Anda di halaman 1dari 134

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Manusia adalah makhluk sosial yaitu : makhluk yang mempunyai naluri

untuk selalu hidup bersama dengan orang lain. Karena manusia dalam

kehidupannya tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan bantuan orang lain

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena manusia saling membutuhkan

satu sama lain, maka manusia membuat suatu kesepakatan. Kesepakatan tersebut

dimaksudkan untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam bentuk suatu keluarga.

Kesepakatan tersebut dikenal sebagai perkawinan. Oleh karena itu manusia

melakukan perkawinan untuk membentuk satu keluarga.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Arrum : 21 "Dan diantara tanda-


tanda kekuasaanya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya (sakinah) dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih
sayang (mawaddah) dan santun-menyantuni (rahmah). Sesungguhnya
keadaan yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu
yang berfikir.”

Allah telah menciptakan manusia saling berpasangan diatas dunia ini.

Dengan berpasangan, manusia akan melakukan perkawinan. Lalu mereka akan

memperoleh keturunan yang diharapkan sebagai generasi penerus mereka.

Dalam surat An-Nuur : 32

"Nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-


orang yang layak kawin dan hamba sahaya kamu baik laki-laki maupun

1
2

perempuan. Apabila perempuan itu miskin, Allah akan memampukan


mereka dengan Karunia-Nya. Dan Allah maha luas pemberian-Nya
lagi maha mengetahui. Jadi tidak usah khawatir kawin apabila kamu
memang orang-orang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha
Esa. Sebab kehidupan kamu akan dijamin oleh Allah asal saja kamu
tentunya berusaha dengan ulet, gigih dan sabar serta berdo'a dengan
shalat."

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa manusia tidak perlu takut

menikah akan menjadi masalah bagi perekonomiannya, karena dengan menikah

maka Allah akan menambah rezeki pada mereka melalui anak-anak dan istri-

istri mereka.

Sedangkan Sabda Rasul :

"Hai pemuda, barang siapa yang mampu diantara kamu serta


berkeinginan hendak nikah (kawin) hendaklah itu kawin (nikah).
Karena, sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata
terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya
dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin
hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap
perempuan akan berkurang."

Juga hadist Rasul yang lain, yaitu :

"Nikahilah kamu sekalian agar menjadi banyak dan berbangsa-bangsa,


bersuku-suku dan saling mengenal. Karena Rasul bangga umatnya
banyak dan saling kenal-mengenal."

Rasul menganjurkan pada umatnya agar menikah. Karena dengan

menikah manusia akan memperbanyak keturunannya. Karena itu Rasul akan

bangga apabila umatnya sangat banyak di akhirat kelak.

Sebagaimana ahli pikir Yunani Socrates sebelum masehi berkata

pendeknya menikahlah, kalau sekiranya engkau mendapat istri yang lebih baik

engkau akan jadi sangat beruntung, dan jika engkau mendapat seorang istri
3

yang tidak baik sekalipun engkau menjadi filsuf karenanya .... dan itu lebih baik

buat setiap laki-laki.

Jadi tiap orang diatas muka bumi ini bahkan sejak zaman dahulu kala

telah mengakui pentingnya lembaga perkawinan ini bagi kehidupan manusia

karena dengan menikah itu sendiri kehidupan manusia akan lebih tentram,

aman dan damai serta terpelihara dari perbuatan tidak baik seperti perzinahan.

Seorang ahli jiwa bernama Dari. C.R Adams dalam bukunya “How to

Pick a Mate” mengemukakan beberapa kenyataan yang diambil beliau sebagai

kesimpulan mengenai orang-orang yang menikah, yaitu :

1. Orang yang menikah hidupnya lebih lama dibandingkan dengan tidak

menikah.

2. Didalam penjara berdasarkan penyelidikan lebih banyak orang yang tidak

menikah dibandingkan persentasenya dari pada orang yang menikah.

3. Bunuh diri persentasenya lebih banyak orang yang tidak menikah

dibandingkan dengan orang yang menikah.

4. Orang yang mempunyai penyakit gila lebih banyak orang yang tidak

menikah dibandingkan dengan orang yang menikah.

5. Orang yang menikah lebih merasa aman dan tentram kehidupannya

dibandingkan dengan orang yang tidak menikah.

Di Indonesia lembaga perkawinan itu masih dijunjung tinggi nilai-

nilainya. Dimana masyarakat akan mencela sekali setiap tindakan berhubungan

seksual tanpa perkawinan. Karena itu merupakan hal yang tabu dan menjadi aib
4

bagi suatu keluarga. Di Indonesia dalam perkawinan dianut azas monogami tetapi

tidak menutup kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami. Hal ini diatur

dalam undang-undang perkawinan dimana suami yang akan menikah lagi

harus meminta izin pada pengadilan.

Akan tetapi kenyataannya banyak terjadi penyelewenangan terhadap

poligami. Banyak orang yang dengan mudah melakukan poligami atau menikah

lagi dengan wanita lain tanpa mendapat izin dari istrinya. Karena mereka lebih

menyukai istri-istri muda mereka, maka istri pertama tidak mereka perdulikan.

Bahkan mereka sudah tidak memberikan nafkah lagi pada istri pertama

mereka.

Sebagaimana diketahui didalam praktek sehari-hari seorang suami secara

sepihak tanpa sepengetahuan dan persetujuan istrinya rnelakukan perkawinan

poligami dan dengan sewenang-wenang menjatuhkan talak, tanpa memberikan

kesempatan pembelaan kepada istri-istrinya.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan seorang laki-laki melakukan

poligami seperti : hubungan yang tidak terbuka dan tidak jujur, moral yang

rendah, uang dan kesempatan ikut mendorong terjadinya penyelewengan.

Bila pasangan suami-istri memiliki tingkat perbedaan yang cukup jauh

dalam pendidikan, wawasan maupun intelektualitas, maka rumah tangga akan

dirasakan tidak dapat lagi menampung segala persoalan. Disinilah akan mulai

timbul atau suatu awal dari pencarian pengganti peran dari pasangannya, baik

oleh pihak suami ataupun istri. Mereka mencari dengan tujuan untuk dapat
5

dijadikan tempat mengadu atau menceritakan segala kesusahan dan yang paling

buruk dalam mencari untuk mengisi kekurangan dan pasangan masing-masing.

Awalnya tentu saja sebagai teman berbicara atau berdiskusi tentang

berbagai macam persoalan atau masalah ataupun berbagi rasa. Tetapi bukanlah

tidak mungkin bila persahabatan yang dijalin itu akan berkembang semakin

dalam sehingga akibatnya adalah teman tersebut akan berperan menggantikan

atau melengkapi peran dari pasangan dirumah, maka sering terdengar istilah "the

other woman" atau orang kedua.

Sedangkan menurut Dari. Prastowo Mardjikoen ahli kebidanan dan

konsultan liku-liku sex berbicara pada kajian dan diskusi buku filsafat sex di

Gedung Pusat UGM tanggal 6 Desember 1992 yaitu pada masa sekarang ini

sering muncul pelecehan-pelecehan seksual. Ini terjadi antara penguasa dan

bawahannya, manajer dan sekretarisnya, dokter spesialis dan bidannya, dokter dan

perawatnya dan seterusnya. Ia mencontohkan pada suami yang menyeleweng.

Biasanya suami tersebut punya pengalaman dengan wanita lain yang lebih

memberi kepuasan. Tetapi karena terbentur misalnya : PP 10/1983, ia tidak

mungkin menikah, sehingga status yang diberikannya kepada si wanita tidak lain

kecuali sebagai simpanan. Wanita simpanan tersebut diberi rumah dan sering

didatangi.

Hal ini tentu saja merugikan bagi seorang istri. Karena dia harus menerima

kenyataan pahit bahwa suaminya menikah lagi tanpa persetujuannya. Dan tentu
6

saja hal ini menimbulkan rasa tidak adil bagi perempuan karena ia menerima

suatu fakta yang menyakitkan hatinya.

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nisa : 3, yaitu :

"Dan jika kamu takut, kalau tidak akan bisa berlaku adil terhadap
anak-anak yatim, kawinilah beberapa perempuan yang kamu sukai dua,
tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut (pula) tidak akan bisa berlaku
adil, kawinilah seorang saja".

Selanjutnya ditegaskan oleh Surat Annisa : 129 yaitu : "Dan kamu tidak

akan biasa berlaku adil diantara perempuan-perempuan walaupun kamu

sungguh-sungguh berbuat demikian ... ."

Kedua ayat yang terdapat dalam satu surat ini sangat jelas Pertama

dikatakan “Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja” dan

pada bagian keduanya ditekankan lagi "Kamu tidak akan bisa berlaku adil".

Sehingga berdasarkan ayat-ayat diatas yang disuruh adalah Monogami.

Ada kalanya seorang istri baru mengetahui kalau suaminya telah menikah

dengan wanita lain setelah beberapa tahun kemudian. Atau ada salah satu rekan

kantor suaminya yang memberitahukan peristiwa tersebut.

Hal ini juga bisa disebabkan karena kurang tegasnya undang-undang

perkawinan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku penyelewengan poligami.

Karena didalam Peraturan Pemerintah No : 9/1975 mengancam bagi pelanggaran

terhadap ketentuan poligami hanya dihukum setinggi-tingginya denda Rp. 7500,-.

Hal ini tentu saja tidak menjadi masalah bagi orang-orang yang memang

memanfaatkan undang-undang tersebut untuk berpoligami sekehendak hatinya.


7

Bagainya uang Rp. 7500,- tentu tidak ada artinya pada zaman sekarang ini.

Karena jumlah tersebut dianggap terlalu kecil. Tentu saja mereka tidak takut

terhadap sanksi denda dari pelanggaran poligami tersebut.

Sehingga disini posisi wanita sangat lemah. Ia bisa juga dipermainkan

oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Karena betapa mudahnya seorang

laki-laki untuk menikah lagi sekehendak hatinya tanpa harus takut pada sanksi

yang dijatuhkan.

Karena bagi istri dimadu itu amat menyakitkan. Walaupun bibir seorang

wanita tersenyum mengatakan tidak apa-apa, walau mulut mengatakan rela dan

ikhlas, tetapi sesungguhnya hati itu tetap menyakitkan. Bayangkan menyaksikan

suami pergi ketempat lain, memesrai wanita lain, membagi gaji kepada wanita itu,

lalu kemudian mempunyai anak, sungguh menggores kalbu. Kalau toh

katanya istri ikhlas tetapi hati itu dilakukan dengan terpaksa. Dengan berdasarkan

latar belakang permasalahan itulah maka skripsi ini diberi judul : “KAJIAN DAN

STUDI ANALISIS TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI DILIHAT DARI

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.

B. Pokok Permasalahan

Dengan bertitik tolak pada latar belakang permasalah maka yang menjadi

pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana prinsip poligami menurut hukum Islam ?


8

2. Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk melakukan poligami serta

bagaimana pembatasan poligami tersebut menurut hukum Islam ?

3. Apa akibat hukum dari poligami baik terhadap kedudukan anak, harta

bersama maupun kewarisan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini

untuk membahas poligami dilihat dari perspektif hukum Islam adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan poligami menurut hukum Islam.

2. Apa syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam poligami

3. Untuk mengetahui sebab – sebab poligami pada zaman Nabi Muhammad

SAW.

4. Apa akibat hukum poligami terhadap kedudukan anak, harta bersama dan

warisan.

5. Bagaimana putusan pengadilan terhadap permohonan izin poligami.

D. Metode Penelitian

Sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dikemukakan

diatas, maka penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian normatif, yaitu

penelitian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan poligami

menurut hukum Islam. Sedangkan dari sudut teoritis dan praktis, penelitian ini
9

dapat digolongkan bersifat deskriptif-analitis, dalam arti bahwa disamping

memberikan gambaran tentang permasalahan pokok yang dibahasnya, maka

penelitian ini juga akan menganalisis hasil temuannya, untuk memperoleh

jawaban yang tepat sehubungan dengan permasalahan pokok tersebut, Penelitian

ini sepenuhnya dilaksanakan dengan penelitian kepustakaan (library research),

serta menggunakan tehnik pengumpulan data yang bersumber dari data sekunder.

yang meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

Kegiatan pengolahan, penyajian dan analisis data yang berhasil

dikumpulkan dari studi kepustakaan akan dilaksanakan dalam satu tahap, dengan

mampu memberikan jawaban jawaban yang tepat bagi upaya pemecahan

permasalahan pokok yang ditelitinya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Beberapa pengertian perkawinan dan poligami yaitu : pengertian

perkawinan, tujuan perkawinan, larangan perkawinan, hukum

perkawinan, pengertian poligami, poligami dalam pandangan

masyarakat Indonesia

Bab III : Beberapa pengertian tentang ketentuan-ketentuan Hukum Islam

tentang poligami yaitu : ketentuan poligami pada jaman Rasulullah


10

SAW, landasan poligami dalam hukum Islam, ketentuan Al-

Qur'an tentang poligami ketentuan hukum Islam tentang

poligami.

Bab IV : Mengenai Analisis masalah dalam perspektif hukum Islam yaitu :

Akibat hukum dari Poligami terhadap kedudukan anak, harta

bersama, dan warisan. Beberapa putusan Pengadilan agama

mengenai poligami dan analisis hukum.

Bab V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II

PEGERTIAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa"

Sehingga inti hakekat perkawinan adalah suatu perjanjian yang penuh

mengandung pertanggungjawaban. Perjanjian itu mengikat suami-istri. Didalam

perjanjian tersebut terkandung pula kesediaan timbal balik untuk saling

menghormati, saling memelihara, saling mengabdi, dan saling bahagiakan

dalam arti luas, berdasarkan.1)

Beberapa pendapat mengenai pergertian perkawinan :

1. Aqdu Al Nikah Apabila dihubungkan dengan Qur'an IV : 21, Qur'an II :232,

235, 237, Nikah mempunyai arti yaitu: perkawinan, sedangkan aqad artinya :

perjanjian, jadi akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikat diri dalam

perkawinan antra seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga

bahagia dan kekal.

1)
Hardjito Notopuro, Perkawinan, Pengertian dan Maksud Tujuannya, Majalah Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional No: 7 Tahun III, (Jakarta : Maret 1970 ) Ha1. 66

11
12

2. Menurut Imam Syafi

Pengertian nikah ialah suatu aqad yang menjadi halal hubungan seksual

antara pria dan wanita. Sedangkan menurut Majazi (metaporik) nikah itu

artinya hubungan seksual.

3. Prof. Dr. Hazairin. SH

la mengatakan inti perkawinan adalah hubungan seksual. Menurut beliau,

tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau

mengambil tamsil bila tidak ada hubungan seksual antara suami-istri, maka

tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikah lagi bagi

bekas istri itu dengan laki-laki lainnya.2)

Jadi inti dari perkawinan adalah hubungan seksual. Perkawinan tanpa

adanya hubungan seksual, tidak sah perkawinan tersebut.

Sedangkan menurut Surat AI'A'Raaf : 189:

"Perkawinan adalah untuk menciptakan kehidupan keluarga antara suami-

istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang

aman dan tentram (sakina), pergaulan yang saling cinta-mencintai

(mawaddah) dan saling santun menyantuni (rahmah). "

Menurut Al-Qur'an perkawinan itu bukan hanya hubungan seksual

semata tetapi juga merupakan suatu pergaulan yang saling menjaga rahasia

suami-istri serta saling cinta-mencintai, santun menyantuni, saling membela dan

saling berbagi suka dan duka sampai suami-istri itu menjadi kakek dan nenek.

2)
M. Idris Ramulyo, op. cit
13

Setelah kita mengetahui pengertian mengenai perkawinan dari berbagai

pendapat dan hukum, maka kita juga harus mengetahui hukum-hukum apa yang

menjadi dasar dilaksanakannya suatu perkawinan. Hukum-hukum tersebut

berupa :

Surat An-Nisaa I :

"Hai sekalian manusia bertaqwalah (berbaktilah) kamu pada tuhan


kamu Yang Maha Esa dan yang menjadikanmu dari suatu zat. Dan dari
zat itu pula dijadikan pasang-pasangannya. Dan dari keduanya Allah
ciptakan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan bertaqwalah kamu
pada Allah dengan mempergunakan nama-Nya, dan kamu saling
berhubungan (dalam hai ini maksudnya perkawinan). Dan
perhatikanlah oleh kamu arham (hubungan darah). Sesungguhnya Allah
selalu menjaga kamu."

Adapun maksud dari ayat ini adalah bahwa Allah pada awalnya

menciptakan manusia adalah Adam. Lalu diciptakan Siti Hawa yang menjadi

istrinya. Mereka dinikahkan melalui lembaga perkawinan yang primitif. Dari

inilah kemudian lahir anak-anak meraka, baik laki-laki maupun wanita.

Sehingga dan sinilah berawal adanya suatu perkawinan. Jadi

perkawinan sudah berlangsung sebenarnya sejak zaman Adam dan Hawa

meskipun lembaga perkawinan mereka masih bersifat primitive atau

promoskwiti yaitu kacau balau.3)

Juga dalam hadits Rosul Rawahul Alhakim dan Abu Daud berasal dari

Siti Aisyah r.a yaitu:

3)
Ibid, hal. 5.
14

"Nikahilah oleh kamu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan

datangkan rezeki (harta) bagi kamu"

Dalam Hadist Rasul Rawahul Al-Bukhari dan Muslim :

"Dari Anas bahwa Rasulullah bersabda : Sayalah paling bertaqwa kepada

Tuhan, namun saya ini shalat, tidur, puasa, berbuka dan menikah itulah

sunnahku. Barang siapa yang tidak mengikuti sunahku bukan umatku"

Setelah kita mengetahui pengertian perkawinan, maka kita akan melihat

perkawinan sebagai suatu ibadah atau kebolehan. Namun kebolehan tersebut akan

berubah siftanya jika dihubungkan dengan keadaan hidup manusia. Dimana

perkawinan akan menjadi :

Wajib

Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut

terjerumus dalam perzinahan, maka wajiblah dia kawin. Karena kawin dapat

menjauhkan diri dari yang haram, untuk itu dapat dilakukan dengan baik kecuali

dengan jalan kawin.4)

Firman Allah dalam surat Annur : 33 yaitu :

"Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga

nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya".5)

Sunnah

4)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Diterjemahkan oleh : Drs Moh Thalib, (Bandung: PT Alma arif,
1987), hal .22.
5)
Ibid.
15

Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi

masih dapat menahan dirinya dari berbuat zinah, maka sunnahlah dia kawin.

Kawin baginya lebih utama dan bertekun diri dalam ibadah, karena menjalani

hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan dalam Islam. Thabrany

meriwayatkan dari Sa'ad bin AbiWaqash bahwa Rasulullah bersabda :

"Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara lurus lagi

ramah (kawin) kepada kita". Sedangkan Baihaqy meriwayatkan Hadist dan Abu

Umamah bahwa Nabi S.A.W bersabda : "Kawinlah karena aku akan

membanggakan banyak jumlah kalian dan umat-umat lain. Dan janganlah

seperti pendeta-pendeta Nasrani".6)

Haram

Bagi orang yang tidak mampu memenuhi nafkah bathin dan lahir kepada

istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. 7)

Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar

maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya maka tidaklah boleh ia kawin,

sebelumnya ia dengan terus terang menjelaskan keadaannya atau sampai

datangnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya.

6)
Ibid. hal. 23.
7)
Ibid. hal . 24.
16

Makruh

Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu

membelanjai istrinya, walaupun tidak merugika istri, karena la kaya dan tidak

mempunyai keiginan syahwat yang kuat.

Mubah

Dan bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera

kawin atau karena alasannya yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya

mubah.8)

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

manusia untuk berkembang biak demi kelestarian hidupnya, menjaga kehormatan

dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan

martabatnya.

B. Tujuan dan Larangan Perkawinan

B. 1 Tujuan Perkawinan

Perkawinan bertujuan untuk meningkatkan prestasi dan menambah

semangat berusaha, bekerja dan dengan sendirinya bertambah harta kekayaan

disamping mendapat kenikmatan hidup yang aman dan tentram. Perkawinan juga

dapat memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memelihara nafsu

seksual, menenangkan pikiran, membina kasih sayang serta menjaga kehormatan

dan memelihara kepribadian.

8)
Ibid.
17

Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapat keturunan-

keturunan dari pasang-pasang mereka. Sebagaimana didalam Surat Annah 1:

72 yaitu : "Allah telah menjadikan pasangan bagi kamu dari kamu sendiri. Dan

dari istri-istri kamu dia jadikan anak dan cucu bagi kamu serta memberikan

pada kamu rezeki dari yang baik-baik".

Islam memperingatkan bahwa dengan kawin Allah akan memberikan

kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan

dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.

Seorang ahli filosofi Iman Ghozali membagi tujuan dan faedah

perkawinan adalah sebagai berikut:9)

1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta

memperkembangbiakkan suku-suku bangsa manusia.

2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari

masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.

5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal

dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Sedangkan menurut UU No:1/1974 perkawinan mempunyai tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

9)
M. Idris Ramulyo, op. cit. hal . 28-27
18

ketuhanan Yang Maha Esa. Peraturan perkawinan inilah yang diridhoi Allah

dan diabadikan Islam.

B.2 Larangan Perkawinan

Pada dasarnya seorang laki-laki Islam diperbolehkan kawin dengan

perempuan dimana saja. Sesungguhnya demikian juga, diberikan pembatasan-

pembatasan.10) Dalam Undang-Undang Nomor : I tahun 1974 Pasal , 8 perkawinan

dilarang antara 2 orang yang :

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua dan antara saudara dengan saudara

neneknya;

3. Berhubungan semenda yaitu: mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri,

4. Berhubungan susuan, yaitu : orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan

dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan ari

istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku

dilarang kawin.

Sedangkan dalam hukum Islam, larangan-larangan perkawinan yaitu :

10)
Sayuti Thalib, op, cit, hal . 51
19

1. Larangan perkawinan karena berlainan agama

Hal ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah : 221 yaitu :

"Janganlah kamu kawini perempuan musrik hingga dia beriman dan

janganlah kamu kawinkan laki-laki musrik hingga dia beriman. Karena

orang musrik itu membawa kepada neraka sedangkan Allah membawa

kamu kepada kebaikan dan ampunan”:

Karena dalam surat tersebut khusus terhadap orang yang teragama Yahudi dan

Nasrani, sungguhpun dalam kenyataan orang sekarang ini mereka yang

berlainan agama dengan Islam tetapi terhadap mereka halal unutk dikawini.11)

2. Larangan karena adanya hubungan darah yang sangat dekat.

Hal ini dapat kita lihat pada Surat An-Nisa : 23 yang bunyinya :

"Diharamkan bagi kamu mengawini ibu kamu, anak kandung perempuan

kamu, anak perempuan dari saudara kandung laki-laki kamu dan saudara

perempuan dari ayah kamu"

3. Larangan karena adanya hubungan susuan .

Hal ini ditegaskan dalam Surat Annisa : 23 yaitu :

"Diharamkan alas
kamu mengawini, ibu Yang menyusui kamu, saudara

perempuan susuan ".12)

4. Hubungan semenda artinya hubungan kekeluargaan yang timbul karena

perkawinan yang telah terjadi terlebih dahulu.

