (KEMENKES RI, 2019). Secara umum pola persalinan
melalui operasi sectio caesaria menurut karakteristik menunjukkan proporsi
tertinggi pada kuantil indeks kepemilikan teratas (18,9%), tinggal di
perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan
tinggi/lulus PT (25,1%) (Sihombing et al., 2017).
Menggigil (shivering) merupakan keadaan yang ditandai dengan
adanya peningkatan aktifitas muskular yang sering terjadi setelah tindakan
anastesi, khususnya anastesi spinal pada pasien yang menjalani operasi.
Proses ini merupakan suatu respon normal termoregulasi yang terjadi
terhadap hipotermia, akan tetapi proses ini juga dapat diakibatkan oleh
karena rangsangan nyeri dan juga obat anastesi tertentu. Kombinasi dari
tindakan anestesi dan tindakan operasi dapat menyebabkan gangguan fungsi
dari pengaturan suhu tubuh yang akan menyebabkan penurunan suhu inti
tubuh (core temperatur) sehingga menyebabkan hipotermi. Post Anesthetic
Shivering (PAS) atau kejadian menggigil pasca anastesi dilaporkan sekitar
33-65% pada pasien yang menjalani anastesi umum dan sekitar 33-56,7%
pada pasien yang menjalani anastesi spinal (Fauzi, Nur Akbar., 2015).

Terjadinya menggigil bisa sesaat setelah tindakan tindakan anestesi,


dipertengahan jalannya operasi maupun di ruang pemulihan. Penyebab
terjadinya menggigil sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
kemungkinan penyebab terjadinya menggigil adalah pada tindakan anestesi
spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang
mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal
ini menyebabkan hipotermi (Owen, 2005; Nayoko, 2016). Menurut
Bhattacharay dkk, 40% menggigil terjadi pada pasien yang mengalami
pemulihan dari anesthesia umum, 50% pada pasien dengan core temperatur
35,50C dan 90% terjadi pada pasien dengan core temperatur 34,5 0C.
Sementara pada pasien dengan anestesi spinal didapatkan angka kejadian
yang bervariasi. Kelsaka dkk mendapatkan kejadian menggigil (shivering)
pasca anestesi spinal sekitar 36%, Roy dkk mendapatkan sekitar 56,7%
sementara Sagir dkk mendapatkan sekitar 60% (Fauzi, Nur Akbar., 2015).
Terdapat tiga penyebab terjadinya hipotermi pada anestesi spinal yaitu
redistribusi panas internal dari kompartemen sentral ke perifer, hilangnya
termoregulasi vasokontriksi di bawah ketinggian blok serta berubahnya nilai
ambang vasokontriksi dan nilai ambang menggigil (Oyston, 2000;Nayoko,
2016).
Menggigil pasca anastesi dapat diobati dengan berbagai cara, di
antaranya meminimalkan kehilangan panas selama operasi dengan berbagai
intervensi mekanik seperti alat pemanas cairan infus, suhu lingkungan yang
ditingkatkan, lampu penghangat dan selimut penghangat dan penggunaan
obat-obatan. Penggunaan obat-obatan merupakan cara yang sering
digunakan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anastesi (Fauzi, Nur
Akbar., 2015). Salah satu cara untuk mencegah menggigil antara lain adalah
menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan. Pendekatan
yang ditempuh dapat berupa nonfarmakologis menggunakan konduksi
panas, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem regulasi
tubuh terhadap menggigil seperti, pemberian cairan infus yang dihangatkan,
pemakaian blood warmer, pemakaian matras penghangat, pemakaian
selimut hangat atau dapat juga menggunakan pendekatan farmakologis
dengan obat-obatan. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi menggigil
antara lain petidin, klonidin, dan tramadol. Sampai saat ini sudah banyak
penelitian untuk mengatasi menggigil menggunakan farmakologis dengan
obat-obatan. Dengan melakukan pencegahan terhadap menggigil sebelum
hal itu terjadi, diharapkan efek samping yang terjadi lebih minimal (Oyston,
2000; Nayoko, 2016).

