Anda di halaman 1dari 19

HOTARUBI NO MORI E

PROLOG
Akhirnya, libur musim panas yang di nanti-nantikan pun tiba. Di depan
koridor, aku tengah sibuk menyiapkan tasku. Di tengah kesibukanku, muncullah
ibuku yang berseru “Hotaru, pastikan kamu mendengar semua perkataan
pamanmu ya!”. Ya, itulah namaku, lebih lengkapnya Takegawa Hotaru,seorang
gadis SMA yang selalu menunggu libur musim panas. Aku hanya mengiyakan
seruan ibuku.
Meskipun begitu, ibuku tetap khawatir. “Aku sudah sering ke sana tiap tahun,
jadi jangan khawatir” ucapku sambil pamit dan pergi menuju halte.
Aku menunggu bis di sebuah halte. Meskipun matahari memancarkan sinar
dengan panasnya, aku tetap menunggu sambil bergumam dalam hatiku “pertama
kali aku bertemu dengannya, saat aku berumur 6 tahun”
BAB 1
Suatu hari dimusim panas. Aku yang saat itu masih berumur 6 tahun tersesat
di hutan para dewa gunung. Rumornya di hutan itu banyak roh yang tinggal.
Aku yang tersesat berlari kesana kemari berusaha mencari jalan pulang.
Percuma saja. Akhirnya aku kelelahan dan menyerah, duduk sendirian di hutan
itu. Menangis karena ketakutan dan kesepian. Pada saat itulah dia muncul dan
memanggilku. “Oi, Chibi(hei, bocah)!” panggilnya kepadaku.
Aku menaikkan kepalaku dan menoleh mencari sumber suara itu. Ternyata
seorang pria berperawakan seperti anak SMA dengan rambut berwarna putih yang
memakai topeng kelinci sehingga menutupi wajahnya yang mmanggilku dari balik
pepohonan
Aku berdiri dan berlari mengejarnya. “Ada orang. Aku selamat” teriakku.
Tetapi, saat aku hampir memeluknya. Buukk. Aku terjatuh karena dia malah
menghindariku.
Dia meminta maaf dan bertanya kepadaku “kau anak manusia kan?”. Aku
sedikit bingung dan menatap orang itu.
“Jika seorang manusia menyentuhku, aku akan menghilang” tambahnya
Aku yang masih heran bertanya padanya “seorang manusia... Apa kakak
bukan manusia?”.
Dia menjawab “aku adalah ‘sesuatu’ yang tinggal di hutan ini.
“Kalau begitu, salah satu roh di sini ya?” balasku lalu bertanya kembali
“tapi... Apa maksudnya dengan menghilang?”.
Dia hanya diam. ‘Tidak ada yang tau jika tidak mencobanya” pikirku. Maka
aku mencoba menyentuh pria itu dan dia menghindar. Kucoba sekali lagi, masih
sama dan berkali-kali ku mencoba hingga akhirnya aku berhasil menyentuhnya.
Menyentuh tongkat kayu yang dia pukulkan ke kepalaku.
Sakit. Reflek aku langsung memegang kepalaku sambil berkata “ternyata
memang bukan manusia ya? Tak mungkin seorang manusia memukul anak-anak
seperti itu”.
“Menghilang itu maksudnya lenyap dari muka bumi” katanya. “Itu adalah
sebuah mantra yang di berikan dewa gunung kepadaku”.
Aku pun mengangguk mengerti dan minta maaf. Dia memberiku ujung
tongkat yang digunakan untuk memukulku padaku. Dan dia memegang ujung
yang satunya lagi.
“Kau tersesatkan? Aku akan menuntunmu keluar dari hutan ini”.
Aku berterima kasih dan memeluknya. Dan dia memukulku dengan tongkat
tadi sambil berkata “bukankah sudah kubilang barusan?”.
BAB 2
Di perjalanan dia bertanya padaku “apa kau... Tidak takut padaku?.
