Anda di halaman 1dari 59

MATRIKULASI

BIOAFARMASETIKA
DR. apt. Wira NOVIANA SUHERY, M. FARM
Nasib obat di dalam tubuh dapat dibagi dalam beberapa fase

Obat

• Liberasi
Fase Biofarmasetika • Disolusi
• Absorpsi

Fase Farmakokinetik • ADME

Fase
Farmakodinamik
Fase
Biofarmasetik
Disolusi dan pelepasan dari produk obat
oral

1. Disintegrasi (partikel besar /agregat)


2. Deagregasi
3. Disolusi
4. Absorpsi
Disintegrasi
Disolusi
Contoh Soal

• Diketahui persamaan regresi untuk disolusi tablet Ibuprofen


adalah ;
• y = 0,073751x + 0,004331.
• Kurva kalibrasi dibuat dalam satuan µg/ml. Hitunglah %
terdisolusi tablet Ibuprofen (200 mg) berikut ini, dengan data
absorban terlampir.
• Diketahui volume medium disolusi adalah 900 ml. Cuplikan
diambil 5 ml, kemudian dipipet 0,5 ml dan di ad kan dengan
medium hingga 10 ml, baru kemudian diukur absorbannya
menggunakan spektrofotometer UV.
Waktu Absorban Persen Luas area
(menit) terdisolusi
0 0 0
5 0,260 31,20 78
10 0,487 59,07 225,67
15 0,501 60,93 300
30 0,658 80,10 1057,72
45 0,699 85,21 1239,82
60 0,705 85,97 1283,85
Luas ABC 4185,07
Luas ABDE 6000
ED60menit Luas 69,75%
ABC/Luas
ABDEx 100%
• Persen terdisolusi ke-10, dst
= mg obat terlarut pada waktu 10 menit + FK x 100%
200 mg

FK = 5/900 x mg obat terlarut pada menit sebelumnya (5 menit)


• Jumlah obat yang terdisolusi (Q) pada waktu t
(Monografi)
• Efisiensi disolusi/ED (Menggambarkan
keseluruhan disolusi)
• Persamaan dan perbedaan (f2 dan f1)
• Berbeda : f1<15 (0-15)
• Sama : f2>50 (50-100)
▪ LIBERASI (PELEPASAN)
▪ Setelah pemberian obat, jika obat tidak dalam
bentuk larutan, maka obat akan mengalami
pelepasan dari bentuk sediaannya yang diikuti
dengan proses disolusi, difusi atau kombinasi
LIBERASI keduanya.
▪ Ada 2 tahap pelepasan, yaitu desintegrasi dan
deagregasi
▪ Pelepasan dapat terjadi apabila ada kontak antara
bentuk sediaan dengan cairan saluran cerna
▪ DISOLUSI (PELARUTAN)
▪ Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap
kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif,
yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air.

▪ Disolusi merupakan syarat utama agar selanjutnya terjadi


penyerapan (absorpsi).

▪ Disolusi terjadi jika zat aktif dalam keadaan tidak terlarut


dalam sediaan, atau proses pelarutan terjadi dalam pembawa
DISOLUSI sediaan atau setelah lepas dari sediaan.

▪ Proses pelarutan diawali dari melarutnya bagian terluar yang


selanjutnya memasuki cairan pelarutan.

▪ Kelarutan bertambah besar jika ukuran partikel dasar semakin


kecil.