Pemberian cairan infus yang dihangatkan dapat diterapkan pada


pasien pre, durante sampai post operasi dengan metode yang mudah, murah
dan aman. Oleh karena dilakukan penelitian pemberian cairan infus hangat
untuk pencegahan menggigil. Di luar negeri telah dilakukan penelitian oleh
Parveen Goyal dkk yang bertujuan untuk menurunkan insiden menggigil
dengan menggunakan cairan infus yang dihangatkan pada pasien SC yang
diharapkan dapat mencegah hipotermi dan kejadian menggigil (Smith, 2005;
Nayoko, 2016).

Pada penelitian sebelumnya yang merupakan penelitian


kuantitatif, Quasy Experimental pretest-posttest with control group
design pada pasien rawat inap di Bangsal Firdaus dan menjalani bedah
sesar atau SC di RS PKU Muhamamdiyah Gamping, Sleman, di
Yogyakarta. Total sampel sebanyak 120 pasien dengan 60 pasien pada
kelompok intervensi dan 60 pasien pada kelompok kontrol. Kelompok
Intervensi yang mendapat tambahan intervensi cairan intravena hangat
menunjukkan perubahan dari derajat 3 pada menit 0 sebanyak 4 responden
menjadi 0 responden pada menit ke 15, menit 30 dan menit 60. Pada
penelitian ini terdapat perbedaan derajat menggigil antara kelompok
intervensi yang menerima intervensi tambahan cairan intravena hangat
dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan intervensi sesuai
protokol rumah sakit. Pemberian cairan intravena hangat terbukti signifikan
menurunkan derajat menggigil pasien pada kelompok intervensi
(Cahyawati, 2019).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian literature review mengenai “Pengaruh Pemberian
Cairan Infus Hangat terhadap Kejadian Menggigil pada Pasien Sectio
Caesaria di Kamar Operasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian literature review, yaitu bagaimana pengaruh pemberian
cairan infus hangat terhadap kejadian menggigil pada pasien sectio caesaria
di kamar operasi?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi mencari persamaan,
kelebihan, dan kekurangan tentang pengaruh pemberian cairan infus hangat
terhadap kejadian menggigil pada pasien sectio caesaria di kamar operasi
berdasarkan literature review.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti

Literatur review ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber rujukan


oleh peneliti selanjutnya dalam melakukan riset terkait pengaruh
pemberian cairan infus hangat terhadap kejadian menggigil pada pasien
sectio caesaria di kamar operasi.

2. Bagi Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan

Literature review ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber


arahan atau referensi untuk melakukan tindakan pemberian cairan infus
hangat terhadap kejadian menggigil pada pasien sectio caesaria di
kamar operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Sectio Caesarea
a. Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram
(Sarwono, 2009). Menurut Mochtar (2011) sectio caesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui
depan perut atau vagina atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan
janin dari dalam rahim. Tindakan operasi sectio caesarea dilakukan untuk
mencegah kematian janin maupun ibu yang dikarenakan bahaya atau
komplikasi yang akan terjadi apabila ibu melahirkan secara pervaginam
(Sukowati et al, 2010).

b. Indikasi dan kontra Indikasi


Menurut Rasjidi (2009) indikasi dan kontra indikasi dari Sectio Caesarea
sebagai berikut:
1. Indikasi Sectio Caesarea
a) Indikasi mutlak
Indikasi Ibu
1) Panggul sempit absolut
2) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya
stimulasi
3) Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi
4) Stenosis serviks atau vagina
5) Placenta previa
6) Disproporsi sefalopelvik
7) Ruptur uteri membakat
Indikasi janin
1) Kelainan letak
2) Gawat janin
3) Prolapsus placenta
4) Perkembangan bayi yang terhambat
5) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklampsia.
b) Indikasi relatif
1) Riwayat Sectio Caesarea sebelumnya
2) Presentasi bokong
3) Distosia
4) Fetal distress
5) Preeklampsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
6) Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
c) Indikasi Sosial
1) Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya.
2) Wanita yang ingin Sectio Caesarea elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi
resiko kerusakan dasar panggul.
3) Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau
sexuality image setelah melahirkan.
2. Kontra indikasi
Kontraindikasi dari Sectio Caesarea adalah:
a) Janin mati
b) Syok
c) Anemia berat
d) Kelainan kongenital berat
e) Infeksi piogenik pada dinding abdomen
f) Minimnya fasilitas operasi sectio caesareaan Kontraindikasi Sectio
Caesarea (SC)

c. Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesarea


Menurut Wiknjosastro (2007), sectio caesarea dapat diklasifikasikan menajdi
3 jenis, yaitu:
1) Sectio caesarea transperitonealis profunda Merupakan jenis
pembedahan yang paling banyak dilakukan dengan cara menginsisi di
segmen bagian bawah uterus. Beberapa keuntungan menggunakan jenis
pembedahan ini, yaitu perdarahan luka insisi yang tidak banyak,
bahaya peritonitis yang tidak besar, parut pada uterus umumnya kuat
sehingga bahaya rupture uteri dikemudian hari tidak besar karena
dalam masa nifas ibu pada segmen bagian bawah uterus tidak banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh
lebih sempurna.
2) Sectio caesarea klasik atau sectio caesarea corporal
Merupakan tindakan pembedahan dengan pembuatan insisi pada bagian
tengah dari korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di
atas batas plika vasio uterine. Tujuan insisi ini dibuat hanya jika ada
halangan untuk melakukan proses sectio caesarea Transperitonealis
profunda, misal karena uterus melekat dengan kuat pada dinding perut
karena riwayat persalinan sectio caesarea sebelumnya, insisi di segmen
bawah uterus mengandung bahaya dari perdarahan banyak yang
berhubungan dengan letaknya plasenta pada kondisi plasenta previa.
Kerugian dari jenis pembedahan ini adalah lebih besarnya resiko
peritonitis dan 4 kali lebih bahaya ruptur uteri pada kehamilan
selanjutnya.
3) Sectio caesarea ekstraperitoneal
Insisi pada dinding dan fasia abdomen dan musculus rectus dipisahkan
secara tumpul. Vesika urinaria diretraksi ke bawah sedangkan lipatan
peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah
uterus. Jenis pembedahan ini dilakukan untuk mengurangi bahaya dari
infeksi puerpureal, namun dengan adanya kemajuan pengobatan
terhadap infeksi, pembedahan sectio caesarea ini tidak banyak lagi
dilakukan karena sulit dalam melakukan pembedahannya Komplikasi
Operasi Sectio Caesarea (SC)

d. Komplikasi
Komplikasi sectio caesarea menurut Jitowiyono (2010) yaitu
1) Pada ibu
a) Infeksi puerpereal Komplikasi ini bisa bersifat ringan seperti
kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam masa nifas,
bersifat berat seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya.
b) Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu
pembedahan jika cabang-cabang arteri ikut terbuka, atau karena
atonia uteri
c) Komplikasi lain seperti luka kandung kemih, emboli paru dan
sebagainya sangat jarang terjadi
d) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa ini
lebih banyak ditemukan sesuah sectio caesarea secara klasik.
2) Pada Janin
Seperti halnya dengan ibu, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio
caesarea banyak tergantung drai keadaan yang menjadi alasan untuk
melakukan sectio caesarea. Menurut statistik di negara-negara dengan
pengawasan antenatal dan 14 intranatal yang baik, kematian perinatal
pasca sectio caesarea berkisar antara 4-7 %.

2. Spinal Anestesi
a. Pengertian
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi
blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas
sensoris, motoris dan otonom (Soenarjo dkk, 2010). Berbagai fungsi yang
dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas
otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif.
Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda
dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat
anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade
dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.
Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling
resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan
konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut. Level
blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level
analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal
dari level analgesi (Soenarjo dkk,2010).

