Anda di halaman 1dari 11

MATERI ARTIKEL DAN UUD TEORI PERENCANAAN

1. jurnal spatial planning system in Transitional Indonesia yang ditulis oleh Delik Hudalah
dan Johan Woltjer pada tahun 2014
VERSI FULL=============================================================
Artikel "Spatial Planning System in Transitional Indonesia" yang ditulis oleh Delik Hudalah dan Johan
Woltjer pada tahun 2014 membahas sejarah dan perkembangan sistem perencanaan tata ruang di
Indonesia sejak zaman kolonial hingga era reformasi. Berikut adalah tahun-tahun penting yang
dijelaskan dalam artikel tersebut:

• 1926: Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Landelijke Inrichtings Commissie (LIC)


atau Komisi Perencanaan Nasional sebagai badan yang bertanggung jawab atas perencanaan
tata ruang di Hindia Belanda.
• 1960: Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Perencanaan Pembangunan yang mencantumkan perencanaan tata ruang sebagai salah satu
aspek penting dari perencanaan pembangunan nasional.
• 1967: Dibentuknya Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang memegang peran penting dalam
perencanaan tata ruang di Indonesia.
• 1975: Dibentuknya Lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai badan
yang bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan nasional, termasuk perencanaan tata
ruang.
• 1982: Dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1982 tentang Pembangunan Nasional
yang mencantumkan perencanaan tata ruang sebagai salah satu instrumen penting dalam
pembangunan nasional.
• 1992: Dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang
merupakan undang-undang pertama yang secara khusus mengatur perencanaan tata ruang di
Indonesia.
• 2007: Dikeluarkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
menggantikan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 dan memberikan tugas baru kepada
pemerintah daerah dalam perencanaan tata ruang.
• 2011: Dibentuknya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab atas perencanaan
dan pengembangan jalan tol di Indonesia.
Tahun-tahun penting tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana sistem perencanaan tata ruang
di Indonesia telah berkembang sejak zaman kolonial hingga saat ini. Artikel tersebut juga membahas
tantangan dan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang di Indonesia dan
memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas sistem perencanaan tata
ruang di masa depan.
PERKENALAN===========================================================

• Tahun penting yang terkait dengan kutipan tersebut adalah tahun 1997, di mana Indonesia
dilanda krisis ekonomi dan politik yang panjang. Akibatnya, Indonesia mengalami perubahan
kelembagaan yang cepat, termasuk dalam penataan ruang. Pada tahun 2005-2006, draf undang-
undang baru tentang penataan ruang dibahas untuk menggantikan UU Penataan Ruang tahun
1992 yang dianggap tidak relevan lagi dengan tatanan kelembagaan baru tersebut.
• Dalam konteks tersebut, makalah ini membahas pengaruh kekuatan internal dan eksternal pada
sistem perencanaan tata ruang Indonesia, termasuk pengaruh budaya dan ide-ide neoliberal
dalam pembangunan sistem perencanaan. Makalah ini menekankan perlunya analisis kritis
terhadap pengadopsian gagasan neoliberal dalam pembangunan sistem perencanaan Indonesia,
dan memberikan kontribusi teoritis serta rekomendasi praktis bagi para pembuat kebijakan di

