Anda di halaman 1dari 69

1

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Ringkasan Tahunan HopeHelps Universitas Indonesia 2021
Dunia Anomie di Tengah Pandemi: Depiksi Meningkatnya Kekerasan Berbasis
Gender Online di Universitas Indonesia
(RiTA HH UI 2021)
Minggu, 4 Juli 2021

Kata Sambutan
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak-
pihak yang terlibat; dosen-dosen, lembaga, serta seluruh aliansi yang telah bersama bergerak
untuk mengadvokasikan isu kekerasan seksual. Kemudian, secara khusus kepada Board of
Directors HopeHelps Universitas Indonesia 2020-2021 yang telah meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaga untuk bergerak bersama menyuarakan keresahan terkait kekerasan
seksual dalam kampus UI; dikelilingi oleh orang-orang yang mengemban nilai dan semangat
yang sama merupakan suatu pelajaran berharga, walaupun tentunya saya menyadari bahwa
perjuangan terkait isu kekerasan seksual tidaklah dapat diselesaikan dalam kurun waktu
satu, dua, atau tiga tahun, perjuangan untuk mewujudkan lingkungan yang aman dari
kekerasan seksual serta bagi seluruh korban kekerasan seksual harus tetap terus dilanjutkan.
Adapun pada tahun ini kami mempersembahkan Ringkasan Tahunan HopeHelps UI
dengan judul “Dunia Anomie di Tengah Pandemi: Depiksi Meningkatnya Kekerasan
Berbasis Gender Online di Universitas Indonesia” untuk menggambarkan terjadinya
peningkatan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online di masa pandemi COVID-19 yang
menimpa sivitas akademika UI. Fenomena ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual
tetap bisa terjadi meskipun tidak dapat bertatap muka. Kami menggambarkan kondisi ini
sebagai sebuah anomie karena pelaku kekerasan seksual secara daring bersembunyi di balik
anonimitasnya, berperilaku selayaknya dunia siber adalah dunia tanpa aturan, yang
kemudian diperburuk dengan minimnya perlindungan hukum bagi korban KBGO, serta
banyaknya kriminalisasi dan kerugian yang dialami korban.
Kami segenap jajaran pengurus HopeHelps Universitas Indonesia percaya bahwa
kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi berkewajiban untuk menciptakan lingkungan
yang menindak tegas dan aman bagi seluruh sivitas akademika Universitas Indonesia, secara
khusus terkait kasus kekerasan seksual. Namun, sayangnya realita kondisi pendidikan tinggi
di Indonesia masih belum dapat melindungi dan mendukung pemulihan bagi korban
kekerasan seksual. Adapun kasus kekerasan seksual sebagai fenomena gunung es karena

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


banyaknya kasus yang pada akhirnya tidak dilaporkan atau tidak ditangani dengan baik,
semakin mendorong urgensi adanya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual yang baik dalam kampus. Korban kekerasan seksual banyak sekali dihadapkan
dengan kondisi-kondisi dimana mereka dipersalahkan dan tidak dipercaya, padahal
seharusnya lingkungan terdekat korban bisa menjadi pilar utama untuk mendukung
pemulihan korban dan mewujudkan hak atas keadilan bagi korban.
Berangkat dari kekhawatiran kami terkait kasus kekerasan seksual ini, HopeHelps UI
menyediakan kanal pelaporan dan juga pendampingan bagi sivitas akademika UI yang
merupakan korban kekerasan seksual. Adapun salah satu program kerja kami ialah untuk
menerbitkan sebuah produk tulisan yang kemudian kami sebut sebagai Ringkasan Tahunan
HopeHelps UI (RiTA HH UI). RiTA HopeHelps UI pada dasarnya merangkum seluruh
laporan yang masuk pada kurun waktu satu tahun. Tujuan diadakannya RiTA ini sendiri
ialah, dengan adanya publikasi terkait laporan kekerasan seksual di kampus UI, dapat
membantu berkontribusi untuk meningkatkan kepeduliaan dan kepekaan seluruh sivitas
akademika UI terkait isu kekerasan seksual sehingga dapat menggerakan pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual yang akomodatif dan berperspektif korban.
Akhir kata, kami segenap jajaran HopeHelps UI berharap kampus UI dapat menjadi
kampus yang aman dari kasus kekerasan seksual dan dapat menindak tegas segala bentuk
tindakan kekerasan seksual, serta secara khusus dapat selalu mendukung dan mewujudkan
perlindungan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Kami harap, data ini bisa
mendorong disahkannya peraturan terkait kekerasan seksual dalam kampus dan juga suatu
bentuk unit pelayanan terpadu bagi korban. Kami memohon maaf apabila masih terdapat
banyak kekurangan.

Jakarta,
Minggu 4 Juli 2021

Prilia Kartika Apsari


Dewan Pembina HopeHelps Universitas Indonesia 2021-2022
Direktur Lokal HopeHelps Universitas Indonesia 2020-2021

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan 6
A. Terkait HopeHelps 6
B. Latar Belakang 7

BAB II Kerangka Konseptual 11


A. Kekerasan Seksual Sebagai Bagian dari 11
Kekerasan Berbasis Gender
B. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual 13
C. Hak Atas Otoritas Tubuh 17
D. Penyebab Kekerasan Seksual 19
E. Budaya Patriarki 21
F. Relasi Kuasa 24
G. Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban 26
(Fisik, Psikologis, Sosio-budaya, Ekonomi)
H. Pendampingan Korban 29
I. Pemulihan Korban KS 31
J. Kekerasan Berbasis Gender Online 32

BAB III Data Hasil Temuan 35


A. Analisis Temuan dalam Kampus Universitas 35
Indonesia Berdasarkan Laporan yang Diterima
oleh HopeHelps UI Periode 2020-2021
a. Jumlah Laporan 35
b. Status Pelaku 36
c. Mekanisme Pelaporan 37
d. Pihak yang Melaporkan 38
e. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual 39

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


f. Bentuk Pendampingan yang Dibutuhkan Korban 41
g. Gender Korban dan Pelaku 42
h. Tempat Terjadinya Kekerasan Seksual 44
B. Mekanisme Pelaporan di Kampus UI 48
C. Problematika dan Quo Vadis Penanganan 50
Kekerasan Seksual di Kampus UI

BAB IV REKOMENDASI UMUM 55

BAB V KESIMPULAN 58

GLOSARIUM 60

DAFTAR PUSTAKA 62

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Terkait HopeHelps
Semakin banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah kampus
seharusnya sudah menjadi panggilan bagi seluruh pendidikan tinggi di Indonesia untuk
dapat menciptakan sebuah lembaga yang aman bagi kekerasan seksual yang dapat menjamin
akses keadilan dan kebutuhan pendukung lainnya bagi korban kekerasan seksual. Belum
adanya Crisis Center di Universitas Indonesia dan juga regulasi yang dapat melindungi
korban kekerasan seksual melahirkan urgensi untuk mengisi kekosongan tersebut untuk
dapat memastikan sivitas akademika Universitas Indonesia memiliki tempat yang aman
untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada mereka.
Adanya kegelisahan atas kesulitan yang kerap dialami korban kekerasan seksual di
kampus, secara khusus di Universitas Indonesia, menggerakan Co-Founder(s) HopeHelps
UI, yakni Eva Maria Putri Salsabila (Mahasiswi Fakultas Hukum UI 2014), Irena Lucy
(Mahasiswi Fakultas Hukum UI 2013), Joce Timoty (Mahasiswa Fakultas Hukum UI 2014)
untuk membentuk sebuah lembaga pengada layanan tanggap untuk pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Berawal pada tahun 2013 sampai dengan
2014 pada Gerakan Adili Sitok yang bertujuan untuk mengawal kasus kekerasan seksual
yang menimpa mahasiswi RW, dimana pelakunya adalah seorang sastrawan yang juga
dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yakni Sitok Srengenge, pada tahun 2017
kemudian Co-Founder(s) membentuk HopeHelps UI sebagai pengada layanan tanggap
untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus UI.
Untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang tegas dalam menangani kasus
kekerasan seksual dan mewujudkan tempat yang aman dari kekerasan seksual, HopeHelps
UI mulai memperluas keberadaan kami ke kampus-kampus lain di seluruh Indonesia. Pada
tanggal 14 Juni 2020, HopeHelps Network terlahir. HopeHelps Network menjadi pusat yang
menaungi HopeHelps Local Chapters, adapun hingga kini sudah terdapat beberapa local
chapters, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Trisakti, Universitas
Diponegoro (UNDIP), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Udayana (Unud), Institut

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Negeri Semarang (UNNES), dan Universitas
Katolik Parahyangan (UNPAR). Semua local chapters tersebut kemudian diberikan
pelatihan dan peningkatan kompetensi yang berkala oleh HopeHelps Network agar dapat
menjalankan tugasnya dengan standar pengorganisasian, kemampuan advokasi, dan
kapasitas penanganan korban kekerasan seksual yang baik.
Dalam menangani kekerasan seksual, ruang lingkup HopeHelps berdasarkan
wilayah terbagi menjadi dua, yakni; (1) Kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam
lingkungan Universitas Indonesia (termasuk kasus kekerasan yang tidak melibatkan sivitas
akademika Universitas Indonesia); dan (2) Kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar
dan di luar lingkungan Universitas Indonesia yang melibatkan sivitas akademika Universitas
Indonesia. Adapun HopeHelps UI melakukan tiga jenis pendampingan yakni; (1)
pendampingan hukum, dalam hal korban memilih pendampingan hukum, HopeHelps akan
melakukan tinjauan hukum terhadap kasus yang masuk dalam bentuk legal opinion yang
akan menjelaskan langkah-langkah hukum yang dapat diambil korban. Apabila korban
memilih untuk melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum, maka HopeHelps akan
mendampingi korban selama berjalannya kasus tersebut sesuai dengan kebutuhan korban;
(2) pendampingan psikologis, HopeHelps melakukan psychological first aid kepada korban
dan apabila korban membutuhkan bantuan lebih lanjut, HopeHelps akan berkoordinasi
dengan psikolog yang memiliki perspektif yang sesuai dengan kebutuhan korban; (3)
Pendampingan lain-lain, HopeHelps dapat memberikan pendampingan lain sesuai dengan
kebutuhan korban, seperti memasukkan laporan ke pihak universitas, penjemputan, ataupun
bentuk pendampingan lainnya yang sekiranya dibutuhkan korban.

B. Latar Belakang
Kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap tubuh, hidup di
tengah konstruksi budaya, dapat terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Salah satu
tempat yang kerap kali menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual ialah di lingkungan
akademik yakni kampus. Salah satu kasus kekerasan seksual dalam lingkungan akademik
yang mengalami eskalasi isu kian tinggi hingga ke publik adalah kasus pemerkosaan
mahasiswi berinisial RW pada Maret 2013 oleh seorang sastrawan bernama Sitok

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Srengenge.1 Ada pula, kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni pada tahun 2018 yang
merupakan sesama mahasiswa UGM saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku.2
Selain itu, dalam makalah yang ditulis oleh Lidwina Inge Nurtjahyo dan Irena Lucy
dengan berjudul “Peran Klinik Hukum perempuan dan Anak dalam Upaya mendorong
Peningkatan Kesadaran Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan dan Anak di Kampus”
disebutkan bahwa dari 33 korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan FH UI dalam
kurun waktu 2014-2016 hanya empat korban yang melakukan kasusnya ke dekanat.
Sementara korban-korban lainnya hanya melaporkan kasus yang mereka alami ke Ketua
BEM FH UI 2016 atau tidak melaporkan kepada pihak manapun.3
Dalam survei daring yang dilakukan BEM FH UI 2018 selama tanggal 31 Oktober
sampai tanggal 7 November 2018 kepada mahasiswa UI dari seluruh fakultas dan program
vokasi, sebanyak 177 orang mahasiswa UI mengisi survei. Dari 177 responden yang mengisi
survey, sebanyak 38 responden mengaku mengetahui tindak kekerasan seksual yang terjadi
di lingkungan UI, 15 responden pernah menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan UI,
7 responden pernah mengalami serta mengetahui tindak kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungan UI, sementara 117 responden tidak pernah mengetahui ataupun mengalami
tindak kekerasan seksual di lingkungan UI. Dengan kata lain, 9% responden pernah
mengalami tindak kekerasan seksual di lingkungan UI, 21% mengetahui kasus kekerasan
seksual yang pernah terjadi di lingkungan UI, sementara 4% responden pernah mengalami
mengetahui tindak kekerasan seksual lain yang pernah terjadi di lingkungan UI. Fakta ini
menunjukkan bahwa sampai saat ini Universitas Indonesia belum dapat dikatakan sebagai
tempat aman dari kekerasan seksual.4
Adapun pada rentang waktu bulan Maret 2019 hingga bulan Mei 2020, HopeHelps
UI telah menerima sebanyak 47 laporan kasus kekerasan seksual. Dari Jumlah 47 (empat
puluh tujuh) laporan Kekerasan Seksual, mayoritas korban berasal dari berbagai fakultas
yang terdapat di Universitas Indonesia. Akan tetapi dari angka tersebut, terdapat pula korban
yang melapor dari universitas lain, di antaranya adalah: Universitas Gadjah Mada;
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; dan Universitas Udayana yang
seluruhnya berjumlah 3 (tiga) kasus, serta 5 (lima) kasus yang tidak termasuk ruang lingkup
layanan HopeHelps UI karena berstatus bukan anggota sivitas akademika Universitas

1
Laurencius Simanjuntak, “Perjalanan Kasus Sitok Hamili Mahasiswi UI Hingga Akan di SP-3”,
https://www.merdeka.com/peristiwa/perjalanan-kasus-sitok-hamili-mahasiswi-ui-hingga-akan-di-sp3.html,
diakses 3 Juli 2021.
2
Juli Hantoro, “Kasus Agni UGM Korban Disalahkan Hingga Depresi”,
https://nasional.tempo.co/read/1174054/kasus-agni-ugm-korban-disalahkan-hingga-depresi, diakses 3 Juli 2021.

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Indonesia (masyarakat umum yang tidak berada di wilayah UI dan alumni). Laporan
tersebut dialihkan kepada profesional pada yurisdiksinya masing-masing. Maka laporan
yang kemudian dapat didampingi oleh HopeHelps UI adalah sebanyak 39 kasus.5
Kekerasan seksual yang terjadi didominasi oleh tindakan pelecehan seksual, baik
kekerasan secara fisik, yaitu sebanyak 22 (dua puluh dua) laporan; secara verbal sebanyak 3
(tiga) laporan; maupun virtual dalam bentuk penyebaran konten intim tidak konsensual
sebanyak 2 (dua) laporan. Diketahui pula bahwa sepertiga dari pelecehan seksual secara
verbal tersebut terjadi pada media online. Adapun bentuk kekerasan lainnya berupa
perkosaan, yaitu sebanyak 6 (enam) laporan; percobaan perkosaan 2 (dua) laporan;
intimidasi seksual 3 (tiga) laporan; dan 1 (satu) laporan merupakan tindakan perbudakan
seksual.6
Berdasarkan laporan yang diterima oleh HopeHelps UI dari bulan Maret 2019 hingga
bulan Mei 2020, dapat terlihat bahwa Universitas Indonesia sebagai institusi formal dalam
bidang akademik masih rawan menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual ataupun
menjadi “sarang” bagi pelaku kekerasan seksual. Namun, meningkatnya kasus kekerasan
seksual yang terjadi dalam ranah kampus ini tidak dibarengi dengan adanya peraturan
tentang kekerasan seksual yang memadai. Hal ini terlihat dari tidak adanya regulasi di
tingkat universitas mengenai kekerasan seksual baik dalam konteks pencegahan, mekanisme
pelaporan, kerjasama antar lembaga, bantuan hukum, maupun program pemulihan korban.
Sejauh ini, sudah ada beberapa peraturan di kampus Universitas Indonesia yang mencakup
tindakan kekerasan seksual, yakni di antaranya ialah; SOP Penanganan Kekerasan Seksual
di Kampus UI, Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No. 008/SK/MWA-
UI/2004 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Wali Amanat Universits Indonesia No.
005/SK/MWA-UI/2004 tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus Universitas Indonesia (TAP
MWA UI 008/2004), Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun 2018 tentang Sistem Pelaporan
Dugaan Pelanggaran, Peraturan Rektor No. 14 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Kode
Perilaku di UI; dan Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta
Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas Indonesia (UI)
yang menjadi handbook bagi Subdit Pembinaan Lingkungan Kampus (“PLK”) UI.. Namun,

3
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait Kekerasan
Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia” diterbitkan di Diskusi Publik “Perguruan Tinggi dan Darurat
Kekerasan Seksual” pada Kamis 11 April 2019 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4
Ibid.
5
HopeHelps Universitas Indonesia, Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2020: Esa Hilang Dua
Terbilang, (Depok: HopeHelps UI, 2020), hlm. 7-13.
6
Ibid.

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


peraturan tersebut belum dapat secara penuh melindungi korban kekerasan seksual
dikarenakan masih banyaknya terminologi yang berpotensi menyebabkan miskonsepsi serta
tidak komprehensif melindungi kepentingan korban. Adanya kekosongan peraturan yang
dapat memberikan perlindungan komprehensif bagi korban kekerasan seksual tentunya
dapat berpotensi semakin melemahkan korban kekerasan seksual karena hak atas keadilan
untuknya akan sulit diwujudkan.
Maka dari itu, urgensi untuk mengadakan sebuah lembaga pengada layanan untuk
pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual menjadi semakin meningkat, sehingga
keberadaan HopeHelps UI dan data terkait kekerasan seksual di tengah sivitas akademika
Universitas Indonesia diharapkan dapat menjadi tempat yang aman bagi korban kekerasan
seksual untuk mendapatkan hak atas rasa aman serta pemulihan, perlindungan, dan
memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual untuk dapat mengakses keadilan
yang seharusnya mereka peroleh.