▪ Semua zat aktif yang dapat diabsorpsi, laju disolusinya


merupakan salah satu faktor penentu pada proses absorpsi
▪ Parameter-parameter yang mempengaruhi proses disolusi
dinyatakan dalam persamaan Noyes dan Whitney berikut ini:

dW D  A
= (Cs − C )
dt h

A = Luas permukaan senyawa yang belum terlarut


DISOLUSI D = Koefisien difusi zat aktif yang terlarut dalam pelarut (nilainya

tergantung pada suhu dan pengadukan)

C = Jumlah zat aktif terlarut dalam waktu t dan dalam volume total
pelarut

Cs = Konsentrasi jenuh zat aktif

h = Tebal lapisan pelarut


 Fase Biofarmasetika dipengaruhi oleh:
•Sifat fisikokimia zat aktif
•Dosis dan frekuensi pemberian obat
•Rute pemberian obat
•Bentuk sediaan
Sifat fisikokimia obat
 Kelarutan
BCS
(Biopharmaceutical Classification System)
 Permeabilitas
 Ukuran partikel
 Bentuk asam, basa, garam
 Bentuk kristal
 Koefisien partisi (Log P)
 dll
▪ BCS merupakan pendekatan prediktif yang
berkaitan dengan karakteristik fisikokimia obat
dan produk obat terhadap bioavailabilitas in vivo.
▪ BCS dikategorikan berdasarkan 2 parameter
BCS fisikokimia utama yaitu :
(Biopharmaceutics ▪ Solubility (Kelarutan)
Classification ▪ Permeability (Permeabilitas)
System) ▪ 2 factor utama ini dipilih karena umumnya obat
diberikan secara oral yang diabsorpsi secara
difusi pasif melalui usus halus.
▪ Sebagian besar absorpsi oral dipengaruhi oleh
permeabilitas membrane dan kelarutan obat.
Klasifikasi BCS
▪ Kelas 1 (Permeabilitas tinggi, Kelarutan Tinggi)
▪ Kelas 1 ini menunjukkan sejumlah obat berdaya
serap yang tinggi dan sejumlah pelarutan yang
tinggi.
BCS Kelas 1 ▪ Studi disolusi in vitro untuk obat-obat BCS kelas 1
dapat menyediakan informasi yang cukup untuk
menjamin performance in vivo, sehingga studi BA-
BE tidak begitu penting.
▪ Kelas 2 (Permeabilitas tinggi , Kelarutan Rendah )
▪ Kelas II ini menunjukkan sejumlah obat berdaya
serap yang tinggi dan sejumlah pelarutan yang
rendah.
▪ Kelarutan/disolusi merupakan “rate limiting step”
untuk absorpsi oral obat BCS kelas 2.
▪ Sistem yang dikembangkan untuk obat kelas II
BCS Kelas 2 didasarkan berbagai upaya/Teknik untuk
meningkatkan kelarutan/pelarutan obat, seperti
pengecilan ukuran partikel (mikronisasi,
nanonisasi), formulasi berbasis lipid (system
emulsi, liposom, solid lipid nanopartikel/SLN,
nanopartikel lipid carrier/NLC), kompleks inklusi,
modifikasi kristal, dll
▪ Kelas 3 (Permeabilitas rendah, Kelarutan Tinggi)
▪ Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi
dalam tingkat penyerapan obat.
▪ Penyerapan rendah karena tingkat permeabilitas
yang terbatas namun memiliki tingkat kelarutan
BCS Kelas 3 yang besar dan terjadi sangat cepat.
▪ Obat kelas III memerlukan teknologi untuk
memperbaiki keterbatasan permeabilitas absolut.
▪ Teknologi untuk meningkatan permebilitas
adalah : prodrug, permeation enhancer
▪ Kelas 4 (Permeabilitas rendah, Kelarutan Rendah)
▪ Kelas 4 merupakan senyawa yang memiliki
bioavailabilitas rendah.
▪ Senyawa ini sering menunjukkan permeabilitas
yang terbatas di mukosa GI.
▪ Obat kelas IV menyajikan sebuah tantangan besar
BCS Kelas 4 bagi pengembangan sistem penghantaran obat
dan rute pemberian yang disarankan adalah obat
parenteral dengan formulasi yang dapat
mempercepat kelarutan.
▪ Kombinasi teknologi BCS kelas 2 dan 3 dapat
digunakan untuk BCS kelas 4 ini.
▪ “High soluble drug” adalah obat dalam dosis
tertinggi sepenuhnya larut dalam 250 mL medium
dengan pH 1-7,5 pada 37C.
▪ Sebaliknya jika tidak memenuhi ketentuan
tersebut, maka obat dianggap kurang larut
Pedoman FDA (poorly soluble).
▪ Obat dianggap “highly permeable” jika
banyaknya obat yang diserap secara oral lebih
besar dari 90%.
Physicochemical Properties for Consideration in
Product Design

