Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang Indonesia tidak dapat dilepaskan dari status pancasila
sebagai dasar Negara dan dasar falsafah bangsa. Sebagai sumber utama bagi para
pemimpin pemerintahan dalam pengelolaan Negara. Penyebutan Indonesia sebagai
Negara hukum dan demokratis merupakan implikasi dari poin ini. Adapun sebagai
dasar falsafah bangsa, pancasila sejatinya harus mampu menjadi ruh dan jiwa bagi
setiap prilaku pribadi-pribadi bangsa. Hal ini tentu tidak mudah mengingat
perjalanan pancasila dalam kontelasi sejarah terkadang terkooptasi oleh kepentingan
panguasa dan kelompok-kelompok tertentu.
Sehingga, dapat kita pahami bahwa bahwa persoalan makna kebenaran
merupakan persoalan universal yang dihadapi umat manusia di seluruh dunia. Begitu
juga dengan “masyarakat Indonesia”. Jika masyarakan barat mencarinya dalam
pengagungan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan ideology-ideologi sekuler,
maka “masyarakat Indonesia” mencarinya dalam pancasila sebagai dasar
falsafahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ilmu Empiris dan Filsafat ?
2. Bagaimana Kebenaran Ilmiah dalam Pancasila ?
3. Apa saja Ciri-ciri Berpikir Ilmiah Filsafat terhadap Pancasila ?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dari Ilmu Empiris dan Filsafat
2. Mengetahui Kebenaran Ilmiah dalam Pancasila
3. Mengetahui Ciri-ciri Berpikir Ilmiah Filsafat terhadap Pancasila

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Empiris dan Filsafat


1. Pengertian Ilmu Empiris

Ilmu empiris merupakan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada akal sehat,
tisak apekulafit dan berdasarkan observasi terhadap kenyataan. ( Yeswil Anwar dan
Adang : 2008). Istilah empirisme dari bahasa Yunani “empireiria” yang berarti “ coba-
coba atau pebgalaman”. Jadi Empiris adalah suatu keadaan yabg berdasarkan pada
kejadian nyata yang pernah dialami, dan didapati melaui penelitian, observasi, maupun
eksperimen.

Didalam empiris, pengalaman (kejadian nyata) menjadi dasar yang sangat


sidikit. Aoabila ada oernyataan sata itu empiris, berarti sata tersebut di dasarkan pada
penelitian, ataupun elsperimen yang telah dilakukan. Maka dari itu, seorang peneliti
menggunakan data empiris. Seseorang yang melakukan penelitian hatus di dasarkan
data empiris, yang berarti data tersebut telah terbukti kebenarannya, di dasarkan dari
fenomena uabg di amati dan di ukur.

2. Pengertian Filsafat

Filsafat adalah ilmu yang radikal, artinya ilmu yang membahas atau menyelidiki
obyeknya sampai ke akar-akarnya untyk memperoleh kebenaran tertinggi. Kebenaran
tertinggi sering di sebut dengan hakiki, kebenaran metafisis, kebenaran mutlak,
kebenaran filosofis, kebenaran transndental, kebenaran esensial, kebenaran terakhir atau
istilah-istilah lain yang sinonim. Filsafat ilmu juga merupakan telaah kefilsafatan yang
ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu,baik ditinjau dari sudut
ontologism,epistemologis,maupun aksiologis yang dilakukan melalui proses dialektika
secara mendalam (radic) yang sistematis dan bersifat spekulatif.

Rosenbarg (2003),mengatakan dalam filsafat ilmu dibagi menjadi 2 pertanyaan


utama. Petama, pertanyaan tentang ilmu: fisika, biologi, social, dan budaya.
Kedua,pertanyaan tentang mengapa ilmu tidak dapat menjawab pertanyaan yang
pertama , yakni tentang ilmu itu sendiri.

2
Sesingguhnya filsafat dilahirkan bukan oleh adanya definisi filsafat.
Kelahirannya lebih banyak didorong olrh berbagai pemikiran mendalam para filsuf.
Radikalisme berpikir ilmiah di mulai dengan sikap para filsuf yang selalu
mempertanyakan segala sesuatuyang ada dan mungkin ada(the philosophy of being).