10

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kekerasan Seksual sebagai Bagian dari Kekerasan Berbasis Gender


Isu kekerasan berbasis gender merupakan diskursus yang kerap menjadi perhatian
khusus secara global. Mengacu pada Rekomendasi Umum Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) Nomor 19 poin 1, kekerasan
berbasis gender didefinisikan sebagai “a form of discrimination that seriously inhibits
women’s ability to enjoy rights and freedoms on a basis of equality with men.”7 Tina
Johnson mengemukakan bahwa kekerasan berbasis gender merupakan kekerasan yang
dilakukan terhadap individu berdasarkan gendernya. Lebih lanjut, Tina Johnson menjelaskan
kekerasan berbasis gender sebagai:

“violence that is directed at individuals on the basis of their gender, with women and
girls making up the vast majority of victims (though boys and men can also be the
target). It is indiscriminate, cutting across racial, ethnic, class, age, economic,
religious, and cultural divides.”8

Dilansir oleh Yayasan Pulih, kekerasan berbasis gender adalah istilah yang
memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan
aspek sosial termasuk gender yang dilekatkan oleh masyarakat, yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah segala perilaku yang mengakibatkan
penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan
membahayakan, pemaksaan, atau perilaku lain yang membatasi kebebasan orang. 9
Kekerasan berbasis gender disebabkan oleh ketidakadilan gender serta penyalahgunaan
kewenangan akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang
tidak setara. Oleh karena itu, gender dari pelaku dan penyintas turut mempengaruhi motivasi
dari kekerasan yang dilakukan oleh pelaku serta bagaimana masyarakat luas merespons
kekerasan tersebut. Kekerasan berbasis gender dapat terjadi kepada siapa saja termasuk laki-

7
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, New York, 19
December 1979, United Nations Treaty Series, Vol. 1249
8
Tina Johnson, “Gender Based Violence”, Journal of The Commonwealth Magistrates’ and Judges’
Association 15, (Februari 2004)
9
Yayasan Pulih, “Memahami Kekerasan Berbasis Gender”,
http://yayasanpulih.org/2021/02/memahami-kekerasan-berbasis-gender , diakses 18 Juni 2021.

11

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


laki atau kelompok minoritas seksual.10 Meskipun begitu, perempuan merupakan kelompok
rentan akibat budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat laki-
laki.
Salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender adalah kekerasan seksual.11
Menurut World Health Organization, kekerasan seksual adalah

“any act or an attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments, or


advances, acts to traffic or otherwise directed, against a person’s sexuality during
coercion, by any person regardless of their relationship to the victim in any setting,
including but not limited to home and work.”12

Sedangkan, Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual


(RUU PKS) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, Hasrat seksual seseorang,
dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas,
karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat ata udapat berakibat
penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik.13
Dijelaskan dalam Naskah Akademik RUU PKS, bahwa kekerasan seksual
merupakan bentuk kekuasaan atau dominasi kekuasan yang diwujudkan secara paksa dan
merupakan bentuk kontrol seksual dimana satu pihak berupaya melakukan kontrol terhadap
pihak lain secara seksual dengan menggunakan kekuasaan atau kewenangannya dalam
berbagai bentuk, bahkan hingga menyebabkan pihak lain tersebut menyetujui tanpa
kesadaran yang sesungguhnya. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana aja, baik itu dalam
relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, wilayah publik, dan juga dapat terjadi dalam
situasi konflik, bencana alam, dan situasi khusus lainnya.14

10
Yayasan Pulih, “Memahami Kekerasan Berbasis Gender”,
http://yayasanpulih.org/2021/02/memahami-kekerasan-berbasis-gender , diakses 18 Juni 2021.
11
Ibid.
12
World Health Organization, World Report on Violence and Health, (Geneva: World Health
Organization 2012)
13
Lihat Pasal 1 Huruf 1 RUU PKS.
14
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)

12

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


B. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual
Berdasarkan hasil identifikasi dan kajian pengalaman penanganan kasus kekerasan
seksual yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan atas 15 (lima
belas) jenis kekerasan seksual, dalam RUU PKS dirumuskan sembilan jenis kekerasan
seksual yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan
aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual,
dan/atau penyiksaan seksual.15 Jenis-jenis kekerasan seksual tersebut lebih luas
dibandingkan dengan yang hingga saat ini terdapat dalam rumusan hukum positif Indonesia,
dimana bentuk-bentuk kekerasan seksual masih diatur secara limitatif, sporadis, dan belum
komprehensif. Jenis-jenis kekerasan seksual sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik
RUU PKS adalah sebagai berikut:

a. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merupakan setiap tindakan fisik dan/atau nonfisik kepada orang
lain yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, yang mengakibatkan seseorang merasa terhina, terintimidasi, direndahkan,
dan/atau dipermalukan. Pelecehan seksual dalam bentuk fisik (body contact) meliputi tapi
tidak terbatas dalam bentuk sentuhan, ucapan, colekan, dekapan, dan/atau ciuman.
Sedangkan pelecehan seksual dalam bentuk non fisik (no body contact) meliputi tetapi tidak
terbatas dalam bentuk siulan, kedipan mata, ucapan yang bernuansa seksual, ajakan
melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan materi pornografi, mempertunjukkan alat
kelamin, merekam, atau memfoto secara diam-diam tubuh seseorang. Dengan demikian, ada
3 (tiga) unsur kunci dari tindak pelecehan seksual yaitu; tindakan fisik dan/atau nonfisik;
berkaitan dengan seksualitas seseorang; dan mengakibatkan seseorang merasa terhina,
terintimidasi, direndahkan, dan/atau dipermalukan.16

b. Eksploitasi Seksual
Tindak eksploitasi seksual adalah penggunaan kekuasaan dengan cara kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama palsu atau martabat palsu,

15
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
16
Ibid.

13

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


dan/atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual
dengannya atau dengan orang lain, atau tindakan yang memanfaatkan nafsu perkelaminan,
hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi orang tersebut dalam bentuk gambar atau gambar
bersuara, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Hubungan seksual
yang dimaksud tidak hanya penetrasi penis ke vagina, tetapi juga dapat menggunakan
anggota tubuh lainnya atau benda ke dalam vagina, anus, mulut, dan/atau anggota tubuh
lainnya. Sementara yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
meliputi tetapi tidak terbatas pada keuntungan yang terkait dengan suatu jabatan, pangkat,
kedudukan, pengaruh, kekuasaan, dan/atau status sosial. Dengan demikian, ada 3 (tiga)
unsur kunci tindak eksploitasi seksual yaitu; tindakan menggunakan kekuasaan dengan cara
kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama palsu, atau martabat palsu,
dan/atau penyalahgunaan kepercayaan;u ntuk tujuan agar seseorang melakukan hubungan
seksual dengan dirinya dan/atau orang lain; dan dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.17

c. Pemaksaan Kontrasepsi
Tindak pemaksaan kontrasepsi adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk
mengatur, menghentikan, dan/atau merusak organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksi orang
lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kemampuan untuk
menikmati hubungan seksual dan/atau kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem
reproduksinya, dan/atau tidak dapat melanjutkan keturunan. Dengan demikian, ada 3 (tiga)
unsur tindak pemaksaan kontrasepsi yaitu; tindakan mengatur, menghentikan, dan/atau
merusak organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksi orang lain, dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan;
mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan untuk menikmati hubungan seksual
dan/atau kontrol terhadap organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksinya dan/atau tidak dapat
melanjutkan keturunan.18

17
Ibid.
18
Ibid.

14

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


d. Pemaksaan Aborsi
Tindak pemaksaan aborsi adalah perbuatan memaksa orang lain untuk menghentikan
kehamilan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu
memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Berdasarkan definisi tersebut, ada 2 (dua)
unsur tindak pemaksaan aborsi yaitu; perbuatan memaksa orang lain menghentikan
kehamilan; dan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.19

e. Perkosaan
Tindak perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual yang bertentangan dengan
kehendak seseorang atau dalam kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan yang sesungguhnya, termasuk tapi tidak terbatas pada memasukkan penis ke
vagina atau penis ke anggota tubuh lainnya; anggota tubuh atau benda ke dalam vagina,
dubur dan/atau mulut, menggesek-gesekkan alat kelamin ke bagian tubuh tertentu. Yang
dimaksud dengan pemaksaan tidak hanya mencakup paksaan secara fisik, namun juga secara
psikis dan aspek lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan seksual adalah
tindakan seseorang dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau
benda ke dalam vagina, anus, mulut, dan/atau anggota tubuh dari orang lain. Jadi dalam
RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini, hubungan seksual tidak hanya berarti
penetrasi penis ke vagina, namun lebih luas dari itu yakni meliputi penggunaan benda atau
anggota tubuh lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, ada 2 (dua) unsur elemen kunci tindak
perkosaan yaitu; tindakan pemaksaan hubungan seksual; dan dilakukan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan atau tipu muslihat atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.20

f. Pemaksaan Perkawinan
Tindak pemaksaan perkawinan adalah setiap orang yang menyalahgunakan
kekuasaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau tipu muslihat atau bujuk rayu

19
Ibid.
20
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)

15

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


atau rangkaian kebohongan atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat
memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan. Tindak
pemaksaan perkawinan tersebut mencakup juga perkawinan anak. Dari definisi tersebut,
setidaknya terdapat ada 3 (tiga) unsur/elemen kunci tindak pemaksaan perkawinan, yaitu:
tindakan memaksa seseorang melakukan perkawinan; dilakukan dengan menyalahgunakan
kekuasaan baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau tipu muslihat atau bujuk
rayu atau rangkaian kebohongan, maupun tekanan psikis lainnya; mengakibatkan seseorang
tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.21

g. Pemaksaan Pelacuran
Tindak pemaksaan pelacuran adalah setiap orang yang menggunakan kekuasaan
dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas atau
martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga)
unsur/elemen kunci tindak pemaksaan pelacuran, yaitu; tindakan melacurkan seseorang;
dilakukan dengan menggunakan kekuasaan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan,
rangkaian kebohongan, nama, identitas atau martabat palsu, dan/atau penyalahgunaan
kepercayaan; dan untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.22

h. Perbudakan Seksual
Tindak perbudakan seksual adalah tindakan kekerasan seksual berupa eksploitasi
seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, dan/atau pemaksaan pelacuran yang
dilakukan kepada orang lain dengan cara membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan
seseorang, untuk tujuan menempatkan orang lain tersebut melayani kebutuhan seksualnya
atau pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga)
elemen kunci tindak perbudakan seksual yaitu; satu atau lebih tindakan kekerasan seksual
berupa eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan dan/atau pemaksaan
pelacuran; dilakukan dengan membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang;
dan untuk tujuan menempatkan orang melayani kebutuhan seksualnya atau orang lain dalam
jangka waktu tertentu.23

21
Ibid.
22
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017).
23
Ibid.

16

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


i. Penyiksaan Seksual
Tindak penyiksaan seksual adalah tindakan satu atau lebih kekerasan seksual yang
dilakukan setiap orang yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan
perkawinan, dan/atau pemaksaan pelacuran, untuk suatu tujuan tetapi tidak terbatas pada
memperoleh keterangan atau pengakuan dari korban, saksi atau orang ketiga; memaksa
korban, saksi atau orang ketiga untuk tidak memberikan keterangan atau pengakuan;
menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah
dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan
martabatnya; dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi. Tindak penyiksaan
seksual dapat dilakukan oleh aparatur dan/atau lembaga negara, perorangan, kelompok
perorangan dan/atau korporasi. Dengan demikian ada 3 (tiga) elemen kunci dari tindak
penyiksaan seksual yaitu; satu atau lebih tindakan kekerasan seksual; dilakukan dengan
sengaja; untuk suatu tujuan tetapi tidak terbatas pada kepentingan memperoleh keterangan
atau pengakuan dari saksi dan/atau korban atau dari orang ketiga, memaksa saksi dan/atau
korban atau dari orang ketiga untuk tidak memberikan keterangan atau pengakuan,
menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah
dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan
martabatnya, dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.24

C. Hak Atas Otoritas Tubuh


a. Hak Atas Otoritas Tubuh sebagai bagian dari HAM
Otonomi tubuh adalah konsep bahwa individu memiliki hak untuk mengontrol apa
yang terjadi dan tidak terjadi pada tubuhnya. Artinya, kita memiliki otonomi atas tubuh kita
secara penuh, sehingga kita dapat membuat keputusan tanpa ada paksaan atau kendali dari
orang lain.25 Pada hakikatnya, manusia memiliki otoritas untuk menguasai tubuhnya sesuai
kehendaknya, dalam artian manusia memiliki kebebasan mutlak atas tubuhnya. Dengan
demikian, manusia harus terlepas dari segala macam dominasi, intervensi, kontrol atau
pembatasan dari pihak diluar dirinya. Berdasarkan hal tersebut, apabila kebebasan berarti

24
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
2017)
25
Positive Women’s Network, “Bodily Autonomy: A Framework to Guide Our Future,”
https://www.pwn-usa.org/bodily-autonomy-framework , diakses 18 Juni 2021.

17

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


kehendak individu, maka segala bentuk kontrol dan pembatasan diluar kehendak tersebut
adalah kekerasan.26

b. Persetujuan Seksual (Sexual Consent)


Pada hakikatnya, consent adalah pemberian izin atau persetujuan untuk melakukan
sesuatu.27 Dalam konteks aktivitas seksual, sexual consent merupakan persetujuan untuk
melakukan tindakan seksual.28 Menurut Planned Parenthood Federation US, persetujuan
seksual pada hakikatnya memiliki lima prinsip yakni harus diberikan secara bebas (freely
given), bersifat reversibel (reversible), diberitahukan (informed), antusias (enthusiastic), dan
spesifik (specific). Yang dimaksud dengan diberikan secara bebas adalah persetujuan
seksual merupakan pilihan yang dibuat secara sukarela tanpa tekanan, manipulasi, paksaan,
serta pengaruh obat atau alkohol. Berdasarkan hal tersebut, segala tindakan seksual yang
didahului dengan ketidakmampuan untuk mengetahui apakah seseorang mampu
memberikan persetujuan seksual secara bebas merupakan suatu kekerasan seksual.29
Selain itu, persetujuan seksual bersifat reversibel dalam artian bahwa setiap orang
dapat berubah pikiran mengenai apa yang mereka rasakan mengenai suatu tindakan seksual
tertentu pada waktu kapanpun. Meskipun seseorang pernah melakukan suatu tindakan
seksual tertentu secara konsensual pada suatu waktu, orang tersebut patut dihargai apabila ia
berubah pikiran dan menolak untuk melakukan hal yang sama pada kesempatan lain. Selain
itu, seseorang berhak untuk menghentikan suatu tindakan seksual atas haknya untuk menarik
persetujuan seksual yang diberikan. Sifat reversibel dari persetujuan seksual bertitik tolak
pada hak seseorang untuk menentukan tindakan seksual yang ingin dilakukannya kapan pun.
Disamping itu, persetujuan seksual juga harus diberitahukan. Menurut Planned Parenthood
Federation, persetujuan seksual dapat dikatakan valid apabila terdapat pemberitahuan yang
jelas dan menyeluruh mengenai suatu tindakan seksual tersebut.30
Persetujuan seksual juga harus diberikan secara antusias, dimana kedua belah pihak
hanya melakukan tindakan yang diinginkan dalam suatu kegiatan seksual, bukan tindakan
26
Admin, “Mendudukkan Kembali Hakikat Tubuh dana Kebebasan: Merefleksi Makna Pergantian,”
https://bacalatansa.com/mendudukkan-kembali-hakikat-tubuh-dan-kebebasan-merefleksi-makna-pergantian ,
diakses 18 Juni 2021.
27
NSVRC, “What Is Healthy Sexuality And Consent”,
https://www.nsvrc.org/sites/default/files/saam_2015_what-is-healthy-sexuality-and- consent.pdf , diakses 18
Juni 2021.
28
Planned Parenthood Federation, “Sexual https://www.plannedparenthood.org/learn/sex-and-
relationships/sexual-consent , November 2018
Consent”, diakses 18 Juni 2021.
29
Ibid.
30
Ibid.

