Anda di halaman 1dari 67

RESUME PBL

SKENARIO 2

MALNUTRISI

Nama : Susilawati Affanin

NPM : 117170066

Blok : 6.1

Kelompok :4

Tutor : dr. Yandri Naldi, M.H

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
SKENARIO 2

MALNUTRISI

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan
keluhan adanya benjolan pada leher bagian depan yang tidak nyeri. Dari anamnesis
didapatkan psien tinggal di daerah lereng pegunungan dan banyak masyarakat yang
mengalami hal serupa. Pada pemeriksaan fisik tampak goiter, mulut anak selalu
menganga dan lidah terlihat dari luar.pemeriksaan antropometri didapatkan BB 15 kg.
TB 110 cm. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar T3 dan T4 yang rendah
dan TSH yang meningkat. Dokter mendiagnosis anak tersebut memiliki satus gizi yang
kurang baik akibat malnutrisi yang dialaminya.

STEP 1

1. Malnutrisi : tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup


2. TSH : hormon yang di hasilkan oleh hipofisis anterior berfungsi untuk memelihara
pertumbuhan dan perkembangan tiroid

STEP 2

1. Faktor resiko yang memepengaruhi malnutrisi pada kasus ?


2. Mekanisme terjadinya keluhan dan di hubungkan dengan tempat tinggal pasien ?
3. Bagaimana penilaian status gizi pada anak dan interpretasinya ?
4. Bagaimana hubungan penurunan T3 dan T4 terhadap penurunan gizi pada anak ?
5. Bagaimana tatalaksana pada kasus tersebut ?

STEP 3

1. faktor resiko
 Genetik  disebabkan karena adanya abnormalitas fungsi fisiologis kelenjar
tiroid
 Geografis  pada dataran tinggi, karena kadar iodium pada lapisan tanah
terkikis karena peristiwa alam
Faktor yang menyebabkan malnutrisi

 Ketersediaan pangan  apakah tersedia pangan yang cukup, misal kekurangan


iodium seperti pada kasus
 Pendapatan orang tua (status ekonomi)  apabila kebiasaan makan baik maka
status gizi akan baik dan sebaliknya
 Penggunaan pangan  pola makan dan kebiasaan makan
 pendidikan dan pengetahuan ibu  pengetahuan mengenai gizi makan akan
rendah gizi

2. kurangnya asupan iodium  terganggunya proses pembentukan hormon tiroid 


tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh  hipofisis terstimulasi  TSH ke aliran
darah  kelenjar tiroid terpacu  kelenjar tiroid membesar  pembesaran pada
leher ( gondok)

3. dilihat dari usia : pada kasus umur 5 tahun. Dilihat melalui grafik dari WHO atau
CDC atau KMS dilihat dari bulan (5 tahun = 60 bulan). Dilihat berat badan untuk
menaksir kebutuhan nutrisi. Pada kasus (15 kg). Dilihat dari grafik WHO = gizi
kurang, karena <-2 SD. Berdasarkan usia dengan berat badan.

Menurut IDAI menggunakan Z score, dari kasus <-2SD = gizi kurang.


Perkiraan berat badan anak usia 20 tahun. Rumus 1-6 tahun, =(umur tahun x 2 + 8)
= 18 kg, pada kasus hanya 15 kg, berarti berat badan kurang.
Menurut tinggi badan usia. Umur x 6 + 77 = 107. Pada kasus tinggi 110, tinggi
normal

4. karena fungsi dari hormon tiroid itu adalah untuk memetabolisme nutrien seperti
lemak, karbohidrat. Jika metabolisme terganggu, maka akan mengganggu
perkembangan si anak.

5. Tatalaksana jika kekurangan iodium  edukasi pada pasien, edukasi asupan


makanan pada pasien
Tatalaksana lipiodol pada penduduk dengan endemik berat atau sedang terutama di
daerah dataran tinggi
Tatalaksana malnutrisi  ada 10 langkah yaitu atasi dan cegah hipoglikemi, cegah
dehidrasi, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, atasi infeksi, koreksi defisiensi
mikronutrien.

STEP 4

1. Faktor resiko

 Genetic  disebabkan karena adanya abnormalitas fungsi fisiologis kelenjar


tiroid
 Geografis  pada dataran tinggi, karena kadar iodium pada lapisan tanah
terkikis karena peristiwa alam.
Faktor yang menyebabkan malnutrisi
 Ketersediaan pangan  apakah tersedia pangan yang cukup, mis kekurangan
iodium pada kasus.
 Pendapatan orang tua ( status ekonomi) status ekonomi rendah maka tidak
bisa membeli atau mendapatkan nutrisi yang cukup
 Penggunaan pangan  Pola makan dan kebiasaan makan  apabila kebiasaan
makan baik maka status gizi akan baik, begitu juga sebaliknya.
 Pendidikan/ pengetahuan ibu  jika ibu pengetahuan mengenai gizi rendah,
maka akan rendah juga gizi pada anak.
 Jumlah anggota keluarga  berhubungan dengna status ekonomi, semakin
banyak maka pengeluaran untuk kebutuhan nutrsi akan kurang.
 Pola asuh  neglectful ( orang tua yang cenderung cuek, tanpa memperhatikan
keadaan anak).
 Sosial geografis  tidak terjangkaunya program pemerintah terhadap daerah
terpencil, sehingga pertumbuhan anak tidak terpantau oleh pemerintah
( sehingga program pemerintah mengenai upaya pemenuhan nutrisi tidak
tercapai).
3. Sudah cukup jelas di Step 3

4. Penilaian status gizi (antropometri) penghitungan tinggi badan, berat badan.

Penilaian secara klinis  dari manifestasi klinis ( keluhan anak, pada kasus GAKI).
Penilain biokimia  kebutuhan karbohidrat, protein, dan lemak.
5. Hormone tiroid penting untuk metabolisme karbohidrat dan lemak.
Tiroksin  masuk ke dalam sel reseptor spesifik thd tiroksin  terbentuk
kompleks antar reseptor dan tiroksin akan meningkatkan ekskresi dan ekspresi
gen pada nucleus sel  gen-gen tersebut akan berperan dalam metabolism lemak,
karbohidrat dan penggunaan oksigen.

6. Tatalaksana

Tatalaksana kekurangan iodium  upaya jangka pendek pemberian kapsul iodium.


Diberikan pada daerah endemis defisiensi iodium, diatur dalam UU.
Pemberian iodium pada makanan umum yang dikonsumsi orang.
Tatalaksana Malnutrisi  tentukan etiologi  pemberian suplemen vitamin sesuai
etiologi. ( missal pemberian Vit A, pemberian As.Folat).

MIND MAP

Etiologi
MALNUTRISI
Patofisiologi Faktor Resiko

Macam-macam
Kelainan
STEP 5

1. Macam – macam manutrisi (etiologi sampai tatalaksana).


2. Penilaian status gizi.

REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah PBL pada pertemuan pertama dapat berjalan dengan lancar, semoga
PBL pada pertemuan berikutnya saya dapat lebih baik lagi.

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7

1. Macam -macam malnutrisi :

1.1 Defisiensi vitamin A (xeroftalmia)/Kekurangan Vitamin A (KVA)

a. Definisi

Kelainan pada mata (kerusakan kornea mata) karena kekurangan


vitamin A yang dapat menyebabkan rabun senja ataupun kebutaan.1

b. Etiologi

Karena makanan yang kurang kandungan vitamin A-nya atau karena


absorpsi dan transportasi vitamin A yang kurang baik dalam tubuh
akibat kekurangan energy atau penyakit hati, gangguan pada konversi
karoten menjadi vitamin A sehingga menyebabkan defisiensi vitamin A
yang berkepanjangan. Vitamin A berfungsi dalam sistem penglihatan,
fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, serta fungsi
reproduksi.1

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Vitamin A (dalam makanan) sebagian besar dalam bentuk ester retinil,
bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di
dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-
enzim pancreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien untuk
diabsorpsi. Sebagian dari karotenoid, terutama beta-karoten di dalam
sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol. Retinol di
dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk
ester dan dengan bantuan cairan empedu menyeberangi sel-sel vili
dinding usus halus untuk kemudian diangkut oleh kilomikron melalui
sistem limfe ke dalam aliran darah menuju hati. Dengan konsumsi
lemak yang cukup, sekitar 80-90% ester retinil dan hanya 40-60%
karotenoid yang diabsorpsi. Dalam keadaan normal, cadangan vitamin
A dalam hati dapat bertahan hingga 6 bulan. Bila tubuh mengalami
kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa
perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil vitamin A dalam
darah yang aktif dalam deferensiasi sel dan pertumbuhan.2

Banyak jaringan epitel mengalami perubahan, akan tetapi hanya kulit


dan mata memperlihatkan gambaran yang karakteristik. Kelainan kulit
seperti kering dengan papula keratin sekitar folikel rambut dan adanya
gumpalan keratin dalam folikel. Kelainan kulit ini jarang ditemukan
pada anak di bawah usia lima tahun.2
Kelainan pada mata, buta senja sebagai akibat gangguan regenerasi
rhodopsin merupakan gejala dini dan sering timbul sebelum terdapatnya
gejala-gejala mata lain. Xerosis konjungtiva merupakan proses yang
terdiri dari perubahan konjungtiva bulbus, yakni kering, tebal, keriput,
dan penimbunan pigmen. Produksi air mata berkurang karena atrofi sel
Goblet, sehingga sebagai akibatnya sekresi air mata menurun. Bagian
konjugtiva Bulbus yang tidak tertutup oleh palpebral paling banyak
mengalami perubahan seperti yang telah disebutkan. Pada umumnya
kedua mata bersama-sama mengalami perubahan.2
Bercak bitot merupakan kelainan pada konjungtiva bulbus berbentuk
segitiga atau bentuk lain seringkali terdapat pada bagian temporal
maupun nasal kornea, akan tetapi adakalanya tersebar di seluruh
konjungtiva bulbus mata. Adanya bercak bitot dapat diketahui dengan
jelas, berupa bercak berwarna putih berbuih dan terdiri dari penimbunan
sel epitel. Xerosis kornea merupakan kelainan pada kornea disebabkan
oleh keringnya epitel, sehingga kejernihan kornea menjadi kurang.2
d. Penegakan Diagnosis

Gejala tampak apabila cadangan vitamin A dalam hepar dan organ-


organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A serum menurun
untuk mensuplai kebutuhan metabolic untuk mata. Vitamin A
diperlukan oleh retina mata untuk pembentukan rhodopsin dan
pemeliharaan defisiensi jaringan epitel.1

Tanda-tanda khas defisiensi vitamin A, antara lain: melemahnya


kekebalan tubuh, keratinisasi, terhambatnya pertumbuhan terkhusus
pada pembentukan rangka, kulit kering, rambut kering, kuku rusak, dan
penurunan resistensi terhadap infeksi.1

Gejala-gejala defisiensi vitamin A pada mata, diawali dengan


berkurangnya daya adaptasi, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan
mata dengan keadaan redup, yang lambat laun menjadi buta malam atau
rabun senja (niktalopia), xerosis konjungtiva dan kornea (pengeringan),
keratomalacia (nekrosis/ulserasi kornea), dan bintik-bintik Bitot (lesi
konjungtiva).1

Pada stadium terakhir defisiensi vitamin A dapat timbul xeroftalmia,


yaitu mengering dan mengerasnya sel-sel kornea yang berakibat
keratomalasia, yaitu hancurnya kornea mata sehingga menjadi
kebutaan.1

e. Tatalaksana dan Pencegahan

• Pengobatan

Secara umum, pengobatan KVA yaitu pada upaya memperbaiki status


vitamin A dengan memberi vitamin A. Untuk sindrom VAD,
pengobatan termasuk suplemen oral harian, sebagai berikut: Anak-
anak berusia 3 tahun atau lebih muda - 600 mcg (2000 IU), Anak-anak
berusia 4-8 tahun - 900 mcg (3000 IU), Anak-anak berusia 9-13 tahun
- 1700 mcg (5665 IU), Anak-anak berusia 14-18 tahun - 2800 mcg
(9335 IU), Semua orang dewasa - 3000 mcg (10.000 IU), Dosis
terapeutik untuk penyakit parah termasuk 60.000 mcg (200.000 IU)
sehari selama paling sedikit 4 minggu. Wanita hamil tidak boleh
menerima dosis besar vitamin A karena mungkin teratogenik, tetapi
dosis harian 10.000 IU selama 2 minggu aman.2

Untuk mengobati atau mengurangi resiko infeksi mata sekunder


(akibat bakteri atau virus) yang dapat memperburuk kerusakan kornea,
sebaiknya diberikan antibiotic salep mata yang mengandung tetrasiklin
atau kloramfenikol (jangan menggunakan salep yang mengandung
steroid).3
Untuk mencegah trauma (kornea rusak akibat serosis dan ulserasi),
mata sebaiknya ditutup dengan bahan yang tidak bersifat iritatif dan
pergerakan lengan anak dibatasi, misalnya dengan mengikat tangan
anak ke tempat tidur.3
Anak-anak dengan marasmus atau kwashiorkor membutuhkan
suplementasi nutrisi lebih lanjut dan pemantauan dengan dosis
tambahan vitamin A setiap bulan sampai mereka secara klinis
membaik. Penyakit bersamaan (misalnya, malaria, parasit usus,
dehidrasi, TBC) harus diobati.3
Rabun senja akan merespon terapi setelah 24 – 48 jam. Serosis
konjungtiva yang aktif dan bintik bitot mulai mereda dalam 2 – 5 hari,
dan akan sembuh dalam 2 minggu. Sementara itu serosis kornea reda
dalam 2 – 5 hari dan kornea kembali normal setelah 1 – 2 minggu.3
• Pencegahan
Pasokan vitamin A di awal kehidupan akan tercukupi melalui air susu
ibu jika ibu memiliki status vitamin A yang baik. Ada dua pendekatan
untuk memperbaiki status vitamin A bayi yang berusia < 6 bulan,
yaitu: pemberian vitamin A dosis tinggi kepada ibu menyusui atau
memberi satu atau beberapa dosis kepada bayi. Selain itu, pemberian
suplementasi vitamin A sebanyak 20.000 IU segera setelah
melahirkan.
Upaya perbaikan keadaan social dan ekonomi, kebersihan lingkungan
serta perbaikan sarana perumahan, misalnya telah berhasil menekan
angka prevalensi dan keparahan infeksi saluran pernafasan,
tuberculosis, diare, dan infestasi cacing yang berarti meningkatkan
penyerapan, serta menurunkan kebutuhan metabolic akan vitamin A.
imunisasi campak secara efektif sekaligus melenyapkan salah satu
pemicu xeroftalmia dan kematian yang berkaitan dengan vitamin A.