pKa & pH Necessary for optimum stability & solubility of


profile the final product
Particle Size May affect the solubility of the drug & therefore
the dissolution rate of the product
Polymorphism The ability of a drug to exist in various crystal
forms may change the solubility of the drug. The
stability of each form is important, because
polymorphs may convert from one to another.
Hygroscopicity Moisture absorption may affect the physical
structure as well as stability of the product.
Physicochemical Properties for
Consideration in Product Design

Partition Give some indication of the relative affinity of the


Coefficient drug for oil & water. A drug that has high affinity for
oil may have poor release & dissolution

Excipient Compatibility of the excipients with the drug


Interaction Sometime trace elements in excipients may affect the
stability of the product. Specification is important

pH Stability Stability of solutions is often affected by the pH of


Profile vehicle. pH in the stomach & gut is different, know-
ledge of stability would help to avoid degradation
Solubility, pH, & Absorption

 pH environment of the GIT varies from acidic in


the stomach to slightly alkaline in the small
intestine
 A basic drug is more soluble in an acidic
medium
 Solubility may be improved with the addition of
an acidic or basic excipient
 Buffering agent may be added to slow or
modify the release rate of a fast dissolving drug
 Controlled release drug product must be a non
disintegrating dosage form.
Stability, pH, & Absorption

 If drug decomposition occurs by acid or


based catalysis, some prediction for
degradation of the drug in GIT may be made

 Erythromycin decomposition occurs rapidly In


acidic medium. It has to be enteric coated to
protect against acid degradation in the
stomach
Particle Size & Absorption

 Surface area of the drug is increase


enormously by a reduction in the particle size.
The greater the surface area the more rapid
the rate of dissolution.

 Particle size & distribution studies are


important for drug that have low water
solubility. Many hydrophobic drugs are very
active IV-ly but are not very effective orally
due to poor absorption.
Particle Size & Absorption

 Griseofulvin, nitrofurantoin & many steroids are


drug with low aqueous solubility; micronized form
has improved absorption.
 Smaller particle size results in an increase in the
surface area, enhances water penetration, an
increases the dissolution rates.
 A disintegrant may be added to the formulation
to ensure rapid disintegration
 Surface-active may increase wetting & solubility
Polymorphic Crystals, Solvates, &
Absorption
 Polymorphism (drug in various crystal forms). Same
chemical structure but different physical
properties
 Crystals have lower solubility than the amorphous
 Chloramphenicol, has several crystal forms, when
given as a suspension, the conc is dependent on
% of β-polymorph. β-form is more soluble & better
absorbed
 Crystal form has the lowest free energy is the most
stable. A drug that exists as an amorphous form,
dissolves more rapidly than rigid crystalline form
Polymorphic Crystals, Solvates, &
Absorption

 Some polymorphs are metastable, a


change in crystal form may cause problems
in manufacturing. A change in the crystal
structure may cause cracking in a tablet.
 Some drugs interact with solvent to form a
crystal called solvate.
 Water may form a special crystal called
hydrates. Erythromycin hydrates have
different solubility compared to the
anhydrous form.
 Ampicillin 3H2O was reported to be less
absorbed than the anhydrous forms.
BIOAVAILABILITAS
• Kemanjuran obat secara klinik sukar untuk ditentukan
secara kuantitatif karena variasi respon yang diberikan oleh
pasien sangat besar sehingga diperlukan jumlah pasien
yang sangat banyak dan biaya yang sangat besar

• Uji klinik biasanya dilakukan pada saat obat pertama kali


diperkenalkan.
BIOAVAILABILITAS

• Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) adalah persentase


dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang
mencapai/ tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut

• Bioavailabilitas diukur dari kadarnya dalam darah terhadap


waktu atau dari ekskresinya dalam urin.