“Nanika (apanya)?” aku bertanya balik.
“Lupakan saja” balasnya.
Dia menuntunku sampai di sebuah pintu keluar kuil yang berbatasan langsung
dengan hutan.
“Jika kamu terus berjalan lurus, kamu akan menemukan jalanan” ujarnya
Aku bertanya “apa kakak akan selalu berada di sini? Jika aku kembali lagi
kesini, apa kita akan bertemu lagi?”.
Angin bertiup kencang tepat saat pria itu memperingatiku “ini adalah sebuah
hutan dimana dewa gunung dan para roh tinggal. Jika kau menginjakkan kaki di
sini lagi, kamu akan tersesat selamanya. Kau seharusnya tidak datang kesini.
Itulah yang di katakan para penduduk kan?”
Seolah mengubah arah pembicaraan, aku memperkenalkan diriku “aku
Takegawa Hotaru, dan kakak?”. Alih-alih menjawab, dia hanya diam. Dengan
setengah berteriak aku berkata “pokonya, aku akan kembali lagi besok dengan
sebuah hadiah karena telah membantuku. Sayonara(sampai jumpa)”
Aku langsung berlari meninggalkannya. Sesaat setelah itu, “Gin. Namaku
Gin” ucapnya. Aku berhenti dan menoleh kebelakang. Tidak ada siapa-siapa. Pria
yang bernama Gin itu pergi seolah menghilang tanpa jejak.
BAB 3
Aku melanjutkan jalanku. Di tengah perjalanan, aku melihat pamanku yang
juga sedang mencariku. Aku berlari arahnya dan... Bukkk. Setelah mendapatkan
dua pukulan di kepala dari Gin, sekarang aku mendapat satu pukulan lagi dari
pamanku.
Dia marah dan berkata “kamu pergi kehutan sendirian, bagaimana jika terjadi
apa-apa nantinya?”
Aku menangis memeluk pamanku. Bukan karena dimarahi, tetapi karena
tersesat di hutan tadi.
Aku dan pamanku berjalan pulang. Dalam perjalanan aku bertanya kepadanya
“apa benar jika para roh hutan tinggal disana?”. Dia menjawab “oh, hutan tempat
tinggal dewa gunung ya... Entahlah...”.
Dia menceritakan masa lalunya “ketika aku kecil dulu, aku ingin bertemu
para roh, jadi aku dan teman- temanku terkadang pergi ke sana. Pada akhirnya
tidak menemukan satu pun. Namun... Aku yakin terkadang melihat sesuatu di
ujung pandanganku”.
“Ketika suatu malam pada musim panas, kamu bisa mendengar suara-suara
dari sungai di dekat hutan sana.Temanku, Iwa-chan bilang ‘mereka bersenang-
senang pada sebuah festival musim panas di sana. Tapi tak seorang pun yang
mengadakan festival itu’. Jadi kupikir ‘ festival apakah itu?’. Dan pada akhirnya
menjadi sebuah cerita aneh karena mereka di perkirakan diam-diam datang ke
sebuah festival para roh” tambahnya.
BAB 4
Keesokan harinya, sesuai dengan perkataanku, aku pergi kehutan untuk
menemui Gin dan memberinya hadiah. “Kau datang juga ya, kupikir kau benar-
benar tidak kembali lagi kesini” ujarnya sambil duduk di tangga kuil yang
kemarin.
Aku diam sejenak dan berkata “kakak... Kau benar-benar menungguku ya!”
sambil berlari kearahnya. Sama seperti kemarin, dia memukulku dengan tongkat
kayu lagi. Ternyata dia sudah menyiapkan tongkat untuk berjaga-jaga jika aku
mengejarnya.
Lalu Gin mendekatiku dan mengajakku ke dalam hutan. “Daijoubu dayo
(tidak apa-apa), aku akan mengantarmu lagi kesini nanti”. Aku senang dan
berjalan mengiringi langkahnya.
