Femmy Matuntu
Femmy Matuntu
Makna Kue Tamo Dalam Upacara Tulude Bagi Masyarakat Sangihe Di Desa Tariang
Lama Kecamatan Kendahe
Oleh:
Femmy Glory Euanggelia Matantu 1
Selvie Tumengkol2
Lisbeth Lesawengen 3
Abstrak
Tamo adalah kue adat masyarakat Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro). Tamo berarti
yang diperhadapkan, mengandung makna kebersamaan, kekeluargaan dan sebagai simbol
pelengkap dalam upacara Tulude. Dalam rangka mempertahankan dan melestarikan budaya
ini, penting untuk memahami makna dan signifikansi setiap elemen yang terlibat dalam upacara
Tulude, termasuk kue Tamo. Kue Tamo memiliki peran penting dalam upacara Tulude sebagai
simbol atau representasi dari nilai-nilai budaya suatu komunitas. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang berguna untuk memberikan fakta dan data
tentang pentingnya makna kue Tamo dalam upacara Tulude bagi masyarakat Sangihe di desa
Tariang lama, kemudian data tersebut dianalisis secara kritis dengan teori interaksionisme
simbolik dari George Herbert Mead, sehingga diperoleh analisis mendalam tentang sejauh
mana Makna Kue Tamo dan Tulude di desa Tariang Lama. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa Makna kue Tamo dalam upacara Tulude di desa Tariang Lama masih melekat sampai
saat ini dimana dalam pemberian makna ini masih ada masyarakat yang mempercayai suatu
hal yang mistis yang dilibatkan dalam prosesi upacara Tulude.
1
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
2
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
secukupnya, dan bubuk kayu manis Kue Tamo adalah warisan pusaka
secukupnya, (4) lalu masuk dalam tahapan leluhur yang sangat dihargai dan dijunjung
“mangongke” atau dimasak kembali sambil tinggi oleh masyarakat Sangihe turun-
terus diaduk selama 2 sampai 3 jam lamanya, temurun khususnya di desa Tariang Lama
(5) Bila sudah matang, diangkat dan diisi karena memiliki makna kebersamaan, jiwa
pada wadah atau pestaka pembentuknya dan persatuan yang ulet, teguh dan utuh juga
ditiriskan selama 3 sampai 7 hari agar sebagai simbol tingginya nilai adat istiadat
minyaknya keluar dan kue itu agak mengeras yang tetap dipertahankan dan lestari
dan dapat dikeluarkan dari pestaka dan sepanjang masa. Kue Tamo yang ada di desa
didudukan pada piring Dulang, (6) Tariang Lama ada yang disebut dengan
Kemudian dipasangi hiasan simbol utama Tamo Banua dan Tamo Ana Banua, yang
berupa telur matang, udang yang telah dimaksud dengan Tamo Banua yaitu Tamo
matang, rica, ketupat dan bendera beserta kampung yang ukurannya bisa mencapai
hiasan lain berupa buah dan pernik-pernik 15kg dan jauh lebih besar dari Tamo Ana
lain hingga kue ini nampak semarak Banua. Sedangkan Tamo Ana Banua yang
tampilannya. berarti Tamo masyarakat yang ukurannya
Menariknya, selama proses tradisi berkisar 7kg – 12kg dengan catatan tidak
“mangongke”, para pembuat hanya boleh boleh melebihi Tamo Banua. Untuk Tamo
bicara dalam bahasa isyarat (tidak boleh ada Banua dibuat lebih dahulu, adanya
suara). Dapur harus benar-benar sepi. Kayu perbedaan waktu satu hari lebih awal dalam
yang dipakai untuk memasak juga harus pembuatan Tamo Banua dibuat pada hari
kayu khusus yakni “Leluwang” atau “ Pawa” jumat sedangkan Tamo Ana Banua dibuat
(Marong Kelapa). pada hari sabtu dan itu sudah merupakan
Tamo terbuat dari Beras ketentuan yang ada di desa Tariang Lama.
melambangkan Manusia, Air melambangkan Artinya semakin tinggi kue Tamo maka
Kesucian, Minyak lambang Kemistikan (ke- semakin tinggi pula berkat dalam kehidupan,
Tuhan-an), Gula lambang Romantika hidup. maka semakin kita menyadari bahwa semua
Dimasak oleh Api lambang Semangat ini pemberian Tuhan. Setelah semua selesai
persatuan. Dibentuk Piramida lambang maka dilanjutkan dalam prosesi adat,
Gunung atau Kerajaan (Negara). nantinya Tamo Banua dan Tamo Ana Banua
Didudukkan pada piring Dulang, lambang itu diarak dengan di iringi oleh musik
Bumi. Dihiasi Bendera lambang Kekuasaan, tagonggong (Gendang) dan semua
Telur lambang Kesempurnaan, Rica masyarakat menari sambil mengiringi Tamo
lambang Penyakit, Udang lambang yang di arak ini ketempat upacara Tulude
Kesukaran, Ketupat Burung lambang berlangsung.
Kejayaan, Ketupat dodutu lambang Tongkat Kue Tamo ibaratkan sebatang pohon
kerajaan. Igu-igu wadah dari bambu yang yang besar tinggi dan punya keagungan
dianyam hingga berbentuk piramida sebagai tersendiri sebagai tempat perteduhan, akar,
tempat cetakan Tamo (bentuknya sama kulit, dan daunnya dijadikan obat penawar,
dengan tempat ayam bertelur). Dulang menyembuhkan segala penyakit sehingga
adalah jenis piring besar dari tembaga tempat pemulihan dialami melalui kekuatan dan
kue Tamo diletakkan. Tradisi pemotongan panjang umur. Bentukan adonan kue Tamo
Tamo dipimpin oleh seorang Arif bijaksana dari berbagai jenis makanan merupakan
dan menguasai budaya yakni para petua adat simbol berkat Tuhan yang Maha Kuasa bagi
atau seseorang (meskipun masih berusia masyarakat yang hidup dari hasil pertanian
muda) tapi dinilai punya anugerah budaya dan setiap saat patut disyukuri. Kue Tamo
dan telah ditahbiskan dalam ritual tradisi juga merupakan bagian yang tak terpisahkan
tersendiri. Setelah dipotong, kemudian dari upacara adat Tulude sebab eksistensinya
dibagi kepada khalayak yang hadir.
3
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
4
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
5
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
6
JURNAL ILMIAH SOCIETY ISSN : 2337 – 4004
Jurnal Volume 3 No.3 Tahun 2023
https://beritamanado.com/masyarakat-desa-
tariang-lama-gelar-prosesi-mehengke-
tamo-anau-wanua/(Di akses 31 Maret)