Perawatan untuk VAD subklinis termasuk konsumsi makanan kaya


vitamin A, seperti hati, daging sapi, ayam, telur, susu yang diperkaya,
wortel, mangga, kentang, dan sayuran hijau berdaun. (2)

1.2 Defisiensi vitamin B1 (tiamin atau beri-beri)


a. Definisi

Defisiensi tiamin atau beri-beri yaitu kurangnya tiamin pirofosfat,


bentuk aktif vitamin yang dikenal sebagai tiamin atau vitamin B1.
Tiamin pirofosfat, bentuk tiamin yang aktif secara biologis, bertindak
sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat melalui dekarboksilasi
alfa ketoasid. Ini juga mengambil bagian dalam pembentukan glukosa
dengan bertindak sebagai koenzim untuk transketolase dalam jalur
pentosa monofosfat.4

b. Etiologi dan factor resiko5

Beri-beri infantil
Beri-beri infantil terjadi pada bayi berusia 2-4 bulan yang hanya
diberi ASI dan yang ibunya kekurangan tiamin.

Asupan yang buruk


 Makanan utamanya mengandung beras yang digiling / biji-bijian
olahan
 Alkoholisme kronis
 Nutrisi orang tua tanpa suplementasi tiamin yang memadai
 Operasi bypass lambung
Penyerapannya buruk
 Malnutrisi

 Sindrom malabsorpsi
Peningkatan kerugian (Menipisnya tiamin)
 Diare

 Hiperemesis gravidarum
 Penggunaan diuretik
 Terapi penggantian ginjal (hemodialisis)
Peningkatan penggunaan tiamin
 Kehamilan

 Laktasi

 Hipertiroidisme

 Sindrom refeeding (metabolism karbohidrat meningkat)


Obat Diuretik, Kekurangan Folat.
c. Patofisiologi
Ketika orang sehat kekurangan thiamine, thiamine habis dalam 1 bulan.
Namun, dalam satu minggu setelah asupan tiamin berhenti, orang sehat
akan mengeluhkan takikardia, lemah, dan penurunan refleks tendon
dalam; beberapa orang mengembangkan neuropati perifer.4

Defisiensi tiamin dengan keterlibatan sistem saraf disebut beri-beri


kering, biasanya terjadi ketika asupan kalori yang buruk dan aktivitas
fisik relatif tidak ada. Temuan neurologis dapat berupa neuropati perifer
yang ditandai dengan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan refleks
ekstremitas, terutama pada ekstremitas bawah distal. Analisis histologis
menunjukkan bahwa lesi timbul dari degenerasi mielin pada selubung
otot tanpa peradangan.4

Presentasi lain dari keterlibatan neurologis adalah ensefalopati Wernicke


di mana urutan gejala teratur terjadi, termasuk muntah, nistagmus
horizontal, kelumpuhan gerakan mata, demam, ataksia, dan gangguan
mental progresif yang mengarah ke sindrom Korsakoff. Peningkatan
dapat dicapai pada tahap apa pun dengan penambahan tiamin, kecuali
jika pasien dalam sindrom Korsakoff terus terang.4

Beri-beri basah adalah istilah yang digunakan untuk defisiensi tiamin


dengan keterlibatan kardiovaskular. Bentuk kronis beri-beri basah terdiri
dari 3 tahap. Pada tahap pertama, vasodilatasi perifer terjadi,
menyebabkan keadaan curah jantung tinggi. Hal ini menyebabkan
retensi garam dan air yang dimediasi melalui sistem renin-angiotensin-
aldosteron di ginjal. Ketika vasodilatasi berlangsung, ginjal mendeteksi
kehilangan volume yang relatif dan merespons dengan menyimpan
garam. Dengan retensi garam, cairan juga diserap ke dalam sistem
peredaran darah. Kelebihan cairan yang dihasilkan mengarah ke edema
dari ekstremitas tergantung.4
Pada saat edema yang signifikan terjadi, jantung telah terkena beban
kerja yang sangat tinggi untuk memompa output jantung yang
dibutuhkan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan organ akhir.
Bagian otot jantung mengalami cedera berlebihan, yang mengakibatkan
gejala fisik takikardia, edema, dan tekanan arteri dan vena yang tinggi.
Perubahan ini dapat menyebabkan cedera miokard, yang dinyatakan
sebagai nyeri dada. Beri-beri basah adalah keadaan darurat medis dan
tanpa perawatan dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari.4

d. Penegakan diagnosis

Gejala awal defisiensi B1, meliputi: anoreksia, iritabilitas, dan kesulitan


dengan ingatan jangka pendek, fontanelle yang menonjol. Dengan
defisiensi tiamin yang berkepanjangan, pasien dapat mendukung
hilangnya sensasi pada ekstremitas, gejala gagal jantung termasuk
pembengkakan pada tangan atau kaki dan nyeri dada yang terkait
dengan iskemia, atau perasaan vertigo, penglihatan ganda, dan
kehilangan memori.3

Beri-beri kering:

• Bukti neuropati perifer simetris dengan perubahan motorik dan


sensorik

• Refleks berkurang

Beri-beri basah - kompromi kardiovaskular yang berhubungan dengan


gangguan metabolisme energi miokard dan disautonomia:

• Kardiomiopati dilatasi

• Takikardia

• Gagal jantung kongestif high output

• Edema perifer.4,5
Beri-beri basah dan kering sering memiliki fitur yang tumpang tindih,
dan dalam kondisi apa pun, parestesia mungkin merupakan fitur yang
muncul.

Ensefalopati Wernicke (WE) atau sindrom Wernicke-Korsakoff. adalah


trias klasik: kelainan okular (nystagmus, ophthalmoplegia),
kebingungan, dan perubahan gaya berjalan seperti ataksia dengan gejala
tambahan kehilangan ingatan.5

Gambar 1.1 Spektrum klinis gangguan defisiensi tiamin 5

Deteksi defisiensi tiamin bergantung pada riwayat yang relevan dan


temuan pemeriksaan fisik dan tindak lanjut dengan pengujian
laboratorium untuk konfirmasi.5

Studi Laboratorium:

• Uji enzimatik fungsional dari aktivitas transketolase - aktivitas


transketolase diukur sebelum dan sesudah penambahan tiamin
pirofosfat; > 25% respon stimulasi tidak normal

• Pengukuran tiamin atau ester tiamin terfosforilasi dalam serum atau


darah menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi

• Studi urin ada tetapi bukan tes yang dapat diandalkan untuk evaluasi
thiamine total tubuh

• Asidosis metabolik dapat terjadi dengan defisiensi tiamin, karena


akumulasi laktat.5
Studi Radiografi:

MRI: kelainan yang paling umum terlihat dengan WE adalah perubahan


simetris pada thalamus, badan mamillary, area periaqueductal, dan
lempeng tektal.5

e. Penatalaksanaan dan Pencegahan


• Pengobatan
Pada kejadian yang akut, segera diberi 100 mg vitamin B1 intravena atau
tiamin oral 3 x 10 mg/hari. Pemberian ini dapat diteruskan selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk menjamin penyembuhan
total dengan dosis untuk bayi sebanyak 5 – 10 mg dan untuk anak 10 – 20
mg yang diberikan setiap hari. Pilihan lain dalam krisis akut adalah 50
mg diberikan secara intramuskular selama 2-4 hari, diikuti dengan terapi
pemeliharaan oral.4
Bila beri-beri terjadi pada bayi yang mendapat ASI, baik ibu maupun bayi
harus diberi pengobatan. Dosis harian tiamin yang dianjurkan untuk bayi
5-10 mg, anak 10-20 mg, dan orang dewasa 50 mg. Pemberian secara oral
cukup efektif, kecuali bila ada gangguan saluran cerna yang lama dan
pada anak dengan gagal jantung, pemberiannya harus secara intramus-
kular atau intravena. Karena beriberi umumnya disertai oleh defisiensi
komponen vitamin B kompleks lainnya, maka selain tiamin dianjurkan
pula pemberian vitamin B kompleks.3

• Pengobatan defisiensi tiamin dengan dugaan WKS 


 500 mg IV tiamin diinfuskan selama 30 menit tiga kali pada hari 1 dan
2 terapi
 250 mg tiamin IV atau intramuskular pada hari ke-3 terapi.4
• Pencegahan
Pada umumnya diet yang baik mengandung cukup tiamin. Pemberian
vitamin B1 tambahan diperlukan untuk ibu yang sedang mengandung dan
menyusui dan dianjurkan untuk memberi pada mereka:3
 1,8 mg vitamin B1 setiap hari pada ibu hamil
 2,3 mg untuk ibu yang menyusui
 0,4 mg untuk bayi
 0,6 – 2,0 pada anak yang lebih besar.3

1.3 Defisiensi vitamin B2

a. Definisi

Riboflavin (vitamin B2) adalah vitamin yang larut dalam air dan tahan
panas bertindak sebagai precursor flavin mononucleotide (FMN) dan flavin
adenine dinucleotide (FAD) yang terlibat dalam jalur pengaturan utama
mitokondria, seperti metabolisme asam amino, asam lemak, dan purin, dan
reaksi reduksi oksidasi penting untuk pertumbuhan sel normal dan
pengembangan. Selain meningkatkan energi, riboflavin berfungsi sebagai
antioksidan untuk fungsi yang tepat dari sistem kekebalan tubuh, kulit yang
sehat, dan rambut.6

b. Etiologi dan Faktor resiko

• Asupan makanan yang tidak memadai atau oleh kelainan


endokrin. Kekurangan riboflavin juga berkorelasi dengan kompleks
vitamin B lainnya, seperti B1 (tiamin) dan B3 (niasin).

• Gangguan penyerapan dan pengolahan makanan tidak normal seperti:


diare kronis, gangguan hati, alkoholisme, hemodialysis, dekompensasi
jantung

• Keperluan vitamin B2 meningkat, missal: pada pertumbuhan yang cepat,


wanita hamil dan menyusui (disekresikan dalam susu).

Biasanya anak dari keluarga dengan status sosioekonomi rendah, anak


dengan penyakit jantung kronik dan bayi yang menjalani fototerapi lama
untuk hyperbilirubinemia.6
c. Patofisiologi

Koenzim memainkan peran penting dalam sebagian besar proses biokimia


penghasil energi utama dalam tubuh, bertindak sebagai pembawa elektron
untuk enzim dalam reaksi reduksi oksidasi. Enzim tergantung seperti itu
termasuk dari siklus asam sitrat, rantai transpor elektron mitokondria, dan
beberapa jalur lain dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

FAD juga merupakan koenzim yang dibutuhkan untuk berfungsinya enzim


antioksidan glutathione reduktase dalam perlindungan sel terhadap tekanan
oksidatif, memungkinkan pengukuran aktivitas enzim dalam sel darah
merah menjadi salah satu metode untuk penilaian nutrisi riboflavin. status.

Riboflavin secara alami terdapat pada beberapa makanan seperti telur,


produk susu, daging, sayuran hijau, dan biji-bijian. Riboflavin antioksidan
utama berfungsi seperti glutathione. Glutathione bekerja untuk
menghancurkan radikal bebas dan mendetoksifikasi hati, karena radikal
bebas dapat menyebabkan beberapa penyakit. Apabila kekurangan
riboflavin sehingga koenzim FAD yang dibutuhkan untuk enzim
glutathione reductase tidak ada maka glutathionine tidak dapat berfungsi
dan radikal bebas tidak dapat dihancurkan sehingga menyebabkan
kelainan.

Makanan yang mengandung riboflavin sebagian besar diserap di jejunum


melalui sistem transportasi. Setelah diserap, sebagian besar vitamin B2 yang
beredar bersirkulasi pada albumin, dan sisanya sebagian besar terikat pada
imunoglobulin. Masuknya vitamin ke dalam sel terutama difasilitasi oleh
transportasi yang dimediasi oleh pembawa melalui protein pengikat
riboflavin spesifik pada membran sel. Transpor pasif pada konsentrasi
tinggi dan sistem transpor yang dimediasi reseptor. Hanya sejumlah kecil
vitamin yang disimpan oleh tubuh (hati), dan sebagian besar diekskresikan
melalui urin. Ini juga dikeluarkan ke dalam ASI, karena itu meningkatkan
risiko kekurangan pada ibu selama kehamilan dan menyusui.