b. Indikasi Spinal Anestesi


Menurut Latief (2010) indikasi dari tindakan spinal anestesi sebagai berikut:
1) Pembedahan pada ektermitas bawah
2) Pembedahan pada daerah panggul
3) Tindakan sekitar rektum-perineum
4) Pembedahan perut bagian bawah
5) Pembedahan obstetri-ginekologi
6) Pembedahan urologi
7) Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik, dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
c. KontraIndikasi Spinal Anestesi
Menurut Morgan (2013) kontraindikasi spinal anestesi digolongkan sebagai
berikut :
1) Kontraindikasi absolut:
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat daerah penyuntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intrakranial meninggi
f) Fasilitas resusitasi minim
g) Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesia
2) Kontraindikasi relative:
a) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Penyakit jantung
f) Hipovolemia ringan
g) Nyeri punggung kronis
h) Pasien tidak kooperatif
3) Kontraindikasi kontroversial:
a) Tempat penyuntikan yang sama pada operasi sebelumnya
b) Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
c) Komplikasi operasi
d) Operasi yang lama
e) Kehilangan darah yang banyak
f) Manuver pada kompromi pernapasan
d. Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal,
5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena
ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi
umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural
berakhir di vertebra S2.6. Ligamen-ligamen yang memegang kolumna
vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah
sebagai berikut (Whitte & Sessler.,2002) :
1) Ligamentum supraspinosum.
2) Ligamentum interspinosum.

3) Ligamentum flavum.
4) Ligamentum longitudinale posterior.
5) Ligamentum longitudinale anterior.

e. Teknik Spinal Anestesi


Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas
dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan
untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal
telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan
preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang
dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan
pasien(Whitte dan Sessler,2002). Adapun teknik dari anestesi spinal adalah
sebagai berikut (Soenarjo dkk,2010). :
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat
tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien
tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin
akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.Kulit dipersiapkan
dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit
ditutupi dengan “doek” bolong steril.
3) Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin
besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga
untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum
spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di
ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan
spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili
meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet -nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.
Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing
(Meningismus).

f. Komplikasi/ Masalah Anestesi Spinal


Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal (Ginting,2007) :
1) Sistim Kardiovaskuler
a) Penurunan resistensi perifer :
- Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang
diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.
- Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapavena dan
venous return.
- Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme
kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik

Tekanan Arteri Rerata Penurunan tekanan darah tergantung


dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah
sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi
iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah.
Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal.
Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan
atau obat vasokonstriktor. Dua puluh menit sebelum dilakukan
spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis
efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit
pada pemberian intravena, dan 10-20 menit pada pemberian
intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian
jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch
receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator
simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan
denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
2) Sistem Respirasi
Bisa terjadi apnoe disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya: berikan
ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi
blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-
kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.
3) Sistem Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan
karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik,
over- aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah
manipulasi traktus gastrointestinal).

3. PAS (Post Anesthetic Shivering)


a. Pengertian
PAS (Post Anesthetic Shivering) terjadi pada 5-65% pasien yang menjalani
anestesi umum dan lebih kurang 33% pasien dengan anestesia regional. Ciri
khas menggigil berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator
yang normal terhadap hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan.
Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat
involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non
termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak
adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain.
Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat
seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai
menggigil juga dapat terlihat (Soenarjo dkk,2010)

Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk


meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem
pengaturan temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan
suhu tubuh yaitu dengan cara (Dal dkk,2005):
1) Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan rangsangan
pusat simpatis hipotalamus posterior.
2) Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak terlalu
penting pada manusia.
3) Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara
menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas dan sekresi tiroksin.
Beberapa faktor risiko lain yang memungkinkan timbulnya menggigil
pascaoperasi antara lain hipotermia intraoperatif, refleks spinal,
berkurangnya aktivitas simpatis, supresi adrenal, pengeluaran pirogen, nyeri
dan alkalosis metabolik. Diantara semua faktor risiko tersebut hipotermia
merupakan penyebab menggigil yang paling sering dijumpai.

b. Fisiologi
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,50C
pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan
homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur
tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan
anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi
mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi (Talakoub,2006).

Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh


tindakan anestesi dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan
mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien yang mengalami
pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya
hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadinya sejumlah
sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon
dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia,
hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler.