11)
M. Idris Ramulyo, op, cit, hal . 3435
12)
Ibid., Hal. 38-39
20

Hal ini diatur dalam Surat Annisa : 23 yaitu :

a. Ibu istri kamu/ mertua kamu perempuan ;

b. Anak tiri kamu yang perempuan dimana mereka berada dalam

pemeliharaan kamu dari istri yang tekah kamu campur, dan apabila istri

itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu kawini anak tiri itu;

c. Menantu kamu yang perempuan;

d. Kamu mengawini sekaligus dua orang yang bersaudara;

5. Larangan perkawinan poliandri

Larangan perkawinan ini diatur dalam Surat An-Nisa : 24 yaitu :

"Diharamkan pula bagi kamu mengawini perempuan yang sedang

bersuami”.

6. Larangan perkawinan wanita yang di li”an.

Sebagaimana dikemukakan dalam Surat Annur : 4 yaitu :

"Istri yang dili'an maka mereka akan bercerai untuk selama-lamanya, dan

tidak dapat baik rujuk maupun meningkah lagi antra bekas suami-istri itu.

Sedangkan anak-anak Yang dilahirkan mempunyai hubungan dengan ibunya.

Dili'an artinya si istrinya telah dituduh berzinah".13)

7. Larangan menikah wanita yang melakukan zinah maupun laki-laki yang telah

berzinah. Sebagaimana diatur dalam Surat Annur : 3 yaitu :

13)
Ibid, Hal. 42
21

"Laki-laki yang berzinah tidak boleh kawin, melainkan dengan perempuan

yang berzinah pula atau perempuan musrik. Perempuan yang berzinah

tidak boleh kawin, melainkan dengan laki-laki yang berzinah atau

laki-laki musrik, Yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang

beriman".14)

8. Larangan perkawinan dimana suami hendak menikahi bekas istrinya yang

telah ditalak tiga.

Hal ini dilihat pada Surat Albaqarah : 230 yang intinya adalah dilarang

seorang laki-laki yang hendak meningkahi bekas istrinya yang telah ditalak

tiga kecuali bekas istrinya telah meningkah terlebih dahulu dengan laki-laki

lain lalu la menceraikannya. Dengan ayat ini diharapkan hendaknya suami

yang hendak menjatuhkan talak memikirkan dulu secara masak-masak

apakah ia patut untuk menjatuhkan talak tersebut.

9. Larangan kawin bagi laki-laki yang telah mempunyai istri 4 orang.

Hal ini diatur dalam Surat Annisa : 3 yaitu :

"Jika kamu tukut tiduk akan berlaku add tentung anak-anak yatim, muku

kuwiniluh oleh kamu perempuun perempuun yang baik bagimu dua, tigu atau

empat.... "

14)
Ibid.
22

C. Hikmah Perkawinan

Allah menjadikan manusia berpasang-pasangan dimuka bumi ini.

Adapun hikmahnya supaya manusia bisa hidup berpasang-pasangan, hidup dua

sejoli, hidup suami-isri membangun rumah tangga yang damai dan teratur dan

mereka akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Misal saja :

nasib seorang wanita yang bersuami waktu mudanya, setelah tua disamping ada

suami yang memeliharanya dan anak-anak mencintainya serta merawatnya

sebagaimana sang ibu merawat anaknya pada waktu kecil.

Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin karena ia mempunyai

pengaruh yang baik bagi pelaku sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia,

dimana :15)

1. Karena sesungguhnya naluri sex merupakan naluri yang paling kuat menuntut

adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka

banyaklah manusia yang mengalami goncangan dan kacau serta akan

menerobos jalan yang jahat. Dan kawin adalah jalan yang alami dan

biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan kebutuhan

tersebut. Dengan kawin badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata

terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang

yang halal.

2. Kawin adalah jalan terbaik untuk memperbanyak keturunan, membuat anak-

anak menjadi mulia dan melestarikan hidup manusia.

15)
Sayyid Sabiq, op, cit. , hal. 21-22
23

3. Kawin mempunyai hikmah naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh pula

perasaan cinta, kasih sayang dan merupakan sifat-sifat yang baik

menyempurnakan kemanusian seseorang.

4. Disamping itu dalam perkawinan terdapat pembagian tugas dimana

perempuan mendapat tugas mengatur dan mengurusi rumah tangga,

memelihara serta mendidik anak dan menyiapkan suasana yang sehat bagi

suaminya untuk istirahat. Suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta

untuk keperluan rumah tangga.

5. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh

kelanggengan rasa cinta antar keluarga yang memang dalm Islam direstui.

Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian

"National" Sabtu 6 Juni 1959 mengatakan bahwa orang-orang yang bersuami-

istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami-istri baik

menjanda, bercerai, atau sengaja membujang. Pernyataan PBB ini berdasarkan

penelitian dan statistic yaitu adanya jumlah orang yang mati dari kalangan

mereka yang bersuam-istri lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak

bersuami-istri dalam berbagi umur.

Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Perkawinan

Suami-istri memikul kewajiban yang sangat luhur dalam menegakan

rumah tangga. Suami istri juga mempunyai kedudukan yang seimbang baik

dalam kedudukan hukum maupun terhadap harta bersama.


24

Suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan

hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri wajib

mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.

Sebagaimana dalam UU No : 1/ 1974 yaitu :

Pasa130

"Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat".

Pasal 31

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Pasal 32

Menegaskan bahwa suami-istri mempunyai tempat kediaman yang

tetap. Rumah tempat kediaman tersebut dapat ditentukan oleh suami-istri secara

bersama.

Pasa133

"Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain".


25

Pasal 34

1. Suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami/istri melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan

gugatan ke pengadilan.

Sedangkan dalam hukum Islam, hak dan kewajiban suami-istri terbagi

dalam :

1. Hak bersama suami- istri

2. Hak istri atas suami

4. Hak suami atas istri 16)

Adapun hak-hak tersebut adalah :

1. Hak bersama suami-istri

a. Halal saling bergaul dan mengadakan kenikmatan seksual. Perbuatan ini

dihalalkan bagi suami-istri secara timbal balik.

b. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah,

bilamana salah seorang meninggal, jika mereka berada dalam ikatan

perkawinan tersebut.

c. Hak orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka.

2. Hak istri atas suami meliputi :

Hak kebendaan yaitu mahar dan nafkah

16)
Sayyid Sabid, op. cit, . hal. 51
26

Mahar dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita.

Sebagaimana diatur dalam Surat An-Nisa : 4 yaitu :"Berikanlah mas kawin

kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib".

Karena mahar merupakan wajib dalam suatu perkawinan , maka tanpa mahar

perkawinan itu tidak sah. Nafkah yaitu : istri berhak atas kebutuhan akan

makan, tempat tinggal, pengobatan dari suaminya. Disini masudnya adalah

makanan secukupnya, pakaian yaitu baju atau penutup badan dan makzuf

yaitu kebaikan sesuai dengan ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak

pula berkekurangan.

3. Hak Rohaniah atau hak bukan kebendaan meliputi :

a. Perlakuan yang baik

Adanya kewajiban suami terhadap istrinya yaitu menghormatinya,

bergaulan dengan baik, memperlakukan dengan wajar, mendahulukan

kepentingan yang patut didahulukan untuk melunakan hatinya, lebih-

lebih sikap menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan

hatinya atau bersabar untuk menghadapinya. Sebagaimana dalam Surat

Annisa ayat 19:

"Dan bergaullah dengan mereka secar patut. Kemudian bila kamu

tidak menyukai mereka, maka bersabarlah………".


27

b. Menjaga dengan baik

Suami wajib menjaga istrinya, memelihara dari segala sesuatu yang

menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung

kemuliaannya menjauhkan dari pembicaraan yang tidak baik.

c. Suami mendatangi istrinya

Ibnu Ham berkata :"Suami wajib mengumpuli istrinya sedikit satu

kali setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, berarti ia durhaka

kepada Allah karena hal ini diatur dalam Surat Al-Baqarah ayat 222 :"Bila

mereka telah suci, maka campurilah mereka itu tempat yang

diperintahkan Allah kepadamu".

4. Hak suami terhadap istrinya meliputi

Dalam Surat An-Nisa ayat 34:

"....sebab itu maka wanita yang salah ialah yang takut kepada Allah,

lagi memelihara diri dari balik pembelakang suaminya oleh karena Allah

telah memelihara mereka"

Yang dimasud dengan menjaga dirinya dibelakang suaminya yaitu menjaga

dirinya waktu suaminya tidak ada, tanpa berbuat khianat kepadanya baik

mengenai diri maupun harta bendanya, hal ini adalah kewajiban tertinggi

bagi istri, karena dengan cara inilah hidup suami-istri dapat langgeng dan bahagia.
28

Beberapa hak yang dapat dilakukan suami terhadap istrinya yaitu :

1. Selama sang suami tidak dirumah, istri yang baik selalu berpandangan tajam

terhadap segala sesuatu milik suaminya bukan saja harta benda dan rahasia

rumah tangga, tetapi lebih-lebih kehormatanya, anak-anaknya dan kesucian

keturunan.

2. Wanita yang baik harus patuh kepada suaminya, istri tidak berhak

memberikan sesuatu didalam rumahnya tanpa seizin sang suaminya. Ia tidak

boleh meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

3. Menghukum istri karena menyeleweng

Allah berfirman dalam Surat Annisa : 3 4 :

".……..wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaanya maka

nasehatilah mereka dan pisahkanlah dirinya dari tempat tidur mereka dan

pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti badan... "17)

Terhadap istrinya yang menyeleweng tersebut suami dapat mengingatkan

istrinya tentang kewajiban pada suaminya dan hak-hak suami yang wajib ia

tunaikan, mengingatkannya akan kehilangan nafkah, pakaian dan ditinggal

ditempat tidur sendiri.

4. Istri wajib berhias untuk suaminya

Adalah dipandang baik jika istri berhias dan memakai wangi-wangian dan

alat berhias lainya hanya untuk menyenangkan suaminya. 18)


17)
Ibid., hal. 130-131
18)
Ibid, . hal . 132.
29

Demikian hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang ditentukan

dalam hukum Islam.

D. Pengertian Poligami

Poligami sebenarnya berasal dari kata Yunani "Poli" atau "Polus" yang

artinya :"Banyak" dan "Gamein" atau "Gamos" yang mempunyai arti :"kawin".

Jadi poligami mempunyai arti kawin dengan lebih dari satu pasangan

hidup.19)

Sedangkan didalam encyclopedia Americana, poligami adalah :

"Polygamy is generally considered that form of family organization in which a

man has two or more wives, but strictly speaking polygamy includes polyandry

(more than husband) as well as polvginv (more than one wives) ".20)

Artinya : Polygami umumnya dianggap sebagai bentuk organisasi dari keluarga

dimana seorang laki-laki memiliki dua atau lebih istri, akan tetapi

pengertian secara tegasnya polygamy mencangkup poliandri (lebih dan satu

suami) disamping juga poligini (lebih dari satu istri).

Yang dibolehkan mempunyai pasangan hidup lebih dari satu rang adalah

laki-laki saja, sedangkan wanita tidak boleh.

Dr. Soekanto, ketua Family Plambing Association di Jakarta

mengatakan : Poligami berarti kawin (gami) dengan lebih dari seorang (poly-

19)
Ali Afandi, op. cit. hal - 98.
20)
Ecyclopaedia Amiricana, vol . 15 hal. 15.
30

banyak). Poligami bisa diartikan poligini yaitu seorang laki-laki kawin dengan

lebih dari satu orang perempuan dan poliandri yaitu seorang perempuan kawin

dengan lebih dari satu orang laki-laki. Dengan perkataan sehari-hari yang

dimasud poligami adalah : Seorang laki-laki kawin dengan lebih dan satu orang

perempuan.21)

Jadi pengertian poligami dapat disimpulkan mencangkup poligini yaitu

seorang laki-laki yang kawain dengan banyak wanita, sedangakan poliandri yaitu

seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki. Namun istilah ini

menujukan kepada perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang

wanita pada waktu yang sama. Karena baik dalam Undang-Undang maupun

dalam agama itu sendiri poliandri dilarang dalam masyarakat Indonesia.

Dalam skripsi ini saya mengartikan poligami sebagai seoarang laki-laki yang

kawain dengan lebih dari satu orang wanita pada waktu yang sama.

Sesungguh naluri alami seorang wanita normal, ingin memiliki secara

mutlak seorang pria tanpat tersaingi wanita lain.

Kalau agama mengizinkan bagi pria berpoligami, mungkin timbulah

perasaan kurang senang apad agama itu. Dalam hal ini memang diperlukan

pengertian dan tenggang rasa bahwa peraturan agama itu tidak ditujukan kepada

wanita yang telah bersuami, tetapi kepada mereka yang belum kawin. Sebagai

contoh dapat kita perhatikan nasib istri kedua. Faktor apakah memaksa ia

menjadi istri kedua ? Ternyata faktor kepentingan dan keqadaanlah yang

21)
Solichin Salam, Meninjau Masalah Poligami, (Jakarta : Tinta Mas, 1959), hal . 102.
31

memaksa menerima tawaran itu itu. Dari pada hidup bersetatus perawan

selamanya, lebih baik jadi istri kedua.22)

Hampir semua kaum wanita yang tidak mendapat jodoh akan

cenderung memilih poligami dari pada tidak bersuami. Selam statistic kaum

wanita lebih besar jumlahnya dari kuam pria, dan setiap pria usia dewasa hanya

menyunting seorang wanita saja, maka kaum wanita yang tidak bersuami

akan besar jumlahnya.

Kalau sistim poligami dilarang, maka akan banyak kaum wanita yang

menderita bathin, jika hal ini meningkat pada luapan yang tidak terkendali,

maka akan terjadilah kemerosotan akhlak yang akan mencemari kehormatan

masyarakat dan bangsa. 23)

Karena itulah Islam memberlakukan sistim poligami, agar tidak

menimbulkan bencana ditengah bangsa. Izin poligami ini diberikan untuk

menjamin masyarakat agar terhindar dari dekadensi moral akibatnya surplusnya

kaum wanita. Lain halnya bagi pasangan suami-istri yang tidak serasi, hubungan

tidak lagi dinaungi rasa kasih sayang meskipun telap dalam jalinan

perkawinan. Kemudian sang suami menempuh pemecahan problematikanya

secara terhormat, dengan pertimabngan daripada menceraikan istrinya lebih baik

kawin lagi.

22)
M. Sya rawi, Wanita Harapan Tuhan, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1987 ); hal . 62-63
23)
Ibid. hal. 65.
32

E. Poligami dalam Pandangan Masyarakat Indonesia

Terlebih dulu akan ditegaskan sekali lagi bahwa apa yang akan

disuguhkan pada sub ini adalah pandangan masyarakat pada umumnya tentang

poligami, yang di dapat melalui penelitian lapangan secara focus group

discussion dengan metode penarikan sampel secara ekstrem (lampiran IV).

Dengan metode penelitian tersebut, maka secara garis besar dapat ditarik dua

pokok permasalahan sehubungan dengan kesalahpahaman masyarakat tentang

poligami, yaitu sebagaimana akan diuraikan berikut :

E.1Poligami Berawal dan Berkembang Sebagai Tradisi Islam Sejak

"Muhammad"

Inilah kesalahpahaman yang pertama tentang poligami yang dilontarkan

oleh mayoritas masyarakat pada umumnya. Mereka mengklaim bahwa poligami

berawal dan berkembang sebagai tradisi Islam, sebagaimana dipelopori oleh

"Muhammad". Dalam penelitian lapangan, keadaan tersebut digambarkan

sebagai berikut :

Dalam penelitian, didapatkan antara lain pandangan dari ASH, C, AHD,

dan Bb, yang pada intinya, awalnya kesemuanya itu menyimpulkan bahwa

poligami merupakan tradisi Islam sejak Rasulullah SAW, dan untuk yang

demikian itu ASH dan C mengaku tidak mengetahui sejarah poligami, yaitu

sebatas bahwa poligami telah berlangsung sejak zaman kerajaan di Indonesia dan

di Cina. Setelah terjadi diskusi dengan para responden lainnya pada masing-
33

masing focus group disccusion, pandangan itu kemudian berubah bagi ketiganya.

Kini dalam pandangan ASH dan C poligami mengandung unsur kemanusiaan,

sedangkan AHD dalam hal ini tetap mempertahankan pendapatnya tanpa didasari

oleh argumentasi yang relevan.

E.2 Poligami Menindas Hak-Hak Perempuan

Setelah dalil-dalil kepercayaan yang batil berhasil dipatahkan, lantas tidak

ada jalan lain untuk mengucilkan poligami Islami kecuali dengan alasan bahwa

poligami menindas hak-hak perempuan. Di dalam penelitian lapangan, keadaan

tersebut digambarkan sebagai berikut.

Tidak dapat disangkal bahwa data statistik surplus wanita usia kawin

hanya diketahui oleh segelintir orang, yaitu mereka yang menaruh perhatian pada

masalah-masalah sosial. Dapat dikatakan bahwa semua responden yang dijumpai

peneliti kecuali ASN menyadari keadaan surplus perempuan usia kawin ini.

Mereka itu pada umumnya hanya mengetahui bahwa jumlah perempuan lebih

banyak dari jumlah laki-laki tanpa mempedulikan tingkat usia kawin, padahal

masalah poligami merupakan masalah yang bertolok ukur dari tingkat usia kawin

itu sendiri. Dalam keadaan yang demikian tentu saja mereka itu pada awalnya

menentang poligami, seperti halnya ASH, C, AHD, DN, Bd, dan Ls. Namun,

pandangan inipun kemudian berubah sehingga sebagian besar dari mereka itu

menyimpulkan bahwa poligami merupakan upaya alternatif dalam mengatasi


34

masalah sosial, perubahan mana terjadi pada pandangan ASH, C, DN, dan Ls.

Sementara itu, AHD dan Bd mengakui kebenaran data tersebut namun tetap

menentang poligami untuk keadaan yang demikian, yaitu dengan alasan agama

yang tidak spesifik dari AHD serta argumentasi yang tidak relevan dari Bd.

Pada umumnya semua responden, sebelum mengetahui informasi dan

fakta tentang berbagai permasalahan sosial, seperti menjamumya prostitusi,

mereka tidak melihat adanya relevansi antara poligami dengan upaya penegakan

hak-hak perempuan, bahkan tidak jarang mereka mengklaim poligami sebagai

upaya penindasan hak-hak perempuan. Pandangan mereka ini untuk sebagian

besar responden didasarkan pada kurangnya informasi tentang fakta historis

maupun aktual, serta data-data statistik. Namun sebagian lagi diakibatkan pola

pikir dogmatik ataupun feminisme yang menyebabkan sikap apriori terhadap

lembaga poligami.

Dari sejumlah responden dalam penelitian, yang menentang poligami,

dalam arti sejak awal hingga akhir berpendirian teguh untuk menentang

poligami ialah AHD itu pada umumnya ditentang oleh para rekan informan

lainnya. Pasalnya, AHD selalu saja menggunakan dalil-dalil agama yang tidak

spesifik, yang ketika dipertanyakan bahkan disanggah oleh para informan

lainnya, AHD tidak dapat menjawab ataupun memberikan argumentasi yang

dapat diterima oleh rekan informan lainnya tersebut. Sedangkan Bd sebagaimana

telah dikemukakan di awal penelitian ini, menyandarkan argumentasi-

argumentasinya pada faktor feminisme yang emosional semata, yang


35

menjadikannya seringkali berusaha mengintimidasi rekan informan lainnya,

sehingga berusaha mengintimidasi rekan informan lainnya, sehingga ketika

rekan informan lainnya tersebut membalikkan sesuatu pertanyaan kepada Bd, Bd

tidak dapat memberikan argumentasi yang relevan.

Dari pengalaman penelitian ini dapat dilihat suatu pola pemikiran taklid,

dalam arti sebagian kecil dari responden tersebut terpola untuk mematuhi sesuatu

yang kemungkinan besar alam pikirannya sendiri tidak mengetahui, dan

selanjutnya menentang segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pola pikirnya,

sekalipun la merupakan fakta yang terjadi di dalam lingkungan masyarakatnya

sendiri.

Sangat disayangkan, ternyata dalam penelitian ini, masih muncul krisis

moral pada beberapa responden. Sementara sebagian besar responden setuju akan

keberadaan kelembagaan poligami sebagai salah satu alternatif solusi

permasalahan surplus perempuan usia kawin, mereka yaitu AHD dan Bd sama

sekali tidak setuju terhadap kelembagaan poligami, apapun alasannya.

Keduanya ternyata lebih memilih sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh ajaran

agama ataupun kepercayaan apapun juga, yaitu bahwa AHD menawarkan

pembentukan suatu “lembaga kumpul kebo” sementara Bd lebih memilih

untuk berzina dari pada berpoligami. Di dalam pandangan mereka yang

mempresentasikan pula banyak pemikiran masyarakat pada umumnya,

bagaimana pun juga poligami hanyalah suatu lembaga yang menindas hak

perempuan lantaran (para) perempuan yang bersangkutan dijadikan pilar kedua


36

dan seterusnya. Sungguh merupakan suatu kemunduran moral bagi orang yang

mengaku dirinya beragama dan berpendidikan tinggi, sehingga mereka ini lebih

setuju untuk mengadakan perzinaan diam-diam daripada poligami yang sah

menurut hukum, hanya karena pada dasarnya mereka ini tidak mau (bukan tidak

mampu) untuk mencoba memahami masalah yang ada, dan tidak mau

menempatkan diri di pihak yang dirugikan, dalam hal ini yaitu para perempuan

yang dizhalimi hak asasinya untuk hidup berkeluarga dan berketurunan secara

sah menurut hukum dan agama. Pendeknya, mereka yang memandang poligami

melulu sebagai suatu bentuk penindasan terhadap hak-hak perempuan tidak

memahami konsep poligami dalam hukum Islam.


BAB III

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM ISLAM


TENTANG POLIGAMI

A. Ketentuan Pologami Pada Zaman Rasulullah SAW

Latar belakang poligami Rasulullah SAW begitu heterogen, setidaknya

mencakup empat hikmah utama, yaitu (1) kepentingan pendidikan, (2)

kepentingan syariat, (3) kepentingan sosial, dan (4) kepentingan politik, yang

masing-masing akan dibahas dan diuraikan berikut ini :

1. Kepentingan Pendidikan

Tujuan utama poligami Rasulullah SAW adalah untuk mencetak

muslimah pendidik yang profesional, guna mengajari kaum perempuan

tentang hukum agama yang hanif, 24) terutama tentang hukum yang berkaitan

dengan berbagai masalah keperempuanan seperti haid, nifas 25), janabah26)

dan thaharah27). Para muslimah kala itu menghadapi kesulitan besar untuk

24)
Hanif menunrt Ensiklopedi Islam Ringkas (The Concise Enyclopedia of Islam), dihimpun oleh
Cyril Glasse, ed. L., cet.2., diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas'adi, (PT. Rajagrafindo Persada,
Januari 1999), hal. 124, berarti sebuah kata sigat yang ditujukan oleh Al-Quran terhadap Nabi
Ibrahim dan terhadap mereka yang menjaga kemurnian dan kelurusan naluri-naluri keagamaan
mereka dan sama sekali tidak terlibat dalam tradisi paganisme dan politeisme.
25)
Nifas menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, op-cit., hal. 445, berarti darah yang keluar
setelah melahirkan.
26)
Janabah menurut Ensiklopedi Islam Ringkas, op.cit., hat. 192, berarti keadaan tidak suci
yang menghalangi keabsahan pelaksanaan ibadah tertentu seperti shalat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
beberapa sebab seperti persenggaman, menstruasi, persalinan, pemancaran sperma, persentuhan
jenazah. Keadaan tidak suci tersebut dapat disucikan dengan mandi besar (ghusl). Sedang
ketidaksucian lainnya yang lebih kecil yang dinamakan hadas dapat disucikan dengan whudu.
27)
Thaharah menurut Ensiklopedi Islam Ringkas, ibid., hal. 411, berarti tindakan bersuci baik
secara jasmani maupun rohami, implikasi istilah ini dapat diperluas mencakup segala bentuk
penyucian, dan terkadang juga diguakan terhadap penyunatan (khitan).

