Anda di halaman 1dari 13

Makalah Sejarah Peradaban Islam

MANUSIA DAN AGAMA

Dosen pengampu : Zaenal Arifin, M.S.I

Disusun oleh :

1. Walid Akbar Mubaroq(21030387)

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam

Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul Wathon Magelang

Tahun 2022
BAB  I
1. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna dibandingkan


dengan makhluk lainnya memiliki beberapa alasan. Di antaranya bahwa
manusia itu beragama, artinya manusia mengabdi kepada Tuhan baik itu
berupa Dewa, patung atau lainnya sesuai dengan pemahaman masing-
masing.

Atas dasar ini, agar kita sebagai manusia mampu menyeimbangkan sifat-
sifat kita sesuai dengan ketentuan agama, khususnya mahasiswa sangat
penting memahami nilai-nilai kemanusian dan unsur-unsur agama
sebagai pedoman hidupnya. Dari beberapa fakta yang ada, khususnya di
negara-negara Barat, lebih menuhankan ilmu dan teknologi di atas
segalanya sehingga mengakibatkan beberapa kehancuran, kekacauan
dan masalah-masalah yang tidak kunjung selesai karena didasarkan
pada nilai-nilai manusia yang negatif. Hal ini tentu bertentangan dengan
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang memfokuskan pada arah
kesatuan, ketenangan dan ketentraman.

Selain sebagai persyaratan mata kuliah Pengantar Studi Islam, kami


merasa sangat penting memahami ruang lingkup sampai kepada
pembahasan tentang hubungan manusia dengan agama yang lebih
dalam berdasarkan beberapa sumber yang kami ambil,

BAB II

1.

1. Manusia dan Alam Semesta

Sesungguhnya dilihat dari sudut pandang manusia, yang ada adalah


Allah dan alam (semesta). Allah pencipta, sedang alam yang diciptakan.
Alam adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera,
perasaan dan pikiran, kemdati samar-samar. Mulai dari partikel
atau zarrah yakni bagian benda yang sangat kecil dan berdimensi
sampai kepada jasad (tubuh) yang besar-besar, dari yang inorganik
sampai pada yang organik, dari yang paling sederhana susunan
tubuhnya sampai kepada yang sangat kompleks (rumit, saling
berhubungan) seperti tubuh manusia. Ruang dan waktu adalah alam.
Juga manusia termasuk alam atau bagian alam semesta

Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam


semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan krja yang teratur, rapi dan
serasi. Keteraturan, kerapian dan keserasian alam semesta dapat dilihat
pada dua kenyataan. Pertama, berupa keteraturan, kerapian dan
keserasian dalam hubungan ilmiah antara bagian-bagian di dalamnya
dengan pola saling melengkapi dan mendukung. Perhatikan, misalnya,
apa yang diberikan matahari untuk kehidupan alam semesta. Selain
berfungsi sebagai penerang di waktu siang, matahari juga berfungsi
sebagai salah satu sumber energi bagi kehidupan. Dari pancaran dan
gerak edarnya yang bekerja menurut ketentuan Allah, manusia dapat
menikmati pertukaran musim, perbedaan suhu antara satu wilayah
dengan wilayah lain. Semua keteraturan dan ketentuan yang disebabkan
sistem kerja matahari itu, pada perkembangannya kemudian
membentuk sistem keteraturan dan ketentuan lain yang telah ditetapkan
oleh Allah. Ingatlah, misalnya, iklim suatu daerah yang berpengaruh
pada keanekaan potensi daerah itu. Kedua, keteraturan yang ditugaskan
kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya.