Definisi hipotermia adalah temperatur inti 10oC lebih rendah di bawah


standar deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat
dengan suhu lingkungan yang normal (28‐35oC). Kerugian paska operasi
yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada
luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga
berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif (Talakoub,2006).

c. Patofisiologi

Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri


dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan
sistem respon eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan
dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus
otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil
yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas (Talakoub,2006)
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu‐
satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus.
Seluruh jalur serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan
neuron termosensitif berada pada daerah di luar preoptik anterior
hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus mid brain, medula
oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai
termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak
untuk koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh. Sistem termoregulasi
manusia dibagi dalam tiga komponen: termosensor dan jalur saraf aferen,
integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom
(Talakoub,2006).
Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan
anestesi dan mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan
tindakan anestesi baik umum maupun regional akan hilang. Seorang
anestesiologist harus mengetahui manajemen kontrol termoregulasi pasien.
Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang
ditandai dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan
ambang respon terhadap dingin.
Hampir semua obat‐obat anestesi mengganggu respon termoregulasi.
Temperatur inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0‐
1,5 0C selama satu jam pertama anestesi yang diukur pada membran timpani.
Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang
vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi
ukurannya kurang dari 0,6 0
C dibandingkan anestesi umum dimana
pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung
berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian
lokal anestesi intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi
regional tidak berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan
pada termoregulasi selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi
diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade
regional pada jalur informasi termal aferen.
Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan
meningkatkan kejadian menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan
sebelumnya pada suhu 300C, tetapi penghangatan ini tidak berlaku pada
pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan jika diberikan dalam
keadaan dingin atau hangat. Menggigil selama anestesi regional anestesi
dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang optimal,
pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang
efektifitasnya sama untuk mengatasi menggigil paska anestesi umum.
Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh
sensasi terhadap dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa
persepsi dingin secara subjektif tergantung pada input aferen suhu pada kulit
dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh regional anestesi. Setelah
terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi umum dan
regional, hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara
pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang akan melepas panas
tubuh.
Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila
mekanisme kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh
dalam batas normal. Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke
hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk merespon
berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat involunter
serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% diatas basal.
Mekanisme ini akan dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada
lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada saat penghentian
anestesia.

Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat


memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan
meningkatkan konsumsi oksigen 10% ‐ 60%, dan meningkatkan resiko
angina dan aritmia pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Morbiditas
yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan cukup bermakna adalah
peningkatan kebutuhan metabolik ( hal ini dapat membahayakan pada pasien
dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian
koroner), menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO2,
denyut jantung, memicu vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan
resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume jantung sekuncup sehingga
terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial. Sebagai tambahan,
resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat pada pasien
hipotermik. Karena alasan‐alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu
normal merupakan baku perawatan.

d. Etiologi

Post Anesthetic Shivering (PAS) didefinisikan sebagai suatu fasikulasi


otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang
berlangsung lebih dari 15 detik. Kontraksi halus pada otot wajah khususnya
otot masseter akan meluas ke leher, badan dan ekstremitas secara cepat
namun tidak berlanjut menjadi kejang. Sampai saat ini,mekanisme menggigil
masih belum diketahui secara pasti. Menggigil pasca anestesi diduga paling
sedikit disebabkan oleh tiga hal,yaitu :

1) Hipotermi dan penurunan core temperature selama anestesi yang


disebabkan oleh karena kehilangan panas yang bermakna selama
tindakan pembedahan. Panas yang hilang dapat melalui permukaan
kulit dan melalui ventilasi.Kehilangan panas yang lebih besar dapat
terjadi bila kita menggunakan obat anestesi
2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen,tipe atau
jenis pembedahan,kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari
produk- produk tersebut.
3) Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus. Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam
resiko untuk mengalami hipotermia. Ahli anestesi menempatkan
menggigil pada posisi ke‐8 yang sering terjadi dan ke‐21 sebagai
komplikasi yang perlu dicegah. Pada manusia suhu inti tubuh
dipertahankan dalam batas 36.5 ‐ 37.5°C. Walaupun literatur yang ada
saat ini tidak memberikan definisi yang jelas tentang normotermia
ataupun hipotermia tetapi para ahli menyatakan bahwa normotermia
berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36ºC‐ 38ºC (96.8ºF‐
100.4ºF). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36ºC
(96.8ºF). Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien
mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia
seperti menggigil, vasokonstriksi perifer,dan piloereksi.