Berfilsafat adalah berpikir tanpa perlu melakukan eksperimen dan uji validitas
di laboratorium, tetapi dengan mengutarakan berbagai persoalan, mencari solusinya,
memberikan argumentasi dan alasan yang rasional dan logis, serta berpikir dialektis.
Dengan demikian, bahwa berfilsafat merupakan sistem berpikir yang rasional, logis,
dialektis, kritis, kontemplatif, dan spekulatif.

Persoalan filsafat dari dahulu sampai sekarang pada dasarnya tidak berubah,
yabg berubah adalah cara pebdekatannya, sudut pandang analisisnya. Persoalan filsafat
itu berkisar pada :

a. Apakah yang menjadi kenyataan atau realita tertinggi seuatu itu, bahkan realita
segala yabg ada pada dunua ini. Filsafat yabg menelusuri realita trrtinggi ini di
sebut metfisika. Metafisika merupakan nun jauh di seberang fisika atau benda
fisik; maknanya sesuatu di luar benda fisik ini.
b. Perasoalan kedua menyangkut nilai-nilai, termasuk pula nilai-nilai hidup
manusia. Filsafat yang membahas tentang nilai-nilai disebut axiologi. Beberapa
macam-macam axiologi, yaitu sebagai berikut :
 Mengenai nilai-nilai salah atau benar pengetahuan manusia di bahas oleh
epistemologi atau filsafat pengetahuan. Lebih khusus lagi bagaimana
pikiran manusia daoat menyusun kesimpulan yang benar, di bahas oleh
filaafat logika.
 Mengenai nilai-nilai baik buruk pada tingkah laku manusia dibahas oleh
filsafat moral atau etika, dan daoat juga di sebut filsafat kesusilaan.
 Mengenai nilai-nilai indah dan tidak indah dibahas oleh filsafat keindahan
atau estetika.
c. Manusia juga mencari siapa yang menciprakan manusia dan segla yang ada
lainnya di dunia ini, dan hal ini dibahas oleh theodise atau filsafat ketuhanan.
d. Filsafat yang membahasa manusia disebut filsafat manusia atau filsafat
antripologi, ataupun disebut antropologi filsafat.

3
B. Kebenaran Ilmiah dalam Pancasila
Berbicara tentang Indonesia tidak dapat dilepaskan dari status pancasila
sebagai dasar Negara dan dasar falsafah bangsa. Sebagai sumber utama bagi para
pemimpin pemerintahan dalam pengelolaan Negara. Penyebutan Indonesia sebagai
Negara hukum dan demokratis merupakan implikasi dari poin ini. Adapun sebagai
dasar falsafah bangsa, pancasila sejatinya harus mampu menjadi ruh dan jiwa bagi
setiap prilaku pribadi-pribadi bangsa. Hal ini tentu tidak mudah mengingat
perjalanan pancasila dalam kontelasi sejarah terkadang terkooptasi oleh kepentingan
panguasa dan kelompok-kelompok tertentu.
Sehingga, dapat kita pahami bahwa bahwa persoalan makna kebenaran
merupakan persoalan universal yang dihadapi umat manusia di seluruh dunia. Begitu
juga dengan “masyarakat Indonesia”. Jika masyarakan barat mencarinya dalam
pengagungan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan ideology-ideologi sekuler,
maka “masyarakat Indonesia” mencarinya dalam pancasila sebagai dasar
falsafahnya.
Nilai kebenaran sendiri dalam filsafat dapat dijelaskan sebagai berikut:
 kebenaran koheresi:sebuah proposisi cenderung dianggap benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-
proposisi yang lain yang benar,atau benar jika berhungan dengan pengalaman
kita.
 kebenaran korespondensi: sesuatu yang dianggap benar apabila hal tersebut
sesuai dengan kenyataannya, penyataan tersebut benar apabila hal tersebut
memang benar.
 kebenaran pragmatism: ukuran kebenaran terletak pada satu macam
konsekuensi pragmatis yang bermanfaat atau suatu proposisi yang dianggap
benar apabila mempunyai konsekuensi seperti yang terdapat dalam proposisi
tersebut (inhern).
 kebenaran smantik: proposisi dianggap benar dalam hubungannya dengan
“arti” atau “makna” yang dikandungnya.