Di dalam hutan, aku melihat sekeliling, tiba-tiba aku merasakan ada yang
mengikuti kami. Dan benar saja, sesosok roh berwarna hitam muncul tak jauh dari
kami berdua. Sepertinya dia adalah teman Gin. Berkatalah dia kepada Gin “Gin,
bukankah dia itu anak manusia? Bolehkah aku memakannya?”. Aku yang
ketakutan mencoba sedikit mendekat ke arah Gin.
Gin membalas perkataan roh itu “jangan. Tomodachi dakara (dia adalah
temanku)”.
“Begitu ya?” balas roh itu pada Gin. “Anak manusia, tolong jangan sampai
menyentuh Gin. Jika tidak, aku akan memakanmu”.
Setelah selesai roh itu bicara, Gin langsung mengusir roh tersebut. Sehingga
roh hitam yang tadi kulihat, telah berubah menjadi seekor rubah dan pergi
menjauh meninggalkan kami. Gin berkata “dia adalah salah satu roh disini. Dia
sering berubah untuk menakuti orang-orang, tapi semuanya hanyalah perkataan
belaka saja”.
Seketika rasa takut yang tadinya muncul menghilang. Aku pun berteriak
senang karena sudah melihat roh asli. “HEBAT, HEBAT, HEBAT” teriakku.
Saat itu, Gin bergumam “memangnya kamu pikir aku ini apa?”.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Aku bertanya pada Gin “Gin, apakah
kamu roh tanpa muka? Kenapa kamu selalu memakai topeng?”.
“Biasa saja” jawabnya pendek. “Jangan pikirkan tentangku, ceritakan saja
tentangmu!” lanjutnya.
“Apa kau ingin tau?” aku meyakininya.
Gin membalas “ya, karena itu aku menunggumu” tanpa sedikit pun menoleh
kepadaku.
BAB 5
Hari-hari berikutnya, aku kembali lagi ke hutan. Hari-hari di musim panas itu,
aku berlari dan bermain di sekitaran hutan itu. Walaupun kedengarannya bodoh,
tapi memang hari-hari itu begitu menyenangkan.
Suatu hari, aku mau memberinya bunga yang aku ambil di sebuah hamparan
yang luas. Saat aku mendekatinya, ternyata Gin saat itu seperti sedang tidur. Aku
tak bisa mengetahuinya karena dia selalu memakai topeng kelinci.
Aku berniat melepasnya sambil berpikir tak masalah jika aku menyentuh
topengnya. Setelah berhasil melepaskan topengnya, akhirnya aku mengetahui
bagaimana wajah Gin. Ternyata dia memang sedang tidur. Karena cahaya
matahari, tiba-tiba Gin membuka matanya dan itu membuatku kaget. Refleks aku
menutup wajahnya lagi dengan topengnya dengan keras.
“Aduh” rintihnya kesakitan. “Menyerang seseorang ketika tertidur, kamu ini
benar-benar gadis yang menyeramkan”.
“Gomennasai (maafkan aku), tapi kau... Pura-pura tidur kan?”.
Di topangkanlah dagunya dengan tangan kanannya sambil berkata “aku
terlihat biasa kan?”.
Aku yang heran bertanya lagi “kenapa kamu memakai topeng?”.
“Jika aku tak memakai topeng ini, aku tak seperti roh pada umumnya kan?”.
Aku menatap Gin dengan wajah agak kecewa “dasar aneh”.
BAB 6
Saat aku dan Gin berjalan di kuil untuk perjalanan pulang, aku berkata
“Emm, Gin. Aku mungkin tidak bisa datang lagi kemari mulai besok. Aku sudah
cerita sebelumnya kan? Kalau aku hanya bisa tinggal di tempat pamanku selama
libur musim panas saja. Jadi, mulai besok aku harus pulang kerumah”.
Gin menghentikan jalannya. “Apa kamu akan kembali kesini tahun depan?”
Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan
Inilah kenapa, musim panas menjadi suatu hal yang aku nanti-nantikan. Dan
Gin menantikan janji kami.
Saat aku berjalan berdua dengannya, tak jarang ada teman rohnya yang
berusaha melindungunya. Dan dia meyakinkan mereka bahwa dia baik-baik saja.
Begitulah hari-hariku bersama Gin di musim panas. Walaupun tiap tahun
pertumbuhanku terus bertambah, tapi tidak dengan Gin karena dia adalah salah
satu roh di hutan tempat kami biasa bermain. Apa karena pertumbuhannya lebih
lambat di bandingkan manusia?
BAB 7
Seperti biasa, saat musim panas aku selalu pergi mengunjungi Gin di hutan.
Terkadang aku memakai seragam sekolahku untuk menemuinya. Beberapa aku
melihat Gin membuka sendiri topengnya. Saat itu Gin sedang menengadahkan
kepalanya ke langit. Angin yang lewat terlihat menyibakkan rambutnya yang
putih dan beberapa ekor kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Keren. Itu kesan
pertamaku saat melihatnya seperti itu.
Suatu hari ketika sedang puncaknya musim panas, aku duduk di teras
bersama pamanku sambil memakan beberapa potong semangka. Pamanku berkata
“semangka ini manis sekali, pasti karena tahun ini musim panasnya lebih panas
dari biasanya. Kalau begini terus nanti saat musim dingin pasti sangat dingin, dan
mungkin bisa saja membekukan dewa gunung”.
Mendengar perkataan pamanku, aku berinisiatif membuat sebuah syal untuk
Gin dan menghadiahkanna untuk di gunakan ketika musim dingin tiba. Aku pun
pamit pada Gin dan bilang “sampai jumpa lagi di tahun depan” sambil
melambaikan tangan. Gin membalas lambaianku.
BAB 8
Saat di sekolah, pada musim dingin, aku mengkhawatirkan Gin. Terkadang
aku tak bernafsu ketika makan gara-gara terus memikirkannya. Bahkan teman-
temanku sering melihatku melamun. Itu memang benar, karena aku ingin bertemu
dengan Gin. Aku berpikir “kapan aku bisa menyentuhmu, Gin?”
Sementara itu di hutan yang sudah dipenuhi oleh salju, Gin yang sedang
memakai pakaian musim dingin tengah duduk di tangga kuil seperti sedang
menungguku.
BAB 9
Akhirnya, musim panas yang berikutnya datang datang. Seperti biasa aku
mengunjungi Gin di depan kuil dan berjalan di dalam hutan bersama. Hingga
akhirnya kami sampai di sebuah kolam di dalam hutan. Saat itu Gin mengatakan
“kamu sudah tak pernah berlari lagi akhir-akhir ini ya?”.
“Tentu saja, kalau begitu aku pasti selalu di pukul olehmu”
“Aku menantikannya. Dalam tiga tahun lagi ketika aku lulus, aku berencana
mencari pekerjaan di sini. Dengan begitu, aku bisa lebih banyak bersama
denganmu. Ketika musim gugur, dingin, semi. Aku bisa selalu bersamamu. Iya
kan?” lanjutku.
Gin yang sedang menatapku tiba-tiba memanggilku dan berkata. “Hotaru.
Biarkan aku memberitahumu sesuatu tentangku. Aku ini sebenarnya bukan roh.
Keredo (tetapi), aku sudah bukan lagi seorang manusia. Sepertinya dulu aku ini
memang seorang manusia. Tapi mungkin ketika aku bayi dulu, aku di tinggalkan
di hutan ini. Aku yang baru saja di tinggalkan orang tuaku, terus-terusan
menangis. Para roh yang melihatku mengatakan bahwa aku menangis begitu lama.
