Anda di halaman 1dari 29

CEGAH AUTISME

DENGAN PEMENUHAN NUTRISI IBU YANG CUKUP

A. Autisme
1. Definisi Autisme

Istilah Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri

dan “Isme” yang berarti suatu aliran. Autisme atau Autism Spectrum

Disorder (ASD) merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang

secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik

anak. Secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai

dengan distorsi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti

perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan

motorik (Pittet et al., 2022). Gejala autisme biasanya sudah tampak

sebelum anak berusia 3 tahun, yaitu antara lain dengan tidak adanya

kontak mata dan tidak menunjukkan respons terhadap lingkungan. Jika

tidak segera dilakukan terapi, setelah usia 3 tahun perkembangan anak

terhenti bahkan cenderung mundur, seperti tidak mengenal orang tuanya

dan tidak mengenal namanya(Robain et al., 2021).

Autisme hingga saat ini belum jelas penyebabnya. Dari berbagai

penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti

penyebab autisme. Pada sekitar 10-30% anak autisme yang hanya dapat

diidentifikasi faktor penyebabnya. Salah satu dari penyebab autisme

adalah berkaitan dengan kondisi metabolis, infeksi virus atau bakteri,

ataupun sebab genetis (Zurita et al., 2020). Penelitian Medical Research

Council pada tahun 2001 di Inggris menyatakan bahwa makanan yang

dikonsumsi dapat menjadi penyebab sekaligus mengontrol gejala autisme

(Pittet et al., 2022).


2. Gangguan Pencernaan pada Anak Autisme

a. Pertumbuhan jamur yang berlebihan

Penyebab primer terjadinya gangguan metabolisme pada ASD

adalah lemahnya sistem imun. Adanya gangguan imunologi akibat

genetic deficiency immune system menyebabkan seorang anak dengan

ASD mudah tertular penyakit, sehingga dokter seringkali memberinya

antibiotika. Pemberian antibiotika yang terlalu sering menyebabkan

terbunuhnya lactobacillus di usus, akibatnya terjadilah yeast

overgrowth di saluran pencernaan. Bentuk mycelium dan

chlamydospore dari jamur candida albicans bisa melakukan invasi ke

dalam jaringan, sedangkan bentuk yeast biasanya berkelompok dalam

crypta intestin sehingga sulit dideteksi (Alkhalidy et al., 2021).

Jamur dan yeast ini menempel pada dinding usus sambil

mengeluarkan toxin, yaitu gliotoxins dan immunotoxins lainnya, yaitu

mannan yang dapat melemahkan sistem imunitas tubuh (Mathew et

al., 2022). Akhirnya terjadi lagi reinfeksi dan diberi lagi antibiotika

yang akan membunuh bakteri komensal dalam usus, terjadilah vicious

cycle. Yeast juga memproduksi suatu enzim seperti phospholipase

(phospholipid breakdown) dan protease (protein breakdown). Enzim

ini dapat merusak mukosa usus sehingga timbul lubang-lubang kecil

di mukosa usus, ditambah dengan adanya hiperpermeabilitas dinding

usus maka terjadilah leaky gut syndrome (Robain et al., 2021).

Penyandang autisme rentan terhadap infeksi, seperti infeksi

telinga tengah, radang tenggorokan, diare, dan lain-lain. Untuk


mengatasi pertumbuhan jamur yang berlebihan harus dicegah

pemakaian antibiotik yang berlebihan, menghindari makanan yang

membuat pertumbuhan jamur bertambah subur (misalnya gula, ragi),

dan menjaga keseimbangan flora normal usus (Kassee et al., 2020)

b. Gangguan fungsi enzim

Berbagai penelitian telah mendapatkan hasil bahwa sistem

enzim sulfotransferase tidak berfungsi dengan baik pada penyandang

autisme. Hal ini mempengaruhi metabolisme secara luas. Anak

dengan defisiensi enzim ini tidak dapat memetabolisme makanan dan

zat kimia yang mengandung fenol (pewarna) dan amin (apel, jeruk,

asam sitrat, parasetamol, coklat) dengan sempurna. Phenol sulfur

transferase berperan penting dalam memecah hormon, komponen

beberapa makanan, dan zat toksik dalam tubuh. Bila terjadi defisiensi

enzim ini tubuh tidak dapat mendetoksifikasi zat toksik tersebut

(Baraskewich et al., 2021; Zurita et al., 2020)

Terganggunya fungsi enzim ini dapat menyebabkan kebocoran

dinding usus (leaky gut) sehingga menyebabkan produksi enzym

pencernaan dari pankreas juga dihambat sehingga molekul-molekul

peptida (gluten dan casein) tidak dicerna dengan sempurna (Kittana et

al., 2023). Gluten dan casein adalah asam amino rantai pendek atau

disebut juga peptida, yang dalam keadaan normal hanya diabsorpsi

sedikit dan sebagian besar akan dibuang, tapi karena adanya

kebocoran usus dan hiperpermeabilitas mukosa usus maka peptida ini

akan diabsorpsi, masuk ke dalam sirkulasi darah menimbulkan reaksi

alergi (food allergy). Bila peptida ini menembus blood brain barrier
dan masuk ke otak maka peptida akan menempel pada reseptor opioid

di otak dan berubah fungsinya sebagai morphin (Bölte et al., 2019; M.

Esposito et al., 2023). Peptida dari gluten akan berubah menjadi

gluteomorphin atau gliadinomorphin, sedangkan peptida dari casein

menjadi caseomorphin. Peptida yang menempel pada reseptor opioid

di lobus temporal otak menyebabkan gangguan pendengaran dan

bahasa. Zat-zat tersebut juga dapat mempengaruhi fungsi susunan

syaraf pusat sehingga timbul gangguan perilaku (Keller et al., 2021).

c. Teori peningkatan opioid (opioid excess theory)

Tahun 1980 sejumlah peneliti melihat adanya kemiripan antara

efek opioid terhadap perilaku binatang dengan gejala pada

penyandang autisme. Ada juga teori yang mengatakan bahwa pada

penyandang autisme terdapat peningkatan kadar opioid di dalam otak

yaitu beta endorphins yang disebut dengan runner’s high (Kazek

et al., 2021) Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar

bahan serupa endorphin di dalam cairan likuor serebrospinalis pada

beberapa penyandang autisme, terutama yang tahan terhadap rangsang

sakit dan menunjukkan perilaku melukai diri sendiri (Budhiman,

2002). Beberapa penelitian mendukung hipotesis bahwa autisme

merupakan hasil kerja peptida yang mempengaruhi neurotransmiter di

susunan saraf pusat. Peptida (caseomorphin dan gluteomorphin) yang

ikut dalam peredaran darah dapat menembus sawar darah otak dan

menduduki reseptor opioid, menyebabkan sistem saraf pusat

terganggu, seperti fungsi persepsi, kognitif, emosi, tingkah laku, dan

lain-lain. Adanya opioid juga mempengaruhi sistem imun penyandang


autisme. Pada anak normal kadar peptida di usus sangat rendah dan

yang mencapai susunan saraf pusat juga sangat rendah, sehingga

efeknya dapat diabaikan (Levie et al., 2020; Weir, Allison, Warrier, et

al., 2021; Zhu et al., 2021)