4
Berikut tentang Lima Dasar Kebenaran, yaitu :
1. Ke-Tuhanan

Menurut Notonagoro, sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti
mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan
dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan, bagi sikap dan perbuatan anti-Ketuhanan atau
anti keagamaan dan bagi paksaan agama. Pertentangan dalam hal ke-Tuhanan pada
dasarnya berasal dari dunia Barat yang bersumber pada pengaruh hasil ilmu
pengetahuan alam kodrat.

Berdasarkan tafsir Notonagoro ini, maka kebenaran dalam konteks Pancasila


dipahami atau dimaknai sebagai tiadanya pertentangan dengan Tuhan. Dalam makna
yang lain, kebenaran adalah kesesuaian dengan nilai-nilai ketuhanan. Hidup yang benar
apabila kehidupan yang dijalani mengandung harmonisasi dengan kehendak Tuhan. Hal
ini tentu berbeda dengan dunia ilmu pengetahuan di Barat yang seringkali mengabaikan
harmonisasi dengan kehendak dalam mencapai kebenaran. Makna kebenaran ini sangat
berbeda dengan yang berlaku di Barat. Teori kebenaran korespondensi, misalnya, yang
menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta (fact).

Mengenai kebenaran akan adanya Tuhan, seperti Aristoteles, Pancasila dalam


tafsir Notonagoro memaknai Tuhan sebagai causa prima. Dia mangatakan: ”Hakekat
Tuhan adalah causa prima, dan unsur-unsur hakekat yang terkandung dalam causa
prima.” Namun tentunya, Pancasila tidak mengandung dualisme materi dan bentuk
dalam filsafat Aristoteles.

2. Kemanusiaan

Kebenaran adalah aktualisasi atau perwujudan dan terpenuhinya hakekat


manusia. Notonagoro menyatakan, sila kedua dari Pancasila mengandung cita-cita
kemanusiaan, yang lengkap sempurna memenuhi hakekat manusia.Hakekat yang
dimaksud dalam hal ini meliputi: bhinneka-tunggal dan majemuk-tunggal atau
monopluralis.

Hakekat bhinneka-tunggal menunjukkan bahwa pada manusia terdapat gejala-


gejala alam atau proses-proses fisis, gejala-gejala vegetatif, dan gejala-gejala animal.
Selain itu, berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia memiliki
kemampuan berpikir, berasa, dan berkehendak. Sedangkan hakekat majemuk-tungal

5
atau monopluralis menunjukkan bahwa hakekat manusia itu adalah untuk melakukan
perbuatan lahir dan batin atas dorongan kehendak, berdasarkan atas putusan akal, selaras
dengan rasa untuk memenuhi hasrat-hasrat sebagai ketunggalan, yang ketubuhan, yang
kejiwaan, yang perseorangan, yang kemakhlukan sosial, yang berkepribadian berdiri
sendiri, yang kemakhlukan Tuhan.

Sesuatu hal dikatakan benar apabila sesuatu itu mendorong pada semakin
menguatnya nilai-nilai kemanusiaan. Segala upaya mencapai tujuan dengan
menghalalkan segala cara tidak mendapatkan tempat dalam Pancasila. Sebagai refleksi,
Niccolo Machiavelli. Baginya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dapat
dibenarkan.

3. Persatuan

Notonagoro menyatakan, sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah dan Negara


Indonesia yang terkandung dalam sila ketiga, dengan segala perbedaan dan pertentangan
di dalamnya, memenuhi sifat hakekat daripada satu, yaitu mutlak tidak dapat dibagi.
Segala perbedaan dan pertentangan adalah hal yang biasa yang justru pasti dapat
disalurkan untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan kebangsaan.