Credit : Aldeno, Jema, Fara


Indonesia dan negara-negara lain dalam mendesain ulang sistem perencanaan untuk
mempromosikan pembangunan perkotaan yang lebih berkelanjutan.
• Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahun penting dalam kutipan tersebut adalah 1997, di mana
Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang memicu perubahan kelembagaan cepat,
termasuk dalam penataan ruang. Makalah ini menekankan pentingnya memahami pengaruh
kekuatan internal dan eksternal, serta budaya dan ide-ide neoliberal dalam pembangunan sistem
perencanaan tata ruang Indonesia.
KERANGKA TEORITIS==================================================
Tahun yang dimaksud dalam kutipan tersebut tidak disebutkan secara spesifik. Namun, kutipan
tersebut menyebutkan bahwa sistem perencanaan memiliki enam elemen penting sebagai bidang
kebijakan, yaitu tujuan, ruang lingkup, konsep, struktur, proses, dan instrument. Selain itu, kutipan
juga menyebutkan bahwa sistem perencanaan dapat dipandang sebagai produk budaya dan terdapat
kekuatan kelembagaan-budaya yang membentuk sistem perencanaan, baik dalam bentuk formal
maupun informal. Globalisasi juga memiliki pengaruh dalam perkembangan sistem perencanaan,
dengan kekuatan eksternal yang dapat dianggap sebagai penentu struktural dalam pengembangan
sistem perencanaan. Kerangka teori ini juga berguna untuk menjelaskan perkembangan sistem
perencanaan dalam konteks negara transisi seperti Indonesia.
SISTEM PERENCANAAN DI INDONESIA==============================
• Tahun yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah 1948, ketika diperkenalkannya
kerangka peraturan perencanaan pertama kali melalui pengesahan Ordonansi Tata Kota
atau Staadvorming Ordonatie (SVO) yang dilanjutkan dengan peraturan pelaksanaannya
yang dikenal dengan nama Stadsvormings Verordening (SVV) pada tahun 1949. Kerangka
peraturan ini difokuskan pada perbaikan kondisi perumahan perkotaan dan dirancang untuk
kota di Jawa, di mana masalah urbanisasi telah muncul pada saat itu.
• Pada masa pascakolonial, sistem perencanaan terpadu yang pertama ini terus diterapkan
oleh pemerintah Indonesia ke seluruh wilayah termasuk wilayah di luar Jawa. Namun,
sebagai tanggapan terhadap bias kolonial dan Jawa sentris ini, persaingan antar departemen
dan situasi perkotaan yang berubah, sebuah kerangka hukum baru untuk perencanaan tata
ruang yang disebut UU 24/1992 diundangkan.
• Namun, perubahan kelembagaan mendasar yang cepat yang dipicu oleh krisis ekonomi,
lebih jauh lagi multidimensi, dan krisis 1997-1998 membuat peraturan UU 24/1992 tidak
lagi relevan, terutama dalam kaitannya dengan suasana desentralisasi dan demokratisasi.
Oleh karena itu, sebuah rancangan undang-undang baru, yaitu Rancangan Undang-Undang
Penataan Ruang 2005, dirilis pada Desember 2005. Melalui diundangkannya Rancangan
Undang-Undang Tata Ruang 2005, sistem perencanaan di Indonesia mengadopsi tata guna
lahan Amerika Utara, di mana kontrol pertumbuhan dan pembangunan melalui zonasi dan
kode yang kaku diterapkan.
• Namun demikian, di Indonesia peran rencana tata ruang yang dibuat di semua tingkatan
otoritas perencanaan masih penting. Selain itu, pengelolaan penggunaan lahan di Indonesia
tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah tetapi juga pemerintah
provinsi dan pusat.
KEKUATAN PENGGERAK==================================================
• Tahun yang penting dalam teks ini adalah tahun 2001 dan tahun 2004. Pada tahun 2001,
struktur pemerintahan Indonesia bergeser dari sentralisasi menjadi struktur yang sangat
terdesentralisasi. Sebagian besar urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang, telah
dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi dan daerah (kabupaten/kota). Pada
tahun 2004, UU Pemerintahan Daerah diluncurkan, yang mengatur tentang tugas,
kewenangan, dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


• Selain itu, UUD 1945 menawarkan peran sosialis negara untuk menguasai penggunaan
tanah, air, ruang angkasa, dan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 menerjemahkannya menjadi kapasitas negara
yang luas dalam kaitannya dengan pertanahan.
• Teks ini juga menjelaskan tentang budaya politik di Indonesia. Setidaknya ada tiga budaya
politik penting yang mempengaruhi tatanan kebijakan di Indonesia modern, yaitu budaya
Jawa, Pulau Luar, dan budaya kolonial Belanda. Tata negara Jawa berasal dari hubungan
sosial yang paternalistik dan struktur sosial yang hierarkis, sedangkan masyarakat Pulau
Luar tidak mengembangkan budaya politik dan struktur sosial yang kaku, namun memiliki
budaya pemerintahan pluralis yang menghasilkan beberapa nilai penting seperti struktur
sosial yang egaliter dan tatanan publik yang lebih terdesentralisasi dan demokratis.
Sedangkan budaya kolonial Belanda mempertahankan tatanan sosial yang hierarkis tetapi
mengembangkan administrasi birokrasi dan sistem hukum yang lebih luas.
• Terakhir, kekuatan eksternal yang mempengaruhi Indonesia adalah globalisasi dan
neoliberalisme yang menjadi tema paling populer akhir-akhir ini yang mempengaruhi
penataan ruang di mana-mana, tanpa menghiraukan batas-batas negara. Dalam kerangka
globalisasi, gagasan efisiensi, rule of law, dan desentralisasi yang berasal dari negara-
negara liberal kini menyebar ke seluruh dunia.
PENGARUH KEKUATAN FORMAL-INSTITUSIONAL=============================
• Tahun 1945: UUD 1945 mengklaim 'kemaslahatan sebesar-besarnya bagi rakyat' sebagai alasan
krusial di balik kuatnya kontrol negara atas pengusahaan tanah, air, ruang angkasa, dan sumber
daya alam (Pasal 33, par. 3). Ini membela upaya pemerintah untuk mempromosikan tujuan
perencanaan tata ruang yang komprehensif yang terdiri dari kualitas tata ruang, pembangunan
berkelanjutan, perlindungan lingkungan, dan keamanan nasional.
• Tahun 1960: Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dikeluarkan sebagai kerangka hukum
utama untuk urusan tanah dan properti. Undang-Undang ini menegaskan perlunya perlindungan
dan pemeliharaan sumber daya tanah dan memberikan perhatian khusus pada masyarakat
miskin sebagai bagian dari prinsip keberlanjutan.
• Tahun 1992: UU Penataan Ruang tahun 1992 dikeluarkan dan mengintegrasikan tiga bidang
kebijakan, yaitu proses pembuatan rencana (planning space), pemajuan pembangunan
(pemanfaatan ruang), dan pengendalian pembangunan (pengurangan pemanfaatan ruang).
Peran pervasif pemerintah terjadi terutama di bidang pembuatan rencana dan pengendalian
pembangunan. Undang-undang tersebut mewajibkan seluruh jajaran pemerintah untuk
membuat rencana tata ruang guna mengarahkan pembangunan tata ruang di wilayahnya.
• Tahun 2005: RUU Penataan Ruang Tahun 2005 dirilis dan memperkuat sistem perencanaan
dengan mengintegrasikan peran masyarakat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembuatan rencana tata ruang.
• Selain itu, desentralisasi di Indonesia dimulai dengan diberlakukannya Undang-undang
Pemerintahan Daerah tahun 1999 pada tahun 2001, yang memberikan kewenangan penataan
ruang pada semua tingkatan pemerintahan berdasarkan skalanya. Meski begitu, masih
terbatasnya perhatian terhadap perbedaan budaya dan sistem nilai lokal menjadi ciri khas
daerah-daerah di Indonesia. Ukuran fasilitas perumahan perkotaan diklasifikasikan berdasarkan
skala pelayanan dan ukuran statistik seperti populasi, luas, dan kepadatan. Variasi tingkat
kerincian peta rencana tata ruang disesuaikan dengan skala rencana dan wilayah
perencanaan yang berbeda.
PENGARUH KEKUATAN INFORMAL-BUDAYA=================================
Tahun yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah tahun 2004. Pada tahun tersebut, Undang-undang
Pemerintahan Daerah diluncurkan, yang mempromosikan sistem administrasi desentralisasi di mana
sebagian besar bidang kebijakan telah dialihkan ke provinsi dan pemerintah daerah. Namun, UU
Penataan Ruang tetap mempertahankan peran pemerintah pusat dalam semua bidang kebijakan, yaitu
perencanaan, pemajuan pembangunan, dan pengendalian pembangunan, termasuk penataan ruang
nasional dan penataan ruang kawasan strategis nasional (Rancangan Undang-Undang Penataan Ruang