Kedua hal itulah yang kemudian membuat berbagai keserasian, kerapian


dan keteraturan yang kita yakini sebagai sunnatullah yakni ketentuan
dan hukum yang ditetapkan Allah. Melalui sunnatullah inilah, bumi dan
alam semesta dapat bekerja secara sistematik menurut suatu cara yang
teratur dan rapi, berkesinambungan, tidak berubah-ubah, tetap saling
berhubungan, berketergantungan dan sekaligus secara dinamis saling
melengkapi. Perhatikanlah, misalnya, bagaimana matahari bekerja
menurut ketentuan Allah. Sejak diciptakan sampai akhir zaman, insya
Allah, matahari tetap berada pada titik pusat tata surya yang
mengelilingi sumbunya. Dalam proses itu, menurut penelitian para ahli,
gerak matahari selalu ketinggalan 3 menit 56 detik dari bintang-bintang
yang ada di tata surya. Karena keterlambatan itu, dalam waktu 365 hari
matahari sudah melintasi sebuah lingkaran besar penuh di langit

Setiap waktu, secara teratur dan tetap matahari menyiramkan energinya


kepada alam semesta, tanpa bergeser dari posisi yang ditetapkan Allah
baginya. Bumi, sebagai bagian alam semesta, menyerap sinar matahari
yang turun secara tetap, tidak berubah-ubah. Menurut para ahli, sebesar
seperdua milyar bagian dari seluruh pancaran matahari yang meluncur
ke bumi.

Dari satu bagian tata surya saja dapat dilihat kenyataan, begitu luar
biasanya keteraturan, kerapian, keserasian dan keseimbangan yang ada
pada ciptaan Allah. Tanpa ketepatan yang sangat cermat, mustahil bumi
sebagai bagian tata surya dapat mendukung kehidupan dengan
keseimbangan yang serasi. Sistem kerja seperti inilah secara faktual
membuat para ahli ilmu falak dapat meramalkan berbagai peristiwa
alam seperti gerhana matahari dan bulan, pergantian musim, curah
hujan, prakiraan cuaca dan sebagainya yang sangat bertautan dengan
ketentuan-ketentuan yang telah menjadi hukum dalam sistem alam
semesta.[4]

Dalam lingkup yang lain bisa pula dilihat


bagaimana sunnatullah berlaku pada benda atau makhluk lain yang
sepintas lalu, dianggap tidak berguna, namun ternyata bermanfaat dan
mempengaruhi benda atau makhluk lain. Lihatlah, bagaimana tumbuh-
tumbuhan yang membusuk atau kotoran hewan yang memiliki
sunatullah pada dirinya berguna sebagai pupuk untuk
menumbuhsuburkan tanaman.

Demikianlah kekuasaan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya yang


menyebabkan masing-masing bagian alam ini berada dalam ketentuan
yang teratur rapi, hidup dalam suatu sistem hubungan sebab akibat.
Sampai ke benda yang sekecil apa pun, ketentuan Allah ada dan berlaku,
baik secara mikrokosmetik (berlaku terbatas pada zat benda kecil itu)
maupun dalam skalanya krokosmetik (sistem yang menyuluruh) suatu
benda atau zat membentuk sunatullah baru melalui jalin hubungan yang
dibentuknya.

Sunnatullah atau huum Allah yang menyebabkan alam semesta selaras,


serasi dan seimbang dipatuhi sepenuhnya oleh partikel atau zarrah yang
menjadi unsur alam semesta itu. Ada tiga sifat utama sunatullah yang
disinggung dalam al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ilmu
pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah ; (1) pasti, (2) tetap
dan (3) objektif.

Sifat sunnatullah pertama adalah pasti. Disebut di dalam al-Qur’an pada


QS. al-Furqan : 2 yang terjemahan berbunyi sebagai berikut.

Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak


mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya),
dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
(memastikan) ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.

Sifat sunnahtullah yang pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan


kepaa manusia membuat rancana. Seseorang yang
memanfaatkan sunnatullah dalam merencakan satu pekerjaan besar,
tidak perlu ragu akan ketetapan perhitungannya. Karena, kalau dia
bekerja menurut sunnatullah Allah menjamin kebenaran
perhitungannya. Dan setiap orang yang mengikuti dengan cermat
ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu, bisa melihat hasil pekerjaan
yang dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan dapat
diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya suatu rencana
atau pekerjaan ternyata orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat
dipastikan perhitungannyalah yang salah bukan kepastian yang terdapat
dalam sunnatullah. Manusia yang salah membuat suatu perhitungan
atau perencanaan dengan mudah dapat menelusuri kesalahan
perhitungan dalam perencanaannya.