37
38

menanyakan langsung soal-soal tersebut kepada Rasulullah SAW ;

sebagian kalau malu. Apalagi Rasulullah SAW adalah seorang manusia

yang sangat pemalu yang tidak mungkin memberikan penjelasan yang rinci

tentang segala permasalahan perempuan yang demikian. Kadang-kadang

beliau haius menjawab pertanyaan itu dengan bahasa perempuan

sehingga sebagian muslim sulit memahami apa maksudnya.

"Seperti diriwayatkan oleh kitab-kitab sunnah :"Rasul SAW, perasaan


malunya jauh lebih besar dibandingkan dengan gadis yang terpingit
di balik kamar khususnya." 28)

Dengan demikian, alternatif yang sangat tepat bagi para muslimah

yang bersangkutan adalah menjumpai isteri-isteri Rasulullah SAW : untuk

meminta penjelasan. Beberapa kutipan di bawah ini diharapkan dapat

memberikan gambaran keadaan yang terjadi pada saat itu, yang

mendukung alasan poligami Rasullullah SAW demi kepentingan

pendidikan dan pengajaran hukum Islam tersebut.

"Aisyah r.a meriwayatkan bahwa suatu ketika seorang perempuan


Anshar bertanya kepada Nabi SAW mengenai mandi dan (habis)
menstruasinya. Lalu Nabi SAW memberikan petunjuk kepadanya
tentang bagaimana ia harus mandi itu. Kemudian Nabi berkata kepada
perempuan itu :"Ambillah sepotong kapas yang diberi aroma, lalu
bersihkanlah (menstruasimu) itu dengannya".
Perempuan au karena belum paham benar maksud Nabi lalu bertanya
lagi : "Bagaimana caranya aku membersihkannya dengan kapas
tersebut?.
Ya bersihkanlah dengan kapas itu", jawab Nabi. Tetapi perempuan
tersebut masih juga bertanya "Bagaimana caranya aku
membersihkannya, yang Rasulullah ?!".
28)
Muhammad Ali ash-Shabuni, persepsi-persepsi Dusta dan Batil tentang kasus Poligami
Rasulullah SAW (Syubuhut wa Abatil haula Ta'addud zaujat al- Rasul), cet.l., diterjemahkan oleh
Basri Iba Asghary, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1988), hal. 20.
39

"Subhannllah ! Ya bersihkanlali dengan kapas itu", jawab Nabi lagi


(sambil menghilangkan mukanya, karena begitu besar perasan malu
untuk menjawabnya seeara gamblang).
Aisyah yang turut mendengarkan keterangan itu, berkata : lalu
kurenggut kapas tersebut dari tangan perempuan itu, dan kukatakan
kepadanya ;"Letakkan kapas ini pada tempat ini (sambil menunjuklan ke
tempat dimaksud, tempat keluarnya haid) dengan bekas-bekas
darah". Kemudian aku jelaskan kepada perempuan itu tempat-
tempat yang harus diletakkan kapas tersebut". 29)
"……Aisyah mengatakan : "Rupanya Allah telah melimpahkan
rahmat kepada para wanita Anshar, mereka tidak merasa sungkan
dan malu untuk menanyakan sesuatu yang dapat memberikan
kedalman pengertian dan pemahaman agama".
Adalah sebagian dari perempuan itu, wanita Anshar menjumpai
Aisyah pada suatu ketika di awal malam, untuk bertanya kepada
aisyah tentang masalah-masalah agama dan tentang hukum Islam
yang menyangkut menstruasi (haid), nifas, janabat, dan berbagai
ketentuan lainnya….. 30)

Dalam konteks inilah maka para perempuan yang menjadi para istri

Rasulullah SAW adalah guru yang paling tepat untuk kaum muslimah,

apalagi para isteri Rasulullah SAW itu dapat langsung berhadapan muka

dengan mereka ; suatu cara jitu untuk mengatasi keenganan dan perasaan

malu para muslimah dalam bertanya, terutama seputar masalah

perempuan. Dengan perantara merekalah para muslimah mampu

memahami berbagai ketentuan dalam agama Allah dan hukumnya.

Lagipula, yang dinamakan sunnah Nabi yang suci itu bukan hanya

terbatas pada perkataan (sunnah qauliyah) saja, melainkan pula meliputi

perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam Nabi tanda setuju (sunnah

taqririyah). Kesemuanya ini merupakan suatu kodifikasi hukum syari'at

29)
lbid., hal. 21
30)
Ibid., hat, 23.
40

yang harus diikuti oleh umat. Lalu, siapakah orang yang harus diikuti oleh

umat. Lalu, siapakah orang yang lebih berhak dan berkompoten

menyampaikan kepada para umat tentang berita dan tingkah laku

Rasulullah SAW di rumahnya selain para perempuan yang menjadi istri-

istrinya tersebut ; para perempuan yang dimuliakan Allah, "ummahatul

mukminin", dan isteri-isteri Rasulullah SAW yang mulia ini di dunia dan

akhirat ? Karena itu, tidak perlu diragukan lagi, bahwa pada para isteri

yang suci itu, yang mendapat ridho Allah, terletak kelebihan utama dalam hal

meneruskan informasi tentang segala macam keadaan, kondisi, perilaku dan

aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan masalah rumah tangga.

Dengan demikian, sebagian dari isteri-isteri Rasulullah SAW menjadi

penatar mengenai berbagai petunjuk Rasulullah SAW, dan mereka itu

memang terkenal sebagai para perempuan yang daya ingatnya kuat

sekali, memiliki keunggulan dan kecerdikan tersendiri, sebagaimana

dikutip berikut ini :

"Khadijah .... Nabi tidak melihat kecantikannya kekayaannya, maupun


keturunannya, tetapi melihat kecerdasan dan akhlaknya."31)

"Siti Aisyah adalah seorang wanita yang cerdas, pintar, kuat


hapalannya dan termashur merawinkan hadis dan ahli dalam
masalah agama" 32)

31)
Abdul Hamid Kisyik, Mengapa Islam Membolehkan Poligami?(Mausu'ah at-Zuway al-
Islamiy), cet.2., diterjemahkan oleh Ida Nursida, (Jakarta : Hikmah, Agustus 2000), hal. 30
32)
Ahmad Muhammad El Hawfy dan Ahmad Ibrahim El Orfaly, Mengapa Nabi Muhammad SAW
Beristri Banyak (why The Prophet Muhammed Married More Than One), cet. 1, diterjemahkan
oleh Fachrien Effendy, (Jakarta : CV. Sdwi Putera Kurnia, Februari 2001), hal. 45.
41

"Saf ah termasyhur karena kebijaksanaannya, kecerdasannya, dan


kebaikannya".33)

2. Kepentingan Syariat

Hikmah poligami Rasulullah SAW demi kepentingan syariat tidak lain

adalah bertujuan untuk menghapuskan sebagian dan konvensi dan tradisi

jahiliah yang mungkar, dan mengubahnya menjadi suatu ketentuan

keagamaan. Dengan kata lain, hikmah poligami Raulullah SAW demi

kepentingan syariat itu bertujuan untuk menciptakan kodifikasi hukum Islam.

Sebagai contoh adalah masalah ketentuan tentang adopsi yang

dipraktekkan oleh penduduk Arab sebelum Islam. Orang Arab jahiliah itu

biasa mengadopsi yang bukan anak kandungnya dengan perlakuan hukum

yang disamakan dengan anak kandung dalam segala hal seperti dalam hukum

waris, kawin, dan talak.

"Tradisi Arab Jahililiah itu memang aneh ; mereka boleh mewansi ibu
tirinya (bila ayahnya meninggal), tetapi terlarang mengawini bekas
isteri anak angkat". 34)

Sebaliknya, Islam tidak menetapkan kepada mereka tentang

sesuatu hukum yang batil, juga tidak membiarkan mereka terus

terperangkap dalam kegelapan dan kebodohan. Untuk itu, Allah SWT

telah mengatur suatu ketentuan khusus untuk melenyapkan tradisi jahiliah

tersebut, dengan cara memberikan ilham kepada calon Rasul-Nya untuk

mengadopsi seorang anak bernama Zaid bin Harisah sesuai dengan tradisi

33)
Ibid., hal. 82.
34)
Ash-Shabuni, op.cit., hal. 25.
42

bangsa Arab sebelum islam, sehingga sejak ltu Zaid dipanggil oleh

masyarakat lingkungan tempat tinggalnya sebagai Zaid bin Muhammad." 35)

“Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar r.a.,


bahwa Ibn Umar berkata :
"Sesungguhnya Zaid bin Harisah merupakan seorang hamba sahaya
Rasulullah yang telah dimerdekakan (mawla). Kami tidak pernah
memanggilnya kecuali dengan (nama) Zain bin Muhammad,
sehingga turunlah ayat :
"Panggillah mereka dengan nama-nama ayahnya! itu lebih benar
dalam pandangan Allah". (Q.S. 33, Al-Ahzab 5) lalu, setelah turun
ayat tersebut, maka Nabi berkata kepada Zaid : "Engkau Zaid bin
Harisah bin Syurahil".36)

Zaid bin Harisah oleh Rasulullah SAW telah dinikahkan dengan

anak bibinya, zainab binti Jahsy Al-Asadiah. Mereka hidup bersama untuk

beberapa waktu, namun hubungan keduanya tidak langsung lama karena

telah terjadi keretakan hubungan diantara keduanya ; Zainab karena merasa

dirinya berdarah biru, bangsawan quraisy, acap bersikap dan berbicara kasar

kepada Zaid bin Harisah. Zainab menganggap dirinya lebih terhormat

daripada zaid, karena zaid tidak lebih dari seorang budak belian yang

dimerdekakan dan kemudian diambil anak oleh Rasulullah SAW.

Untuk kepentingan pembatalan tradisi adopsi tersebut, maka Allah

SWT telah menghendaki agar Zaid menceraikan Zainab, kemudian

diperintahkan Rasulnya untuk menikahi Zainab, sehingga konvensi adopsi

semula terhapus, dan Rasulullah SAW telah meletakkan hukum atas prinsip-

prinsip Islam, sehingga hancurlah norma-norma jahiliyah.

35)
Ibid, hal. 26.
36)
Ibid
43

"Meskipun sudah begitu jelas perintah-Nya, namun Rasul SAW


merasa kuatir terhadap pergunjingan orang-orang munafik dan
manusia-manusia durjana. Rasul mengkuatirkan perbincangan dan
pergunjian mereka : "Lihat Muhammad menikahi perempuan (bekas
isteri) anaknya". Kondisi tersebutlah yang menyebabkan beiiau
agak lamban menentukan sikap, sehingga turunlah wahyu yang
berisi teguran keras kepada Rasul SAW dalam firman-Nya :
"Kau takut kepada manusia, padahal Allah yang lebih berhak kau
takuti ? Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami
kawinkan engkau dengan Zainab. Supaya jangan ada kesukaran
bagi orang Mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak angkatnya,
jika mereka telah memutuskan perkawinan dengan isteri-isterinya
itu. Dan perintah Allah akan terlaksana". (Q.S. 33, al-Ahzab : 37)37)

"Bukhari di dalam sanadnya meriwayatkan bahwa Zainab r.a.


membangga-banggakan dirinya terhadap isteri-isteri Nabi yang lain,
dengan ucapan:
"Kamu semua (hany) dinikahkan oleh anak keluargamu sedangkan aku
dinikahkan oleh Allah (dengan titah) dari atas tujuh langit".38)

Demikianlah, sejak saat itu tradisi adopsi yang diikuti dan dijalankan

pada zaman jahiliah itu menjadi batal. Apalagi setelah itu turun wahyu

Allah SWT yang menegaskan dan memperkuat ketentuan ilahi yang

baru, yang terjemahnnnya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki

diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan menutup nabi-nabi. Dan

adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S. al-Ahzab/33 : 4(1)

Begitulah perkawinan antara Rasulullah SAW dengan Zainab

binti Jahsy telah berlangsung, merupakan suatu perkawinan untuk

kepentingan syariat yang perintahnya turun dari Allah Yang Maha

Bijaksana dan Maha Mengetahui.


37)
Ibid
38)
Ibid., hal.29.
44

3. Kepentingan Sosial

Hikmah sosial poligami Rasulullah SAW nampak jelas dalam

perkawinannya dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., maupun

perkawinannya dengan Hafsah binti Umar bin Khathtab al-Faruq r.a.

Aisyah adalah putri seorang yang amat dicintainya dan sangat

besar jasanya dalam pandangan Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar Ash-

Shiddiq r.a. Abu Bakar adalah orang pertama yang menerima seruan

Rasulullah SAW kepada Islam ; orang yang mempertaruhkan nyawa dan

harta bendanya untuk menegakkan agama Allah SWT ; dan yang membela

serta melindungi Rasulullah SAW tanpa mempedulikan keselamatannya

sendiri. Ia adalah orang yang menyediakan dirinya menerima perlakuan

kasar dari kaum Quraisy demi kepentingan Islam, sampai-sampai Rasulullah

SAW berkata sebagai pujian terhadap keutamaan Abu Bakar : 39)

"Semua orang yang telah berjasa dan berbuat baik kepada kami, telah
kami balas kebaikannya itu, hanya kebaikan Abu Bakar-lah yang
tidak mampu kami balas. Kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan
Abu Bakar untuk kepentingan kita tak ternilai banyaknya, hanya
kepada Allah jualah harapan kita tertumpu untuk membalas
kebaikannya tiada seorang pun yang memanfaatkan hartanya
secara cukup untuk kepentingan Islam, sebagaimana manfaatnya
kekayaan Abu Bakar. Islam tidak diterima oleh seorang pun kecuali
penerimaan yang penuh keraguan ; hanya Abu Bakar-lah yang
menerima Islam tanpa kebimbangan. Sekiranya aku memilih
seorang sahabat, niscaya aku pilih Abu Bakar sebagai sahabat.
Ingatlah ! Sesungguhnya sahabatmu pun adalah kekasih Allah.
(H.R.aI-Turmuzi)"40)

39)
Ibid., hal. 30.
40)
Ibid,., hal 31.
45

Perkawinan Rasulullah SAW dengan Aisyah tidak berbeda dengan

perkawinannya dengan Hafsah binti Umar bin Khaththab al-Faruq r.a. Umar

adalah satria Islam, dan dengan Umarlah Allah SWT memuliakan Islam dan

umat musliman serta ditinggikan-Nya teja suar agama.41)

Dari kedua perkawinan Rasulullah Saw itu, terjalinlah bahul

kekerabatan, yang pada dasarnya merupakan suatu penghormatan dan

balasan jasa bagi para sahabatnya. Dengan ikatan-katan itulah Rasulullah

SAW menjadikan hati yang saling mengasihi sebagai kekuatannya, dan

beliau mempertemukan kekuatan dakwahnya untuk kepentingan

mengokohkan iman, keagungan, dan kemuliaan Islam. :

4. Kepentingan Politik

Hikmah politik poligami Rasulullah SAW adalah tidak lain demi

kepentingan dakwah Islam. Hikmah ini nampak jelas dalam perkawinannya

dengan Juwariah binti Al-Haris, perkawinannya dengan Safiah binti Huyay

bin Akhtab, dan perkawinannya dengan Ummu Habibah.

"Bukhari meriwayatkan, dari sumber Aisyah, dalam buku kumpulan

hadits yang disusunnya, A1 Jami' Al-Sahih yang berkaitan dengan ihwal

dengan ihwak Juwariah ini. Aisyah berkata :

"Rasulullah SAW telah mendapatkan tawanan-tawanan (dalam

suatu peperangan) wanita yang berasal dari kalangan Bani Mustalik

(disamping wanita-wanita, tentu sebagian dari tawanan-tawanan ada juga

41)
Ibid, hal. 32
46

laki-lakinya). Beliau lalu mengisahkan seperlima dari tawanan wanita itu,

kemudian sisanya dibagikan di antara orang-orang yang ikut berperang.

Kepada pasukan berkuda (kaveleri) diberikan dua bagian dan kepada

pasukan infatri diberikan satu bagian. Juwanah binti al-Haris-kebetulan jatuh

dan menjadi bagian Sabit bin Qais ; dan Qais sudah menetapkan jumlah

tebusan yang harus diserahkan oleh Juwariah untuk pembebasan dininya.

Karena mendapat kenyataan demikian, maka Juwariyah datang

menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan halnya :"Wahai Rasul

Allah. Saya ini Juwariah binti al-Haris adalah pemimpin Bani

Mustalik). Sebagaimana anda ketahui, menurut keputusan, saya jatuh di

bawah kekuasaan sabit bin Qais, dan ia (Sabit) sudah menetapkan jumiah

tebusan sebesar sembilan away agar aku dapat dibebaskan. Oleh sebab itu

saya mohon bantuan dan kebijakan anda untuk penembusan kemerdekaan!”

Lalu Nabi SAW menjawab permohonan Juwariah ini :

"Atau yang lebih baik daripada sekedar pembebasan ?"

"Apakah itu yang anda maksudkan ?", tanya Juwariah.

"Kubayarkan uang tebusan yang telah ditentukan kepadamu, lantas

aku akan menikahimu", jawab Nabi.

"Jika itu yang anda maksudkan, saya setuju".

"Dan urusan tersebut (uang tebusan) telah kuselesaikan", jawab

Rasul pula.
47

(Demikianlah menurut riwayat hadis yang diriwayatkan Bukhari

dari sanad Aisyah)"42)

Sebagai hasil positif perkawinan tersebut, maka lantaran bertalian

keluarga, kaum muslimin yang menguasai tawanan kemudian serentak

memerdekakan para tawanan yang ada dalam penguasaan mereka. 43)

Selanjutnya, mengenai perkawinan Rasulullah dengan Safiah binti

Guyay bin Akhtab. Safiah tertawan dan suaminya terbunuh dalam

perang Khaibar. Setelah ia tertawan, beberapa orang pemikir dan

penasehat dalam angkatan perang Islam itu memberikan pendapat bahwa

Safiah adalah pemuka dan perempuan terhormat di kalangan Bani

kuraidhah ; oleh karena itu dia tidak patut untuk seorang pun kecuali untuk

Rasulullah SAW. Hasil kesepakatan ini mereka sampaikan kepada Rasulullah

SAW dan beliau pun memanggil Safiah :44)

"Menurut riwayat, Safiah binti Huyay bin al-Akhtab ini pada suatu
saat ia bertemu muka dengan Rasulullah SAW, sebelum Rasul
memintanya untuk memilih salah satu dari dua alternatif. Rasulullah
berkata kepadanya"
"Ayahmu seorang pengikut Yahudi yang paling ekstrim. Tak
pernah sekejap pun ia berhenti dari aktivitasnya membuat jarak dan
memusuhiku, sehingga kemudian ia dibinasakan Allah...'
Mendengar ucapan Nabi tersebut, Safiah berkata :
"Wahai Rasulullah ! (Bukankah) Allah telah berfirman dalam Kitab
suciNya:
"Seorang pemikul beban orang berdosa-tidaklah harus memikul
beban dosa-orang lain." (Q.S.17, al-Isra : 15) Rasulullah kemudian
berkata kepadanya:

42)
Ibid., hal. 35-36
43)
Ibid
44)
Ibid
48

"Pilihlah, hai Safiah ! Kalau kau memilih Islam, niscaya kau kutuhan
untuk diriku (artinya dijadikan isteri). Tetapi jika kau memilih
tetap sebagai Yahudi pun, ya bisa saja aku memilih tetap sebagai
Yahudi pun, ya bisa saja aku membebaskanmu, dan kau dapat
berkumpul kembali, kembali dengan kaunmu"
"Wahai Rasul !", jawab safiah. "Aku telah menyukai Islam dan aku
telah mengakui kerasulanmu sebelum engkau mengajakku tinggal
bersama di rumahmu (maksudnya : ajakan menikah). Kini, aku tidak
memiliki siapa pun lagi, sudah tak punya ayah dan tak punya sanak
kadang. Dan anda telah memintaku untuk memilih antara : kufur
dan islam. Maka jawabku sudah mantap : aku lebih mencintai Allah
dan Rasul-Nya daripada pembebasan dan kembali ke dalam lingkungan
belenggu kaumku".45)

Atas pilihan Safiah yang demikian itu, ia telah memeluk Islam,

dan bersamaan dengan itu, sejumlah pengikutnya pun memeluk Islam.46)

Demikian pula perkawinan Rasulullah SAW dengan Ummu

Habibah (Ramlah binti Abu Sofyan).

"Abu Sofyan pada waktu itu adalah pemegang panji orang-orang


musyrik pemuka kaum kafir Quraisy dan merupakan musuh
bebuyutan yang paling keras terhadap Rasul. Anak perempuannya itu,
yakni Ummu Habibab telah memeluk Islam pada waktu ia masih
berada di Mekkah, kemudian bersama suaminya (yang bernama
Ubaidillah bin Jahsy) ia hijrah ke Habasyah (Ethiopia),
menyelamatkan diri untuk mempertahankan agamanya. Suaminya
menemui ajalnya di Ethiopia, sehingga Ummu Habibah tinggal di
sana dalam keadaan terasing dan sebatang kara. Putus segala
harapannya, tiada lagi orang yang melindunginya dan tempat
bermanja-manja dalam pergaulan hidupnya.
Dari itulah, ketika Rasul SAW mengetahui keadaanya yang penuh
nestapa itu, maka beliau mengutus seseorang kepada Negus Nagast, Raja
Habasyah ketika itu, dengan pesan : meminta kesediaan Negus
melakukan peminangan kepada Ummu Habibbah untuk menjadi isteri
Nabi SAW. Berita dan pesan Rasul via utusannya itu langsung
disampaikan oleh Negus kepada Ummu Habibbah. Maka tak dapat
dibayangkan, hanya Allah SWT sajalah yang Maha Tahu, betapa
melonjak kegembiraan dan keharuan Ummu Habibah atas lamaran
45)
Ibid., hal. 37.
46)
Ibid
49

Rasulullah SAW. Sebab sebelum lamaran itu datang, Ummu Habibbah


membayangkan berbagai dilema yang bekal dihadapinya. Jika ia
kembali kepada ayahnya atau sanak keluarganya yang lain, niscaya
mereka akan memaksanya untuk kembali menjadi kufur dan
murtad, atau mereka akan menyiksanya dengan siksaan yang sadis.
Negus Ethiopia itu telah menyerahkan uang kepada Ummu
Habibbah sejumlah 400 dinar emas serta beberapa hadiah berharga
lainnya, sebagai emas serta beberapa hadiah berharga lainnya,
sebagai mas kawin (yang memang dihadiahkan oleh Negus atas
nama Rasul SAW) kepada Ummu Habibah. Dan ketika Ummu
Habibah kembali ke Madinah al-Munawwarah, Nabi SAW langsung
menikahinya. Pada waktu Abu sofyan menerima berita tentang
perkawinan tersebut, ada semacam berita tentang perkawinan
tersebut, ada semacam emosi kegembiraan dalam hatinya, sehingga
la berucap :
"Dia (Rasul) itu memang seorang jantan (gentlemen) yang tidak
pernah tercela kemuliannya."
Ucapan Abu sofyan yang spontanitas ini adalah manifestasi dari
perasaan bunggahnya kepada Rasul, sehingga ia
membanggakannya, dan ia tak dapat mengelak dari kenyataan
bahwa dia merasa cocok kepada Rasul, sampai akhirnya dia diberi
petunjuk oleh Allah untuk memilih Islam". 47)

Dengan demikian, terbukti sekali lagi hikmah yang mengandung

makna yang amat dalam dan lihur dan poligami Rasulullah SAW

Perkawinannya dengan ummu Habibah adalah sebagai penghargaanya

terhadap keteguhan Ummu Habibah terhadap keyakinanya ; yang dengan

pengorbananya telah meninggalkan kampung halamannya semata-mata

demi kepentingan agama, sekaligus merupakan pelaksaan dari ketentuan

Allah SWT dalam mengubah seorang musuh Islam menjadi seorang muslim,

yang karenanya pula bertambah luas dan dalamlah simpul tali kekerabatan

dan keturunan di antara keduanya.