Credit : Aldeno, Jema, Fara


Tahun 2005). Sebelumnya, Tata negara Jawa dipengaruhi oleh budaya politik paternalistik, di mana
penguasa dan pejabatnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan, yang mengarah
pada kebijakan yang sewenang-wenang dan terdepolitisasi dalam sistem perencanaan. Budaya kolonial
Belanda dengan model korporatisme telah melahirkan mesin birokrasi yang luas dan pendekatan
normatif dalam sistem pemerintahan Indonesia. Namun, secara teori, rencana tata ruang yang telah
disusun harus dihormati dan digunakan sebagai pedoman yang mengikat pemerintah, masyarakat, dan
swasta yang ingin terlibat dalam pengembangan lahan.
PENGARUH GAGASAN NEOLIBERAL========================================
Tahun yang menjadi poin penting dalam kutipan tersebut adalah 2004, di mana pada tahun tersebut
diterapkan Undang-Undang Sumber Daya Air yang melegalkan privatisasi dalam pengelolaan air, yang
antara lain diperlukan untuk pinjaman Bank Dunia sebesar US$ 500 juta. Hal ini menunjukkan adanya
kekuatan pasar yang signifikan, karena melibatkan pembangunan infrastruktur perkotaan utama dan
pembangunan perumahan secara masif. Menurut Siregar (2005), esensi UU tersebut mendorong
partisipasi swasta yang tidak terkendali menggantikan peran negara karena tidak membatasi
kewenangan yang diberikan kepada swasta. Privatisasi penuh dalam pengelolaan air tidak diinginkan
menurut UUD 1945, karena air merupakan kebutuhan dasar dan penting bagi negara (Majelis
Permusyawaratan Rakyat, 1989). Sementara itu, Bank Dunia sangat mendorong komersialisasi dalam
pengelolaan air untuk mendukung kapitalisme global (Walhi, 2005).
POTENSI KONFLIK=======================================================
• Kalimat tersebut membahas tentang pengaruh kelembagaan-budaya dan gagasan neo-liberal
terhadap sistem perencanaan Indonesia. Beberapa point penting dari kutipan tersebut adalah:
• Kekuatan kelembagaan formal, kekuatan budaya informal, dan gagasan neo-liberal
mempengaruhi sistem perencanaan Indonesia secara keseluruhan.
• Kekuatan kelembagaan formal mendorong tujuan dan ruang lingkup yang komprehensif,
struktur universal, dan proses partisipasi dalam proses perencanaan.
• Kekuatan informal-budaya mencirikan pendekatan normatif dan instrumen dan
mempertahankan peran pemerintah pusat dalam struktur perencanaan.
• Ide-ide neo-liberal mempengaruhi pengembangan pendekatan yang mengikat, perencanaan
wilayah perkotaan, penghapusan partisipasi pemerintah, dan instrumen zonasi.
• Pengaruh ide-ide neoliberal sifatnya terfragmentasi dan tidak dapat mengubah sistem secara
keseluruhan.
• Ditariknya partisipasi pemerintah dari proses pembangunan yang besar menggerogoti
penegasan UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah pada tingkat tertinggi untuk mengontrol
penggunaan sumber daya, termasuk lahan.
• Penerapan konsep kontrol pembangunan yang mengikat dan instrumen zonasi bertentangan
dengan pendekatan diskresioner dan pengaturan tata kelola klien dari budaya Jawa.
• Promosi perencanaan tata ruang yang terdesentralisasi di tingkat daerah sampai batas tertentu
tidak sesuai dengan sifat pemerintahan Jawa yang terpusat.
• Selain itu, tidak relevan dengan tradisi budaya Jawa untuk membangun negara yang
kuat dan meresap.
PENUTUP============================================================
Kutipan tersebut tidak secara spesifik menyebutkan tahun tertentu yang menjadi fokus
permasalahan. Namun, kutipan tersebut membahas kritik terhadap sistem perencanaan Indonesia
yang tidak efektif dalam mengarahkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Kritik tersebut
disebabkan karena perkembangan sistem perencanaan Indonesia tidak mempertimbangkan dengan
baik kekuatan institusional-budaya dan proses transfer ide-ide neoliberal ke dalam sistem
perencanaan Indonesia didominasi dengan menyalin atau mengadaptasi, tanpa koordinasi dalam
struktur institusional-budaya yang ada. Hal ini mengakibatkan pengembangan sistem perencanaan
yang tidak konsisten dan terfragmentasi, di mana elemen-elemen di dalam sistem tersebut dapat
saling bertentangan.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