Kenyataan tersebut di atas di dukung oleh sifat sunnatullah yang kedua


yaitu tetap, tidak berubah-ubah. Sifat ini terdapat dalam bagian QS. al-
An’am:115.; Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai
kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha
mengetahui.

Sifat itu selalu terbukti dalam praktik, sehingga seorang perencana dapat
menghindarkan kerugian yang mungkin terjadi kalau suatu rencana
dilaksanakan. Dengan sifat sunatullah yang tidak berubah-ubah itu,
seorang ilmuwan dapat memperkirakan gejala alam yang akan terjadi
dan memanfaatkan gejala alam itu. Seorang ilmuwan, karena itu, dengan
mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam
lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten.

105. Sifat sunnatullah yang ketiga adalah objektif. Sifat ini tergambar


pada firman Allah dalam QS. al-Anbiya : 105; dan sungguh telah Kami
tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.

Arti saleh adalah baik atau benar. Orang yang baik adalah orang yang
bekerja menurut sunnatullah yang menjadi ukuran kebaikan dan
kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau
menurut sunnatullah adalah orang yang baik. Kebenaran yang terdapat
dalam sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja,
dimana saja. Barang siapa yang mengikuti sunnatullah apapun
pertimbangannya akan mendapat kejayaan dalam hidup dan usahanya
di dunia ini. sebaliknya akan terjadi kalau orang melanggar atau tidak
mengikuti sunnatullah. Ia pasti tidak berhasil.

Contoh ekstrim berikut dapat menjelaskan apa yang dikemukakan di


atas. Di suatu padang yang luas tanpa ada bangunan atau pepohonan
lain, terdapat dua menara yang menjulang sama tingginya. Satu adalah
menara masjid dan yang satu lagi menara casino (tempat bermain judi)
dengan papan iklan minuman memabukkan di atasnya. Menara masjid
itu tidak memakai penangkal petir karena pertimbangan bahwa masjid
adalah bangunan untuk mendirikan shalat dan menaranya digunakan
untuk memanggil orang mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Menara casino dengan iklan minuman memabukkan di atasnya,
memakai penangkal petir memenuhi sunatullah. Dari uraian singkat ini
jelas bahwa sunnatullah itu objektif tanpa pilih kasih. Apa atau siapa
saja yang tidak mengikutinya, bahkan melanggar sunnatullah mendapat
hukuman. Apapun alasan pelanggaran itu, termasuk kebodohan dan
kealpaan di dalamnya

2.Manusia Menurut Agama Islam

Manusia adalah makhluk yang sangat menarik. Oleh karena itu, ia telah
menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. para ahli
telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing tetapi
sampai sekarang para ahli masih belum mencapai kata sepakat tentang
manusia.

Di dalam al-Qur’an manusia disebut antara lain bani Adam (Q.S. al-Isra’


(17):70), basyar (Q.S. al-Kahfi (18):110), al-insan (QS. al-Insan (76):1)
dan an-naas (Q.S. an-Naas (114):1)

Menurut ajaran Islam, manusia dibandingkan dengan makhluk lain,


mempunyai berbagai ciri, antara lain ciri utamanya adalah :

I. Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang baik,


ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Karena keunikkannya dapat
dilihat pada bentuk dan struktur tubuhnya, gejala-gejala yang
ditimbulkan jiwanya, mekanisme yang terjadi pada setiap organ
tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui tahap-tahap tertentu.
Terlepas dari kesempurnaannya, manusia memiliki kelemahan
yang bersifat melekat dalam dirinya, di antaranya disebutkan di
dalam al-Qur’an adalah melampaui batas (Q.S.Yunus
(10):12), zalim (Q.S.Ibrahim (14):34), tergesa-gesa (QS. al-Isra’
(17):11) dan lain sebagainya. Namun untuk kepentingan dirinya
manusia ia harus senantiasa berhubungan dengan penciptanya,
dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri dan dengan alam
sekitarnya.
II. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Mengabdi
kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur
khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus, yaitu
segala pengabdian langsung kepada Allah yang cara dan waktunya
telah ditentukan Allah sedang rinciannya disampaikan oleh Rasul-
Nya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Pengabdian melalui jalur
umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan
baik yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
III. Manusia dijadikan Tuhan untuk menjadi khalifah –Nya di bumi.
Sebagaimana firman Allah pada QS. al-Baqarah (2):30 dinyatakan
bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya di
bumi. Perkataan ‘menjadi khalifah’ pada ayat tersebut
mengandung makna bahwa Allah menjadikan manusia wakil atau
pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan
melaksanakan segala yang diridhai-Nya di muka bumi ini.
IV. Memiliki akal, perasaan dan kemauan atau kehendak. Dengan akal
dan kehendaknya manusia akan tunduk dan atuh kepada Allah,
menjadi muslim; tetapi dengan akal dan kehendaknya juga
manusia dapat tidak percaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada
kehendak Allah bahkan mengingkari-Nya. Selain itu akal, perasaan
dan kemauan diberikan kepada manusia sebagai penunjang
manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Apakah
mampu memakmurkannya atau malah merusaknya.
V. Berakhlak adalah ciri-ciri manusia yang membedakan dengan
makhluk lain. Dengan potensi akalnya manusia bisa memilih mana
yang baik dan mana yang buruk secara bijak. Untuk itulah Nabi
salah satu pengutusannya oleh Allah guna menyempurnakan
akhlak yang baik kepada manusia.
3. Hubungan Manusia dengan Agama

Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan


berlangsung di sekitar manusia dan dalam diri manusia, tetapi tidak
dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam
kategori gaib. Karena banyak hal atau eristiwa gaib ini menurut
pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehiupan penuh dengan
kegaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka lemah tidak berdaya.
Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan
yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau
Tuhan. Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa
atau Tuhan itu membnetuk agama. Manusia, karena itu, dalam
masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dengan agama.
Gambaran itu berlaku di seluruh dunia.

Dalam masyarakat modern yaitu masyarakat yang telah maju, mayarakat


yang telah memahami peristiwa-peristiwa alam dan dirinya melalui ilmu
pengetahuan, ketergantungan kepada kekuatan yang menguasai gaib
dalam masyarakat sederhana, menjadi berkurang bahkan di beberapa
tempat bagian dunia hilang.

Hubungan manusia dengan agama sangat berpengaruh besar bagi


masyarakat modern seperti sekarang ini. Terlebih di negara-negara barat
dengan mengenyampingkan agama dan menempatkan ilmu dan akal
manusia semata-mata sebagai satu-satunya ukuran menilai segala-
galanya, yaitu paham yang menjadikan manusia sebagai pusat.
Pemahaman tersebut telah menyebabkan berbagai krisis dan malapetaka
dan karena pengalaman itu, kini manusia di bagian dunia mulai beralih
perhatiannya kepada agama. Ini disebakan karena beberapa hal,
diantaranya yaitu, yang pertama para ilmuwan yang selama ini
meninggalkan agama di seluruh dunia kembali kepada agama sebagai
pegangan hidup yang sesungguhnya. Lalu yang kedua karena harapan
manusia kepada otak manusia untuk memecahkan segala masalah yang
dihadapinya pada abad-abad yang lalu, ternyata tidak terwujud.