Kekurangan riboflavin dapat mengubah penyerapan zat besi dan


menyebabkan anemia, yang menyebabkan kelelahan. Riboflavin terlibat
dalam produksi sel darah merah dan transportasi oksigen ke
sel. Meningkatkan jumlah riboflavin dalam tubuh dapat meningkatkan
kadar hemoglobin yang bersirkulasi dan meningkatkan produksi sel darah
merah. Kolagen adalah protein yang ditemukan di sebagian besar kulit dan
rambut, sehingga riboflavin diperlukan untuk mempertahankan tingkat
kolagen yang memadai.6

d. Penegakan diagnosis

Defisiensi riboflavin menyebabkan ariboflavinosis dengan gejala:


 Stomatitis angularis : retak dan radang pada sudut mulut
 Cheilosis : retak dan radang pada bibir
 Glositis : lidah merah jambu dan licin, menunjukkan hilangnya struktur
papil.
 Perubahan kulit berupa luka seboroik pada lipatan nasolabium, sekitar
lubang hidung, daun telinga, dan kelopak mata. Adakalanya ditemukan
dermatitis pada tangan, sekitar vulva, anus, dan perineum.
 Perubahan pada mata sehingga menimbulkan fotofobia, lakrimasi
berlebihan, rasa panas dan pusing.
 Adakalanya ditemukan anemia berat tipe normokrom normositik dengan
retikulositopenia.
 Dalam kebanyakan kasus, defisiensi riboflavin bersifat reversibel
kecuali jika itu adalah perubahan anatomi seperti katarak.
 Cacat lahir seperti: kelainan bentuk bibir dan langit-langit mulut (Cleft
lip and palate deformities), kelainan jantung bawaan.3
Kelainan Laboratorium: Urin yang mengandung riboflavin kurang dari
50 µg merupakan indikasi adanya defisiensi vitamin B2, Mengukur eritrosit
glutathione reduktase dapat membantu mendeteksi defisiensi riboflavin
(dengan dan tanpa penambahan flavin adenin dinukleotida jika hasil rasio
1,3 atau lebih menunjukkan defisiensi vitamin B2 fungsional) dan biasanya
sudah disertai gejala klinisnya.6
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Ariboflavinosis dapat dicegah dengan diet yang mengandung cukup


kacang-kacangan, sayur mayur, susu, telur, daging, roti, sereal. Dianjurkan
pemberian vitamin B2 setiap harinya bagi bayi sebanyak 0,6 mg, anak-anak
sebanyak 1 – 2 mg, dan dewasa sebanyak 2 – 3 mg. Rekomendasi adalah
bahwa wanita hamil mengonsumsi 1,4 mg, dan wanita menyusui
mengambil 1,6 mg. pada penderita diberikan 6 – 10 mg riboflavin tiap hari
untuk beberapa minggu lamanya.3
Pengobatan berupa pemberian riboflavin per oral dengan dosis 3-10
mg/hari selama beberapa minggu. Bila dalam beberapa hari tidak ada
respons dapat diberikan riboflavin IM dengan dosis 3 x 2 mg/hari selama
beberapa hari. Selain itu anak harus mendapat pula gizi yang berimbang.3

1.4 Defisiensi vitamin B6

a. Definisi

Vitamin B6 terdiri atas derivat piridin yang berhubungan erat yaitu


piridoksin, piridoksal serta piridoksamin dan derivat fosfatnya yang
bersesuaian. Bentuk aktif dari vitamin B6 adalah piridoksal fosfat, di mana
semua bentuk vitamin B6 diabsorbsi dari dalam intestinum , tetapi
hidrolisis tertentu senyawa-senyawa ester fosfat terjadi selama proses
pencernaan. Piridoksal fosfat merupakan bentuk utama yang diangkut
dalam plasma Pyridoxine adalah bentuk paling umum ditemukan dalam
multivitamin.3
b. Etiologi dan factor resiko
Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi dan setiap defisiensi yang terjadi
merupakan bagian dari defisiensi menyeluruh vitamin B kompleks,
seperti asam folat dan B12. Kadar B6 aktif plasma yang rendah ditemukan
dalam ketergantungan alkohol kronis, dengan keadaan obesitas,
kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, dan keadaan malabsorptive
seperti celiac, penyakit radang usus, dan operasi bariatrik.7
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Setelah penyerapan, piridoksin, piridoksamin, dan piridoksal diangkut ke


dalam sel hati dengan difusi yang difasilitasi. Pyridoxal kinase
phosphorylates pyridoxine dan pyridoxamine dikonversi menjadi
pyridoxal 5'-phosphate (PLP) oleh enzim yang bergantung pada flavin.
PLP baik tetap dalam hepatosit, di mana ia terikat pada apoenzim, atau
dilepaskan ke dalam serum, di mana ia terikat erat dengan albumin.
Piridoksal bebas didegradasi oleh alkali fosfatase, aldehid hati dan ginjal,
dan dehidrogenase piridoksal.7

Pyridoxine 5'-phosphate (PLP) adalah kofaktor penting dalam berbagai


jalur transaminasi, dekarboksilasi, dan sintesis yang melibatkan
karbohidrat, sphingolipid, asam amino yang mengandung belerang, heme,
dan neurotransmiter. PLP adalah koenzim metabolisme triptofan,
metionin, dan asam gamma aminobutyric (GABA). Dengan kekurangan
metionin, S-adenosylmethionine terakumulasi, menghasilkan
penghambatan sintesis sphingolipid dan mielin. Tryptophan adalah
prekursor beberapa neurotransmiter dan diperlukan untuk produksi niasin.
Dengan demikian, kekurangan piridoksin dapat menyebabkan sindrom
yang tidak dapat dibedakan dari pellagra.7

PLP adalah kofaktor untuk dekarboksilase asam glutamat, enzim yang


menghasilkan GABA, sehingga kekurangan PLP menyebabkan GABA
tidak mencukupi. Karena GABA adalah penghambat utama
neurotransmitter kortikal, defisiensi PLP dapat menyebabkan kejang.
Menariknya, kejang yang bergantung pada piridoksin tidak disebabkan
oleh defisiensi piridoksin tetapi lebih disebabkan oleh penipisan PLP
yang meningkat.7

d. Penegakan Diagnosis

Kekurangan vitamin B6 dapat terjadi kejang pada bayi, cengeng, mudah


kaget. Temuan pemeriksaan fisik dapat meliputi kebingungan dan lesi
kulit, terutama lesi wajah seperti stomatitis, glositis, dermatitis seboroik,
dan cheilitis sudut. Temuan fisik objektif dapat mencakup neuropati
perifer, fotosensitifitas kulit, dan gangguan gerakan. Adakalanya terdapat
juga gangguan sistem hematopoietic dengan anemia berat yang dapat
menyembuh dengan pemberian terapi vitamin B6.3
Bila sebab lain kejang pada bayi seperti hipokalsemia, hipoglikemia, dan
infeksi dapat disingkirkan, maka bayi tersebut harus segera mendapat
piridoksin 100 mg parenteral. Kemudian bila kejang berhenti harus
diduga adanya defisiensi piridoksin, dan merupakan indikasi untuk
melakukan uji triptofan dosis tinggi. Hal serupa dilakukan pada anak
besar yang menderita kejang, yaitu pada saat merekam EEG disuntikkan
piridoksin 100 mg; bila dilihat adanya respons yang membaik pada
rekamam EEG dicurigai adanya defisiensi piridoksin.3
Diagnosis defisiensi vitamin B6 dapat dibantu dengan merendahnya kadar
enzim glutamat piruvat transaminase dalam eritrosit. Dalam keadaan
defisiensi akan ditemukan piridoksin plasma dibawah 25 mg/ml,
piridoksin urin 24 jam dibawah 20 µg untuk tiap gram kreatinin dan asam
piridoksin dibawah 0,5 mg. Jika terdapat penyebab lain, seperti
pemberian isoniazida lama atau malabsorpsi diobati secepatnya.
Pemberian triptofan 100 mg/kg BB pada anak dengan defisiensi vitamin
B6 akan menyebabkan sangat banyaknya ekskresi asam xanturenat dalam
air kemih, yang tidak dijumpai pada anak normal. Hasil uji triptofan ini
dapat normal pada anak dengan ketergantungan piridoksin.7

e. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Untuk kejang yang mungkin disebabkan oleh defisiensi piridoksin harus


segera diberikan piridoksin 100 mg parenteral. Biasanya dosis tunggal
sudah memadai apabila dilanjutkan dengan diet yang adekuat. Neonatus
dengan kejang defisiensi B6 mungkin memerlukan 10 hingga 100 mg
intravena (IV) untuk pengobatan efektif kejang aktif. Bagi anak dengan
sindrom ketergantungan, diperlukan pemberian piridoksin 2-10 mg
parenteral atau 10-100 mg per oral setiap hari.3

Pencegahan
Diet berimbang biasanya mengandung cukup piridoksin, sehingga jarang
dijumpai keadaan defisiensi. Tambahan piridoksin diperlukan pada anak
yang mendapat diet protein tinggi. Bayi yang ibunya mendapat piridoksin
dosis tinggi selama kehamilan, mempunyai risiko tinggi terhadap kejang
karena ketergantungan piridoksin. Demikian pula setiap anak yang
mendapat pengobatan dengan antagonis piridoksin perlu diawasi terhadap
timbulnya gejala neurologik; bila perlu anak harus mendapat tambahan
piridoksin atau dosis obat antagonis piridoksin diturunkan. Kecukupan
piridoksin per hari yang dianjurkan adalah sebagai berikut, untuk bayi
0,3-0,5 mg, anak 0,5-1,5 mg, dan orang dewasa 1,5-2,0 mg.3

1.5 Defisiensi vitamin B12

a. Definisi
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks
(cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini
ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 (Cobalamin)
adalah vitamin yang larut dalam air yang berasal dari produk hewani
seperti daging merah, susu, dan telur. Faktor intrinsik adalah glikoprotein
yang diproduksi oleh sel parietal dalam lambung dan diperlukan untuk
penyerapan B12 di ileum terminal. Setelah diserap, B12 digunakan sebagai
kofaktor untuk enzim yang terlibat dalam sintesis DNA, asam lemak, dan
mielin.8
b. Etiologi

Defisiensi vitamin B12 dapat terjadi oleh:


 Kekurangan vitamin B12 dalam diet sehari-harinya, misalnya pada
orang yang pantang makan daging.
 Tidak terdapatnya faktor intrinsic seperti pada anemia pernisiosa.
Anemia pernisiosa adalah kondisi autoimun di mana antibodi terhadap
faktor intrinsik diproduksi. Antibodi faktor anti-intrinsik mengikat dan
menghambat efek faktor intrinsik, yang mengakibatkan
ketidakmampuan B12 untuk diserap oleh ileum terminal.
 Gangguan resorpsi dan penggunaan vitamin B12 seperti pada diare
menahun, KKP.8

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Vitamin B12 adalah kofaktor untuk enzim metionin sintase, yang


digunakan dalam konversi homosistein menjadi metionin. Sebagai produk
sampingan dari reaksi ini, metil-THF dikonversi menjadi THF, yang
dikonversi menjadi zat antara yang digunakan dalam sintesis basa
pirimidin DNA. Pada defisiensi B12, homocysteine tidak dapat dikonversi
menjadi metionin, dan dengan demikian, metil-THF tidak dapat
dikonversi menjadi THF. Akibatnya, tingkat homocysteine menumpuk,
dan basa pirimidin tidak dapat terbentuk, memperlambat sintesis DNA
dan menyebabkan anemia megaloblastik. Anemia kemudian
menyebabkan gejala seperti kelelahan dan pucat yang biasanya terlihat
pada pasien dengan defisiensi B12. Gangguan sintesis DNA menyebabkan
masalah untuk garis sel lain yang berkembang biak dengan cepat, seperti
PMN. Dengan demikian, defisiensi B12 secara khas menghasilkan
pembentukan neutrofil yang hipersegmentasi.8

Vitamin B12 juga digunakan sebagai kofaktor untuk enzim


methylmalonyl-CoA mutase, yang mengubah methylmalonyl-CoA
menjadi suksinil-CoA. Pada pasien dengan defisiensi B12, kadar asam
methylmalonic (MMA) akan menumpuk, karena tidak dapat dikonversi
menjadi succinyl-CoA. Dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar MMA,
bersama dengan peningkatan kadar homosistein, berkontribusi terhadap
kerusakan mielin, menyebabkan defisit neurologis, seperti neuropati dan
ataksia, terlihat pada pasien ini. Kerusakan pada myelin menghasilkan
suatu kondisi yang dikenal sebagai degenerasi gabungan medula spinalis
(SCDSC) subakut. Kondisi ini mempengaruhi berbagai bagian medula
spinalis, termasuk kolom dorsal, traktus kortikospinalis lateral, dan
traktus spinocerebellar, yang mengakibatkan hilangnya proprioseptif,
ataksia, perkembangan neuropati perifer, dan demensia.8