Beberapa cara untuk mengatasi hal tersebut di atas dapat

dilakukan dengan pengobatan anti opioid yaitu naltrexon. Pemberian

obat tersebut dapat mengurangi gejala gangguan sistem saraf pusat,

hanya saja obat ini rasanya sangat pahit sehingga sering dimuntahkan

oleh anak-anak. Cara lain yang tidak kalah penting adalah dengan

melakukan diet bebas kasein dan gluten pada anak (Vuillier et al.,

2020).

Hasil penelitian Reichelt, Knvisberg dan Waring menyebutkan

bahwa autisme kemungkinan besar disebabkan oleh kerusakan system

transmisi neuron dalam sistem susunan saraf pusat, sebagai akibat

adanya aktifitas peptide opioid yang berlebihan. Kerusakan sistem

transmisi neuron ini akan mengganggu sistem integrasi sensoris

seperti pusat perception (persepsi), emotion (amosi), mood (suasana

hati), dan behaviour (perilaku). Peptida opioid ini berasal dari

pemecahan yang tidak sempurna dari zat gizi dan makanan tertentu,

terutama gluten dan kasein (Robain et al., 2021).

3. Gangguan Gizi Anak Autis

Beberapa gangguan gizi yang sering ditemukan pada penyandang

autisme adalah sebagai berikut :

a. Kekurangan seng yang ditemui hampir 90% pada anak autisme. Seng

antara lain diperlukan untuk perkembangan sistem imun yang


sempurna (Im, 2021).

b. Kekurangan kalsium dan magnesium. Kalsium bermanfaat untuk

pembentukan tulang dan gigi sedangkan magnesium berfungsi sebagai

katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolise (Dreiling et al.,

2022).

c. Kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, antioksidan dan

vitamin lain hampir terlihat pada semua anak autisme (Taylor et al.,

2023).

d. Hampir 90% anak autisme kelebihan zat tembaga (cooper). Zat

tembaga yang belebihan dapat berperan sebagai prooksidan yang dapat

meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel, terutama pada sel

otak (Lundin et al., 2022)

Konsekuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak,

sistem imun, dan saluran cerna anak autisme. Pengaturan makanan sesuai

dengan kondisi anak sangat membantu memperbaiki keadaan kurang gizi .

Anak autis umumnya kekurangan zinc, vitamin B6, GLA (Asam Gamma

Linoleat), serta metionin karena buruknya kualitas protein yang dikonsumsi

(Harris et al., 2022; Hogendoorn et al., 2023)

4. Diet pada Ibu untuk menghindari anak Autis

Pola pemberian makan yang baik sangat menentukan keadaan gizi

pada seorang anak. Pemberian makanan yang sehat, beragam dan sesuai

kebutuhan dapat mendorong seorang anak untuk dapat hidup sehat. Namun

hal ini berbeda untuk anak autisme (Zerman et al., 2022). Pada anak autisme

terdapat beberapa jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi, hal ini

disebabkan karena adanya gangguan pada sistem pencernaan anak. Makanan


yang mengandung zat-zat gizi tinggi tidak selamanya dapat dicerna dan

diterima oleh anak penyandang autisme dimana gangguan saluran cerna yang

dialami oleh anak autisme antara lain seperti alergi makanan, intoleransi

makanan, intoleransi gluten, intoleransi casein dan sebagainya. Berkaitan

dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan terkini

yang cukup inovatif (Elkhatib et al., 2022; Srikantha & Hasan Mohajeri,

2019). Jenis diet yang paling banyak dilakukan adalah:

a. Diet bebas kasein dan gluten

Diet bebas gluten dan kasein merupakan terapi penunjang

yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun

diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan. Anak-anak

yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon yang lebih

baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF

(Vecchione et al., 2022). Penyembuhan saluran cerna pada anak autis

dapat dilakukan paling awal, karena perut tidak akan bisa sehat jika

makanan yang tidak tercerna dengan benar tetap menyebabkan

berlangsungnya peradangan saluran cerna (Ranjan & Nasser, 2018)

Penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat

dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa

bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet

tersebut tidak cocok untuk anak autis(Eissa et al., 2018).

Terjadi peningkatan komunikasi verbal dan nonverbal, emosi,

kemampuan motorik, hiperaktif berkurang, dan perubahan pola tidur

pada anak autis yang menjalani diet GFCF (Tint et al., 2023).

b. Diet bebas ragi dan gula


Sebagian anak autisme juga mengalami masalah di saluran

pencernaan seperti diare, sembelit, sakit perut dan kembung.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh pertumbuhan mikroba patogen

yang dominan di dalam saluran pencernaannya. Pertumbuhan

patogen yang berlebihan di dalam saluran pencernaan dapat

menyebabkan peningkatan permeabilitas usus atau juga menghambat

keluarnya enzim sehingga pencernaan terganggu (Adams et al.,

2018; Gialloreti et al., 2019)

Menghindari konsumsi gula dan ragi, akan mereduksi

pertumbuhan patogen di dalam saluran pencernaan sehingga masalah

di dalam saluran pencernaan yang terkait dengan patogen dapat

menjadi lebih ringan. Makanan hasil fermentasi yang mengandung

ragi sebaiknya dihindari seperti roti, vinegar, keju, kecap, dan

produk fermentasi lainnya. Fruktosa (gula buah) dapat digunakan

sebagai pengganti gula karena penyerapannya lebih lambat dari gula

(sukrosa). Selain itu, juga bisa menggunakan sorbitol dan sukralosa.

Sukralosa terbuat dari glukosa gula jagung yang diberi gas klorin

hingga membentuk senyawa yang kompleks dan menimbulkan rasa

manis di mulut sampai 600 kali gula pasir dan produk dapat memberi

klaim no sugar (Cruz-Martins et al., 2021; Zwilling et al., 2020).

c. Diet bebas zat aditif

Anak penyandang autis sebaiknya menghindari makanan

yang mengandung pengawet seperti polibate, nitrit dan nitrat,

penambah rasa seperti monosodium glutamat karena bahan-bahan

tersebut merupakan “benda asing“ yang dapat menimbulkan


gangguan pencernaan pada anak penyandang autis. Jenis zat aditif

yang perlu dihindari adalah pewarna buatan, penambah aroma,

makanan yang diawetkan dengan benzoat dan kafein (Ristori et al.,

2019)

Neurotransmitter adalah kimia otak yang berfungsi sebagai

pembawa pesan atau sinyal antar sel-sel saraf tubuh.

