Anda di halaman 1dari 34

SKRIPSI

GAMBARAN EFEKTIVITAS PREMEDIKASI ONDASENTRON


DAN DEKSAMETASON DALAM MENCEGAH MUAL DAN
MUNTAH PASCA OPERASI DENGAN ANESTESI
SPINAL DI RS JEUMPA HOSPITAL

Diajukan Oleh:

ARIEF SURIZA
2314301147

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2023
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mual adalah sensasi ingin muntah yang bersifat subjektif berupa rasa tidak
menyenangkan bagi kebanyakan orang, akibat aktivasi dari sistem saraf pusat, dan
respon dari saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Mual sering disertai dengan
keringat dingin, pucat, hipersalivasi, hilangnya tonus gaster, kontraksi duodenum,
dan refluks isi intestinal ke dalam gaster meskipun tidak selalu disertai muntah.
Muntah adalah pengeluaran isi lambung dan usus melalui aktivitas sistem otonom,
gastrointestinal dan pernapasan yang terkoordinasi. Mual dan muntah pasca
operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) adalah efek samping
yang sering ditemukan setelah tindakan operasi dan anestesi (Nurwinarsih, 2020).
Mual dan muntah dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit,
waktu tinggal di rumah sakit lebih lama, jahitan luka operasi menjadi tegang, dan
kemungkinan terjadinya dehisensi, hipertensi, peningkatan perdarahan di bawah
lapisan kulit, peningkatan resiko terjadinya aspirasi paru karena menurunnya
refleks jalan nafas, dan ulserasi mukosa lambung. Sampai saat ini, mual muntah
pasca bedah masih menjadi perhatian utama pada pasien yang menjalani
pembedahan (Novrianto, 2021).
Di Amerika Serikat, 71 juta orang menjalani pembedahan rawat jalan dan
rawat inap per tahunnya. Angka kejadian mual muntah pasca bedah sekitar 20-
30% pada pasien yang menjalani pembedahan umum dan 70-80% pada pasien
yang tergolong risiko tinggi. Penyulit akibat mual muntah pasca bedah sangat
bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan pasien hingga morbiditas. Mual muntah
pasca bedah pada pasien rawat jalan meningkatkan biaya kesehatan sekitar 0,1-
0,2% karena kejadian rawat kembali ke rumah sakit yang tidak diduga (Fajriani,
2019).
Dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh Egyptian Journal of Hospital
Medicine, ditemukan bahwa dexamethasone memiliki efektivitas yang sebanding
2

dalam mencegah mual dan muntah pasca operasi (PONV) dengan ondansetron
dalam 24 jam setelah operasi laparoskopi. Dexamethasone 8 mg seefektif
ondansetron 4 mg. Dexamethasone memberikan metode pencegahan mual dan
muntah pasca operasi yang sederhana, aman, murah, dan efektif dengan
keuntungan lebih murah sehingga mengurangi beban ekonomi (Umari, 2021).
Selain itu, dalam sebuah studi lain yang diterbitkan oleh Journal of Anesthesia,
Analgesia and Critical Care, ditemukan bahwa dexamethasone biasanya
digunakan untuk pencegahan PONV, dan tinjauan terbaru menunjukkan peran
dexamethasone dalam analgesia pasca operasi (Fatima, 2022).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mual dan muntah pasca
operasi yaitu jenis kelamin wanita (10%), riwayat motion sickness (21%), tidak
merokok (39%) dan penggunaan opioid postoperatif (78%). Beberapa faktor
dalam pemberian premedikasi, pembedahan dengan durasi 30 menit (60%), jenis
obat anestesia dan pemilihan teknik anestesi diperkirakan ikut mempengaruhi
terjadinya PONV (Fatima, 2022).
Ondansetron adalah derivat carbazalone yang strukturnya berhubungan
dengan serotonin dan merupakan antagonis 5-HT3 subtipe spesifik yang berada di
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) dan juga pada aferen vagal saluran cerna,
tanpa mempengaruhi reseptor dopamin, histamin, adrenergik, ataupun kolinergik,
yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan
radiasi. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan mengantagonisasi
reseptor 5-HT yang terdapat pada CTZ di area postrema otak dan mungkin juga
pada aferen vagal saluran cerna (Havriray, 2019).
Deksametason adalah obat golongan steroid yang mekanisme kerjanya
berhubungan dengan mencegah pembentukan prostaglandin dan merangsang
pelepasan endorphin, yang mempengaruhi mood dan tingkat ketenangan.
Deksametason mempunyai efek antiemetik, diduga melalui mekanisme
menghambat pelepasan prostaglandin secara sentral sehingga terjadi penurunan
kadar 5-HT 3 di sistem saraf pusat, menghambat pelepasan serotonin di saluran
cerna sehingga tidak terjadi ikatan antara serotonin dengan reseptor 5-HT 3 ,
pelepasan endorfin, dan anti inflamasi yang kuat di daerah pembedahan dan
3

diduga glukokortikoid mempunyai efek yang bervariasi pada susunan saraf pusat
dan akan mempengaruhi regulasi dari neurotransmitter, densitas reseptor,
transduksi sinyal dan konfigurasi neuron (Novrianto, 2021).
Dexamethasone dan ondansetron adalah dua obat yang sering digunakan
untuk mencegah mual dan muntah pasca operasi (PONV). Dexamethasone
merupakan alternatif antiemetik untuk ondansetron. Namun, pada tahap pasca
operasi awal (0-6 jam), ondansetron lebih baik dalam mengurangi PONV daripada
dexamethasone. Sementara pada tahap pasca operasi akhir (6-24 jam),
dexamethasone lebih efektif dalam mencegah PONV daripada ondansetron,
sedangkan, Ondansetron juga merupakan antagonis reseptor 5-HT3 selektif,
yang menunjukkan tindakan antiemetik dengan mengantagonis sinyal muntah
dalam jalur aferen dari lambung atau usus kecil dan inti traktus soliter, dan efektif
dalam mencegah PONV. Kedua obat ini memiliki efek yang sama dalam
mencegah muntah pasca operasi hingga 24 jam setelah operasi. Namun, penting
untuk dicatat bahwa penggunaan dexamethasone dapat menyebabkan peningkatan
kecil dalam glukosa darah dalam 12 jam pertama setelah operasi pada pasien
tanpa diabetes (Wang, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mufidah Nur Fajriani
yang berjudul perbandingan efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan
ondansetron untuk mencegah mual dan muntah pasca operasi dengan anestesi
umum di Rumah Sakit Ibnu Sina menyimpulkan bahwa efektivitas dari pemberian
premedikasi baik itu menggunakan deksametason atau pun ondansetron untuk
mencegah mual muntah pasca operasi dengan anestesi umum adalah sama. Hal
ini, dibuktikan pada uji statistik yang telah didapatkan yaitu sebesar 93,3% untuk
kedua kelompok dengan nilai uji p sebesar 1,000 (p>0,05) yang menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut
berdasarkan efektivitasnya (Fajriani, 2019).
Pada RS Jeumpa jumlah pasien dengan tindak operasi dengan anestesi
spinal sangat banyak. Pada tahun 2021 terdapat 5.546 pasien, tahun 2022 terdapat
8.622 pasien dan tahun 2023 (data dari Januari sampai dengan November)
terdapat 9.930 pasien. Untuk mencegah mual muntah petugas menggunakan
4

ondansetron dan dexamethasone. Selain itu, berdasarkan hasil survei awal yang
dilakukan peneliti pada RS Jeumpa Hospital berupa observasi terhadap 6 pasien
pasca operasi dengan anestesi spinal terhadap pemberian ondasentron dan
deksametason dalam mencegah mual dan muntah, 3 diantaranya yang
menggunakan ondasentron tidak mengalami muntah setelah tindakan dan 3
diantaranya lagi yang menggunakan deksametason juga mengalami hal yang
sama, hanya saja penggunaan ondasentron lebih cepat reaksi terhadap mual
muntah pada pasien.
Berdasarkan hal diatas masih ditemukan bahwa efektivitas dari pemberian
premedikasi baik itu menggunakan deksametason ataupun ondansetron untuk
mencegah mual muntah pasca operasi dengan anestesi umum adalah sama, maka
dalam hal ini penulis ingin melakukan pembuktian mengenai gambaran efektivitas
premedikasi ondasentron dan deksametason dalam mencegah mual dan muntah
pasca operasi dengan anestesi spinal di RS Jeumpa Hospital

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang serta kondisi permasalahan diatas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah
gambaran efektivitas premedikasi ondasentron dan deksametason dalam
mencegah mual dan muntah pasca operasi dengan anestesi spinal di RS Jeumpa
Hospital?”

