Kata Sambutan
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak-
pihak yang terlibat; dosen-dosen, lembaga, serta seluruh aliansi yang telah bersama bergerak
untuk mengadvokasikan isu kekerasan seksual. Kemudian, secara khusus kepada Board of
Directors HopeHelps Universitas Indonesia 2020-2021 yang telah meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaga untuk bergerak bersama menyuarakan keresahan terkait kekerasan
seksual dalam kampus UI; dikelilingi oleh orang-orang yang mengemban nilai dan semangat
yang sama merupakan suatu pelajaran berharga, walaupun tentunya saya menyadari bahwa
perjuangan terkait isu kekerasan seksual tidaklah dapat diselesaikan dalam kurun waktu
satu, dua, atau tiga tahun, perjuangan untuk mewujudkan lingkungan yang aman dari
kekerasan seksual serta bagi seluruh korban kekerasan seksual harus tetap terus dilanjutkan.
Adapun pada tahun ini kami mempersembahkan Ringkasan Tahunan HopeHelps UI
dengan judul “Dunia Anomie di Tengah Pandemi: Depiksi Meningkatnya Kekerasan
Berbasis Gender Online di Universitas Indonesia” untuk menggambarkan terjadinya
peningkatan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online di masa pandemi COVID-19 yang
menimpa sivitas akademika UI. Fenomena ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual
tetap bisa terjadi meskipun tidak dapat bertatap muka. Kami menggambarkan kondisi ini
sebagai sebuah anomie karena pelaku kekerasan seksual secara daring bersembunyi di balik
anonimitasnya, berperilaku selayaknya dunia siber adalah dunia tanpa aturan, yang
kemudian diperburuk dengan minimnya perlindungan hukum bagi korban KBGO, serta
banyaknya kriminalisasi dan kerugian yang dialami korban.
Kami segenap jajaran pengurus HopeHelps Universitas Indonesia percaya bahwa
kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi berkewajiban untuk menciptakan lingkungan
yang menindak tegas dan aman bagi seluruh sivitas akademika Universitas Indonesia, secara
khusus terkait kasus kekerasan seksual. Namun, sayangnya realita kondisi pendidikan tinggi
di Indonesia masih belum dapat melindungi dan mendukung pemulihan bagi korban
kekerasan seksual. Adapun kasus kekerasan seksual sebagai fenomena gunung es karena
Jakarta,
Minggu 4 Juli 2021
BAB I Pendahuluan 6
A. Terkait HopeHelps 6
B. Latar Belakang 7
BAB V KESIMPULAN 58
GLOSARIUM 60
DAFTAR PUSTAKA 62
A. Terkait HopeHelps
Semakin banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus
seharusnya sudah menjadi panggilan bagi seluruh pendidikan tinggi di Indonesia untuk
dapat menciptakan sebuah lembaga yang aman bagi kekerasan seksual yang dapat menjamin
akses keadilan dan kebutuhan pendukung lainnya bagi korban kekerasan seksual. Belum
adanya Crisis Center di Universitas Indonesia dan juga regulasi yang dapat melindungi
korban kekerasan seksual melahirkan urgensi untuk mengisi kekosongan tersebut untuk
dapat memastikan sivitas akademika Universitas Indonesia memiliki tempat yang aman
untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka.
Adanya kegelisahan atas kesulitan yang kerap dialami korban kekerasan seksual di
kampus, secara khusus di Universitas Indonesia, menggerakan Co-Founder(s) HopeHelps
UI, yakni Eva Maria Putri Salsabila (Mahasiswi Fakultas Hukum UI 2014), Irena Lucy
(Mahasiswi Fakultas Hukum UI 2013), Joce Timoty (Mahasiswa Fakultas Hukum UI 2014)
untuk membentuk sebuah lembaga pengada layanan tanggap untuk pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Berawal pada tahun 2013 sampai dengan
2014 pada Gerakan Adili Sitok yang bertujuan untuk mengawal kasus kekerasan seksual
yang menimpa mahasiswi RW, dimana pelakunya adalah seorang sastrawan yang juga
dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yakni Sitok Srengenge, pada tahun 2017
kemudian Co-Founder(s) membentuk HopeHelps UI sebagai pengada layanan tanggap
untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus UI.
Untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang tegas dalam menangani kasus
kekerasan seksual dan mewujudkan tempat yang aman dari kekerasan seksual, HopeHelps
UI mulai memperluas keberadaan kami ke kampus-kampus lain di seluruh Indonesia. Pada
tanggal 14 Juni 2020, HopeHelps Network terlahir. HopeHelps Network menjadi pusat yang
menaungi HopeHelps Local Chapters, adapun hingga kini sudah terdapat beberapa local
chapters, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Trisakti, Universitas
Diponegoro (UNDIP), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Udayana (Unud), Institut
B. Latar Belakang
Kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap tubuh, hidup di
tengah konstruksi budaya, dapat terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Salah satu
tempat yang kerap kali menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual ialah di lingkungan
akademik yakni kampus. Salah satu kasus kekerasan seksual dalam lingkungan akademik
yang mengalami eskalasi isu kian tinggi hingga ke publik adalah kasus pemerkosaan
mahasiswi berinisial RW pada Maret 2013 oleh seorang sastrawan bernama Sitok
1
Laurencius Simanjuntak, “Perjalanan Kasus Sitok Hamili Mahasiswi UI Hingga Akan di SP-3”,
https://www.merdeka.com/peristiwa/perjalanan-kasus-sitok-hamili-mahasiswi-ui-hingga-akan-di-sp3.html,
diakses 3 Juli 2021.
2
Juli Hantoro, “Kasus Agni UGM Korban Disalahkan Hingga Depresi”,
https://nasional.tempo.co/read/1174054/kasus-agni-ugm-korban-disalahkan-hingga-depresi, diakses 3 Juli 2021.
3
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait Kekerasan
Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia” diterbitkan di Diskusi Publik “Perguruan Tinggi dan Darurat
Kekerasan Seksual” pada Kamis 11 April 2019 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4
Ibid.
5
HopeHelps Universitas Indonesia, Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2020: Esa Hilang Dua
Terbilang, (Depok: HopeHelps UI, 2020), hlm. 7-13.
6
Ibid.
