Diajukan Oleh:
ARIEF SURIZA
2314301147
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mual adalah sensasi ingin muntah yang bersifat subjektif berupa rasa tidak
menyenangkan bagi kebanyakan orang, akibat aktivasi dari sistem saraf pusat, dan
respon dari saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Mual sering disertai dengan
keringat dingin, pucat, hipersalivasi, hilangnya tonus gaster, kontraksi duodenum,
dan refluks isi intestinal ke dalam gaster meskipun tidak selalu disertai muntah.
Muntah adalah pengeluaran isi lambung dan usus melalui aktivitas sistem otonom,
gastrointestinal dan pernapasan yang terkoordinasi. Mual dan muntah pasca
operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) adalah efek samping
yang sering ditemukan setelah tindakan operasi dan anestesi (Nurwinarsih, 2020).
Mual dan muntah dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit,
waktu tinggal di rumah sakit lebih lama, jahitan luka operasi menjadi tegang, dan
kemungkinan terjadinya dehisensi, hipertensi, peningkatan perdarahan di bawah
lapisan kulit, peningkatan resiko terjadinya aspirasi paru karena menurunnya
refleks jalan nafas, dan ulserasi mukosa lambung. Sampai saat ini, mual muntah
pasca bedah masih menjadi perhatian utama pada pasien yang menjalani
pembedahan (Novrianto, 2021).
Di Amerika Serikat, 71 juta orang menjalani pembedahan rawat jalan dan
rawat inap per tahunnya. Angka kejadian mual muntah pasca bedah sekitar 20-
30% pada pasien yang menjalani pembedahan umum dan 70-80% pada pasien
yang tergolong risiko tinggi. Penyulit akibat mual muntah pasca bedah sangat
bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan pasien hingga morbiditas. Mual muntah
pasca bedah pada pasien rawat jalan meningkatkan biaya kesehatan sekitar 0,1-
0,2% karena kejadian rawat kembali ke rumah sakit yang tidak diduga (Fajriani,
2019).
Dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh Egyptian Journal of Hospital
Medicine, ditemukan bahwa dexamethasone memiliki efektivitas yang sebanding
2
dalam mencegah mual dan muntah pasca operasi (PONV) dengan ondansetron
dalam 24 jam setelah operasi laparoskopi. Dexamethasone 8 mg seefektif
ondansetron 4 mg. Dexamethasone memberikan metode pencegahan mual dan
muntah pasca operasi yang sederhana, aman, murah, dan efektif dengan
keuntungan lebih murah sehingga mengurangi beban ekonomi (Umari, 2021).
Selain itu, dalam sebuah studi lain yang diterbitkan oleh Journal of Anesthesia,
Analgesia and Critical Care, ditemukan bahwa dexamethasone biasanya
digunakan untuk pencegahan PONV, dan tinjauan terbaru menunjukkan peran
dexamethasone dalam analgesia pasca operasi (Fatima, 2022).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mual dan muntah pasca
operasi yaitu jenis kelamin wanita (10%), riwayat motion sickness (21%), tidak
merokok (39%) dan penggunaan opioid postoperatif (78%). Beberapa faktor
dalam pemberian premedikasi, pembedahan dengan durasi 30 menit (60%), jenis
obat anestesia dan pemilihan teknik anestesi diperkirakan ikut mempengaruhi
terjadinya PONV (Fatima, 2022).
Ondansetron adalah derivat carbazalone yang strukturnya berhubungan
dengan serotonin dan merupakan antagonis 5-HT3 subtipe spesifik yang berada di
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) dan juga pada aferen vagal saluran cerna,
tanpa mempengaruhi reseptor dopamin, histamin, adrenergik, ataupun kolinergik,
yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan
radiasi. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan mengantagonisasi
reseptor 5-HT yang terdapat pada CTZ di area postrema otak dan mungkin juga
pada aferen vagal saluran cerna (Havriray, 2019).
Deksametason adalah obat golongan steroid yang mekanisme kerjanya
berhubungan dengan mencegah pembentukan prostaglandin dan merangsang
pelepasan endorphin, yang mempengaruhi mood dan tingkat ketenangan.