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari studi kasus ini adalah untuk mengetahui bagaimana
efektivitas premedikasi ondasentron dan deksametason dalam mencegah mual
dan muntah pasca operasi dengan anestesi spinal
2. Tujuan Khusus
a. Menilai kejadian mual muntah pada pasien pasca operasi dengan anestesi
spinal terhadap pemberian premedikasi deksametason.
5

b. Menilai kejadian mual muntah pada pasien pasca operasi dengan anestesi
umum dengan pemberian premdikasi ondasetron.
c. Menilai efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan ondansetron
untuk mencegah mual muntah pada pasca operasi dengan anestesi spinal.

D. Manfaat Studi Kasus


1. Manfaat teoritis
Diharapkan hasil studi kasus ini bermanfaat dalam pengembangan tentang
premedikasi deksametason dan ondansetron untuk mengurangi kecemasan
pada pasien pre operasi.
2. Manfaat praktis
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
a. Institusi rumah sakit
Bagi RS Jeumpa Hospital dapat dijadikan sebagai gambaran efektivitas
pemberian premedikasi deksametason dan ondansetron untuk mencegah
mual muntah pada pasca operasi dengan anestesi umum.
b. Penata anestesi
Sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan tentang gambaran
efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan ondansetron untuk
mencegah mual muntah pada pasca operasi dengan anestesi umum.
c. Penelitian selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya dapat menambah pengetahuan tentang gambaran
efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan ondansetron untuk
mencegah mual muntah pada pasca operasi dengan anestesi umum.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Mual Muntah Pasca Operasi


1. Pengertian
Secara umum mual muntah terdiri dari 3 fase, yaitu mual, retching, dan
muntah. Mual berasal dari kata Yunani “naus” yang menunjukkan “kapal”.
Mual adalah sensasi tidak menyenangkan yang bersifat subjektif dan dialami
sebagian orang yang mengacu pada saluran pencernaan bagian atas dan faring
dan tidak selalu diikuti oleh retching atau muntah. Retching adalah fase
dimana terjadi gerak nafas pasmodik dengan glotis tertutup, bersamaan
dengan adanya usaha inspirasi dari otot dada dan diafragma sehingga
menimbulkan tekanan intratoraks yang negatif sehingga timbul keinginan
untuk muntah tapi tidak dapat keluar (Shaikh, 2019).
Hal ini ditandai dengan kontraksi sinkron otot diafragma dan perut
terhadap mulut dan glotis yang tertutup. Muntah adalah pengeluaran isi
lambung melalui mulut, melibatkan otot-otot gastrointestinal, perut,
pernapasan, dan faring yang menghasilkan pengeluaran isi lambung dan usus
bagian atas secara cepat dan aktif. Penilaian muntah berbeda dengan penilaian
mual, muntah mudah diidentifikasi dan dapat diukur sedangkan mual lebih
bersifat subjektif sehingga tidak dapat diukur. Mual muntah pasca operasi
didefinisikan sebagai setiap mual, retching, atau muntah yang terjadi selama
24-48 jam pertama setelah operasi pada pasien rawat inap (Pierre, 2019).
2. Epidemiologi Mual Muntah Pasca Operasi
Sampai saat ini, mual muntah pasca operasi masih menjadi perhatian
utama pada pasien yang menjalani pembedahan. Disamping itu, tatalaksana
mual muntah pasa operasi masih belum jelas. Angka kejadian mual muntah
pasca operasi sekitar 30-50% pasien yang menjalani anestesi umum dan 70-
80% pada pasien yang tergolong resiko tinggi. Sebanyak 30- 40% pasien tetap
mengalami mual muntah pasca operasi walaupun telah mendapatkan
pengobatan profilaksis untuk mual muntah pasca operasi (Murakami, 2020).
7

Angka kejadian mual-muntah pasca operasi di Indonesia belum diketahui


secara pasti, namun dilaporkan sekitar 31,25% pasien pasca laparatomi
ginekologi mengalami mual muntah. Berbagai faktor dapat menyebabkan
terjadinya PONV. Beberapa faktor yang dapat memprediksi kejadian PONV
meliputi jenis kelamin wanita (10%), riwayat motion sickness (21%), tidak
merokok (39%) dan penggunaan opioid postoperatif (78%). Beberapa faktor
dalam pemberian premedikasi, pembedahan dengan durasi 30 menit (60%),
jenis obat anestesia dan pemilihan teknik anestesi diperkirakan ikut
mempengaruhi terjadinya PONV (Kambey BI, 2020).
3. Etiologi Mual Muntah Pasca Operasi
Mual muntah pasca operasi (PONV) dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain : faktor pasien, faktor prosedur dan faktor anestesi.
a. Faktor pasien
1) Umur: infant (5%), anak di bawah 5 tahun (25%), anak 6-16 tahun
(42-51%) dan dewasa (14-40%).
2) Jenis Kelamin: wanita dewasa 3 kali lebih berisiko dibanding laki-laki
(kemungkinan disebabkan oleh hormon).
3) Obesitas: pada pasien dengan obesitas lebih mudah terjadi PONV
karena adiposa yang berlebihan sehingga penyimpanan obat-obat
anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adiposa,
peningkatan residu volume lambung atau peningkatan refluks esofagus
serta kandung empedu dan penyakit saluran pencernaan pada pasien
obesitas.
4) Riwayat tidak merokok: sebagian besar pasien dengan riwayat
merokok memiliki kejadian PONV yang lebih kecil dibandingkan
pasien dengan riwayat tidak merokok dikarenakan mungkin pengaruh
sensitifitas terhadap nikotin dan zat karsinogen lainnya dalam rokok.
Tembakau pada rokok diduga dapat menginduksi enzim pada liver/hati
yaitu CYP1A2 P450.
5) Kelainan metabolik (diabetes melitus): akibat waktu penundaan
pengosongan lambung dapat menyebabkan terjadinya PONV.
8