47)
Ibid., hal. 38-40.
50

B. Landasan Poligami Dalam Hukum Islam

Pada hakikatnya, hanya Islamlah satu-satunya “agama samawi”

(revealed religion) di dunia ini. Hal ini dibuktikan oleh kutipan sebagai berikut :

"Allah SWT berkenan bersabda kepada Muhammad SAW sebagai berikut :


Katakanlah : Kami beriman kepada Allah dan kepada yang telah
diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya dan kepada apa
yang telah diturunkan kepada Musa, Isa serta para Nabi Rabb mereka.
Kami tiduk mengadakan diskriminasi antara seorang terhadap yang
lainnya. Dan kami adalah muslimin (orang-orang Islam, orang-orang
yang berserah diri kepada Allah) ". (S. 2: Al-Baqarah a. 136).

Nabi Nuh berkata :

"Dan aku diperintahkan (oleh Allah) untuk menjadi seorang dari golongan
muslimin." (S. 10 : Yunus a. 72).

Di dalam Al-Qur'an telah tercatat mengenai Nabi Ibrahim AS

sebagai berikut :

"Dan Allah telah berkenan memilih dia di dunia ini. Dan sesungguhnya
di akhirat pun tergolong pada golongan orang-orang saleh. Tatkala
Allah SWT berkenan bersabda : Islam'lah dikau "Dia pun berkata
kami berIslam (berserah diri) kepada Rabb (Pencipta, penata dan
penyempurna) alam semesta ". (S. 2: Al-Baqarah a. 130-131).
Nabi Yusuf AS berkata kepada Rabbnya :

"Engkaulah wali-ku di dunia dan akhirat. Wafatkanlah daku sebagai


muslim dan jumpakan daku dengan orang-orang yang saleh". (S.
12: Yusuf a. 110).

Nabi Musa. AS berkataa kepada kaumnya

"Ya, kaumku; bila kalian beriman kepada Allah, bertawakal dirilah pada-
Nya jika benar-benar kalian muslimin". (S. 10: Yunus a. 84).

Tentang pri-keadaan Nabi Isa AS Al-Qura'an antara lain mencatat :


51

Setelah merasa kekufuran mereka Isa AS berkata :


"Siapa pembelaku di jalan Allah ? Hahwariyun berkata : "Kami
pembela Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah kami
adalah muslimin " (S. 3 : All Imran a. 52).

Selanjutnya Allah SWT berkenan mengutus Rasul-Nya, menutup para

Rasul Allah yang terdahulu itu. Allah SWT berkenan bersabda kepada Muhammad

Rasul Allah itu :

"Sesungguhnya telah Aku wahyukan kepadamu sebagaimana telah


Aku wahyukan kepadamu sebagaimana telah Aku wahyukan kepada
Nuh dan pares Nabi sesudahnya. Dan telah kami wahyukan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, Al-Asbath, Isa, Ayub, Yunus, Harun
dan Sulaiman. Dan para Rasul itu telah kami kisahkan kepadamu. Dan
Allah berkenan berkata kepada Musa. Para Rasul itu mengemban tugas
sebagai pembawa berita bahagia dan peringatan, agar manusia tidak
mempunyai dalih sedikit pun terhadap Allah setelah para Rasul itu
datang. Sesungguhnya Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana". (S. 4 :
An-Visa a. lb3-1b5). 48)

Setiap Nabi tersebut pada hakikatnya diakui oleh setip ajaran 'agama' dan

rangkaian ayat-ayat Al-Qur'an tersebut diatas jelas-jelas menegaskan bahwa

mereka itu adalah muslimin dan beriman kepada Allah SWT.

Islam sebagai satu-satunya agama dan hukum Allah SWT ditegaskan pula

di dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

".... pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-
sempurnakan untuk kamu dan agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmatku dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu
"(Q.S Al-Maaidah / 5: 3).

48)
Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, cet. 7, (Surabaya : PT. Bins Ilmu, 1987),
hal. 130-131.
52

"Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam.


Tiadu berselisih orang-orang yang telah diberi A1-Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. "(Q.S Ali
Imran / 3: 19).

Dengan demikian, jelaslah bahwa hanya Islam-lah satu-satunya agama

murni samawi sepanjang masa dan di setiap persada. Karena itulah, segala

agama dan hukum Islam logikanya diberlakukan bagi seluruh manusia di

segala zaman dan segala ruang (universal).

C. Ketentuan Al-Qur'an Tentang Poligami

Dasar hukum bagi poligami dalam Al-Qur'an terdapat didalam surat

An-Nisaa' ayat 2, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"Jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. "(Q.S An-Nisaa/4:
3).

Mengenai ayat Al-Qur'an tersebut diatas, penafsirannya diuraikan

sebagaimana kutipan dibawah ini :

"Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah Ibnuz Zubair r.a. pernah


bertanya kepada Aisyah r.a. tentang firman Allah (yang artinya), "Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita
yatim (bila kamu menikahinya)... .", lalu Aisyah menjawab,"Wahai anak
saudara wanitaku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya,
lalu si wali itu tertarik kepada harta dan kecantikannya. Kemudian si wali
itu hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak
'sebagaimana biasa yang diberikan oleh orang-orang lain. Karena itu,
53

mereka dilarang menikahi wanita-wanita yatim itu kecuali dengan


berlaku adil kepadanya dan memberikan maskawin sebagaimana yang
berlaku, serta diperintahkanlah mereka untuk menikahi wanita-wanita
lain." Urwah mengatakan bahwa Aisyah berkata, "Orang-orang
meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Sesudah turunnya ayat ini,
lalu Allah menurunkan ayat 127 Surat An-Nisaa' "Mereka meminta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah. Allah memberi fatwa
kepadamu tentang para mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam
AI-Qur'an (juga memfatwakan) tentang wanita yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetap kantuk mereka, sedang
kamu ingin menikahi mereka.... " Aisyah berkata, Firman Allah dalam
ayat yang terakhir ini, sedang kamu ingin menikahi mereka, ialah
keinginan salah seorang dan kamu terhadap wanita yatim yang
hartanya sedikit dan tidak seberapa cantik. Maka, mereka dilarang
menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan harta dan
kecantikannya, kecuali dengan adil, karena biasanya mereka benci
kepada wanita-wanita yatim yang tidak memiliki harta yang banyak
dan tidak cantik…..” 49)

Berkenaan dengan pembahasan di muka, penafsiran seperti dikutip di

bawah ini menjelaskan dan merinci hakekat dan makna yang terkandung di

dalam surat An-Nisaa' ayat 3 tersebut, yaitu :

"Ayat diatas mejelaskan 3 hal sebagai berikut :

1. Orang-orang yang khawatir tidak adil dalam mengurus harta anak


perempuan yatim tidak boleh menikahinya agar terjauhkan dari berbuat zhalim
terhadap hartanya tersebut.
2. Mereka hendaklah memilih perempuan lain sebagai istri diantara
perempuan-perempuan yang disukainya, boleh 2 orang atau 3 orang atau
4 orang.
3. Jika seorang lelaki muslim takut tidak dapat berbuat adil dalam berpoligami,
ia lebih baik beristeri seorang saja. Jika tidak mampu beristeri seorang,
lebih baik dia mengambil budak perempuannya untuk menjadi pasangan
hidupnya……..”50)
49)
Sayyid Qutb, (b), Dibawah Naungan Al-Qur’an (Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an -4), cet 1.,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah, (Jakarta :
Gema Insani Press, Maret, 2001), hal. 113-114.
50)
Mohammad Thalib, Tuntunan Poligami & Keutamaannya, cet. 1., (Bandung : Irsyad Baitus
Salam, Maret, 2001), hal. 17-18
54

Dengan mendasarkan pemikiran kepada ketentuan Al-Qur'an dan

penafsirannya sebagaimana telah diuraikan di muka, maka dapatlah kiranya

ditarik pemahaman terhadap surat An-Nisaa' ayat 3, sebagaimana akan

diuraikan di bawah ini.

Pertama, ketentuan Al-Qur'an dalam asurat An-Nisaa' ayat 3

menetapkan : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

hak) wanita yatim (bila kamu menikahinya)…” Ketetapan ini berarti

keprihatinan, ketakwaan, dan takut kepada Allah yang menggetarkan hati nurani

si wali apabila dia tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yang ada dalam

pemelilraraannya. Ketika para wali merasa tidak dapat berlaku adil terhadap

perempuan-perempuan yatim yang ada dalam pemeliharaannya, kalau mereka

ingin menikahinya, di sana terdapat perempuan-perempuan lain Dalam hal

ini, mereka bebas dan kesamaran dan anggapan-anggapan yang tidak baik dari

orang lain.

Kedua, ketentuan Al-Qur'an dalam surat An-Nisaa' 3 tersebut

menetapkan"…… maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi"…… Ketetapan ini berarti bahwa "Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk

perintah.”51) Akan tetapi, perintah dalam ayat tersebut hukumnya tidak dengan

sendirinya menyatakan wajib seperti halnya melakukan puasa. Demikianlah

sebab tidak semua sahabat Rasulullah SAW berpoligami. Sekiranya perintah

poligami dalam Islam itu wajib hukumnya, tentu poligami damasukkan ke

51)
Ibid
55

dalam rukun Islam sehingga semua laki-laki muslim wajib mempraktekkan

poligami dan tidak ada seorang Pun yang dapat meninggalkannya.

Ketiga, ketentuan Al-Qur'an dalam Surat An-Nisaa, ayat 3 menetapkan

“……maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau

empat……" Ketetapan ini menegaskan bolehnya seorang laki-laki muslim untuk

beristeri empat orang dalam masa yang sama. Ketentuan ini merupakan

ketetapanNya tentang batasan maksimal jumlah isteri dalam poligami menurut

hukum Islam, hal mana dijelaskan dan dipertegas oleh Rasulullah SAW

dalam hadits-haditsnya, sebagaimana dikutip berikut ini :

"Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bahwa Ghailan bin


Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam sedang dia mempunyai sepuluh
orang isteri, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pilihlah empat orang
dari mereka.52)
"Imam Abu Sawud meriwayatkan dengan isnadnya, bahwa Umairah
Al-Asadi berkata :
"Saya masuk Islam, sedang saya mempunyai delapan orang isteri.
Lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW, kemudian beliau
bersabda, "Pilihiah empat orang dari mereka"53)

Dengan demikian, dalam Islam, berpoligami lebih dan empat orang

berarti melakukan pernikahan tidak sah dan batal, sebab melanggar batas

maksimal yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika terjadi

hubungan persenggamaan dengan isterinya yang kelima, perbuatannya

termasuk zina. Disebut zina sebab dilakukan di luar pernikahan yang sah.

Seorang laki-laki muslim yang berpoligami lebih dari empat orang dengan

alasan bahwa Al-Qur'an tidak membatasi jumlah maksimal empat orang, tetapi
52)
Qutb, (b), op. Cit., hal. 115.
53)
lbid,., hal. 116
56

hanya menyebutkan dua orang, atau tiga orang, atau empat orang, dan mengabaikan

penjelasan hadits-hadits Rasulullah SAW tentang batas maksimal jumlah isteri-

isteri dalam poligami Islam, berarti telah melakukan pengingkaran dan

penafsiran AI-Qur'an menurut hawa-nafsu. Mereka yang berbuat demikian

dikarenakan ketidaktahuannya, maka setelah mengetahuinya, otomatis ia

harus membatalkan perkawinannya yang melebihi dari batas yang empat

tersebut.54)

Keempat, ketentuan Al-Qur'an dalam surat An-Nisaa' ayat 3

menetapkan "... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,

maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki… "

Ketetapan ini menegaskan bahwa poligami Islam mensyaratkan adanya

keadilan dari si suami, hal mana adalah sangat berat adanya. Dikatakan

demikian, karena ayat tersebut bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat

keadilan. Maka, yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua

bentuknya dengan segala pengertiannya. Namun demikian, sebagaimana

telah ditetapkan Allah SWT di dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang

lebih berbunyi sebagai berikut :

"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri

(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah

kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan

yang lain terkatung-katung". (Q.S. An-Nisaa'/4 : 127)

54)
Thalib, op.cit., hal. 23.
57

Dari ketentuan Al-Qur’an dalam ayat tersebut, maka telah menjadi

ketetapan Allah SWT bahwa seorang suami tidak akan berlaku adil kepada

semua isterinya sekalipun ia berjuang sekuat tenaga untuk itu dan benar-

benar tulus menginginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT telah

menetapkan dan merumuskannya sebagai tidak berlebihan berat sebelah

kepada salah seorang isterinya ; agar tidak berlaku zhalim kepada isteri-isteri

yang lain. Jadi, jelaslah bahwa keadilan yang dituntut dari seorang suami

kepada para isterinya itu bukanlah keadilan cinta dan kasih sayng, melainkan

keadilan dalam pemberian nafkah materil, sikap dan perlakuan lahiriah, serta

giliran. Demikianlah, karena rasa cinta dan kasih sayang berada di bawah

kekuasaan Allah dan ditetapkan serta diatur oleh Allah SWT, sebagaimana

telah ditetapkannya didalam ketentuan Al-Qur'an di bawah ini, yang

terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikan Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ". (Q.S. ar-Rum/30 : 21)

Dengan demikian, keadilan yang dimaksud adalah lebih tepat untuk

dipelihara pada tempat pemeliharaan keluaraga, yang merupakan batu

pertama bangunan seluruh jamaah, dan sebagai titik tolak kehidupan sosial

secara umum, tempat tumbuh berkembangnya generasi. Lagipula sebagaimana

telah ditegaskan di dalam hadits Rasulullah SAW:


58

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW' bersabdah :"Sarang siapa yang


mempunyai duaa isteri, lalu ia berat sebelah kepada salah satunya, maka
kelah dia akan datang pada hari kiamat dengan salah satu bahunya miring.-
(HR.Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I dan ibnu Majah)"55)

Demikianlah, betapa berat hukuman bagi seorang suami yang

berlebihan berat sebelah kepada salah satu dari isteri-isterinya. Karena itu,

perintah berpoligami yang pada pokok mubah itu, menjadi haram hukumnya

bagi seorang laki-laki muslim yang tidak mampu bahkan khawatir tidak

dapat berbuat adil untuk berpoligami. Dalam hal yang demikian, cukuplah baginya

beristeri satu atau dengan mengadakan perkawinan dengan budak-budak yang

dimilikinya. Hal ini demikian, karena bila ia tetap memaksakan dirinya untuk

berpoligami, dengan perbuatannya itu akan menelantarkan para isteri, dan

sesungguhnya yang demikian itu adalah kezhaliman, sedangkan berbuat zhalim adalah

haram hukumnya".56)

Keenam, ketentuan Al-Qur'an dalam surat An Nisaa' ayat 3 menetapkan

"... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(nikahilah) seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki.... ". Budak

perempuan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah perempuan-perempuan

kafir yang tertawan dalam perang antara kaum muslim dengan golongan kafir.

Para perempuan yang menjadi tawanan pasukan muslim ini statusnya sebagai

budak yang dimiliki oleh prajurit yang memenangkan peperangan dengan pihak

kafir tersebut.57) Jadi, budak yang dimaksud dalam ayat ini bukan perbudakan
55)
Thalib, op.cit., hal. 31.
56)
Ibid., hal. 19.
57)
Ibid., hal. 18.
59

akibat penjajahan atau jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat jahiliah

atau para penjajah Barat ketika menjajah Afrika dan Asia. Lagipula, dalam hal

yang demikian pun, persoalan perbudakan seluruhnya adalah persoalan darurat

atau keterpaksaan. Mengawini budak perempuan berarti menjadikan si budak

perempuan itu dan keturunannya sebagai orang yang merdeka dari tuannya,

meskipun ia belum merdeka pada saat perkawinan itu. Namun demikian, sejak

ia melahirkan anak, ia disebut "Ummu Walad" dan tuannya dilarang

menjualnya. Ia menjadi merdeka setelah tuannya meninggal dunia, sedang

anaknya sudah merdeka sejah dilahirkan. 58) Lagipula, meskipun dikatakan

bahwa meraka itu budak, namun para perempuan tersebut tetaplah manusia

dengan kebutuhan-kebutuhan naluriahnya yang harus diperhitungkan, dan tidak

boleh dilupakan oleh peraturan yang memelihara fitnah manusia dan

realitasnya.

D. Ketentuan Hukum Islam Tentang Poligami

Setelah diuraikan diatas mengenai landasan hukum poligami dalam

hukum Islam berikut akan dibahas tentang bagaimana pengalaman ketentuan

hukum Islam tentang poligami tersebut. Kiranya hal ini dapat dijelaskan

melalui dua topik pembahasan yang saling berkaitan satu sama lain ; yaitu

tentang konsep al-Din al-Islami, dan tentang sumber, sifat, dan hakekat

hukum Islam tersebut sendiri, keduanya sebagaimana akan dibahas berikut.

58)
Qutb ( b ) , op. cit., Hal. 123.
60

Konsep al-Din al-Islami

Mengenai konsep al-Din al-Islami ini, dikutip pengertian dan ruang

lingkupnya sebagai berikut ;

"Conceptually, Islam is al-din (the religion). This terminology


is expressed in the Qur'an, such as those in the following two verses : ...
"the religion before God is Islam (submission to His Will) ... " (Ali
Imran : 19). The next verses is : ... "This day have I perfected your
religion for you, completed my favour upon you, and have chosen
for you Islam as your religion ... "(AI-Maidah : 3)

From the two surahs of the Qur'an quoted above it can be


concluded that name of Islam was given by God and that the name
was not created by man.

The word al-din has no an exact synonym in the Indonesian


language. When one uses the term Islam religion, this term must be
understood in the contect of AI-Din Al-Islami which includes two
basic components controlling a relation, the relation between man
and God (hablun minallah, uhudiyah; a vertical relation) and the
relation among men and their environment (hablun min al-nas,
mu'amalah; a horizontal relation) ...

Under such an idea, Islam includes a bidimentional concept : a


spiritually religious and a social aspects, both are based on tauhid
(unity or the oneness of God).

The term AI-Din Al-Islami is conceptually different from religion or


agama (Indonesian). The word agama, derived from the Sanskrit,
concentrates more on the relation between man the Gods, where as the
word religion, as itu is generally understood in the West,
derived from Latin, religion or relegere (to gather or read),
concentrated more on "the bonds of men and their groups in
addition to their Gods "...

An expert of Islam, Khursid Ahmad, proposed his opinion : Islam is


not a religion in the common, distorted meaning of the word,
confining its scope to the private life of man. It is a complete way of
life, catering for all thefields of human existence "...
61

Dengan demikian, karena konsep Din al-Islami yang bersifat

bidimensional dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan karena

hanya Islamlah agama yang diridhoi di sisi Allah SWT bagi manusia,

maka berlakulah segala ketetapan-Nya; termasuk yang mengatur

mengenai poligami sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan

terdahulu. Dan karena itu pula, terhadapnya (lembaga poligami), tidak

dapat tidak, hanya dapat diberlakukan segala ketetapanNya; yaitu yang

tertuang di dalam Al-Qur'an, serta yang tercermin dalam sunnah

Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW.


62

Sumber, Sifat, dan Hakikat Hukum Islam

Islam telah diturunkan dan diridhai oleh Allah SWT sebagai

satu-satunya agama-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, Allah Yang

Maha Bijaksana, melalui Islam telah menetapkan segala panduan dan

hukum ; kesemuanya bagi kemaslahatan dan keselamatan hidup manusia di dunia

dan akhirat. Karenanya, seperti telah dikemukakan di muka, Islam

sebagai al-Din mencakup pula segala aspek kehidupan manusia,

termasuk di dalamnya tentang panduan, ketentuan, dan hukum bagi

praktek poligami.

Mengenai sumber hukum Islam, Allah SWT telah menetapkan di

dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai

berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah


Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (AI-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya ". (Q.S An-Nlisaa'14 : 59)

Begitu jelas ketetapan Allah SWT ini, sehingga di dalam

menghadapi segala perkara, umat Islam harus merujuk, melandaskan,

dan mengembalikan segala sesuatunya sesuai dengan AI-Qur’an sebagai

sumber hukum Islam yang pertama. Apabila di dalam Al-Qur'an

temyata tidak jelas-jelas diatur tentang masalah yang dimaksudkan,

maka ia harus merujuk, melandaskan, dan mengembalikan segala


63

sesuatunya kepada sunnah Rasul sebagai sumber hukum Islam yang

kedua. Dan bila hal itupun tidak diatur di dalam sumber hukum Islam yang

kedua tersebut, maka hendaklah ia merujuk kepada ijtihad pemimpun

Islam di lingkungannya berada sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.

Dengan demikian, terhadap ketentuan Allah SWT dalam Al-

Qur'an surat An-Nisaa' ayat 59 tersebut kiranya dapat ditegaskan

beberapa hal berikut :

Pertama, adalah kewajiban setiap umat Islam untuk selalu kembali

kepada ketetapan-ketetapan Allah SWT, yaitu yang pertama dan terutama

kepada ketetapan-Nya didalam Al-Qur'an, sebagaimana telah ditetapkan

oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih

berbunyi sebagai berikut :"... Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat

Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya". (Q,S. Ali 'Imran

/3: 19). Sungguh pedih hukuman yang telah ditetapkan Allah SWT bagi

orang-orang yang mengingkari ketentuan-ketentuan-Nya dalam Al-

Qur’an. Dengan demikian, sebagaimana telah ditetapkan dasar

hukumnya dalam surat An-Nisaa' ayat 3, dan ketentuan-ketentuan lain

yang berkenaan dengannya, sebagaimana telah ditetapkan oleh-Nya dalam

surat An-Nisaa' ayat 127 dan ayat 129, maka setiap umat Islam harus

berpedoman dan mengembalikan segala ketentuan tentang poligami


64

kepada ketetapan-ketetapan Allah SWT tersebut ; ketetapan-ketetapan

mana telah dibahas dan diuraikan di muka.