10
“violence that is directed at individuals on the basis of their gender, with women and
girls making up the vast majority of victims (though boys and men can also be the
target). It is indiscriminate, cutting across racial, ethnic, class, age, economic,
religious, and cultural divides.”8
Dilansir oleh Yayasan Pulih, kekerasan berbasis gender adalah istilah yang
memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan
aspek sosial termasuk gender yang dilekatkan oleh masyarakat, yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah segala perilaku yang mengakibatkan
penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan
membahayakan, pemaksaan, atau perilaku lain yang membatasi kebebasan orang. 9
Kekerasan berbasis gender disebabkan oleh ketidakadilan gender serta penyalahgunaan
kewenangan akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang
tidak setara. Oleh karena itu, gender dari pelaku dan penyintas turut mempengaruhi motivasi
dari kekerasan yang dilakukan oleh pelaku serta bagaimana masyarakat luas merespons
kekerasan tersebut. Kekerasan berbasis gender dapat terjadi kepada siapa saja termasuk laki-
7
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, New York, 19
December 1979, United Nations Treaty Series, Vol. 1249
8
Tina Johnson, “Gender Based Violence”, Journal of The Commonwealth Magistrates’ and Judges’
Association 15, (Februari 2004)
9
Yayasan Pulih, “Memahami Kekerasan Berbasis Gender”,
http://yayasanpulih.org/2021/02/memahami-kekerasan-berbasis-gender , diakses 18 Juni 2021.
11
10
Yayasan Pulih, “Memahami Kekerasan Berbasis Gender”,
http://yayasanpulih.org/2021/02/memahami-kekerasan-berbasis-gender , diakses 18 Juni 2021.
11
Ibid.
12
World Health Organization, World Report on Violence and Health, (Geneva: World Health
Organization 2012)
13
Lihat Pasal 1 Huruf 1 RUU PKS.
14
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
12
a. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merupakan setiap tindakan fisik dan/atau nonfisik kepada orang
lain yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, yang mengakibatkan seseorang merasa terhina, terintimidasi, direndahkan,
dan/atau dipermalukan. Pelecehan seksual dalam bentuk fisik (body contact) meliputi tapi
tidak terbatas dalam bentuk sentuhan, ucapan, colekan, dekapan, dan/atau ciuman.
Sedangkan pelecehan seksual dalam bentuk non fisik (no body contact) meliputi tetapi tidak
terbatas dalam bentuk siulan, kedipan mata, ucapan yang bernuansa seksual, ajakan
melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan materi pornografi, mempertunjukkan alat
kelamin, merekam, atau memfoto secara diam-diam tubuh seseorang. Dengan demikian, ada
3 (tiga) unsur kunci dari tindak pelecehan seksual yaitu; tindakan fisik dan/atau nonfisik;
berkaitan dengan seksualitas seseorang; dan mengakibatkan seseorang merasa terhina,
terintimidasi, direndahkan, dan/atau dipermalukan.16
b. Eksploitasi Seksual
Tindak eksploitasi seksual adalah penggunaan kekuasaan dengan cara kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama palsu atau martabat palsu,
15
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
16
Ibid.
13
c. Pemaksaan Kontrasepsi
Tindak pemaksaan kontrasepsi adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk
mengatur, menghentikan, dan/atau merusak organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksi orang
lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kemampuan untuk
menikmati hubungan seksual dan/atau kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem
reproduksinya, dan/atau tidak dapat melanjutkan keturunan. Dengan demikian, ada 3 (tiga)
unsur tindak pemaksaan kontrasepsi yaitu; tindakan mengatur, menghentikan, dan/atau
merusak organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksi orang lain, dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan;
mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan untuk menikmati hubungan seksual
dan/atau kontrol terhadap organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksinya dan/atau tidak dapat
melanjutkan keturunan.18
17
Ibid.
18
Ibid.
14
e. Perkosaan
Tindak perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual yang bertentangan dengan
kehendak seseorang atau dalam kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan yang sesungguhnya, termasuk tapi tidak terbatas pada memasukkan penis ke
vagina atau penis ke anggota tubuh lainnya; anggota tubuh atau benda ke dalam vagina,
dubur dan/atau mulut, menggesek-gesekkan alat kelamin ke bagian tubuh tertentu. Yang
dimaksud dengan pemaksaan tidak hanya mencakup paksaan secara fisik, namun juga secara
psikis dan aspek lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan seksual adalah
tindakan seseorang dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau
benda ke dalam vagina, anus, mulut, dan/atau anggota tubuh dari orang lain. Jadi dalam
RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini, hubungan seksual tidak hanya berarti
penetrasi penis ke vagina, namun lebih luas dari itu yakni meliputi penggunaan benda atau
anggota tubuh lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, ada 2 (dua) unsur elemen kunci tindak
perkosaan yaitu; tindakan pemaksaan hubungan seksual; dan dilakukan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan atau tipu muslihat atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.20
f. Pemaksaan Perkawinan
Tindak pemaksaan perkawinan adalah setiap orang yang menyalahgunakan
kekuasaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau tipu muslihat atau bujuk rayu
19
Ibid.
20
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
15
g. Pemaksaan Pelacuran
Tindak pemaksaan pelacuran adalah setiap orang yang menggunakan kekuasaan
dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas atau
martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga)
unsur/elemen kunci tindak pemaksaan pelacuran, yaitu; tindakan melacurkan seseorang;
dilakukan dengan menggunakan kekuasaan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan,
rangkaian kebohongan, nama, identitas atau martabat palsu, dan/atau penyalahgunaan
kepercayaan; dan untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.22
h. Perbudakan Seksual
Tindak perbudakan seksual adalah tindakan kekerasan seksual berupa eksploitasi
seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, dan/atau pemaksaan pelacuran yang
dilakukan kepada orang lain dengan cara membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan
seseorang, untuk tujuan menempatkan orang lain tersebut melayani kebutuhan seksualnya
atau pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga)
elemen kunci tindak perbudakan seksual yaitu; satu atau lebih tindakan kekerasan seksual
berupa eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan dan/atau pemaksaan
pelacuran; dilakukan dengan membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang;
dan untuk tujuan menempatkan orang melayani kebutuhan seksualnya atau orang lain dalam
jangka waktu tertentu.23
21
Ibid.
22
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017).
23
Ibid.
16
24
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
25
Positive Women’s Network, “Bodily Autonomy: A Framework to Guide Our Future,”
https://www.pwn-usa.org/bodily-autonomy-framework , diakses 18 Juni 2021.
17
18
19
36
Riki Perdana Raya Waruwu, “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’ Oleh: Riki
Perdana Raya Waruwu*),” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-relasi-
kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/
37
I Putu Agus Setiawan dan I Wayan Novy Purwanto, “Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda Bali),” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2019), hlm. 10.
38
Ibid.