Akibat dari pemahaman yang mengatakan ilmu dan akal segalanya,


orang menjadi ragu atau tidak sepenuhnya lagi percaya kepada
kemampuan manusia untuk memperbaiki kehidupan yang bahagia
tanpa agama. Dengan sains dan teknologi, memang kehidupan manusia
menjadi senang, tetapi perkembangan sains dan teknologi, terutama
teknologi perang, menyebabkan kehidupan manusia, seluruhnya
menjadi tidak tenang. Perang dunia pertama dan kedua yang terjadi di
abad ini telah membuktikan bahwa teknologi yang amat maju dengan
mudah memusnahkan kehidupan manusia dan kemanusiaan. Untuk
mengendalikan teknologi yang maju itulah, kini manusia memerlukan
kembali, lebih dari masa yang lampau, pedoman dan pegangan hidup
yang sejati, yaitu agama yang mampu mengendalikan dan mengarahkan
penggunaan teknologi untuk kepentingan umat manusia secara
keseluruhan. Dengan panduan agama, terutama agama yang berasal dari
Allah, teknologi dapat dikembangkan dan diarahkan untuk tujuan-
tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan, membawa keselamatan dan
kebahagiaan umat manusia.

Salah satunya adalah agama Islam, agama akhir yang tetap mutakhir,
agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya
untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang terbentang di alam semesta
dan memahami ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat di dalam al-Qur’an.

Di kalangan cendekiawan muslim Indonesia ada pemikiran untuk


memadukan ilmu dengan agama, mengendalikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan agama agar ilmu pengetahuan dan
teknologi benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan
manusia, terutama pada abad XXI yang akan datang. Ini juga menjadi
kehendak bangsa Indonesia. Pengembangan dan penerapan teknologi di
tanah air kita, demikian dalam GBHN 1993, harus senantiasa antara
lain, berpedoman pada nilai-nilai agama yang dalam GBHN 1993 itu
disebut dengan istilah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Nilai agama, karena itu, budaya Indonesia akan menjadi
pengendali perkembangan sains dan teknologi di tanah air kita. Kalau
dirumuskan secara singkat pengembangan iptek harus selaras dan
menyatu dengan pengembangan imtak (iman dan takwa) sebagai
komponen inti ajaran agama. Dengan kata lain, iptek dan imtak menjadi
satu dan padu. Tidak ada salahnya kalau disebut sebagai contoh, salah
satu universitas di tanah air kita yang dengan tegas menyatakan bahwa
iptek (misalnya teknologi kedokteran) tidak boleh dipergunakan
merusak manusia dan kehidupan manusia adalah Universitas Indonesia
yang terlihat pada kerangka kebijaksanaan yang terdapat pada lambang
universitas itu.

Sebagai penutup butir ini agaknya tidak salahnya juga kalau


dikemukakan sebagai informasi bahwa dikalangan ilmuwan Islam
penyatuan agama dan ilmu telah menjadi cita-cita. Dengan mengikuti
tradisi yang dikembangkan oleh Ghazali dengan ilmu fardu ‘ain, yaitu
ilmu yang wajib dituntut, diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim
dan ilmu fardu kifayah, yaitu ilmu yang kalau sudah dituntut orang lain,
tidak diwajibkan yang lain menuntutnya pula, Ibnu Khaldun dengan
ladunni atau ilmu yang diperoleh dari Allah tanpa usaha manusia dan
insani yaitu ilmu hasil penalaran manusia.