Aku mungkin saja meninggal saat itu, tapi dewa gunung datang dan memberikan
mantera agar aku di perbolehkan terus hidup. Agar aku tak pernah meninggalkan
tempat itu. Aku ini seperti hantu”.
“Hotaru” Gin memanggilku sekali lagi. “Tak apa jika kau melupakanku.
Sebuah badan yang di pertahankan oleh mantera itu begitu lemah. Jika tersentuh
tubuh asli manusia, mantera itu akan hancur dan tubuhku akan lenyap. Sungguh
sebuah hal yang sangat rapuh. Seberapa lama kamu ak...”
“Sesuatu yang akan lenyap ketika di sentuh” aku memotong perkataan Gin.
“Mirip dengan salju kan? Aku selalu memikirkanmu selama musin dingin
kemarin. Bahkan ketika musim gugur, dan musim semi”
“Gin” aku memanggilnya. “Wasurenaide ne watashi no koto(jangan lupakan
aku ya)!”
“Waktu mungkin akan memisahkan kita suatuhari nanti. Tapi,
soredemo(walaupun begitu), sampai hari itu datang, mari tetap bersama” pikirku
BAB 10
“Festival para roh?” aku mengulangi perkataan Gin setelah dia mengatakan
kalimat yang sama. Kami sedang memancing ikan di sebuah sungai saat Gin
menceritakan festival tersebut.
“Chigau(bukan), festival musim panas yang diadakan oleh para roh” katanya
seolah menyalahkanku.
“Tak ada bedanya dengan festival biasa” aku menyanggah ucapannya.
“Tapi nuansanya berbeda” Gin membalas sanggahanku. “Ketika kamu kecil
dulu, kupikir kamu mungkin takut, jadi aku tidak mengundangmu” tambahnya.
“Tapi malam ini, bisakah kamu menyelinap keluar dari rumah? Aku ingin pergi
bersamamu sejak dulu kala”.
Siapa sangka kalau aku di ajak pergi bersamanya meskipun itu adalah festival
yang diadakan oleh para roh. Dengan semangat aku menerima ajakannya.
“Kalau begitu, kita bertemu di tempat biasa jam delapan” lanjutnya.
“Tapi sebuah festival yang diadakan oleh para roh mungkin sedikit
menakutkan... Dan juga, diadakannya saat malam hari” balasku ragu-ragu.
“Daijoubu (tenang saja)” ucapnya sambil mengangkat topeng kelinci itu dari
wajahnya. “Luarnya juga sama seperti festival manusia pada umumnya. Lagipula,
festival ini meniru festival manusia. Hotaru, ore ga mamoru yo (aku akan
melindungimu)”.
“Saat kamu bilang begitu, rasanya aku ingin memelukmu”. Begitulah
tanggapanku setelah mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.
“Silahkan saja” balas Gin dengan bercanda
Aku hanya bisa menatap lama dirinya.
BAB 11
Aku menepati janjiku dan pergi ke festival para roh tersebut. Kami berjalan,
dan benar saja, semuanya terlihat seperti festival yang dilakukan manusia. Aku
bertanya “apa semuanya menyamar menjadi manusia?”.
“Benar, hebat bukan?” Gin menjawab. “Kadang malah ada manusia yang
datang berbaur”.
Lalu Gin memberikan sebuah kain untuk diikatkan di pergelangan tanganku.
Dan Gin melakukan hal serupa dengan ujung kain yang satunya lagi, supaya tidak
berpencar.
“Mirip seperti kencan ya?” ujarku.
“Mirip seperti kencan ya?” Gin mengulangi perkataanku dengan nadanya
yang mencoba untuk menggodaku.
Kami melihat kembang api, membeli makanan, melihat-lihat suvenir dan
menyaksikan pertunjukkan. Kami sampai di bilang pacaran oleh anak-anak yang
ada di festival itu.
BAB 12
Saat di perjalanan pulang, Gin memanggil namaku “Hotaru, aku tak sanggup
menunggu musim panas datang lagi. Meskipun aku ada di keramaian, saat jauh
darimu, aku ingin pergi menemuimu”.