Dalam kutipan tersebut, disebutkan bahwa sebagai negara berkembang yang memiliki posisi lemah
dan bergantung pada negara industri, Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengabaikan pengaruh dari
ide-ide global seperti neoliberalisme. Namun, para pembuat kebijakan harus mempromosikan
hibridisasi atau sintesis, bukan meniru atau mengadopsi, dalam mentransfer ide-ide kebijakan untuk
mengembangkan koordinasi yang lebih baik dengan nilai-nilai yang ada dan sistem perencanaan
yang lebih kohesif. Selain itu, para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan kekuatan yang
lebih stabil, yaitu nilai-nilai informal-budaya, untuk mengembangkan sistem perencanaan
yang lebih kuat.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


2. jurnal History of Urban Plannning yang ditulis oleh Christopher Perak
INTRODUCTION/Pembuka============================================
Tahun yang dibahas dalam kutipan tersebut adalah tahun 1900 hingga akhir 1990-an. Pada awal abad
ke-20, Belanda menerapkan "Kebijakan Etis" yang bertujuan untuk menyeimbangkan kembali
hubungan dengan penduduk pribumi dan membuat kehidupan perkotaan lebih menarik bagi populasi
Eropa yang memilih untuk menetap di Hindia Timur. Kebijakan ini memicu beberapa dekade reformasi
perkotaan dan perkembangan kelembagaan yang bertahan hingga era pascakolonial. Setelah
kemerdekaan, Indonesia mengadopsi praktik perencanaan dari komunitas global untuk mengatasi
urbanisasi yang tak terkendali. Pemerintah Sukarno dan Suharto menerapkan model perencanaan
terpusat dengan kerangka ideologis yang berbeda. Reformasi perumahan juga menjadi agenda
perencanaan, yang ditandai dengan diadakannya Kongres Perumahan Nasional pada tahun 1922 dan
1925 untuk mengembangkan strategi untuk mendorong penduduk berpenghasilan rendah untuk
melakukan pembangunan rumah swadaya. Pada tahun 1930, 13 kota di Jawa dan 16 secara keseluruhan
memiliki perusahaan perumahan.
DASAR HUKUM PERENCANAAN INDONESIA/LEGAL BASIS FOR INDONESIAN
PLANNING==============================================================
Tahun-tahun penting dalam penataan ruang di Indonesia adalah sebagai berikut:

• 1926: Ordonansi Gangguan pertama kali muncul untuk menentukan lokasi instalasi industri di
Batavia.
• 1938: Undang-undang dikodifikasikan dalam Ordonansi Tata Kota (Staadvorming
Ordonnanke) dan peraturan pelaksanaan berikutnya (Stadvorming Verordening) yang
diumumkan pada tahun 1949.
• 1942-1945: Selama pendudukan Jepang di Hindia Timur, Ordonansi tahun 1938 digunakan
oleh pemerintah Belanda.
• 1948: Ordonansi memberikan pedoman untuk membangun kembali kota-kota yang rusak
karena perang, termasuk peraturan tentang pembangunan gedung dan mekanisme untuk
membayar proses tersebut.
• 1976: Keputusan presiden pertama menetapkan proses perencanaan di Jakarta, Pulau Batam,
Puncak, dan tipe pengembangan perkotaan tertentu seperti kawasan industri, perumahan, dan
zona pariwisata.
• 1987: Kementerian Dalam Negeri menerbitkan serangkaian pedoman yang telah direvisi
untuk persiapan rencana tata ruang kota.
• 1992: Undang-Undang Penataan Ruang Indonesia (UU) 24/1992 menetapkan proses
pembuatan rencana, pelaksanaan rencana, dan pengendalian pembangunan yang
mengkodifikasi serangkaian keputusan menteri dari tahun 1980-an.
• 1996: Peraturan Pemerintah 69/1996 memberi kekuatan pada undang-undang tahun 1992 dan
menambahkan hak warga negara untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan mendapatkan
jaminan kompensasi ketika properti mereka diperoleh untuk kepentingan umum.
• 2007: UU Penataan Ruang 2007 (26/2007) memperkuat tanggung jawab pemerintah provinsi
dan kabupaten dan menempatkan tanggung jawab koordinasi di tingkat provinsi. UU tersebut
juga mengharuskan daerah perkotaan memiliki setidaknya 30 persen lahan mereka di ruang
terbuka untuk kepentingan umum dan memberikan peluang untuk memanfaatkan insentif dan
disinsentif untuk membantu mengimplementasikan rencana.

PERAN DONOR DAN KONSULTAN/THE ROLE OF DONORS AND


CONSULTANS======================================================

Credit : Aldeno, Jema, Fara


• Dua dekade pertama kemerdekaan Indonesia: PBB aktif mendukung penyusunan rencana untuk
membantu mengelola urbanisasi yang cepat dan mendukung peningkatan fasilitas pendidikan
perencanaan untuk memperluas kader perencana profesional.
• Tahun 1970-an dan 1980-an: Peran donor dalam mendukung perencanaan infrastruktur
perkotaan meningkat, sebagian besar disalurkan melalui dukungan Proyek Perkotaan oleh Bank
Dunia dan Bank Pembangunan Asia selama Repelita I dan I. Ini menghasilkan Program
Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Terpadu dan pengembangan rencana Jangka Menengah
untuk menghubungkan rencana induk kota dan anggaran pembangunan tahunan untuk
melaksanakan proyek.
• 1990-an: Hanya 170 dari 400 kota yang telah menyelesaikan PJM (Rencana Investasi
Infrastruktur Jangka Menengah). Beberapa pemerintah daerah menyukai desentralisasi yang
lebih besar tetapi tidak semua orang (terutama kementerian pemerintah pusat) menginginkan
devolusi nyata. Lembaga bantuan Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat mendorong secara
agresif untuk desentralisasi yang lebih kuat dan perencanaan dari bawah ke atas, tetapi
pemerintah Suharto menolak upaya tersebut.
• Skema Pertahanan Infrastruktur Pesisir Ibukota Nasional 2012: Dirancang untuk mengatasi
banjir yang berulang di Jakarta.
PERNCANAAN WILAYAH/ REGIONAL PLANNING============================
Tahun yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah tahun 1973. Pada tahun tersebut terdapat beberapa
point penting sebagai berikut:
• Pembicaraan tentang kebijakan pembangunan daerah berlangsung selama rencana lima tahun
kedua (Repelita 1-1973/74-1978/79) untuk mengatasi ketimpangan yang terus berlangsung.
• Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda 1) di masing-masing 26
provinsi dan empat daerah pembangunan utama mengakui pentingnya memperkuat kota-kota
utama.
• Masing-masing dari empat wilayah pengembangan utama mencakup satu dari empat kota
unggulan, Jakarta, Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang.
• Pensponsoran negara atas proses Perencanaan Metropolitan Jakarta yang dipandu Belanda pada
tahun 1973, berjudul Jabotabek: A Planning Approach, memperkenalkan paradigma "bundled
deconcentration" yang berhasil melindungi Randstad di Belanda.
• Pendekatan yang disukai oleh para perencana Indonesia adalah menggunakan jalur kereta api
yang ada untuk memandu pembangunan dan melindungi ruang hijau di antaranya.
• Bank Dunia turun tangan untuk mendanai tindak lanjut rencana regional dan memperluas model
pembangunan regional ke semua kota besar di Indonesia.
• Indonesia memberlakukan hibrida dari Model Jari dan Kota Baru, yang melibatkan sistem jalan
tol yang membentang dari timur dan barat, dan dari utara ke selatan, dengan lingkaran kota-
kota baru yang melingkari pinggirannya, sehingga menghasilkan urban sprawl gaya Amerika.
KOTA BARU DI PINGGIRAN KOTA/ New towns in the urban periphery=============
• Tahun yang dimaksud dalam kutipan adalah tahun 1980-an, di mana terjadi perkembangan
kota-kota baru di pinggiran perkotaan Indonesia. Perkembangan ini tidak hanya
menanggapi model regional yang diusulkan, tetapi juga menganut warisan kolonial dalam
mempromosikan pembangunan dalam kerangka masyarakat yang terencana.
• Pada awal tahun 1980-an, proses kota-kota baru tidak hanya berupa enklave eksklusif tetapi
juga menampung sebagian besar pertumbuhan kota-kota besar. Pertumbuhan ekonomi dan
perkotaan yang dinamis terjadi di Indonesia dari awal 1980-an hingga pertengahan 1998
yang sebagian besar terkonsentrasi di empat kota terbesarnya, Jakarta, Surabaya, Bandung,
dan Medan.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