Kedua, bahwa sunnah Nabi yang suci adalah kunci pengertian

(kebangkitan) Islam. Sunnah adalah kerangka besi dari rumah Islam ;

kalau kerangka itu dilepaskan dari suatu bangunan, rubuhlah gedung itu

seperti rumah-rumah kartu. 59) Teladan yang telah diberikan oleh

Rasulullah SAW kepada manusia dalam segala perkataan dan

tindakannya adalah gambaran yang hidup dan keterangan dari Al--

Qur'an dan tidak mungkin kita dapat membuat keadilan yang lebih

besar terhadap Kitab Suci itu kecuali dengan mengikuti beliau yang

menjadi alat wahyu-Nya, karena hidup seorang muslim harus diarahkan

atas kerja sama yang penuh dan tanpa memisahkan antara wujud rohani

dan jasadi. Demikianlah Rasulullah SAW merangkulnya sebagai satu

keseluruhan terpadu, satu totalitas segala manifestasi moral dan praktek,

individual dan sosial. Inilah arti yang paling dalam dari pada sunnah

Nabi yang suci. Allah SWT telah menetapkan dalam Al-Qur'an yang

terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"... .Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.


Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah
..."(Q.S. Al-Hasyr / 59 : 7)

Lagipula Rasulullah SAW mengatakan :

Muhammad Asad, Islam di Samping Jalan (Islam at The Crossroads), cet. 3., diterjemahkan
59)

oleh Muhammad Hashem, (Bandung Pustaka, 1983), hal. 104.


65

"Orang Yahudi telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh


satu firqah, orang Kristen menjadi tujuh puluh dua firqah,
dan kaum muslimin akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
firqah". (Sunan Abu Dawud, Jami'at-Tirmidzi, Sunan ad-
Darimi, Musnad Ibu Hambal)
Dalam hubungan ini dapat disebut bahwa bilangan "tujuh
puluh" sering berarti banyak dan tidak mesti menunjukkan
angka hitung yang sesungguhnya. Dengan angka itu terang
Nabi bermaksud mengatakan di antara kaum muslimin akan
sangat banyak, bahkan lebih dari orang-orang Yahudi dan
Kristen, dan beliau menambahkan :"Mereka semua masuk
neraka, kecuali satu". Ketika para sahabatnya bertanya satu
yang mana yang terpimpin ke jalan benar itu, Nabi menjadab
: "Yaitu yang didasarkan pada sunnahku dan sunnah para
sahabatku".60)

Ditegaskan pula dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT dalam Al-

Qur'an, yang karenanya membuat pokok ini menjadi jelas. Adapun

terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak


beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ".
(Q.S. An-Nisaa' /4:65)
"Katakanlah : "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu ". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah : "Ta'atilah Allah dan Rasulnya ; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang kafir". (Q.S. Ali Imran l 3 : 31-32)

Oleh karena itu, sunnah Nabi yang suci, sesudah Al-Qur’an,

adalah sumber kedua dari hukum Islam tentang perilaku masyarakat

dan individu. Dengan demikian, dalam praktek poligami pun, umat

60)
Ibid
66

Islam harus kembali merujuk kembali kepada segala hikmah poligami

Rasulullah SAW. sunnah harus dipandangan sebagai satu-satunya

keterangan yang kuat dari agama dan hukum Allah SWT dalam Al -

Qur'an, satu-satunya alat untuk menjauhkan perbedaan-perbedaan

pendapat mengenai tafsirannya dan penerapannya guna kepentingan

praktis. Jalan pikiran kita haruslah mengatakan bahwa tidak mungkin ada

manusia yang pemahamannya lebih baik tentang agama dan hukum Allah

SWT dalam Al-Qur'an daripada melalui orang pada siapa firman itu

diwahyukan untuk umat manusia, sebagaimana telah ditetapkan Allah

SWT di dalam Al-Qur’an, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi

sebagai berikut :"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (AlQur'an)

menurut hawa nafsunya". (Q.S. an Najmi 53 : 3). Karena itu, slogan yang

sering terdengar di zaman sekarang, yaitu Mari kembali kepada Al-

Qur'an, tetapi jangan kita menjadi pengikut membudak pada sunnah", hanya

menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam ; bagaikan orang yang

hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak mempergunakan kunci

yang sah, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu istana itu.

Ketiga, tentang merujuk kepada ijtihad ulil armri, bila ternyata Al-

Qur'an dan sunnah Nabi yang suci, atau terdapat ketidakjelasan tentang

ketentuan akan sesuatu hal, atau ternyata belum mengatur sesuatu hal

tersebut merujuk kepada ijtihad ulil amri berarti merujuk kepada ijtihad
67

para pemimpin (penguasa) Islam (muslim), yang senantiasa berhukum

dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Allah SWT telah

menetapkan dalam AI-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih

berbunyi sebagai berikut :

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu'min dan tidak (pula)


bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata". (Q.S. Al-Ahzab/33 : 36)

"Dan kami teiah turunkan kepadamu AI-Qur'an dengan


membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu ; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap
umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang, Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kmu
dijadikan-Nya satu umat (saja) tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-
lombalah berbuat kehajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu, Jan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nfsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagiaan apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebagahiaan dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-
orang yang fasik". (Q.S. al-Maidah / 5: 48-49)

"Dan mereka berkata : "Kami telah beriman kepada Allah


dan rasul, dan kami mentaati (keduanya). " Kemudian
sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali meraka
68

itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka


dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum
(mengadili) diantara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka
menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk
(kemaslahatan) mereka, meraka datang kepada rasul
dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena)
dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena takut kalau-
kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka?
Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan
"Kami mendengar, dan kami patuh ". Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung". (Q. S. an-Nuur / 24: 47-5 1)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan ulii amri di sini adalah

penguasa muslim yang senantiasa melandaskan keputusannya kepada

ketetapan-ketetapan Allah SWT. Kiranya sangat logis kalimat ini,

karena seorang penguasa non muslim maupun seorang penguasa muslim

yang memenntah tidak secara konsisten terhadap segala ketetapan Allah

SWT tidak akan senantiasa kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah Nabi

yang suci, melainkan mereka Au lebih setia kepada hukum-hukum buatan

manusia semata.

Kita harus membedakan antara dua bentuk penguasa. Penguasa

yang komit dengan Islam dan menjadikannya sebagai sistem dan tatanan dasar

kehidupan. Dia melaksanakan ketentuan Islam dan menjadikannya sebagai

sumber utama. Kemudian dia menyimpang dan melakukan kesalahan

dalam berbagai hal sampingan, karena lemah iman atau mengikuti hawa

nafsu. Penguasa yang menolak berhukum dengan apa yang diturunkan


69

Allah SWT tidak tahu kepentingan dan kemaslahatan hamba-Nya, atau

Allah membuat aturan dan ketentuan berlawanan dengan kepentingan dan

kemaslahatan hamba tersebut. Sedangkan Allah sendiri berfirman :

"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang


kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halis lagi
Maha Mengetahui ". (al-Mulk : 14)".61)

Demikianlah telah diuraikan di muka mengenai sumber hukum

Islam. Berikut akan diuraikan pula mengenai sifat dan hakikat Islam.

Noel J. Coulson berasumsi bahwa :"Hukum Islam mendahului dan

membentuk masyarakat".62)

"Asumsi Noel J. Coulson mencerminkan suatu miskonsepsi


terhadap hukum Islam…….
Asumsi Coulson tidak mencerminkan fakta sejarah. Karena
dalam Sejarah Islam ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke
Madinah dan dipilih sebagai Kepala Negara madinah,
Masyarakat Islam yang terdiri dari kaum Ansar dan
Muhajirin secara faktual sudah terbentuk.
Kemudian proses pembentukan hukum Islam terjadi secara
evolusi bersama proses kristalisasi ummah atau komunitas
Islam dalam Negara Madinah.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan hukum
diturunkan secara bertahap untuk kemaslahatan individu dan
masyarakat Islam. ... didasarkan pada prinsip amar ma'ruf
dan nahi munkar yaitu "Perintah melaksanakan perbuatan
baik dan mencegah perbuatan buruk" (Q.S. Ali Imran / 3: 110
dan 114)".63)

Adapun sifat dari hukum Islam itu sendiri meliputi :

61)
Yusur Qardhawy, Fiqih Negara, cet.2., (Jakarta : Robbani Press, November 1999), hal. 132.
62)
Azhary (a), op.cit., hal. 45
63)
Ibid., hal. 45-47
70

Pertama, hukum Islam bersifat bidimensional. Tentang hal ini

dikutip sebagai berikut :

"Proses perkembangan hukum Islam pada masa Rasulullah


itu selalu didasari pada dua dimensi yaitu dimensi duniawi
yaitu untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia selama ia
hidup di dunia ini dan dimensi ukhrawi yang merupakan tujuan
terakhir dari perjalanan hidup manusia. ... sekalipun ia
menyangkut tentang status individu. ...
Sifat bidimensional yang dimiliki hukum Islam itu,
berhubungan pula dengan sifatnya yang luas atau
komprehensif. Hukum Islam tidak mengatur hanya satu sektor
kehidupan saja, tetapi ia mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia".64)

Dengan demikian, Islam tidak mengajak kepada life denial tetapi

kepada life fulfilment. Islam tidak percaya kepada sistem kepertapaan. Hal

ini ditegaskan di dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih

berbunyi sebagai berikut :

".... "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan


kebaikan di akhirut dan perliharalah kumi dari siksa neraka ".
(Q.S. Al-Baqarah : 201)
"Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hambahamba-Nya
(siapa pulakan yang mengharamkan) rezki yang haik? "
Katakanlah :
"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman
dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari
kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui ". (Q.S. al A'raaf / 7: 32)

"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk


menunaikan sembahyang pada hari Jum'at, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kmu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah

64)
Ibid
71

kamu di muka bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah


Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". (Q.S. al-
Jumu'ah / 62 : 9-10)

"Dan kami jadikan malam sebagai pakaian, dan kami


jadikan siang untuk mencari penghidupan ". (Q. S
An-Naba'/78 : 10-11)

Tentang hal ini pun telah diperjelas oleh Rasulullah SAW :

"Rasulullah SAW bersabda :


"Seorang muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat
dan dapat bersabar atas musibah yang datang kepadanya
adalah lebih baik daripada seorang yang menjauhi masyarakat
dan tidak dapat bersabar atas musibah yang menimpanya".
Dia juga mengatakan :

"Berpuasalah kamu dan berbukalah. Shalatlah di malam hari


dan tidwlah, karena tubuhmu pun menjadi hak atasmu.
Matamu mempunyai hak atasmu. Isterimu punya hak
terhadapmu. Juga tamu yang mengunjungimu, dia punya hak atas
dirimu". Pada kesempatan lain Rasulullah mengatakan :

“Tiga hal yang termasuk dipenntahkan kepada orang yang

beriman:

1. Menolong orang lain, walupun dia sendiri sedang


kesulitan ekonomi.
2. Berdoa dengan khusyu' untuk perdamaian umat manusia,
dan
3. Berlaku adil terhadap diri sendiri".65)

Jelaslah bahwa Islam bersifat bidimensional ; mencakup hubungan

vertikal dan horizontal dalam segala aspeknya.

65)
Khurshid Ahmad, "Islam : Prinsip-Prinsip Dasar dan Karakteristik-Karakteristiknya" dalam
Pesan Islam (Islam: its Meaning and Massage), cet.2., diterjemahkan oleh Achsin Mohamad, (Bandung
: Pustaka, 1995), hal .23,
72

Kedua, hukum Islam bersifat adil, sebagaimana telah ditetapkan

oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya berbunyi sebagai

berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi


orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu
lebih dekal kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan". (Q.S. al-Maidah,'S : 8)

"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal ". (Q.S. al-Hujuraat 49: 13)

Dengan demikian, sebagaimana dikutip berikut :

"... adil memiliki hubungan simbiosis (sangat erat sekali)


dengan sifat bidimensional itu. Dalam hukum Islam keadilan
bukan merupakan tujuan, tetapi ia adalah sifat yang sudah
melekat sejak kaidah-kaidah dalam yari'ah ditetaapkan.
Keadilan dapat pula disebut sebagai fitrah hukum Islam. Dalam
Al-Qur'an Allah sangat memuji sifat adil, karena sifat adil
lebih dekat kepada takwa. Sedangkan takwa merupakan suatu
tolak ukur bagi manusia yang ingin mencapai derajat termulia
dalam pandangan Allah".66)

Ketiga, hukum Islam berifat individualistik dan kemasyarakatan,

yang diikat oleh nilai-nilai transendetal. 67) Artinya, Islam memberikan

keseimbangan antara individu manusia dan menganggap setiap orang

66)
Azhary, (a), op.cit., hal. 48.
67)
Ibid., hal. 49
73

bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah SWT. Islam menjamin

hak-hak asasi individu, dan menjadikan perkembangan yang wajar dari

kepribadian manusia sebagai salah satu tujuan-tujuan kebajikan

pendidikannya. Islam tidak berpendapat bahwa manusia harus kehilangan

invidualitasnya dalam masyarakat atau negara. Hal ini ditetapkan-Nya

dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai

berikut :

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain


apa yang telah diusahakannya". (Q. S. An-Najm/ 53 : 37)

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah


disebabkan oleh perbuatan tangnmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagai besar (dari kesalahan-kesalahanmu) ".
(Q.S. Asy-Syuura / 42:30)

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. ... " (Q.S. Al-Baqarah/ 2-.286)

"Dan apabila mereka mendangar perkataan yang tidak


bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dna mereka
berkata : "Bagi kami a m a l - a m a l kami dan bagimu amal-
amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orangorang jahil ". (Q. S. AI-Qashash/ 28 : 55)

"Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum


sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. ... " (Q.S. Ar-Ra'd/ 13 : 11)

Di lain pihak, Islam juga membangkitkan rasa tanggung jawab

sosial dalam diri manusia, mengatur kehidupan manusia dalam


74

bermasyarakat dan bernegara, menyerukan kepada indvidu-individu

untuk memberi andil dalam membina kesejahteraan masyarakat.

Keempat, hukum Islam bersifat komprehensif, memberi pedoman

dan mengajarkan cara-cara hidup yang mencakup semua hal, sebagaimana

telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an yang terjemahannya

kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan


mereka di bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, merryuruh berbuat yang ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan. " (Q. S. al-Hajj/ 22 : 41)

Tentang hal ini pun telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW :

"Setiap kamu adalah gembala atau pemelihara, dan akan


ditanya tentang gembalanya. Kepada negara akan ditanya
tentang nasib rakyatnya. Setiap orang adalah gembala bagi
keluarganya dan akan ditanya tentang seluruh anggota
keluarganya. Setiap wanita adalah gembala di rumah
suaminya dan akan ditanya tentang seluruh anggota
keluarganya. Dan setiap pelayan adalah gembala bagi
tuannya dan akan ditanya tentang harta benda tuannya".68)

Tidak hanya itu, Islam pun telah memberikan panduan bagaimana

manusia harus menjalani kehidupannya di segala aspek, sebagaimana

ditetapkan dalam Al-Qur’an, yang terjemahannya kurang lebih berbunyi

sebagai berikut :

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebihan". (Q. S. al-A'raaf/ 7. : 31)
68)
Ahmad, op.cit., hal. 27
75

Berkenaan dengan hal ini, dikutip pula sebagai berikut

"Tentang keluasan hukum Islam H.M Rayidi


membagikannya ke dalam dua bagian besar yaitu (1)
ibadat, dan (2) urusan kemasyarakatan. Kategori pertama
mencakup (1) iman; (2) shaiat ; (3) zakat ; (4) puasa ; dan (5)
haji. Kategori kedua meliputi :(1) muamalat ; (2) munakahat ;
(3) wiratsah ; (4) ukubat ; (5) mukhasamat ; (siyar) ; dan (7) al-
ahkam al-sultaniyah.
Dalam struktur hukum kontemporer muamalat, munakahat;
dan wirasah, termasuk dalam bidang hukum perdata. Ukubat
termasuk dalam bidang hukum pidana. Mukhasamat berkaitan
dengan hukum acara. Siyar bertalian dengan aspek-aspek
hukum internasional, dan al-ahkam al-sultaniyah adalah
mengenai hukum tata negara, hukum adminisirasi negara dna
hukum pajak",69)

Kelima, hukum Islam bersifat dinamis. Tentang hal ini dikutip

sebagai berikut :

"Ia selalu bergerak secara dinamis dan dinamika hukum


Islam terletak pada sumbernya yang ketiga yaitu al-ra'yu
(akal pikiran). ... Karena ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an
diperkirakan hanya sekitar 3 % yang mengatur aspek-aspek
kemasyarakatan berarti yang selebihnya demikian luas porsinya
diserahkan kepada manusia untuk memikirkannya melalui
ijtihad.70)

Sebagaimana telah dirumuskan oleh Roger Garaudy :

"Syari'ah bukan code akan tetapi mode (cara) hidup. Ia


bukannya suatu code, artinya suatu perundang-undangan
konstitusional atau hukum pidana, diambil dari beberapa ayat
yang terpisah dari konteksnya, dan dapat diberlakukan secara
harifiyah (artinya : di luar keseluruhan amanat yang
memberikan arti kepadanya), tanpa memperhitungkan zaman
dan masyarakat yang bersangkutan".71)

69)
Azhary, (a), op.cit.
70)
Ibid, hal. 5
71)
Ibid., hal. 51.
76

Berkenaan dengan hai ini, kiranya harus diingat bahwa

permanence dan change selalu terdapat bersama-sma dalam masyarakat

dan kebudayaan manusia. Ideologi dan sistem-sistem budaya yang

beraneka ragam telah membuat kesalahan dengan terlalu condong kepada

salah satu dari keduanya. Terlalu banyak penekanan pada permanence

menghasilkan sistem yang kaku dan mematikan keluwesan dan

progresivitasnya; sedangkan tidak adanya nilai-nilai yang permanence dan

unsur-unsur yang tetap mengakibatkan relativisme moral, ketiadaan

bentuk, dan anarki. Apa yang diperlukan adalah keseimbangan antara

keduanya ; suatu sistem yang sekaligus memenuhi kebutuhan akan

permanence dan change.

"Seorang hakim Amerika, Justice Cardozo, dengan tepat


telah mengatakan bahwa : "Kebutuhan yang paling besar di
masa kini adalah suatu filsafat yang bisa menjadi perantara
untuk meredakan pertentangan antara tuntutan-tuntutan
stabilitas dan kemajuan, dan memberikan prinsip bagi
pertumbuhannya".72)

Islam menyuguhkan suatu ideologi yang memenuhi tuntutan akan

stabilitas maupun perubahan. Hidup tidaklah demikian kaku hingga tidak

bisa menerima perubahan walaupun hanya sekedar detail-detailnya saja,

tapi tidak pula dernikian luwes dan cair hingga sifat sifatnya yang khas

tidak memiliki watak yang tetap. Sebagai ilustrasi yaitu bahwa secara

fisiologis, setiap jaringan tubuh manusia mengalami beberapa kali

72)
Ahmad, op.cit., hal. 32.
77

perubahan selama seseorang hidup, tetapi orang yang bersangkutan tetap

sama ; tidak berubah ; tetap si A, misalkan. Dari sini dapat disimpulkan

bahwa masalah-masalah pokok kehidupan tetaplah sama di setiap masa

dan setiap tempat, tetapi cara-cara untuk menyelesaikan masalah-

masalah tersebut serta teknik-teknik yang digunakan untuk

menanganinya terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Islam

menyuguhkan suatu perpesktif terhadap permaslahan manusia, dan

menanganinya dengan cara yang realitas. Untuk kepentingan yang

demikian Allah SWT telah memberikan pedoman abadi yang terdapat di

dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunnah Nabi yang suci. Namun

demikian, pedoman-pedoman tersebut diturunkan Allah SWT berupa garis

besarnya saja. Dalam hal ini ijtihad memegang peranan penting. Melaiui

ijtihad, masyarakat disetiap zaman dapat berusaha semaksimal mungkin

melaksanakan dan mengaplikasikan pedoman Allah SWT dalam

menghadapi berbagai permasalahannya, usaha mana tidak lain

bertujuan untuk lebih dekat kepada agama dan hukum-Nya, karena

sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan dalam Al-Qur'an, yang

terjemahannya kurang lebih berbunyi sebagai berikut :

"... Dia tetah memerintahkan agar kamu tidak menyembah


selain dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui ". (Q.S. Yusuf/ 9 : 40).

Berangkat dari sifat hukum Islam yang dinamis tersebut, maka

disimpulkan sifat hukum Islam yang keenam, yaitu bahwa hukum Islam
78

berpandangan humanisme dan berorientasi universal. Telah dikemukakan

terdahulu bahwa Al-Qur'an dan sunnah Nabi yang suci berisi pedoman

abadi dari Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta. Hal ini berarti bahwa

pedoman-pedoman yang telah diberikan-Nya tidak terikat oleh batasan-

batasan ruang dan waktu, dan dengan demikian prinsip-prinsip tingkat

laku individu dan sosial yang diwahyukan-Nya adalah berdasarkan

pokok tersebut adalah bersifat tetap, sedangkan metoda aplikasinya dapat

berubah sesuai dengan kebutuhan khusus setiap zaman. ltuiah sebabnya

mengapa Islam tetap segar dan modern di setiap ruang di sepanjang zaman.

Lagipula, pesan Islam ditujukan kepada seluruh umat manusia, karena

Tuhan dalam Islam adalah Tuhan semesta alam, sebagaimana telah

ditetapkan-Nya dalam Al-Qur'an, yang terjemahannya kurang lebih

berbunyi sebagai berikut ;

"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam". (Q.S. al-Fatihah /

1: 2)

"Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (AI-


Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh adam" (Q.S. al-Furqaan/ 25 : 1)

"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk


(menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Q.S. al-Anbiyaa' / 21 :
107)

Demikianlah, dalam Islam seluruh manusia adalah sama. Islam

berbicara kepada hati nurani manusia dan menyingkirkan semua batas--

batas palsu berupa ras, status, ataupun kekayaan. Tanpa batasan geografis
79

yang menjadikan kita seorang nasionalis atau rasialis sekalipun yang

dipenuhi oleh kecenderungan fanatisme kelompok, tanpa batasan

terminologi akan aliran-aliran; itulah hakikat umat; suatu sebutan yang

sama sekali bukan sebagai hasil adopsi nama seorang manusiapun di alam

semesta ini; suatu kumpulan yang disatukan bukan oleh ikatan kesatuan

tempat, darah, atau bahasa, karena hal-hal itu hanya merupakan ikatan

sintetik, sementara, dan sekunder), melainkan merupakan suatu

kumpulan yang diikuti oleh kesatuan akidah, pemikiran, dan emosi.73)

Sebagai penutup pembahasan tentang sumber, sifat, dan hakikat

hukum Islam ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan

poligami. Pertama, bahwa Allah SWT telah menetapkan dasar hukum bagi

manusia tentang poligami dalam Al-Qur'an, dan bahwa Rasulullah SAW

yang menjadi penerima wahyu-Nya itu telah memberikan teladan hikmah

dan praktek poligami yang diridhoi di sisi-Nya, dan apabila sekiranya

manusia masih tidak mampu menguak ketetapan Allah SWT yang

demikian, hendaklah la merujuk kepada ijtihad para pemimpin Islam

(muslim) yang senantiasa konsisten dan mempunyai komitmen terhadap

Islam dan segala ketetapan-Nya. Hal ini berarti bahwa dalam Islam,

segala praktek poligami tidak bisa tidak, harus berlandaskan pada

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, karena sesungguhnya Allah

73)
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, cet. 1., (Jakarta : Gema Insani. Februari
2001), hal. 309 - 312)
80

SWT adalah Yang Maha Bijaksana. Kedua, bahwa segala ketetapan-Nya

tentang pologami bertujuan semata-mata demi kemaslahatan dan

keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat ; mengandung nilai-

nilai keadilan, yang karenanya menuntut, melindungi, dan membela rasa

dan sikap keadilan dari dan bagi manusia ; memiliki validitas baik bagi

perorangan maupun masyarakat ; merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari segala ketetapan-Nya; merupakan suatu perspektif

terhadap suatu permasalahan manusia dan sekaligus menanganinya

dengan cara realitas; serta merupakan pedoman abadi yang berlaku

bagi seluruh umat, yang disatukan bukan oleh ikatan kesatuan tempat,

darah, atau bahasa, melainkan yang disatukan oleh kesatuan akidah,

pemikiran, dan emosi; semuanya ini karena sesungguhnya hanya Allah-lah

Yang Maha Penyayang, dan sesungguhnya apa yang baik di mata

manusia belum tentu baik dimata Allah SWT, sungguh Allah Maha

mengetahui, sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an.