Berangkat dari pemahaman di atas tersebut, maka kebenaran adalah suatu hal
yang satu, tidak dapat dibagi-bagi. Namun, untuk mencapai kebenaran tidak berarti
menutup segala bentuk dinamika pemikiran. Pertentangan dan perbedaaan adalah
niscaya sebagai bagian dari proses menuju yang satu, yang benar. Karena itulah,
demokrasi memiliki tempat dalam aktualisasi nilai-nilai pancasila.

4. Kerakyatan

Dalam dunia kefilsafatan Barat, kita mengenal pragmatisme yang menganggap


bahwa sesuatu itu benar apabila memiliki faedah atau bermanfaat bagi sesuatu yang lain.
Kebenaran adalah sesuai atau searah dengan kemanfaatan. Nampaknya kebenaran dalam
artian ini dapat kita temukan dalam Pancasila sila keempat. Menurut Notonagoro, sila
keempat terdiri atas dua cita-cita kefilsafatan, yaitu:

 Kerakyatan yang mengandung cita-cita bahwa negara adalah alat bagi keperluan
seluruh rakyat serta pula cita-cita demokrasi sosial-ekonomi;
 Musyawarah atau demokrasi politik yang dijelmakan dalam asas politik negara,
ialah Negara kedaulatan rakyat.

6
 Kebenaran merupakan persoalan apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak.
Sesuatu akan bermanfaat apabila dirumuskan secara bersama-sama dengan
keterlibatan bersama dari subjek. Dalam hal ini setiap manusia adalah subjek dan
objek dari apa yang dianggap benar. Namun tidak seperti pragmatisme yang
berbicara kebenaran pada tataran antar individu, Pancasila berbicara pada tataran
massa (rakyat). Dengan kata lain, kebenaran adalah kemanfaatan untuk semua
pihak.

5. Keadilan

Kebenaran adalah terpenuhinya hakekat keadilan (adil). Inilah makna kebenaran


dalam Pancasila yang bersumber dari sila kelima. Hakekat daripada adil menurut
pengertian ilmiah, yaitu terpenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak
dalam hidup bersama sebagai sifat hubungan antara satu dengan yang lain,
mengakibatkan bahwa memenuhi tiap-tiap hak di dalam hubungan antara satu dengan
yang lain adalah wajib. Sehingga, kebenaran dalam konteks Pancasila merupakan
kebenaran yang memiliki keterkaitan dengan moralitas.

Pemahaman Pancasila secara filosofis, akan mengingatkan kita semua bahwa


Pancasila bukanlah sekedar suatu konsensus politik, melainkan juga sebagai suatu
konsensus filosofis/moral yang mengandung suatu komitmen transendental yang
menjanjikan persatuan dan kesatuan sikap, serta pandangan kita dalam menyambut masa
depan gemilang yang kita cita-citakan bersama. Sebagai filsafat atau pandangan hidup,
Pancasila bermakna jauh lebih luas dan lebih dalam daripada sekedar pragmatisme.

Namun, yang perlu kita sadari bahwa kritik pragmatisme sangat penting bagi
masa depan Pancasila. Bagi pragmatisme, Pancasila dalam pidato dan upacara tidak
berarti apa pun. Pragma berarti tindakan sehingga tuntutan-tuntutan pragmatisme banyak
berada pada taraf perilaku yang harus diterjemahkan dari nilai-nilai sebuah gagasan.

C. Ciri-ciri Berpikir Ilmiah Filsafat terhadap Pancasila

Pada Era Globalisasi seperti saat ini, kita mengetahui dalam kehidupan
sehari-sehari telah dimudahkan dengan adanya teknologi dan berbagai kemudahan
lainnya. Tanpa disadari, hal ini mengakibatkan lunturnya nilai-nilai Pancasila
sebagai jati diri bangsa Indonesia. Perlahan-lahan hal ini dapat melunturkan

7
kemudian menghilangkan Pancasila dari dalam hati masyarakat Indonesia, terutama
bagi para generasi muda.

Lunturnya Pancasila dari jiwa para generasi muda juga sangat berdampak
kepada perilaku/gaya hidup sehari-hari mereka. Sejalan dengan hal itu, makalah ini
disusun agar dapat memberikan referensi bagi para generasi muda agar mampu
mengetahui bagaimana ciri-ciri berpikir ilmiah-filsafati dalam pembahasan
Pancasila. Selain itu membantu untuk mengetahui bentuk dan susunan Pancasila.
Kemudian memberikan pemaparan pula mengenai refleksi terhadap kajian ilmiah
tentang Pancasila di Era Global.

Ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari usaha manusia untuk memahami


kenyataan sejauh dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia berdasarkan
pengalaman secara empirik dan reflektif. Ada pula syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi sehingga pengetahuan tersebut dapat dikatakan sebagai ilmu. Poedjawijatna
menyebutnya sebagai syarat ilmiah (Kaelan, 1998), yaitu:

1. Berobjek
Syarat pertama bagi suatu kajian ilmiah ialah berobjek. Objek tersebut dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu objek formal dan objek material. Objek formal
Pancasila ialah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila, atau dari
sudut pandang apakah Pancasila tersebut dibahas. Pada hakikatnya Pancasila dapat
dibahas dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ‘moral’ maka terdapat
bidang pembahasan ‘moral Pancasila’ dari sudut pandang ‘ekonomi’ maka terdapat
bidang pembahasan ‘ekonomi Pancasila’dan lain sebagainya.
Sedangkan Objek material Pancasila ialah suatu objek yang merupakan
sasaran pembahasan Pancasila baik bersifat empiris maupun nonempiris. Objek
tersebut ialah pernyataan-pernyataan, ide, kenyataan sosio-kultural yang terwujud
dalam hukum, teks sejarah, adat-istiadat, sistem nilai, karakter, kepribadian
manusia/masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Oleh karena itu objek
material pembahasan Pancasila adalah bangsa Indonesia dengan segala aspek
budayanya, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Objek material empiris dari pembahasan Pancasila adalah dapat berupa hasil
budaya bangsa Indonesia yang berupa, lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-
benda sejarah, maupun adat-istiadat bangsa Indonesia sendiri. Ada pula objek-objek

8
yang bersifat non empiris antara lain meliputi nilai-nilai budaya, nilai moral, serta
nilai-nilai religius yang tercermin dalam kepribadian sifat, karakter dan pola-pola
budaya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Bermetode
Setiap ilmu harus memiliki metode, yaitu seperangkat cara atau sistem
pendekatan untuk membahas objek material agar mendapatkan kebenaran yang
objektif. Demikian pula halnya dengan Pancasila. Jika Pancasila dibahas dari segi
sejarah, maka metode yang dipakai adalah metode ilmu sejarah. Selain itu bisa juga
secara filosofis dengan metode analisis-sintesis. Metode analisis-sintesis adalah
menguraikan dan memerinci pernyataan-pernyataan yang kemudian disimpulkan
menjadi suatu pengetahuan baru.
Ada pula metode induksi dan deduksi, yang merupakan metode berpikir
untuk mengkaji Pancasila. Metode induksi ialah metode berpikir yang dimulai dari
hal-hal yang bersifat khusus dan kejadian berulang-ulang untuk kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi adalah metode berpikir
yang bertitik tolak dari pernyataan umum untuk ditarik kesimpulan secara khusus.
Ada pula metode hermeneutika merupakan metode menafsirkan. Objek materialnya
adalah pernyataan-pernyataan teks dan simbol. Tujuannya untuk memperoleh makna
atau hakikat dari hal yang ditafsirkan.
3. Bersistem
Pemahaman Pancasila secara ilmiah merupakan satu kesatuan dan keutuhan,
bahkan Pancasila itu sendiri pada dasarnya merupakan kebulatan yang sistimatis,
logis, dan tidak bertentangan di dalam sila-silanya (Kaelan, 1998).Notonagoro
mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tersusun secara hierarkis, piramidal, dan
bersifat majemuk-tunggal.Hierarkis Piramidal ialah sila-sila Pancasila ditempatkan
sesuai luas cakupan dan keberlakuan pengertian yang terkandung di dalamnya.
 Sila Ketuhanan diletakkan padaUrutan pertama, karena menunjuk pada
eksistensi Tuhan sebagai sang Pencipta.
 Sila Kemanusiaan diletakkan pada urutan kedua, karena manusia hanyalah
sebagian dari ciptaan Tuhan di samping makhluk lain yang ada di alam
semesta.
 Sila ketiga adalah Persatuan, yang menunjuk adanya kelompok-kelompok
manusia sebagai makhluk sosial.Sila keempat berintikan Kerakyatan, artinya