39
Badrun Susantyo, “Lingkungan dan Perilaku Agresif Individu,” Sosio Informa [Online], Vol. 3 No. 1
(2017), hlm. 20.
20
E. Budaya Patriarki
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata ‘patriarki’ sebagai perilaku
mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial
tertentu.44 Dalam konteks ini, budaya patriarki meliputi ide dan gagasan terkait maskulinitas,
feminitas, dan posisi marjinal yang memposisikan laki-laki diatas perempuan. Menurut
Allan Johnson, budaya patriarki mencangkup beberapa hal, yaitu: a) mengenai bagaimana
kehidupan sosial yang ideal, harapan masyarakat, dan perasaan masyarakat; b) mengenai
standar kecantikan feminim dan ketangguhan maskulin, penggambaran kerentanan feminim
dan perlindungan maskulin; c) mengenai kewajaran agresi, persaingan, dan dominasi dari
laki-laki dan kepedulian, kerjasama, dan subordinasi dari perempuan; d) mengenai
40
Iwan Awaluddin Yusuf, “Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan #MeToo di Indonesia,”
https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455
41
I Putu Agus Setiawan dan I Wayan Novy Purwanto, “Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda Bali),” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2019), hlm. 10-11.
42
Ibid., hlm. 10.
43
Rr Laeny Sulistyawati, “Kecanduan Pornografi Jadikan Anak Pelaku Kekerasan Seksual,”
https://www.republika.co.id/berita/pxb6vq282/kecanduan-pornografi-jadikan-anak-pelaku-kekerasan-seksual
44
KBBI Daring, “Pat.ri.ar.ki,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/patriarki
21
45
Allan Johnson, The Gender Knot: Unraveling our Patriarchy Legacy, (s.l.: Temple University Press:
1997), hlm. 37.
46
Yayasan Jurnal Perempuan, Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Ed. 26 (Jakarta: YJP Press,
2002), hlm. 102.
47
Sonza Rahmanirwana Fushshilat dan Nurliana Cipta Apsari, “Sistem Sosial Patriarki Sebagai Akar
Dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol.
7, No. 1. (2020), hlm. 123.
48
Ibid.
22
49
Aulia Adam, “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-cNq8
50
Inside Southern, “Rape Culture, Victim Blaming, and The Facts,”
https://inside.southernct.edu/sexual-misconduct/facts
51
Abu Riki dan Siti Hannah Alaydrus, “Rape Culture: Di Balik Pemakluman Kekerasan Seksual,”
https://suakaonline.com/rape-culture-di-balik-pemakluman-kekerasan-seksual/
52
Eveline Gan, “The ‘second wave of trauma’: Why victim-blaming happens in sexual assault cases
and its implications,” https://www.todayonline.com/singapore/second-wave-trauma-why-victim-blaming-
happens-sexual-assault-cases-and-its-implications
53
Ibid.
23
F. Relasi kuasa
Hasil penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengenai konsistensi putusan kekerasan terhadap
perempuan menyatakan bahwa hampir 50% kejahatan seksual terhadap perempuan dan
anak dilakukan oleh pelaku dalam relasi domestik (seperti hubungan kekeluargaan atau
hubungan pacaran), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu penyebab pelaku
melakukan kekerasan terhadap korban adalah karena adanya relasi kuasa.55 Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, relasi kuasa merupakan salah satu faktor internal yang menjadi
54
Danu Damarjati, "Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian,"
https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-relasi-pelecehan-seksual-dengan-
pakaian
55
MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual/
24
56
Riki Perdana Raya Waruwu, “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’ Oleh:
Riki Perdana Raya Waruwu*),” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-
relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/
57
Imam Hamdi, “Korban Pelecehan Seksual Takut Lapor, Komnas Perempuan: Relasi Kuasa,”
https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-lapor-komnas-perempuan-relasi-
kuasa/full&view=ok
58
MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual/
59
Ibid.
60
Fadiyah Alaidrus, “Relasi Kuasa dalam Kasus Pelecehan Seksual di BPJS TK,” https://tirto.id/relasi-
kuasa-dalam-kasus-pelecehan-seksual-di-bpjs-tk-dcLa
25
61
Aulia Adam, “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-cNq8 diakses 28 Juni 2021.
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.
26
27
70
Ibid.
71
Ibid.
72
HB Lacey, “Sexually transmitted disease and rape: the experience of a sexual assault centre”,
International Journal of STD & AIDS (1990), hlm. 406-407.
73
Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan”, Buletin
Psikologi 1 (Juni 2002), hlm. 16.
74
Rebecca M. Loya, “Rape as an Economic Crime: The Impact of Sexual Violence on Survivors’
Employment and Economic Well-Being”, Journal of Interpersonal Violence 30 (2014), hlm. 3-5.
28
29
30
I. Pemulihan Korban KS
Berbagai dampak negatif yang dialami korban kekerasan seksual membuatnya
untuk pulih dalam waktu yang tidak singkat. Berbagai dampak negatif yang dialami antara
lain dari segi psikis, fisik, sosio-budaya, dan ekonomi. Adanya kerugian yang dialami
korban secara multidimensional dan memiliki dampak secara jangka panjang. Tentunya
proses pemulihan bagi korban bertahap, melibatkan peran lintas sektor, serta
berkesinambungan. Dalam pelaksanaannya bisa saja tidak sesuai dengan rencana awal
kemajuan pemulihan melainkan tersendat maupun maju-mundur karena setiap korban
memiliki proses pemulihan yang berbeda-beda. Proses pemulihan yang dialami korban dapat
berubah dari yang sebagaimana direncanakan bergantung pada keputusan korban serta
kebutuhannya.81
Berubahnya proses pemulihan korban tak lepas dari tahapan proses pemulihan
trauma yang dialami korban kekerasan seksual. Terdapat lima fase proses pemulihan korban
menurut Kubler-Ross yaitu fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance.82
Fase denial merupakan fase awal yang dialami korban kekerasan seksual dengan adanya
penolakan. Fase ini korban memiliki perasaan yang tidak percaya bahwa dirinya mengalami
kekerasan seksual. Solusi pada fase ini adalah dengan membuat lingkungan korban aman
dan nyaman. Fase yang kedua adalah anger disaat korban menyadari bahwa denial tidak
dapat untuk dipertahankan. Kemarahan yang timbul sebagai akibat korban mempertanyakan
mengapa dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Pada fase ini solusi yang dapat
diberikan kepada korban adalah dengan remembrance and mourning dengan
81
Azriana Dewi, Yuri Cahyani Dewi, Nova Wahyuni, et. al., “13 Pertanyaan Kunci tentang Pemulihan
Makna Luas”, https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/PP2_13%20Perta
nyaan%20Kunci%20Tentang%20Pemulihan%20Makna%20Luas.pdf , diakses 26 Juni 2021.