BAB IV

ANALISIS MASALAH POLIGAMI


DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Akibat Hukum Poligami Terhadap Kedudukan Anak, Harta Bersama


dan Warisan

Dimasyarakat banyak sekali suatu perkawinan yang dilakukan

menurut agama masing-masing serta kepercayaan; akan tetapi dicatatkan pada

kantor pencatatan perkawinan. Dan perkawinan seperti ini disebut perkawinan

dibawah tangan.74)

Pada umumnya perkawinan yang dilakukan dibawah tangan adalah jenis

perkawinan poligami. Sebagaimana Islam membuka peluang untuk berpoligami.

Perkawinan tersebut dilakukan secara gelap entah karena bagi pegawai negeri

takut di pecat berdasarkan PP No : 10/1983 maupun tak mungkin diizinkan isteri

di rumah.75)

Padahal berdasarkan qias Al-Qur'an surat Al-Baqarah : 282 dan tafsiran


sistematis dari surat An-Nisaa : 21 dapat disimpulkan bahwa perkawinan
itu disamping mahar, wali, 2 orang saksi, ijab kabul dan walimah
tersebut harus pula dituliskan, dicatatkan dengan Katibun bil 'Adli
(Khatab atau penulis) yang adil diantara kamu. Q.IV : 21 mengatur
perkawinan-perkawinan itu adalah kuat dan kokoh (mitsaaghan
ghaliizhaan). Sedangkan Q.II : 282 mengatur bilamana kamu
bermuamalah (perjanjian) dagang, jual-beli, utang-piutang dalam waktu
tertentu (lama) maka hendaklah kamu hadirkan 2 orang saksi laki-laki dan
tuliskanlah dengan penulis yang adil76)

74)
Nawangsih, Op. cit., hal. 8
75)
Emha Ainun Nadjib, Kawin Gelap, Poligami, Negara, Majalah Matra No. 95, Juni, 1994.
76)
M. Idris Ramulyo, Apakah Talak dan Nikah Yang Dilakukan Dibawah Tangan Sah menuru
Hukum Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 tahun. ke-XVI, Juni, 1986, hal. 258.

81
82

Jadi perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) seperti juga

perdagangan dan hutang-piutang adalah muamalah atau akad yang perlu untuk

dicatatkan. Sehingga poligami yang dilakukan dibawah tangan tersebut

mempunyai akibat-akibat hukum terhadap :

1. Kedudukan Anak

Perkawinan poligami dibawah tangan ini tidak menimbulkan akibat

hukum, sebab anak yang lahir belum dianggap/diakui oleh negara sebagai

anak yang sah dari ayahnya yang menumbuhkannya. Anak tersebut

hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan ahli waris

dari ibu kandungnya.77)

Anak yang dilahirkan dari keluarga yang melakukan perkawinan

dibawah tangan tidak dapat dibuatkan akte kelahirannya, karena

orangtuanya tidak mempunyai surat nikah. Karena itu tidak mempunyai

kepastian hukum terhadap anak tersebut dan akan menimbulkan kerugian-

kerugian, misalnya dalam hal kewarisan dan masalah-masalah lain yang

berhubungan dengan hak-hak seorang anak, seperti hak untuk mendapat

tunjangan anak, dan lain-lain.

Sedangkan apabila perkawinan poligami yang dilakukan oleh seorang

suami terhadap wanita lain adalah sah baik menurut hukum Islam maupun

perundang-undangan yang berlaku, maka akan berakibat pula terhadap anak-

77)
Nawangsih., op. cit.
83

anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Anak tersebut menjadi anak

kandung sah.

Orangtua mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

Kekuasaan yang diberikan kepada orangtua bukan untuk kepentingan bapak

atau ibunya, tetapi untuk kepentingan si anak.

Orangtua mempunyai kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak-

anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan dan menyediakan

sesuatu yang menjadikan kebaikannya, serta menjaganya dari sesuatu yang

menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar

mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.78)

Ayah berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam

beribadat dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai ia dewasa.

Setelah anak itu dewasa, anak harus dapat berdiri sendiri sekiranya

anak masih sekolah, maka ia dibiayai oleh ayahnya sampai selesai

pelajarannya.79)

Orangtua juga berhak untuk mewakili anak mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Kewajiban ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajibannya ini berlaku

terus-menerus sekalipun kekuasaan orangtua telah dicabut, mereka masih

Sayyid Sabiq, Op.Cit, hal. 160.


78)

Fuad M. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri,.
79)

Anak Angkat dan Anak Zinah, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1985), hal. 46.
84

berkewajiban memberikan biaya pemeliharaan anak sampai anak itu dapat

berdiri sendiri.80)

Sehingga hak dan kewajiban orangtua terhadap anak dapat

diperinci meliputi :

1. Kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak-anak dm

isterinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama.

2. Orangtua berhak mewarisi harta mereka terhadap anak-anak mereka.

3. Bapak menjadi wali nikah lagi bagi anak perempuannya.

4. Bila diantara orangtua meninggal salah satunya maka yang lainnya

berhak menjadi pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.

Sedangkan dalam UU No. 1/1974 hak dan kewajiban orangtua

terhadap anak diatur dalam :

Pasal 45

1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.

Pasa146

1. Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

80)
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaanniya Disertai Yurisprudensi, (Jakarta : pradnya Paramitha, 1991). hal. 39.
85

2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya,

orangtua mereka bila mereka memerlukan bantuannya.

Dengan kekuasaannya orangtua dapat menghukum atau

mengkoreksi anak jika ia berkelakuan tidak baik bahkan orangtua berhak

untuk membatasi kebebasan anak untuk keluar rumah pada waktu tertentu.

Hubungan darah yang sangat erat terjadi diantara ibu, bapak dan

anak. Hidup mereka oleh Islam diatur dengan sangat mendalam di dalam

segala segi. Allah melarang sang anak durhaka terhadap ibu-bapaknya

hingga tidak dibolehkan ia mengeluarkan kata-kata gelisah atau tidak

senang terhadap mereka.81)

Hubungan yang demikian dan cinta yang melimpah-limpah

menimbulkan tanggung jawab antara mereka dalam segala segi kehidupan

dan menimbulkan kekeluargaan yang sempurna dalam arti yang diinginkan

oleh Allah untuk makhluk-Nya.

2. Harta Bersama

Pada dasarnya dalam hukum Islam harta suami-isteri itu terpisah.

Sebagaimana diatur dalam pasal8b ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Dan

tidak ada percampuran harta suami dan isteri karena perkawinan, sedangkan

ayat 2 nya mengatakan harta isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga

harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Sebagaimana

diatur dalam Q. IV : 32 :".... Bagi laki-laki ada bagian daripada apa yang

81)
Fuad, op. cit., hal. 50.
86

mereka usahakan. Dan bagi wanita (pun) ada bagi daripada yang mereka

usahakan ".

Jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau

membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya tanpa dapat diganggu oleh

pihak lain. Menentukan status pemilikan harta selama hubungan perkawinan

adalah penting untuk memperoleh kejelasan mengenai status harta itu

apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak.

Bagi pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan dibawah

tangan, ketentuan hukum Islam itu tentu dapat berlaku sepanjang para pihak

bisa hidup dengan rukun dan damai tetapi dalam hal terjadi

ketidakcocokan para pihak dapat mengajukan perceraian ke pengadilan dan

juga tidak dapat mengajukan mengenai pembagian harta bersama. Sehingga

dalam hal ini isteri memperboleh kerugian dimana pelaksanaan perkawinan

dibawah tangan adalah berakibat tidak adanya surat nikah bagi para pihak

yang terlibat dalam perkawinan tersebut. Tidak adanya kepastian hukum

akan menimbulkan akibat-akibat yang sangat merugikan akan

menimbulkan akibat-akibat yang sangat merugikan bagi keluarga yang

melangsungkan perkawinan dibawah tangan.

Sedangkan apabila perkawinan poligami tersebut dilakukan secara sah

menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

maka akan berakibat terjadinya pembagian harta bersama, jika perkawinan

tersebut terputus baik karena perceraian maupun kematian.


87

Mengenai harta perkawinan diatur dalam Pasal 35 UU No :

1/1974 yaitu :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari maisng-masing suami-isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Ditinjau dari ketentuan pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

harta kekayaan dalam perkawinan terdiri dari :

1. Harta bawaan yaitu : harta yang dimiliki oleh masing-masing suami

atau isteri sebelum adanya perkawinan baik yang diperoleh karena hasil

usaha maupun yang bukan hasil usaha seperti hibah, warisan atau

wasiat tetap dikuasai oleh masing-masing.

2. Harta yang diperoleh selama berada dalam perkawinan bukan hasil usaha

mereka bersama, maupun sendiri-sendiri, tetapi diperoleh karena

hibah, warisan ataupun wasiat tetap dikuasai oleh masing-masing.

3. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh setelah mereka berada

dalam hubungan perkawinan baik atas hasil usaha masing-masing

maupun hasil mereka berdua.

Pada dasarnya menurut hukum Islam harta suami dan harta isteri

adalah terpisah. Hal ini diatur dalam Q.S. IV : 32 :"... bagi orang laki-laki ada

bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada

bagian dariapa yang mereka usahakan ... " dan Q.S. IV : 29 "Hai orang-
88

orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang bathil ... ".

Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atas harta

kekayaan suami-isteri baik harta bawaan masing-masing maupun harta

kekayaan yang diperoleh selama ikatan perkawinan baik yang berasal dari

usaha masing-masing atau usaha bersama, maupun harta yang diperoleh

bukan hasil usaha sendiri.82)

Dalam perkawinan poligami, apabila perkawinan putus karena suami

meninggal dunia akan timbul persoalan bagaimana cara pembagian harta

bersama antara suami dengan isteri-isterinya. Untuk memecahkan masalah

tersebut ada 3 prinsip pokok yang melekat pada harta bersama yang dapat

dijadikan pedoman yaitu :83)

1. Dalam perkawinan poligami akan terbentuk beberapa harta bersama

sebanyak isteri yang dikawini. Prinsip ini didasarkan pada ketentuan

Pasal 94 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 65 ayat 1

huruf b dan c UU No. I / 1974.

2. Terbentuknya harta bersama terhitung sejak tanggal perkawinan masing-

masing. prinsip ini didasarkan pada ketentuan Pasal 94 ayat 2

Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemilikan harta

bersama dari perkawinan. Seorang suami yang mempunyai isteri

82)
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Islam Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta : UI Press), hal. 84.
83)
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka
Kartini, 1989), hal. 313.
89

lebih dari seorang dihitung pada saat berlangsungnya akad

perkawinan dengan isteri yang kedua, ketiga atau keempat. Ketentuan

ini sejalan dengan Pasal 65 ayat l bagian c UU No. 1/1974 bahwa

seluruh isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi

sejak perkawinan masing-masing.

3. Masing-masing harta bersama terpisah dan berdiri sendiri. Prinsip ini

didasarkan pada ketentuan Pasal 94 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam

bahwa harta perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih

dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. hal yang

sama ditentukan dalam Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No : 1/1974 yang

menyatakan bahwa isteri yang kedua, dan seterusnya tidak mempunyai

hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri

kedua atau berikutnya itu terjadi.

4. Itulah ke-3 prinsip yang ditentukan oleh Kompilasi Hukum Islam dan UU

No : 1/1974 untuk memecahkan persoalan mengenai pembagian harta

bersama dalam hal poligami.

Pasal 37 W No : 1/1974 menentukan jika perkawinan putus karena

perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing dimana

ditegaskan dalam penjelasan Pasal 37 yaitu hukum agama, hukum adat dan

hukum lainnya. dan berpedoman pada ketentuan pasal 37 serta penjelasaanya,

kita menunjuk pada ketentuan yang diatur oleh hukum Islam. Baik dalam

Al-Qur'an maupun hadits tidak ada suatu ketentuan yang mengatur


90

masalah pembagi harta bersama. Oleh karena itu sesuai dengan petunjuk

dalam Q.IV : 59 jika suatu masalah tidak dapat diselesaikan dengan

berpedoman pada AI-Qur'an dan hadits, maka penyelesaiannya berpedoman

pada hasil ijtihad para ulil amri (orang yang mempunyai kekuasaan/penguasa

atau pembina hukum).

Menurut Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam : "Apabila

terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang

hidup lebih lama". Sedangkan pasal 97 menentukan :"Janda atau duda

cerai hidup masing-masing berhak atas ½ dari harta bersama sepanjang tidak

ditentukan lain dalam perjanjian". Jadi menurut penerapan ketentuan Pasal

37 dan penjelasannya, suami-isteri masing-masing berhak mendapat ½

bagian dari harta bersama jika perkawinan putus, tidak menjadi soal

apakah putusnya karena cerai mati atau hidup.

Dengan memegang prinsip bahwa dalam poligami, masing-masing

harta bersama terpisah dan berdiri sendiri dan dihubungkan dengan besarnya bagian

perolehan masing-masing pihak atas harta bersama dimana masing-masing

mendapai ½ bagian, maka dapat ditentukan suatu cara untuk

menyelesaikan persoalan pembagian harta bersama tersebut yang dikaitkan

dengan masalah kewarisan berhubungan dengan meninggalnya suami.

Penetapan tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 190

Komplikasi Hukum Islam yang menentukan bahwa pewaris yang beristeri

lebih dari seorang maka masing-masing berhak mendapat bagian atas harta
91

bersama dari rumahtangganya dengan suami, sedangkan keseluruhan bagian

pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya kita

ambil contoh :

Gambar

X A X B X C
= = = (1/5/95)

Harta Harta Harta


Bersama Bersama Bersama

Kawin Kawin Kawin


(1/1/1980) (1/1/1990) (1/1/1995)

Keterangan :

Ada seorang suami (X) mempunyai 3 orang isteri yaitu : A, B, C.

Kemudian X meninggal dunia tanggal 1/5/1995. Berarti suami meninggalkan

3 harta bersama tersebut, masing-masing dikeluarkan 1/2 bagian dari harta

bersama dengan isteri A, '/z bagian dari harta bersama dengan isteri B, 1/2

bagian dari harta bersama dengan C. Sedangkan yang menjadi bagian isteri

(A, B, C) dari harta bersama tetap dikuasai oleh masing-masing pihak.

Demikianlah acuan kita mengenai cara penyelesaian pembagian harta

bersama dalam perkawinan poligami. Jadi yang digabung dan menjadi

tirkah adalah apa yang menjadi bagian mendiang suami. Sedangkan apa
92

yang menjadi bagian masing-masing isteri tetap terpisah untuk dikuasai oleh

masing-masing isteri. 84)

3. Kewarisan

Tidak adanya surat nikah pada para pihak atau keluarga tersebut,

maka akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum pada suami-isteri itu.

Oleh sebab itu akan menimbulkan kerugian pada keluarga itu terutama pada

pihak isteri. Kerugian itu akan dirasakan dalam hat menerima tunjangan

hidup isteri dan anak-anaknya serta dalam hal menerima uang pensiun

apabila suami meninggal dunia. Maka isteri dari perkawinan dibawah tangan

tidak berhak atas uang pensiun suaminya.

Dalam hal apabila terjadi ketidakharmonisan atau ketidakcocokan

dalam kehidupan rumah tangga, maka mereka tidak dapat mengajukan

gugatan perceraian pada pengadilan. Dalam hal ini yang dirugikan juga

adalah isteri karena tidak dapatnya perkara itu diajukan ke pengadilan,

maka isteri tidak dapat menuntut untuk mendapat tunjangan hidup

sebagai janda dari bekas suaminya seperti yang diatur dalam Pasal 41 sub c

UU No : 1/1974.

Sehingga terhadap anak, tidak adanya kepastian hukum dan

terhadap anak tersebut akan menimbulkan kerugian-kerugian. Kerugiannya

yaitu dalam hal kewarisan. Ia tidak dapat bagian warisan dari ayahnya,

karena tidak ada bukti bahwa anak tersebut adalah anak yang sah dari ayahnya

84)
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 314-319
93

karena tidak ada Akte perkawinan orangtuanya. Karena Ate tersebut

merupakan satu-satunya bukti bagi seorang anak untuk mendapat warisan.

Sedangkan pada perkawinan poligami yang dilakukan secara sah

menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku akan

mempunyai akibat pula terhadap masalah kewarisan. Dimana baik isteri

maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah tersebut

mempunyai hak untuk mewaris dari ayahnya.

Dalam hal mewaris, orangtua dan anak sama kedudukannya. Hanya

orangtua lebih sedikit bagiannya karena butuh sedikit. Anak lebih banyak

bagiannya karena kebutuhannya banyak. (Q.IV : 11h)

Jika pewaris meninggalkan seorang anak perempuan, maka ia

memperoleh 1/2 bagian harta peninggalan dengan tidak membedakan apakah

ia lahir dari istri pertama, ke-2, ke-3 atau ke-4. Jika anak perempuan tersebut

2 orang atau lebih maka mereka bersekutu dalam 2/3 bagian. Tapi jika

anak perempuan tersebut seorang atau lebih mewaris bersama-sama dengan seorang

atau lebih anak laki-laki, maka kedudukannya berubah menjadi ahli waris

yang menerima bagian sisa oleh karena adanya anak laki-laki.

Mengenai kedudukan isteri mewaris bersama anak yaitu ada atau

tidaknya anak baik laki-laki maupun perempuan seorang atau lebih yaitu

mempengaruhi besarnya perolehan isteri. Jika ada anak, isteri memperoleh

1/8 bagian. Dan jika tidak ada anak, isteri memperoleh 1/4 bagian.

Dihubungkan dengan masalah poligami, maka besarnya perolehan


94

seorang isteri secara otomatis dipengaruhi pula oleh ada/tidak adanya anak-

anak dari isteri yang lain. Walaupun seorang isteri tidak mempunyai anak, tapi

oleh karena dari isteri yang lainnya ada anak-anak, maka bagian peroleh

isteri yang tidak mempunyai anak itu menjadi berkurang, yang

seharusnya mendapat ¼ bagian menjadi 1/8 bagian yang dibagi sama rata

dengan isterinya. Contoh :

Gambar :

=
Y Z

= P =

F B C D E F

Keterangan :

Seorang suami (P) meninggal dunia, meninggalkan 2 orang isteri (Y,Z), dari

isteri Y mempunyau anak (A,B,C,D). dari isteri Z mempunyai anak E,F).

A,B,E adalah anak laki-laki. Sedangkan C,D,F adalah anak perempuan.

Adapun perolehan masing-masing ahli waris menurut ajaran :

1. Bilateral

Y= ½ x 1/8 = 1/8 dzulfaraidh (Q. IV : 12e)

Z= ½ x 1/8 = 1/8 dzuifaraidh (Q.IV : 12e)


95

Sisa = 1- (1/16 + 1/16) =1- 2/16 = 14/16 diberikan kepada A, B, C, D, E,

F berbanding 2 : 2: 1: 1: 2: 1 yaitu :

A = 2/9 x 14/16 = 28/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

B = 2/9 x 14/16 = 28/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

C = 1/9 x 14/16 = 14/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

D = 1/9 x 14/16 = 14/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

E = 2/9 x 14/16 = 28/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

F = 1/9 x 14/lb = 14/144 dzulqarabth (Q.IV : 7a jo 11 a)

Jumlah = Y+Z+A+B+C+D+E+F

= 1/l6+ U16+28/144+28i144+28/144+ 14/144 + 14/144 +

28/144

= 144/144

=l

2. Patrilineal

Y = ½ x 1/8 = 1/16 dzulfaraidh (Q.IV : 12e)

Z = ½ x 1/8 = 1/l6 dzulfaraidh (Q.IV : 12e)

S is a = 1 - (l li b+ 1/ lb )

= 1-2/16

= 14/16 diberikan kepada A, B, C, D, E, F berbanding 2: 2: 1:

1: 2: 1 yaitu :

A. = 2/9 x 14/16 = 28/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo i i a)

B. = 2/9 x 14/16 = 28/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo I 1 a)


96

C. = 1/9 x 14/16 = 14/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo 11 a)

D. = 1/9 x 14/16 = 14/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo I 1 a)

E. = 2/9 x 14/16 = 28/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo I 1 a)

F. = 1/9 x 14/16 = 14/144 Ashaban Binafsihi (Q.IV : 7c jo 11 a)

Jumlah = Y+Z+A+B+C+D+E+F

= 1/16 + 1/16 + 28/144 + 28/144 + 141144 + 141144 + 28/144 +

14/144

= 144/144

= 1

3. Kompilasi Hukum Islam

Y= ½ x 1/8 = 1/16 (Pasal 180)

Z= ½ x 1/8 = 1/Ib (Pasai 180)

Sisa= 1 -(1/16+ 1/16)

= 1-2/16

= 14/16 diberikan kepada A, B, C, D, E, F berbanding 2: 2: 1:1 : 2: 1

yaitu :

A. = 2/9 x 14/16 = 28/144 (Pasal 176c)

B. = 2/9 x 14/16 = 28/144 (Pasal 176c)

C. = 1l9 x 14//16 = 14/144 (Pasal 176c)

D. = 1/9 x 141144 = 14/144 (Pasal 176c)

E. = 2/9 x 14/144 = 28/144 (Pasal 176c)

F. = 1/9 x 14/144 = 14/144 (Pasal 176c)


97

B. Beberapa Putusan Pengadilan Agama Mengenai Poligami

1. Putusan Nomor : 443/Pdt. G/2004/PA.JB

Bismillahi Rahmanir Rahim Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memeriksa dan mengadili

perkara perdata dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai berikut

di bawah ini dalam perkara antara :

IWAN IIARYANTO BIN NATA, umur 21 tahun, agama Islam,

pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal

di Jalan Kapuk Gang Aki Rt.

OO11/010 No. 40 Kelurahan Kapuk,

Kecamatan Cengkareng, Kodya

Jakarta Barat.

Selanjutnya disebut PEMOHON ;

LAWAN

PERAWATI BINTI ANWAR SUSANTO, umur 18 tahun, agama Islam,

pekerjaan ibu rumah tangga, tempat

tinggal di Jalan Kapuk Gang Aki. Rt. 00

11 /O 10 No. 40 Kelurahan Kapuk,

Kecamatan Cengkareng, Kodya

Jakarta Barat.