Deksametason mempunyai efek antiemetik, diduga melalui mekanisme
menghambat pelepasan prostaglandin secara sentral sehingga terjadi penurunan
kadar 5-HT 3 di sistem saraf pusat, menghambat pelepasan serotonin di saluran
cerna sehingga tidak terjadi ikatan antara serotonin dengan reseptor 5-HT 3 ,
pelepasan endorfin, dan anti inflamasi yang kuat di daerah pembedahan dan
3
diduga glukokortikoid mempunyai efek yang bervariasi pada susunan saraf pusat
dan akan mempengaruhi regulasi dari neurotransmitter, densitas reseptor,
transduksi sinyal dan konfigurasi neuron (Novrianto, 2021).
Dexamethasone dan ondansetron adalah dua obat yang sering digunakan
untuk mencegah mual dan muntah pasca operasi (PONV). Dexamethasone
merupakan alternatif antiemetik untuk ondansetron. Namun, pada tahap pasca
operasi awal (0-6 jam), ondansetron lebih baik dalam mengurangi PONV daripada
dexamethasone. Sementara pada tahap pasca operasi akhir (6-24 jam),
dexamethasone lebih efektif dalam mencegah PONV daripada ondansetron,
sedangkan, Ondansetron juga merupakan antagonis reseptor 5-HT3 selektif,
yang menunjukkan tindakan antiemetik dengan mengantagonis sinyal muntah
dalam jalur aferen dari lambung atau usus kecil dan inti traktus soliter, dan efektif
dalam mencegah PONV. Kedua obat ini memiliki efek yang sama dalam
mencegah muntah pasca operasi hingga 24 jam setelah operasi. Namun, penting
untuk dicatat bahwa penggunaan dexamethasone dapat menyebabkan peningkatan
kecil dalam glukosa darah dalam 12 jam pertama setelah operasi pada pasien
tanpa diabetes (Wang, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mufidah Nur Fajriani
yang berjudul perbandingan efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan
ondansetron untuk mencegah mual dan muntah pasca operasi dengan anestesi
umum di Rumah Sakit Ibnu Sina menyimpulkan bahwa efektivitas dari pemberian
premedikasi baik itu menggunakan deksametason atau pun ondansetron untuk
mencegah mual muntah pasca operasi dengan anestesi umum adalah sama. Hal
ini, dibuktikan pada uji statistik yang telah didapatkan yaitu sebesar 93,3% untuk
kedua kelompok dengan nilai uji p sebesar 1,000 (p>0,05) yang menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut
berdasarkan efektivitasnya (Fajriani, 2019).
Pada RS Jeumpa jumlah pasien dengan tindak operasi dengan anestesi
spinal sangat banyak. Pada tahun 2021 terdapat 5.546 pasien, tahun 2022 terdapat
8.622 pasien dan tahun 2023 (data dari Januari sampai dengan November)
terdapat 9.930 pasien. Untuk mencegah mual muntah petugas menggunakan
4
ondansetron dan dexamethasone. Selain itu, berdasarkan hasil survei awal yang
dilakukan peneliti pada RS Jeumpa Hospital berupa observasi terhadap 6 pasien
pasca operasi dengan anestesi spinal terhadap pemberian ondasentron dan
deksametason dalam mencegah mual dan muntah, 3 diantaranya yang
menggunakan ondasentron tidak mengalami muntah setelah tindakan dan 3
diantaranya lagi yang menggunakan deksametason juga mengalami hal yang
sama, hanya saja penggunaan ondasentron lebih cepat reaksi terhadap mual
muntah pada pasien.
Berdasarkan hal diatas masih ditemukan bahwa efektivitas dari pemberian
premedikasi baik itu menggunakan deksametason ataupun ondansetron untuk
mencegah mual muntah pasca operasi dengan anestesi umum adalah sama, maka
dalam hal ini penulis ingin melakukan pembuktian mengenai gambaran efektivitas
premedikasi ondasentron dan deksametason dalam mencegah mual dan muntah
pasca operasi dengan anestesi spinal di RS Jeumpa Hospital
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang serta kondisi permasalahan diatas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah
gambaran efektivitas premedikasi ondasentron dan deksametason dalam
mencegah mual dan muntah pasca operasi dengan anestesi spinal di RS Jeumpa
Hospital?”
b. Menilai kejadian mual muntah pada pasien pasca operasi dengan anestesi
umum dengan pemberian premdikasi ondasetron.