Neurotransmitter juga ada di otak mau pun di pencernaan. Pesan yang

diterima neurotransmitter pencernaan akan ditransfer melalui

neurotransmitter-neurotransmitter sampai mencapai neurotransmitter

otak. Neurotransmitter terbentuk dari asam amino triphopan, vitamin

B6, vitamin C dan beberapa jenis mineral (Berding & Donovan,

2018; Veselinović et al., 2021). Pembentukannya sangat tergantung

pada pasokan makanan. Jika salah satu atau beberapa bahan dasar

tersebut asupannya rendah, maka pembentukan fungsi

neurotransmitter akan terganggu. Jenis makanan yang umumnya

menimbulkan gangguan perilaku adalah makanan olahan yang

mengandung zat-zat aditif atau sintetis (Weir et al., 2021). Dan

efeknya bergantung kepada daya tahan masing-masing individu (bagi

orang yang sensitive sekali, reaksinya akan langsung muncul dalam

bentuk gangguan perilaku). Zat-zat aditif dan zat-zat kimia sintetis ini

sifatnya mem-blok atau mengganggu neurotransmitter otak dengan

cara meniru cara kerja neurotransmitter otak. Sehingga

mengkonsumsi makanan yang mengandung zat-zat aditif dan zat-zat

sintetis akan menyebabkan timbulnya perilaku yang tak terkendali

seperti mudah marah, beringas atau loyo. Bahan makanan tertentu


seperti terigu (biskuit dan roti), susu dan makanan yang mengandung

MSG juga dapat menimbulkan gangguan perilaku pada orang-orang

tertentu (Robain et al., 2021).

Pantangan makanan untuk ibu yang menyebabkan anak Autisme


(Abou-Rizk et al., 2022; Ekström et al., 2016; Krebs et al., 2023)

Makanan yang dihindari Pengganti

Pewarna, pengawet, penambah rasa, Makanan Segar, sayur (buncis,


makanan kaleng, makanan siap saji, kacang polong, kacang panjang,
kaldu instant kol, seledri, wortel, labu,
asparagus, bit)
Kopi, teh, sirup, coklat, minuman Jus dari buah atau sayuran segar,
soda, minuman mengandung kola, teh rempah, bubuk carob
alkohol (pengganti coklat)
Tepung Terigu, havsermouth Tepung beras, tepung tapioca,
(oatmeal), Mie instan, semua tepung kanji, kentang, beras ketan,
produk makanan yang singkong, ubi, beras, merah
mengandung gluten.
Susu sapi, keju, es krim dari susu sapi Susu kedelai, susu dari kacang
dan semua produk olahan almond, susu dari beras. Es krim
yang mengandung susu sapi dari jus buah segar buatan sendiri
Permen, jelly, gula (segala bentuk Madu murni, sirup maple, sirup
gula termasuk gula jawa, gula dari beras, sebaiknya digunakan
pasir, gula halus dan lain - lain) dalam jumlah sangat terbatas.
Daging atau telur atau ayam olahan Ikan segar, telur dan ayam
yang telah diproses dengan kampong
menggunakan tambahan bahan
kimia, hormone atau antibiotik
Buah strawberry, anggur, melon, Buah pir, pisang, pepaya
jeruk

B. Asupan Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsusmsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan


untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari

organ-organ, serta menghasilkan energi (Lyall et al., 2014).

Asupan makanan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan

gizi sebagai sumber tenaga, mempertahankan ketahanan tubuh dalam

menghadapi serangan penyakit dan untuk pertumbuhan. Makanan yang

dikonsumsi pada ibu umumnya berpengaruh pada tumbuh kembang anaknya,

makanan tersebut terdiri dari makanan pokok, sayur, lauk, buah dan susu,

namun terbatas dalam jenis dan bentuk bahan makanan yang bernilai biologi

tinggi, mudah dicerna dan diserap serta tidak menimbulkan reaksi alergi.

Ketidakmampuan penderita autisme atas respon perilaku yang normal dapat

mempengaruhi asupan nutrisi dan perilaku makannya. Mereka umumnya

hanya mengkonsumsi makanan tertentu, mempunyai hipersensifitas (misalnya

terhadap tekstur, suhu, warna, dan bau) dan kesulitan untuk mengubah pola

makan. Meskipun sebagian besar anak autisme memiliki parameter

pertumbuhan yang normal, diet yang ketat membuat mereka beresiko untuk

mengalami inadekuat asupan zat gizi. Mereka biasanya menolak makan sayur

dan buah (Fuentes et al., 2021; Panisi et al., 2021; Tye et al., 2018)

1. Energi

Energi yang dibutuhkan oleh anak ialah konsumsi energi yang

berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi

dari aktivitas, ukuran, dan komposisi tubuhnya. Asupan energi diperoleh

dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein.

Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan kebutuhan

energi seseorang (Gernsbacher et al., 2017). Bila hal tersebut tidak tercapai

akan terjadi pergeseran keseimbangan kearah negatif atau positif. Keadaan


berat badan seseorang dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk apakah

seseorang dalam keadaan seimbang, kelebihan, atau kekurangan energi.

Ketidakseimbangan masukan energi dengan kebutuhan yang berlangsung

jangka lama akan menimbulkan masalah kesehatan. Kelebihan energi akan

menyebabkan terjadinya berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan

dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi tubuh. Tubuh akan mengalami

keseimbangan energi negative jika kekurangan energi. Akibatnya berat

badan kurang dari berat badan seharusnya. Bila terjadi pada anak-anak

akan menghambat pertumbuhan (Perumal et al., 2021)

Terdapat perbedaan kebutuhan energi dalam sehari berdasarkan

umur pada AKG (2004), umur dibagi menjadi 5 yaitu 1-3 tahun, 4-6 tahun,

7-9 tahun, 10-12 tahun, dan 13-15 tahun. Kelompok umur 1-3 tahun

membutuhkan energi sebesar 1000 kal/hari, umur 4-6 tahun membutuhkan

energi sebesar 1550 Kal/hari, umur 7-9 tahun membutuhkan energi sebesar

1800 Kal/hari, pada umur 10-12 tahun membutuhkan energi sebesar 2050

Kal/hari, dan pada umur 13-15 tahun membutuhkan energi sebesar 2400

Kal/hari pada laki-laki dan 2350 Kal/hari pada perempuan (Koletzko et al.,

2019; Weiler et al., 2021)