Selanjutnya disebut TERMOHON ;


98

Pengadilan Agama tersebut

Telah membaca surat-surat dalam berkas perkara ;

Telah mendengar keterangan Pemohon, Termohon dan saksi-saksi

dipersidangan.

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya

tertanggal 4 Agustus 2004 yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama

Jakarta Barat dengan Nomor : 443/Pdt.G/2004/PAJB tanggal 4 Agustus 2004

telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah telah menikah

pada tanggal 11 Juni 2004 terdaftar di KUA Kecamatan Cengkareng

Kodya Jakarta Barat sesuai Kutipan Akta Nikah No. 1102/106/VI/2004 ;

2. Bahwa sejak menikah Pemohon dengan Termohon telah hidup

bersama dan rukun, saat ini Termohon dalam keadaan hamil ;

3. Bahwa Pemohon mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat

agar diizinkan untuk menikah lagi yang kedua dengan seorang gadis

bernama Asmiyati bin Sukarman, umur 23 tahun, pekerjaan karyawati

swasta, tempat tinggal di Kp. Malang Rt. 001/05 Kelurahan Semanan,

Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat ;

4. Bahwa hubungan Pemohon dengan Asmiyati sudah berjalan satu tahun

dan saat ini yang bersangkutan sudah hamil 3 bulan, sehingga untuk
99

mempertanggung jawabkannya dan untuk menghindari perbuatan dosa

yang berkepanjangan Pemohon ingin menikahinya ;

5. Bahwa Termohon tidak keberatan dimadu dan Pemohon sanggup

berlaku adil dan mempunyai kemampuan untuk membiayai kedua isteri.

Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas Pemohon mohon

kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat Cq Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini agar kiranya memberikan putusan sebagai

berikut :

PRIMER :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;

2. Memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah lagi/berpoligami

dengan calon isteri Pemohon yang bernama Asmiyati

3. Menetapkan biaya perkara menurut peraturan yang berlaku ;

SUBSIDER :

Atau apabila Bapak Ketua/Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini

berpendapat lagi, mohon putusan yang seadil-adilnya ;

Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan

Pemohon dan Termohon telah datang menghadap, lalu Majelis Hakim

berusaha mendamaikan tetapi tidak berhasil. Selanjutnya dibacakan surat

permohonan Pemohon yang isisnya tetap dipertahankan oleh Pemohon ;

Menimbang, bahwa atasan permohon Pemohon, tersebut,

Termohon telah mengajukan jawaban secara lisan yang pada pokoknya telah
100

membenarkan seluruh dalil-dalil Pemohon dan Termohon menyatakan

tidak keberatan dan merestui Pemohon menikah lagi dengan perempuan

yang bernama Asmiyati binti Sukarman yang berstatus gadis dan saat ini

telah hamil dengan ketentuan Pemohon akan berlaku adil terhadap isteri-

isterinya ;

Menimbang, bahwa calon isteri ke dua Pemohon yang bernama

Asmiyati binti Sukarman telah hadir dimuka sidang dan telah memberikan

keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

- Bahwa saya mengetahui bahwa Pemohon telah mempunyai isteri bahkan

sekarang telah mempunyai seorang anak ;

- Bahwa saya tidak ada hubungan mahram (hubungan darah) atau keluarga

baIk dengan Pemohon maupun Termohon ;

- Bahwa saya dengan Pemohon sudah saling kenal sejak setahun yang

lalu dan menjalin cinta dengan Pemohon bahkan saat ini saya sedang

hamil dan saya berkehendak menikah dengan Pemohon dan bersedia

menjadi isteri kedua, saat ini status saya belum pernah menikah ;

Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonannya Pemohon

mengajukan alat bukti teriulis berupa :

1. Foto copy Kutipan Akta Nikah Nomor : 1102/106/VI%2004 yang

dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat (P-1 ) ;

2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon (P-2) ;

3. Foto copy Kartu Tanda Penduduk an Asmiyati (P-3) ;


101

4. Foto copy Kartu Tanda Penduduk an Perawati (P-4) ;

5. Surat pernyataan dari Perawati yang memberi izin kepada Pemohon untuk

menikah lagi (P-5) ;

6. Surat pernyataan tidak berkeberatan untuk dimadu (P-6) ;

7. Surat pernyataan berlaku adil (P-7) ;

8. Surat keterangan penghasilan dari kelurahan Kapuk (P-8) ;

Menimbang, bahwa selain bukti tertulis tersebut Pemohon telah pula

menghadirkan 2 (dua) orang saksi yaitu :

1. NATA BIN JERAN, dibawah sumpah yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut :

 Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi

adalah ayah kandung Pemohon ;

 Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah ;

 Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon rukun dan harmonis

dan telah dikaruniai anak 1(satu) orang ;

 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon akan menikah lagi

dengan seorang perempuan bernama Asmiyati binti sukarman ;

 Bahwa isteri Pemohon (Termohon) tidak keberatan dan merestui

Pemohon menikah lagi ;

 Bahwa calon isteri ke dua Pemohon pada saat ini sedang hamil ;
102

 Bahwa Pemohon mampu untuk berpoligami karena berpenghasilan

setiap bulannya ± Rp. 2.000.000,- (Dua juta rupiah) ;

 Bahwa Pemohon menyatakan sanggup berlaku adil terhadap isteri-

isterinya.

2. TIMIN BIN ORIN, dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan

sebagai berikut :

 Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi

adalah paman Pemohon ;

 Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah ;

 Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun dan

harmonis dan telah dikaruniai satu orang anak ;

 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon akan menikah lagi dengan

seorang perempuan bernama Asmiyati binti Sukarman ;

 Bahwa isteri Pemohon (Termohon) tidak keberatan dan merestui

Pemohon untuk menikah lagi ;

 Bahwa calon isteri ke dua Pemohon pada saat ini sedang hamil ;

 Bahwa Pemohon mampu untuk berpoligami karena berpenghasilan

setiap bulannya ± 2.000.000,- (Dua juta rupiah)

 Bahwa Pemohon menyatakan sanggup berlaku adil terhadap isteri

isterinya;
103

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut baik Pemohon

maupun Termohon telah membenarkannya ;

Menimbang, bahwa baik Pemohon maupun Termohon tidak

mengajukan sesuatu apapun lagi selanjutnya mohon putusan ;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka

segala hal-hal yang terjadi dalam persidangan dimuat dalam berita acara

persidangan sebagaimana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

putusan ini ;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon

adalah sebagaimana diuraikan diatas ;

Menimbang, bahwa yang menjadi alasan pokok dari permohonan

Pemohon adalah mohon diizinkan untuk menikah lagi dengan perempuan

yang bernama Asmiyati binti Sukarman karena Pemohon dan calon isteri ke

dua telah menjalin cinta yang sangat intim dan bahkan calon isteri kedua telah

hamil ;

Menimbang, bahwa Termohon telah memberikan keterangan dimuka

sidang yang pada pokoknya telah membenarkan dalil-dalil Pemohon dan

Termohon tidak keberatan Pemohon menikah lagi dengan perempuan

yang bernama Asmiyati binti Sukarman mengingat calon isteri kedua

Pemohon tersebut dalam keadaan hamil 3 bulan dan Pemohon maupun

berlaku adil terhadap isteri-isterinya ;


104

Menimbang, bahwa calon isteri kedua Pemohon yang bernama

Asmiyati binti Sukarman telah memberikan keterangan dimuka sidang bahwa

ia membenarkan telah menjalin hubungan cinta dengan Pemohon bahkan saat

ini sedang hamil 3 bulan sehingga ia berkehendak menikah dengan Pemohon

dan bersedia menjadi isteri kedua Pemohon dan berstatus gadis dan tidak

ada hubungan mahram dengan Pemohon maupun dengan Termohon ;

Menimbang, bahwa dimuka persidangan Pemohon telah mengajukan

bukti P-1 sampai dengan P-8 dimana bukti tersebut dibenarkan oleh

Termohon sehingga bukti-bukti tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah

dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 165 HIR ;

Menimbang, bahwa disamping bukti tersebut Pemohon juga telah

mengajukan dua orang saksi yang bernama Nata bin Jeran dan Timin bin

Orin dan keterangan kedua saksi tersebut ternyata telah menguatkan

dalil-dalil Pemohon sehingga kesaksiannya dapat diterima dijadikan bukti

yang sah dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 172 HIR ;

Menimbang, bahwa dari keterangan Pemohon, jawaban Termohon

dan keterangan calon isteri kedua Pemohon serta didukung dengan bukti-

bukti yang ada maka Majelis Hakim menemukan fakta bahwa Pemohon

dan Termohon adalah suami isteri yang sah Pemohon ingin menikah lagi

dengan perempuan yang bernama Asmiyati binti Sukarman karena telah

hamil 3 bulan dan telah mendapat izin dari Termohon dan Pemohon

berpenghasilan cukup serta akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-

anaknya maka Pemohon telah memenuhi syarat-syarat utama yang


105

berkaitan dengan permohonan untuk berpoligami (beristeri lebih dari

seorang) sesuai maksud pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo

pasal 55 ayat (2) dan pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ;

Menimbang, bahwa antara calon isteri kedua Pemohon dengan

Pemohon maupun Termohon tidak ada hubungan mahram sehingga tidak ada

halangan syar'ie bagi Pemohon untuk menikah dengan calon isteri keduanya ;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim perlu mengetengahkan firman

Allah dalam Surat An-Nisaa ayat (3) yang berbunyi :

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat

atau jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang

saja"

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

diatas, maka Pemohon dapat membuktikan dalil-dalilnya dan sesuai

ketentuan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Jo Pasal 43

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo Pasal 55 ayat (1)

Komplikasi Hukum Islam maka majelis Hakim dapat mengabulkan

permohonan Pemohon ;

Menimbang, pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan ketentuan lain yang berkenaan dengan perkara ini ;

MENGADILI:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;

2. Memberikan izin kepada Pemohon (IWAN HARYANTO BIN NATA)

untuk menikah lagi dengan (ASMIYATI BINTI SIJKARMAN) ;


106

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 317.000,- (Tiga ratus tujuh belas ribu rupiah) ;

Demikian dijatuhkan putusan ini pada hari Senin tanggal 6 September

2004 Masehi, bertepatan dengan tanggal 21 Rajab 1425 H, oleh kami

HJ. HANI SETYWATI, SR. Sebagai Hakim Ketua Majelis, Dra. IDA

HAMIDAH dan HJ. SHOFWAH, SH masing-masing sebagai Hakim

Anggota dan pada hari itu juga dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum

dengan dibantu oleh HURHAYATI, SH sebagai Panitera Pengganti,

dihadiri oleh Pemohon dan Termohon ;

Hakim Anggota, Hakim Anggota


Ttd, Ttd,.
1. Dra. IDA HAMIDAH Hj, HANI SETYAWATI, SH.

Ttd,
2. Hj. SHOFWAH, SH
Panitera Pengganti,
Ttd,
NURHAYATI, SH
Perincian Biaya :
1. Pencatatan = Rp. 26.000,-
2. Administrasi = Rp. 50.000,-
3. Panggilan = Rp. 120.000,-
4. APK = Rp. 115.000,-
5. Materai = Rp. 6.000,-
Jumlah = Rp.317.000,-

Jakarta, 6 September 2004


Untuk salinan sesuai dengan aslinya
Atas permintaan Pemohon/Termohon
Jakarta, 04 Oktober 2004
Oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat
107

Drs. SYAMSUL HUDA, SH

2. Putusan Nomor : 492/Pdt, G/20041PA.JB

Bismillahi Rahmanir Rahim Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memeriksa dan mengadili

perkara perdata dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan sebagai berikut

di bawah ini dalam perkara antara :

MUHAMAD YAZID BIN MUHASYIM, umur 30 tahun, agama Islam,

pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal

di Jalan Bangun Timur, Kecamatan

Cengkareng, Kodya Jakarta Barat,

Selanjutnya disebut PEMOHON ;

LAWAN

SITI ZAHROH BINTI H SUDJAIH, umur 27 tahun, agama Islam,

pekerjaan ibu rumah tangga, tempat

tinggal di Jalan Bangun Timur,

Kecamatan Cengkareng, Kodya Jakarta

Barat, Selanjutnya disebut TERMOHON ;

Pengadilan Agama tersebut ;

Telah memeriksa dan membaca berkas perkara ;


108

Telah mendengar keterangan Pemohon, Termohon calon isteri Termohon

serta saksi-saksi dimuka persidangan.

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya

tertanggal 9 September 2004 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan

Agama Jakarta Barat dengan Nomor : 492/Pdt.G/2004/PAJB telah

mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa, pada hari Sabtu tanggal 6 Nopember 1999 telah dilangsungkan

pernikahan antara Pemohon dengan Termohon tercatat di KUA

Kecamatan Cengkareng dengan Kutipan Akta Nikah No. 1078/S

1/XU1999 tanggal 8 Nopember 1999,

2. Bahwa, sejak menikah hingga sekarang kehidupan rumah tangga

Pemohon dengan Termohon senantiasa rukun sebagaimana layaknya

suami isteri ;

3. Bahwa, dari pernikahan tersebut telah lahir 1(Satu) orang anak yang

bernama MUHAMMAD NABIEL, lahir tanggal 4 Februari 2001 ;

4. Bahwa, maksus Pemohon ke Pengadilan Agama ini adalah mohon

dizinkan untuk menikah lagi yang kedua dengan cara Poligami ;

5. Bahwa, alasan pemohon untuk berpoligami tersebut karena ;

- Menjalankan ibadah ;
109

- Menyatukan tali silaturahmi karena antara Termohon dengan calon

isteri yang kedua masih ada ikatan keluarga jauh ;

- Membina dan mendidik Termohon untuk lebih mandiri

- Membantu calon isteri kedua karena yang bersangkutan anak yatim ;

- Bahwa, pemohon dengan calon isteri kedua sudah berkenalan kurang

lebih 3 bulan, dan Pemohon menghawatirkan terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan/melanggar syariat Islam ;

- Bahwa, Pemohon merasa kurang tercukupi masalah kebutuhan bathin

1 (satu) orang ;

6. Bahwa oleh karena pemohon sudah mendapat izin dari Termohon untuk

berpoligami akhirnya Pemohon berkenalan dan berniat melangsungkan

pernikahan dengan seorang wanita bernama Dewi Faridawati Binti H.

Djaanih H Mansyur, umur 24 tahun, agama Islam, pendidikan SMA,

pekerjaan karyawati swasta, alamat di Kampung Sanggrahan Rt

009/05 No. 17 Kelurahan Meruya Utara, Kecamatan Kembang Kodya

Jakarta Barat.

7. Bahwa, hubungan antara Pemohon dengan calon isteri kedua tersebut

adalah orang lain, tidak ada hubungan darah (Mahrom) maupun

sesusuan jadi diantara kami tidak ada halangan untuk menikah secara

Islam;

8. Bahwa, jika Pemohon berpoligami nanti, pemohon berjanji untuk

berlaku adil terhadap isteri-isteri maupun anak-anaknya ;


110

9. Bahwa, Pemohon mampu untuk menghidupi isteri-isteri Pemohon karena

Pemohon mempunyai penghasilan yang cukup yaitu Rp. 7.000.000,-

(tujuh juta rupiah) setiap bulannya ;

10. Bahwa, atas dasar hal-hal tersebut diatas, maka Pemohon mohon kepada

Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat agar memberikan izin

kepada pemohon untuk menikah lagi dengan seorang wanita bernama

Dewi Faridawati binti H. Djaanih H Mansur ;

Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Pemohon mohon

kepada Ketua Pengadilan Agama Jakrta Barat Cq. Majelis Hakim agar

kiranya memberikan keputusan sebagai berikut :

PRIMER :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;

2. Memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah lagi yang kedua

dengan seorang wanita bernama Dewi Faridawati Binti H Djaanih H

Mansur ;

3. Menetapkan biaya perkara menurut peraturan yang berlaku ;

SUBSIDER :

Dan atau apabila Bapak Ketua/Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon

diberikan putusan yang seadil-adilnya ;

Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon telah hadit dimuka

persidangan yang kemudian oleh Majelis Hakim telah diupayakan

perdamaian agar Pemohon memikirkan tentang maslahat dan


111

mashadatnya bila Pemohon beristeri lebih dari seorang (berpoligami)

akan tetapi Pemohon tetap dengan pendiriannya untuk beristeri lagi bahkan

Termohon pun tidak keberatan ;

- Bahwa, antara Termohon dengan calon isteri Pemohon tidak ada

hubungan darah (keluarga) demikian pula antara Pemohon dengan calon

isterinya tidak ada hubungan darah (mahram) dan calon isterinya tersebut

berstatus gadis ;

Menimbang, bahwa atas jawaban Termohon tersebut Pemohon

tidak membantahnya ;

Menimbang, bahwa calon isteri Pemohon yang bernama Dewi

Faridawati binti H. Djaanih telah hadir dimuka persidangan dan telah

memberikan keterangan yang pokok-pokoknya sebagai berikut ;

- Bahwa, benar antara pemohon degan saya telah berjalan hubungan cinta

dan sulit untuk dipisahkan lagi ;

- Bahwa, saya mengetahui Pemohon mempunyai isteri dan telah

mempunyai satu orang anak dan saya bersedia menjadi isteri yang

kedua karena antara Pemohon dengan saya sulit untuk dipisahkan ;

- Bahwa, antara pemohon dengan saya tidak ada hubungan amhram dan

saya berstatus gadis demikian pula antara termohon dengan saya

tidak ada hubungan darah (keluarga) ;


112

- Bahwa, untuk tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik menurut

hukum agama maupun nonma kesusilaan antara Pemohon dengan saya

tetap bertekad untuk menikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis

berupa foto copy bermaterai sah yang oleh Majelis Hakim telah

dicocokkan dengan aslinya dan ternyata telah sesuai, kecuali bukti P-3 bukti

P-4 bukti P-5 dan bukti P-6 berupa surat-surat asli ;

1. Kutipan Akta Nikah Nomor : 1078/SilXUl999 yang dikeluarkan oleh

Pegawai Pencatatan Nikah Cengkareng pada tanggal 8 Nopember 1999

(bukti P-1) ;

2. Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon (P-2) ;

3. Surat pernyataan berlaku adil yang dibuat dan ditanda tangani oleh

Pemohon tanggal 23 September 2004 (bukti P-3) ;

4. Surat pernyataan berlaku adil yang dibuat dan ditanda tangani oleh

Termohon tangga123 September 2004 (bukti P-4) ;

5. Surat pernyataan penghasilan yang dibuat dan ditanda tangani oleh

Pemohon (P-5) ;

Menimbang, bahwa Pemohon selain telah mengajukan bukti tertulis

Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi :

1. Ali Wahab Bin Halim Mursad, umur 43 tahun, agama Islam,

pekerjaan karyawan, alamat tempat tinggal di Kalimati Rt 003/02

Kelurahan Kaliangke Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat ;


113

Dibawah sumpak saksi menerangkan sebagai berikut :

- Bahwa, saksi hubungan dengan Pemohon adalah teman dekat dan

sudah kenal lama ;

- Bahwa, saksi juga kenal kepada calon isteri kedua Pemohon ;

- Bahwa, rumah tangga Pemohon dengan Termohon harmonis mereka

sudah punya aak satu orang ;

- Bahwa, Pemohon sudah menjalin kasih dengan seorang perempuan

bernama Dew Faridawati dan mereka akur dengan isterinya yang

pertama pergi bareng bersama kepangajian ;

- Bahwa, isterinya yang pertama tidak keberatan kalau Pemohon

menikah lagi dengan perempuan tersebut ;

- Bahwa, Pemohon ada berkemampuan dalam nafkah dan berbuat adil

dalam mengatur isteri-siterinya ;

- Bahwa, antara Pemohon dengan calon isteri kedua tidak hubungan

darah begitu juga antara calon isteri kedua dengan isteri pertama

tidak ada hubungan darah ;

2. Fachmi Noer Bin H.M. Noer, umur 29 tahun, agama Islam,

pekerjaan karyawan, alamat tempat tinggal Jl. Bangun Nusa Raya Rt

012/03 Kelurahan Cengkareng Timur, Kecamatan Cengkareng Kodya

Jakarta Barat ; Dibawah sumpah saksi menerangkan sebagai berikut :


114

- Bahwa hubungan saksi dengan Pemohon adalah teman dekat saksi

kenal kepada pemohon dan Termohon dan saksi kenal juga kepada

calon isteri kedua Pemohon ;

- Bahwa, rumah tangga Pemohon dengan Termohon rukun dan

harmonis dan telah mempunyai satu orang anak ;

- Bahwa, saksi mengetahui keadaan rumah tangga pemohon dengan

termohon karena saksi mengenal Pemohon dengan Termohon

sejak lama dan saksi kenal juga kepada calon isteri kedua Pemohon ;

- Bahwa, pemohon mempunyai penghasilan yang cukup untuk

menghidupi keluarganya dan kepribadian Pemohon cukup baik

dan bila Pemohon menikah dengan calon isterinya yang bernama

Dewi Faridawati binti H. Djaanih Pemohon mampu berlaku adil ;

- Bahwa, Pemohon hanya mempunyai seorang isteri yang bernama

Siti Zahron tetapi Pemohon telah menjalin hubungan cinta

dengan seorang perempuan yang bernama Dewi Faridawati yang

sekarang akan menjadi calon isteri yang kedua ;

- Bahwa, antara Pemohon dengan calon isteri yang kedua tersebut

tidak ada hubungan mahram dan calon isterinya tersebut berstatus

gadis serta antara Termohon dengan calon isteri yang kedua

Pemohon tidak ada hubungan darah (keluarga) Menimbang bahwa

atas keterangan saksi tersebut baik Pemohon maupun termohon

telah membenarkannya ;
115

Menimbang bahwa baik pemohon maupun Termohon tidak

mengajukan suatu apapun lagi selain mohon putusan ;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka

segala hal-hal yang terjadi dalam persidangan telah dimuat dalam berita acara

yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini ;

TENTANG HUKUNINYA

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah

sebagaimana diuraikan tersebut diatas ;

Menimbang bahwa permohonan Pemohon menyangkut izin untuk

beristeri lebih dari seorang (berpoligami) maka secara hukum

permohonan tersebut merupakan kewenangan Pengadilan Agama sesuai

ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 ;

Menimbang, bahwa alasan yang menjadi dasar permohonan

Pemohon yaitu bahwa Pemohon telah mempunyai seorang isteri yang

bernama Siti Zahroh (Termohon) dan telah memperoleh satu orang anak

sedangkan wanita yang bernama Dewi Faridawati dan sulit untuk dipisahkan

oleh karenanya Pemohon berkehendak untuk menikahi wanita tersebut

(berpoligami) yang dalam hal ini Majelis perlu mempertimbangkan ;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-3, P-4, dan P-5

Pemohon telah memenuhi syarat-syarat utama yang berkaitan dengan

permohonan Pemohon untuk berpoligami (beristeri lebih dari seorang)

sesuai maksud Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 pasal 41


116

huruf (b, c, d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 55 ayat

2 Kompilasi Hukum Islam ;

Menimbang, bahwa termohon telah memberikan keterangan dimuka

sidang yang pada pokoknya Termohon tidak keberatan Pemohon menikah

lagi dengan perempuan yang bernama Dewi Faridawati mengingat antara

pemohon dengan perempuan tersebut sudah terjalin hubungan akrab dan

sulit dipisah disamping itu Pemohon mampu berlaku adil terhadap isteri-

isterinya ;

Menimbang, bahwa calon isteri Pemohon yang bemama Dewi

Faridawati, telah memberikan keterangan dimuka sidang bahwa la

membenarkan telah menjalin hubungan cinta dengan Pemohon dan sulit

dipisahkan serta berkehendak untuk menikah dan la bersedia menjadi isteri

yang kedua dan antara Pemohon dengannya terdapat hubungan mahram dan

berstatus gadis serta antara ia dengan termohon tidak ada hubungan

keluarga/darah ;

Menimbang, bahwa keterangan saksi Pemohon yang menyatakan

bahwa benar pemohon menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita

yang bernama Dewi Faridawati tidak dibantah oleh pemohon maupun oleh

Termohon ;

Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas Majelis Hakim

berkesimpulan bahwa Pemohon bermaksud menikah lagi dengan seoamg

perempuan yang bernama Dewi Faridawati karena Pemohon telah mendapat

izin dari termohon (bukti P-4) dan Pemohon berpenghasilan cukup serta akan
117

berlaku adil sesuai bukti P-3 dan P-5 dengan demikian terdapat cukup

alasan bagi Pemohon untuk berpoligami dengan tidak mengurangi

maksud pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 41

huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 5/Kompilasi

Hukum Islam ;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim perlu mengetengahkan dan dalil-

dalil yang terdapat dari ;

1. Al-Qur'an yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi :

Artinya :"Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua,

tiga, empat" ;

2. Tafsirah Al-Maraghy Juz 4 Halaman 181 yang berbunyi

Artinya :"Bahwa kebolehan berpoligami sangat dipersempit karena

ia adalah darurat dibolehkan bagi yang berhajat dengan syarat penuh

kepercayaan untuk berlaku adil dan menghindari dari kecurangan" ;

Menimbang, bahwa berdasarkan perumpamaan-perumpamaan

tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa meskipun azaz

perkawinan dalam Islam dalam keadaan tertentu dan untuk menghindari hal-

hal yang tidak diinginkan dan dengan tujuan kemasiatan bagi pemohon

serta dikehendaki oleh para pihak sesuai ketentuan pasal 3 Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 maka bermohon Pemohon dapat dikabulkan ;


118

Menimbang bahwa karena perkara ini termasuk bidang perkawinan

sesuai maksud pasal 89 ayat 1 Undang-Undag Nomor 7 tahun 1989 maka

biaya yang timbul akibat perkara ini dibebankan kepada Pemohon ;

Memperhatikan dalil-dalil syarie dan segera ketentuan yang

berlaku dan berkaitan dengan perkara ini ;

MENGADILI

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;

2. Menetapkan memberikan izin kepada Pemohon (Muhammad Yazid

Bin Muhasim) untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang

bernama (Dewi Faridawati Binti Hj. Djaanih H Mansyur) ;

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 257.000,- (Dua ratus lima puluh tujuh ribu rupiah) ;

Demikian putusan ini dijatuhkan di Pengadilan Agama Jakarta Barat

pada hari Kamis tanggal 7 Oktober 2004 M, bertepatan dengan tanggal 22

Syaban 1425 H, oleh Dra. IDA HAMIDAH Sebagai Hakim Ketua, serta HJ.