18

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


yang menurutnya diekspektasikan atau seharusnya dilakukan oleh pihak lain dalam kegiatan
seksual tersebut. Lalu, persetujuan seksual merupakan persetujuan yang spesifik dalam
artian bahwa persetujuan seksual atas suatu tindakan seksual tertentu bukanlah persetujuan
untuk tindakan seksual lainnya. Pada intinya, seseorang berhak untuk menentukan apapun
yang terjadi pada tubuhnya masing-masing termasuk keterlibatannya dalam suatu kegiatan
seksual dalam bentuk apapun. Planned Parenthood Federation lebih lanjut menjelaskan
bahwa tidak ada ruang untuk ambiguitas atau asumsi perihal persetujuan seksual.
Persetujuan seksual merupakan komunikasi yang jelas tanpa keraguan, dan oleh karena itu
tidak pernah tersirat dalam perilaku masa lalu seseorang, pakaian yang dikenakan, tempat
seseorang berada, maupun diamnya seseorang.31

D. Penyebab Kekerasan Seksual


Penting untuk diketahui bahwa penyebab dari kekerasan seksual berasal dari diri
pelaku dan bukan dari korban. Dalam hal ini, seringkali kekerasan seksual terjadi karena
pelaku merasa dirinya berhak untuk menggunakan kekuatan dan kekuasaannya dalam
melaksanakan aksinya.32 Terdapat beberapa faktor penyebab kekerasan seksual yang dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal (intrinsik) dan faktor eksternal
(ekstrinsik).
Faktor internal merupakan faktor yang merujuk pada kejahatan yang berasal dari diri
pelaku, yang meliputi kondisi psikologis pelaku dan kondisi biologis pelaku. 33 Kondisi
psikologis pelaku dalam kasus ini berhubungan dengan ketidakmampuan pelaku untuk
mengontrol nafsu seksualnya dengan baik atau kesulitan pelaku dalam menetralisir
rangsangan seksual yang tumbuh dalam dirinya, yang akhirnya memicu pelaku untuk
melakukan kekerasan seksual.34 Sedangkan yang dimaksud dengan kondisi biologis pelaku
adalah kebutuhan akan hubungan seksual yang tidak terpenuhi atau tidak dapat disalurkan
sebagaimana mestinya.35
Selain dari yang telah disebutkan, faktor internal juga dapat berupa kedekatan atau
relasi yang dimiliki pelaku dengan korban. Adanya hubungan dekat atau relasi tertentu yang
31
Planned Parenthood Federation, “Sexual Consent” https://www.plannedparenthood.org/learn/sex-and-
relationships/sexual-consent, diakses 18 Juni 2021.
32
Rutgers Office for Violence Prevention and Victim Assistance, “Why does sexual violence occur?,”
http://vpva.rutgers.edu/sexual-violence/why-does-sexual-violence-occur/
33
I Putu Agus Setiawan dan I Wayan Novy Purwanto, “Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda Bali),” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2019), hlm. 9.
34
Ibid.
35
Ibid.

19

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


dimiliki oleh pelaku dengan korban dapat menyebabkan korban untuk merasa aman dan
akhirnya mengurangi pengawasan untuk membentengi diri, namun di sisi lain kondisi
tersebut kerap kali menyebabkan pelaku untuk dapat mencuri kesempatan dan mengambil
keuntungan dengan melakukan tindakan kekerasan seksual kepada korban. Selain hubungan
yang dekat, terkadang kekerasan seksual juga terjadi kala adanya suatu relasi kuasa, yaitu
relasi yang mencangkup ketergantungan seorang individu dari posisi yang lebih rendah
kepada individu dari posisi yang lebih tinggi dilihat dari status sosial, budaya, pengetahuan
atau pendidikan, dan/atau ekonomi.36 Dalam posisi yang demikian, terdapat potensi bahwa
individu dengan posisi lebih tinggi dapat menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Di sisi lain, faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri pelaku,
yang meliputi faktor ekonomi dan faktor lingkungan.37 Faktor ekonomi dianggap sebagai
salah satu faktor penyebab kekerasan seksual dengan asumsi bahwa rendahnya pendapatan
dan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan rendahnya tingkat pendidikan
seseorang.38 Dalam hal ini, rendahnya tingkat pendidikan seseorang berpotensi
mengakibatkan seseorang untuk memiliki pengetahuan yang terbatas, tidak rasional, atau
bahkan dapat lebih terpapar dengan budaya patriarki atau praktik victim blaming yang
akhirnya mewajarkan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.
Selanjutnya, lingkungan juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan
seksual terjadi karena perkembangan perilaku dan kepribadian individu sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dimana individu tersebut berada. Menurut model socio-ecological yang
dikemukakan Bronfenbrenner, lingkungan dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan mulai
dari sistem lingkungan microsystem yang merupakan pengaruh langsung dan merupakan
pengaruh paling dekat dan utama (immediate influence) dari individu tersebut, kemudian
berlanjut ke tingkatan lingkungan mesosystem, exosystem, dan macrosystem sebagai
tingkatan lingkungan yang lebih jauh atau dari individu tersebut.39 Dengan keadaan di
Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya masih cenderung patriarkis, budaya
memperkosa (rape culture) dan praktik victim blaming atau menyalahkan korban pun

36
Riki Perdana Raya Waruwu, “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’ Oleh: Riki
Perdana Raya Waruwu*),” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-relasi-
kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/
37
I Putu Agus Setiawan dan I Wayan Novy Purwanto, “Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda Bali),” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2019), hlm. 10.
38
Ibid.
39
Badrun Susantyo, “Lingkungan dan Perilaku Agresif Individu,” Sosio Informa [Online], Vol. 3 No. 1
(2017), hlm. 20.

20

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


menjadi semakin relevan.40 Dengan kondisi lingkungan yang seperti itu, tindakan kekerasan
seksual yang dilakukan pelaku pun diwajarkan dan ditoleransi, dan bahkan seringkali korban
yang menjadi kambing hitam dari tindakan tersebut. Pelaku pun melihat suatu keuntungan
dari kondisi lingkungan yang demikian untuk melakukan kekerasan seksual karena hal
tersebut bukan merupakan suatu hal yang dipandang salah di mata masyarakat.
Selain faktor eksternal dan internal, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan kekerasan seksual seperti faktor moral dari pelaku dan juga faktor media
sosial.41 Moral dalam konteks ini merupakan suatu instrumen mengenai kebaikan-kebaikan
yang sifatnya sangat sentral dalam menentukan tingkah laku seseorang. 42 Lantas, apabila
seseorang tidak memiliki moral yang baik, maka orang tersebut dapat berpotensi untuk
berbuat jahat seperti contohnya tindakan kekerasan seksual. Selanjutnya, media sosial juga
dapat menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan seksual karena media sosial dapat
memberikan akses terhadap konten-konten pornografi yang dapat menyebabkan kecanduan
bagi yang melihatnya. Dalam kasus yang demikian, kecanduan pornografi dapat
menyebabkan seorang individu kesulitan untuk mengontrol diri, berpikir rasional, dan
melepaskan diri dari pikiran tersebut, sehingga akhirnya dapat berpotensi membuat individu
tersebut menjadi pelaku kekerasan seksual.43

E. Budaya Patriarki
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata ‘patriarki’ sebagai perilaku
mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial
tertentu.44 Dalam konteks ini, budaya patriarki meliputi ide dan gagasan terkait maskulinitas,
feminitas, dan posisi marjinal yang memposisikan laki-laki diatas perempuan. Menurut
Allan Johnson, budaya patriarki mencangkup beberapa hal, yaitu: a) mengenai bagaimana
kehidupan sosial yang ideal, harapan masyarakat, dan perasaan masyarakat; b) mengenai
standar kecantikan feminim dan ketangguhan maskulin, penggambaran kerentanan feminim
dan perlindungan maskulin; c) mengenai kewajaran agresi, persaingan, dan dominasi dari
laki-laki dan kepedulian, kerjasama, dan subordinasi dari perempuan; d) mengenai
40
Iwan Awaluddin Yusuf, “Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan #MeToo di Indonesia,”
https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455
41
I Putu Agus Setiawan dan I Wayan Novy Purwanto, “Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) (Studi di Polda Bali),” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2019), hlm. 10-11.
42
Ibid., hlm. 10.
43
Rr Laeny Sulistyawati, “Kecanduan Pornografi Jadikan Anak Pelaku Kekerasan Seksual,”
https://www.republika.co.id/berita/pxb6vq282/kecanduan-pornografi-jadikan-anak-pelaku-kekerasan-seksual
44
KBBI Daring, “Pat.ri.ar.ki,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/patriarki

21

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


menghargai maskulinitas dan kejantanan dan mendevaluasi feminitas dan kewanitaan; e)
mengenai peran suami untuk mengutamakan karir dan istri yang berperan untuk mengasuh
anak; dan f) mengenai penerimaan sosial dari kemarahan dan ketangguhan dari laki-laki
namun tidak pada perempuan dan kepedulian, kelembutan, dan kerentanan pada perempuan
yang tidak ada pada laki-laki.45
Pada dasarnya, memang benar bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapapun
terlepas dari jenis kelamin maupun gendernya. Hal ini berarti laki-laki juga dapat menjadi
korban kekerasan seksual. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kekerasan
seksual merupakan bentuk kontrol seksual yang mana terdapat satu pihak yang berupaya
melakukan kontrol atau dominasi terhadap pihak lain secara seksual dengan menggunakan
kekuasaan atau kewenangannya dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, kekuasaan atau
dominasi tersebut dapat berupa kekuasaan dan dominasi yang diberikan kepada laki-laki
dalam konteks budaya patriarki, sehingga kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai salah
satu bentuk kekerasan berbasis gender. Michael Kaufman, seorang aktivis Kanada yang
memimpin kampanye Pita Putih, menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan
disebabkan oleh setidaknya tiga faktor yang dimiliki oleh laki-laki dalam memperlihatkan
kekuasaan dan otoritasnya, meliputi: a) kekuasaan patriarki (patriarchy power); b) hak-hak
istimewa (privilege); dan c) sikap yang permisif (permission).46
Budaya patriarki yang notabene memposisikan laki-laki diatas perempuan
menyebabkan adanya pandangan bahwa laki-laki memiliki posisi dan peran untuk
mendominasi kehidupan perempuan, termasuk kontrol terhadap tubuh perempuan.47 Budaya
patriarki juga memandang bahwa perempuan sebagai pihak yang lemah dan berhak
didominasi, memiliki tugas untuk dijadikan objek fantasi seksual dari laki-laki.48 Hal ini
tentunya menyebabkan kerugian kepada perempuan karena adanya batasan dalam menjalani
kehidupan dan tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya diterima. Selain itu, budaya
patriarki juga menyebabkan perempuan kerap kali mengalami diskriminasi dan harus
menanggung sendiri kerugian yang diakibatkan kejadian yang menimpanya. Salah satu
contohnya adalah ketika seorang perempuan mengalami kekerasan seksual dari laki-laki,

45
Allan Johnson, The Gender Knot: Unraveling our Patriarchy Legacy, (s.l.: Temple University Press:
1997), hlm. 37.
46
Yayasan Jurnal Perempuan, Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Ed. 26 (Jakarta: YJP Press,
2002), hlm. 102.
47
Sonza Rahmanirwana Fushshilat dan Nurliana Cipta Apsari, “Sistem Sosial Patriarki Sebagai Akar
Dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol.
7, No. 1. (2020), hlm. 123.
48
Ibid.

22

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


masyarakat dengan pemikiran yang patriarkis akan menyalahkan si perempuan baik dari segi
pakaian, cara bersikap, dan sebagainya, atau bahkan mewajarkan perilaku tersebut.
Pandangan bahwa perilaku kekerasan seksual adalah hal yang wajar dikenal juga
dengan budaya perkosaan atau rape culture. Rape culture merupakan teori yang
berkembang pada tahun 1970-an di Amerika Serikat yang pada dasarnya merujuk pada
fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sudah dianggap umum dan diwajarkan
oleh masyarakat. Rape culture sendiri terbentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan
seksis dan merupakan buah dari budaya patriarki yang mana perempuan dan segala yang
berbau feminim ditempatkan di bawah kepentingan laki-laki dan segala yang mewakili
maskulinitas.49 Terdapat beberapa contoh bentuk rape culture, meliputi candaan yang
berbau seksual, mewajarkan tindakan kekerasan seksual seperti perkataan “ya namanya juga
laki-laki”, menoleransi kekerasan seksual, dan juga praktik victim blaming.50
Victim blaming adalah perilaku yang menyudutkan dan menyalahkan korban atas
tindakan kekerasan seksual yang menimpanya. Contoh dari victim blaming sendiri adalah
ketika masyarakat menyalahkan korban karena pakaian yang dipakai saat kejadian tersebut
terlalu terbuka, atau menyalahkan aspek lain seperti sikap atau kepribadian dari dalam diri
korban.51 Dalam hal ini, victim blaming kerap kali ditemukan karena adanya pemahaman
perempuan sebagai objek dari kepuasan seksual laki-laki yang mana berakar dari budaya
patriarki. Selain itu, Dr Rolles-Abraham juga berpendapat bahwa victim blaming juga dapat
terjadi karena adanya pandangan dalam masyarakat bahwa tindakan kekerasan seksual tidak
mungkin terjadi kepada orang yang telah menjaga diri dengan baik, dan apa yang terjadi
kepada korban adalah karena kesalahannya sendiri.52 Hal ini tentunya menimbulkan suatu
miskonsepsi bahwa masyarakat memiliki suatu mekanisme untuk menjaga diri dari
kekerasan seksual dan juga mempunyai kontrol atas terjadinya kekerasan seksual tersebut.53
Padahal, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kekerasan seksual terjadi karena
dorongan dari dalam diri pelaku dan bukan korban. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
Koalisi Ruang Publik Aman (“KRPA”) mengenai keterkaitan pakaian korban dengan

49
Aulia Adam, “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-cNq8
50
Inside Southern, “Rape Culture, Victim Blaming, and The Facts,”
https://inside.southernct.edu/sexual-misconduct/facts
51
Abu Riki dan Siti Hannah Alaydrus, “Rape Culture: Di Balik Pemakluman Kekerasan Seksual,”
https://suakaonline.com/rape-culture-di-balik-pemakluman-kekerasan-seksual/
52
Eveline Gan, “The ‘second wave of trauma’: Why victim-blaming happens in sexual assault cases
and its implications,” https://www.todayonline.com/singapore/second-wave-trauma-why-victim-blaming-
happens-sexual-assault-cases-and-its-implications
53
Ibid.

23

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


pelecehan seksual terhadap 32.341 responden, ditemukan hasil sebagai berikut;54 Rok atau
celana panjang 17,47% (5.651 responden); Baju lengan panjang 15,82% (5.117 responden);
Baju seragam sekolah 14,23% (4.601 responden); Baju longgar 13,80% (4.462 responden);
Berhijab pendek/sedang 13,20% (4.268 responden); Baju lengan pendek 7,72% (2.496
responden); Baju seragam kantor 4,61% (1.492 responden); Berhijab panjang 3,68% (1.190
responden); Rok atau celana selutut 3,02% (976 responden); Baju/celana ketat 1,89% (612
responden); Rok atau celana pendek 1,31% (425 responden); Turban/tutup kepala 0,70%
(227 responden); Lainnya 0,54% (174 responden); Jaket 0,50% (163 responden); Celana
jeans 0,46% (149 responden); Baju agak transparan 0,44% (143 responden); Tank top/tanpa
lengan 0,36% (115 responden); Berhijab dan bercadar 0,17% (55 responden); Dress 0,08%
(25 responden).
Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pakaian perempuan yang dinilai
terbuka bukan merupakan penyebab pelecehan seksual. Hal ini dikarenakan mayoritas
korban yaitu sebanyak 17% korban pelecehan seksual mengenakan rok atau celana panjang
ketika pelecehan tersebut terjadi, dan bahkan korban yang menggunakan jilbab dan lengan
panjang pun secara persentase juga lebih banyak yang menjadi korban kekerasan seksual
daripada yang menggunakan tanktop atau baju tanpa lengan, baju agak transparan, baju
ketat, dan pakaian lainnya yang notabene dinilai lebih terbuka. Maka dari itu, dapat
disimpulkan bahwa penyebab kekerasan seksual murni dari diri pelaku dan bukan dari
korban.