82
R. Kotulak, “Scientists measure 5 stages of grief: Most people’s Anguish eases after six months;
Others might need treatment, study finds”,
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PROD&fmt=3&s, diakses pada 26 Juni
2021.
31
32
84
Raisha Fatya, “State of the World’s Girls Report: Free to be Online?”, https://plan-
international.or.id/state-of-the-worlds-girls-report-free-to-be-online/, diakses pada 30 Juni 2021.
85
Komnas Perempuan, Kekerasan Meningkat : Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk
Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), hlm 2.
86
SAFENet, “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online”,
https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf, diakses 30 Juni 2021.
87
Henry, N., dan Powell, A, “Sexual Violence in the Digital Age: The Scope and Limits of Criminal
Law”, Social & Legal studies, 25(4).
33
88
Ibid.
34
35
Teman aplikasi
kencan
7% Pacar
7%
Pihak asing
7%
Atasan Teman
3% 40%
Mantan pacar
36%
Berada dalam ruang lingkup pertemanan tidak menyebabkan seseorang pasti berada
di ruang aman, kemungkinan untuk menjadi korban kekerasan seksual tetap ada.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh HopeHelps UI 2020 mayoritas status pelaku berasal
dari lingkup pertemanan korban baik di lingkungan Universitas Indonesia maupun
institusi/lembaga pendidikan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa sering kali kasus kekerasan
seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, orang yang tidak diduga oleh korban.
36
Jemput bola
7%
Melalui kanal
pelaporan
HopeHelps UI
93%
HopeHelps UI memiliki kanal pelaporan berupa surat elektronik (email) dan hotline
melalui WhatsApp, dalam beberapa kasus HopeHelps UI juga melakukan jemput bola, yakni
upaya yang dilakukan HopeHelps UI untuk menjangkau korban melalui sosial media.
Berdasarkan sebanyak 30 (tiga puluh) laporan kasus kekerasan seksual yang diterima oleh
HopeHelps UI dari bulan Juni 2020 sampai bulan Mei 2021, terdapat sebanyak 28 (dua
puluh delapan) kasus di mana korban dan/atau pelapor langsung melaporkan melalui kanal
pelaporan HopeHelps UI, adapun terdapat sebanyak 2 (dua) kasus kekerasan seksual di
mana HopeHelps UI jemput bola melalui akun sosial media korban; kedua korban
menceritakan ceritanya melalui akun sosial media pribadi mereka, kemudian HopeHelps UI
menawarkan bentuk-bentuk pendampingan yang sekiranya korban butuhkan atau inginkan,
lalu kedua korban menginginkan adanya pendampingan dari HopeHelps UI. Adapun 28 (dua
puluh delapan) kasus lainnya dilaporkan oleh korban dan/atau pihak ketiga yang telah
mendapatkan persetujuan korban dan/atau berdasarkan keinginan korban untuk melapor.
37
Pihak kampus
3%
Teman korban
Limpahan dari
14%
HopeHelps local
chapter lain
3%
Korban
80%
Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima dan didampingi oleh HopeHelps UI
pada periode bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, tidak seluruhnya dilaporkan langsung oleh
korban, terdapat beberapa kasus yang dilaporkan oleh pihak lain di antaranya ialah;
1) Teman korban sebanyak 4 (empat) kasus;
2) Pihak kampus yang mendapatkan laporan dan persetujuan dari korban sebanyak 1
(satu) kasus;
3) Limpahan dari HopeHelps local chapter lain menyesuaikan dengan ruang lingkup
HopeHelps sebanyak 1 (satu) kasus; dan
4) Korban sendiri sebanyak 24 (dua puluh empat) kasus.
Adapun beberapa alasan mengapa dalam beberapa laporan korban tidak melaporkan
sendiri ialah dikarenakan sebagai berikut; (1) korban merasa malu dan takut untuk melapor
dan ingin mengetahui terlebih dahulu tindakan apa yang dapat dilakukan untuk
menindaklanjuti laporan mereka; dan (2) korban tidak atau belum ingin identitasnya diketahui
oleh pihak lain selain pihak yang melaporkan.
38
Percobaan
Perkosaan perkosaan
13% 6%
Perbudakan
Kekerasan
seksual
Berbasis Gender
6%
Online
36%
Pelecehan seksual
39%
Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima oleh HopeHelps UI pada periode
bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, mengacu pada 15 bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
didefinisikan oleh Komnas Perempuan, temuan kami ialah sebagai berikut;
1) Perkosaan sebanyak 4 (empat) kasus;
2) Percobaan perkosaan sebanyak 2 (dua) kasus;
3) Perbudakan seksual sebanyak 2 (dua) kasus;
4) Pelecehan seksual sebanyak 11 (sebelas) kasus, yang kami bagi menjadi dua
yakni pelecehan seksual fisik sebanyak sepuluh 9 (sembilan) kasus, dan
pelecehan seksual verbal sebanyak dua (2) kasus; dan
5) Kekerasan seksual yang dilakukan dalam jaringan (Kekerasan Berbasis Gender
Online) sebanyak 11 (sebelas) kasus, dengan angka sebagai berikut;
a) Pelecehan online (cyber harassment): 4 (empat) kasus;
b) Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution content): 5
(lima) kasus;
c) Pemerasan seksual (sex tortion): 1 (satu) kasus;
39
Pemerasan seksual
(sex tortion)
9% Pelecehan online
(cyber harassment)
36%
Ancaman distribusi
foto/video pribadi
(malicious
distribution
content)
46%
Kasus-kasus yang dilaporkan seringkali tidak berdiri sendiri, pada beberapa laporan
atas kasus di atas, satu bentuk kekerasan seksual sering kali diikuti dengan bentuk-bentuk
kekerasan seksual lainnya. Selain itu, dari angka di atas dapat terlihat bahwa kasus terbanyak
yang dilaporkan ialah KBGO sebanyak 11 (sebelas) kasus dan pelecehan seksual fisik yakni
sebanyak 11 (sebelas) kasus. Fenomena meningkatnya kasus KBGO sangat terlihat pada masa
pandemi; tidak bertatap muka langsung tidak menurunkan angka kekerasan seksual tetapi
hanya memindahkan tempat terjadinya kekerasan seksual. Perlu dicatat pula bahwa kasus
kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, di mana angka yang tercatat belum tentu
sepenuhnya merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. Terdapat korban-korban yang
mungkin hingga kini tidak memilih untuk melaporkan kasusnya dikarenakan beberapa hal
seperti tidak tahu harus melapor kemana, khawatir akan disalahkan atas kekerasan seksual
yang menimpanya, ragu karena takut dikecewakan oleh pihak yang berwenang.