Aku hanya menatap Gin. Tiba-tiba, Gin melepaskan topengnya dan
memakaikannya ke wajahku. Lalu dia mencium sisi kanan topeng itu, yang mana
tepat di belakangnya adalah pipiku.
Setelah itu Gin mengatakan sesuatu yang tidak ku sangka “ambillah topeng
itu”. Aku hanya diam dengan wajah di balik topeng itu.
Aku bergumam dalan hatiku “ kuyakin, dia takkan datang ke tempat itu lagi
saat musim panas. Apakah dia memberiku kenang-kenangan?”.
Tiba-tiba saja dari arah belakang kami, dua orang anak sedang berlarian.
Entah kenapa salah satu dari anak itu tersandung, karena Gin berada dekat dengan
anak itu, maka Gin langsung meraih tangan anak tersebut. Aku mendekatinya dan
berkata “kamu baik-baik saja?”.
“Iya, terima kasih” jawab si anak itu. Setelah itu dia langsung pergi menysul
temannya yang satunya lagi.
Saat aku menoleh ke arah Gin, aku melihat ujung jarinya mengeluarkan
cahaya-cahaya kecil seperti kumpulan kunang-kunang yang menuju ke langit.
Aku kaget dan berkata dengan setengah teriak “ apa anak tadi itu manusia?”.
Gin yang melihat tangannya menoleh padaku. Kini terlihat bahwa seluruh
tubuhnya bercahaya. Aku dengan panik menyeru namanya “Gin?”
Gin yang saat itu mengulurkan kedua tangannya tersenyum dan berkata
padaku “kemarilah, Hotaru. Akhirnya aku bisa menyentuhmu.
Sedih dan senang bercampur aduk dalam hatiku. Sedih karena Gin akan
menghilang, senang karena akhirnya aku bisa menyentuh dan memeluk Gin.
Tanpa menungu lama, aku bergegas berlari menuju Gin dan memeluknya. Dengan
cahaya yang semakin banyak berterbangan ke langit, aku merasakan sosok Gin
yang perlahan menghilang. Sampai pada akhirnya yang kupeluk hanyalah pakaian
Gin yang ia gunakan saat ke festival tadi.
Aku menangis saat cahaya kecil yang terakhir pergi menjauhiku. Entah
kenapa aku masih bisa mendengar suara Gin lewat cahaya kecil terakhir tadi. Dia
berkata “sukida yo (aku mencintaimu)”
“Aku juga mencintaimu”
Aku memegang topeng Gin dan memeluknya. Aku berkata dalam hatiku “di
balik hijaunya, hutan roh gunung ini...”
Tanpa kusadari semua roh di hutan muncul di depanku dan berkata “arigatou
Hotaru(terima kasih Hotaru). Sebenarnya kami ingin bersama Gin untuk
selamanya. Tapi, sepertinya Gin ingin sekali menyentuh manusia. Akhirnya dia
dipeluk manusia ya...”
“Mungkin aku takkan menantikan musim panas untuk datang lagi. Dadaku
terasa sesak. Air mataku tak terbendung. Tapi kehangatan di tanganku dan
kenangan selama musim panas ini akan terus ada di lubuk hatiku” pikirku sambil
membawa topeng Gin pulang ke rumah.
EPILOG
Akhirnya aku sampai juga di rumah pamanku. Terlihat pamanku sedang
menungguku di depan rumahnya dan mempersilahkanku untuk masuk. “Ayo terus
melangkah” gumamku.
HOTARUBI NO MORI E
TUGAS BAHASA INDONESIA
MEMBUAT NOVEL

OLEH
NAMA: HAZIQ AKMA ANGGARA
KELAS: XII MIPA 5
SMA N 1 KOTA SOLOK
TP: 2022/2023

Anda mungkin juga menyukai