F. Relasi kuasa
Hasil penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengenai konsistensi putusan kekerasan terhadap
perempuan menyatakan bahwa hampir 50% kejahatan seksual terhadap perempuan dan
anak dilakukan oleh pelaku dalam relasi domestik (seperti hubungan kekeluargaan atau
hubungan pacaran), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu penyebab pelaku
melakukan kekerasan terhadap korban adalah karena adanya relasi kuasa.55 Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, relasi kuasa merupakan salah satu faktor internal yang menjadi

54
Danu Damarjati, "Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian,"
https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-relasi-pelecehan-seksual-dengan-
pakaian
55
MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual/

24

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


dasar penyebab kekerasan seksual, yang meliputi adanya ketergantungan seorang individu
dari posisi yang lebih rendah kepada individu dari posisi yang lebih tinggi dilihat dari status
sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan, dan/atau ekonomi, sehingga menyebabkan
individu dari posisi yang lebih tinggi memiliki penguasaan atas individu dari posisi yang
lebih rendah.56 Adanya ketimpangan kuasa tersebut akhirnya menimbulkan kesempatan bagi
pelaku yang memiliki kuasa atau posisi yang lebih tinggi untuk melakukan kekerasan
seksual kepada korban sebagai pihak dengan posisi yang lebih rendah.57 Hal ini dikarenakan
karena adanya ketergantungan yang dimiliki korban kepada pelaku, sehingga korban juga
biasanya enggan untuk mengusut dan melaporkan perilaku pelaku tersebut karena takut akan
konsekuensi yang diberikan oleh pelaku sebagai pemegang kekuasaan. Adapun ketakutan
pelaku untuk melaporkan juga disebabkan karena adanya public image yang baik dari si
pelaku, sehingga ada kecenderungan bagi masyarakat untuk lebih mendengarkan pelaku
daripada korban.
Dalam hal ini, bentuk dari kuasa atau penguasaan atas suatu kewenangan tersebut
mungkin tidak selalu terlihat, namun dapat dirasakan oleh korban.58 Perlu juga diketahui
bahwa bentuk dari relasi kuasa tersebut juga dapat bersifat formal dan profesional, seperti
contohnya hubungan antara bos dan karyawan, dosen dengan mahasiswa, dan sebagainya,
namun di sisi lain juga dapat bersifat informal, horizontal, dan tidak selalu bersifat
profesional.59 Salah satu contoh relasi kuasa dapat ditemukan dalam lingkup kampus, yang
mana dapat terjadi antara dosen dan mahasiswa. Dalam kasus ini, dosen yang memiliki
posisi yang lebih tinggi dapat mengintimidasi mahasiswa melalui otoritasnya contohnya
dengan menahan skripsi, menolak jadi pembimbing studi akhir, dan sebagainya. Dosen juga
dapat menggunakan kuasa atau power yang dimilikinya itu untuk mengeksploitasi dan
menggunakan kekuatan itu untuk melakukan kekerasan seksual.60 Mahasiswa yang memiliki

56
Riki Perdana Raya Waruwu, “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’ Oleh:
Riki Perdana Raya Waruwu*),” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-
relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/
57
Imam Hamdi, “Korban Pelecehan Seksual Takut Lapor, Komnas Perempuan: Relasi Kuasa,”
https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-lapor-komnas-perempuan-relasi-
kuasa/full&view=ok
58
MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual/
59
Ibid.
60
Fadiyah Alaidrus, “Relasi Kuasa dalam Kasus Pelecehan Seksual di BPJS TK,” https://tirto.id/relasi-
kuasa-dalam-kasus-pelecehan-seksual-di-bpjs-tk-dcLa

25

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


ketergantungan pada dosen untuk lulus jadi merasa takut untuk melaporkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh dosen dan akhirnya memilih untuk bungkam.61
Selain itu, salah satu pendiri Yayasan Lentera Sintas Indonesia, Sophia Hage, juga
menambahkan bahwa jebakan relasi kuasa dalam birokrasi kampus tersebut juga
mencangkup praktik victim blaming yang kerap kali ditemukan di masyarakat termasuk di
lingkungan umum.62 Dalam hal ini, masyarakat akan cenderung untuk mendengarkan dan
mempercayai dosen dan menyalahkan pelaku dengan alasan-alasan yang berhubungan
dengan konteks moralitas maupun agama. Maka dari itu, relasi kuasa yang terjadi tidak
hanya menjadi penyebab kekerasan seksual, namun juga menjadi alasan utama mengapa
korban kekerasan seksual kerap kali bungkam akan kasus yang dialaminya. Hal ini diperkuat
dengan hasil survei yang dilakukan Lentera, yang mana sebanyak 1.636 orang dari 25 ribu
responden (lebih dari 6%) mengatakan pernah dipaksa, diintimidasi, dan diancam untuk
melakukan aktivitas seksual.63 Namun, hanya ada sekitar 93% korban yang memutuskan
untuk tidak melaporkan kasus tersebut.64

G. Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban (Fisik, Psikologis, Sosio-budaya,


Ekonomi
Kekerasan seksual memberikan banyak dampak negatif bagi korban. Mulai dari
dampak secara psikis, fisik, sosio-budaya, dan ekonomi. Dampak psikis seperti adanya Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD), ketakutan serta kecemasan berlebih, depresi, dan
menurunnya rasa percaya diri. Dari segi fisik, korban kekerasan seksual mengalami
gangguan pada saraf, otot, terjadinya penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), dan
gangguan pada sistem reproduksi maupun urinaria. Selain itu, terdapat dampak secara
sosial-budaya diantaranya seperti mengucilkan diri ditengah masyarakat, merasa takut
untuk berinteraksi sosial di tengah masyarakat, serta stigma masyarakat yang memperburuk
trauma korban. Untuk dampak secara ekonomi, korban mengeluarkan biaya yang lebih
banyak untuk mengurusi kasus yang dialaminya serta menurunnya produktivitas untuk
mendapatkan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

61
Aulia Adam, “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-cNq8 diakses 28 Juni 2021.
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.

26

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Secara psikis, korban sangatlah dirugikan dengan terjadinya kekerasan seksual
yang dialaminya. Dampak yang terjadi seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),
ketakutan serta kecemasan berlebih, depresi, dan menurunnya rasa percaya diri. PTSD
merupakan gangguan psikis secara berkepanjangan setelah mengalami peristiwa yang
mengakibatkan ketakutan, kejadian yang membahayakan, dan keadaan syok yang hebat.65
Manusia secara natural mengalami rasa ketakutan selama maupun setelah kejadian
traumatis. Ketakutan secara natural sebagai bagian dari cara manusia untuk melindungi diri
dari keadaan yang berpotensi membahayakan. Dalam merespon keadaan yang
membahayakan tersebut, terdapat berbagai reaksi yang ditimbulkan setelah trauma dan
biasanya proses pemulihan dari gejala-gejala pasca trauma tersebut dalam jangka waktu
yang lama. Mereka yang mengalami gejala-gejala tersebut dalam jangka waktu yang lama
bisa dapat didiagnosa dengan PTSD. Gejala-gejala PTSD yang dialami korban antara lain
mimpi buruk, ketakutan dan penolakan, perasaan tidak percaya, penyalahan diri sendiri,
mudah merasa lelah, serta diikuti dengan gejala-gejala fisik.66 Ketakutan dan kecemasan
merupakan gangguan yang dialami korban secara berkepanjangan. Gejala ketakutan dan
kecemasan tersebut diikuti dengan perubahan perilaku .korban menjadi mudah panik.67
Depresi menjadi gangguan yang dapat dialami oleh korban. Korban mengalami depresi
dengan tanda-tanda seperti insomnia, kesedihan berkepanjangan, sulit berkonsentrasi,
murung berkepanjangan, serta psikomotorik yang menurun.68 Menurunnya rasa kepercayaan
diri dialami oleh korban sangat berkaitan dengan perasaan harga diri. Rasa percaya diri
yang menurun dialami korban dengan merasa dirinya tidak berharga sebagai akibat
kekerasan seksual yang dialaminya.
Dampak secara fisik turut dialami oleh korban kekerasan seksual. Diantaranya
gangguan pada saraf, otot, terjadinya penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), dan
gangguan pada sistem reproduksi maupun urinaria. Gangguan pada saraf berupa kesulitan
untuk tidur, tidur yang diikuti dengan kegelisahan, saraf yang menjadi mati rasa, hingga
cenderung mudah untuk pingsan.69 Dari 102 orang korban kekerasan seksual sebagaimana
dalam penelitian yang dilakukan oleh The City University of New York, sekitar 66%
65
Kaitlin A. Chivers-Wilson, “Sexual assault and posttraumatic stress disorder: A review of the
biological and sociological factors and treatments”, McGill Journal of Medicine 9 (2) (Juli 2006), hlm. 111-112.
66
Patricia A. Resick, “The Psychological Impact of Rape”, Journal of Interpersonal Violence (Juni
1993), hlm. 227.
67
Ibid.
68
Eiko I. Fried dan Randolph M. Nesse, “The Impact of Individual Depressive Symptoms on
Impairment of Psychosocial Functioning”, PLoS ONE 9 (2) (Februari 2014), hlm. 2.
69
Rebecca Campbell, Tracy Sefl, dan Courtney E. Ahrens, “The Physical Health Consequences of
Rape”, Women’s Studies Quarterly (2003), hlm. 97.

27

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


mengalami gangguan-gangguan saraf tersebut dengan lebih spesifik sebesar 56% korban
mengalami mati rasa.70 Pada bagian otot, sebanyak 69% korban mengalami sakit pada
bagian punggung, 69% nyeri pada bagian-bagian otot tertentu, dan sebesar 58% mengalami
kelelahan pada hampir seluruh bagian badan.71 IMS dapat terjadi pada korban sebagai akibat
penyakit yang dimiliki dan ditularkan oleh pelaku kekerasan seksual seperti HIV/AIDS,
gonorrhoeae, chlamydia, dan sifilis.72 Pada bagian sistem reproduksi dan urinaria, gangguan
yang dialami korban yaitu nyeri pada bagian pelvis, nyeri saat buang air kecil, hingga nyeri
saat melakukan hubungan seksual.
Tak hanya dampak secara psikis dan fisik, korban juga dirugikan secara sosial-
budaya.73 Korban akan mengucilkan diri di tengah masyarakat akibat peristiwa traumatis
yang dialaminya. Tak hanya mengucilkan dirinya, stigma dari masyarakat yang begitu kuat
terhadap korban kekerasan seksual. Stigma di masyarakat tersebut yaitu terhadap perempuan
dengan “label” tidak berperilaku sesuai moral seperti cara pakaiannya yang menjadi
penyebab terjadinya perkosaan. Dengan kuatnya stigma akhirnya korban sulit mengakses
bantuan karena takut untuk mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Dampak terakhir yaitu dari segi ekonomi. Kerugian secara ekonomi yang dialami
oleh korban antara lain pengeluaran untuk membiayai pengobatan serta pemulihan psikis,
kehilangan pendapatan sebagai akibat tidak masuk bekerja, dan penurunan kinerja dalam
bekerja.74 Dampak ekonomi ini juga dipengaruhi oleh dampak secara psikis dan kesehatan
fisik yang dialami korban terhadap beberapa hal. Pertama, gangguan psikis dengan gejala-
gejalanya mengganggu performa korban dalam menjalankan pekerjaannya di tempat kerja.
Khususnya PTSD sebagai faktor yang sangat mempengaruhi kinerja dan pendapatan
seseorang. Kedua, gejala-gejala gangguan psikis dan fisik akan mengganggu performa
pendidikan dan pencapaian masa depan korban ketika memasuki dunia kerja. Ketiga, proses
pemulihan seperti pengobatan, pertemuan dengan dokter maupun psikolog tentunya
mengeluarkan biaya.

70
Ibid.
71
Ibid.
72
HB Lacey, “Sexually transmitted disease and rape: the experience of a sexual assault centre”,
International Journal of STD & AIDS (1990), hlm. 406-407.
73
Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan”, Buletin
Psikologi 1 (Juni 2002), hlm. 16.
74
Rebecca M. Loya, “Rape as an Economic Crime: The Impact of Sexual Violence on Survivors’
Employment and Economic Well-Being”, Journal of Interpersonal Violence 30 (2014), hlm. 3-5.

28

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


H. Pendampingan Korban
Pendampingan merupakan upaya yang dilakukan untuk memastikan bahwa selama
proses penindaklanjutan kasus, korban terpenuhi hak dan kebetuhannya, dan seutuhnya
dilandasi atas kepentingan dan keinginan korban. Dalam melakukan pendampingan korban
kekerasan seksual, secara umum terdapat dua bentuk pendampingan yang diberikan yaitu
pendampingan hukum dan psikologis. Pendampingan hukum membantu korban untuk
mengakses keadilan dengan memberi rujukan bantuan hukum. Pendampingan psikologis
dengan dengan menerapkan Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan psikologis
pertama serta dengan merujuk ke pengada layanan psikologis. Pendampingan lain-lain
seperti mendampingi korban untuk melakukan penyelesaian dalam kampus, penanganan
keadaan darurat, serta pendampingan lainnya yang tidak terbatas sepanjang dibutuhkan
korban.
Pendampingan hukum dilakukan dalam rangka untuk mendampingi korban dalam
mengakses bantuan hukum. Bila merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum maka Bantuan Hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi
Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.75 Tujuan dari
bantuan hukum untuk menolong kelompok masyarakat yang sulit untuk mengakses
keadilan.
Pendampingan hukum dilakukan apabila korban membutuhkan bantuan hukum.
Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendampingan untuk mengakses
bantuan hukum. Diantaranya kesiapan korban, menjelaskan apa saja yang harus
dipersiapkan, serta strategi untuk melihat pihak-pihak untuk diajak berkomunikasi. Kesiapan
korban diperlukan dalam hal secara psikologis telah dilakukan pendampingan. Oleh lembaga
pengada layanan psikologi, khususnya psikolog yang menangani pemulihan korban
menyatakan bahwa korban dinyatakan mampu dan siap untuk menjalani proses bantuan
hukum. Selanjutnya mengidentifikasi pihak yang dapat berkomunikasi, khususnya Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) yang memiliki kekhususan pendampingan korban kekerasan
seksual, misal LBH APIK. Setelah korban diinformasikan mengenai bantuan yang akan
diberikan oleh LBH, maka pendamping memastikan kesiapan korban dalam menempuh jalur
hukum. Menempuh jalur hukum merupakan proses yang cukup memberatkan bagi korban
karena struktur hukum di Indonesia yang belum memihak kepada korban kekerasan seksual
75
Indonesia, Undang-Undang tentang Bantuan Hukum, UU No. 16 Tahun 2011, LN. No. 104 Tahun
2011, TLN. No. 5248.

29

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


khususnya di tahap kepolisian.76 Pihak kepolisian kerap kali melakukan reviktimisasi kepada
korban seperti menyalahkan korban atas kekerasan seksual yang terjadi padanya. Tidak
hanya itu, kepolisian juga kerap memaksa korban untuk menghadirkan alat bukti padahal
tugas untuk mencari alat bukti adalah pihak kepolisian. Akhirnya korban menjadi korban
yang kedua kalinya.
Selain pendampingan hukum, juga dilakukan pendampingan psikologis. Korban
kekerasan seksual mengalami penderitaan secara psikologis seperti PTSD.77 Kondisi psikis
korban antara lain marah, sedih, perasaan merasa bersalah, sulit membuat keputusan, dan
merasa tidak berdaya.78 Gangguan-gangguan tersebut bisa mengarahkan korban untuk
melakukan perilaku yang destruktif. Untuk mencegah hal tersebut, dalam proses
pendampingan dilakukan untuk proses pemulihan korban yaitu melalui pendampingan
secara PFA. PFA atau Psychological First Aid yaitu pertolongan psikologis untuk menolong
penyintas yang berkaitan dengan stress sebagai bentuk reaksi atas kejadian traumatis yang
baru saja terjadi.79
Dalam bahasa Indonesia umumnya disebut sebagai Dukungan Psikologis Awal
(DPA). PFA dilakukan sebagai respon pertama kali dalam menuju proses pendampingan
psikologis oleh psikolog yang memiliki tujuan untuk membangun kapasitas seseorang untuk
memulihkan dirinya. Secara umum, PFA dilakukan dengan membantu seseorang untuk
mengidentifikasikan kebutuhan utama mereka dan kekuatan serta kemampuan mereka untuk
menemukan kebutuhan mereka. Hal yang terpenting dalam mengidentifikasi keberhasilan
PFA adalah penyintas yang merasa lebih baik dengan adanya perlahan timbul perasaan
positif akan adanya harapan. Upaya-upaya yang dilakukan dalam PFA antara lain
menenangkan seseorang, mengurangi stres yang hebat, membuat seseorang aman dan
nyaman, memfasilitasi kebutuhan sosial, dan memberikan harapan.
Tiga hal penting dalam melakukan PFA yaitu Look atau Perhatikan, Listening atau
Dengarkan, dan Linking atau Menghubungkan.80 Tahap Look dengan memperkenalkan diri
kepada korban, mengobservasi situasi dan kondisi keamanan korban. Memasuki tahap
Listen, mencari tahu apa yang dibutuhkan, mencari tahu apa yang menjadi kekhawatirannya,
76
Felix Nathaniel, “Aktivis Kritik Polisi Kerap Tidak Lindungi Korban Kekerasan Seksual”,
https://tirto.id/aktivis-kritik-polisi-kerap-tidak-lindungi-korban-kekerasan-seksual-darK, diakses pada 9 Juni
2021.
77
Rebecca Campbell, Tracy Sefl, dan Courtney E. Ahrens, “The Physical Health Consequences of
Rape”, Women’s Studies Quarterly (2003), hlm. 97.
78
Australian Red Cross, Psychological First Aid: Supporting people affected by disaster in Australia,
(Melbourne: Australian Psychological Society, 2020), hlm.10.
79
Ibid.
80
Ibid.

30

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


mendengarkan pengalaman korban, serta memberikan respon empati. Tahap Link berupa
menghubungkan kebutuhan penyintas, memberikan informasi-informasi yang terkait
kebutuhan penyintas, membantu mengatasi masalah penyintas, menghubungkan penyintas
dengan orang-orang terdekatnya, serta mengadakan pertemuan lanjutan kepada penyintas
untuk memberikan pendampingan lanjutan khususnya untuk menghubungkan dengan
lembaga pengada layanan pemulihan psikologis.

I. Pemulihan Korban KS
Berbagai dampak negatif yang dialami korban kekerasan seksual membuatnya
untuk pulih dalam waktu yang tidak singkat. Berbagai dampak negatif yang dialami antara
lain dari segi psikis, fisik, sosio-budaya, dan ekonomi. Adanya kerugian yang dialami
korban secara multidimensional dan memiliki dampak secara jangka panjang. Tentunya
proses pemulihan bagi korban bertahap, melibatkan peran lintas sektor, serta
berkesinambungan. Dalam pelaksanaannya bisa saja tidak sesuai dengan rencana awal
kemajuan pemulihan melainkan tersendat maupun maju-mundur karena setiap korban
memiliki proses pemulihan yang berbeda-beda. Proses pemulihan yang dialami korban dapat
berubah dari yang sebagaimana direncanakan bergantung pada keputusan korban serta
kebutuhannya.81
Berubahnya proses pemulihan korban tak lepas dari tahapan proses pemulihan
trauma yang dialami korban kekerasan seksual. Terdapat lima fase proses pemulihan korban
menurut Kubler-Ross yaitu fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance.82
Fase denial merupakan fase awal yang dialami korban kekerasan seksual dengan adanya
penolakan. Fase ini korban memiliki perasaan yang tidak percaya bahwa dirinya mengalami
kekerasan seksual. Solusi pada fase ini adalah dengan membuat lingkungan korban aman
dan nyaman. Fase yang kedua adalah anger disaat korban menyadari bahwa denial tidak
dapat untuk dipertahankan. Kemarahan yang timbul sebagai akibat korban mempertanyakan
mengapa dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Pada fase ini solusi yang dapat
diberikan kepada korban adalah dengan remembrance and mourning dengan

81
Azriana Dewi, Yuri Cahyani Dewi, Nova Wahyuni, et. al., “13 Pertanyaan Kunci tentang Pemulihan
Makna Luas”, https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/PP2_13%20Perta
nyaan%20Kunci%20Tentang%20Pemulihan%20Makna%20Luas.pdf , diakses 26 Juni 2021.
82
R. Kotulak, “Scientists measure 5 stages of grief: Most people’s Anguish eases after six months;
Others might need treatment, study finds”,
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PROD&fmt=3&s, diakses pada 26 Juni
2021.