40
Belum dapat
diidentifikasi Pendampingan
23% lain-lain
17%
Pendampingan
psikologis dan
hukum
10% Pendampingan
psikologis dan
lain-lain
43%
Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima oleh HopeHelps UI pada periode
bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, setelah korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang
terjadi pada mereka, terdapat beberapa bentuk pendampingan yang kemudian dibutuhkan
korban. Adapun perlu diketahui bahwa bentuk-bentuk pendampingan yang dilakukan oleh
HopeHelps UI seringkali berjalan beriringan sehingga tidak hanya terjadi satu jenis
pendampingan saja, bentuk-bentuk pendampingan itu ialah sebagai berikut;
1) Pendampingan psikologis sebanyak 2 (dua) kasus;
2) Pendampingan lain-lain sebanyak 5 (lima) kasus;
3) Pendampingan psikologis dan pendampingan lain-lain sebanyak 13 (tiga belas) kasus;
4) Pendampingan psikologis dan pendampingan hukum sebanyak 3 (tiga) kasus;
5) Belum dapat diidentifikasi sebanyak 7 (tujuh) kasus.
Terdapat beberapa alasan untuk kasus-kasus yang belum dapat diidentifikasi yakni;
(1) korban hanya ingin menceritakan kasus kekerasan seksual yang terjadi padanya; (2)
Korban masih belum yakin untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang terjadi
padanya; dan/atau (3) Korban merasa kondisi psikisnya belum stabil.
41
Gender Korban
Laki-laki
3%
Perempuan
97%
Gender Pelaku
Perempuan
3%
Laki-laki
97%
Dalam masyarakat, terhadap stigma sosial bahwa kekerasan seksual hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan bukan sebaliknya. Namun pada faktanya,
42
Berdasarkan data laporan kasus kekerasan seksual yang diterima, mayoritas dari
pelaku kekerasan seksual merupakan laki-laki. Ketika memahami konsep relasi gender dan
relasi kuasa, fakta dari data yang telah diperoleh juga merupakan sesuatu yang tidak luput
dari hal tersebut. Masyarakat yang patriarkis cenderung untuk menempatkan perempuan
dalam posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki sehingga menciptakan ketimpangan relasi
dalam suatu hubungan atau yang juga dikenal dengan relasi kuasa. Manifestasi relasi kuasa
dalam suatu hubungan dapat terjadi dimana satu pihak dipandang sebagai objek seksual
semata dan bukan sebagai seseorang yang memiliki kedudukan sejajar dalam hubungan.
Objektifikasi seksual ini sering kali, dan dalam banyak kasus yang telah diterima oleh
HopeHelps UI, diterima oleh pihak perempuan dalam konteks hubungan heteroseksual.
Objektifikasi seksual inilah yang mengakibatkan pihak pelaku untuk melihat korban
sebagai objek seksual dan memanfaatkan korban dengan tidak menghiraukan persetujuan
atau consent korban terhadap aktivitas seksual yang dilakukan baik terhadap pelaku, dengan
pelaku, atau terhadap korban. Dalam kasus yang telah dilaporkan, tidak jarang juga bahwa
pelaku melakukan manipulasi dan kekerasan psikologis terhadap korban sehingga mereka
tidak bisa memberikan persetujuan. Manipulasi dan kekerasan psikologis ini sering kali
tidak luput dari penggunaan relasi kuasa oleh pelaku terhadap korban, sehingga korban
merasa bahwa aktivitas seksual tersebut adalah sesuatu yang dihutangkan atau diharapkan
dari korban dan bukan sesuatu yang diinginkan oleh korban.
Kendati demikian, data yang telah diperoleh bukan berarti menunjukan bahwa
kekerasan seksual tidak rentan untuk terjadi terhadap laki-laki baik dengan pelaku
perempuan maupun laki-laki. Sedikitnya laporan yang diterima mengenai kekerasan seksual
terhadap laki-laki oleh pelaku perempuan atau laki-laki dapat menandakan bahwa korban
laki-laki tidak sadar tindak yang dilakukan terhadapnya merupakan tindak kekerasan seksual
atau terdapat kesulitan oleh korban laki-laki untuk menerima bahwa Ia merupakan korban
kekerasan seksual. Hal ini juga seringkali berhubungan dengan stigma masyarakat bahwa
laki-laki harus menjadi sosok yang kuat dan tidak boleh mengekspresikan sisi emosionalnya.
43
Berdasarkan data yang telah dielaborasi, ditemukan bahwa mayoritas dari korban
kekerasan seksual merupakan perempuan yang menguatkan temuan bahwa terdapat
hubungan antara relasi gender serta relasi kuasa dengan kekerasan seksual dan kenyataan
bahwa relasi gender dan relasi kuasa merupakan suatu hal yang dapat terjadi dalam
hubungan. Relasi tersebut dalam konteks kekerasan seksual dapat dimanifestasikan dengan
objektifikasi seksual, manipulasi, dan kekerasan psikologis. Meskipun demikian, laki-laki
juga dapat menjadi korban kekerasan seksual dan begitu juga dengan perempuan yang dapat
menjadi pelaku dari kekerasan seksual. Akhir kata, semua orang dengan identitas dan
ekspresi gender apapun bisa menjadi korban kekerasan seksual dengan isu-isu interseksional
yang kemudian melekat pada masing-masing kasus.
Tidak dapat
diidentifikasi
7%
Daring
36%
Luring
57%
44
Dalam kampus UI
35%
Luar Kampus
65%
Mobil
6% Rumah
Restoran 17%
11%
Bioskop
5%
Indekos
61%
45
Kantin Jalan
17% 16%
Kelas
17%
Ruang kampus
50%
Berdasarkan 30 (tiga puluh) laporan yang telah diterima, ditemukan bahwa kasus
kekerasan seksual berikut terjadi secara;
1) Langsung atau luar jaringan (luring) sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, yang kemudian
kami bagi menjadi dua yakni;
a) terjadi di dalam kampus UI, sebanyak 6 (enam) kasus yang terjadi di jalan
sebanyak 1 (satu) kasus, ruangan di kampus sebanyak 3 (tiga) kasus, ruang kelas
sebanyak 1 (satu kasus), dan kantin sebanyak 1 (satu) kasus; dan
b) terjadi di luar kampus UI, sebanyak 11 kasus yang terjadi di rumah korban atau
pelaku sebanyak 3 (tiga) kasus, indekos sebanyak 4 (empat) kasus, bioskop
sebanyak 1 (satu) kasus, restoran sebanyak 2 (dua) kasus, dan mobil sebanyak 1
(satu) kasus;
2) Dalam jaringan atau online, sebanyak 11 (sebelas) kasus; dan
3) 2 (dua) kasus dari kasus yang dilaporkan tidak teridentifikasi jenis kejadiannya.