9
dalam kelompok manusia yang berbangsa dan bernegara memerlukan sistem
pengelolaan hidup bersama atas dasar kedaulatan.
 Sila kelima berintikan Keadilan, hal ini dapat dijelaskan bahwa manusia
sebagai ciptaan Tuhan bersatu membentuk bangsa dan negara mempunyai
tujuanBersama yaitu untuk mencapai keadilan.
 Dengan demikian sila kelima ini merupakan realisasi dari eksistensi manusia
yang hidup berkelompok di sebuah negara.

4. Universal
Kebenaran pengetahuan ilmiah relatif berlaku secara universal. Artinya
kebenaran tidak terbatas oleh ruang, waktu, keadaan, situasi, kondisi, maupun
jumlah tertentu. Demikian juga dengan kajian terhadap Pancasila. Masing-masing
sila Pancasila bersifat universal, yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan. Kata Ketuhanan memiliki makna yang hampir sama
dengan religiusitas. Kemanusiaan analog dengan kata humanisme. Persatuan analog
dengan kata nasionalisme. Kerakyatan analog dengan demokrasi. Sedangkan
Keadilan analog dengan kesejahteraan. Arti universal tidak sama dengan absolut,
karena pengetahuan manusia tidak akan pernah mencapai kebenaran yang mutlak.

Di samping Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang universal, Pancasila


juga memiliki nilai-nilai yang berlaku hanya untuk rakyat Indonesia dalam bentuk
UUD 1945.

1. Bentuk dan Susunan Pancasila

1. Bentuk Pancasila

a) kesatuan yang utuh, Masing-masing sila dalam Pancasila membentuk


pengertian yang baru. Kelima sila tidak dapat dilepas satu dengan lainnya.
Walaupun masing-masing sila berdiri sendiri tetapi hubungan antar sila
merupakan hubungan yang organis.
b) Setiap unsur pembentuk Pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk
kesatuan, bukan unsur yang komplementer. Artinya, salah satu unsur
(sila)kedudukannya tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun sila
Ketuhanan merupakan sila yang berkaitan dengan Tuhan sebagai causa
prima, tetapi tidak berarti sila lain hanya sebagai pelengkap.

10
c) Sebagai satu kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi.
Oleh karena itu Pancasila tidak dapat diperas menjadi trisila yang meliputi
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, ketuhanan, atau eka sila yaitu gotong
royong sebagaimana dikemukakan oleh Ir.Soekarno.

2. Susunan Pancasila

Pancasila disusun berdasarkan urutan logis. Oleh sebab itu, sila


pertama“Ketuhanan Yang Maha Esa” diletakkan pada urutan teratas, karena bangsa
Indonesia meyakini bahwa segala sesuatu datangnya dari Tuhan dan akan kembali
pula kepada-Nya. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
diletakkan setelah Ketuhanan. Sebab, yang akan mencapai tujuan (nilai) yang
diinginkan adalah manusia sebagai pendukung serta pengemban dari nilai-nilai
tersebut.

Hal selanjutnya yang perlu dibentuk adalah adanya persatuan “Persatuan


Indonesia” atau nasionalisme yang terbentuk bukan atas dasar persmaan suku
bangsa, agama, bahasa. Akan tetapi, dilatarbelakangi oleh historis dan etis. Historis
adalah adanya persamaan sejarah/masa lalu, senasib sepenanggungan akibat
penjajahan. Etis artinya berdasarkan kehendak sang luhur untuk mencapai cita-cita
moral sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Persatuan Indonesia adalah sesuatu yang harus diwujudkan, diperjuangkan,


dipertahankan, dan diupayakan secara terus-menerus. Sila keempat berbunyi
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”, ialah cara yang harus ditempuh ketika suatu negara ingin mengambil
kebijakan. Kekuasaan negara diperoleh langsung dari rakyat, sehingga rakyatlah
yang berdaulat. Sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
diletakkan pada urutan terbawah. Sebab pada sila ini terdapat tujuan dari negara
Indonesia yang merdeka.