6) Riwayat PONV atau motion sickness: pasien dengan riwayat PONV


sebelumnya memiliki potensi yang lebih besar terhadap kejadian mual
dan muntah berikutnya.
7) Kecemasan: dapat menyebabkan masuknya udara dalam lambung yang
dapat menyebabkan PONV.
8) Kehamilan: adanya variasi hormonal estrogen atau progesteron yang
terjadi selama kehamilan (hiperemesis gravidarum) meningkatkan
kejadian PONV (Putri K, 2020).
b. Faktor pembedahan
Tipe operasi yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya mual dan
muntah pasca operasi antara lain, operasi mata, operasi THT, operasi
abdominal, operasi ginekologi mayor beresiko menyebabkan PONV
sebesar 58%, operasi tiroidektomi menyebabkan PONVsebesar 63-84%,
operasi ortopedi, operasi laparatomi. Durasi operasi yang lama dapat
meningkatkan pemaparan obat-obatan anestesi dalam tubuh sehingga
memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya mual dan muntah pasca operasi.
Prosedur pembedahan dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial (Qudsi, 2021).
c. Faktor anestesi
1) Premedikasi
Pemberian opioid pada pasien dapat meningkatkan kejadian PONV.
Reseptor opioid terdapat di CTZ yang dapat menimbulkan efek
gamma-aminobutyric acid (GABA) meningkat. Akibat meningkatnya
GABA dapat menyebabkan aktifitas dopaminergik menurun sehingga
terjadi pelepasan 5-HT3 di otak.
2) Obat anestesi inhalasi
Kejadian PONV akibat pemberian obat anestesi inhalasi tetap
didasarkan atas lamanya pasien terpapar obat-obat anestesi selama
menjalani operasi. Tetapi biasanya terjadi dalam beberapa jam pasca
operasi.
3) Obat anestesi intravena
9

Pemberian propofol dapat menurunkan PONV. Walaupun cara kerja


propofol belum diketahui, tetapi sebagian besar menyebutkan bahwa
propofol dapat menghambat antagonis dopamin D2 di area postrema.
4) Regional anestesi
Teknik regional anestesi lebih menguntungkan dibandingkan dengan
tehnik general anestesi. Kejadian hipotensi dapat menyebabkan batang
otak iskemik sehingga dapat meningkatkan kejadian PONV. Namun
kejadian PONV pada teknik regional anestesi ini dapat diturunkan
dengan pemberian opioid yang bersifat lipofilik.
5) Nyeri pasca operasi
Nyeri pasca operasi viseral dan nyeri pelvis dapat menyebabkan
PONV. Nyeri dapat memperpanjang waktu pengosongan lambung
yang dapat menyebabkan mual setelah pembedahan (Qudsi, 2021).
4. Patofisiologi Mual Muntah Pasca Operasi
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa
mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah
diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf-saraf yang
berlokasi di medulla oblongata. Saraf-saraf ini menerima input dari:
 Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
 Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual
karena penyakit telinga tengah)
 Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
 Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan
cedera fisik)
 Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik
dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus. 8
a. Mekanoreseptor: berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh
kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama
operasi.
10

b. Kemoreseptor: berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif


terhadap stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nucleus
tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang
kedua pusat muntah dan CTZ. Aferent dari faring, GI tract, mediastinum,
ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral
dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus
tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan
dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif
terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak
dapat langsung merangsang CTZ (Siregar, 2021).
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang
berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut
yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual
muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui
perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih.
Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang
menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah. Reseptor sepeti 5-
HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai
di CTZ. Nukleus traktus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada
endorfin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-
reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya
reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan
otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah (Siregar, 2021).
5. Penatalaksanaan Mual Muntah Pasca Operasi
Terapi PONV pada dasarnya terdiri dari terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi.
a. Terapi Non farmakologi
11

Akupunktur dan akupresur titik P6 telah didalilkan sebagai tindakan


profilaksis yang berguna untuk mencegah PONV. Ini melibatkan stimulasi
dengan jarum, stimulator saraf listrik transkutan atau tekanan. Titik P6
terletak 5 cm proksimal ke lipatan pergelangan ventral antara fleksor karpi
radialis dan palmaris longus. Stimulasi harus terjadi sebelum induksi
anestesi.Sebuah meta-analisis grup menunjukkan penurunan mual pasca
operasi tetapi tidak berpengaruh pada muntah. Karena kecemasan pra
operasi telah dikaitkan secara positif dengan PONV, peran komunikasi
yang baik, jaminan dan hubungan positif dengan pasien tidak boleh
diabaikan. Sayangnya peran intervensi psikologis dan hipnosis hanya
menunjukkan bukti yang lemah atau tidak ada manfaat pada populasi
dewasa saat ini (Blackburn, 2021).
b. Terapi Farmakologi
Untuk pasien dengan risiko PONV sedang hingga berat, diindikasi
pemberian profilaksis antiemetik. Jika menggunakan dua obat, maka harus
berasal dari kelas farmakologi yang berbeda. Secara umum, kombinasi obat
memiliki keampuhan yang lebih besar daripada perawatan monoterapi.
1) 5-Hydroxytryptamine (5-HT3) antagonis
Ondansetron, dolasetron, granisetron, dan tropisetron lebih efektif
sebagai profilaksis PONV jika diberikan pada akhir operasi.
Ondansetron memiliki efek anti muntah yang lebih besar dibandingkan
efek anti mualnya. Ondansetron merupakan “gold standart”
dibandingkan dengan anti emetik lainnya. Dosis yang direkomendasikan
yaitu ondansetron 4 mg untuk mencegah mual dan muntah. Efek
ondansetron oral 8 mg sama dengan ondansetron 4 mg IV (Intra Vena).
Ondansetron sama efektifnya dengan 5-HT3 lainnya termasuk
ramosetron 0,3 g. Ondansetron juga efektif bila dikombinasikan dengan
deksametason dan haloperidol 1 mg IV, tanpa efek perpanjangan QT
interval. Dolasetron, berdasarkan prospektif dari berbagai penelitian
menunjukkan dosis profilaksis yaitu 12,5 mg efektif untuk mencegah
PONV. Dosis tersebut sama efektifnya dengan ondansetron 4 mg.
12

Granisetron, memiliki dosis 0,35-3 mg IV (5-20 mcg/kg) sama


efektifnya dengan 5-HT3 reseptor antagonis generasi pertama.
Granisetron 3 mg IV lebih efektif bila dikombinasi dengan
deksametason 8 mg IV. Terdapat juga jenis 5-HT3 lainnya seperti
tropisetron, ramosetron, dan palonosetron. Tindakannya sepenuhnya di
CTZ dengan menghambat reseptor 5-HT3. Data penelitian terbaru yang
dirilis oleh produsen asli menunjukkan peningkatan tergantung dosis
dalam interval QT ECG setelah pemberian ondansetron (Blackburn,
2021).
2) Steroid
Deksametason merupakan golongan kortikosteroid yang secara efektif
dapat mencegah mual muntah pada pasien pasca operasi. Dosis
profilaksis deksametason yaitu 4-5 mg IV. Pada pasien yang memiliki
risiko tinggi terjadinya PONV diberikan deksametason dosis profilaksis
4-5 mg IV setelah dilakukan induksi anastesi. Deksametason 8 mg IV
dapat meningkatkan pemulihan pasca operasi, dengan mengurangi mual,
nyeri dan kelelahan. Untuk profilaksis PONV, efek deksametason 4 mg
IV sama dengan ondansetron 4 mg IV dan droperidol 1,35 mg IV.
Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang diberikan deksametason
8mg mengalami peningkatan glukosa darah 6-12 jam setelah operasi pada
pasien normal, termasuk pasien dengan toleransi glukosa terganggu,
diabetes melitus tipe 2, dan obesitas. Hal ini menunjukkan, deksametason
relatif kontraindikasi pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol
(Blackburn, 2021).
3) Antihistamin
Dimenhidrinat adalah antihistamin dengan efek anti emetik. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB IV. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa efek antiemetik yang terdapat pada dimenhidrinat sama dengan
efek antiemetik yang terdapat pada obat lain seperti antagonis reseptor 5-
HT3, deksametason, dan droperidol. Namun belum didapatkan data yang
cukup untuk mengetahui waktu dan dosis respon yang optimal maupun
13