Konsumsi energi yang cukup tinggi ini dikarenakan anak ASD

sangat suka makan, terutama makanan dengan kandungan energi yang

tinggi dan rendah serat. Kecukupan konsumsi energi yang kurang

dikarenakan pembatasan makanan yang dilakukan ibu dengan tujuan diet

pada anak. Makanan yang perlu dihindari anak adalah makanan yang

mengandung tinggi energi seperti roti, mie, dan susu sapi (Symington et

al., 2018)
2. Protein

Protein merupakan bagian dari setiap sel dan bagian terbesar dari

tubuh setelah air. Protein merupakan salah satu sumber energi bagi

seseorang dimana satu gram protein mengandung 4 Kal. Makanan sumber

protein hewani seperti daging, ternak, ikan, telur, susu, kerang, dan produk

olahan. Makanan sumber protein nabati seperti kacang kedelai dan hasil

olahannya seperti: tahu, tempe, dan kacang-kacangan lainnya. Fungsi

utama protein adalah sebagai zat pembangun atau pembentuk struktur sel,

misalnya untuk pembentukkan kulit, otot, rambut, membrane sel, jantung,

hati, ginjal, dan beberapa organ penting lainnya (P. Esposito et al., 2020;

Popa et al., 2013)

Autisme memiliki gangguan enzim pencernaan dan leaky gut

sehingga casein dan gluten tidak dapat dicerna dengan sempurna karena

keduanya termasuk protein yang sulit dicerna. Casein adalah protein yang

berasal dari susu sapi, sedangkan gluten adalah protein yang berasal dari

gandum. Konsumsi casein dan gluten akan mengganggu mood dan tingkah

laku pada anak autis (Keller et al., 2021).

Kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama dapat

mengganggu berbagai proses metabolisme di dalam tubuh serta

mengurangi daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Saronga et al.,

2019)

3. Lemak

Lemak merupakan sumber energi paling padat, yang menghasilkan

9 kalori untuk tiap gram, yaitu 21/2 kali besar yang dihasilkan oleh

karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama. Lemak tubuh pada
umumnya disimpan sebagai berikut; 50% di jaringan bawah kulit

(subkutan), 45% di sekeliling organ-organ dalam rongga perut, dan 5% di

jaringan intramuskuler. Makanan tanpa lemak menimbulkan rasa yang

tidak enak karena fungsi lemak adalah sebagai pembuat rasa enak dan

gurih. Selain itu, lemak diperlukan untuk metabolisme vitamin yang larut

dalam lemak dan mengandung asam lemak yang esensial. Sumber lemak

hewani berasal dari binatang termasuk ikan, telur dan susu. Sedangkan

sumber lemak nabati berasal dari bahan makanan tumbuh-tumbuhan

seperti: minyak, mentega, margarine, kacang- kacangan, biji-bijian, keju,

dan makanan yang dimakan dengan lemak dan minyak (Lipton et al.,

2017)

Konsumsi lemak dikategorikan kurang jika lemak yang dikonsumsi

20%, kategori cukup jika lemak yang dikonsumsi 20-30% konsumsi energi

total dan dikategorikan lebih jika >30% konsumsi energi total (Santana et

al., 2022)

4. Karbohidrat

Karbohidrat adalah sumber energi utama untuk tubuh dibandingkan

dengan protein dan lemak. Satu gram karbohidrat mengandung 4 kal. Pada

AKG belum pernah membahas angka kecukupan untuk karbohidrat

(Rahmawati et al., 2021). Karbohidrat yang telah terkonversi di dalam

tubuh menjadi glukosa tidak hanya akan berfungsi sebagai sumber energi

utama bagi kontraksi otot atau aktifitas fisik tubuh, namun glukosa juga

akan berfungsi sebagai sumber energi bagi system saraf pusat termasuk

juga untuk kerja otak. Selain itu, karbohirat yang dikonsumsi juga dapat

tersimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen di dalam otot


dan hati. Glikogen otot merupakan salah satu sumber energi tubuh saat

berolahraga sedangkan glikogen hati dapat berfungi untuk membantu

menjaga glukosa di dalam sel darah dan system pusat saraf. Sumber

karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi- umbian, kacang-

kacangan kering, gula termasuk juga olahan-olahan seperti bihun, mie,

roti, tepung-tepungan, selai, sirup dan lain-lain (Moreno-Fernandez et al.,

2020).

5. Kalsium

Kalsium adalah mineral yang sangat penting dalam tubuh,

terbentuk dari 1,5 sampai 2 % dari berat badan dan 39 % dari total mineral

tubuh. Kalsium merupakan mineral yang amat penting bagi manusia,

antara lain bagi metabolisme tubuh, penghubung antar syaraf, kerja

jantung, dan pergerakan otot. Bahan makanan yang banyak mengandung

kalsium antara lain bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, selada air,

udang, ikan teri, sardines, dan daun singkong. Susu kedelai dan beras,

yogurt, tofu, dan keju mengandung jumlah kalsium yang setara dengan

kalsium dalam produk-produk olahan susu sapi. Produk ikan kaleng yang

menyertakan tulangnya (salmon atau sarden) juga mengandung banyak

kalsium, tetapi irisan ikan segar tanpa tulang bukan sumber kalsium tinggi.

Kebutuhan kalsium harian pada usia anak sebesar 500 - 1.300 mg, sedangkan

usia 19 - 50 tahun mencapai 1.000 (Beluska-Turkan et al., 2019; Bianchi et al.,

2016)

6. Zinc

Zinc (Zn) yang biasanya juga disebut dengan seng merupakan zat

gizi yang esensial dan telah mendapat perhatian yang cukup besar akhir-
akhir ini. Zinc diperlukan oleh berbagai jenis enzim dalam menjalankan

fungsinya dan sangat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh sehingga

berperan penting dalam pencegahan infeksi oleh berbagai jenis bakteri

patogen. Zinc umumnya ada di dalam otak, dimana zinc mengikat protein.