c. Menilai efektivitas pemberian premedikasi deksametason dan ondansetron
untuk mencegah mual muntah pada pasca operasi dengan anestesi spinal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6) Benzamid
Metoclopramide adalah antagonis lemah pada reseptor D2 dopamin di
CTZ. Bertentangan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan
metoclopramide hanya efektif pada dosis tinggi 20-30 mg, dosis tunggal
10 mg intravena efektif dalam profilaksis PONV awal. Namun, efek
samping yang dapat ditimbulkan yaitu diskinesia atau gejala
ekstrapiramidal, efek samping yang terjadi semakin berat seiring dengan
meningkatnya dosis metoklopramid yang diberikan. Gejala ekstra-
piramidal (EPS) dapat terjadi hingga 72 jam setelah dosis tunggal, lebih
umum pada wanita muda yang harus dihindari (Blackburn, 2021).
6. Penilaian PONV
Mual muntah pasca operasi (PONV) dapat berlangsung dalam beberapa
menit, jam dan hari. Hal ini tergantung dari kondisi pasien. Adapun
tahapannya sebagai berikut:
a. Tahap awal yaitu 2 sampai 6 jam pasca operasi
b. Tahap lanjut yaitu 24 atau 48 jam pasca operasi
Kejadian PONV dinilai pada skala 5 nilai menurut Pang dkk sebagai berikut:
0 = tidak mual dan tidak rnuntah.
1 = mual kurang dari l0 menit dan atau muntah hanya sekali, tidak
membutuhkan pengobatan.
2 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah 2 kali dan tidak
membutuhkan pengobatan.
3 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah lebih dari 2 kali
dan membutuhkan pengobatan.
4 = mual muntah yang tidak berespon dengan pengobatan (Qudsi, 2021).
B. Deksametason
1. Pengertian
Deksametason adalah bentuk sintesis dari adrenokortikoid dan bertindak
terutama sebagai reseptor glukokortikoid dengan sedikit fungsi reseptor
mineralokortikoid dengan waktu paruh 36-72 jam, digunakan sebagai agen
15
4. Farmakodinamik
a. Efek terhadap kardiovaskuler
Dilaporkan pengaruh glukokortikoid terhadap keseimbangan air dan
elektrolit kecil, tetapi kelebihan glukokortikoid dapat berakibat retensi air
dan hipertensi pada pemakaian jangka panjang (oleh karena meningkatnya
substrat rennin dan reaktivitas vaskuler).
b. Efek terhadap sistem imunitas
Pemberian deksametason jangka panjang dan dosis besar dapat
menyebabkan penekanan terhadap sistem imunitas.
c. Efek terhadap gastrointestinal
Dapat meningkatkan tukak lambung.
d. Efek terhadap tubuh lainnya
Pada pemakaian jangka panjang dapat terjadi gangguan psikotik. Akibat
pengaruhnya terhadap metabolisme lemak, pemberian deksametason yang
berlebihan akan berakibat moon face, buffalo (Nurwinarsih, 2019).
5. Indikasi
a. Mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
b. Profilaksis mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
c. Mual atau muntah pasca operasi
d. Profilaksis mual atau muntah pasca operasi
e. Insufisiensi adrenokortikal
f. Syok anafilaksis
g. Asma
h. Bronkiolitis
i. Konjungtivitis alergi
j. Alopesia
k. Edema serebral
l. Multiple sklerosis
m. .Sindrom nefrotik (Nurwinarsih, 2019).
18
6. Dosis
Dosis deksametason yang direkomendasikan untuk pencegahan PONV pada
orang dewasa adalah 2,5-10 mg, sedangkan pada anak-anak 0,15-1 mg
Berdasarkan studi ditetapkan bahwa untuk dosis dewasa minimal pemberian 2,5
mg injeksi intravena sebagai pencegahan PONV setelah operasi ginekologi
(histerektomi total abdominal, miomektomi, dan histerektomi radikal), dan
minimal 5 mg intravena setelah pembedahan tiroidektomi. Deksametason juga
menunjukkan efek pencegahan terhadap mual dan muntah yang disebabkan
oleh penggunaan morfin intravena atau epidural untuk kontrol nyeri pasca
operasi. Dosis minimum untuk pencegahan mual muntah yang dipicu oleh
injeksi morfin intravena yaitu 8 mg, sedangkan untuk mencegah mual muntah
yang dipicu oleh injeksi morfin epidural yaitu 5 mg (Wang, 2022).