Gambar 1.2 Patofisiologi Defisiency Vitamin B 125

d. Penegakan Diagnosis

Adapun gejala-gejalanya ialah glositis atrofi (lidah yang halus dan


mengkilap), rasa mual, muntah-muntah, diare bergantian dengan
konstipasi, tidak terdapatnya getah lambung, perubahan saraf, anemia
makrositis hiperkronis. Sel darah merah membesar dan berkurang
jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh gangguan pembentukan atau proses
pematangan eritrosit.3
Pemeriksaan neurologis lengkap harus mengevaluasi untuk demensia,
neuropati perifer, ataksia, dan hilangnya propriosepsi. Pemeriksaan status
mental juga berguna untuk mengevaluasi perubahan neuropsikiatri.8
Tes laboratorium awal harus mencakup hitung darah lengkap (CBC)
dengan hapusan perifer dan serum B12 serta kadar folat. Kelainan
laboratorium yang timbul adalah kadar vitamin B12 rendah (kurang dari
150 pg/ml).8
Pada pasien yang kekurangan B12, CBC akan menunjukkan anemia, yang
bermanifestasi sebagai penurunan hemoglobin dan hematokrit. Selain itu,
volume corpuskuler rata-rata (MCV), yang mengukur ukuran sel darah
merah, akan meningkat lebih besar dari 100. Ini konsisten dengan
diagnosis anemia makrositik. Apusan darah tepi akan menunjukkan
neutrofil yang hipersegmentasi, dengan sebagian neutrofil memiliki lebih
dari atau sama dengan lima lobus.8

e. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Pada pasien dengan defisiensi faktor intrinsik, baik karena anemia


pernisiosa atau operasi bypass lambung, dosis B12 parenteral
direkomendasikan, Dosis 1000 mcg B12 melalui rute intramuskular
direkomendasikan sebulan sekali. Pada pasien yang baru didiagnosis,
1000 mcg B12 diberikan secara intramuskuler seminggu sekali selama
empat minggu. Memberikan asupan makanan yang mengandung B12
seperti daging, ikan, keju, telur. Bisa diberikan juga suplemen B12.3

1.6 Defisiensi vitamin C

a. Definisi
Scurvy adalah keadaan kekurangan vitamin C dalam makanan (asam
askorbat). Tubuh manusia tidak memiliki kemampuan untuk mensintesis
dan membuat vitamin C dan karena itu tergantung pada sumber makanan
eksogen untuk memenuhi kebutuhan vitamin C. Kelompok vitamin C
dalam tubuh dapat terkuras dalam 1-3 bulan.9

b. Etiologi dan Faktor resiko

Kekurangan asupan dari vitamin C yang berkepanjangan (sekitar 3


bulan). Manusia memperoleh 90% dari asupan vitamin C dari buah-
buahan dan sayuran, dan memasak sumber-sumber ini mengurangi
kandungan vitamin C 20-40%. Jumlah vitamin C dalam tubuh dapat habis
dalam 1-3 bulan. Asam askorbat rentan terhadap oksidasi in vivo, dan
penyimpanan tubuh dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gaya hidup
(misalnya: merokok), kondisi biologis (misalnya: peradangan, kelebihan
zat besi), dan kondisi patologis (misalnya: malabsorpsi) yang dapat
mengubah oksidasinya.
Faktor risiko defisiensi vitamin C, meliputi: Alkoholisme, bayi hanya
diberi susu sapi, lansia hanya mengkonsumsi diet teh dan roti panggang,
orang miskin yang tidak mampu membeli buah dan sayuran, perokok
(penyerapan vitamin C yang lebih rendah dan peningkatan katabolisme),
individu dengan gangguan makan, diabetes tipe 1 yang memiliki
kebutuhan vitamin C tinggi, individu dengan kelainan saluran GI seperti
penyakit radang usus, individu dengan kelebihan zat besi yang
menyebabkan pemborosan vitamin C oleh ginjal, individu dengan diet
ketat, alergi makanan.9

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Vitamin C secara fungsional paling relevan untuk pembentukan kolagen


triple heliks; defisiensi vitamin C menyebabkan gangguan sintesis
kolagen. Sintesis kolagen yang rusak menyebabkan pembentukan dentin
yang rusak, pendarahan ke gusi, dan kehilangan gigi.

Perubahan tulang terjadi di persimpangan antara akhir diafisis dan


kartilago pertumbuhan. Osteoblas gagal membentuk osteoid (matriks
tulang), mengakibatkan penghentian pembentukan tulang endokhondral.
Kalsifikasi kartilago pertumbuhan di ujung tulang panjang berlanjut,
mengarah ke penebalan lempeng pertumbuhan. Invasi khas kartilago
pertumbuhan oleh kapiler tidak terjadi. Tulang yang sudah ada
sebelumnya menjadi rapuh dan mengalami resorpsi, menghasilkan fraktur
spikula mikroskopis antara poros dan kartilago yang terkalsifikasi
(calcified cartilage). Dengan fraktur ini, periosteum menjadi kendur,
menghasilkan perdarahan subperiosteal.9

Gambar 1.3 Patofisiologi Defisiensi Vitamin C3

d. Penegakan Diagnosis

Bermanifestasi secara simtomatik setelah 8 hingga 12 minggu asupan yang


tidak adekuat dan timbul sebagai iritabilitas dan anoreksia. Setelah gejala
awal ini, temuan dermatologis meliputi penyembuhan luka yang buruk,
pembengkakan gingiva dengan kehilangan gigi, petekie mukokutan,
ekimosis, dan hiperkeratosis. Kelelahan, malaise, anemia, mialgia, nyeri
tulang, mudah memar, bengkak, perdarahan perifollicular pada extremitas
bawah. Gejala dapat berkembang menjadi demam, hemarthrosis,
perdarahan subperiosteal. Jika tidak diobati, penyakit ini dapat berkembang
menjadi penyakit kuning, neuropati, hemolisis, kejang, dan kematian.3
Biasanya terdapat riwayat ibu yang selaiu mendidihkan/memasak sari buah
untuk bayinya. Uji laboratorium untuk penyakit skorbut sampai saat ini
masih belum memuaskan. Kadar vitamin C dalam plasma darah (puasa)
lebih dari 0,6 mg/dl dapat menyingkirkan diagnosis scurvy, tetapi kadar
vitamin C yang lebih rendah dari itu belum tentu membuktikan adanya
scurvy. Pemeriksaan kadar vitamin C dalam lapisan sel darah putih trombosit
(huffy coat) dari darah oksalat yang diputar, saat ini merupakan petunjuk
yang paling baik untuk diagnosis. Kadar nihil vitamin C pada lapisan ini
menunjukkan adanya skorbut laten, meskipun tidak dijumpai adanya gejala
klinis. Kadar vitamin C dalam jaringan dapat diukur dengan menghitung
banyaknya ekskresi vitamin C melalui urin setelah dilakukan uji dosis
vitamin C. Biasanya 3-5 jam setelah pemberian vitamin C secara parenteral,
80% akan dijumpai dalam urin anaknormal. Pada Scurvy juga dijumpai
aminoasiduria nonspesifik, tetapi kadar asam amino darah masih tetap normal.
Setelah diberikaii tirosin, bayi scurvy akan mengekskresikan rnetaboiit yang
sama dengan bayi prematur. Masa protrombin pada penderita scurvy
memanjang.9

e. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Scurvy dapat dicegah dengan pemberian diet cukup vitamin C, buah jeruk
dan saribuah adalah sumber vitamin C yang baik. Kecukupan vitamin C per
hari yang dianjurkan adalah sebagai berikut: bayi 20 mg/hari, anak 45
mg/hari, ibu hamil atau menyusui 120 mg/hari, 90 mg/hari untuk laki-laki, 75
mg/hari untuk wanita. Ke dalam susu formula bayi harus ditambahkan 35 mg
asam askorbat setiap hari. Lebih kurang pemberian 750 ml sari buah jeruk
atau tomat tiap hari akan mempercepat penyembuhan, tetapi sebenarnya
pemberian asam askorbat lebih baik lagi. Dosis pengobatan sehari asam
askorbat adalah 100-200 mg atau lebih, dapat diberikan secara oral atau
parenteral selama sebulan jika diet saja tidak cukup.3,9

1.7 Defisiensi vitamin D (rakitis dan osteomalasia)

a. Definisi

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak yang digunakan oleh
tubuh untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang normal dengan
meningkatkan penyerapan kalsium, magnesium, dan fosfat. Tingkat
sirkulasi 25-hidroksivitamin D yang lebih besar dari 30 ng / mL
diperlukan untuk mempertahankan tingkat vitamin D yang sehat.
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan berbagai masalah, yang
tampak seperti menekuk kaki; pada orang dewasa, itu menghasilkan
osteomalacia, yang muncul sebagai matriks kerangka yang tidak
termineralisasi.3,10

b. Etiologi dan factor resiko

Kekurangan vitamin D kurangnya asupan vitamin D, bisa diakibatkan


oleh paparan sinar matahari yang tidak memadai; malabsorpsi;
katabolisme yang dipercepat dari obat-obatan tertentu (fenobarbital,
carbamazepine  memicu enzim p450 hati yang mempercepat degradasi
vitamin D), pada bayi jumlah minimal vitamin D yang ditemukan dalam
ASI.10

c. Patofisiologi

Setelah dicerna atau diserap melalui kulit, hati mengubah vitamin D


menjadi 25-hidroksivitamin D yang merupakan prekursor yang
diperlukan untuk bentuk aktif. Anak-anak memiliki kebutuhan kalsium
yang lebih tinggi daripada orang dewasa; mereka membutuhkan
keseimbangan kalsium positif untuk memastikan kalsium yang cukup
untuk mineralisasi tulang yang tumbuh. Jika tingkat vitamin D adalah 30
ng / mL atau kurang, ada penurunan yang signifikan dalam penyerapan
kalsium usus yang berkorelasi dengan peningkatan sirkulasi hormon
paratiroid (PTH). Sebuah penelitian terbaru menilai serum 25 (OH) D dan
hubungannya dengan PTH pada anak kecil. Mereka menemukan bahwa
untuk mempertahankan kadar PTH yang rendah, konsentrasi 25 (OH) D
harus lebih dari 60-65 nmol, kondisi ini disebut hiperparatiroidisme
sekunder. Tanpa jumlah produk kalsium-fosfor yang memadai,
mineralisasi matriks kolagen berkurang, menghasilkan perkembangan
rakitis pada anak-anak dan osteomalacia pada orang dewasa. Lagipula
resorpsi tulang akan melebihi pembentukannya hingga menyebabkan
demineralisasi umum pada rangka yang berakibat menjadi lunaknya
tulang-tulang serta deformitas toraks, tulang punggung, pelvis, dan
tulang-tulang panjang. Osifikasi endokondral yang tidak normal akan
terjadi hingga menimbulkan kelainan karakteristik pada bagian tulang
yang terbentuk baru.10

Gambar 1.4 : Patofisiologi Defisiensi Vitamin D.10

d. Penegakan Diagnosis

Tanda klinis bergantung pada umur penderita seperti kraniotabes hanya


ditemukan pada penderita yang berumur kurang dari 1 tahun. Pada anak-
anak, sifat mudah marah, lesu, keterlambatan perkembangan, Sering
ditemukan mulai berjalan terlambat atau lebih suka duduk untuk waktu
yang lama, perubahan tulang, atau patah tulang. Pada anak yang sudah
berjalan kemudian menderita rakitis dapat mengalami deformitas pada
tungkai bawah pada tungkai bawah. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah hipotoni otot, anemia gizi, perut membuncit, dan pertumbuhan gigi
geligi yang terlambat.10

Pengukuran serum 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) adalah tes terbaik


untuk menentukan status vitamin D.  Kadar 25 (OH) D <20 ng / mL
menunjukkan kekurangan vitamin D sedangkan kadar <30 ng / mL
menunjukkan kekurangan vitamin D. Kadar 25 (OH) D > 50 ng / mL
menunjukkan tingkat optimal. Pengukuran serum PTH dapat membantu
membedakan hiperparatiroidisme sekunder pada pasien tertentu. Penting
untuk menskrining defisiensi vitamin D pada mereka yang berisiko tinggi,
termasuk pasien dengan osteoporosis, sindrom malabsorpsi, orang gemuk,
dan pasien dengan ginjal kronis atau penyakit hati kronis.10

Perubahan radiologis mendahului tanda-tanda klinis dan dapat terlihat


pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Di daerah pergelangan tangan
tulang radius dan ulna membengkak dan memperlihatkan bentuk
mangkok serta pelebaran garis epifisis. Density tulang-tulang panjang
berkurang. Kelainan ini disebabkan oleh kalsifikasi yang tidak normal.
Sedangkan pada ostemalasia tulang-tulang yang harus menyangga tubuh
menjadi bengkok, tulang vertebra menjadi pendek dan tulang pelvis
mendatar.3

e. Penatalaksanaan

Paparan terhadap sinar matahari lebih ditingkatkan biasanya jam 10 pagi,


asupan makanan yang mengandung vitamin D (susu, keju, hati). Anak-
anak yang kekurangan vitamin D membutuhkan 2000 IU / hari vitamin
D3 atau 50.000 IU vitamin D3 seminggu sekali selama 6 minggu. Ketika
tingkat serum 25 (OH) D melebihi 30 ng / mL, berikan perawatan
pemeliharaan 600-1000 IU / hari. Pada orang dewasa dapat diberikan
dosis 50.000 IU vitamin D2 atau D3 sekali seminggu selama 8 minggu atau
6000 IU / hari vitamin D2 atau D3 selama 8 minggu. Ketika tingkat serum
25 (OH) D melebihi 30 ng / mL, berikan perawatan pemeliharaan 1500-
2000 IU / hari.10