Kekurangan zinc akan berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur

otak, fungsi otak dan mengganggu respon tingkah laku dan emosi. Zinc

banyak terdapat dalam daging, tiram, ikan kering, hati dan susu juga

merupakan sumber makanan yang kaya akan zinc (Vander Wyst et al.,

2019)

Angka Kecukupan Gizi bagi Orang Indonesia

Gol. Umur Energi Protein Vit.A Vit. Kalsium Besi Seng


(Kkal) (mg) (RE) C (mg) (mg) (mg)
(mg)
1-3 Tahun 1000 25 400 40 500 8 82
4-6 Tahun 1550 39 450 45 500 9 9,7
7-9 Tahun 1800 45 500 45 600 10 11,2
Pria
10-12 Tahun 2050 50 600 50 1000 13 14
13-15 Tahun 2400 60 600 75 1000 19 17,4
Wanita
10-12 Tahun 2050 50 600 50 1000 20 12,6
13-15 Tahun 2350 57 600 65 1000 26 15,4

Pencegahan anak autisme sebenarnya bisa dimulai sebelum masa

kehamilan, saat hamil bahkan menjelang persalinan. Penyebab ASD bisa

dikarenakan faktor eksternal seperti paparan zat kimia, pola makan hingga

gaya hidup ibu hamil. Oleh karena itu untuk pencegahannya, Anda
disarankan mengikuti langkah-langkah yang ada di bawah ini (Keller et al.,

2021):

1. Perhatikan obat yang dikonsumsi

Sebelum dan selama kehamilan sebaiknya hindari konsumsi obat-

obatan yang tidak memakai resep dokter. Resikonya mampu

mempengaruhi tumbuh kembang janin bahkan menghambat jalannya

oksigen kepada si kecil selama berada di rahim. Pemakaian obat-obatan

tertentu juga menyebabkan anak lahir ASD. Misalnya penggunaan

antidepresan khususnya Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)

sering dikaitkan dengan risiko autism. Hal ini dikemukakan dalam jurnal

Neuroscience & Biobehavioral Reviews pada 2015 silam yang

menemukan peningkatan resiko ASD dari ibu terpapar SSRI selama

kehamilan. Selain itu menurut hasil studi Journal of the American Medical

Association menyatakan obat anti-epilepsi khususnya valproat yakni dijual

dengan merek Depakote terbukti meningkatkan resiko ASD jika

dikonsumsi selama kehamilan. Peningkatan resikonya bahkan mencapai

angka 10%.

2. Atur Pola Makan Ibu Hamil

Ibu hamil sebaiknya mengontrol setiap asupan makanan yang

dikonsumsi selama masa kehamilan. American Journal of Epidemiology

menemukan bahwa ibu hamil yang kekurangan zat besi memiliki resiko

lebih besar melahirkan anak ASD. Sebuah penelitian menunjukan, anak

yang ibunya mengkonsumsi asam folat pada awal kehamilan akan

mengurangi risiko autisme, meskipun saat ibunya hamil terpapar pestisida

yang menyebabkan gangguan saraf. Ibu yang terpapar pestisida rumah


tangga atau pertanian sebelum dan selama kehamilan, tetapi mengkonsumsi

asam folat dosis tinggi, mengurangi separuh risiko anak-anaknya terkena

autisme dibandingkan dengan perempuan yang mengkonsumsi vitamin

tersebut dalam dosis rendah. Asam folat adalah bentuk sintetis dari folat

yang merupakan salah satu bagian dari vitamin B, yaitu B9. Asam folat

selain memegang peranan penting dalam perkembangan embrio, juga

membantu mencegah neural tube defect, yaitu cacat pada otak dan tulang

belakang. Kebutuhan asam folat sekitar 600-800 miligram. Asam folat dapat

didapatkan dari suplemen asam folat, sayuran berwarna hijau, jeruk, buncis,

kacang-kacangan, dan roti gandum. Asam folat juga berperan untuk

membantu memproduksi sel darah merah, sintesis DNA pada janin dan

pertumbuhan plasenta

Untuk pertumbuhan otak janin dalam pencegahan autism dibutuhkan

zat besi yang cukup. Kebutuhan zat besi selama hamil yaitu rata-rata 800

mg – 1040 mg. Kebutuhan ini diperlukan untuk 300 mg diperlukan untuk

pertumbuhan janin, 50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 500 mg

digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal/ sel darah

merah, 200 mg lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit dan 200

mg lenyap ketika melahirkan. Perhitungan makan 3 x sehari atau 1000-2500

kalori akan menghasilkan sekitar 10–15 mg zat besi perhari, namun hanya

1-2 mg yang di absorpsi. Jika ibu mengkonsumsi 60 mg zat besi, maka

diharapkan 6-8 mg zat besi 6 dapat diabsropsi, jika dikonsumsi selama 90

hari maka total zat besi yang diabsropsi adalah sebesar 720 mg dan 180 mg

dari konsumsi harian ibu


Sumber zat besi adalah makan hewani, seperti daging, ayam dan

ikan. Sumber baik lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan,

sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Disamping jumlah besi, perlu

diperhatikan kualitas besi di dalam makanan, dinamakan juga ketersediaan

biologik (bioavability). Pada umumnya besi di dalam daging, ayam, dan

ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi di dalam serealia dan

kacangkacangan mempunyai mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan

besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung asam

oksalat tinggi, seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah.

Sebaiknya diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas

campuran sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta

sumber gizi lain yang dapat membantu sumber absorbsi. Menu makanan di

Indonesia sebaiknya terdiri atas nasi, daging/ayam/ikan, kacang-kacangan,

serta sayuran dan buahbuahan yang kaya akan vitamin C. Tujuannya adalah

agar bisa memberikan ASI eksklusif pasca melahirkan kedepannya.

3. Penggunaan Bahan Kimia

Pemakaian bahan kimia sehari-hari jangan sampai diabaikan sebab

memberi pengaruh besar dalam tumbuh kembang janin. Penggunaan

bahan kimia secara langsung ataupun tropikal perlu diwaspadai.

Contohnya pemakain cat kuku, skincare maupun cat rambut. Biasanya

brand kecantikan memberikan keterangan produknya aman untuk

digunakan oleh ibu hamil. Jikapun tidak ada keterangan ini ada baiknya

menghindari produk tersebut. Hal ini juga berlaku untuk semua produk

kebutuhan sehari-hari lainnya. Meskipun hanya sebagian kecil saja zat


kimia masuk ke dalam tubuh namun janin sangat rentan akan senyawa

kimia khususnya di masa trimester pertama.

4. Terapkan Gaya Hidup Sehat

Terapkan gaya hidup sehat untuk menghindari anak terlahir

autisme. Anda bisa mulai berolahraga ringan secara rutin, menjauhi rokok

maupun alkohol. Istirahat yang cukup dan hindari stres serta selalu

berpikir positif. Jangan lupa untuk jaga kebersihan diri dan lingkungan

sekitar. Dengan begitu tumbuh kembang janis akan selalu sehat hingga

kelahirannya nanti.

C. Pengetahuan

Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga

dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman,

buku, dan surat kabar. Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia

sebagai hasil pengggunaaan panca indra. Pengetahuan akan membuat

seseorang mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga

meningkatkan pegetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai

sesuatu. Jika peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan

terjadi perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik.