Waktu pemberian deksametason sangat penting untuk mencegah PONV
Deksametason intravena umumnya membutuhkan periode waktu yang lebih
lama untuk memberikan efek dan memerlukan jeda waktu 12-24 jam untuk
mencapai hasil yang maksimal, untuk efek fisiologis dapat bertahan 36-72 jam
dalam tubuh. Penelitian telah menunjukkan bahwa efek antiemetik
deksametason dimulai sekitar 2 jam setelah injeksi intravena. Deksametason
sebaiknya diberikan ketika operasi hampir selesai dilakukan (Wang, 2022).
7. Efek samping
Dengan dosis deksametason 5 mg intravena yang diberikan sebelum induksi
anestesi sebagai agen tunggal terbukti tidak terdapat efek samping yang
signifikan sepeti pada penggunaan steroid dosis tinggi atau pemakaian lama
(evidence based IIA). Efek samping lain dari deksametason antara lain
intoleransi glukosa, supresi adrenal, dan peningkatan infeksi (Nurwinarsih,
2019).
C. Ondansetron
1. Pengertian
Ondansetron merupakan obat golongan antagonis reseptor serotonin oral dan
parenteral (5-HT3) yang dikembangakan sekitar tahun 1984 oleh 28 ilmuwan
19
kira 5-10 % obat akan diekskresi di urin dalam keadaan tidak berubah
(Nurwinarsih, 2019).
Pada pasien dewasa yang menderita gangguan hati ringan sampai sedang,
ondansetron klirens berkurang dua kali lipat dan rata-rata waktu paruh
ditingkatkan menjadi 11,6 jam. Pada pasien dengan gangguan hati berat,
klirens dikurangi dua kali lipat menjadi tiga kali lipat dan volume distribusi
meningkat, menghasilkan peningkatan eliminasi paruh hingga 20 jam. Pada
pasien dengan gangguan ginjal, pemberian ondansetron dengan persentase
kecil (5%) dapat dikeluarkan melalui urin secara murni. Sedangkan, pada
pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <30 ml/menit)
pengeluaran plasma rata-rata berkurang sekitar 40%; namun, pengurangannya
bervariasi dan tidak konsisten dengan peningkatan waktu paruh. Sehingga
tidak perlu dilakukan pengurangan dosis. Untuk pasien pediatrik, sebuah studi
famakokinetik pada anak-anak pasca operasi yang berusia 3-12 tahun
diberikan dosis tunggal 2 atau 4 mg IV menunjukkan waktu paruh 2,5-3,5
jam. Selama studi farmakokinetik pada bayi dan anak usia 1-48 bulan,
simulasi menunjukkan bahwa dosis intravena ondansetron 0,1 mg/kgBB pada
bayi <6 bukan menghasilkan paparan yang sama dengan dosis yang diberikan
pada bayi yang lebih tua dan anak-anak sebesar 0,15 mg/kgBB. Studi bedah
lain pada bayi dan anak-anak 5-24 bulan diberikan ondansetron dosis tunggal
sebesar 0,1-0,2 mg/kgBB IV menunjukkan waktu paruh 2,9 jam. Pada pasien
geriatrik, pasien diatas usia 75 tahun juga memiliki pengurangan ondansetron
dan peningkatan waktu paruh, namun tidak ada penyesuaian dosis yang
direkomendasikan (Blackburn, 2021).
Ondansetron mengalami metabolisme yang luas, terutama oleh
hidroksilasi, diikuti oleh glukoronida atau konjugasi sulfat. Studi in vitro
menunjukkan bahwa ondansetron di metabolisme oleh enzim-enzim
metabolisme sitokrom P450 (CYP450) hati, termasuk CYP1A2, CYP2D6,
CYP3A4, dengan CYP3A4 memainkan peran terbesar. Inhibitor poten
isoenzym cytochrome CYP1A2, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 seperti
cimetidine, allopurinol, ritonavir, dan disulfiram akan mempengaruhi
21
hati. Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama
fenitoin fenobarbital dan rifampin (Putri, 2020).
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih
aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di
hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mulai kerja
kurang dari 30 menit. Lama kerja 6-12 jam (Malagelada, 2020).