efek samping yang ditimbulkan. Meklizin memiliki durasi efek PONV


yang lebih lama daripada ondansetron. Kombinasi antara meklizin 50
mg/os dan ondansetron 4 mg IV lebih efektif dibandingkan meklizin atau
ondansetron saja (Gan, 2019).
4) Phenothiazines
Prochlorperizine dan promethazine merupakan obat antidopaminergik dan
anti-kolinergik. Salah satu efek samping paling umum yaitu gejala ekstra-
piramidal (EPS), distonia akut, sedasi (efek anti-dopaminergik), dan efek
anti-kolinergik (mulut kering dan takikardi). Golongan obat ini
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit Parkinson. Prochlorperizine
12,5 mg intramuskular merupakan dosis efektif untuk pengobatan
penyelamatan atau profilaksis PONV. Obat ini paling efektif diberikan
pada akhir operasi dan dapat diulang tiap 8 jam (Gan, 2019).
5) Butyrophenones
Droperidol merupakan antagonizes reseptor D2 dopamin di CTZ. Dosis
profilaksis dari droperidol 0,625-1,25 mg IV dan efektif untuk mencegah
terjadinya PONV. Efek droperidol mirip dengan ondansetron sebagai
profilaksis PONV. Droperidol efektif bila diberikan pada akhir operasi.
Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa dengan droperidol dosis rendah
(<1 mg atau 15 µg/kg IV) pada orang dewasa, masih dapat menimbulkan
efek antiemetik yang signifikan dengan risiko efek samping yang rendah.
Banyak dokter berhenti menggunakan droperidol karena pembatasan oleh
Food and Drug Administration (FDA) dikarenakan droperidol dengan
dosis tinggi dapat menimbulkan perpanjangan QT. Namun, dosis
droperidol yang digunakan untuk manajemen PONV sangat rendah, dan
diyakini bahwa pada tingkat dosis ini, droperidol tidak mungkin dikaitkan
dengan kejadian kardiovaskular yang signifikan. Dalam studi klinis,
kombinasi antara droperidol dan ondansetron lebih efektif daripada obat
tunggal saja. Efek samping yang bisa terjadi yaitu kecemasan dan EPS
tergantung dosis yang digunakan dan dapat terjadi lebih dari 12 jam
setelah pemberian obat (Blackburn, 2021).
14

6) Benzamid
Metoclopramide adalah antagonis lemah pada reseptor D2 dopamin di
CTZ. Bertentangan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan
metoclopramide hanya efektif pada dosis tinggi 20-30 mg, dosis tunggal
10 mg intravena efektif dalam profilaksis PONV awal. Namun, efek
samping yang dapat ditimbulkan yaitu diskinesia atau gejala
ekstrapiramidal, efek samping yang terjadi semakin berat seiring dengan
meningkatnya dosis metoklopramid yang diberikan. Gejala ekstra-
piramidal (EPS) dapat terjadi hingga 72 jam setelah dosis tunggal, lebih
umum pada wanita muda yang harus dihindari (Blackburn, 2021).
6. Penilaian PONV
Mual muntah pasca operasi (PONV) dapat berlangsung dalam beberapa
menit, jam dan hari. Hal ini tergantung dari kondisi pasien. Adapun
tahapannya sebagai berikut:
a. Tahap awal yaitu 2 sampai 6 jam pasca operasi
b. Tahap lanjut yaitu 24 atau 48 jam pasca operasi
Kejadian PONV dinilai pada skala 5 nilai menurut Pang dkk sebagai berikut:
0 = tidak mual dan tidak rnuntah.
1 = mual kurang dari l0 menit dan atau muntah hanya sekali, tidak
membutuhkan pengobatan.
2 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah 2 kali dan tidak
membutuhkan pengobatan.
3 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah lebih dari 2 kali
dan membutuhkan pengobatan.
4 = mual muntah yang tidak berespon dengan pengobatan (Qudsi, 2021).

B. Deksametason
1. Pengertian
Deksametason adalah bentuk sintesis dari adrenokortikoid dan bertindak
terutama sebagai reseptor glukokortikoid dengan sedikit fungsi reseptor
mineralokortikoid dengan waktu paruh 36-72 jam, digunakan sebagai agen
15

anti inflamasi atau imunosupresif. Deksametason disetujui oleh FDA pada


tahun 1958 dan tersedia sebagai oral, parenteral, topical (spray), dan bentuk
sediaan tetes mata. Sejak pertengahan 1980-an, penelitian menunjukkan
bahwa dexametason dapat mengurangi muntah pada pasien setelah
kemoterapi. Penelitian selanjutnya juga menemukan bahwa deksametason
secara efektif dapat mencegah PONV yang diinduksi oleh penggunaan morfin
epidural untuk mengurangi rasa sakit pasca operasi (Wang, 2022).
Satu dekade yang lalu, hasil dari meta analisis yang lebih lanjut
menunjukkan bahwa efek pencegahan deksametason terhadap PONV mirip
dengan ondansetron. Karena biaya yang rendah dan keamanan, deksametason
mungkin menjadi obat pilihan pertama dalam mencegah PONV. Meskipun
mekanisme kerja dari deksametason belum sepenuhnya. Dipahami, penelitian
pada hewan telah mengkonfirmasi bahwa pusat muntah di batang otak
memainkan peran sentral. Dosis tipikal deksametason untuk pencegahan
PONV yaitu 4 mg atau 10 mg. Pedoman Society for Ambulatory Anesthesia
(SAMBA) merekomendasikan 4 mg, tetapi pemberian dosis 10 mg juga
memberikan efek yang serupa dan secara teoritis menurunkan insidensi efek
samping. Rekomendasi ini didukung oleh temuan meta analisis bahwa tidak
ada perbedaan dalam kisaran dosis 4-10 mg (Wang, 2022).
2. Farmakologi
Deksametason adalah derivat fluorinated prednisolon dan isomer dengan
betametason. Deksametason merupakan derivat steroid yang memiliki durasi
panjang. Memiliki efek seperti glukokortikoid yang memiliki efek utama
terhadap penyimpanan glikogen hepar, anti inflamasi dan sedikit berpengaruh
terhadap keseimbangan air dan elektrolit. Deksametason dilaporkan pertama
kali efektif sebagai antiemetik dan terbukti aman pada pasien yang menjalani
kemoterapi kanker. Penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa
deksametason terbukti efektif sebagai profilaksis PONV, paling sedikit sama
efektifnya dengan droperidol dan antagonis serotonin jika digunakan sebagai
agen tunggal (Nurwinarsih, 2019).
16

Mekanisme kerja deksametason dengan inhibisi pelepasan asam


arakidonat, modulasi substansi yang berasal dari metabolisme asam
arakidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT3. Deksametason mempunyai efek
antiemetik, diduga melalui mekanisme menghambat pelepasan prostaglandin
(menghambat pelepasan asam arachidonat dan modulasi substansi yang
berasal dari metabolisme asam arakidonat) secara sentral sehingga terjadi
penurunan kadar 5-HT3 di sistem saraf pusat, menghambat pelepasan
serotonin di saluran cerna sehingga tidak terjadi ikatan antara serotonin
dengan reseptor 5-HT3, pelepasan endorfin, dan anti inflamasi yang kuat di
daerah pembedahan dan diduga glukokortikoid mempunyai efek yang
bervariasi pada susunan saraf pusat dan akan mempengaruhi regulasi dari
neurotransmitter, densitas reseptor, transduksi sinyal dan konfigurasi neuron
(Nurwinarsih, 2019).
Reseptor glokokortikoid juga ditemukan pada nukleus traktus solitarius,
nukleus raphe, dan area postrema, dimana inti-inti tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap aktivitas mual dan muntah. Efek antiemetik deksametason
juga dihubungkan dengan supresi adrenokortikotropin yang memberikan
respon terhadap stimulasi gerakan. Hal ini menyebabkan deksametason paling
efektif untuk mencegah PONV pada pasien yang mengalami mabuk
perjalanan (motion sickness). Penelitian deksametason pada wanita yang
mengalami pembedahan ginekologi mayor menunjukkan bahwa deksametason
7 mg dengan granisetron 40 mcg/kgBB dapat mencegah PONV sampai
dengan 96% dibandingkan dengan pasien yang hanya diberikan granisetron
saja (Nurwinarsih, 2019).
3. Farmakokinetik
a. Onset deksametason secara intravena cepat, hanya dalam beberapa menit
sampai setengah jam, larut dalam air dan tidak berikatan dengan protein.
b. Durasi kerja obat selama 36-54 jam.
c. Absorbsi pada pemberian oral dan intravena baik.
d. Dimetabolisme di hepar dan ekskresi melalui ginjal (Nurwinarsih, 2019).
17