• Kota-kota baru dan subdivisi perumahan pada 1980-an hampir secara eksklusif merupakan
pengembangan spekulatif swasta. Pengembangan proyek-proyek mega swasta seperti
Bumi Serpong Damai (BSD) seluas 6.000 hektar, Tigaraksa seluas 3.000 hektar dan Bekasi
seluas 2.000 hektar didukung oleh pemerintah nasional dengan menyediakan infrastruktur
jalan untuk menghubungkan komunitas ini ke pusat kota.
• Pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan swasta yang diorganisir di bawah P.T.
Pembangunan Jaya terlibat dalam pengembangan BSD untuk memperoleh tanah dan
mendapatkan komitmen untuk infrastruktur dan izin penggunaan tanah di daerah di mana
rencana metropolitan belum memprogramkan konstruksi apa pun, apalagi kota baru yang
besar dengan penggunaan yang identik, komersial, dan industri.
• Proses perencanaan tidak dilakukan secara menyeluruh selama masa tenang pertumbuhan
ekonomi di bawah pemerintahan Suharto. Suharto menggunakan keputusan presiden untuk
mengecualikan proyek untuk teman, keluarga, dan rekan bisnisnya dari kontrol
perencanaan atau bahkan persaingan dari pengembang lain. Ini dapat dilihat dari kasus
Pengembangan Wisata Pantai Kapuknaga seluas 20.000 hektar di tepi laut pada tahun 1995
dan Megaproyek Bukit Jonggol (30.000 hektar) untuk putranya Bambang, yang akan
mengaspal di salah satu lokasi utama pengisian air tanah di seluruh Jakarta.
• Lahan seluas hampir 10.000 hektar yang ditetapkan sebagai "kawasan hijau" dalam rencana
Jakarta 1985-2005 menjadi pusat perbelanjaan, bangunan komersial, dan tempat tinggal.
Jakarta memvalidasi penggunaan baru ini dalam rencana 2000-2010 untuk mengaburkan
pelanggaran rencana sebelumnya.
MENAMPUNG MISA/HOUSING THE MASSES============================
• Tahun yang dibahas dalam kutipan tersebut adalah 1970-an hingga akhir 1980-an.
Beberapa poin penting yang dapat diambil dari kutipan tersebut adalah:
• Kurangnya keberhasilan selama tahun 1920-an dan 1930-an untuk memperluas
penyediaan perumahan perkotaan yang terjangkau menjadi masalah yang lebih besar
setelah kemerdekaan.
• Model perumahan sosial Eropa mulai diterapkan selama era Sukarno yang dipimpin
oleh Wakil Presiden Mohammed Hatta.
• Ketiadaan badan perumahan nasional untuk memperluas perumahan murah hingga
terbentuknya Perumnas pada tahun 1970-an.
• Gubernur Jakarta Ali Sadikin mewarisi rencana yang disiapkan pada awal 1960-an oleh
tiga mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Kopenhagen untuk mempelajari model
perumahan sosial Eropa.
• Rencana untuk membangun komunitas mandiri yang terdiri dari ribuan unit rumah
yang terjangkau dalam jarak berjalan kaki dari pusat bisnis dan masyarakat
mencerminkan aspirasi rezim Sukarno untuk meniru model Barat yang disesuaikan
dengan domestik Indonesia.
• Gubernur Jakarta yang kekurangan uang, Sadikin, menerima sarandari pengembang
swasta untuk mengalihkan fokus ke pasar perumahan kelas menengah. Pulo Mas
dibangun dan tetap menjadi komunitas dalam kota yang makmur, tetapi bukan
eksperimen perumahan sosial yang semula dibayangkan.
• Sadikin menghidupkan kembali inisiatif era kolonial yang disebut Program Perbaikan
Kampung (KIP) untuk masyarakat miskin yang tidak bisa mendapatkan keuntungan
dari komunitas seperti Pulo Mas.
• KIP berkembang menjadi program nasional dengan dukungan Bank Dunia dan pada
akhir 1980-an, Indonesia memiliki unit KIP yang beroperasi di 292 daerah.
• KIP mewakili hal yang paling dekat dengan program infrastruktur kota terpadu dan
menjadi bagian dari Proyek Pembangunan Perkotaan yang mencakup beberapa
daerah di Indonesia.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