1.8 Defisiensi vitamin E

a. Definisi

Vitamin E terdapat delapan senyawa alamiah yang memiliki aktivitas


vitamin E dan nutrisi yang larut dalam lemak. Alpha-tocopherol adalah
satu-satunya senyawa dari delapan yang diketahui memenuhi kebutuhan
makanan manusia. Semua bentuk vitamin E diserap di usus kecil, dan
kemudian hati hanya memetabolisme alfa-tokoferol. Kekurangan vitamin E
yang parah dapat menyebabkan abetalipoproteinemia atau malabsorpsi
lemak, sangat mempengaruhi sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan
ataksia dan neuropati perifer menyerupai ataksia Friedreich.3
b. Etiologi

Defisiensi vitamin E jarang sekali disebabkan kurangnya vitamin E dalam


makanan sehari-hari. Misalnya pada bayi berat badan lahir rendah dimana
transfer vitamin E melalui plasenta tidak efisien, pada anak dengan
malabsorpsi lemak sekunder terhadap penyakit hati, abetalipoproteinemiaa.
Kelainan yang dapat dilihat pada defisiensi vitamin E ialah hemolysis dan
mengurangnya umur hidup eritrosit.3

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Defisiensi atau kekurangan vitamin E dapat menimbulkan anemia pada


bayi yang baru lahir. Kebutuhan akan vitamin E meningkat bersamaan
dengan semakin besarnya masukan lemak tak- jenuh ganda. Asupan
minyak mineral, keterpaparan terhadap oksigen (seperti dalam tenda
oksigen ) atau berbagai penyakit yang menyebabkan tidak efisiennya
penyerapan lemak akan menimbulkan defisiensi vitamin E yang
menimbulkan gejala neurology. Vitamin E dirusak oleh pemasakan dan
pengolahan makanan yang bersifat komersial,termasuk pembekuan. Benih
gandum, minyak biji bunga matahari serta biji softlower, dan minyak
jagung serta kedelai, semuanya merupakan sumber vitamin E yang baik.3
d. Penegakan Diagnosis

Pasien yang datang lebih awal mungkin menunjukkan hiporeflexia,


penurunan proprioocption, penurunan sensasi getar (vibra), kelemahan otot
distal, nyctalopia (rabun senja), namun memiliki kognisi normal. Dengan
defisiensi yang berlanjut, gejala neurologis berkembang dan pasien dapat
mengalami ataksia. Masalah mata dapat berkembang, termasuk nystagmus
pandangan ke atas terbatas dan nystagmus terdisosiasi. Manifestasi lanjut
termasuk areflexia, hilangnya propriosepsi dan sensasi getar, disfagia dan
disartria, aritmia jantung, ophthalmoplegia, dan kemungkinan kebutaan.(3)

e. Penatalaksanaan

Pada penderita defisiensi vitamin E dapat diberikan 100 – 600 mg vitamin


E tiap harinya. Modifikasi dalam diet dapat membantu dalam suplementasi,
meningkatkan asupan sayuran berdaun, biji-bijian, kacang-kacangan, biji-
bijian, minyak sayur dan sereal yang diperkaya sangat dianjurkan.3

1.9 Defisiensi vitamin K

a. Definisi

Vitamin yang tergolong ke dalam kelompok vitamin K adalah naftokuinon


tersubsitusi – poliisoprenoid. Menadion, yaitu senyawa induk seri vitamin
K, tidak ditemukan dalam bentuk alami tetapi jika diberikan, secara in vivo
senyawa ini akan mengalami alkilasi menjadi salah satu menakuinon.11
b. Etiologi
Defisiensi vitamin K pada anak, biasanya disebabkan karena adanya
malabsorpsi lemak, gangguan penggunaan lemak, atau gangguan sintesis
vitamin K oleh flora usus karena penggunaan antibiotik yang lama.11

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Penyakit ini paling umum terjadi pada bayi yang disusui yang tidak
menerima profilaksis vitamin K saat lahir. Kandungan vitamin K rendah
dalam ASI dengan kisaran 1-4 μg / L. Vitamin K adalah kofaktor penting
untuk aktivitas enzimatik γ-glutamyl karboksilase yang mengkatalisis γ-
karboksilasi residu asam glutamat spesifik dalam subkelas protein. Protein
yang tergantung vitamin K ini dikenal sebagai Gla-protein; peran protein
Gla tidak sepenuhnya dipahami. Faktor koagulasi II, VII, IX, dan X serta
protein Gla lainnya (misalnya, protein C, protein S, protein Z) juga
bergantung pada keberadaan vitamin K untuk aktivitasnya. Kekurangan
vitamin K menimbulkan tingkat protrombin abnormal; dengan demikian,
protrombin tidak secara efektif berpartisipasi dalam pembentukan bekuan
darah. Pada defisiensi vitamin K, protein des-karboksilasi terbentuk yang
secara fungsional cacat karena tidak dapat mengikat kalsium dan fosfolipid.
Faktor-faktor koagulasi abnormal ini disebut protein yang diinduksi oleh
ketiadaan vitamin K (PIVKA). PIVKA-II adalah protrombin des-
karboksilasi.11

Selain itu APCD (Acquired Prothrombin Complex Deficiency) sering


terdapat pada bayi yang mendapat ASI. Hipoprotrombinemia karena
penyakit hati biasanya tidak responsif dengan pemberian vitamin K.
Hipoprotrombinemia dapat juga terjadi sebagai akibat penggunaan obat
tertentu, misal dikumarol yang digunakah untuk menimbulkan keadaan
hipoprotombinemia dalam usaha pencegahan dan pengobatan trombosis
pada pembuluh darah vena. Asam salisilat, hasil degradasi dikumarol, juga
dapat menyebabkan hipoprotrombinemia dengan cara yang sama. Turunnya
kadar protrombin akibat pemakaian salisilat tidaklah sebanyak penggunaaan
dikumarol.11

d. Penegakan Diagnosis

Perdarahan yang timbul dapat bervariasi dari yang ringan berupa ekimoses
kulit sampai yang bersifat fatal berupa perdarahan intrakranial atau
perdarahan internal. Gejala perdarahan dapat terjadi pada hari pertama,
tetapi umumnya timbul pada hari kedua atau ketiga kelahiran. Gejala tersebut
akan bermanifestasi dalam bentuk perdarahan umbilikus, ekimoses,
epistaksis, perdarahan gastrointestinal, adrenal dan intrakranial dengan
berbagai akibatnya. Tidak jarang gejala yang nampak berupa perdarahan di
tempat tusukan bekas pengambilan darah. Perdarahan yang timbul setelah 4
minggu, umumnya terdapat pada bayi yang mendapat ASI tanpa pemberian
vitamin K sebelumnya, diare berulang, hepatitis, atau atresia biliaris. Jenis
perdarahan yang biasanya terjadi berupa perdarahan intrakranial,
intratorakal, gastrointestinal, dan intraabdominal. Keadaan klinis yang
sering dijumpai adalah anemia mikrositik hipokromik karena defisiensi
besi, dan hemokromatosis atau hemosiderosis akibat kelebihan besi.3,11
Pengukuran waktu protrombin serum (PT) cenderung meningkat, dan
waktu tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT) biasanya normal. PT dan
aPTT dapat meningkat pada keadaan defisiensi yang lebih parah. Penanda
paling sensitif yang meningkat pada keadaan defisiensi VK adalah des-
gamma-carboxy prothrombin (DCP), juga dikenal sebagai protein yang
diinduksi oleh ketiadaan vitamin K / antagonis-II (PIVKA-II). Level
PIVKA-II mencerminkan penanda fungsional koagulasi.11

e. Penatalaksanaan dan pencegahan

Pada keadaan defisiensi vitamin K dapat diberikan secara intramuscular


sebanyak 1 mg pada bayi baru lahir, 2 mg pada anak-anak dan 10 mg pada
orang dewasa. 3
1.10 Defisiensi mineral

a. Kalsium3

Kalsium berkaitan dengan pembentukan tulang. Kalsium nonskeletal


memiliki peran dalam konduksi saraf, kontraksi otot, pembekuan darah,
permeabilitas membran. 90% kalsium terdapat pada tulang rangka, 1% nya
terdapat dicairan ekstraseluler, kompartemen intraseluler, dan membran sel.
Kalsium tulang secara konstan mengalami pergantian melalui proses
resorpsi dan pembentukan tulang. Sekitar separuh akumulasi mineral
tulang terjadi selama masa remaja. Densitas tulang mencapai puncak pada
masa dewasa muda dan dipengaruhi oleh asupan kalsium saat itu dan
sebelumnya, olahraga, dan status hormone (testosterone, estrogen).
Asupan kalsium dapat diperoleh dari berbagai sumber, yang paling umum
dan tinggi kandungannya adalah produk peternakan. Ekuivalen kalsium
untuk 1 gelas susu (sekitar 300 mg kalsium) adalah ¾ cangkir yoghurt
biasa, 42 gram cheddar, 2 cangkir es krim, 4/5 cangkir almond, atau 70
gram sarden. Sumber lain kalsium adalah sayuran hijau (brokoli, sawi
hijau, kailan); tortilla yang diolah dengan lemon, serta jus, sereal dan roti
yang diperkaya kalsium.
Kerja kalsium tampaknya melalui reseptor protein intrasel (kalmodulin)
yang mengikat ion-ion kalsium bila konsentrasinya mengikat sebagai
respon terhadap stimulus. Bila kalsium terikat pada kalmodulin maka dapat
mengatur aktivitas sejumlah besar enzim, termasuk berperan dalam
metabolisme siklik nukleotida, fosforilasi protein, fungsi sekresi, kontraksi
otot, penyusunan mikrotubuli, metabolisme glikogen, dan pengaliran
kalsium.
Gejala defisiensi kalsium adalah tetani, gangguan otot dan syaraf yang
berhubungan. Gejala-gejala ini terjadi paling sering akibat defisiensi
vitamin D, hipoparatiroidisme, atau insufisiensi ginjal, tetapi kekurangan
kalsium juga sebagai salah satu penyebabnya. Gejala yang lain adalah
osteoporosis dan ricketsia. Osteoporosis yang terjadi pada anak
dihubungkan dengan malnutrisi protein-kalori, defisiensi vitamin C, terapi
steroid, kelainan endokrin, imobilisasi dan kurang atau tidak ada
pergerakan, atau defisiensi kalsium (pada bayi prematur).

b. Fosfor3

Fosfor berfungsi sebagai pembentuk tulang, persenyawaan organik,


metabolisme energi, karbohidrat, asam amino dan lemak, tarnsportasi asam
lemak dan bagian koenzim. Sehingga fosfor sebagai fosfat memainkan
peranan penting dalam struktur dan fungsi semua sel hidup. Karena itu,
kekurangan fosfor akibat defisiensi makanan biasa tidak terjadi. Fosfat
terdapat dalam sel sel sebagai ion bebas pada konsentrasi beberapa mili
ekuivalen per liter dan juga merupakan bagian penting asam-asam nukleat,
nukleotida dan beberapa protein. Dalam ruang ekstraseluler, fosfat
bersirkulasi sebagai ion bebas dan terdapat sebagai hidroksiapatit,
komponen utama dari tulang. Semua sel mempunyai enzim-enzim yang
dapat mengikatkan fosfat dalam ikatan ester atau anhidrida asam ke
molekul – molekul lain.
Sumber fosfor terutama berasal dari hewan dan sumber sintetis seperti bone
meal, rock phosphat, dan difluprinated rock phosphat. Sumber fosfor
lainnya adalah susu yang merupakan sumber penting dengan kandunga 93
mg persen. Beras giling mengandung fosfor sebanyak 140 mg persen.
Daging dan ikan mengandung fosfosr sebanyak 100 – 200 mg persen.
Fosfat bebas diabsorpsi dalam jejenum bagian tengah dan masuk aliran
darah melalui sirkulasi portal dan berlangsung dengan pengankutan aktif
yang membutuhkan natrium maupun secar difusi. Pengaturan absorpsi
fosfat diatur oleh 1,25-dehidroksikalsiferol. Fosfat ikut serta dalam siklus
pengaturan derivat aktif vitamin D3. Bila kadar fosfat serum rendah,
pembentukan 1,25-dehidroksikalsiferol dalam tubulus renalis dirangsang
yang menyebabkan absorpsi fosfat dari usus.
Defisiensi fosfat terjadi akibat berkurangnya absorpsi dari usus dan
pembuangan berlebihan dari ginjal. Penyebab utama hipofosfatemia adalah
ketidak normalan fungsi tubuli ginjal yang mengakibatkan penurunan
reabsorpsi fosfat. Defisiensi fosfat berakibat ricketsia, dan pertumbuhan
terhambat, selain itu juga terdapat kelainan padaa eritrosit, leukosit dan
trombosit pada hati. Keracunan fosfat jarang sekali terjadi kecuali bila
kegagalan ginjal akut atau kronis menghambat ekskresi fosfat.