31

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


memperkenankan korban untuk menceritakan segala kejadian yang dialami korban serta
meluapkan segala kesedihannya. Dengan korban menceritakan kesedihan pengalamannya
maka selanjutnya korban diarahkan untuk bisa mengelola perasaan-perasaan negatif
tersebut. Fase ketiga yaitu bargaining ketika korban kekerasan seksual mulai
mengembangkan pikiran-pikiran yang positif sebagai bentuk pertahanan diri yaitu dengan
berharap trauma yang dialaminya akan hilang dengan sendirinya. Fase keempat depression
yaitu fase korban menjadi pendiam dengan sering merenung. Tanda-tanda tersebut dapat
terlihat dengan korban cenderung menolak untuk bersosial dengan orang lain. Fase kelima
acceptance yaitu korban mulai mengembangkan rasa damai dan menerima takdir. Fase ini
korban mulai melakukan hal-hal yang positif sehingga perasaan sakit pada fisik akan
menghilang. Bentuk pemulihan yang tepat yaitu reconnection dengan tujuan memberi
makna baru setelah mengembangkan kepercayaan yang salah akibat kekerasan seksual.
Tahapan yang begitu panjang dalam proses pemulihan trauma korban kekerasan
seksual merupakan bukanlah hal yang mudah. Kemampuan korban dalam menghadapi
situasi yang dialaminya berbeda-beda sehingga mempengaruhi proses cepat lambat maupun
kemajuan pemulihan. Tidak hanya dari segi pemulihan psikis, namun, pemulihan korban
juga dibutuhkan secara lintas sektor mengingat dampak yang dirasakan korban tidak hanya
psikis saja. Semisal dengan membutuhkan pertolongan medis dengan kekerasan seksual
berdampak pada kesehatan fisik korban, konseling, bimbingan secara rohani, resosialisasi,
pemberdayaan ekonomi, serta perlindungan dari adanya stigma, ancaman, maupun dari
perlakuan diskriminasi.

J. Kekerasan Berbasis Gender Online


Berdasarkan terminologi istilah, Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merujuk pada
definisi kekerasan berbasis gender oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk
Pengungsi (UNHCR), yang mendefinisikan KBG sebagai kekerasan langsung pada
seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan
bahaya atau penderitaan secara fisik, mental, atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut,
paksaan, dan penghapusan kemerdekaan.83
Di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, luasnya jangkauan
internet, dan populernya penggunaan media sosial mendorong kita untuk terlibat di
dalamnya. Perkembangan dunia digital selain dapat memberikan manfaat bagi manusia, juga
83
UNHCR, “Gender-Based Violence”, https://www.unhcr.org/gender-based-violence.html, diakses 30
Juni 2021.

32

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan Kekerasan
Berbasis Gender Online (KBGO). Selama Pandemi Covid-19 kita semakin banyak terlibat
dalam dunia digital, sehingga meningkat terjadinya KGBO. Mengutip dari Yayasan Plan
Indonesia, yang di dalamnya mengusung tema freedom online dalam laporan yang
melibatkan lebih dari 14 ribu anak dan remaja perempuan dari 31 negara. Sebanyak 50
persen dari partisipan mengaku lebih banyak menghadapi pelecehan online dibandingkan
offline. Kasus KBGO ditemukan di berbagai platform media sosial yang populer. Sebanyak
39 persen dari KBGO terjadi di Facebook dan 23% terjadi di Instagram.84
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan terjadi peningkatan angka kasus
menjadi 35 kasus senada dengan meningkatnya laporan pengaduan langsung ke Komnas
Perempuan tentang kasus KBGO di tahun 2019 meningkat 300% dari 97 kasus menjadi 281
kasus dan total kasus KBGO sepanjang Januari-Mei 2020 tercatat adalah 354 kasus, jumlah
ini sudah lebih banyak dari total laporan pada Tahun 2019. KBGO tersebut meningkat
dalam tiga tahun terakhir yang berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto/video
dengan konten pornografi, serta tidak adanya payung hukum yang berperspektif korban
sehingga korban rentan dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE dan UU Pornografi.85
Menurut catatan SAFENet, Sepanjang 2017, setidaknya ada 8 bentuk kekerasan
berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk
memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking),
konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman
distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online
defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).86 Adapun salah satu bentuk lainnya
ialah penyebaran konten intim tanpa konsen (non-consensual dissemination of intimate
content).87
Kemudian, Internet Governance Forum juga memaparkan bahwa kekerasan berbasis
gender online mencakup spektrum perilaku, termasuk penguntitan, pengintimidasian,
pelecehan seksual, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan eksploitasi. KBGO juga
dapat masuk ke dunia offline, di mana korban atau penyintas mengalami kombinasi

84
Raisha Fatya, “State of the World’s Girls Report: Free to be Online?”, https://plan-
international.or.id/state-of-the-worlds-girls-report-free-to-be-online/, diakses pada 30 Juni 2021.
85
Komnas Perempuan, Kekerasan Meningkat : Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk
Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), hlm 2.
86
SAFENet, “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online”,
https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf, diakses 30 Juni 2021.
87
Henry, N., dan Powell, A, “Sexual Violence in the Digital Age: The Scope and Limits of Criminal
Law”, Social & Legal studies, 25(4).

33

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


penyiksaan fisik, seksual, dan psikologis, baik secara online maupun langsung di dunia
nyata saat offline.88

88
Ibid.

34

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


BAB III
DATA HASIL TEMUAN

A. Analisis Temuan dalam Kampus Universitas Indonesia Berdasarkan Laporan yang


Diterima oleh HopeHelps UI Periode 2020-2021
a. Jumlah Laporan
1. Sepanjang Mei 2020- Juni 2021 terdapat 31 (tiga puluh satu) laporan kasus kekerasan
seksual yang diterima oleh Bidang Advokasi HopeHelps UI Periode Kepengurusan
Tahun 2020. Dari jumlah 31 laporan kekerasan seksual yang masuk, mayoritas
berasal dari fakultas yang ada di Universitas Indonesia. Namun, terdapat 1 (satu)
laporan yang tidak termasuk ke dalam ruang lingkup layanan HopeHelps UI karena
pelaku dan/atau korban bukan anggota sivitas akademika Universitas Indonesia,
melainkan masyarakat umum yang tidak berada di wilayah Universitas Indonesia
dan/atau bukan bagian dari sivitas dan alumni Universitas Indonesia), adapun
kemudian laporan tersebut kami alihkan kepada profesional pada yurisdiksinya
masing-masing.
2. Adapun dalam hal pendampingan, terdapat sebanyak 3 (tiga) kasus tambahan yang
pendampingannya dilanjutkan dari HopeHelps kepengurusan periode tahun 2019-
2020 karena pendampingan masih korban butuhkan.
3. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jumlah laporan Kekerasan Seksual
dalam lingkup sivitas akademika Universitas Indonesia yang diterima dan
didampingi oleh Bidang Advokasi HopeHelps UI selama periode kepengurusan
Tahun 2020 hingga 2021 adalah sebanyak 30 (tiga puluh) laporan. Angka tersebut
digunakan sebagai populasi data laporan untuk penjelasan-penjelasan di bawah ini;

Termasuk dalam ruang lingkup


HopeHelps sebanyak 30 kasus

Tidak termasuk dalam ruang


lingkup HopeHelps sebanyak 1
kasus

35

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


b. Status Pelaku

Teman aplikasi
kencan
7% Pacar
7%
Pihak asing
7%
Atasan Teman
3% 40%

Mantan pacar
36%

Berdasarkan status pelaku terhadap korban, sebanyak 12 (dua belas) orang


merupakan teman dari korban; 11 (sebelas orang) merupakan mantan pacar koban; 2 (dua)
orang merupakan pacar korban; 1 (satu) orang merupakan boss/atasan korban di kampus; 2
(dua) orang merupakan pihak asing yang tidak dikenali oleh korban; dan 2 (dua) orang
lainnya merupakan teman aplikasi kencan online yang korban temui melalui aplikasi kencan
(dating apps).

Berada dalam ruang lingkup pertemanan tidak menyebabkan seseorang pasti berada
di ruang aman, kemungkinan untuk menjadi korban kekerasan seksual tetap ada.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh HopeHelps UI 2020 mayoritas status pelaku berasal
dari lingkup pertemanan korban baik di lingkungan Universitas Indonesia maupun
institusi/lembaga pendidikan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa sering kali kasus kekerasan
seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, orang yang tidak diduga oleh korban.

36

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


c. Mekanisme Pelaporan

Jemput bola
7%

Melalui kanal
pelaporan
HopeHelps UI
93%

HopeHelps UI memiliki kanal pelaporan berupa surat elektronik (email) dan hotline
melalui WhatsApp, dalam beberapa kasus HopeHelps UI juga melakukan jemput bola, yakni
upaya yang dilakukan HopeHelps UI untuk menjangkau korban melalui sosial media.
Berdasarkan sebanyak 30 (tiga puluh) laporan kasus kekerasan seksual yang diterima oleh
HopeHelps UI dari bulan Juni 2020 sampai bulan Mei 2021, terdapat sebanyak 28 (dua
puluh delapan) kasus di mana korban dan/atau pelapor langsung melaporkan melalui kanal
pelaporan HopeHelps UI, adapun terdapat sebanyak 2 (dua) kasus kekerasan seksual di
mana HopeHelps UI jemput bola melalui akun sosial media korban; kedua korban
menceritakan ceritanya melalui akun sosial media pribadi mereka, kemudian HopeHelps UI
menawarkan bentuk-bentuk pendampingan yang sekiranya korban butuhkan atau inginkan,
lalu kedua korban menginginkan adanya pendampingan dari HopeHelps UI. Adapun 28 (dua
puluh delapan) kasus lainnya dilaporkan oleh korban dan/atau pihak ketiga yang telah
mendapatkan persetujuan korban dan/atau berdasarkan keinginan korban untuk melapor.

37

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


d. Pihak yang Melaporkan

Pihak kampus
3%
Teman korban
Limpahan dari
14%
HopeHelps local
chapter lain
3%

Korban
80%

Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima dan didampingi oleh HopeHelps UI
pada periode bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, tidak seluruhnya dilaporkan langsung oleh
korban, terdapat beberapa kasus yang dilaporkan oleh pihak lain di antaranya ialah;
1) Teman korban sebanyak 4 (empat) kasus;
2) Pihak kampus yang mendapatkan laporan dan persetujuan dari korban sebanyak 1
(satu) kasus;
3) Limpahan dari HopeHelps local chapter lain menyesuaikan dengan ruang lingkup
HopeHelps sebanyak 1 (satu) kasus; dan
4) Korban sendiri sebanyak 24 (dua puluh empat) kasus.

Adapun beberapa alasan mengapa dalam beberapa laporan korban tidak melaporkan
sendiri ialah dikarenakan sebagai berikut; (1) korban merasa malu dan takut untuk melapor
dan ingin mengetahui terlebih dahulu tindakan apa yang dapat dilakukan untuk
menindaklanjuti laporan mereka; dan (2) korban tidak atau belum ingin identitasnya diketahui
oleh pihak lain selain pihak yang melaporkan.

38

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


e. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Percobaan
Perkosaan perkosaan
13% 6%

Perbudakan
Kekerasan
seksual
Berbasis Gender
6%
Online
36%
Pelecehan seksual
39%

Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima oleh HopeHelps UI pada periode
bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, mengacu pada 15 bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
didefinisikan oleh Komnas Perempuan, temuan kami ialah sebagai berikut;
1) Perkosaan sebanyak 4 (empat) kasus;
2) Percobaan perkosaan sebanyak 2 (dua) kasus;
3) Perbudakan seksual sebanyak 2 (dua) kasus;
4) Pelecehan seksual sebanyak 11 (sebelas) kasus, yang kami bagi menjadi dua
yakni pelecehan seksual fisik sebanyak sepuluh 9 (sembilan) kasus, dan
pelecehan seksual verbal sebanyak dua (2) kasus; dan
5) Kekerasan seksual yang dilakukan dalam jaringan (Kekerasan Berbasis Gender
Online) sebanyak 11 (sebelas) kasus, dengan angka sebagai berikut;
a) Pelecehan online (cyber harassment): 4 (empat) kasus;
b) Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution content): 5
(lima) kasus;
c) Pemerasan seksual (sex tortion): 1 (satu) kasus;

39

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


d) Penyebaran konten intim tanpa konsen (non-consensual dissemination of
intimate things) sebanyak 1 (satu) kasus;

Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online


Penyebaran konten
intim tanpa konsen
(non-consensual
dissemination of
intimate things)
9%

Pemerasan seksual
(sex tortion)
9% Pelecehan online
(cyber harassment)
36%
Ancaman distribusi
foto/video pribadi
(malicious
distribution
content)
46%

Kasus-kasus yang dilaporkan seringkali tidak berdiri sendiri, pada beberapa laporan
atas kasus di atas, satu bentuk kekerasan seksual sering kali diikuti dengan bentuk-bentuk
kekerasan seksual lainnya. Selain itu, dari angka di atas dapat terlihat bahwa kasus terbanyak
yang dilaporkan ialah KBGO sebanyak 11 (sebelas) kasus dan pelecehan seksual fisik yakni
sebanyak 11 (sebelas) kasus. Fenomena meningkatnya kasus KBGO sangat terlihat pada masa
pandemi; tidak bertatap muka langsung tidak menurunkan angka kekerasan seksual tetapi
hanya memindahkan tempat terjadinya kekerasan seksual. Perlu dicatat pula bahwa kasus
kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, di mana angka yang tercatat belum tentu
sepenuhnya merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. Terdapat korban-korban yang
mungkin hingga kini tidak memilih untuk melaporkan kasusnya dikarenakan beberapa hal
seperti tidak tahu harus melapor kemana, khawatir akan disalahkan atas kekerasan seksual
yang menimpanya, ragu karena takut dikecewakan oleh pihak yang berwenang.

40

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


f. Bentuk Pendampingan Yang Dibutuhkan Korban
Pendampingan
psikologis
7%

Belum dapat
diidentifikasi Pendampingan
23% lain-lain
17%
Pendampingan
psikologis dan
hukum
10% Pendampingan
psikologis dan
lain-lain
43%

Berdasarkan 30 (tiga puluh) kasus yang diterima oleh HopeHelps UI pada periode
bulan Juni 2020 hingga Mei 2021, setelah korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang
terjadi pada mereka, terdapat beberapa bentuk pendampingan yang kemudian dibutuhkan
korban. Adapun perlu diketahui bahwa bentuk-bentuk pendampingan yang dilakukan oleh
HopeHelps UI seringkali berjalan beriringan sehingga tidak hanya terjadi satu jenis
pendampingan saja, bentuk-bentuk pendampingan itu ialah sebagai berikut;
1) Pendampingan psikologis sebanyak 2 (dua) kasus;
2) Pendampingan lain-lain sebanyak 5 (lima) kasus;
3) Pendampingan psikologis dan pendampingan lain-lain sebanyak 13 (tiga belas) kasus;
4) Pendampingan psikologis dan pendampingan hukum sebanyak 3 (tiga) kasus;
5) Belum dapat diidentifikasi sebanyak 7 (tujuh) kasus.
Terdapat beberapa alasan untuk kasus-kasus yang belum dapat diidentifikasi yakni;
(1) korban hanya ingin menceritakan kasus kekerasan seksual yang terjadi padanya; (2)
Korban masih belum yakin untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang terjadi
padanya; dan/atau (3) Korban merasa kondisi psikisnya belum stabil.

41

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


g. Gender Korban dan Pelaku

Gender Korban
Laki-laki
3%

Perempuan
97%

Gender Pelaku
Perempuan
3%

Laki-laki
97%

Dalam masyarakat, terhadap stigma sosial bahwa kekerasan seksual hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan bukan sebaliknya. Namun pada faktanya,

42

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


kekerasan seksual juga dapat dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Pada tahun
2020-2021, HopeHelps UI menerima 30 (tiga puluh) laporan kekerasan seksual dimana 29
(dua puluh sembilan) dari kasus yang dilaporkan merupakan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Sementara, 1 (satu) kasus di antaranya
merupakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.