4. Farmakodinamik
a. Efek terhadap kardiovaskuler
Dilaporkan pengaruh glukokortikoid terhadap keseimbangan air dan
elektrolit kecil, tetapi kelebihan glukokortikoid dapat berakibat retensi air
dan hipertensi pada pemakaian jangka panjang (oleh karena meningkatnya
substrat rennin dan reaktivitas vaskuler).
b. Efek terhadap sistem imunitas
Pemberian deksametason jangka panjang dan dosis besar dapat
menyebabkan penekanan terhadap sistem imunitas.
c. Efek terhadap gastrointestinal
Dapat meningkatkan tukak lambung.
d. Efek terhadap tubuh lainnya
Pada pemakaian jangka panjang dapat terjadi gangguan psikotik. Akibat
pengaruhnya terhadap metabolisme lemak, pemberian deksametason yang
berlebihan akan berakibat moon face, buffalo (Nurwinarsih, 2019).
5. Indikasi
a. Mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
b. Profilaksis mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
c. Mual atau muntah pasca operasi
d. Profilaksis mual atau muntah pasca operasi
e. Insufisiensi adrenokortikal
f. Syok anafilaksis
g. Asma
h. Bronkiolitis
i. Konjungtivitis alergi
j. Alopesia
k. Edema serebral
l. Multiple sklerosis
m. .Sindrom nefrotik (Nurwinarsih, 2019).
18

6. Dosis
Dosis deksametason yang direkomendasikan untuk pencegahan PONV pada
orang dewasa adalah 2,5-10 mg, sedangkan pada anak-anak 0,15-1 mg
Berdasarkan studi ditetapkan bahwa untuk dosis dewasa minimal pemberian 2,5
mg injeksi intravena sebagai pencegahan PONV setelah operasi ginekologi
(histerektomi total abdominal, miomektomi, dan histerektomi radikal), dan
minimal 5 mg intravena setelah pembedahan tiroidektomi. Deksametason juga
menunjukkan efek pencegahan terhadap mual dan muntah yang disebabkan
oleh penggunaan morfin intravena atau epidural untuk kontrol nyeri pasca
operasi. Dosis minimum untuk pencegahan mual muntah yang dipicu oleh
injeksi morfin intravena yaitu 8 mg, sedangkan untuk mencegah mual muntah
yang dipicu oleh injeksi morfin epidural yaitu 5 mg (Wang, 2022).
Waktu pemberian deksametason sangat penting untuk mencegah PONV
Deksametason intravena umumnya membutuhkan periode waktu yang lebih
lama untuk memberikan efek dan memerlukan jeda waktu 12-24 jam untuk
mencapai hasil yang maksimal, untuk efek fisiologis dapat bertahan 36-72 jam
dalam tubuh. Penelitian telah menunjukkan bahwa efek antiemetik
deksametason dimulai sekitar 2 jam setelah injeksi intravena. Deksametason
sebaiknya diberikan ketika operasi hampir selesai dilakukan (Wang, 2022).
7. Efek samping
Dengan dosis deksametason 5 mg intravena yang diberikan sebelum induksi
anestesi sebagai agen tunggal terbukti tidak terdapat efek samping yang
signifikan sepeti pada penggunaan steroid dosis tinggi atau pemakaian lama
(evidence based IIA). Efek samping lain dari deksametason antara lain
intoleransi glukosa, supresi adrenal, dan peningkatan infeksi (Nurwinarsih,
2019).

C. Ondansetron
1. Pengertian
Ondansetron merupakan obat golongan antagonis reseptor serotonin oral dan
parenteral (5-HT3) yang dikembangakan sekitar tahun 1984 oleh 28 ilmuwan
19

yang bekerja di Laboratorium Glaxo di London. Pada tahu 1991, ondansetron


direkomendasikan oleh FDA. Golongan antagonis reseptor 5- HT3 ini
digunakan sebagai agen antiemetik untuk pencegahan dan pengobatan mual
muntah selama kemoterapi, terapi radiasi, dan pembedahan. Untuk
ondansetron kadang-kadang digunakan sebagai pengobatan untuk hiperemesis
gravidarum. Pada penelitian terbaru ondansetron dapat digunakan sebagai
pengobatan untuk gangguan motilitas gastrointestinal dan ketergantungan obat
(misalnya: alkoholisme). Pada pediatrik, ondansetron digunakan untuk
sindrom muntah siklik dan muntah yang diinduksi oleh gastroenteritis.
Ondansetron adalah antiemetik yang sangat aman dan sangat efektif
dibandingkan dengan antiemetik sebelumnya (misalnya: metoklopramid,
droperidol). Efek samping dari ondansetron yaitu perpanjangan QT yang
tergantung pada dosis yang diberikan. Pemberian ondansetron dengan dosis
optimal sama efketifnya dengan obat golongan antagonis reseptor serotonin
lainnya (Nurwinarsih, 2019).
2. Farmakologi
Ondansetron merupakan golongan antagonis reseptor 5-HT3 (serotonin)
selektif pertama yang dipasarkan, yang merupakan derivat karbazol dan
merupakan campuran rasemik, dimana efek antiemetiknya melalui antagonis
reseptor 5-HT3 yang terdapat di viseral aferen vagus dan area postrema dan
bersifat selektif kompetitif, tidak mempunyai efek klinis terhadap reseptor 5-
HT1 atau 5-HT2 maupun pada reseptor α1, β1, reseptor muskarinik dan
nikotinik kolinergik, reseptor H1 dan H2 reseptor GABA (Nurwinarsih, 2019).
Obat ini dapat diberikan baik oral maupun parenteral. Setelah dosis
peroral, maka obat ini akan diabsorbsi melalui traktus gastrointestinal dan
selanjutnya mengalami metabolisme ekstensif di hepar terutama hidroksilasi
diikuti dengan konjugasi glukoronid atau sulfat. Obat ini mempunyai
bioavailabilitas antara 56%-71% dimana kecepatan ini dipengaruhi sedikit
dengan adanya makanan. Eliminasi waktu paruh antara 3-6 jam pada orang
dewasa sedangkan pada anak-anak di bawah 15 tahun antara 2-3 jam. Kira-
20