c. Natrium3

Natrium adalah kation Na+ utama cairan ekstrasel dan sebagian besar
berhubungan dengan klorida dan bikarbonat dalam pengaturan
keseimbangan asam basa. Ion natrium juga penting dalam mempertahankan
tekanan osmotik cairan tubuh sehingga melindungi tubuh terhadap
kehilangan cairan yang berlebihan. Pada bagian empedu, ion natrium dan
kalium berfungsi untuk mengemulsi lemak. Walaupun ion natrium banyak
ditemukan dalam bahan makanan, sumber utamanya ialah dari garam dapur
(NaCl). Pengaturan konsentrasi natrium dan/atau kadar natrium dalam
tubuh melibatkan dua proses utama, yaitu: kontrol terhadap pengeluaran
natrium oleh tubuh dan kontrol terhadap masukan natrium. Konsentrasi
natrium di dalam cairan ekstraseluler diusahakan agar relatif konstan
dengan suatu mekanisme rumit yang melibatkan kecepatan penyaringan
glomerulus ginjal, sel-sel peralatan juxtaglomerulus ginjal, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, sistem syaraf simpatis, konsentrasi katekolamin,
natrium dan kalium di dalam peredaran darah, faktor ketidaa dan tekanan
darah.
Pengangkutan natrium melalui dinding epitel usus nampaknya tergantung
pada suatu sistem “pompa” dan “rembesan” pasif yang terdapat pada
membran pembatas dari sel-sel tersebut. Pada duodenum dan jejunum,
NaCl berpindah dari darah ke usus bila cairan hipotonik memasuki darah.
Pada ileum, absorpsi NaCl terjadi dari larutan hipotonik. Glukosa di dalam
cairan luminal meningkatkan absorpsi natrium di dalam jejunum.
Walaupun ion natrium ekstravaskuler berada dalam keseimbangan dengan
ion natrium intravaskuler (plasma), konsentrasi natrium intravaskuler
mungkin tidak menggambarkan jumlah total natrium dalam tubuh.
Sehingga apabila ion natrium serum yang rendah (hiponatremia) mungkin
tidak kekurangan ion natrium tubuh, tetapi bahkan mungkin kelebihan air
intravaskuler (dan mungkin ekstravaskuler). Hal yang sama peningkatan
ion natrium serum dapat terjadi pada kandungan ion natrium yang rendah
atau normal bila terdapat kehilangan air (dehidrasi). Pada penyakit ginjal,
kemampuan menghemat ion natrium seringkali hilang dan terjadi gangguan
keseimbangan natrium, klorida, kalium dan air yang parah. Defisiensi
natrium menyebabkan tulang lunak, hipertropi adrenal dan mengurangi
penggunaan protein dan energi.

d. Kalium3

Kalium merupakan suatu unsur yang mengandung isotop radioaktif alami.


Secara umum fungsi dari kalium adalah metabolisme normal, memelihara
volume cairan tubuh. Konsentrasi pH, hubungan tekanan osmotik,
mengaktifkan enzim intraseluler dan pada empedu bekerja sama dengan
natrium berfungsi untuk mengemulsikan lemak. Kalium merupakan kation
(K+) utama cairan intarsel. Dengan demikian, sumber utama kalium adalah
materi seluler dari bahan pakan. Kalium mudah terserap usus halus,
sebanding dengan jumlah yang dimakan dan beredar dalam plasma. Kalium
dalam cairan ekstrasel memasuki semua jaringan dalam tubuh daan dapat
mempunyai efek yang sangat besar pada fungsi organ, terutama
depolarisasi dan kontraksi jantung.
Ginjal tidak dapat menghemat ion kalium seefektif ginjal menghemat ion
natrium. Penghematan natrium selalu disertai dengan pembuangan kalium
dan ini merupakan efek aldosteron. Bila intake ion kalium kurang dari
kebutuhan minimal, konsentrasi ion kalium serum akan menurun, ion
kalium intarsel juga akan menurun dan tubulus renalis bersama-sama sel-
sel tubuh mulai menggunakan proton (H+) sebagai pengganti K+. Apabila
konsentrasi H+ meningkat maka akan menyebabkan asidosis intraseluler.
Kehilangan K+ obligatorik oleh tubulus renalis diganti dengan kehilangan
H+ obligatorik, karena tubulus renalis menghemat Na+ dengan membuang
H+, bukan membuang K+. Hal ini akan menyebabkan alkalosis ekstraseluler
dan asidosis intraseluler.
Defisiensi kalium secara umum menyebabkan kelemahan seluruh otot
jantung lemah dan melemahnya otot pernafasan. Pada kegagalan ginjal,
kehilangan K+ obligatorik mungkin lebih jauh dari normal. Keracunan K+
(hiperkalemia) sering terjadi pada payah ginjal karena ginjal tidak mampu
membuang kelebihan K+. Efek listrik hiperkalemia dapat dilawan oleh
peningkatan konsentrasi kalsium serum. Pompa kalsium-natrium dalam
membran sensitive terhadap penghambatan oleh preparat digitalis yaitu
ouabain. Pada hipokalemia, jantung menjadi sensitif terhadap ouabain dan
dapat terjadi keracunan ouabain. Toksisitas ouabain dapat dinetralisasikan
oleh penambahan konsentrasi kalium serum.

e. Magnesium3

Ion magnesium terdapat pada semua sel. Magnesium berperan sangat


penting sebagai ion esensial di dalam berbagai reaksi enzimatis dasar pada
metabolisme senyawa antara. Semua reaksi di mana ATP merupakan
substrat, substrat sebenarnya adalah Mg2+-ATP. Hal yang sama, Mg2+
dikhelasi di antara fosfat beta dan gama dan mengurangi sifat kepadatan
anionik ATP, sehingga Mg2+ dapat mencapai daan mengikat secara
reversibel tempat protein spesifik. Sehingga semua sintesis protein, asam
nukleat, nukleotida, lipid dan karbohidrat dan pengaktifan kontraksi otot
memerlukan magnesium.
Absorpsi Mg2+ terjadi di seluruh usus halus dan jelas kelihatan lebih
tergantung pada banyaknya yang tersedia daripada faktorain, misalnya
vitamin D. Absorpsi Mg2+ bukan proses aktif, daan tidak adaa mekanisme
bersama untuk transport kalsium dan magnesium melalui dinding usus.
Dalam plasma, sebagian besar Mg2+ terdapat dalam bentuk yang padat
difiltrasi oleh glomerulus ginjal. Akan tetapi ginjal mempunyai
kemampuan luar biasa untuk mempertahankan Mg2+.
Defisiensi magnesium sering terjadi. Defisiensi magnesium menyebabkan
pertumbuhan lambat, mortalitas meningkat, penurunan produksi telur dan
ukuran telur mengecil. Kadar tinggi kalsium, protein, dan fosfat dalam
makanan akan mengurangi absorpsi Mg2+ dari usus. Malabsorpsi pada diare
kronis, malnutrisi pada protein kalori dan kelaparan daapat menyebabkan
defisiensi magnesium. Keracunan magnesium jarang terjadi pada fungsi
ginjal normal. Efek depresan magnesium pada sistem syaraf biasanya
mendominasi gejala toksisitas hipermagnesemia.

f. Seng3

Seng adalah trace mineral kedua terbanyak dan penting dalam metabolisme
dan sintesis protein, metabolisme asam nukleat, serta stabilisasi membran
sel. Seng berfungsi sebagai untuk lebih dari 200 enzim dan berperan
penting pada berbagai fungsi metabolic sel. Status seng yang adekuat
sangat penting terutama selama periode pertumbuhan dan untuk proliferasi
jaringan (system imun,penyembuhan luka, integritas kulit, dan saluran
cerna). Seng mempunyai peran fungsi fisiologis meliputi: pertumbuhan
normal, maturase seksual, dan fungsi imunologis. Sumber terbaik seng
adalah produk hewani, termasuk ASI, yang mengandung seng dalam
bentuk siap serap. Biji-bijian utuh dan kacang-kacangan juga mengandung
seng, tetapi absorpsinya dihambat oleh asam fitat.
Setelah diabsorpsi usus, seng mula-mula mengumpul di hati dan kemudian
didistribusikan ke jaringan-jaringan. Dalam plasma, kira-kira 2/3 diikat
dengan suaatu alfa-2 makroglobulin. Sejumlah kecil mengkompleks
dengan asam amino dan mungkin dengan ligan laainnya. Seng yang
mengkompleks dengan albumin siap diserap oleh jaringan. Walaupun
demikian mekanisme penyerapannya oleh jaringan belum diketahui.
Penyerapan oleh hati secara positif dipengaruhi oleh mediator endogen
leukosit, hormon adrenokortikotropik, dan hormon paratiroid.
Defisiensi seng dapat terjadi sebagai kelainan primer absorpsi seng pada
akrodermatitis enteropatika, suatu penyakit automal resesif yang jarang
ditemukan, disertai dengan hambatan pertumbuhan dan hipogonadisme.
Defisiensi seng sekunder dapat terjadi akibat malabsorpsi apapun
penyebabnya atau peningkatan ekskresi dalam urin. Defisiensi seng juga
menyebabkan aktivitas ribonuklease serum nampak meninggi, sedangkan
aktivitas karbonik anhidrase eritrosit merendah.

g. Besi3

Besi merupakan mineral esensial mikro yang paling melimpah. Kurang


lebih 2/3 dari besi beredar sebagai hemoglobin, 1/10 sebagai mioglobin dan
kurang dari 1% terdapat pada transferin dari semua enzim besi dan protein
redoks. Sisanya terdiri dari simpanan besi feritin dan hemosiderin yang
terdapat terutama pada hati, limpa dan sumsum tulang. Fungsi utama besi
adalah unruk transport oksigen oleh hemoglobin. Besi ferro (Fe 2+) dan besi
ferri (Fe3+) bersifat sangat sukar larut pada pH netral, dan diperlukan sistem
khusus untuk transport besi dan memasukkan ion-ion ini kedalam tempat-
tempat fungsional mereka.
Sumber besi utama adalah daging, tumbuhan polong, tetes tebu, dan
kerang-kerangan. Sumber sintetis terdiri dari ferric okside dengan
kandungan besi 35% dan ferrous sulphate dengan kandungan besi sebesar
20%. Besi dalam bahan pakan terutama terdapat dalam bentuk ferri, terikat
kuat pada molekul organik.
Besi ditrasport ke tempat penyimpanan dalam sumsum tulang dan sampai
batas tertentu ke hati dalam bentuk ion ferri, terikat pada transferin plasma.
Pada tempat penyimpanan itu, ion ferri diubah lagi menjadi apoferitin
sebagai bentuk cadangan yang stabil tetapi mengalami pertukaran. Feritin
dalam sistem retikuloendotelial merupakan bentuk cadangan besi yang
dapat diambil. Feritin bekerja sebagai penyimpan sementara untuk
mencegah penambahan toksik kadar besi dan suatu cadangan yang dapaat
dikerahkan jangka panjang. Akan tetapi feritin dapat mengalami denaturasi,
kehilangan subunit apoferitin dan kemudian beragregasi (berkumpul) ke
misel-misel hemosiderin. Hemosiderin mengandung lebih banyak besi
dibandingkan feritin dan terdapat sebagai partikel-partikel. Besi dalam
hemosiderin tersedia untuk pembentukan hemoglobin, tetapi mobilisasi
besi jauh lebih lambat dari hemosiderin dibanding dari feritin. Besi yang
ditimbun akan disimpan sebagai endapan hemosiderin dalam hati,
pankreas, kulit dan sendi yang menyebabkan penyakit.
Defisiensi besi terjadi apabila kapasitas besi intraseluler bertambah, dan
lebih banyak besi akan diabsorpsi bila tersedia dalam makanan. Defisiensi
besi menyebabkan terjadinya anemia, penurunan volume sel-sel darah
merah daan depigmentasi. Pada kelebihan besi (iron overload) kapasitas
dan kejenuhan karier besi intraseluler berkurang.

h. Mangan3

Mangan terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam mitokondria daan


berfungsi sebagai faktor penting untuk pengaktifan glikosiltransferase yang
berperan sebagai sintesis oligosakarida, glikoprotein, dan proteoglikan.
Mangan diperlukan untuk aktifitas superoksida dismutase. Mangan diserap
dengan baik melalui usus halus dengan mekanisme yang serupa dengan
besi, termasuk transfer melalui sel mukosa ke dalam darah portal. Pada
kenyataannya absorpsi Mn2+ meningkat pada defisiensi besi dan daapat
dihambat oleh besi. Adanya etanol dalam usus jelas menambah absorpsi
Mn2+. Ion mangan dikirim ke hati melalui sirkulasi portal dan disana segera
mengadakan keseimbangan dengan Mn2+.
Salah satu akibat defisiensi mangan adalah ketidaknormalan kerangka.
Defisiensi mangan tampaknya juga sangat mengurangi sintesis
oligosakarida, pembentukan glikoprotein dan proteoglikan. Selain itu juga
mengganggu beberapa metaloenzim Mn2+ seperti hidrolase, kinase,
dekarboksilase dan transferase. Keracunan mangan sangat jarang terjadi.