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan

yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara

pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta

bagaimana cara hidup sehat. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh

terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya

akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Seorang ibu harus

memiliki pengetahuan yang baik dalam pemilihan makanan untuk anak autis.
Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi akan berdampak positif terhadap pola

makan anak (Whitaker et al., 2019)

1. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan

a. Pendidikan

Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan melalui proses

belajar. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan

seseorang, maka semakin mudah pula mereka menerima informasi .

Pendidikan seseorang menentukan pengetahuan dari orang tersebut.

Perkembangan stimulasi seorang anak dipengaruhi oleh pengetahuan

yang dimiliki orang tua. Orang tua yang tidak memiliki pengetahuan

yang cukup, maka anak akan kekurangan atau bahkan tidak

mendapatkan stimulasi perkembangan yang cukup dan sesuai dengan

tahapan usianya. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi, cenderung

memberikan pengasuhan makan yang sesuai dengan kebutuhan

anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki akses terhadap

informasi-informasi terbaru baik yang berasal dari buku, koran,

majalah, ataupun internet

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain

lebih banyak pengetahuannya bila dibandingkan dengan orang tanpa

ada interaksi dengan orang lain

c. Usia

Usia memengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir


seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula

daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik


DAFTAR PUSTAKA

Abou-Rizk, J., Jeremias, T., Nasreddine, L., Jomaa, L., Hwalla, N., Frank, J., &
Scherbaum, V. (2022). Infant Feeding Practices, Nutrition, and Associated Health
Factors during the First Six Months of Life among Syrian Refugees in Greater
Beirut, Lebanon: A Mixed Methods Study. Nutrients, 14(21).
https://doi.org/10.3390/nu14214459

Adams, J. B., Audhya, T., Geis, E., Gehn, E., Fimbres, V., Pollard, E. L., Mitchell, J.,
Ingram, J., Hellmers, R., Laake, D., Matthews, J. S., Li, K., Naviaux, J. C., Naviaux,
R. K., Adams, R. L., Coleman, D. M., & Quig, D. W. (2018). Comprehensive
nutritional and dietary intervention for autism spectrum disorder—a randomized,
controlled 12-month trial. Nutrients, 10(3), 1–43.
https://doi.org/10.3390/nu10030369

Baraskewich, J., von Ranson, K. M., McCrimmon, A., & McMorris, C. A. (2021).
Feeding and eating problems in children and adolescents with autism: A scoping
review. Autism, 25(6), 1505–1519. https://doi.org/10.1177/1362361321995631

Beluska-turkan, K., Korczak, R., Hartell, B., Moskal, K., Maukonen, J., Alexander, D. E.,
Salem, N., Harkness, L., Ayad, W., Szaro, J., Zhang, K., & Siriwardhana, N. (n.d.).
Nutritional Gaps and Supplementation in the First 1000 Days. 1–50.

Berding, K., & Donovan, S. M. (2018). Diet Can Impact Microbiota Composition in
Children With Autism Spectrum Disorder. Frontiers in Neuroscience, 12(July), 1–
16. https://doi.org/10.3389/fnins.2018.00515

Bianchi, C. M., Huneau, J., Goff, G. Le, Verger, E. O., Mariotti, F., & Gurviez, P. (2016).
Concerns , attitudes , beliefs and information seeking practices with respect to
nutrition-related issues : a qualitative study in French pregnant women. BMC
Pregnancy and Childbirth, 1–14. https://doi.org/10.1186/s12884-016-1078-6

Bölte, S., Girdler, S., & Marschik, P. B. (2019). The contribution of environmental
exposure to the etiology of autism spectrum disorder. Cellular and Molecular Life
Sciences, 76(7), 1275–1297. https://doi.org/10.1007/s00018-018-2988-4

Cruz-Martins, N., Quispe, C., Kirkin, C., Şenol, E., Zuluǧ, A., Özçelik, B., Ademiluyi, A.
O., Oyeniran, O. H., Semwal, P., Kumar, M., Sharopov, F., López, V., Les, F.,
Bagiu, I. C., Butnariu, M., Sharifi-Rad, J., Alshehri, M. M., & Cho, W. C. (2021).
Paving Plant-Food-Derived Bioactives as Effective Therapeutic Agents in Autism
Spectrum Disorder. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2021(August).
https://doi.org/10.1155/2021/1131280

Dreiling, N. G., Cook, M. L., Lamarche, E., & Klinger, L. G. (2022). Mental health
Project ECHO Autism: Increasing access to community mental health services for
autistic individuals. Autism, 26(2), 434–445.
https://doi.org/10.1177/13623613211028000
Eissa, N., Al-Houqani, M., Sadeq, A., Ojha, S. K., Sasse, A., & Sadek, B. (2018). Current
enlightenment about etiology and pharmacological treatment of autism spectrum
disorder. Frontiers in Neuroscience, 12(MAY).
https://doi.org/10.3389/fnins.2018.00304

Ekström, E. C., Lindström, E., Raqib, R., Arifeen, S. El, Basu, S., Brismar, K., Selling,
K., & Persson, L. A. (2016). Effects of prenatal micronutrient and early food
supplementation on metabolic status of the offspring at 4.5 years of age. The
MINIMat randomized trial in rural Bangladesh. International Journal of
Epidemiology, 45(5), 1656–1667. https://doi.org/10.1093/ije/dyw199

Elkhatib Smidt, S. D., Gooneratne, N., Brodkin, E. S., Bucan, M., & Mitchell, J. A.
(2022). Sufficient sleep duration in autistic children and the role of physical activity.
Autism, 26(4), 814–826. https://doi.org/10.1177/13623613211053671

Esposito, M., Mirizzi, P., Fadda, R., Pirollo, C., Ricciardi, O., Mazza, M., & Valenti, M.
(2023). Food Selectivity in Children with Autism: Guidelines for Assessment and
Clinical Interventions. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 20(6). https://doi.org/10.3390/ijerph20065092

Esposito, P., Garibotto, G., Picciotto, D., Costigliolo, F., Viazzi, F., & Conti, N. E.
(2020). Nutritional challenges in pregnant women withrenal diseases: Relevance to
fetal outcomes. Nutrients, 12(3). https://doi.org/10.3390/nu12030873

Gialloreti, L. E., Mazzone, L., Benvenuto, A., Fasano, A., Alcon, A. G., Kraneveld, A.,
Moavero, R., Raz, R., Riccio, M. P., Siracusano, M., Zachor, D. A., Marini, M., &
Curatolo, P. (2019). Risk and protective environmental factors associated with
autism spectrum disorder: Evidence-based principles and recommendations. Journal
of Clinical Medicine, 8(2). https://doi.org/10.3390/jcm8020217