kira 5-10 % obat akan diekskresi di urin dalam keadaan tidak berubah
(Nurwinarsih, 2019).
Pada pasien dewasa yang menderita gangguan hati ringan sampai sedang,
ondansetron klirens berkurang dua kali lipat dan rata-rata waktu paruh
ditingkatkan menjadi 11,6 jam. Pada pasien dengan gangguan hati berat,
klirens dikurangi dua kali lipat menjadi tiga kali lipat dan volume distribusi
meningkat, menghasilkan peningkatan eliminasi paruh hingga 20 jam. Pada
pasien dengan gangguan ginjal, pemberian ondansetron dengan persentase
kecil (5%) dapat dikeluarkan melalui urin secara murni. Sedangkan, pada
pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <30 ml/menit)
pengeluaran plasma rata-rata berkurang sekitar 40%; namun, pengurangannya
bervariasi dan tidak konsisten dengan peningkatan waktu paruh. Sehingga
tidak perlu dilakukan pengurangan dosis. Untuk pasien pediatrik, sebuah studi
famakokinetik pada anak-anak pasca operasi yang berusia 3-12 tahun
diberikan dosis tunggal 2 atau 4 mg IV menunjukkan waktu paruh 2,5-3,5
jam. Selama studi farmakokinetik pada bayi dan anak usia 1-48 bulan,
simulasi menunjukkan bahwa dosis intravena ondansetron 0,1 mg/kgBB pada
bayi <6 bukan menghasilkan paparan yang sama dengan dosis yang diberikan
pada bayi yang lebih tua dan anak-anak sebesar 0,15 mg/kgBB. Studi bedah
lain pada bayi dan anak-anak 5-24 bulan diberikan ondansetron dosis tunggal
sebesar 0,1-0,2 mg/kgBB IV menunjukkan waktu paruh 2,9 jam. Pada pasien
geriatrik, pasien diatas usia 75 tahun juga memiliki pengurangan ondansetron
dan peningkatan waktu paruh, namun tidak ada penyesuaian dosis yang
direkomendasikan (Blackburn, 2021).
Ondansetron mengalami metabolisme yang luas, terutama oleh
hidroksilasi, diikuti oleh glukoronida atau konjugasi sulfat. Studi in vitro
menunjukkan bahwa ondansetron di metabolisme oleh enzim-enzim
metabolisme sitokrom P450 (CYP450) hati, termasuk CYP1A2, CYP2D6,
CYP3A4, dengan CYP3A4 memainkan peran terbesar. Inhibitor poten
isoenzym cytochrome CYP1A2, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 seperti
cimetidine, allopurinol, ritonavir, dan disulfiram akan mempengaruhi
21

metabolisme dan klirens sehingga meningkatkan kadar ondansetron serum.


Begitu pula inducer CYP1A2, CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4, seperti
rifampisin, barbiturat, fenitoin, dan Karbamazepin dapat mempengaruhi
klirens obat dan menurunkan kadar ondansetron dalam serum (Nurwinarsih,
2019).
Serotonin (5-hydroxytryptamine/5-HT3) adalah neurotransmitter
monoamin yang disintesis di neuron serotonergik di susunan saraf pusat dan
sel enterokromaffin di traktus gastrointestinal. Reseptor 5-HT3 terletak di
perifer pada terminal nervus vagus dan di sentral pada Chemoreceptor Trigger
Zone (CTZ) di area postrema. Area postrema terletak di dasar ventrikel
keempat pada organ sirkumventrikular yang berfungsi mendeteksi toksin di
dalam darah dan bekerja sebagai pusat yang mencetuskan muntah. Area ini
juga berhubungan dengan nukleus traktus solitarius dan pusat kontrol otonom
di batang otak (Nurwinarsih, 2019).
Sel enterokromafin (kulchitsky cells) terletak di epitel yang melapisi
lumen dari traktus gastrointestinal (misalnya gaster, usus kecil, usus besar).
Sel ini mengandung dan memproduksi hampir 90% dari simpanan serotonin
(5-HT3) tubuh. Pada traktus gastrointestinal, 5-HT3 penting dalam respon
terhadap siklus kimia, mekanik atau patologi dalam lumen usus. Serotonin
akan mengaktifkan reflek sekresi dan peristaltik serta mengawasi afferen
vagus melalui 5-HT3 reseptor selanjutnya sinyal akan diteruskan ke otak yang
pada akhirnya penting dalam menimbulkan mual dan muntah. Ondansetron
merupakan antagonis reseptor 5-HT3 sehingga efektif sebagai antiemetik
(Novrianto, 2019).
3. Farmakokineti
Ondansetron dapat diberikan secara oral dan parenteral. Pada pemberian
oral, dosis yang diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena 32 diberikan
dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/kgBB sebelum operasi atau bersamaan
dengan induksi. Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat.
Ondansetron di eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini
terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di
22

hati. Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama
fenitoin fenobarbital dan rifampin (Putri, 2020).
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih
aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di
hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mulai kerja
kurang dari 30 menit. Lama kerja 6-12 jam (Malagelada, 2020).
4. Farmakodinamik
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3)
merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-
HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel
mukosa entereokromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3
dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin
akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan
refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau
iritasi usus yang merangsang distensi gastrointestinal (Putri, 2020).
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:
a. Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius
melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3.
b. Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan
menghambat ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus.18
5. Indikasi
1. Ketergantungan alkohol
2. Profilaksis mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
3. Sindrom muntah siklik
4. Gastroenteritis
5. Hiperemesis gravidarum
6. Mual atau muntah pasca operasi (PONV)
7. Profilaksis mual atau muntah pasca operasi (PONV)
8. Pruritus
23

9. Profilaksis mual atau muntah yang diinduksi radias


6. Dosis
a. Untuk pengobatan mual atau muntah pasca operasi
1) Anak-anak dengan berat badan > 40 kg, remaja, dan dewasa 34 Dosis
yang diberikan yaitu 4 mg IV diberikan satu kali, antagonis 5-HT3
dianjurkan jika tidak ada profilaksis yang telah diberikan, atau bagi
pasien yang menerima antiemetik profilaksis dari golongan obat lain.
Pemberian dosis IV kedua pasca operasi sebagai respon terhadap
kontrol yang tidak memadai umumnya tidak efektif, sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan antiemetik dari golongan lain.24
2) Bayi dan anak-anak dengan berat badan sama dengan atau < 40 Dosis
yang diberikan yaitu 0,05-0,1 mg/kgBB IV diberikan satu kali,
antagonis 5-HT3 dianjurkan jika tidak ada profilaksis yang telah
diberikan, atau bagi pasien yang menerima antiemetik profilaksis dari
golongan obat lain. Pemberian dosis IV kedua pasca operasi sebagai
respon terhadap kontrol yang tidak memadai umumnya tidak efektif,
sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan antiemetik dari golongan
lain. Pada anak-anak yang mengalami retching atau muntah pasca
operasi setidaknya 2 kali dengan lama operasi 2 jam dan anak-anak
yang tidak menerima profilaksis sebelumnya, sebesar 53% tidak terjadi
muntah dengan dosis ondansetron 0,1 mg/kgBB satu kali (maksimal 4
mg) IV dibandingkan dengan 17% dari anak-anak yang menerima
plasebo (Crump, 2019).
b. Untuk profilaksis mual atau muntah pasca operasi
1) Anak-anak dengan berat badan > 40 kg, remaja, dan dewasa Dosis
yang diberikan yaitu 4 mg IV sebagai dosis tunggal, diberikan segera
sebelum atau setelah induksi anestesi, atau setelah pasca operasi jika
pasien mengalami mual atau muntah segera setelah operasi. Pemberian
dosis IV kedua pasca operasi sebagai respon terhadap kontrol yang
tidak memadai umumnya tidak efektif, sehingga perlu
24