MENGATUR URBANISASI DI KAWASAN MEGAPOLITAN DALAM DESENTRALISASI/
REGULATING URBANISATION IN THE MEGAPOLITAN REGION UNDER
DECENTRALISATION=====================================================
Tahun yang dimaksud adalah 1998 dan 1999. Pada bulan Mei 1998, Presiden Suharto mengundurkan
diri dan Habibie mengambil alih pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1990-an, para donor utama
menekankan desentralisasi dan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah. Pada bulan Juni
1999, badan legislatif Indonesia mengesahkan dua undang-undang pertama tentang desentralisasi, yaitu
UU 22/99 dan UU 25/99, yang memisahkan fungsi pemerintah daerah dari kendali pusat dan
menciptakan dana pendapatan umum baru untuk menggantikan sistem INPRES. Desentralisasi
memperkenalkan pendekatan perencanaan kota yang baru, Program Pembangunan Perkotaan.
Transformasi pemimpin lokal dari pejabat pemerintah pusat menjadi pejabat terpilih menyelesaikan
proses pemberdayaan masyarakat sipil. Selama 2000-an, terjadi peningkatan privatisasi pembangunan
di kota-kota pinggiran di wilayah metropolitan, namun juga menyebabkan banyak kampung yang sudah
mapan disingkirkan, mengakibatkan kekhawatiran tentang pemindahan masyarakat berpenghasilan
rendah dan menengah yang sedang berlangsung. Hal ini menantang para perencana untuk mengatasi
ketidaksetaraan historis dan memastikan pembangunan swasta sesuai dengan penggunaan lahan
regional, prioritas lingkungan, ekonomi, dan sosial.
SMART CITY DAN GERAKAN KOTA BERKELANJUTAN/SMART CITY AND
SUSTAINABLE CITY MOVEMENTS===========================================
• Tahun 2014 merupakan awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga bertepatan dengan
munculnya gerakan Smart City di Indonesia. Gerakan 10 Kota Cerdas dipimpin oleh
pemerintah dan diikuti oleh semua kota terbesar di Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung,
Surabaya, Makassar, Medan, dan kantong-kantong perkotaan baru yang membentuk wilayah
metropolitan Jakarta. Indonesia juga mendukung United Nations Sustainable Development
Goals (SDGs) dan mewajibkan semua pemerintah daerah untuk memasukkan dalam
perencanaan dan program pekerjaan umum mereka dengan merinci bagaimana mereka
menanganinya. Penambahan teknologi digital ke tata kelola lokal melalui inisiatif Smart City
memungkinkan kota untuk meningkatkan kondisi kehidupan, termasuk manajemen lalu lintas
yang lebih efektif, memantau operasi infrastruktur, menyediakan sistem peringatan warga jika
terjadi bencana, dan membuat kota lebih terhubung secara digital untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
• Namun, implementasi Smart City di beberapa kota hanya berfokus pada pengawasan tanpa
meningkatkan alat analisis yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi perkotaan. Meskipun
demikian, beberapa proyek kota berteknologi tinggi baru, seperti kota Meikarta grup Lippo
untuk satu juta penduduk, Jakarta timur, serta proyek Bandung Technopolis yang diprakarsai
oleh mantan Walikota Bandung Ridwan Kamil, mewakili visi Smart City yang menghasilkan
perubahan di lapangan.
• Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusan untuk memindahkan ibu
kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan tujuan mencontohkan "kota hijau
pintar" yang sepertinya tidak dapat ditiru oleh kota-kota besar di Indonesia. Investasi agresif
pemerintahan Jokowi di bidang infrastruktur di sektor transportasi, khususnya transit dan
modernisasi bandara, juga memberikan keuntungan bagi kota-kota di seluruh Indonesia. Di
Jakarta, sistem Metropolitan Rapid Transit mulai beroperasi pada April 2019 dan sistem kereta
ringan skala regional sedang menuju penyelesaian. Kota-kota lain meniru sistem Transjakarta
Bus Rapid Transit Jakarta dan berbagai eksperimen angkutan umum yang lebih efisien untuk
mengurangi kemacetan.
• Namun, pendekatan terhadap peningkatan infrastruktur sebagai bagian dari modernisasi
transportasi mengakibatkan diabaikannya kebutuhan penting lainnya, seperti perluasan air
bersih dan sanitasi perkotaan, dan program perumahan perkotaan yang layak dan terjangkau.
Masterplan tahun 2012 yang mengusulkan sistem saluran air limbah kota untuk Jakarta dengan
mengembangkannya menjadi 15 zona terpisah merupakan pendekatan yang rumit namun
inovatif bagi sebuah kota yang sangat ingin menangani limbah dan perairannya yang tercemar.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