46
Adapun untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di luar jaringan dalam
kampus, hal ini menunjukan bahwa infrastruktur kampus juga merupakan unsur yang
penting untuk mendukung keamanan sitivas dalam beraktivitas dan suatu upaya dari kampus
untuk bebas dari kekerasan seksual. Teknologi seperti kamera pengaman, dan lampu
penerangan yang memadai perlu disediaakan oleh pihak kampus. Dalam kasus kekerasan
seksual yang terjadi dalam lingkup tempat kerja, pelatihan mengenai kekerasan seksual
perlu diadakan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual sendiri.
Data yang telah diperoleh terkait KBGO ini juga memiliki kaitan yang erat dengan
adanya pandemi COVID-19. Dengan berkurangnya aktivitas di dalam ruang publik,
ditemukan bahwa banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam ruang privat seperti
indekos, dan bahkan dalam rumah. Dalam kasus, ditemukan juga bahwa pelaku memiliki
relasi sebagai pasangan atau teman dekat dari korban sendiri. Seringkali kasus kekerasan
seksual yang terjadi diketahui oleh penghuni sekitar indekos, rumah, maupun ruang privat.
Namun banyak dari penghuni yang mengetahui tidak melakukan tindakan apa-apa mengenai
47
89
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait Kekerasan
Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia”.
90
Universitas Indonesia, “Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran UI”,
https://www.ui.ac.id/sipduga.html diakses pada 26 Juni 2021.
48
91
Rektor Universitas Indonesia, Peraturan Rektor tentang Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran,
Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun 2018, Ps. 4 ayat (4).
92
Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia, Ketetapan MWA UI tentang Perubahan Ketetapan MWA
Universitas Indonesia No. 005/SK/MWA-UI/2004 tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus Universitas
Indonesia, TAP MWA UI No. 008/SK/MWA-UI/2004, Ps. 8.
93
Universitas Indonesia, Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan
Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas Indonesia (UI), (Depok: 2014), hlm. 39.
94
Universitas Indonesia, “UI Kini Punya SOP untuk Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di
Lingkungan Kampus”, https://www.ui.ac.id/ui-kini-punya-buku-sop-penanganan-kekerasan-seksual-di-
lingkungan-kampus/, diakses 29 Juni 2021.
49
95
Rektor Universitas Indonesia, Peraturan Rektor tentang Kode Etik dan Kode Perilaku, Peraturan
Rektor No. 14 Tahun 2019, Ps. 25.
96
Ibid., Ps. 16.
50
Kemudian, pada sistem pelaporan pelanggaran tata tertib ataupun Kode Etik dan Kode
Perilaku di UI pada saat ini masih belum ada yang memiliki ketentuan khusus berkenaan
dengan korban kekerasan seksual. Pada kasus kekerasan seksual, diperlukan adanya
pengaturan yang berperspektif korban dan peka akan relasi kuasa antara pelaku dengan
korban. Terdapat hak-hak korban yang perlu dipenuhi, yaitu hak atas penanganan, hak
atas perlindungan, dan hak atas pemulihan.99 Pemenuhan hak atas penanganan dalam
97
Universitas Indonesia, Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan
Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas Indonesia (UI), (Depok: Universitas Indonesia,
2014), hlm. 39.
98
Lihat Pasal 1 Huruf 1 RUU PKS.
99
Lihat Pasal 22 RUU PKS.
51
100
Lidwina Inge dan Saraswati Putri, Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan
Seksual di Lingkungan Kampus, (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Budaya, 2019).
101
Sulistyaningsih, E., & Faturochman (2002), “Dampak sosial psikologis perkosaan,” Buletin
Psikologi, Tahun X, No. 1, (Juni 2002), 9-23.
52
102
Amerika Serikat, Education Amendments Act of 1972, 20 U.S.C. §§1681 - 1688 (2018).
103
UGM, “UGM Bentuk Unit Layanan Terpadu Tangani Kasus Kekerasan Seksual”,
https://ugm.ac.id/id/berita/20613-ugm-bentuk-unit-layanan-terpadu-tangani-kasus-kekerasan-seksual, diakses
29 Juni 2021.
53
104
Harvard University, “Office of Sexual Assault Prevention and Response”,
https://gsas.harvard.edu/student-life/harvard-resources/office-sexual-assault-prevention-and-
response#:~:text=Office%20of%20Sexual%20Assault%20Prevention%20and%20Response,justice%20for%20t
he%20Harvard%20community., diakses pada 27 Juni 2021.
105
Ibid.
106
Indiana University Bloomington, Student Health Center: Sexual Assault Crisis Service,
https://healthcenter.indiana.edu/counseling/sexual-assault/index.html, diakses pada 27 Juni 2001.
107
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, “Launching Fisipol Crisis Center:
Upaya Mewujudkan Ruang Aman Bebas Kekerasan Seksual,” Fisipol UGM, https://fisipol.ugm.ac.id/launching-
fisipol-crisis-center-upaya-mewujudkan-ruang-aman-bebas-kekerasan-seksual/ diakses pada 27 Juni 2021.
108
Campbell, dkk., “Preventing the “second rape:” Rape survivors’ experiences with community service
provides,” Journal of Interpersonal Violence, No. 16, (2001), 1239-1259.