dipertimbangkan penggunaan antiemetik dari golongan lain (Crump,


2019).
Pada remaja dosis yang diberikan yaitu 4 mg IM (Intra Muscular)
sebagai dosis tunggal, diberikan segera sebelum atau setelah induksi
anestesi, atau setelah pasca operasi jika pasien mengalami mual atau
muntah segera setelah operasi. Pada dewasa dosis yang diberikan yaitu
16 mg per oral (PO) sebagai dosis tunggal, diberikan 1 jam sebelum
induksi anestesi. Sebagai alteratif dapat diberikan dosis 8 mg PO
sebagai dosis tunggal yang diberikan pada akhir operasi dan sama
efektifnya dengan 4 mg IV sesuai dengan praktek klinis atau setelah
pasca operasi jika pasien mengalami mual atau muntah segera setelah
operasi. Pemberian dosis IV kedua pasca operasi sebagai respon
terhadap kontrol yang tidak memadai umumnya tidak efektif, sehingga
perlu dipertimbangkan penggunaan antiemetik dari golongan lain
(Crump, 2019).
2) Bayi dan anak-anak dengan berat badan sama dengan atau < 40 kg
Dosis yang diberikan yaitu 0,05-0,1 mg/kgBB IV sebagai dosis
tunggal, diberikan segera sebelum atau setelah induksi anestesi, atau
setelah pasca operasi jika pasien mengalami mual atau muntah segera
setelah operasi dengan dosis maksimal 4 mg/kgBB. Pemberian dosis
IV kedua pasca operasi sebagai respon terhadap kontrol yang tidak
memadai umumnya tidak efektif, sehingga perlu dipertimbangkan
penggunaan antiemetik dari golongan lain.24 Dosis yang diberikan
yaitu 0,15 mg/kgBB PO sebagai dosis tunggal, diberikan segera
sebelum atau setelah induksi anestesi, atau setelah pasca operasi jika
pasien mengalami mual atau muntah segera setelah operasi. Maksimal
pemberian 8 mg/kgBB.24 Dilaporkan oleh White bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna pada pemberian ondansetron 4 mg dengan
ondansetron 8 mg dalam mencegah insidens PONV, sedangkan Khalil
dkk melaporkan pemberian ondansetron IV dapat PONV dengan
25

anestesi umum sebesar 76% untuk dosis 4 mg dan 76% untuk dosis 5
mg (Blackburn, 2021).
7. Kontraindikasi
a. Bradikardi
b. Menyusui
c. Penyakit jantung
d. Diabetes mellitus
e. Hipersensitivitas dolasetron
f. Hipersensitivitas granisetron
g. Penyakit hati
h. Sindrom QT memanjang
i. Hipersensitivitas ondansetron
j. Penyakit tiroid
k. Fenilketronuria
l. Hipersensitivitas palonosetron (Nurwinarsih, 2019).
8. Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan terjadi pada 8-17% pasien berupa sakit
kepala, dizziness, muka kemerahan (flushing), peningkatan enzimenzim hati
yang secara klinis tidak signifikan, serta konstipasi. Terdapat laporan
terjadinya interval QT yang memanjang pada pemakaian ondansetron,
granisetron, dan droperidol namun banyak penelitian melaporkan bahwa
penggunaan ondansetron cukup aman (tidak ada reaksi ekstrapiramidal,
sedasi, dan perubahan kardiovaskuler), efek samping minimal dan dapat
diterima (Nurwinarsih, 2019).
26

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Studi Kasus


Desain studi kasus ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan
rancangan multiple case study. Menurut Sugiyono (2017) menyatakan bahwa
metode deskriptif kualitatif adalah metode studi kasus yang berdasarkan pada
filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci teknik pengumpulan data dilakukan secara trigulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil studi kasus
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Studi kasus deskriptif
kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan,
menjelaskan dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti
dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok
atau suatu kejadian.
Multiple case study merupakan studi kasus yang dilakukan dengan
mereplika kasus. Pada studi kasus ini peneliti dapat meneliti beberapa kasus
untuk mengetahui persamaan atau perbedaan diantara kasus. Secara umum
dengan lebih banyak kasus akan meningkatkan taraf kepercayaan (Prihatsanti
et al., 2018).Pada studi kasus ini, peneliti ingin menggambarkan atau
mendeskripsikan gambaran efektivitas premedikasi ondasentron dan
deksametason dalam mencegah mual dan muntah pasca operasi dengan
anestesi spinal di RS Jeumpa Hospita.

B. Tempat dan Waktu Studi Kasus


Studi kasus ini dilakukan di RS Jeumpa Hospital yang terletak di
Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Waktu
pelaksanaan studi kasus dilaksanakan pada Februari hingga Mei 2024.

C. Partsipan
Dalam studi kasus ini menggunakan purposive sampling, yaitu teknik
27

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,


2017). Partisipan pada studi kasus ini adalah 15 pasien yang menggunakan
ondasentron dan 15 pasien yang menggunakan deksametason untuk
mencegah mual muntah pasca operasi dengan anestesi spinal. Adapun
kriteria partisipan adalah sebagai berikut:
1. Kriteria insklusi
a. Usia pasien antara 17-70 tahun
b. Berat badan 40-80 kg
c. Pasien dengan premedikasi deksametason dan ondansetron
d. Operasi elektif yang dilakukan dengan anestesi spinal.
2. Kriteria eksklusi
a. Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat-obatan anastesi
b. Pasien menolak dijadikan subjek penelitian
c. Pasien yang belum sadar penuh

D. Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data studi kasus. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa wawancara (interview) adalah suatu kejadian atau suatu proses
interaksi antara pewawancara (interviewer) dan sumber informasi atau
orang yang di wawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung
(Yusuf, 2019). Dalam studi kasus ini, peneliti nanti akan menanyakan
perasaan dan kondisi pasien pasca operasi dalam pencegahan mual dan
muntah.
b. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung
perilaku individu dan interaksi peneliti dalam lingkungan obyek studi
kasus (Diniari, 2019). Dalam hal ini observasi dilakukan dengan
mengamati secara langsung tentang keadaan atau respon pasien secara
28

langsung dengan panduan lembar observasi.


2. Instrumen Studi Kasus
Dalam studi kasus kualitatif, yang menjadi instrumen studi kasus
adalah peneliti itu sendiri. Jadi peneliti adalah instrumen kunci dalam studi
kasus kualitatif. Instrumen penunjang lainnya adalah lembar wawancara,
observsi pasien (terlampir).
a. Instrumen pokok dalam studi kasus ini adalah peneliti sendiri. Peneliti
kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus studi
kasus, memilih informan, melakukan pengumpulan data, analisa data,
menafsirkan dan membuat kesimpulan temuannya (Sugiyono, 2017).
b. Instrumen penunjang adalah dalam studi kasus ini pedoman
wawancara dan pedoman observasi (Moleong, 2021).
Instrumen penunjang, disusun dengan tahap-tahap berikut ini :
1) Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada di
dalam rumusan judul studi kasus atau yang tertera di dalam
problematika studi kasus.
2) Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel.
3) Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel.
4) Menderetkan deskriptor menjadi butir-butir instrumen.
5) Melengkapi instrumen dengan pedoman atau instruksi dan kata
pengantar
29

3. Prosedur Pengumpulan data


a. Tahap Persiapan
1) Pengajuan surat izin studi kasus ke Rektor Institut Teknologi dan
Kesehatan (ITEKES) Bali
2) Pengajuan surat rekomendasi izin studi kasus ke RS Jeumpa
Hospital
3) Mempersiapkan alat-alat dalam studi kasus
b. Tahap Pelaksanaan
1) Tentukan jumlah partisipan
2) Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin studi kasus
dari Direktur RS Jeumpa Hospital
3) Kemudian peneliti melakukan kontrak waktu dengan petugas di RS
Jeumpa Hospital
4) Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data dengan
melakukan wawancara yang sesuai dengan kriteria inklusi
5) Pengambilan partisipan dilakukan di ruang pra anestesi, selanjutnya
peneliti akan menjelaskan tentang prosedur dan tujuan dari
penelitian ini kepada partisipan dan memberikan surat persetujuan
sebagai partisipan.
6) Partisipan yang dibutuhkan sebanyak 30 orang yang terdiri 15
pasien yang menggunakan ondasentron dan 15 pasien yang
menggunakan deksametason untuk mencegah mual muntah
pasca operasi dengan anestesi spinal
7) Partisipan akan di observasi selama 5, 15 sampai 30 menit
8) Mengucapkan terimakasih kepada partisipan, petugas dan pihak
terkait atas kelancaran pengumpulan data
9) Data sudah dinyatakan lengkap, kemudian menganalisis data
dengan membandingkan pada teori yang ada dan dituangkan dalam
opini pembahasan
c. Tahap Terminasi
1) Evaluasi keadaan umum pasien
30