Harris, H. A., Mou, Y., DIeleman, G. C., Voortman, T., & Jansen, P. W. (2022). Child
Autistic Traits, Food Selectivity, and Diet Quality: A Population-Based Study.
Journal of Nutrition, 152(3), 856–862. https://doi.org/10.1093/jn/nxab413

Hogendoorn, E., Hartman, C. A., Burke, S. M., van Dijk, M. W. G., & Rosmalen, J. G.
M. (2023). Longitudinal relations between autistic-like features and functional
somatic symptoms in adolescence. Autism.
https://doi.org/10.1177/13623613221143874

Im, D. S. (2021). Treatment of Aggression in Adults with Autism Spectrum Disorder: A


Review. In Harvard Review of Psychiatry (Vol. 29, Issue 1).
https://doi.org/10.1097/HRP.0000000000000282

James, S. J., Melnyk, S., Fuchs, G., Reid, T., Jernigan, S., Pavliv, O., Hubanks, A., &
Gaylor, D. W. (2009). Efficacy of methylcobalamin and folinic acid treatment on
glutathione redox status in children with autism. American Journal of Clinical
Nutrition, 89(1), 425–430. https://doi.org/10.3945/ajcn.2008.26615

Kazek, B., Brzóska, A., Paprocka, J., Iwanicki, T., Kozioł, K., Kapinos-Gorczyca, A.,
Likus, W., Ferlewicz, M., Babraj, A., Buczek, A., Krupka-Matuszczyk, I., & Emich-
Widera, E. (2021). Eating behaviors of children with autism—Pilot study, part II.
Nutrients, 13(11). https://doi.org/10.3390/nu13113850

Keller, A., Rimestad, M. L., Rohde, J. F., Petersen, B. H., Korfitsen, C. B., Tarp, S.,
Lauritsen, M. B., & Händel, M. N. (2021). The effect of a combined gluten-and
casein-free diet on children and adolescents with autism spectrum disorders: A
systematic review and meta-analysis. Nutrients, 13(2), 1–18.
https://doi.org/10.3390/nu13020470

Kittana, M., Ahmadani, A., Williams, K. E., & Attlee, A. (2023). Nutritional Status and
Feeding Behavior of Children with Autism Spectrum Disorder in the Middle East
and North Africa Region: A Systematic Review. Nutrients, 15(3).
https://doi.org/10.3390/nu15030711

Koletzko, B., Godfrey, K. M., Poston, L., Szajewska, H., Van Goudoever, J. B., De
Waard, M., Brands, B., Grivell, R. M., Deussen, A. R., Dodd, J. M., Patro-Golab, B.,
& Zalewski, B. M. (2019). Nutrition during pregnancy, lactation and early childhood
and its implications for maternal and long-term child health: The early nutrition
project recommendations. Annals of Nutrition and Metabolism, 74(2), 93–106.
https://doi.org/10.1159/000496471

Krebs, N. F., Belfort, M. B., Meier, P. P., Mennella, J. A., O’Connor, D. L., Taylor, S. N.,
& Raiten, D. J. (2023). Infant factors that impact the ecology of human milk
secretion and composition—a report from “Breastmilk Ecology: Genesis of Infant
Nutrition (BEGIN)” Working Group 3. American Journal of Clinical Nutrition,
117(June 2022), S43–S60. https://doi.org/10.1016/j.ajcnut.2023.01.021

Levie, D., Bath, S. C., Guxens, M., Korevaar, T. I. M., Dineva, M., Fano, E., Ibarluzea, J.
M., Llop, S., Murcia, M., Rayman, M. P., Sunyer, J., Peeters, R. P., & Tiemeier, H.
(2020). Maternal Iodine Status during Pregnancy Is Not Consistently Associated
with Attention-Deficit Hyperactivity Disorder or Autistic Traits in Children. Journal
of Nutrition, 150(6), 1516–1528. https://doi.org/10.1093/jn/nxaa051

Lipton, L. R., Brunst, K. J., Kannan, S., Ni, Y. M., Ganguri, H. B., Wright, R. J., &
Bosquet Enlow, M. (2017). Associations among prenatal stress, maternal antioxidant
intakes in pregnancy, and child temperament at age 30 months. Journal of
Developmental Origins of Health and Disease, 8(6), 638–648.
https://doi.org/10.1017/S2040174417000411

Lundin Remnélius, K., Neufeld, J., Isaksson, J., & Bölte, S. (2022). Eating Problems in
Autistic Females and Males: A Co-twin Control Study. Journal of Autism and
Developmental Disorders, 52(7), 3153–3168. https://doi.org/10.1007/s10803-021-
05198-z

Marshall, N. E., Abrams, B., Barbour, L. A., Christian, P., Friedman, J. E., Jr, W. W. H.,
Purnell, Q., Roberts, J. M., & Soltani, H. (2022). consequences. 226(5), 607–632.
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2021.12.035.The
Moreno-fernandez, J., Ochoa, J. J., & Lopez-frias, M. (2020). Impact of Early Nutrition ,
Physical Activity and Sleep on the Fetal Programming of Disease in the Pregnancy :
A Narrative Review.

Perumal, N., Perumal, N., Blakstad, M. M., Fink, G., Lambiris, M., Bliznashka, L.,
Danaei, G., & Sudfeld, C. R. (2021). Impact of scaling up prenatal nutrition
interventions on human capital outcomes in low- and middle-income countries: a
modeling analysis. American Journal of Clinical Nutrition, 114(5), 1708–1718.
https://doi.org/10.1093/ajcn/nqab234

Pittet, I., Kojovic, N., Franchini, M., & Schaer, M. (2022). Trajectories of imitation skills
in preschoolers with autism spectrum disorders. Journal of Neurodevelopmental
Disorders, 14(1), 1–13. https://doi.org/10.1186/s11689-021-09412-y

Popa, A. D., Niţǎ, O., Graur, L. I., Popescu, R. M., Botnariu, G. E., Mihalache, L., &
Graur, M. (2013). Nutritional knowledge as a determinant of vitamin and mineral
supplementation during pregnancy. BMC Public Health, 13(1), 1–10.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-1105

Rahmawati, W., Pligt, P. Van Der, Willcox, J. C., & Worsley, A. F. (2021). Sources of
nutrition information for Indonesian women during pregnancy : how is information
sought and provided ? 24(12), 3859–3869.
https://doi.org/10.1017/S1368980021002317

Ranjan, S., & Nasser, J. A. (2015). Nutritional status of individuals with autism spectrum
disorders: Do we know enough? Advances in Nutrition, 6(4), 397–407.
https://doi.org/10.3945/an.114.007914

Ristori, M. V., Quagliariello, A., Reddel, S., Ianiro, G., Vicari, S., Gasbarrini, A., &
Putignani, L. (2019). Autism, gastrointestinal symptoms and modulation of gut
microbiota by nutritional interventions. Nutrients, 11(11), 1–21.
https://doi.org/10.3390/nu11112812

Robain, F., Kojovic, N., Solazzo, S., Glaser, B., Franchini, M., & Schaer, M. (2021). The
impact of social complexity on the visual exploration of others’ actions in
preschoolers with autism spectrum disorder. BMC Psychology, 9(1), 1–15.
https://doi.org/10.1186/s40359-021-00553-2

Santana, M., Ii, M. P., Soares, C., Iii, L., Barbosa, D., Iv, S., & V, A. M. O. (2022).
Influence of conditional cash transfer program on prenatal care and nutrition
during pregnancy : NISAMI cohort study. 140(4), 595–603.