NANI SETYAWATI, SH dan Dra. Muhayah, SH masing-masing sebagai

Hakim Anggota, didampingi oleh drs. H.A. Djazuli sebagai Panitera

Pengganti Putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon ;

Hakim Anggota, Hakim Anggota

Ttd, Ttd,
119

1. HJ. NANI SETYAWATI, SH Dra. IDA HAMIDAH


Ttd,
2. Dra. MUHAYAH, SH

Panitera Pengganti,
Ttd,
Drs. H.A DJAZULI

Perincian Biaya :
1. Pencatatan = Rp. 26.000,
2. Administrasi = Rp. 50.000,
3. Panggilan = Rp. 115.000,
4. APK = Rp. 60.000,
5. Materai = Rp. 6.000,
JumIah Rp. 257.000;

Jakarta, 17 Oktober 2004


Untuk salinan sesuai dengan aslinya
Atas permintaan Pemohon/Termohon
Jakarta, 04 Oktober 2004
Oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat

Drs. SYAMSUL HUDA, SH

C. Analisa Hukum

Beberapa Pendapat Para Sarjana Mengenai Poligami

Banyak para sarjana yang memberikan pendapatnya mengenai perkawinan

poligami, diantaranya yaitu :

1. Maulana Abul A'la Maududi


120

Bila memiliki beberapa orang isteri, sama-sama tertekan

perasaanya karena suami selalu cenderung terhadap salah seorang diantara

mereka meninggalkan yang kedua atau menyengsarakan yang lain, maka

Al-Qur'an secara tegas menyatakan :"Maka janganlah terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai) sehingga membiarkan yang lainnya terkatung-

katung (sia-sia) (Q.S. Annisa : 129).

Poligami dibenarkan oleh Islam/Al-Qur'an yaitu apabila takut tidak

akan berlaku adil terhadap anak yatim, boleh berpoligami. Itu sebenarnya

hanya terhadap ibu anak yatim yang kamu mengawasinya. Imam Syafi'i

mengemukakan bahwa kesimpulan "lebih dekat" kepada tidak berbuat

aniaya (agar kamu tidak menyimpang dari kebenaran), yaitu banyak isteri

berarti banyak anak yang harus dipelihara dengan sempuma. Ayat Al-

Qur'an membuktikan kalau seorang laki-laki tidak berlaku terhadap isteri-

isterinya dan cenderung terhadap salah seorang dari mereka dengan

merugikan hak yang lain, dia adalah penindas. Ia tidak berhak untuk

beristeri lebih dari satu. Hukum harus memaksanya untuk memilih hanya

satu isteri saja. Isteri yang lainnya harus mendapat perlindungan hukum untuk

menghindari daripadanya.

Dengan berpegang pada keadilan, Al-Qur'an dalam hal tersebut

telah memperjelas, selama adanya emosi maka diluar kemampuan laki-laki

mempraktekkan persamaan, tetapi tentunya la berkewajiban mempraktekkan

“persamaan” diantara isteri-isterinya dalam hal ini biaya hidup, hubungan


121

sosial dan hubungan seksual. Hukum dapat menengahi ketiga bentuk

tekanan diatas oleh sang suami. Selain itu timbul masalah lain dalam

hubungan suami-isteri. Mereka menderita kurang pelayanan cinta kasih yang

sesungguhnya diluar kemampuan hukum. Tentang hal ini Al-Qur'an

memberikan kepada laki-laki petunjuk akhlak. Mereka dinasehatkan agar

berbuat balk, mengasihi dan bermurah hati terhadap kaum wanita.

Hukum Islam yang mengatur suami-isteri sangat luwes terhadap

ketidakbahagiaan dan perpecahan dalam kehidupan keluarga. Selama adanya

ikatan perkawinan, isteri harus diperlakukan dengan baik. Jika ikatan itu

putus, ia harus dilepaskan dengan balk. Perlakuan baik tidak dapat dipaksakan

oleh hukum. Permasalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari adalah

diluar jangkauan hukum. Yang berat itu pada keadaan yang wajar, yaitu

dipundak suami dengan perasaan cinta dan kasih sayang.85)

2. Siti Hawa Nuraya, S.H

Sebagai pengertian antropologi, poligami adalah suatu bentuk

perkawinan dimana seorang menikah dengan banyak isteri atau banyak suami.

Yang dimaksud dengan pengertian poligami dalam undang-undang

perkawinan antara seorang suami dengan beberapa isteri. Pada azasnya

undang-undang perkawinan menganut asas monogami seperti tercantum

dalam pasal 3 ayat 1. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk

melakukan poligami. Hal ini diatur dalam pasal 4 undang-undang perkawinan.

85)
Maulana Abul A'la Mududi, op.cit., hal. 33-34
122

Mengenai prosedur yang hams ditempuh UU no : 1/1974 dan PP

No. 9/1975 mengatur apabila seorang suami dalam keadaan istimewa

berkehendak beristeri lebih dari satu orang, maka la wajib mengajukan

permohonan kepada pengadilan ditempat ia tinggal. Pengadilan akan

memeriksa apakah alasan-alasan dan syarat untuk poligami telah

terpenuhi seperti diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Pengadilan

Agama jo Pasal 40, 41, 42 PP No : 9/1975. Lalu pengadilan akan

memeriksa apakah ada atau tidaknya alasan yang diatur dalam undang-

undang serta ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis.

Lalu pengadilan harus memeriksa ada atau tidaknya kemampuan suami

untuk menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anaknya, serta pengadilan

harus memeriksa ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap isteri dan anak-anaknya. Untuk melakukan pemeriksaan tersebut

pengadilan harus memeriksa surat keterangan penghasilan suami dan

memanggil serta mendengar keterangan dari isteri yang bersangkutan.86)

3. Dr. R Wirjono Prodjodikoro, S.H

Seperti diketahui oleh umum, sekarang diantara para wanita

Indonesia asli yang beragama Islam, ada banyak keberatan terhadap sistem

poligami. Saya rasa jalan untuk sejauh mungkin meringankan keberatan-

keberatan itu dengan secara memperkecil adanya poligami. Dalam hukum


86)
Siti Hawa Nuraya, Pelaksanaan Pasal-Pasal 3 Ayat 2 Sampai Pasal 7 Avat 2 Pada Pengadilan
Agama Jakarta Utara tahun 1980-1982, Majalah Hukum dan Pembangunan No : 52, Oktotober 1985,
hal. 438489
123

Islam selalu diajarkan, bahwa beristeri lebih dari seorang hanya diperbolehkan

apabila si suami mampu dan berniat sungguh-sungguh untuk

memperlakukan semua isterinya secara yang sama dan sepantasnya. Ini

berarti bahwa kepada masing-masing isteri harus diberi nafkah yang pantas

dan kecintaan yang layak, dengan tiada perbedaan sedikitpun.

Maka menurut hemat saya, jika dan maksud sebenamya dari

hukum Islam ialah untuk mempersukar seorang suami mengambil isteri

kedua atau keempat. Cara mempersukar ini dengan mewajibkan campur

tangan atau izin dari suatu instansi pemerintah dalam hal perkawinan ke-2, ke-

3 atau ke-4 kali. Sebagai instansi pemerintah ini dapat ditujuk Pengadilan

Agama Islam atau Jawatan Kementrian Agama. Salah satu syarat untuk

berpoligami dapat diusulkan harus ada Min dari isteri atau isteri-isteri yang

sudah ada. Ini adalah perlu untuk mencapai perdamaian dan ketentraman

diantara mereka.87)

4. Prof. Dr. Hazairin, S.H

Undang-undang No : 1/1974 Pasal 4 bagi umat Islam di Indonesia

sebagai contoh pembaharuan tafsir-tafsir lama yang berlaku dalam praktek

berdasarkan ajaran fikih. Mahzab syafi'i tidak menundukkan poligami pada

pengawasan hukum orang bebas melakukan poligami menurut maunya saja

sampai dengan empat orang isteri, sedangkan perlakuan suami tidak adil

87)
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal. 97-98
124

diserahkan kepada pihak isteri untuk menyelesaikan secara damai atau

menyerahkan kepada hakim.

Sekarang ini menjalankan hak untuk berpoligami itu diawasi oleh

undang-undang perkawinan No :1/1974 dengan menentukan kapankah

poligami (menambah jumlah isteri lebih dari satu) dan hanya boleh

berpoligami dengan ibu anak yatim.

Orang zaman dulu melakukan poligami karena peperangan,

berkeliaran janda-janda yang mempunyai anak-anak yang belum dewasa,

sedangkan janda-janda itu tidak sanggup mencari dan memperoleh nafkah sendiri

karena keadaan struktur perekonomian atau struktur masyarakat tidak

memberi peluang kehidupan bagi mereka sebagai wanita Islam untuk

mendapat pertolongan dari lingkungan usbahnya yang masih anti Islam,

maka kepada laki-laki yang mampu memberikan kesempatan berpoligami

dengan mengawini janda janda itu sebagai suatu bentuk keadilan sosial. 88)

5. H. Bismar Siregar, S.H

Undang-undang No : 1/1974 secara resmi dan rinci menetapkan hal-

hal yang tidak boleh dipahami secara harfiah. Islam tidak pernah

menganjurkan bentuk perkawinan poligami. Islam mengutamakan

perkawinan monigami. Hanya dalam hidup dan kehidupan tidak ada yang

mutlak, tetapi nisbi. Adakalanya perkawinan yang monogami tidak dapat

88)
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undana-Undang No : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta
: Tinta Mas, 1986), hal. 13-15
125

dipertahankan. Sebutlah isteri "sakit" tidak dapat berfungsi sebagai isteri.

Adakah perkawinan yang demikian ideal dilanjutkan ?

Pertanyaan sebaliknya timbul "Bagaimana bila si suami yang sakit ?

Apa boleh isteri berpoliandri ?" Jangan cari alasan yang dibuat-buat.

Tentang ini telah jelas ada perlindungan wanita dalam ikrar talik talak,

saat ijab kabul selesai diucapkan.

Dalam undang-undang nasional ditetapkan antara lain ijin poligami,

karena isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan ini kurang tepat atau

tidak tepat. Tidakkah dihati kita kuat tertanam keyakinan anak keturunan

merupakan rahmat Tuhan ? Oleh sebab itu, bila karena sesuatu dan lain

alasan sebutlah mandul salah satu pihak tidak diperoleh rahmat itu, mengapa

memaksa untuk beristeri kedua ? Mengapa tidak memilih, memelihara anak

yatim yang mendambakan kasih dan sayang orangtua, walau bukan

orangtua kandung ? Kasih sayang terhadap anak, tidak selalu harus

dilahirkan dari rahim isteri. Kasih dan sayang adalah fitrah manusia rahmat

Tuhan. Memelihara anak yatim sama dengan kedudukan rasul disisi

tuhan. 89)

Dengan melihat berbagai pendapat mengenai poligami kita akan

mendapatkan kesimpulan bahwa pada dasarnya agama-agama diatas

dunia ini adalah menganut azas monogami. Sedangkan untuk berpoligami

89)
Bismar Siregar, Islam dan Hukum, (Jakarta : Grafikatama Jaya, 1992), hal. 239
126

diperbolehkan karena keadaan-keadaan khusus dimana harus memenuhi

persyaratan-persyaratan khusus yang telah ditentukan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum Islam sebenarnya menganut prinsip perkawinan monogomi.

Sedangkan poligami diperkenankan terhadap ibu anak-anak yatim yang

berada dibawah pengawasan seorang suami. Dalam Islam sendiri poligami

itu sebenarnya telah diingatkan bahayanya dari berbuat aniaya, karena

memang sudah merupakan sifat alamiah dari manusia bahwa ia tidak

akan pernah berlaku benar-benar adil.

2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berpaligami menurut hukum Islam

yaitu suami harus bersikap adil terhadap istri-istrinya yang maksimal 4

orang tersebut (Q. IV : 3) yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk dapat

mengajukan permohonan tersebut, syarat-syarat yang harus dipenuhi

yaitu adanya persetujuan dari istri/istri-istri, kemampuan untuk menjamin

keperluan hidup istri dan anak-anaknya, jaminan bahwa suami akan berlaku

adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Pembatasan poligami yaitu

maksimal 4 orang istri. Hal ini didasarkan pada Q. IV : 3.

3. Akibat hukum dari poligami yaitu :

126
127

a. Terhadap Kedudukan Anak

Apabila poligami dilakukan dibawah tangan, tidak akan menimbulkan

akibat hukum karena anak yang lahir belum dianggap/diakui oleh negara

sebagai anak yang sah dari ayah yang menumbuhkannya. Anak

tersebut hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ibu

kandungnya dan ahli waris dari ibunya. Sedangkan apabila poligami

dilakukan menurut hukum Islam dan undang-undang, akan berakibat

pula sah terhadap anakanak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Orangtua mempunyai kewajiban memelihara, memberi nafkah dan

mendidik anak-anak tersebut sampai ia dewasa.

b. Terhadap Harta Bersama

Apabila poligami dilakukan dibawah tangan, para pihak tidak dapat

mengajukan pembagian harta bersama karena tidak ada bukti

kepastian hukum perkawinan mereka yaitu surat nikah. Sedangkan

apabila poligami dilakukan secara sah menurut hukum Islam dan

undang-undang, akan berakibat terjadinya pembagian harta bersama

jika perkawinan putus karena perceraian maupun kematian. Cara

pembagiannya yaitu masing-masing harta bersama dikeluarkan setengah

bagian menjadi hak istri dan sisanya menjadi hak suami yang

kemudian menjadi tirkah atau harta warisan.

c. Terhadap Kewarisan
128

Apabila poligami dilakukan tanpa adanya surat nikah

mengakibatkan tidak adanya hukum pada suami-istri. Hal ini

mengakibatkan istri dan anak-anaknya tidak dapat menerima tunjangan

hidup dan warisan. Sedangkan apabila poligami yang dilakukan secara

sah menurut hukum Islam dan undang-undang mengakibatkan istri

dan anak-anak berhak mendapat tunjangan nafkah dan warisan. Semua

anak baik perempuan maupun laki-laki berhak mewaris, tidak dibedakan

apakah anak tersebut dari istri ke-l, 2, 3 atau ke-4. Begitu pula terhadap

istri-istri, mereka mendapat bagian yang sama tanpa dibedakan apakah ia

istri-istri ke-1, 2, 3 atau ke-4. Semua memperoleh bagian sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Al-Qur'an. Terhadap Kedudukan Anak

Apabila poligami dilakukan dibawah tangan, tidak akan menimbulkan

akibat hukum karena anak yang lahir belum dianggap/diakui oleh negara

sebagai anak yang sah dari ayah yang menumbuhkannya. Anak

tersebut hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ibu

kandungnya dan ahli waris dari ibunya. Sedangkan apabila poligami

dilakukan menurut hukum Islam dan undang-undang, akan berakibat

pula sah terhadap anakanak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Orangtua mempunyai kewajiban memelihara, memberi nafkah dan

mendidik anak-anak tersebut sampai ia dewasa.

d. Terhadap Harta Bersama


129

Apabila poligami dilakukan dibawah tangan, para pihak tidak dapat

mengajukan pembagian harta bersama karena tidak ada bukti

kepastian hukum perkawinan mereka yaitu surat nikah. Sedangkan

apabila poligami dilakukan secara sah menurut hukum Islam dan

undang-undang, akan berakibat terjadinya pembagian harta bersama

jika perkawinan putus karena perceraian maupun kematian. Cara

pembagiannya yaitu masing-masing harta bersama dikeluarkan setengah

bagian menjadi hak istri dan sisanya menjadi hak suami yang

kemudian menjadi tirkah atau harta warisan.

e. Terhadap Kewarisan

Apabila poligami dilakukan tanpa adanya surat nikah

mengakibatkan tidak adanya hukum pada suami-istri. Hal ini

mengakibatkan istri dan anak-anaknya tidak dapat menerima tunjangan

hidup dan warisan. Sedangkan apabila poligami yang dilakukan secara

sah menurut hukum Islam dan undang-undang mengakibatkan istri

dan anak-anak berhak mendapat tunjangan nafkah dan warisan. Semua

anak baik perempuan maupun laki-laki berhak mewaris, tidak dibedakan

apakah anak tersebut dari istri ke-l, 2, 3 atau ke-4. Begitu pula terhadap

istri-istri, mereka mendapat bagian yang sama tanpa dibedakan apakah ia

istri-istri ke-1, 2, 3 atau ke-4. Semua memperoleh bagian sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Al-Qur'an.


130

B. Saran

1. Agar umat Islam menjadikan poligami itu hanya untuk meningkatkan,

memelihara serta melindungi kaum wanita (istri) dan anak-anak yang ada

pada pemeliharaan mereka.

2. Sebaiknya dalam kalangan para sarjana Islam agar mengemukakan secara

lengkap Surat An-Nisaa' : 3 dan menghubungkan secara sistematis dengan

Q.IV : 127 dan Q. IV: 129.

3. Diharapkan agar para hakim Pengadilan Agama betul-betul mempertahankan

prinsip monogami dalam sistem perkawinan Islam.

4. Sebaiknya untuk melaksanakan azas monogami ditunjang dengan

pemberian sanksi yang tegas dimana sanksi tersebut harus lebih berat bagi

orang-orang yang melakukan poligami secara sewenang-wenang dan

merugikan kaum wanita.


131

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, et. al. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung


: Alumni, 1978.

Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta Bina
Aksara, 1986.

Al'Atthar, Abdul Nasir. Poligami Ditinjau Dai Segi Agama, Sosial dan Perundang-
Undangan. Terjemahan Chodijah Nasution, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.

Al-Qur'an dan terjemahannya.

Azhary M. Tahir. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang No. 1/1974.


Majalah Hukum dan Pembangunan No. 1, Februari, 1987.

Departemen Agama. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta : Proyek Pembinaan


Keagamaan Islam Dirjen Bimas dan Urusan Haii, 1984.

Fachruddin, Fuad M. Masalah Anak Dalam Hukum Islam (anak Kandung, Anak Tiri,
Anak Angkat dan Anak Zinah), Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1985.

Hadits dan tejemahannya.

Hamzah, Amir. Monogami dan Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun


1974 Ditinjau Dari Segi Hukum Islam. Majalah Publik No. 14, 15, Juli -
Oktober, 1976.

Harahap M, Yahya. Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.


Jakarta : Pustaka Kartini, 1983.

Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974. Jakarta :


Tinta Mas. 1986

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) terjemahan R.


Soeboekti dan R. Tjitrosudibio, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1976.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) terjemahan


Moeljatno, Jakarta : Bina Aksara, 1985.
132

Maududi, Maulana Abul A'la. Kawin dan Cerai Menurut Islam (The Law of
Marriage and Divorce in Islam), Terjemahan Achmad Rais, Jakarta :
Gema Insani Press, 1993.

Notopuro, Hardjito. Perkawinan, Pengertian dan Maksud Tujuannya, Majalah


Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Maret, 1970.

Nuraya, Siti Hawa. Pelaksanaan Pasal-Pasal 3 Ayat 2 - Pasal 7 Ayat 2 Pada


Pengadilan Agama Jakarta Utara Tahun 1980-1981. Majalah Hukum
dan Pembangunan No. 52, Oktober, 1985.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Sumur Bandung,


1991.

Prodjohamidjojo, Martiman. Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan


Peraturan Pelaksanaannya Disertai Yurisprudensi. Jakarta : Pradnya
Paramita, 1991.

Rahman, Bakri A, et. al. Hukum Perkawinan Menurut Islam. Undang-Undang


Perkawinan dun Hukum perdata BW. Jakarta : Hidayah Karya Agung,
1981.

Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Ind - Hill - Co, 1990

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Terjemahan Moh. Thalib, Bandung : PT. Alma'arif,
1987.

Siregar, Bismar. Islam dan Hukum. Jakarta : Grafikatama Jaya, 1992.

Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Azas. Jogyakarta : Liberty, 1981.


133

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : INDRA IRIANTO


Tempat / Tgl.Lahir: Pekanbaru / 5 September 1979
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : JL. Gunung Agung No. 7 Kota Pekanbaru
Provinsi Riau

Pendidikan Formal :
- Tamat SDN 016 Kota Pekanbaru tahun 1992
- Tamat SMPN 08 Kota Pekanbaru tahun 1995
- Tamat SMU An-Nur Kota Pekanbaru tahun 1998
- Pernah kuliah di Universitas Islam Riau Fakultas Hukum tahun 1999

Anda mungkin juga menyukai