Namun, rencana tersebut dianggap terlalu mahal dan tidak dilakukan, sehingga sumber utama
perluasan infrastruktur air bersih
KESIMPULAN PIKIRAN /CONCLUDING THOUGHTS============================
Tahun yang dibahas dalam kutipan tersebut tidak spesifik. Namun, terdapat beberapa poin penting yang
disorot dalam kutipan tersebut terkait dengan perencanaan kota di Indonesia, antara lain:
• Pola memanfaatkan dukungan global untuk menangani mereka yang kurang terlayani telah
menjadi praktik perencanaan Indonesia sejak kemerdekaan.
• Perbaikan lingkungan secara bertahap di kota-kota di Indonesia selama dekade terakhir
berkat pemberdayaan masyarakat sipil yang menggunakan hak pilih dan dukungan dari
organisasi non-pemerintah untuk memajukan wacana perencanaan kota yang lebih inklusif.
• Pembangunan swasta juga harus dikreditkan sebagai generator perubahan perkotaan,
karena dapat membantu pemerintah menanggapi kebutuhan daerah akan perumahan,
pekerjaan, perbelanjaan, kesempatan pendidikan dan infrastruktur.
• Kota-kota di Indonesia harus memastikan bahwa prakarsa pembangunan swasta sesuai
dengan rencana yang ada dan sejalan dengan tujuan kebijakan publik.
• Kota-kota di Indonesia secara khusus telah meningkatkan lembaga perencanaan mereka
selama beberapa tahun terakhir, dan beroperasi dalam agenda yang lebih inklusif dan
partisipatif karena struktur tata kelola yang baru.
• Dalam kerangka pemerintahan yang terdesentralisasi dan demokratis, peran perencanaan
adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan publik yang lebih luas diterjemahkan ke dalam
tindakan di lapangan.
• Kota yang terencana dengan baik adalah kota yang melayani semua warganya secara setara.
• Meskipun tidak ada tahun yang spesifik dibahas dalam kutipan tersebut, namun dapat
disimpulkan bahwa perencanaan kota di Indonesia telah mengalami perkembangan yang
signifikan dalam beberapa dekade terakhir, terutama dalam memajukan wacana
perencanaan kota yang lebih inklusif dan partisipatif. Pembangunan swasta juga memiliki
peran penting dalam membantu memenuhi kebutuhan daerah akan perumahan, pekerjaan,
perbelanjaan, kesempatan pendidikan dan infrastruktur, namun harus tetap diarahkan sesuai
dengan rencana dan tujuan kebijakan publik.

Credit : Aldeno, Jema, Fara


BERIKUT ADALAH BEBERAPA POINT PENTING DARI BAB 6 SAMPAI 8 PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2020 TENTANG
PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:====================================
Bab 6 - Perizinan Penataan Ruang
• Izin penataan ruang diperlukan untuk melakukan kegiatan penataan ruang yang memerlukan
tata ruang khusus atau memerlukan persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah.
• Izin penataan ruang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kewenangannya.

Bab 7 - Pengawasan dan Evaluasi Penataan Ruang


• Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan penataan ruang di wilayahnya.
• Pelaksanaan pengawasan dan evaluasi dilakukan secara berkala dan harus melibatkan
masyarakat serta berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Bab 8 - Ketentuan Peralihan


• Pada saat peraturan ini mulai berlaku, segala peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai tata ruang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali untuk beberapa ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
• Seluruh kegiatan tata ruang yang sedang berjalan pada saat peraturan ini mulai berlaku wajib
untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu tertentu
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

BERIKUT INI ADALAH POIN PENTING DARI BAB 6 HINGGA BAB 8 DARI UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN
RUANG:================================================================
Bab 6 - Penyusunan Rencana Tata Ruang
• Setiap daerah wajib menyusun rencana tata ruang daerah yang mengacu pada RTRW nasional
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Penyusunan Rencana Tata Ruang harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat, melalui
mekanisme konsultasi publik, audiensi, musyawarah, atau cara lain yang efektif.
• Rencana Tata Ruang dapat disusun secara terpadu dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Bab 7 - Pelaksanaan Penataan Ruang


• Pelaksanaan penataan ruang harus mengutamakan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, serta melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan negara.
• Penataan ruang dilakukan secara terpadu, seimbang, dan berkelanjutan, dengan
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
• Pemanfaatan ruang dilakukan secara efisien, efektif, dan bertanggung jawab.
• Pelaksanaan penataan ruang dapat melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk dalam hal
pemberdayaan masyarakat dan pemantauan pelaksanaan penataan ruang.

Bab 8 - Pengawasan dan Penegakan Hukum


• Pengawasan pelaksanaan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah daerah, masyarakat, dan
instansi terkait lainnya.
• Pengawasan pelaksanaan penataan ruang dilakukan secara berkala dan kontinyu untuk
menjamin keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan.
• Pelaksanaan penataan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat dikenai
sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Credit : Aldeno, Jema, Fara

Anda mungkin juga menyukai