Saronga, N. J., Burrows, T., Collins, C. E., Ashman, A. M., & Rollo, M. E. (2019).
mHealth interventions targeting pregnancy intakes in low and lower-middle income
countries: Systematic review. Maternal and Child Nutrition, 15(2), 1–13.
https://doi.org/10.1111/mcn.12777

Snyder, A., Neufeld, H. T., & Forbes, L. (2020). A mixed-methods investigation of


women ’ s experiences seeking pregnancy-related online nutrition information. 1–
10.
Srikantha, P., & Hasan Mohajeri, M. (2019). The possible role of the microbiota-gut-
brain-axis in autism spectrum disorder. International Journal of Molecular Sciences,
20(9), 14–19. https://doi.org/10.3390/ijms20092115

Symington, E. A., Baumgartner, J., Malan, L., Zandberg, L., Ricci, C., & Smuts, C. M.
(2018). Nutrition during pregnancy and early development (NuPED) in urban South
Africa: A study protocol for a prospective cohort. BMC Pregnancy and Childbirth,
18(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/s12884-018-1943-6

Taylor, H., Ingham, B., Mason, D., Finch, T., Wilson, C., Scarlett, C., Moss, S., Buckley,
C., Urbanowicz, A., Raymaker, D., Seiboth, C., Lees, R., Garland, D., Osbourne,
M., Lennox, N., Cooper, S. A., Nicolaidis, C., & Parr, J. R. (2023). Co-design of an
NHS primary care health check for autistic adults. Autism, 27(4), 1079–1091.
https://doi.org/10.1177/13623613221132921

Tint, A., Chung, H., Lai, M. C., Balogh, R., Lin, E., Durbin, A., & Lunsky, Y. (2023).
Health conditions and service use of autistic women and men: A retrospective
population-based case–control study. Autism.
https://doi.org/10.1177/13623613221144353

Vecchione, R., Wang, S., Rando, J., Chavarro, J. E., Croen, L. A., Fallin, M. D., Hertz-
Picciotto, I., Newschaffer, C. J., Schmidt, R. J., & Lyall, K. (2022). Maternal
Dietary Patterns during Pregnancy and Child Autism-Related Traits: Results from
Two US Cohorts. Nutrients, 14(13), 1–15. https://doi.org/10.3390/nu14132729

Veselinović, A., Petrović, S., Žikić, V., Subotić, M., Jakovljević, V., Jeremić, N., &
Vučić, V. (2021). Neuroinflammation in autism and supplementation based on
omega-3 polyunsaturated fatty acids: A narrative review. Medicina (Lithuania),
57(9). https://doi.org/10.3390/medicina57090893

Vuillier, L., Carter, Z., Teixeira, A. R., & Moseley, R. L. (2020). Alexithymia may
explain the relationship between autistic traits and eating disorder psychopathology.
Molecular Autism, 11(1), 1–19. https://doi.org/10.1186/s13229-020-00364-z

Weiler, H. A., Brooks, S. P., Sarafin, K., Fisher, M., Massarelli, I., Luong, T. M.,
Johnson, M., Morisset, A. S., Dodds, L., Taback, S., Helewa, M., von Dadelszen, P.,
Smith, G., Lanphear, B. P., Fraser, W. D., & Arbuckle, T. E. (2021). Early prenatal
use of a multivitamin diminishes the risk for inadequate vitamin D status in pregnant
women: results from the Maternal-Infant Research on Environmental Chemicals
(MIREC) cohort study. American Journal of Clinical Nutrition, 114(3), 1238–1250.
https://doi.org/10.1093/ajcn/nqab172

Weir, E., Allison, C., Ong, K. K., & Baron-Cohen, S. (2021). An investigation of the diet,
exercise, sleep, BMI, and health outcomes of autistic adults. Molecular Autism,
12(1), 1–14. https://doi.org/10.1186/s13229-021-00441-x

Weir, E., Allison, C., Warrier, V., & Baron-Cohen, S. (2021). Increased prevalence of
non-communicable physical health conditions among autistic adults. Autism, 25(3),
681–694. https://doi.org/10.1177/1362361320953652
Whitaker, K. M., Baruth, M., Schlaff, R. A., Talbot, H., Connolly, C. P., Liu, J., &
Wilcox, S. (2019). Provider advice on physical activity and nutrition in twin
pregnancies : a cross- sectional electronic survey. 2, 1–14.

Wyst, K. B. Vander, Quintana, G., Balducci, J., & Whisner, C. M. (2019). Comparison
and Characterization of Prenatal Nutrition Counseling among Large-for-
Gestational Age Deliveries by Pre-Pregnancy BMI.

Zerman, N., Zotti, F., Chirumbolo, S., Zangani, A., Mauro, G., & Zoccante, L. (2022).
Insights on dental care management and prevention in children with autism spectrum
disorder (ASD). What is new? Frontiers in Oral Health, 3(September), 1–18.
https://doi.org/10.3389/froh.2022.998831

Zhu, Y., Mordaunt, C. E., Durbin-Johnson, B. P., Caudill, M. A., Malysheva, O. V.,
Miller, J. W., Green, R., James, S. J., Melnyk, S. B., Fallin, M. D., Hertz-Picciotto,
I., Schmidt, R. J., & LaSalle, J. M. (2021). Expression Changes in Epigenetic Gene
Pathways Associated With One-Carbon Nutritional Metabolites in Maternal Blood
From Pregnancies Resulting in Autism and Non-Typical Neurodevelopment. Autism
Research, 14(1), 11–28. https://doi.org/10.1002/aur.2428

Zwilling, C. E., Strang, A., Anderson, E., Jurcsisn, J., Johnson, E., Das, T., Kuchan, M.
J., & Barbey, A. K. (2020). Enhanced physical and cognitive performance in active
duty Airmen: evidence from a randomized multimodal physical fitness and
nutritional intervention. Scientific Reports, 10(1), 1–13.
https://doi.org/10.1038/s41598-020-74140-7

Anda mungkin juga menyukai