Oleh karena itu masing-masing sila mempunyai makna dan peran sendiri-
sendiri. Semua sila berada dalam keseimbangan dan memiliki peran dengan bobot
yang sama. Akan tetapi, masing-masing unsur memiliki hubungan yang
organis,maka sila yang berada di atas menjiwai sila yang berada di bawahnya.

11
Notonagoro berpendapat bahwa susunan sila-sila Pancasila merupakan
satuan yang organis, yang disebut dengan istilah majemuk tunggal. Majemuk
tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 sila yang merupakan kesatuan yang berdiri
sendiri secara utuh. Kemudian, Notonagoro berpendapat pula bahwa bentuk dan
susunan Pancasila adalah hierarkhis-piramidal. Hierarkhis berarti tingkat, sedangkan
Piramidal menggambarkan hubungan bertingkat dari sila-sila Pancasila.

Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa implikasi bahwa
antara sila yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi. Hal ini
menunjukkan bahwa di antara sila yang satu dengan yang lain saling memberi
kualitas atau bobot isi. Sebagai contoh Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
dari sial kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula untuk sila-
sila yang lainnya pasti akan menunjukkan adanya keterkaitan.

2. Refleksi terhadap Kajian Ilmiah tentang Pancasila di Era Global

Kajian ilmiah mengenai Pancaila sejak disyahkan pada tanggal 18 Agustus


1945 sampai saat ini mengalami pasang surut. Tokoh yang mengawali pengkajian
tentang Pancasila secara ilmiah populer dan filosofis ialah Notonagoro dan
Driyarkara. Pemikiran dari Notonagoro tentang Pancasila menghasilkan suatu telaah
yang bermakna bagi Perkembangan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Meskipun demikian, masih terbuka bahan dialog serta kajian kritis terhadap
Pancasila. Artinya Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi
ideologi yang beku sehingga seluruh komponen bangsa, terutama mahasiswa sebagai
calon pemimpin bangsa dan intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan
kreatif.

Di era global seperti yang sedang terjadi saat ini, dunia datar (dunia maya)
secara langsung atau pun tidak langsung banyak menghadirkan ideologi asing yang
gencar menerpa masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak menyadari
akan hal ini, justru kebanyakan menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing
justru menjadi pandangan hidupnya seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme.

12
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada Era Globalisasi seperti saat ini, kita mengetahui dalam kehidupan sehari-sehari
telah dimudahkan dengan adanya teknologi dan berbagai kemudahan lainnya. Tanpa
disadari, hal ini mengakibatkan lunturnya nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa
Indonesia. Perlahan-lahan hal ini dapat melunturkan kemudian menghilangkan Pancasila
dari dalam hati masyarakat Indonesia, terutama bagi para generasi muda.Lunturnya
Pancasila dari jiwa para generasi muda juga sangat berdampak kepada perilaku/gaya hidup
sehari-hari mereka. Sejalan dengan hal itu, makalah ini disusun agar dapat memberikan
referensi bagi para generasi muda agar mampu mengetahui bagaimana ciri-ciri berpikir
ilmiah-filsafati dalam pembahasan Pancasila. Selain itu membantu untuk mengetahui bentuk
dan susunan Pancasila. Kemudian memberikan pemaparan pula mengenai refleksi terhadap
kajian ilmiah tentang Pancasila di Era Global.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Muhajir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasan.


 Anonim. 2006. Filsafat Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: AMUS.
 Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Kearah pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta:
PRENADA MEDIA.
 http://inspirasikubersama.blogspot.com/2015/04/ciri-ciri-berpikir-ilmiah-bentuk-
dan.html?m=i.diakses.18/Oktober/2018.pukul,07.25
 http://pancasila.filsafat.ugm.ac.id/2017/10/25/kebenaran-dalam-konteks-pancasila/
diakses.18/Oktober/2018.pukul,07.25

14

Anda mungkin juga menyukai