Ilmu pengetahuan dibagi dua. Pembagian ilmu ke dalam dua kelompok


ini dipertegas oleh Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977
dengan nama (1) revealed knowledge, yaitu ilmu pengetahuan yang
diwahyukan dan (2) acquired knowledge, yaitu ilmu pengetahuan hasil
nalar manusia. Di kurikulum Universitas Islam Antar Bangsa Kuala
Lumpur, ilmu yang terdapat di dalam al-Qur’an (revealed
knowledge) itu disebut ilmu ilahi (ilmu Allah) sedang ilmu yang
dikembangkan dari hasil penalaran (acquired knowledge) disebut ilmu
insani. Di dalam kepustakaan Islam ilmu jenis pertama disebut ilmu
yang bersumber dari wahyu, sedang ilmu jenis kedua disebut ilmu yang
bersumber dari ra’yu (penalaran). Kedua macam ilmu ini perlu
dibedakan tetapi tidak boleh dipisahkan seperti tradisi ilmu yang berasal
dari barat (semata-mata insani) yang diajarkan di perguruan-perguruan
tinggi, juga di perguruan tinggi di tanah air kita. Dalam kebangkitan
Islam dan untuk kejayaan umat Islam di masa yang akan datang, kedua
ilmu itu seyogyanya dipergunakan. Ilmu ilahi atau ilmu yang datang dari
Allah yang terdapat dalam ajaran agama menjadi dasar atau titik toak
pengembangan agama menjadi dasar yang dikembangkan oleh
penalaran manusia. Ilmu insani tidak boleh bertentangan dengan ilmu
Ilahi.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Allah menciptakan alam semesta ini, memiliki bentuk kerapihan,


keserasian yang sangat mengagumkan dan saling berhubungan antar
makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya. Atas dasar sunatullah,
penciptaan alam semesta khususnya bumi, sebagai tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya memiliki penghidupan. Terlebih Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, dengan artian
bahwa semua penciptaan ditujukan untuk kemaslahatan kehidupan
manusia itu sendiri. Hanya tinggal manusianya saja, apakah mampu
mengelola kekayaan bumi untuk kemaslahatan bersama atau
menjadikan sebab akibat suatu musibah hasil dari kerserakahan,
ketidakpedulian manusia kepada lingkungan dan alam semesta ini.

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, memilki


beberapa keunggulan dibandingkan makhluk lainnya. Di antaranya
adalah manusia memiliki potensi berupa akal dan kemauan, manusia
dikhususkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, manusia
memiliki akhlak yang bersumber dari akal pikiran dan kehendaknya
yang menentukan.

Sebab manusia memiliki dua sisi, yaitu baik dan buruk. Maka agama
sangat penting perannya untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup
manusia. Agar manusia mengetahui batasan-batasan yang harus
dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan. Sehingga dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, agama mampu
menjadi penyeimbang agar manusia menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi bukan untuk kehancuran.

DAFTAR ISI

Abdulrahim, M. Imaduddin: Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, t.p.


1996.

Ali S.H, Prof. H. Mohammad Daud: Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali


Pers,2011.

Raliby, Osman: Allah, Alam dan Manusia, Jakarta, Fajar Sidiq, t.t.

Rasyid, N.A.: Manusia dalam Konsepsi Islam, Jakarta, Karya Indah,


1983.

Rasjidi, H.M.: Koreksi tentang Sekularisme, Jakarta, Bulan Bintang,


1972.

Soedirman, Basofi M: Eksistensi Manusia dan Agama, Jakarta, Annash,


1995.

Lihat Osman Raliby, Allah, Alam dan Manusia, Jakarta: Fajar Sidiq,
1998, hal. 33.

 Lihat Basofi M. Soedirman, Eksistensi Manusia dan Agama, Jakarta:


Annash, 1995, hal.1.

 Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Pendidikan Agama Islam, Rajawali


Pers, 2011. hal.2-3.

Basofi M. Soedirman, op.cit. hal. 3-4.

 M. Imamuddin Adulrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta: t.p,


1996. hal:30.

M. Imamuddin Abdulrahim. Op.cit. hal.26-35.


N.A. Rasyid, Manusia dalam Konsepsi Islam, Jakarta: Karya ndah, 1983.
hal. 19.

H. M. Rasjidi, Koreksi tentang Sekularitas, Bulan Bintang, 1972.hal.71.

 Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H. op.cit. hal.40.

 Prof. H. Mohammad Daud Ali, S. H. Op.cit. hal.46-47.

Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H. op.cit. hal.48-49.

Anda mungkin juga menyukai