e. Derajat Menggigil
Adapun derajat berat ringannya menggigil secara klinis dapat dinilai
dalam skala 0-4 yaitu :
0 : Tidak ada menggigil
1 : Tremor intermitten dan ringan pada rahang dan otot- otot leher
2 : Tremor yang nyata pada otot- otot dada.
3 : Tremor intermitten seluruh tubuh
4 : Aktifitas otot-otot seluruh tubuh yang sangat kuat terus menerus

Menggigil suatu keadaan yang tidak nyaman bagi pasien. Keadaan ini
harus segera diatasi oleh karena dapat menimbulkan berbagai resiko.
Mengigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya. Aktifitas otot yang
meningkat akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi karbon
dioksida (Dal dkk,2005). Kebutuhan oksigen otot jantung juga akan
meningkat dapat mencapai 200% hingga 400%. Hal ini tentunya akan
berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik yang jelek seperti pada pasien
dengan gangguan kerja jantung (Srikanta dkk, 2010; Dhimar dkk,2007),atau
anemi berat,serta pada pasien dengan penyakit obstruktif menahun yang
berat.

f. Cara-cara untuk mengurangi menggigil

Menggigil paska anestesi dapat dikurangi dengan berbagai cara,


diantaranya meminimalkan kehilangan panas selama operasi dan mencegah
kehilangan panas karena lingkungan tubuh. Cara-cara untuk mengurangi
menggigil paska anestesi adalah sebagai berikut:

Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 220C.

1) Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 240C.


2) Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
a) Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena.
b) Larutan untuk irigasi luka pembedahan.
c) Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi.
3) Menghindari genangan air/ larutan di meja operasi.
4) Penggunaan larutan irigasi yang dihangatkan pada luka pembedahan
atau prosedur sistokopi urologi.
5) Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan
kristaloid/ koloid hangat atau fraksi darah.

g. Penatalaksanaan pemberian infus hangat pada pasien hipotermia


Terdapat beberapa macam tindakan yang dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami hipotermia pada saat intra operatif maupun post operatif
secara internal maupun eksternal (PPNI & Tim Pokja SDKI DPP, 2018).
Tindakan yang dapat dilakukan salah satunya yaitu pemberian cairan infus
hangat. Pemberian infus hangat pada pasien yang mengalami hipotermi
bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh inti, mencegah hipotermia dan
peristiwa mengigil dengan mengaktifkan mekanisme termoregulasi reflex
dan semi-refleks pada manusia, di mana respon tersebut mungkin termasuk
perubahan otonosomatik, endokrin, dan perilaku (Nayoko, 2016). Cairan
infus hangat dapat membantu meminimalkan kehilangan panas pada tubuh
dan bisa menjadi keuntungan tambahan sebagai pengganti cairan (Cobb et
al., 2016).
Penatalaksanaan pemberian cairan infus hangat melalui intravena ini
rata-rata membutuhkan waktu 32,5 menit untuk menghilangkan gejala
hipotermi seperti menggigil (Made et al., 2013). Indikasi pemberian terapi
infus hangat dapat dilakukan kepada pasien yang mengalami hipotermia baik
karena efek anastesi serta tidak menimbulkan efek samping mual dan muntah
(Wiryana et al., 2017). Pemberian cairan infus hangat ini dapat diberikan
dengan suhu 38oC dengan kecepatan 20 tetesan permenit sebagai penganti
cairan pada suhu ruangan normal dan dapat mencegah hipotermia (Roshani
& Valiee, 2018)
Adapun kerangka teori pada penelitian ini, sebagai berikut,

Plasenta previa, rupture sentralis


dan lateralis, panggul sempit, pre Sectio saesaria
eklamsia, partus lama

Spinal anestesi

Sistem pengaturah suhu tubuh Relaksasi sistem


(Hipotalamus) saraf

hipotermi

Shevering/menggigil

Farmakologis : Non farmakologis


 Tramadol  Cairan yang dihangatkan
 Klonidin  Blood warmer
 petidhine  Matras hangat
 Selimut hangat
 Penghangat Udara
(Warmer)
Gambar 2.1 Kerangka teori

Anda mungkin juga menyukai