Berdasarkan data laporan kasus kekerasan seksual yang diterima, mayoritas dari
pelaku kekerasan seksual merupakan laki-laki. Ketika memahami konsep relasi gender dan
relasi kuasa, fakta dari data yang telah diperoleh juga merupakan sesuatu yang tidak luput
dari hal tersebut. Masyarakat yang patriarkis cenderung untuk menempatkan perempuan
dalam posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki sehingga menciptakan ketimpangan relasi
dalam suatu hubungan atau yang juga dikenal dengan relasi kuasa. Manifestasi relasi kuasa
dalam suatu hubungan dapat terjadi dimana satu pihak dipandang sebagai objek seksual
semata dan bukan sebagai seseorang yang memiliki kedudukan sejajar dalam hubungan.
Objektifikasi seksual ini sering kali, dan dalam banyak kasus yang telah diterima oleh
HopeHelps UI, diterima oleh pihak perempuan dalam konteks hubungan heteroseksual.

Objektifikasi seksual inilah yang mengakibatkan pihak pelaku untuk melihat korban
sebagai objek seksual dan memanfaatkan korban dengan tidak menghiraukan persetujuan
atau consent korban terhadap aktivitas seksual yang dilakukan baik terhadap pelaku, dengan
pelaku, atau terhadap korban. Dalam kasus yang telah dilaporkan, tidak jarang juga bahwa
pelaku melakukan manipulasi dan kekerasan psikologis terhadap korban sehingga mereka
tidak bisa memberikan persetujuan. Manipulasi dan kekerasan psikologis ini sering kali
tidak luput dari penggunaan relasi kuasa oleh pelaku terhadap korban, sehingga korban
merasa bahwa aktivitas seksual tersebut adalah sesuatu yang dihutangkan atau diharapkan
dari korban dan bukan sesuatu yang diinginkan oleh korban.

Kendati demikian, data yang telah diperoleh bukan berarti menunjukan bahwa
kekerasan seksual tidak rentan untuk terjadi terhadap laki-laki baik dengan pelaku
perempuan maupun laki-laki. Sedikitnya laporan yang diterima mengenai kekerasan seksual
terhadap laki-laki oleh pelaku perempuan atau laki-laki dapat menandakan bahwa korban
laki-laki tidak sadar tindak yang dilakukan terhadapnya merupakan tindak kekerasan seksual
atau terdapat kesulitan oleh korban laki-laki untuk menerima bahwa Ia merupakan korban
kekerasan seksual. Hal ini juga seringkali berhubungan dengan stigma masyarakat bahwa
laki-laki harus menjadi sosok yang kuat dan tidak boleh mengekspresikan sisi emosionalnya.

43

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Sehingga, untuk melaporkan kasus sebagai korban kekerasan seksual dapat juga
mempengaruhi kondisi mental korban terutama dengan penilaian dan victim blaming dari
masyarakat.

Berdasarkan data yang telah dielaborasi, ditemukan bahwa mayoritas dari korban
kekerasan seksual merupakan perempuan yang menguatkan temuan bahwa terdapat
hubungan antara relasi gender serta relasi kuasa dengan kekerasan seksual dan kenyataan
bahwa relasi gender dan relasi kuasa merupakan suatu hal yang dapat terjadi dalam
hubungan. Relasi tersebut dalam konteks kekerasan seksual dapat dimanifestasikan dengan
objektifikasi seksual, manipulasi, dan kekerasan psikologis. Meskipun demikian, laki-laki
juga dapat menjadi korban kekerasan seksual dan begitu juga dengan perempuan yang dapat
menjadi pelaku dari kekerasan seksual. Akhir kata, semua orang dengan identitas dan
ekspresi gender apapun bisa menjadi korban kekerasan seksual dengan isu-isu interseksional
yang kemudian melekat pada masing-masing kasus.

h. Tempat Terjadinya Kekerasan Seksual

Berdasarkan Media Terjadinya Kasus

Tidak dapat
diidentifikasi
7%

Daring
36%

Luring
57%

44

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Berdasarkan Wilayah Kejadian Untuk Kasus yang Terjadi Langsung (Luring)

Dalam kampus UI
35%

Luar Kampus
65%

Tempat Kejadian di Luar Kampus UI

Mobil
6% Rumah
Restoran 17%
11%
Bioskop
5%

Indekos
61%

45

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Tempat Kejadian di Dalam Kampus UI

Kantin Jalan
17% 16%

Kelas
17%

Ruang kampus
50%

Berdasarkan 30 (tiga puluh) laporan yang telah diterima, ditemukan bahwa kasus
kekerasan seksual berikut terjadi secara;

1) Langsung atau luar jaringan (luring) sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, yang kemudian
kami bagi menjadi dua yakni;
a) terjadi di dalam kampus UI, sebanyak 6 (enam) kasus yang terjadi di jalan
sebanyak 1 (satu) kasus, ruangan di kampus sebanyak 3 (tiga) kasus, ruang kelas
sebanyak 1 (satu kasus), dan kantin sebanyak 1 (satu) kasus; dan
b) terjadi di luar kampus UI, sebanyak 11 kasus yang terjadi di rumah korban atau
pelaku sebanyak 3 (tiga) kasus, indekos sebanyak 4 (empat) kasus, bioskop
sebanyak 1 (satu) kasus, restoran sebanyak 2 (dua) kasus, dan mobil sebanyak 1
(satu) kasus;
2) Dalam jaringan atau online, sebanyak 11 (sebelas) kasus; dan
3) 2 (dua) kasus dari kasus yang dilaporkan tidak teridentifikasi jenis kejadiannya.

Dalam pandemi COVID-19 yang terjadi selama 2020-2021, ditemukan bahwa


terdapat kenaikan kasus kekerasan seksual secara daring dari laporan yang telah diterima.
Dengan dilaksanakannya kuliah secara daring, aktivitas kampus pun menurun dan kegiatan

46

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


yang selama ini berjalan secara luring dialihkan dengan aktivitas daring. Dalam laporan
kekerasan seksual yang telah diterima, banyak tindak kekerasan seksual secara daring
dilakukan melalui media sosial, group chat, personal chat, serta medium daring dimana
pelaku memanfaatkan teknologi untuk melakukan beberapa jenis Kekerasan Berbasis
Gender Online sebagaimana yang disebutkan di sub-bab “Bentuk-Bentuk Kekerasan”
Seksual di atas pada bab ini.

Ditemukan bahwa melalui media seperti chat messenger, terdapat normalisasi


pengobjektifikasian korban melalui group chat yang memuat sekumpulan pelaku. Selain itu,
melalui personal chat, sering kali pelaku mengancam korban dengan menggunakan foto
seksual korban baik yang sebelumnya diambil secara non-konsensual atau konsensual untuk
penyimpanan pribadi. Tentu saja hal ini menjadi masalah sebagaimana batas konsen yang
diberikan oleh korban hanya sebatas untuk penyimpanan pribadi dan bukan disebarluaskan
di ruang publik di mana korban tidak memiliki kontrol akan siapa saja yang memiliki foto
tersebut. Hal ini menandakan bahwa dengan maraknya aktivitas secara daring dan kenaikan
kasus kekerasan seksual secara daring, pengembang dari aplikasi digital harus turut berperan
aktif untuk menciptakan penemuan teknologi yang dapat mencegah pelaku untuk
memanfaatkan fitur yang dapat merugikan orang lain dalam konteks kekerasan seksual.

Adapun untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di luar jaringan dalam
kampus, hal ini menunjukan bahwa infrastruktur kampus juga merupakan unsur yang
penting untuk mendukung keamanan sitivas dalam beraktivitas dan suatu upaya dari kampus
untuk bebas dari kekerasan seksual. Teknologi seperti kamera pengaman, dan lampu
penerangan yang memadai perlu disediaakan oleh pihak kampus. Dalam kasus kekerasan
seksual yang terjadi dalam lingkup tempat kerja, pelatihan mengenai kekerasan seksual
perlu diadakan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual sendiri.

Data yang telah diperoleh terkait KBGO ini juga memiliki kaitan yang erat dengan
adanya pandemi COVID-19. Dengan berkurangnya aktivitas di dalam ruang publik,
ditemukan bahwa banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam ruang privat seperti
indekos, dan bahkan dalam rumah. Dalam kasus, ditemukan juga bahwa pelaku memiliki
relasi sebagai pasangan atau teman dekat dari korban sendiri. Seringkali kasus kekerasan
seksual yang terjadi diketahui oleh penghuni sekitar indekos, rumah, maupun ruang privat.
Namun banyak dari penghuni yang mengetahui tidak melakukan tindakan apa-apa mengenai

47

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


hal tersebut sebagaimana diobservasi dari keadaan sosial bahwa hal tersebut dianggap tabu
untuk mencampuri urusan orang lain, bahkan dalam konteks kasus kekerasan seksual.

Berdasarkan ini, diketahui bahwa pandemi COVID-19 memiliki banyak keterkaitan


dengan data yang telah diperoleh. Sebagaimana aktivitas daring menjadi marak, terdapat
juga banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah daring. Hal ini menjadi
kekhawatiran tersendiri sebagaimana teknologi yang makin berkembang dapat dimanfaatkan
oleh pelaku untuk melakukan kekerasan seksual berupa intimidasi dengan menggunakan
foto seksual korban. Tidak hanya secara daring, ranah privat seperti indekos, rumah, atau
kamar juga menjadi tempat kejadian kekerasan seksual. Dengan adanya pandemi COVID-
19, terdapat juga banyak korban yang tidak bisa untuk pergi dan terpaksa untuk berada
didalam ruang yang tertutup bersama pelaku.

B. Mekanisme Pelaporan di Kampus UI


Penanganan kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia dapat dilakukan
setelah dilakukannya pelaporan terhadap kasus yang terjadi. Akan tetapi, masih banyak
sivitas akademika UI yang belum mengetahui cara melaporkan kasus kekerasan seksual di
kampus. Hal ini diketahui dari hasil survei BEM FH UI pada tahun 2018 yang mencatat
bahwa 79% dari 177 responden tidak mengetahui mekanisme pelaporan kasus kekerasan
seksual di UI.89
Regulasi terkait kekerasan seksual di UI memang belum memiliki ketentuan yang
komprehensif terkait bentuk kekerasan seksual, sehingga mekanisme pelaporan pelanggaran
di UI pun belum ada yang secara memfasilitasi laporan kekerasan seksual secara khusus.
Pada saat ini, terdapat 3 (tiga) mekanisme pelaporan kekerasan seksual yang dapat diakses
di UI. Pertama, melalui Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran UI (“SIPDUGA UI”).
SIPDUGA UI atau bisa disebut sebagai Whistle Blowing System UI merupakan mekanisme
pelaporan tindakan atau perbuatan yang diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku
Universitas Indonesia dan/atau peraturan internal dan/atau peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh Warga UI.90 Melalui SIPDUGA UI, setiap warga Universitas
Indonesia, yang mana meliputi sivitas akademika, tenaga kependidikan, dan anggota MWA,

89
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait Kekerasan
Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia”.
90
Universitas Indonesia, “Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran UI”,
https://www.ui.ac.id/sipduga.html diakses pada 26 Juni 2021.

48

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


dapat dilaporkan atas pelanggaran peraturan internal UI dan/atau peraturan perundang-
undangan. Mekanisme ini didasarkan pada Peraturan Rektor No. 28 Tahun 2018, yang
menyebutkan “pelecehan seksual atau asusila” sebagai salah satu jenis pelanggaran dari
peraturan internal UI.91
Kedua, melalui mekanisme Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (“P3T2”).
P3T2 ini dapat diadakan setelah diterimanya laporan tentang pelanggaran tata tertib dalam
kehidupan kampus Universitas Indonesia. Berangkat dari Pasal 8 Ketetapan MWA No.
008/SK/MWA-UI/2004 yang menyatakan bahwa, “Warga UI dilarang melakukan tindak
asusila dan pelecehan seksual,” kekerasan seksual pun menjadi salah satu tindakan yang
melanggar Tata Tertib Kehidupan Kampus UI.92 Kemudian, peraturan mengenai kekerasan
seksual juga dicantumkan sebagai bagian dari Tindakan Asusila dalam Buku Panduan
Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan Keselamatan Kerja dan
Lingkungan untuk Warga UI yang menjadi handbook bagi Subdit Pembinaan Lingkungan
Kampus (“PLK”) UI. Apabila terjadi tindakan asusila dalam lingkup kampus UI, maka
pelaku akan dibawa ke Subdit PLK untuk dilakukan pendataan identitas dan kedua orang
tuanya akan dihubungi. Jika pelaku merupakan warga UI, maka akan dilaporkan melalui
P3T2 kampus UI juga.93
Kampus UI sejauh ini telah memiliki SOP untuk penanganan kasus kekerasan seksual.
Pada tahun 2019 silam, Dr. Lidwina Inge, S.H., M.Si dari Fakultas Hukum UI dan Dr. LG
Saraswati Putri, M.Hum dari Fakultas Ilmu Budaya UI berhasil menyusun buku SOP
Penanganan Kekerasan Seksual di kampus UI karena absennya SOP khusus yang
menyulitkan advokasi dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. SOP
ini mengatur perlindungan dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual di UI serta
penanganan bagi pelaku.94
Ketiga, yaitu melalui Pelaporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Kode Etik.
Mekanisme pelaporan ini didasarkan pada Peraturan Rektor No. 14 Tahun 2019 tentang
Kode Etik dan Kode Perilaku Universitas Indonesia. Dalam peraturan tersebut dinyatakan

91
Rektor Universitas Indonesia, Peraturan Rektor tentang Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran,
Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun 2018, Ps. 4 ayat (4).
92
Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia, Ketetapan MWA UI tentang Perubahan Ketetapan MWA
Universitas Indonesia No. 005/SK/MWA-UI/2004 tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus Universitas
Indonesia, TAP MWA UI No. 008/SK/MWA-UI/2004, Ps. 8.
93
Universitas Indonesia, Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan
Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas Indonesia (UI), (Depok: 2014), hlm. 39.
94
Universitas Indonesia, “UI Kini Punya SOP untuk Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di
Lingkungan Kampus”, https://www.ui.ac.id/ui-kini-punya-buku-sop-penanganan-kekerasan-seksual-di-
lingkungan-kampus/, diakses 29 Juni 2021.

49

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


bahwa dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku dapat dilaporkan melalui SIPDUGA
untuk tingkat universitas, ataupun Dewan Guru Besar Fakultas (“DGBF”) pada tingkat
fakultas.95 DGBF akan menangani Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku
oleh Sivitas Akademika di tingkat fakultas dengan berpanduan pada Pedoman Penyelesaian
Dugaan Terjadinya Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku UI. Apabila DGBF tidak
dapat menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran di lingkungan fakultas masing-masing,
maka kemudian DGBF dan/atau Dekan akan meneruskan dugaan pelanggaran tersebut
kepada Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (“DGB UI”) dan/atau Rektor. Terkait
kekerasan seksual sendiri termasuk ke dalam pelanggaran Kode Etik sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 Peraturan Rektor No. 14 Tahun 2019, bahwa, “Warga UI harus menjunjung
norma kesusilaan dan sopan santun serta tidak melakukan pelecehan, perundungan dan/atau
pelecehan seksual.”96 Selain itu, peraturan terkait kekerasan seksual juga disebutkan dalam
Kode Perilaku, baik Kode Perilaku yang berlaku bagi Dosen Guru Besar dan Non Guru
Besar, mahasiswa, Rektor, serta perangkat Rektor.

C. Problematika dan Quo Vadis Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus UI


Hingga saat ini, mekanisme pelaporan kekerasan seksual di UI masih berlandaskan pada
regulasi pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh Warga UI. Regulasi yang menjadi
dasar dari penyelesaian kasus kekerasan seksual bersifat umum dan tidak memiliki
ketentuan khusus berkenaan dengan pendampingan korban kekerasan seksual.
Mekanismenya pun sekadar dibedakan dengan tingkat jalur pelaporannya, yaitu melalui
fakultas atau universitas.
Dengan mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang demikian, terdapat
beberapa permasalahan yang menyebabkan hak-hak korban dan/atau penyintas kekerasan
seksual tidak terpenuhi. Permasalahannya bahkan dimulai dari suatu hal yang fundamental,
yaitu penggunaan istilah “tindakan asusila” dan “pelecehan seksual” pada Pasal 4 ayat (4)
Peraturan Rektor No. 028 Tahun 2018 dan Pasal 8 Ketetapan MWA No. 008/SK/MWA-
UI/2004. Terminologi “tindakan asusila” pada peraturan tersebut kemudian diperjelas pada
Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan Keselamatan
Kerja dan Lingkungan untuk Warga UI, yaitu, “perbuatan atau tingkah laku yang

95
Rektor Universitas Indonesia, Peraturan Rektor tentang Kode Etik dan Kode Perilaku, Peraturan
Rektor No. 14 Tahun 2019, Ps. 25.
96
Ibid., Ps. 16.