i. Tembaga3

Absorpsi tembaga dalam traktus gastrointestinal memerlukan mekanisme


spesifik, dikarekan adanya sifat alamiah ion kupri (Cu2+) yang sangat tidak
larut. Dalam sel mukosa usus, tembaga mungkin berikatan dengan protein
pengikat metal (banyak mengandung sulfur) dengan berat molekul rendah
yaitu metalotionein pada bagian tionein. Biosintesis metalotionein
diinduksi dengan pemebrian Zn, Cu,Cd dan Hg dan diblokir oleh inhibitor-
inhibitor sintesis protein. Meskipun tembaga akan merangsang produksi
protein hati yang berikatan dengan tembaga, seng juga diperlukan untuk
akumulasi Cu-tionein. Seng akan menstabilkan Cu-tionein terhadap
degradasi oksidatif. Tembaga masuk dalam plasma, dimana tembaga terikat
pada asam-asam amino, terutama histidin, dan pada albumin serum pada
tempat pengikatan tunggal yang kuat. Dalam kurang dari satu jam, tembaga
yang baru diserap diambil dari sirkulasi oleh hati.
Hati memproses tembaga melalui dua jalan, yaitu: tembaga diekskresi
dalam empedu ke dalam traktus gastrointestinal, dimana tembaga tidak
diabsorpsi kembali. Ternyata, homeostasis tembaga dipertahankan hampir
seluruhnya oleh ekskresi bilier, semakin tinggi dosis tembaga, semakin
banyak yang diekskresikan dalam feses. Jalan kedua metabolisme tembaga
dalam hati adalah penggabungan tembaga sebagai bagian integral
seroloplasmin, suatu glikoprotein yang semata-mataa disintesis dalam hati.
Seruloplasmin bukan protein pembawa Cu2+, karena tembaga
seruloplasmin tidak bertukar dengan ion tembaga atau tembaga yang terikat
dengan dengan molekul-molekkul lain. Seroluplasmin mengandung 6 – 8
atom tembaga, setengah bagian ion kupro (Cu+) dan setengahnya lagi ion
kupri (Cu2+).
Gejala defisiensi tembaga meliputi anemia, neutropenia, osteoporosis dan
depigmentasi serta gangguan syaraf. Defisiensi tembaga mengganggu
proses kaitan lintas jaringan ikat protein, kolagen, dan elastin. Gangguan
ini dapat berupa kelainan tulang, kerusakan sistem kardiovaskuler atau
kelainan struktur paru-paru. Gejala defisiensi tembaga yang paling tragis
adalah kematian mendadak akibat pecahnya pembuluh darah utama atau
jantungnya. Defisiensi tembaga padaa anak ayam menyebakan aorta pecah.
Keracunan tembaga termasuk diare dengan feses biru-hijau hemolisis akut
dan kelainan fungsi ginjal.

j. Selenium3

Selenium adalah unsur penting glutation peroksidase, suatu enzim yang


peranannya sebagai antioksidan intarseluler yang sangat mirip dengan
fungsi serupa vitamin E atau -tokoferol. Sebagian besar selenium dalam
makanan berbentuk asam amino selenometionin. Hanya satu fungsi
enzimatik selenium yang diketahui. Selenium adalah unsur penting dari
glutation peroksidase. Enzim ini dapat menghancurkan hidrogen peroksida
dan hidrioperoksida-hidroperoksida oerganik dengan pengurangan
ekuivalen dari glutation. Peranan fisiologis yang pasti dari glutation
peroksidase yang bergantung pada selenium masih belum jelas karena
katalase juga mampu memindahkan hidrogen peroksida dan glutation
peroksida yang tidak bergantung padaa selenium juga mampu
memindahkan hidroperoksida organik. Jadi selenoenzim mungkin
berfungsi sebagai penahan oksidan tetapi fungsi alternatif juga telah ada.
Defisiensi selenium menyebabkan dilatasi jantung dan menyebabkan payah
jantung kongestif. Defisensi pada ayam menyebabkan diatesis eksudatif.
Vitamin E dapat mencegah kejadian tersebut, disamping faktor III. Yang
mengandung selenium organis. Selenium mempunyai pengaruh penting
terhadap metabolisme merkuri. Mekanisme keracunan selenium sampai
saat ini belum diketahui. Tanda dini keracunan selenium adalah nafas
berbau bawang putih akibat pengeluaran dimetilselenida.

k. Flour3

Enamel gigi dikuatkan oleh flour yang menggantikan ion hidroksil kristal
hidroksiapatit pada matriks mineral enamel. Flouropatit yang dihasilkan
lebih tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun fisis. Flour diikat ke
dalam enamel selama tahap mineralisasi pembentukan gigi dan oleh
interaksi pada permukaan gigi setelah erupsi. Flour juga merupakan
pembentuk mineral tulang dan dapat melindungi terhadap oesteoporosis
pada usia lanjut.
Karena kekhawatiran mengenai risiko flourosis, suplementasi flourida
untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak diperbolehkan. Susu formula
komersial dibuat dengan air deflouridasi dan hanya mengandung sejumlah
kecil flour. Bayi berusia lebih dari 6 bulan yang hanya mendapat susu
formula siap minum atau mendapat ASI ekslusif mungkin membutuhkan
suplementasi flour. Kandungan flour ASI rendah dan tidak dipengaruhi
secara bermakna oleh makanan ibu. Kadar flour pada sumber air minum
anak harus diketahui terlebih dahulu sebelum memberikan suplementasi
flour. Bila konsenterasi flour dalam air minum kurang dari 0,3 ppm,
suplementasi sebesar 0,25 mg/hari direkomendasikan untuk bayi dan anak
usia 6 bulan sampai 3 tahun.
Tabel 1.1 Karakteristik defisiensi Trace Mineral.3

1.11 Obesitas

a. Definisi

Obesitas merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang


berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai
jenis kelaminnya. Obesitas secara umum didefenisikan sebagai
peningkatan berat badan yang disebabkan oleh meningkatnya lemak
tubuh secara berlebihan. Banyak cara telah dikembangkan untuk
menentukan banyaknya lemak, misalnya:12

 Penentuan berat terhadap tinggi, umur, tipe tubuh


 Mengukur tebal lipat kulit di beberapa tempat, misalnya bagian
trisep, subskapula, suprailiaka, dan sebagainya.
b. Penyebab obesitas
Keadaan obesitas terjadi jika makanan sehari-harinya mengandung
energy yang melebihi kebutuhan anak yang bersangkutan. Biasanya
terdapat pada anak yang cepat merasa lapar dan tidak mau menahan rasa
laparnya. Pada umumnya berbagai faktor menentukan keadaan obesitas
seseorang seperti:12

• Herediter

Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila
salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40 % dan bila
kedua orang tua tidak obesitas kejadian obesitas, prevalensi menjadi 14
%.12

• Faktor lingkungan
Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko
peningkatan berat badan sebesar 5 kg.12

• Faktor nutrisional

Peranan faktor nitrisi dimulai sejak kandungan dimana jumlah lemak


tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan
berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali
mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan
lemak serta kebiasaan mengkonsumsi yang mengandung energi
tinggi.12

• Faktor sosial ekonomi

Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan,


serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi.12

c. Gejala klinis penderita obesitas


• Anak terlihat sangat gemuk

• Pada umumnya anak demikian lebih tinggi daripada anak normal


seumuran

• Sering terlihat dagu yang berganda

• Dada membusung, buah dada seolah-olah berkembang

• Perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat

• Penis pada anak laki-laki terlihat kecil, oleh karena organ tersebut
tersembunyi dalam jaringan lemak pubis.13

d. Klasifikasi

Menurut gejala klinisnya obesitas dibagi menjadi:14

a) Obesitas sederhana (simple obesity)


Terdapat gejala kegemukan saja tanpa disertai kelainan hormonal atau
mental atau fisik lainnya. obesitas ini terjadi karena faktor nutrisi.
b) Bentuk khusus obesitas
 Kelainan endokrin/ hormonal yang tersering adalah sindrom
cushing yang terjadi pada anak yang sensitif terhadap pengobatan
dengan hormon steroid.
 Kelainan somatodisformik. sindrom prader-willi, sindrom Summit
dan carpenter, sindrom Lawrence Moon bield, sindrom cohen.
Obesitas pada kelainan ini hampir selalu disertai retardasi mental
dan kelainan ortopedi.
 Kelainan hipotalamus. Kelainan pada hipotalamus mempengaruhi
nafsu makan dan berakibat obesitas. kelainan dapat disebabkan oleh
craniopharyngioma, lekemia cerebral trauma kepala dan lain-lain.

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan
IMT menurut WHO: 14

Klasifikasi IMT (kg/m2)


Berat badan kurang <18.5
Kisaran normal 18.5-24.9
Berat badan lebih >25
Pra-obes 25.0-29.9
Obes tingkat I 30.0-34.9
Obes tingkat II 35.0-39.9
Obes tingkat III >40
Tabel 1.2 Klasifikasi Obesitas14

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar
perut menurut kriteria asia pasifik:14

e. Penegakan diagnosis

Diagnosis obesitas didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:13

a) Hitung indeks massa tubuh (IMT), yaitu BB (kg) dibagi tinggi badan
(m) kuadrat.
b) Anamnesis keluarga:
 Identifikasi obesitas pada keluarga terdekat (ayah- ibu)
 Evaluasi adanya penyakit kardiovaskular, diabetes Tipe 2 dan
kanker pada keluarga.
c) Diet
 Identifikasi Siapa yang memberi makan anak
 Identifikasi makanan tinggi kalori dan mempunyai nilai gizi rendah
yang dapat dikurangi, dieliminasi atau diganti
 Teliti pola makan misalnya waktu kandungan gizi, lokasi maka,
dan jenis makanan kecil (snack).
d) Aktivitas
 Identifikasi hambatan untuk beraktivitas misalnya ke sekolah jalan
kaki / naik sepeda / naik mobil
 Evaluasi waktu yang digunakan untuk bermain
 Evaluasi waktu istirahat di sekolah Apakah digunakan untuk
beraktivitas, olahraga di sekolah: frekuensi, lama, dan intensitasnya
 Tanyakan aktivitas Sesudah sekolah dan pada akhir pekan
 Tanyakan waktu yang digunakan untuk Menatap layar (TV video
game dan lainnya)
e) Gejala lain
Identifikasi gejala-gejala lain atau komplikasi yang menyertai
obesitas13

f. Terapi Farmakologi

Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi tiga,


yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat
gizi (orlistat), dan rekombinan leptin untuk obesitas karena defisiensi
leptin bawaan, serta kelompok obat untuk mengatasi komorbiditas
(metformin). Belum tuntasnya penelitian tentang efek jangka panjang
penggunaan farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan belum ada
satupun farmakoterapi tersebut di atas yang diijinkan pemakaiannya pada
anak di bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration sampai
saat ini. Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg dengan ekstra suplementasi
vitamin yang larut dalam lemak disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration untuk tata laksana obesitas pada remaja di atas usia 12
tahun. Sibutramin berfungsi menimbulkan rasa kenyang dan
meningkatkan pengeluaran energi dengan menghambat ambilan ulang
(reuptake) noraderenalin dan serotonin.13
Terapi obesitas pada anak
Tidak terdapatnya keseimbangan antara masukan dan pemakaian energy,
dalam hal mana masukan jauh melampaui kebutuhan, merupakan
penyebab terjadinya keadaan obesitas, maka pengobatan obesitas dalam
prinsipnya harus sebagai berikut:13
 Mengurangi masukan energy
 Memperbesar penggunaannya
Sebelum mulai dengan pengobatan sebaiknya diketahui lebih dulu
mengenai:13
 Umur dimulainya obesitas
 Ada atau tidaknya obesitas dalam keluarga
 Kebiasaan makan dan keadaan lain yang dapat menyebabkan obesitas
 Aktivitas sehari-harinya
 Ada atau tidaknya kelainan endokrin, seperti hipotiroidisme
Terapi dietetik
Berlainan dengan orang dewasa, anak masih bertumbuh. Menurunkan
berat badan sangat drastic dapat menghentikan juga pertumbuhannya.
Pada obesitas yang sedang adakalanya mereka tidak makan terlalu
banyak, melainkan aktivitas fisiknya yang sangat kurang, hingga terjadi
ketidakseimbangan antara intake dengan expenditure. Dalam hal ini
mengurangi jumlah makanan sehari-harinya untuk menurunkan berat
badan dapat mengganggu pertumbuhan tingginya. Mempertinggi
expenditure dengan latihan jasmani yang lebih intensif merupakan pilihan
utama.13

1.12 GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)

a. Definisi

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan spektrum luas


dari gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental
dengan gambaran yang sangat bervariasi sesuai dengan tingkat tumbuh
kembang manusia akibat kekurangan yodium.3
b. Etiologi
Kekurangan konsumsi yodium.3

c. Status Gizi Pasien

Pada pasien GAKY berstatus gizi stunted. Hal tersebut dapat terjadi
dikarenakan salah satu unsur essensial(yodium) yang berpengaruh terhadap
pembentukan hormon pertumbuhan tidak dapat terpenuhi. Asupan yodium
yang kurang dapat menyebabkan kerja sel-sel dalam tubuh tidak efektif,
penyerapan kalsium pada tulang terhambat, terganggunya metabolisme
karbohidrat dan protein, sehingga pertumbuhan tinggi badan terhambat.3

d. Faktor risiko

 Genetik
Faktor genetik banyak disebabkan karena abnormalitas fungsi fisiologis
kelenjar tiroid.
 Faktor geografis seperti pada dataran tinggi.
GAKY biasanya didapatkan pada dataran tinggi atau pegunungan
karena yodium yang berada di lapisan tanah paling atas terkikis oleh
banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan, dan air di
wilayah ini mengandung yodium yang rendah.3
e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Defisiensi yodium akan menguras cadangan yodium serta mengurangi T4.