54
REKOMENDASI UMUM
Dengan melihat banyaknya dampak, kerugian, serta hak yang korban kekerasan seksual
dalam kampus rasakan menunjukan pula urgensi adanya penanganan serta dukungan tergas dari
kampus untuk memberantas kasus kekerasan seksual dalam kampus. Dalam melihat
penanganan untuk kasus kekerasan seksual dalam kampus, Diane L. Rosenfeld menyampaikan
bahwa terdapat setidaknya tiga hal yang harus menjadi kewajiban bagi kampus dalam
menangani kasus kekerasan seksual yakni pencegahan, penanggapan, dan resolusi. Adapun
ketiga kewajiban ini beliau gambarkan sebagai kursi berkaki tiga, dimana jika satu kaki hilang
maka keseluruhan kursi tersebut tidak dapat berdiri tegak, maka dari itu masing-masing
komponen tersebut harus dipenuhi oleh kampus untuk dapat melakukan penanganan kasus
kekerasan seksual dengan baik di kampus. Untuk dapat merealisasikan kebijakan tersebut,
dibutuhkan sebuah peraturan yang pertama-tama dapat mengatur dilaksanakannya kebijakan
tersebut.109
Mengacu pada teori kursi berkaki tiga yang disampaikan Diane L. Rosenfeld dan juga
beberapa peraturan dan unit pelayanan yang sudah berjalan, serta mempertimbangkan hasil data
temuan HopeHelps UI pada bulan Juni 2020 sampai Mei 2021, kami melihat adanya urgensi
bagi Universitas Indonesia untuk melakukan beberapa hal yakni sebagai berikut;
1) Pencegahan:
1. Adanya peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual yang secara umum meliputi program pencegahan dan
pencerdasan, pelaporan, pendampingan dan pelayanan bagi korban kekerasan seksual
(psikologis, medis, dan bantuan hukum), mekanisme penanganan kasus, serta sanksi
tegas bagi seluruh sivitas akademika UI yang menjadi pelaku kekerasan seksual tanpa
terkecuali.
2. Melaksanakan program edukasi untuk seluruh sivitas akademika UI terkait kekerasan
berbasis gender, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh sivitas akademika UI apabila
menjadi korban kekerasan seksual dan/atau mengetahui suatu kejadian kekerasan
109
Diane L. Rosenfeld, "Uncomfortable Conversations: Confronting the Reality of Target Rape on
Campus", Harvard Law Review Forum, Vol. 128 No. 359, hlm. 361.
55
2) Penanggapan
1. Membentuk sebuah bentuk unit pelayanan terpadu yang dapat menyediakan kanal
pelaporan dan pendampingan serta pelayanan terpadu bagi korban kekerasan seksual di
lingkungan kampus yang meliputi pendampingan psikologis, medis, dan hukum.
2. Memastikan bahwa unit pelayanan terpadu dijalankan oleh orang-orang yang memiliki
komitmen tinggi dan perspektif serta pengetahuan yang baik terkait kasus kekerasan
seksual.
3. Memastikan bahwa selama pemeriksaan korban bebas dari segala bentuk ancaman
dan/atau intimidasi, serta tidak berada di satu forum bersama pelaku.
4. Dalam memproses laporan kasus kekerasan seksual, korban harus selalu mendapatkan
pendampingan dan pelayanan, serta dapat dipastikan keselamatan serta kerahasiaan
identitasnya.
5. Mengatur adanya jangka waktu dan linimasa pemeriksaan laporan kasus kekerasan
seksual agar tidak ada kasus yang kemudian tidak mendapatkan respons dan korban
mendapatkan kejelasan terkait laporan yang diajukannya.
6. Memastikan bahwa selama proses pemeriksaan korban tidak dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan victim-blaming dan memastikan bahwa seluruh pihak yang
terlibat dalam proses kasus memiliki perspektif kekerasan seksual yang baik.
3) Resolusi
1. Korban bersama dengan pendamping dilibatkan dalam seluruh tindakan yang akan
dilakukan oleh pihak kampus atas kasus yang ia laporkan.
2. Adanya sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan kekerasan seksual.
56
Rekomendasi Tambahan:
a. HopeHelps UI merasa adanya urgensi bagi Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengikat perguruan
tinggi untuk berkomitmen dalam melakukan pencegahan dan penanganan untuk kasus
kekerasan seksual;
b. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
57
Pada kurun waktu Juni 2020 sampai Mei 2021, HopeHelps UI menerima sebanyak 30
laporan kasus kekerasan seksual sesuai dengan ruang lingkup HopeHelps. Angka tersebut
mengalami penurunan dari tahun lalu yakni terdapat sebanyak 39 laporan yang berada dalam
ruang lingkup HopeHelps UI sepanjang Maret 2019 – Mei 2020. Namun, banyaknya kasus
yang dilaporkan dan tercatat tersebut tidak serta-merta menggambarkan realita sivitas
akademika kampus terkait kasus kekerasan seksual. Masih banyak penyintas dan/atau
korban kekerasan seksual yang tidak atau belum ingin melaporkan kasusnya karena berbagai
alasan, seperti tidak tahu harus lapor kemana, malu dan takut untuk melaporkan karena
khawatir akan dipersalahkan, mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang membuat
korban menjadi enggan untuk melaporkan kasusnya, mengetahui tidak adanya peraturan
yang dapat melindungi mereka, atau bahkan sudah melaporkan kasus nya namun tidak
mendapatkan tanggapan apa-apa atau bahkan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
justru menyalahkan korban. Maka dari itu, kekerasan seksual sering disebut sebagai
fenomena gunung es, karena apa yang terlihat dan tercatat di permukaan tidak sepenuhnya
merepresentasikan apa yang sebenarnya terjadi.
Adapun selama masa Pandemi COVID-19 sejak tahun 2020 hingga kini, berdasarkan
temuan kami terdapat peningkatan angka yang cukup besar pada kasus Kekerasan Berbasis
Gender Online (KBGO). Hal ini memperlihatkan bahwa adanya pembatasan interaksi
langsung tidak sama sekali mencegah kasus kekerasan seksual terjadi, melainkan hanya
berpindah tempat yakni ke dunia siber. Fenomena ini kami gambarkan sebagai munculnya
anomie dalam dunia siber dimana para penggunanya seringkali merasa bisa sembunyi
dengan anonimitasnya, dan bertindak selayaknya tidak ada aturan. Sayangnya, sejauh ini
korban KBGO masih sulit untuk mendapatkan perlindungan, bahkan sangat berpotensi
untuk dikriminalisasi. Berdasarkan data temuan kami, kasus KBGO mengalami peningkatan
dari tahun lalu di mana kasus yang kami terima adalah sebanyak 2 (dua) kasus.
Perlu dicatat pula bahwa kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki unsur
relasi kuasa yang sangat tinggi, di mana ada ketimpangan posisi antara lapisan sivitas
akademika yang sering kali mempersulit korban kekerasan seksual saat ingin menempuh
pemulihan dan keadilan. Bahkan tidak jarang juga korban justru ikut mendapatkan sanksi
atau dikriminalisasi atas kekerasan seksual yang terjadi padanya. Maka dari itu, kampus
58
59
60
61
I. Buku
Australian Red Cross. Psychological First Aid: Supporting people affected by disaster in
Australia. Melbourne: Australian Psychological Society, 2020.