50

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang berlaku di masyarakat.”97
Permasalahan dari penggunaan terminologi ini adalah timbulnya risiko korban kekerasan
seksual justru disalahkan (victim-blaming) dan dianggap melanggar tata tertib atas tindakan
asusila, sebab kekerasan seksual berpotensi dianggap sebagai persoalan pelanggaran
moralitas semata. Selain itu, penggunaan istilah “pelecehan seksual” juga tidak dapat
mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual dengan komprehensif, sebab pelecehan
seksual hanyalah salah satu dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
Selain itu, menurut Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta
Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan untuk Warga UI, “mahasiswa UI yang
melakukan zina akan diproses melalui mekanisme P3T2 dan pelaku zina dari luar kampus
akan diserahkan kepada orang tua pelaku dan/atau diserahkan kepada pihak kepolisian.”
Penggunaan istilah “zina” pada mekanisme ini dapat menyebabkan miskonsepsi terhadap
hakikat dari kekerasan seksual yang merupakan kejahatan yang melanggar integritas tubuh
dan seksualitas seseorang. Seperti istilah “tindakan asusila”, terminologi “zina” juga dapat
menimbulkan ancaman bagi korban akan terjadinya victim-blaming karena anggapan bahwa
korban turut terlibat dalam perbuatan zina. Maka dari itu, penggunaan istilah-istilah
tersebut seharusnya diganti dengan definisi “kekerasan seksual” yang semestinya, yaitu,

“setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya


terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa,
bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi
kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau politik.”98

Kemudian, pada sistem pelaporan pelanggaran tata tertib ataupun Kode Etik dan Kode
Perilaku di UI pada saat ini masih belum ada yang memiliki ketentuan khusus berkenaan
dengan korban kekerasan seksual. Pada kasus kekerasan seksual, diperlukan adanya
pengaturan yang berperspektif korban dan peka akan relasi kuasa antara pelaku dengan
korban. Terdapat hak-hak korban yang perlu dipenuhi, yaitu hak atas penanganan, hak
atas perlindungan, dan hak atas pemulihan.99 Pemenuhan hak atas penanganan dalam

97
Universitas Indonesia, Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta Kesehatan
Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas Indonesia (UI), (Depok: Universitas Indonesia,
2014), hlm. 39.
98
Lihat Pasal 1 Huruf 1 RUU PKS.
99
Lihat Pasal 22 RUU PKS.

51

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


kekerasan seksual di kampus dapat diwujudkan dengan adanya alur yang tegas dan
transparansi dari tim penyelesaian kasus, misalnya dalam bentuk tenggat waktu dalam
pelaksanaan pemeriksaan dan keputusan pelanggaran. Hal ini sayangnya belum dipenuhi
oleh mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual di UI, sehingga tidak ada restriksi
mengenai tenggat waktu yang harus ditaati oleh tim penyelesaian kasus. Padahal, dengan
adanya pengaturan tentang tenggat waktu, proses penyelesaian kasus, baik dalam proses
administratif, pemeriksaan, perumusan kesimpulan, maupun pemutusan sanksi, dapat
terlaksana dalam linimasa yang pasti dan hak atas penanganan kasus pun dapat terjamin
pemenuhannya.
Selanjutnya, hak atas perlindungan korban perlu dipenuhi dengan ketentuan mengenai
prosedur pemeriksaan yang melindungi identitas korban. Diperlukan kerahasiaan
terhadap identitas dan keterangan korban, sehingga proses pemeriksaan dapat terlaksana
tanpa adanya intimidasi ataupun ancaman terhadap korban dari pihak manapun.
Perlindungan terhadap korban juga dapat diberikan dengan ketentuan adanya pemisahan
ruang dan waktu dengan pelaku ketika korban memberikan keterangan, ataupun dengan
diperbolehkannya kehadiran pendamping korban. Jika pemeriksaan terhadap keterangan
korban dilakukan bersamaan dengan pelaku, maka korban dapat merasa terintimidasi dan
tidak nyaman. Selain itu, korban kekerasan seksual juga rentan akan trauma akibat
tindakan yang terjadi padanya, sehingga peran pendamping bagi korban dalam
memberikan keterangan pun menjadi penting. Pemenuhan hak atas perlindungan ini
belum diakomodir secara tertulis dalam regulasi tentang kekerasan seksual di kampus UI,
meskipun pada Buku Saku Standar Operasional Prosedur (SOP) Kekerasan Seksual di
Kampus UI telah disebutkan mengenai kehadiran pendamping korban dalam menghadiri
rapat dan sebagainya.100
Terakhir adalah diperlukannya ada pengaturan tentang layanan pemulihan psikologis
bagi korban kekerasan seksual sebagai bentuk pemenuhan hak atas pemulihan korban.
Kekerasan seksual memiliki dampak psikologis yang cukup berat dan dapat berlangsung
dalam jangka waktu lama, yakni dapat berupa depresi, fobia, mimpi buruk, gangguan
kecemasan, post-traumatic stress disorder (PTSD), hingga dorongan bunuh diri.101
Korban kekerasan seksual memang rentan untuk mengalami trauma dan gangguan

100
Lidwina Inge dan Saraswati Putri, Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan
Seksual di Lingkungan Kampus, (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Budaya, 2019).
101
Sulistyaningsih, E., & Faturochman (2002), “Dampak sosial psikologis perkosaan,” Buletin
Psikologi, Tahun X, No. 1, (Juni 2002), 9-23.

52

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


psikologis akibat kekerasan seksual yang terjadi, maka itu pihak Universitas seharusnya
dapat memahami dan berupaya menyediakan layanan konseling psikologis yang
berkelanjutan dan bebas biaya untuk korban. Layanan konseling ini sebaiknya
dilaksanakan dengan perspektif keadilan gender dan non-diskriminatif, sehingga tercipta
ruang aman yang dapat membantu proses pemulihan korban. Maka dari itu, secara umum
diperlukan suatu produk regulasi dan unit pelayanan yang dapat melindungi korban
kekerasan seksual.

Beberapa Kebijakan dan Unit Pelayanan Terpadu Yang Sudah Berjalan


Salah satu bentuk diwujudkannya peraturan terkait kekerasan seksual di kampus ialah
dicetuskannya Title IX di kampus-kampus Amerika Serikat. Title IX adalah salah satu
klausul dalam Federal Education Amendments Tahun 1972 di Amerika Serikat yang
melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin dalam program dan kegiatan pendidikan.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa tidak seorang pun di Amerika Serikat atas dasar jenis
kelamin, dikecualikan dari partisipasi dalam, menyangkal manfaat dari, atau menjadi sasaran
diskriminasi di bawah program atau aktivitas pendidikan apa pun.102
Di Indonesia sendiri, salah satu universitas yang memiliki peraturan terkait kekerasan
seksual dalam kampus ialah Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) No. 1
Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang secara
umum mengatur mengenai pencegahan, pelayanan bagi korban kekerasan seksual, dan
penanganan pelaku kekerasan seksual. Kemudian, sebagai bentuk tindak lanjut dari adanya
peraturan rektor tersebut, UGM juga membentuk unit layanan terpadu yang mengurus hal-
hal berkaitan dengan upaya pencegahan dan penanganan setiap kasus kekerasan seksual.
Apabila ada pelaporan maka tim dari unit layanan terpadu ini akan melakukan
pendampingan dan konseling terhadap korban. Sementara pelaku akan mendapat sanksi dari
tim etik baik di tingkat fakultas maupun universitas.103
Selain itu, terdapat pula Crisis center. Crisis center merupakan layanan pelaporan dan
bantuan untuk korban kekerasan seksual yang beroperasi selama 24 jam. Di beberapa
universitas di dunia, konsep crisis center ini sudah dilaksanakan untuk menerima laporan
dan melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual, salah satunya adalah

102
Amerika Serikat, Education Amendments Act of 1972, 20 U.S.C. §§1681 - 1688 (2018).
103
UGM, “UGM Bentuk Unit Layanan Terpadu Tangani Kasus Kekerasan Seksual”,
https://ugm.ac.id/id/berita/20613-ugm-bentuk-unit-layanan-terpadu-tangani-kasus-kekerasan-seksual, diakses
29 Juni 2021.

53

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Harvard dengan lembaga khususnya terkait penyelesaian permasalahan kekerasan seksual
bernama Office of Sexual Assault Prevention & Response (OSAPR).104 OSAPR memiliki
layanan hotline 24 jam, konsultasi pelaporan, layanan media, layanan kesehatan mental,
serta pendampingan legal dan medis.105 Terdapat pula crisis center di Indiana University
Bloomington yang menyediakan konsultasi untuk pelaporan korban kekerasan seksual,
konseling psikologis baik perorangan maupun kelompok, serta pendampingan untuk
pelayanan medis.106 Bahkan pada bulan Februari 2020 lalu, diresmikan Fisipol Crisis Center
(FCC) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang dilatarbelakangi
oleh penanganan kasus kekerasan seksual di berbagai kampus di Indonesia yang dinilai
lamban, tidak memihak korban, dan kerap tidak terselesaikan dengan baik.107
Crisis center pada universitas-universitas di atas merupakan pengada layanan kekerasan
seksual yang diselenggarakan secara resmi oleh universitas ataupun fakultas dengan
mekanisme yang jelas dan mudah diakses. Crisis center kekerasan seksual di kampus tentu
membawa perubahan yang bermanfaat bagi korban kekerasan seksual, bukan hanya dalam
melaksanakan fungsi penanganan, melainkan juga dalam menjalankan fungsi pencegahan
dan edukasi tentang kekerasan seksual.108 Dengan demikian, diperlukan hadirnya crisis
center dalam lingkup Universitas Indonesia untuk menjadi layanan pelaporan kasus
kekerasan seksual di kampus yang dapat memberikan ruang aman serta pendampingan
dengan perspektif korban.

104
Harvard University, “Office of Sexual Assault Prevention and Response”,
https://gsas.harvard.edu/student-life/harvard-resources/office-sexual-assault-prevention-and-
response#:~:text=Office%20of%20Sexual%20Assault%20Prevention%20and%20Response,justice%20for%20t
he%20Harvard%20community., diakses pada 27 Juni 2021.
105
Ibid.
106
Indiana University Bloomington, Student Health Center: Sexual Assault Crisis Service,
https://healthcenter.indiana.edu/counseling/sexual-assault/index.html, diakses pada 27 Juni 2001.
107
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, “Launching Fisipol Crisis Center:
Upaya Mewujudkan Ruang Aman Bebas Kekerasan Seksual,” Fisipol UGM, https://fisipol.ugm.ac.id/launching-
fisipol-crisis-center-upaya-mewujudkan-ruang-aman-bebas-kekerasan-seksual/ diakses pada 27 Juni 2021.
108
Campbell, dkk., “Preventing the “second rape:” Rape survivors’ experiences with community service
provides,” Journal of Interpersonal Violence, No. 16, (2001), 1239-1259.

54

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


BAB IV

REKOMENDASI UMUM

Dengan melihat banyaknya dampak, kerugian, serta hak yang korban kekerasan seksual
dalam kampus rasakan menunjukan pula urgensi adanya penanganan serta dukungan tergas dari
kampus untuk memberantas kasus kekerasan seksual dalam kampus. Dalam melihat
penanganan untuk kasus kekerasan seksual dalam kampus, Diane L. Rosenfeld menyampaikan
bahwa terdapat setidaknya tiga hal yang harus menjadi kewajiban bagi kampus dalam
menangani kasus kekerasan seksual yakni pencegahan, penanggapan, dan resolusi. Adapun
ketiga kewajiban ini beliau gambarkan sebagai kursi berkaki tiga, dimana jika satu kaki hilang
maka keseluruhan kursi tersebut tidak dapat berdiri tegak, maka dari itu masing-masing
komponen tersebut harus dipenuhi oleh kampus untuk dapat melakukan penanganan kasus
kekerasan seksual dengan baik di kampus. Untuk dapat merealisasikan kebijakan tersebut,
dibutuhkan sebuah peraturan yang pertama-tama dapat mengatur dilaksanakannya kebijakan
tersebut.109
Mengacu pada teori kursi berkaki tiga yang disampaikan Diane L. Rosenfeld dan juga
beberapa peraturan dan unit pelayanan yang sudah berjalan, serta mempertimbangkan hasil data
temuan HopeHelps UI pada bulan Juni 2020 sampai Mei 2021, kami melihat adanya urgensi
bagi Universitas Indonesia untuk melakukan beberapa hal yakni sebagai berikut;
1) Pencegahan:
1. Adanya peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual yang secara umum meliputi program pencegahan dan
pencerdasan, pelaporan, pendampingan dan pelayanan bagi korban kekerasan seksual
(psikologis, medis, dan bantuan hukum), mekanisme penanganan kasus, serta sanksi
tegas bagi seluruh sivitas akademika UI yang menjadi pelaku kekerasan seksual tanpa
terkecuali.
2. Melaksanakan program edukasi untuk seluruh sivitas akademika UI terkait kekerasan
berbasis gender, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh sivitas akademika UI apabila
menjadi korban kekerasan seksual dan/atau mengetahui suatu kejadian kekerasan

109
Diane L. Rosenfeld, "Uncomfortable Conversations: Confronting the Reality of Target Rape on
Campus", Harvard Law Review Forum, Vol. 128 No. 359, hlm. 361.

55

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


seksual, dan menginformasikan terkait kanal pelaporan dan unit pelayanan yang dapat
menjamin perlindungan dan rasa aman bagi korban kekerasan seksual.
3. Membuat peraturan dan lingkungan yang tegas dan tidak permisif dari segala bentuk
kekerasan berbasis gender.
4. Mendukung dan merangkul seluruh sivitas akademika UI yang turut mengadakan
edukasi terkait isu kekerasan seksual.
5. Melakukan sosialisasi bagi seluruh pemangku jabatan di tingkat fakultas dan universitas
terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban.

2) Penanggapan
1. Membentuk sebuah bentuk unit pelayanan terpadu yang dapat menyediakan kanal
pelaporan dan pendampingan serta pelayanan terpadu bagi korban kekerasan seksual di
lingkungan kampus yang meliputi pendampingan psikologis, medis, dan hukum.
2. Memastikan bahwa unit pelayanan terpadu dijalankan oleh orang-orang yang memiliki
komitmen tinggi dan perspektif serta pengetahuan yang baik terkait kasus kekerasan
seksual.
3. Memastikan bahwa selama pemeriksaan korban bebas dari segala bentuk ancaman
dan/atau intimidasi, serta tidak berada di satu forum bersama pelaku.
4. Dalam memproses laporan kasus kekerasan seksual, korban harus selalu mendapatkan
pendampingan dan pelayanan, serta dapat dipastikan keselamatan serta kerahasiaan
identitasnya.
5. Mengatur adanya jangka waktu dan linimasa pemeriksaan laporan kasus kekerasan
seksual agar tidak ada kasus yang kemudian tidak mendapatkan respons dan korban
mendapatkan kejelasan terkait laporan yang diajukannya.
6. Memastikan bahwa selama proses pemeriksaan korban tidak dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan victim-blaming dan memastikan bahwa seluruh pihak yang
terlibat dalam proses kasus memiliki perspektif kekerasan seksual yang baik.

3) Resolusi
1. Korban bersama dengan pendamping dilibatkan dalam seluruh tindakan yang akan
dilakukan oleh pihak kampus atas kasus yang ia laporkan.
2. Adanya sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan kekerasan seksual.

56

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


3. Adanya mekanisme dan pihak universitas dan fakultas yang memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwa sanksi yang dijatuhkan akan diimplementasikan.
4. Adanya tenggat waktu pemutusan sanksi bagi pelaku.

Rekomendasi Tambahan:
a. HopeHelps UI merasa adanya urgensi bagi Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengikat perguruan
tinggi untuk berkomitmen dalam melakukan pencegahan dan penanganan untuk kasus
kekerasan seksual;
b. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

57

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


BAB V
KESIMPULAN

Pada kurun waktu Juni 2020 sampai Mei 2021, HopeHelps UI menerima sebanyak 30
laporan kasus kekerasan seksual sesuai dengan ruang lingkup HopeHelps. Angka tersebut
mengalami penurunan dari tahun lalu yakni terdapat sebanyak 39 laporan yang berada dalam
ruang lingkup HopeHelps UI sepanjang Maret 2019 – Mei 2020. Namun, banyaknya kasus
yang dilaporkan dan tercatat tersebut tidak serta-merta menggambarkan realita sivitas
akademika kampus terkait kasus kekerasan seksual. Masih banyak penyintas dan/atau
korban kekerasan seksual yang tidak atau belum ingin melaporkan kasusnya karena berbagai
alasan, seperti tidak tahu harus lapor kemana, malu dan takut untuk melaporkan karena
khawatir akan dipersalahkan, mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang membuat
korban menjadi enggan untuk melaporkan kasusnya, mengetahui tidak adanya peraturan
yang dapat melindungi mereka, atau bahkan sudah melaporkan kasus nya namun tidak
mendapatkan tanggapan apa-apa atau bahkan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
justru menyalahkan korban. Maka dari itu, kekerasan seksual sering disebut sebagai
fenomena gunung es, karena apa yang terlihat dan tercatat di permukaan tidak sepenuhnya
merepresentasikan apa yang sebenarnya terjadi.
Adapun selama masa Pandemi COVID-19 sejak tahun 2020 hingga kini, berdasarkan
temuan kami terdapat peningkatan angka yang cukup besar pada kasus Kekerasan Berbasis
Gender Online (KBGO). Hal ini memperlihatkan bahwa adanya pembatasan interaksi
langsung tidak sama sekali mencegah kasus kekerasan seksual terjadi, melainkan hanya
berpindah tempat yakni ke dunia siber. Fenomena ini kami gambarkan sebagai munculnya
anomie dalam dunia siber dimana para penggunanya seringkali merasa bisa sembunyi
dengan anonimitasnya, dan bertindak selayaknya tidak ada aturan. Sayangnya, sejauh ini
korban KBGO masih sulit untuk mendapatkan perlindungan, bahkan sangat berpotensi
untuk dikriminalisasi. Berdasarkan data temuan kami, kasus KBGO mengalami peningkatan
dari tahun lalu di mana kasus yang kami terima adalah sebanyak 2 (dua) kasus.
Perlu dicatat pula bahwa kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki unsur
relasi kuasa yang sangat tinggi, di mana ada ketimpangan posisi antara lapisan sivitas
akademika yang sering kali mempersulit korban kekerasan seksual saat ingin menempuh
pemulihan dan keadilan. Bahkan tidak jarang juga korban justru ikut mendapatkan sanksi
atau dikriminalisasi atas kekerasan seksual yang terjadi padanya. Maka dari itu, kampus

58

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya dapat menciptakan tempat yang aman bagi
seluruh sivitas akademikanya.
Kampus memiliki kewajiban untuk melakukan pencerdasan bagi sivitas akademika
terkait kekerasan seksual, menjamin hak-hak atas keadilan dan perlindungan bagi seluruh
sivitas akademika, dan menindak tegas pelaku kekerasan seksual dengan membuat peraturan
internal kampus yang komprhensif mengatur kekerasan seksual dan menghapuskan
lingkungan yang permisif dan menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan seksual,
dimana seluruh sivitas akademika diberikan edukasi sebagai bentuk pencerdasan, terdapat
penanganan bagi korban kekerasan seksual yang disertai pendampingan dan pelayanan
untuk pemulihan korban, serta sanksi yang tegas bagi seluruh pelaku kekerasan seksual.