• Bioavailabilitas mencakup laju dan intensitas (rate and


extent)
• Parameter untuk menilai bioavailabilitas adalah nilai area di
bawah kurva konsentrasi obat vs waktu (AUC = area under
curve)
• Area di bawah kurva konsentrasi obat vs waktu berguna
sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh yang
mencapai sirkulasi sistemik.

𝐹𝐷
AUC =
𝐾𝑉𝑑

• FD = Jumlah total obat yang tersedia


•K = Tetapan laju eliminasi
• Vd = Volume distribusi
Bioavailabilitas ada 2 yaitu :

• Bioavailabilitas absolut : Bioavailabilitas zat aktif


yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu bentuk
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas
zat tersebut yang diberikan secara i.v

• Bioavailabilitas relatif: Bioavailabilitas zat aktif yang


mencapai siskulasi sistemik dari suatu bentuk
sediaan obat dibandingkan dengan bentuk
sediaan lain selain i.v
Bioavailabilitas absolut Bioavailabilitas relatif
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BIOAVAILABILITAS OBAT

• Faktor obat
• Faktor subjek
• Faktor rute pemberian
• Faktor interaksi obat/makanan
• Metode untuk penilaian bioavailabilitas
1. Konsentrasi obat dalam plasma
- tmaks
- Cmaks
- AUC
2. Eksresi obat melalui urin
- Du (Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin
- dDu/dt (Laju eksresi obat dalam urin)
- t (Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin)
3. Efek farmakodinamik akut
4. Pengamatan klinis
5. Studi in vitro (Uji disolusi)
CONTOH SOAL
• Bioavailabilitas suatu obat yang baru diteliti dipelajari pada 12
sukarelawan. Tiap sukarelawan menerima satu tablet oral
mengandung 200 mg obat. 5 mL larutan air murni mengandung 200
mg obat, atau injeksi i.v bolus tunggal mengandung 50 mg obat.
Sampel plasma diperoleh secara berkala sampai 48 jam setelah
pemberian obat, kemudian ditetapkan konsentrasinya. AUC rata-rata
(0-48 jam) dinyatakan dalam table dibawah ini. Dari data ini hitunglah
: (a) bioavailabilitas relative tablet dibandingkan dengan larutan oral,
dan (b) bioavailabilitas absolut obat dari tablet.
Produk obat Dosis (mg) AUC (g jam/mL) Simpangan baku

Tablet oral 200 89,5 19,7

Larutan oral 200 86,1 18,1

Injeksi i.v bolus 50 37,8 5,7


• Tiga produk obat berbeda yang mengandung antibiotic sama
diberikan kepada 12 sukarelawan pria dewasa (19-28 tahun, berat
rata-rata 73 kg). Sukarelawan dipuasakan 12 jam sebelum pemberian
produk obat. Sampel urin dikumpulkan sampai 72 jam setelah
pemberian obat untuk memperoleh ekskresi maksimum Du-∞. Data
disajikan dalam table berikut. (a) Berapakah bioavailabilitas absolut
tablet? (b) Berapakah bioavailabilitas relative kapsul dibandingkan
tablet?
Produk obat Dosis (mg/kg) Ekskresi obat dalam urin
kumulatif 0-72 jam (Du-∞)
Tablet oral 4 340