4. Farmakodinamik
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3)
merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-
HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel
mukosa entereokromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3
dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin
akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan
refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau
iritasi usus yang merangsang distensi gastrointestinal (Putri, 2020).
Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:
a. Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius
melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3.
b. Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan
menghambat ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus.18
5. Indikasi
1. Ketergantungan alkohol
2. Profilaksis mual atau muntah yang diinduksi kemoterapi
3. Sindrom muntah siklik
4. Gastroenteritis
5. Hiperemesis gravidarum
6. Mual atau muntah pasca operasi (PONV)
7. Profilaksis mual atau muntah pasca operasi (PONV)
8. Pruritus
23
anestesi umum sebesar 76% untuk dosis 4 mg dan 76% untuk dosis 5
mg (Blackburn, 2021).
7. Kontraindikasi
a. Bradikardi
b. Menyusui
c. Penyakit jantung
d. Diabetes mellitus
e. Hipersensitivitas dolasetron
f. Hipersensitivitas granisetron
g. Penyakit hati
h. Sindrom QT memanjang
i. Hipersensitivitas ondansetron
j. Penyakit tiroid
k. Fenilketronuria
l. Hipersensitivitas palonosetron (Nurwinarsih, 2019).
8. Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan terjadi pada 8-17% pasien berupa sakit
kepala, dizziness, muka kemerahan (flushing), peningkatan enzimenzim hati
yang secara klinis tidak signifikan, serta konstipasi. Terdapat laporan
terjadinya interval QT yang memanjang pada pemakaian ondansetron,
granisetron, dan droperidol namun banyak penelitian melaporkan bahwa
penggunaan ondansetron cukup aman (tidak ada reaksi ekstrapiramidal,
sedasi, dan perubahan kardiovaskuler), efek samping minimal dan dapat
diterima (Nurwinarsih, 2019).
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
C. Partsipan
Dalam studi kasus ini menggunakan purposive sampling, yaitu teknik
27
D. Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data studi kasus. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa wawancara (interview) adalah suatu kejadian atau suatu proses
interaksi antara pewawancara (interviewer) dan sumber informasi atau
orang yang di wawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung
(Yusuf, 2019). Dalam studi kasus ini, peneliti nanti akan menanyakan
perasaan dan kondisi pasien pasca operasi dalam pencegahan mual dan
muntah.
b. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung
perilaku individu dan interaksi peneliti dalam lingkungan obyek studi
kasus (Diniari, 2019). Dalam hal ini observasi dilakukan dengan
mengamati secara langsung tentang keadaan atau respon pasien secara
28
E. Analisa Data
Pada studi kasus ini menggunakan case analysis yaitu studi kasus dengan
membahas satu kasus dan Cross-case analysis yaitu analisis data lintas kasus
digunakan untuk membandingkan dan memadukan temuan yang diperoleh dari
masing-masing kasus studi kasus. Analisis lintas kasus adalah metode yang
memfasilitasi perbandingan kesamaan dan perbedaan dalam peristiwa,
aktivitas, dan proses pada unit analisis dalam studi kasus (Cruzes et al., 2019).
1. Analisis data kasus tunggal
Selama analisis, analisis data kasus individu dilakukan pada setiap
objek, dan peneliti menafsirkan data dalam bentuk kata untuk
mempertahankan maknanya. Oleh karena itu, analisis dilakukan setelah data
terkumpul, bersamaan dengan proses pengumpulan data.
2. Analisis data lintas situs
Analisis data lintas situs dimaksudkan sebagai proses membandingkan
hasil setiap kasus dan proses integrasi antar kasus. Secara umum, proses
analisis data lintas situs mencakup kegiatan berikut:
a. Merumuskan proporsi berdasarkan temuan kasus pertama dan kemudian
dilanjutkan pada kasus lainya.
b. Membandingkan dan memadukan temuan teoritik sementara dari kelima
kasus studi kasus.
c. Merumuskan simpulan teoritik berdasarkan analisis lintas situs sebagai
temuan akhir dari kelima kasus studi kasus.
DAFTAR PUSTAKA
Moleong, Lexy J. 2021. Metode studi kasus Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Pierre S, Whelan R.2019. Nausea and vomiting after surgery. Contin Educ
Anaesthesia, Crit Care Pain.
Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. 2018. Menggunakan Studi Kasus
sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895
Sugiyono. 2017. Metode studi kasus Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
PT Alfabeta.