59

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


GLOSARIUM

CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of


Discrimination Against Women
COVID-19 CoronaVirus Disease 2019
DGBF Dewan Guru Besar Fakultas
DGB UI Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
DPA Dukungan Psikologis Awal
HAM Hak Asasi Manusia
HH UI HopeHelps Universitas Indonesia
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Immunodeficiency Syndrome
IMS Infeksi Menular Seksual
IPB Institut Pertanian Bogor
ITB Institut Teknologi Bandung
KBG Kekerasan Berbasis Gender
KBGO Kekerasan Berbasis Gender Online
KRPA Koalisi Ruang Publik Aman
LBH Lembaga Bantuan Hukum
LBH APIK Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan
MaPPI FH UI Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
MWA UI Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
OSAPR Office of Sexual Assault Prevention & Response
P3T2 Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib kehidupan
kampus Universitas Indonesia
Peraturan Rektor No. 14 Tahun 2019 Peraturan Rektor No. 14 Tahun 2019 tentang Kode Etik
dan Kode Perilaku di UI
Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun 2018 tentang Sistem
2018 Pelaporan Dugaan Pelanggaran
PFA Psychological First Aid
PLK Pembinaan Lingkungan Kampus

60

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


PTSD Post Traumatic Stress Disorder
RiTA HH UI Ringkasan Tahunan HopeHelps
Universitas Indonesia
RUU PKS Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual
SAFENet Southeast Asia Freedom of Expression Network
SIPDUGA UI Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran Universitas
Indonesia
SOP Standar Operasional Prosedur
TAP MWA UI Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
TAP MWA UI No. 008/SK/MWA- No. 008/SK/MWA-UI/2004 tentang Perubahan
UI/2004: Ketetapan Majelis Wali Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas
Amanat Universitas Indonesia Indonesia No. 005/SK/MWA-UI/2004 tentang
Tata Tertib Kehidupan Kampus Universitas
Indonesia (TAP MWA UI 008/2004)
UB Universitas Brawijaya
UGM Universitas Gadjah Mada
UI Universitas Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
UNAIR Universitas Airlangga
UNDIP Universitas Diponegoro
UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees
(Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk
Pengungsi)
UNNES Universitas Negeri Semarang
UNPAR Universitas Katolik Parahyangan
UNUD Universitas Udayana
UU ITE Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

61

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Australian Red Cross. Psychological First Aid: Supporting people affected by disaster in
Australia. Melbourne: Australian Psychological Society, 2020.

De Beauvoir, Simone. The Second Sex (Le Deuxième Sexe). Diterjemahkan oleh Constance
Borde dan Sheila Malovany-Chevallier. New York: Vintage Books, 2011.

Inge, Lidwina dan Saraswati Putri. Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus
Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas
Ilmu Budaya, 2019.

Irsan, Koesparmono. Hak Asasi Manusia Dikaitkan dengan Penegakan Hukum. Bandung:
Alumni, 2000.

Johnson, Allan. The Gender Knot: Unraveling our Patriarchy Legacy. Temple: University
Press: 1997.

Linder, Chris. Sexual Violence on Campus Power-conscious Approaches to Awareness,


Prevention, and Response. Bingley: Emerald Publishing Limited, 2018.
.

Komnas Perempuan. Kekerasan Meningkat : Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual


Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan. Jakarta:
Komnas Perempuan, 2020.

Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan. Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta: Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2017.

Richmond-Abbott, Marie. Masculine and Feminine: Gender Roles Over The Life Cycle.
United States of America: Mc-Graw-Hill, 1992.

Silvestri, Marisa dan ChrisCrowther-Dowey. Gender and Crime: Key Approaches to


Criminology. London, California, New Delhi, and Singapore: Sage Publications
2008.

Straus MA., Baron L. Rape and its relation to social disorganization, pornography and
inequality in the USA. USA: Med Law, 1989.

62

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Ryan, William. Blaming The Victim. New York: Knopf Doubleday Publishing Group,
1976.

Universitas Indonesia. Buku Panduan Teknis Ketertiban, Keamanan, Kenyamanan, serta


Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan Untuk Warga Universitas
Indonesia (UI). Depok: Universitas Indonesia, 2014.

II. Peraturan Perundang-Undangan


Indonesia. Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. UU No. 16 Tahun 2011. LN. No.
104 Tahun 2011, TLN. No. 5248.

Indonesia. Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara


Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma No. 03 Tahun 2017.

Amerika Serikat. Education Amendments Act of 1972, 20 U.S.C. §§1681 - 1688 (2018).

Rektor Universitas Indonesia. Peraturan Rektor tentang Sistem Pelaporan Dugaan


Pelanggaran. Peraturan Rektor UI No. 028 Tahun 2018.

Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia. Ketetapan MWA UI tentang Perubahan


Ketetapan MWA Universitas Indonesia No. 005/SK/MWA-UI/2004 tentang Tata
Tertib Kehidupan Kampus Universitas Indonesia. TAP MWA UI No.
008/SK/MWA-UI/2004.

III. Dokumen Internasional

United Nations. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against


Women, New York, 19 December 1979. United Nations Treaty Series. Vol. 1249.

World Health Organization. World report on violence and health. Geneva, 2012.

63

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


IV. Jurnal Ilmiah

A. Chivers-Wilson, Kaitlin. “Sexual assault and posttraumatic stress disorder: A review of


the biological and sociological factors and treatments”. McGill Journal of Medicine
9 (2) (Juli 2006),

Agus Setiawan, I Putu dan I Wayan Novy Purwanto. “Faktor Penyebab dan Upaya
Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga
(Incest) (Studi di Polda Bali).” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4
(2019).

Campbell, Rebecca, Et. Al. “The Physical Health Consequences of Rape”. Women’s
Studies Quarterly (2003).

Campbell. Et. Al. “Preventing the “second rape:” Rape survivors’ experiences with
community service provides,” Journal of Interpersonal Violence, No. 16, (2001).

Sulistyaningsih dan Faturochman (2002). “Dampak sosial psikologis perkosaan.” Buletin


Psikologi, Tahun X, No. 1, (Juni 2002).

Fairchild and Rudman. “Everyday Stranger Harassment and Women’s Objectification”.


Soc Just Rest.

Fried, Eiko. I dan Randolph M. Nesse. “The Impact of Individual Depressive Symptoms
on Impairment of Psychosocial Functioning”. PLoS ONE 9 (2) (Februari 2014),

Halley, Jannet. “Trading the Megaphone for the Gavel in Title IX Enforcement”. 128
Harv. L. Rev. F. 103 (2015).

Freyd, Jennifer. “Institutional Betrayal and Institutional Courage,”


https://dynamic.uoregon.edu/jjf/institutionalbetrayal/. Diakses pada 25 Juni 2021.

Johnson, Tina. “Gender Based Violence”, Journal of The Commonwealth Magistrates’


and Judges’ Association 15. (Februari 2004).

64

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Rosenfeld, Diane. "Uncomfortable Conversations: Confronting the Reality of Target Rape
on Campus", Harvard Law Review Forum. Vol. 128 No. 359

Lacey, HB. “Sexually transmitted disease and rape: the experience of a sexual assault
centre”. International Journal of STD & AIDS (1990).

M. Loya, Rebecca. “Rape as an Economic Crime: The Impact of Sexual Violence on


Survivors’ Employment and Economic Well-Being”. Journal of Interpersonal
Violence 30 (2014).

N., Henry dan Powell, A. "Sexual Violence in the Digital Age: The Scope and Limits of
Criminal Law." Social and Legal Studies, 25 (4).

P. Johnson, Michael. “Conflict and Control Gender Symmetry and Asymmetry in


Domestic Violence,” Violence Against Women 12 Number 11 (November 2006).

Rahmanirwana Fushshilat, Sonza dan Nurliana Cipta Apsari,.“Sistem Sosial Patriarki


Sebagai Akar Dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.” Prosiding Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 7, No. 1. (2020).

Resick, Patricia A. “The Psychological Impact of Rape”, Journal of Interpersonal Violence


(Juni 1993).

Sulistyaningsih, Ekandari dan Faturochman. “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan”.


Buletin Psikologi 1 (Juni 2002)

Susantyo, Badrun. “Lingkungan dan Perilaku Agresif Individu,” Sosio Informa [Online],
Vol. 3 No. 1 (2017).

V. Makalah
BEM FH UI 2018, “Laporan BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2018 Terkait
Kekerasan Seksual Dalam Kampus Universitas Indonesia” diterbitkan di Diskusi

65

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Publik “Perguruan Tinggi dan Darurat Kekerasan Seksual” pada Kamis 11 April
2019 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

HopeHelps Universitas Indonesia. “Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2020: Esa Hilang


Dua Terbilang”, diterbitkan di Diskusi Publik “Ringkasan Tahuna HopeHelps UI
2020” pada Sabtu 4 Juli 2020 di Universitas Indonesia.

VI. Internet

Admin. “Mendudukkan Kembali Hakikat Tubuh dana Kebebasan: Merefleksi Makna


Pergantian,” https://bacalatansa.com/mendudukkan-kembali-hakikat-tubuh-dan-
kebebasan-merefleksi-makna-pergantian. Diakses 18 Juni 2021.

Adam, Aulia. “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dan-budaya-perkosaan-dalam-menara-gading-kampus-
cNq8

Alaidrus, Fadiyah. “Relasi Kuasa dalam Kasus Pelecehan Seksual di BPJS TK,”
https://tirto.id/relasi-kuasa-dalam-kasus-pelecehan-seksual-di-bpjs-tk-dcLa

Asmarani, Devi, “93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei”,
https://magdalene.co/news-871-93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-
yang-dialami-survei.html. Diakses 25 Juni 2021.

Damarjati, Danu. "Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan
Pakaian," https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-
relasi-pelecehan-seksual-dengan-pakaian

Denby, Natalie. “The Sexual Assault Epidemic Is Real”,


https://www.huffingtonpost.com/entry/yes-the-sexual-assault-epidemic-
isreal_us_57be7905e4b06384eb3e4ae0. Diakses 25 Juni 2021.

Dewi, Azriana, Yuri Cahyani Dewi, Nova Wahyuni, et. al., “13 Pertanyaan Kunci tentang
Pemulihan Makna Luas”,
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/PP
2_13%20Pertanyaan%20Kunci%20Tentang%20Pemulihan%20Makna%20Luas.pd
f. Diakses 26 Juni 2021.s

66

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. “Launching Fisipol Crisis
Center: Upaya Mewujudkan Ruang Aman Bebas Kekerasan Seksual.” Fisipol
UGM, https://fisipol.ugm.ac.id/launching-fisipol-crisis-center-upaya-mewujudkan-
ruang-aman-bebas-kekerasan-seksual/ diakses pada 27 Juni 2021

Fatya, Faisha “State of the World’s Girls Report: Free to be Online?”, https://plan-
international.or.id/state-of-the-worlds-girls-report-free-to-be-online/. Dsiakses pada
30 Juni 2021.

Gan, Eveline. “The ‘second wave of trauma’: Why victim-blaming happens in sexual
assault cases and its implications.” https://www.todayonline.com/singapore/second-
wave-trauma-why-victim-blaming-happens-sexual-assault-cases-and-its-
implications

Hamdi, Imam. “Korban Pelecehan Seksual Takut Lapor, Komnas Perempuan: Relasi
Kuasa,” https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-
lapor-komnas-perempuan-relasi-kuasa/full&view=ok

Harvard University. “Office of Sexual Assault Prevention and Response”,


https://gsas.harvard.edu/student-life/harvard-resources/office-sexual-assault-
prevention-and-
response#:~:text=Office%20of%20Sexual%20Assault%20Prevention%20and%2
0Response,justice%20for%20the%20Harvard%20community. Diakses pada 27
Juni 2021.

Indiana University Bloomington. “Student Health Center: Sexual Assault Crisis Service,
https://healthcenter.indiana.edu/counseling/sexual-assault/index.html. Diakses
pada 27 Juni 2001.

Inside Southern, “Rape Culture, Victim Blaming, and The Facts,”


https://inside.southernct.edu/sexual-misconduct/facts

MaPPI FH UI, “Diskusi Publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual,”
http://mappifhui.org/2016/10/26/diskusi-publik-mengungkap-relasi-kuasa-dalam-
kejahatan-seksual/

Nathaniel, Felix. “Aktivis Kritik Polisi Kerap Tidak Lindungi Korban Kekerasan Seksual”,
https://tirto.id/aktivis-kritik-polisi-kerap-tidak-lindungi-korban-kekerasan-seksual-
darK. Diakses pada 9 Juni 2021

NSVRC. “What Is Healthy Sexuality And Consent”,


https://www.nsvrc.org/sites/default/files/saam_2015_what-is-healthy-sexuality-and-
consent.pdf. Diakses 18 Juni 2021.

Planned Parenthood Federation. “Sexual https://www.plannedparenthood.org/learn/sex-


and-relationships/sexual-consent. Diakses 18 Juni 2021.

67

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


Positive Women’s Network. “Bodily Autonomy: A Framework to Guide Our Future,”
https://www.pwn-usa.org/bodily-autonomy-framework/. Diakses 18 Juni 2021.
Rutgers Office for Violence Prevention and Victim Assistance. “Why does sexual violence
occur?,” http://vpva.rutgers.edu/sexual-violence/why-does-sexual-violence-occur/

Raya Waruwu, Riki Perdana. “Menyelami Frasa ‘Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual’
Oleh: Riki Perdana Raya Waruwu*).”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d59f78ee5f04/menyelami-frasa-
relasi-kuasa-dalam-kekerasan-seksual-oleh--riki-perdana-raya-waruwu/

Riki, Abu dan Siti Hannah Alaydrus, “Rape Culture: Di Balik Pemakluman Kekerasan
Seksual,” https://suakaonline.com/rape-culture-di-balik-pemakluman-kekerasan-
seksual/

Qodar, Nasfiyul. “Mahasiswi W Baca Surat Curhat Pelecehan Sitok untuk Menko Luhut,”
https://www.liputan6.com/news/read/2341469/mahasiswi-rw-baca-surat-curhat-
pelecehan-sitok-untuk-menko-luhut. Diakses 25 Juni 2021.

Redaksi. “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan,”


https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-
perkosaan/. Diakses 25 Juni 2021

SAFENet. “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online”,


https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf
Diakses 30 Juni 2021.

Sulistyawati. “Kecanduan Pornografi Jadikan Anak Pelaku Kekerasan Seksual,”


https://www.republika.co.id/berita/pxb6vq282/kecanduan-pornografi-jadikan-anak-
pelaku-kekerasan-seksual

Susanti, Emy. “Perempuan, Relasi Kuasa, dan Keadilan Gender.”


https://www.jawapos.com/opini/01/07/2017/perempuan-relasi-kuasa-dan-sosiologi-
gender. Diakses 29 Juni 2021.

Josse, Evelyn. “They came with two guns’: the consequences of sexual violence for the
mental health of women in armed conflicts”
https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/irrc-877-josse.pdf, Diakses pada 25 Juni
2021.

Komnas Perempuan. “15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan”,


https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Ke

68

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021


kerasan%20Seksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf. Diakses
13 Mei 2020.

Kotulak, R. “Scientists measure 5 stages of grief: Most people’s Anguish eases after six
months; Others might need treatment, study
finds”.http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PR
OD&fmt=3&s. Diakses pada 26 Juni 2021.

UGM. “UGM Bentuk Unit Layanan Terpadu Tangani Kasus Kekerasan Seksual”,
https://ugm.ac.id/id/berita/20613-ugm-bentuk-unit-layanan-terpadu-tangani-kasus-
kekerasan-seksual. Diakses 29 Juni 2021.

Ulfa Nur Zuhra, Wan. “Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 24
Kota” https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-
kota-dmTW. Diakses pada 25 Juni 2021.

UNHCR. “Gender-Based Violence”. https://www.unhcr.org/gender-based-violence.html. Diakses 30 Juni


2021.s

Universitas Indonesia. “Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran UI”.


https://www.ui.ac.id/sipduga.html. Diakses pada 26 Juni 2021.

Universitas Indonesia. “UI Kini Punya SOP untuk Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
di Lingkungan Kampus”. https://www.ui.ac.id/ui-kini-punya-buku-sop-
penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus/. Diakses 29 Juni 2021.

Yayasan Pulih. “Memahami Kekerasan Berbasis Gender”,


http://yayasanpulih.org/2021/02/memahami-kekerasan-berbasis-gender/. Diakses
18 Juni 2021.

Yusuf, Iwan Awaluddin. “Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan #MeToo di
Indonesia.” https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-
gerakan-metoo-di-indonesia-107455

69

Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2021

Anda mungkin juga menyukai