De Beauvoir, Simone. The Second Sex (Le Deuxième Sexe). Diterjemahkan oleh Constance
Borde dan Sheila Malovany-Chevallier. New York: Vintage Books, 2011.
Inge, Lidwina dan Saraswati Putri. Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus
Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas
Ilmu Budaya, 2019.
Irsan, Koesparmono. Hak Asasi Manusia Dikaitkan dengan Penegakan Hukum. Bandung:
Alumni, 2000.
Johnson, Allan. The Gender Knot: Unraveling our Patriarchy Legacy. Temple: University
Press: 1997.
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan. Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta: Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2017.
Richmond-Abbott, Marie. Masculine and Feminine: Gender Roles Over The Life Cycle.
United States of America: Mc-Graw-Hill, 1992.
Straus MA., Baron L. Rape and its relation to social disorganization, pornography and
inequality in the USA. USA: Med Law, 1989.
62
Amerika Serikat. Education Amendments Act of 1972, 20 U.S.C. §§1681 - 1688 (2018).
World Health Organization. World report on violence and health. Geneva, 2012.
63
Agus Setiawan, I Putu dan I Wayan Novy Purwanto. “Faktor Penyebab dan Upaya
Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga
(Incest) (Studi di Polda Bali).” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4
(2019).
Campbell, Rebecca, Et. Al. “The Physical Health Consequences of Rape”. Women’s
Studies Quarterly (2003).
Campbell. Et. Al. “Preventing the “second rape:” Rape survivors’ experiences with
community service provides,” Journal of Interpersonal Violence, No. 16, (2001).
Fried, Eiko. I dan Randolph M. Nesse. “The Impact of Individual Depressive Symptoms
on Impairment of Psychosocial Functioning”. PLoS ONE 9 (2) (Februari 2014),
Halley, Jannet. “Trading the Megaphone for the Gavel in Title IX Enforcement”. 128
Harv. L. Rev. F. 103 (2015).
64
Lacey, HB. “Sexually transmitted disease and rape: the experience of a sexual assault
centre”. International Journal of STD & AIDS (1990).
N., Henry dan Powell, A. "Sexual Violence in the Digital Age: The Scope and Limits of
Criminal Law." Social and Legal Studies, 25 (4).
Susantyo, Badrun. “Lingkungan dan Perilaku Agresif Individu,” Sosio Informa [Online],
Vol. 3 No. 1 (2017).
V. Makalah
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait
Kekerasan Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia” diterbitkan di Diskusi
65
VI. Internet
Adam, Aulia. “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-
cNq8
Alaidrus, Fadiyah. “Relasi Kuasa dalam Kasus Pelecehan Seksual di BPJS TK,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dalam-kasus-pelecehan-seksual-di-bpjs-tk-dcLa
Asmarani, Devi, “93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei”,
https://magdalene.co/news-871-93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-
yang-dialami-survei.html. Diakses 25 Juni 2021.
Damarjati, Danu. "Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan
Pakaian," https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-
relasi-pelecehan-seksual-dengan-pakaian
Dewi, Azriana, Yuri Cahyani Dewi, Nova Wahyuni, et. al., “13 Pertanyaan Kunci tentang
Pemulihan Makna Luas”,
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/PP
2_13%20Pertanyaan%20Kunci%20Tentang%20Pemulihan%20Makna%20Luas.pd
f. Diakses 26 Juni 2021.s
66
Fatya, Faisha “State of the World’s Girls Report: Free to be Online?”, https://plan-
international.or.id/state-of-the-worlds-girls-report-free-to-be-online/. Dsiakses pada
30 Juni 2021.
Gan, Eveline. “The ‘second wave of trauma’: Why victim-blaming happens in sexual
assault cases and its implications.” https://www.todayonline.com/singapore/second-
wave-trauma-why-victim-blaming-happens-sexual-assault-cases-and-its-
implications
Hamdi, Imam. “Korban Pelecehan Seksual Takut Lapor, Komnas Perempuan: Relasi
Kuasa,” https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-
lapor-komnas-perempuan-relasi-kuasa/full&view=ok
Indiana University Bloomington. “Student Health Center: Sexual Assault Crisis Service,
https://healthcenter.indiana.edu/counseling/sexual-assault/index.html. Diakses
pada 27 Juni 2001.
MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-
kejahatan-seksual/
Nathaniel, Felix. “Aktivis Kritik Polisi Kerap Tidak Lindungi Korban Kekerasan Seksual”,
https://tirto.id/aktivis-kritik-polisi-kerap-tidak-lindungi-korban-kekerasan-seksual-
darK. Diakses pada 9 Juni 2021
67
Raya Waruwu, Riki Perdana. “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’
Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*).”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-
relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/
Riki, Abu dan Siti Hannah Alaydrus, “Rape Culture: Di Balik Pemakluman Kekerasan
Seksual,” https://suakaonline.com/rape-culture-di-balik-pemakluman-kekerasan-
seksual/
Qodar, Nasfiyul. “Mahasiswi W Baca Surat Curhat Pelecehan Sitok untuk Menko Luhut,”
https://www.liputan6.com/news/read/2341469/mahasiswi-rw-baca-surat-curhat-
pelecehan-sitok-untuk-menko-luhut. Diakses 25 Juni 2021.
Josse, Evelyn. “They came with two guns’: the consequences of sexual violence for the
mental health of women in armed conflicts”
https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/irrc-877-josse.pdf, Diakses pada 25 Juni
2021.
68
Kotulak, R. “Scientists measure 5 stages of grief: Most people’s Anguish eases after six
months; Others might need treatment, study
finds”.http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PR
OD&fmt=3&s. Diakses pada 26 Juni 2021.
UGM. “UGM Bentuk Unit Layanan Terpadu Tangani Kasus Kekerasan Seksual”,
https://ugm.ac.id/id/berita/20613-ugm-bentuk-unit-layanan-terpadu-tangani-kasus-
kekerasan-seksual. Diakses 29 Juni 2021.
Ulfa Nur Zuhra, Wan. “Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 24
Kota” https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-
kota-dmTW. Diakses pada 25 Juni 2021.
Universitas Indonesia. “UI Kini Punya SOP untuk Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
di Lingkungan Kampus”. https://www.ui.ac.id/ui-kini-punya-buku-sop-
penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus/. Diakses 29 Juni 2021.
Yusuf, Iwan Awaluddin. “Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan #MeToo di
Indonesia.” https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-
gerakan-metoo-di-indonesia-107455
69