2) Akhiri tindakan dengan baik dan sopan


3) Cuci tangan
4) Dokumentasi

E. Analisa Data
Pada studi kasus ini menggunakan case analysis yaitu studi kasus dengan
membahas satu kasus dan Cross-case analysis yaitu analisis data lintas kasus
digunakan untuk membandingkan dan memadukan temuan yang diperoleh dari
masing-masing kasus studi kasus. Analisis lintas kasus adalah metode yang
memfasilitasi perbandingan kesamaan dan perbedaan dalam peristiwa,
aktivitas, dan proses pada unit analisis dalam studi kasus (Cruzes et al., 2019).
1. Analisis data kasus tunggal
Selama analisis, analisis data kasus individu dilakukan pada setiap
objek, dan peneliti menafsirkan data dalam bentuk kata untuk
mempertahankan maknanya. Oleh karena itu, analisis dilakukan setelah data
terkumpul, bersamaan dengan proses pengumpulan data.
2. Analisis data lintas situs
Analisis data lintas situs dimaksudkan sebagai proses membandingkan
hasil setiap kasus dan proses integrasi antar kasus. Secara umum, proses
analisis data lintas situs mencakup kegiatan berikut:
a. Merumuskan proporsi berdasarkan temuan kasus pertama dan kemudian
dilanjutkan pada kasus lainya.
b. Membandingkan dan memadukan temuan teoritik sementara dari kelima
kasus studi kasus.
c. Merumuskan simpulan teoritik berdasarkan analisis lintas situs sebagai
temuan akhir dari kelima kasus studi kasus.

F. Etika Studi Kasus


Peneliti akan mengajukan izin yang ditandatangani oleh ketua ITEKES
Bali (surat permohonan izin studi kasus) kepada Direktur RS Jeumpa Hospital.
Menurut Hidayat (2019), etika studi kasus diperlukan untuk menghindari
terjadinya tindakan yang tidak etis dalam melakukan studi kasus, maka
31

dilakukan prinsip-prinsip sebagai berikut (Hidayat, 2019) :


1. Informed consent ( lembar persetujuan )
Lembar persetujuan berisi penjelasan mengenai studi kasus yang dilakukan,
tujuan studi kasus, tata cara studi kasus, manfaat yang diperoleh responden,
dan resiko yang mungkin terjadi. Pernyataan dalam lembar persetujuan jelas
dan mudah dipahami sehingga responden tahu bagaimana studi kasus ini
dijalankan. Untuk responden yang bersedia maka mengisi dan
menandatangani lembar persetujuan secara sukarela.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama responden,
tetapi lembar tersebut hanya diberi kode atau inisial.
3. Confidentiality (Kerahasian)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasian hasil studi kasus, baik informasi yang telah di kumpulkan
dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang
akan dilaporkan pada hasil studi kasus.
4. Sukarela
Peneliti bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan secara
langsung maupun tidak langsung dari peneliti kepada calon responden atau
sampel yang akan diteliti.
32

DAFTAR PUSTAKA

Blackburn J, Spencer R. 2021. Postoperative nausea and vomiting. Anaesth


Intensive Care Med.

Cruzes, M. 2019. Case studies synthesis: a thematic, cross-case, and narrative


synthesis worked example. Empirical Software Engineering.

Dewi, Putu Santika. 2019.Pengelolaan Risiko Hipotermi Melalui Cairan Hangat


Intravena Pada Pasien Sectio Caesarea Dengan Anastesi Spinal Di
Ruang Ibs Rs Pantiwilasa

Fajriani, M, N. 2019. Perbandingan efektivitas pemberian premedikasi


deksametason dan ondansetron untuk mencegah mual dan muntah pasca
operasi dengan anestesi umum di Rumah Sakit Ibnu Sina. Fakultas
Kedokteran Univesitas Muslim Indonesia
Fatima,A. 2022. A Comparative Study of Efficacy and Safety of Ondansetron,
Glycopyrrolate and Dexamethasone for Post Operative Nausea and
Vomiting Following General Aneasthesia. Biomedical and pharmacology
journal.
Gan TJ, Diemunsch P, Habib AS, et al. 2019. Consensus guidelines for the
management of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg.

Havriray, T. 2019. Perbandingan mual – muntah pada premedikasi dengan


pemberian ondansetron dan dengan deksametason pasca operasi sectio
caesarea dengan anestesi regional. Fakultas Kedokteran Univesitas
Muslim Indonesia.

Kambey BI, Tambajong HF. 2020. Perbandingan antara ondansetron 4 mg iv


dan deksametason 5 mg iv dalam mencegah mual-muntah pada pasien
laparotomi dengan anestesia umum.

Malagelada J-R, Malagelada C. 2020. Chapter 15 – Nausea and Vomiting.


Tenth Edit. Elsevier Inc.; doi:10.1016/B978-1-4557-4692-7.00015-6

Moleong, Lexy J. 2021. Metode studi kasus Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.

Murakami C, Kakuta N, Kume K, et al. 2020. A Comparison of Fosaprepitant


and Ondansetron for Preventing Postoperative Nausea and Vomiting in
Moderate to High Risk Patients: A Retrospective Database Analysis.
Biomed Res Int.

Novrianto E, Laihad ML, Kumaat LT, Anestesiologi B, Rsup I, Kandou PRD.


Perbandingan Insiden Mual-Muntah Pasca. 2021. 3:621-623
33

Novrianto E, Laihad ML, Kumaat LT, Anestesiologi B, Rsup I, Kandou PRD.


2019. Perbandingan Insiden Mual-Muntah Pasca.

Nurwinarsih F. 2019. Perbandingan efektivitas premedikasi ondansetron dan


deksametason dalam mencegah mual dan muntah pasca operasi.

Nurwinarsih, F. 2020. Perbandingan efektivitas premedikasi ondansetron dan


deksametason dalam mencegah mual dan muntah pasca operasi.

Pierre S, Whelan R.2019. Nausea and vomiting after surgery. Contin Educ
Anaesthesia, Crit Care Pain.

Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. 2018. Menggunakan Studi Kasus
sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895

Shaikh SI, Nagarekha D, Hegade G, Marutheesh M. 2019. Postoperative nausea


and vomiting: A simple yet complex problem. Anesth essays Res.

Siregar D. 2021. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan


Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4mg IV Dengan Deksametason
4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah
Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi
Umum Intubasi.

Sugiyono. 2017. Metode studi kasus Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
PT Alfabeta.

Umari, M. 2021. Dexamethasone and postoperative analgesia in minimally


invasive thoracic surgery: a retrospective cohort study. Journal of
Anesthesia, Analgesia and Critical Care
Wang JJ. 2020. Dexamethasone prevents postoperative nausea and vomiting:
Benefit versus risk. Acta Anaesthesiol Taiwanica.

Wang. 2019. Dexamethasone versus ondansetron in the prevention of


postoperative nausea and vomiting in patients undergoing laparoscopic
surgery: a meta-analysis of randomized controlled trials. BMC
Anesthesiology

Yusuf, A. M. 2019. Kuantitatif, Kualitatif, & studi kasus Gabungan. Jakarta:


Kencana

Anda mungkin juga menyukai