Kapsul oral 4 360

Larutan IV 0,2 20
T Cp AUC0-t
0 0
0,5 54 13,5
1 62 29
2 42 52
3 23 32,5
4 10 16,5
6 6 16
AUC0-6 159,5
AUC AUC0-t
AUC0-1 62,5
AUC1-2 117,5
AUC2-3 103
AUC3-4 90,5
AUC4-6 151
AUC6-9 166,5
AUC9-12 114
AUC12-15 78,75
AUC0-15 883,75
Kurva laju ekskresi obat dalam urin vs waktu
BIOEKIVALENSI

❑Uji Ekivalensi adalah uji untuk menentukan ekivalensi antara


obat generik dan obat komparator yang dilakukan melalui uji in
vivo dan/atau in vitro.
❑ Uji Bioekivalensi adalah Uji Ekivalensi in vivo pada manusia
untuk membandingkan bioavailabilitas atau farmakodinamik
antara obat uji dan obat komparator.
❑ Uji Disolusi Terbanding atau Uji Ekivalensi in vitro yang
selanjutnya disebut Uji Disolusi Terbanding adalah uji disolusi
komparatif yang dilakukan untuk menunjukkan similaritas profil
disolusi antara obat uji dengan obat komparator.
• Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya
mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif
farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang
sama akan menghasilkan biovailabilitas yang sebanding
sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun
keamanan.
• Ekivalensi farmaseutik : Dua produk obat mempunyai
ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif
yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan
yang sama
• Alternatif farmaseutik : Dua produk obat merupakan
alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif
yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam,
ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan
• Studibioekivalensi dilakukan untuk membandingkan
bioavailabilitas produk obat uji terhadap produk
komparator (produk copy vs produk innovator, atau
produk generic vs produk bermerk.
• Pada studi bioekivalensi, produk obat uji dan
pembanding harus mengandung ekivalensi farmasetik
dan diberikan melalui rute pemakaian yang sama
Desain studi BE

• Studi dalam kondisi puasa (fasted)


• Studi dengan adanya intervensi makanan (fed)
Menggunakan kondisi makan yang memberikan pengaruh yang
besar pada fisiologis saluran cerna sehinggan akan
mempengaruhi bioavailabilitas secara maksimal.
• Studi dosis ganda (keadaan tunak)
• Desain acak silang (crossover)
• Desain paralell
Crossover
Replicate crossover

• Digunakan untuk penentuan BE individual, untuk


memperkirakan variasi subyek untuk produk uji dan
pembanding, dan untuk memperkirakan variasi subyek-
formulasi
• Produk
pembanding yang sama dan produk uji yang
sama masing-masing diberikan 2 kali pada subyek yang
sama
Paralel desain
Analisa Statistik

• Parameter utama bioekivalensi AUC0-t , AUC0-∞, Cmaks dan Tmaks harus


dibandingkan secara statistik .
• Data AUC dan Cmaks harus ditransformasikan dulu ke dalam bentuk
logaritme, baru dihitung dengan ANOVA dengan batas kebermaknaan 5%.
• Untuk ketiga data tersebut dihitung 90% confidence intervals, median,
minimum dan maksimum.
Kriteria Bioekivalen

Produk uji (test = T) dan produk pembanding (reference = R) dikatakan bioekivalen jika :
a. Rasio nilai rata-rata geometrik (AUC)T/(AUC)R*=1.00
dengan 90% CI =80-125%
Untuk obat- obat dengan indeks terapi yang sempit, nilai 90% CI = 90-111%
b. Rasio nilai rata-rata geometrik (Cmax)T/(Cmax)R juga = 1.00
dengan 90% CI = 80-125%.
Oleh karena Cmax, lebih bervariasi dibanding AUC, maka interval yang lebih lebar misal
75-133% atau 70- 143% (untuk obat-obat dengan variabilitas tinggi)
c. Perbandingan tmax dilakukan hanya jika ada claim yang relevan secara klinik mengenai
pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan
efek samping obat
Data Tmaks biasanya dilakukan uji Wilcoxon berpasangan dari data asli dengan batas
kebermaknaan 5%.

Anda mungkin juga menyukai