Penurunan kadar T4 dalam darah memicu sekresi TSH yang kemudian
meningkatkan kegiatan kelenjar tiroid, untuk selanjutnya menyokong
terjadinya hyperplasia tiroid
Skema :
Kurangnya asupan yodium  terganggunya proses pembentukan hormone
tiroid  hormone tiroid tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh 
hipofisis anterior menerima sinyal bahwa tubuh kekurangan yodium 
hipofisis anterior terstimulasi  mensekresikan hormone tiroid  jangka
waktu yang lama  kelenjar tiroid membesar  gondok.3
f. Penatalaksanaan3

 Memberikan edukasi pada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku


makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium.
 Mengkonsumsi makanan sumber yodium.
 Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk
didaerah endemik berat dan endemik sedang.
 Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk anak-anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc
dan dosis untuk anak-anak lebih dari 6 tahun dan dewasa 1 cc.

1.13 KEP (kurang energi dan protein)

a. Pengertian

KEP atau PEM (Protein Energy Malnutrition) dan PMC (Protein Calori
Malnutrition) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).15
b. Etiologi dan factor resiko
Faktor penyebab yang dapat menimbulkan kekurangan energi protein yaitu:3
 Sosial ekonomi yang rendah.
 Sukar atau mahalnya makanan yang baik.
 Kurangnya pengertian orang tua mengenai gizi.
 Kurangnya faktor infeksi pada anak (misal: diare).
 Kepercayaan dan kebiasaan yang salah terhadap makanan (misal: tidak
makan daging atau telur disaat luka).

c. Klasifikasi KEP

Menurut klasifikasinya dapat dibagi menjadi :

a. KEP ringan : Mild PEM


b. KEP sedang : Moderate PEM

c. KEP berat : Severe PEM

• marasmus : BB dibawah 60% dari normal tanpa edema

• kwashiorkor : BB diatas 60% dari normal + edema

• marasmic kwarshiorkor : BB dibawah 60% dr normal + edema.16

d. Gejala klinis beserta Patofisiologi Balita KEP berat/Gizi buruk

Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak
tampak kurus karena kekurangan asupan protein dan kalori akhirnya
menyebabkan intake nutrisi yang tidak adekuat dan tubuh kekurangan nutrisi
lebih sebab kalori yang di butuhkan pun meningkat sebagai kompensasinya.
Bentuk yang paling ringan hanya memperlihatkan retardasi pertumbuhan dan
perkembangan saja.15
1. Kwasiokor
Kwashiorkor adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein dan
sering timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein
tinggi. Penyebabnya, meliputi: kekurangan protein dalam makanan,
gangguan penyerapan protein, kehilangan protein secara tidak normal,
infeksi kronis atau perdarahan hebat. Faktor-faktor yang berkontribusi
antara lain: 1). Sosial ekonomi rendah, 2). Pengetahuan gizi kurang
memadai, 3). Penyakit terutama infeksi.15
 Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum
pedis). Edema disebabkan karena cairan intravaskular ke intrastisial
meningkat sebagai kompensasi dari tekanan osmotik yang menurun
yang di sebabkan oleh produksi albumin di hepar menurun.
 Wajah membulat dan sembab juga di sebabkan hal yang sama dengan
edema.
 Pandangan mata sayu karena kurangnya asupan vitamin dan mineral.
 Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok juga disebabkan karena kurangnya asupan
vitamin dan mineral sehingga pertumbuhan rambut tidak sempurna.
 Perubahan status mental, apatis, dan rewel
 Pembesaran hati dikarenakan detoksifikasi dihepar menurun.
 Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk disebabkan oleh energi yang dibutuhkan tubuh berlebih
namun sumber lemak yang ada ditubuh sedikit akhirnya pengambilan
lemak simpanan di otot meningkat dan menyebabkan otot atrofi.
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement
dermatosis) karena cadangan lemak di bawah kulit pun diambil untuk
memenuhi kebutuhan lemak yang kurang di tubuh dan menyebabkan
lemak subkutan hilang dan penyusutan jaringan akhirnya terjadilah
perubahan pada integumen. Sering disertai : penyakit infeksi seperti
contohnya adalah diare.3
 Kelainan kimia darah meliputi kadar albumin serum rendah, kadar
globulin normal atau sedikit meninggi, pada biopsi hati ditemukan
perlemakan.1

Gambar 1.5 Penderita Kwashiorkor (3)

2. Marasmus :
Disebabkan oleh defisiensi kalori dalam diet yang berlangsung lama karena
ketidakseimbangan konsumsi zat gizi atau kalori didalam makanan,
kebiasaan makanan yang tidak layak dan penyakit infeksi saluran
pencernaan.16

 Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, iga gambang dan
perut cekung karena sedikitnya lemak yang ada di dalam tubuh.
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(baggy pant/pakai celana longgar) karena cadangan lemak di bawah kulit
pun diambil untuk memenuhi kebutuhan lemak yang kurang di tubuh dan
menyebabkan lemak subkutan hilang dan penyusutan jaringan akhirnya
terjadilah perubahan pada integumen.
 Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang), dan diare
kronik atau konstipasi/susah buang air.
 Tulang pipi & dagu menonjol, mata tampak besar & dalam, akral dingin,
sianosis; perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas,
otot atropi; anak penakut & apatis. Kadar Hb berkurang, disertai tanda-
tanda kekurangan vitamin lainnya.16
Gambar 1.6 Penderita Marasmus3

Gambar 1.7 Gejala pokok pada KEP15

e. Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan KEP yaitu dengan memberikan makanan yang


mengandung banyak protein bernilai hayati tinggi, banyak kalori, cukup cairan,
cukup vitamin & mineral dalam bentuk yang mudah dicerna secara bertahap,
bentuk makanan disesuaikan secara individual (cair, lunak, biasa, makanan
dengan porsi sedikit-sedikit tapi sering), pemantauan masukan makanan setiap
hari (perubahan diet biasanya dilakukan setiap saat) serta mengobati penyakit
penyerta.3

f. Pelayanan Gizi

Pada dasarnya setiap anak yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit dilakukan
pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) untuk menentukan status
gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan bila perlu pemeriksaan
laboratorium. Penentuan status gizi ini diperkuat dengan menanyakan riwayat
makan.16
Dari hasil penentuan status gizi maka direncanakan tindakan sebagai berikut:16
i. KEP ringan
Diberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah dan
pemberian vitamin. Dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif (Bayi <4
bulan) dan terus memberikan ASI sampai 2 tahun. Pada pasien KEP ringan
yang dirawat inap untuk penyakit lain, diberikan makanan sesuai dengan
penyakitnya dengan tambahan energi sebanyak 20% agar tidak jatuh pada
KEP sedang atau berat, serta untuk meningkatkan status gizinya. Selain itu
obati penyakit penyerta.
ii. KEP sedang
 Penderita rawat jalan (di RS/Puskesmas): diberikan nasehat pemberian
makanan dengan tambahan energi 20–50% dan vitamin serta teruskan
ASI bila anak <2 tahun. Pantau kenaikan berat badannya setiap 2
minggu dan obati penyakit penyerta.
 Penderita rawat inap: diberikan makanan tinggi energi dan protein,
secara bertahap sampai dengan energi 20-50% di atas kebutuhan yang
dianjurkan (Angka Kecukupan Gizi/AKG) dan diet sesuai dengan
penyakitnya, berat badan dipantau setiap hari, selain itu diberi vitamin
dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi
masih menderita KEP ringan atau sedang, rujuk ke puskesmas untuk
penanganan masalah gizinya.
iii. KEP berat/Gizi buruk
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di Rumah
Sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan:
 Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah
utama)
 Pengobatan penyakit penyerta
 Kegagalan pengobatan
 Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
 Tindakan pada kegawatan.16

1.14 Hipervitaminosis
a. Hipervitaminosis A

Hipervitaminosis A akut dapat terjadi pada bayi setelah menelan 10.000 µg atau
lebih. Gejala-gejalanya berupa: nausea, muntah, mengantuk, fontanela cembung,
diplopia, papil edema, kelumpuhan (palsy) saraf kranialis, dan gejala lain yang
memberi kesan tumor otak (pseudotumor cerebri) dapat juga terjadi. Toksisitas
telah terjadi pada penambahan selama pemberian vaksin di Negara yang sedang
berkembang.
Hipervitaminosis A kronik tampak sesudah penelanan dosis berlebihan selama
beberapa minggu atau bulan, anak menderita anoreksia, gatal, dan berat badan
kurang. Ada penambahan iritabilitas, pembatasan gerakan, dan pembengkakan
lunak tulang. Alopesia, lesi kulit seboroika, fisura sudut mulut, tekanan
intracranial naik, dna terdapat hepatomegali. Kraniotabes dan deskuamasi telapak
tangan dan kaki sering ada. Rontgenogram menunjukkan hyperostosis yang
mengenai beberapa tulang panjang, yang paling penting di tengah-tengah batang
tulang. Malformasi kongenital berat dapat terjadi pada bayi dari ibu yang
menghabiskan sejumlah besar retinoid oral dalam pengobatan jerawat.3
b. Hipervitaminosis D
Masukan.vitamin D dalam jumlah yang banyak akan mengakibatkan timbulnya
gejala dan tanda yang mirip dengan hiperkalsemia idiopatik. Keadaan ini
disebabkan karena hipersensitivitas terhadap vitamin D. Gejala dan tanda tersebut
timbul setelah 1-3 bulan pemberian vitamin D dengan dosis tinggi. Secara klinis
akan nampak hipotonia, anoreksia, iritabilitas, konstipasi, polidipsia, poliuria, dan
pucat Juga dijumpai hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, dehidrasi, stenosis katup
aorta, muntah, hipertensi, retinopatia, perkabutan kornea dan konjungtiva.
Dalam air kemih dijumpai adanya proteinuria, Bila terus diberikan vitamin D dalam
dosis tinggi akan terjadi kerusakan ginjal dan kalsifikasi metastasis. Gambaran
radiologik tulang panjang menunjukkan adanya kalsifikasi metastasis dan os-
teoporosis umum. Segera hentikan penggunaan vitamin D dan kurangi kalsium.
Untuk bayi dengan gejala hipervitaminosis berat, dapat diberikan aluminium
hidroksida oral, kortison, atau natrium versenat.3
2. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi :

Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah
satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri.
Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan dalam bentuk indeks
yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut:14
 Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan
akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Ketentuannya adalah 1 tahun
adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan
penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan.14
 Berat Badan
Berat badan merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai status nutrisi, dimana
hasilnya dapat menaksir kebutuhan energi dan memonitor respons dari terapi yang
telah diberikan. Kehilangan berat badan dapat terjadi secara cepat pada pasien dengan
trauma atau stres metabolik. Penurunan berat badan kemungkinan menunjukkan
adanya pengurangan massa otot yang disebabkan oleh masukan kalori yang tidak
adekuat atau adanya hipermetabolisme. Adanya edema dan status hidrasi harus
dipertimbangkan dalam mengevaluasi.14
Rumus perkiraan Berat badan menurut Behrman:
• 3-12 bulan : [Umur (bulan) + 9]
2

• 1-6 tahun : [Umur (tahun) x 2] + 8

• 6-12 tahun : [Umur (tahun) x 7] – 5


2

 Tinggi Badan
Tinggi badan adalah jarak dari puncak kepala sampai telapak kaki. Jarak ini merupakan
penjumlahan dari tinggi tulang tengkorak, panjang tulang belakang, dan panjang
ekstremitas bawah. Pengukuran tinggi/panjang badan merupakan pemeriksaan penting,
karena pertumbuhan linier merupakan marker untuk tumbuh kembang dan juga
malnutrisi jangka panjang. Pengukuran panjang badan bayi dan anak-anak sampai usia
24 bulan dilakukan pada posisi terlentang dengan menggunakan length board. Untuk
anak di atas usia 2 tahun, pengukuran dilakukan dengan menggunakan stadiometer
pada posisi berdiri tegak dan mata memandang lurus ke depan, belakang kepala,
punggung, pantat dan tumit menempel pada alat pengukur panjang pada dinding tegak
lurus.14
Perkiraan tinggi badan menurut Behrman:
• 2-12 tahun : [Umur (tahun) x 6] + 77
Untuk menentukan status gizi menggunakan beberapa langkah. Langkah pertama
adalah dengan melihat berat badan dan umur anak disesuaikan dengan grafik KMS
(Kartu Menuju Sehat). Bila dijumpai berat badan di bawah garis merah (BGM) maka
dilanjutkan dengan langkah menentukan status gizi balita dengan menghitung berat
badan terhadap tinggi badan (BB/TB) berdasarkan standar WHO-NCHS. Dinyatakan
gizi buruk bila BB/TB <-3 SD standar WHO-NCHS.17,18,19

a. Penilaian status gizi berdasarkan WHO-NCHS17


Gambar 2.1 Nilai status gizi standar baku antropometri WHO-NCHS17

Gambar 2.2 Berat terhadap Umur17

b. Penilaian status gizi beradasarkan CDC18


i. Indeks TB/U
 90-110% = tinggi baik
 70-90% = tinggi kurang
 < 70% = tinggi sangat kurang

ii. Indeks BB/TB

 >120% = obesitas
 >110-120% = overweight
 > 90-110% = gizi baik
 70-90% = gizi kurang
 < 70% = gizi buruk

iii. Indeks BB/U

 80-120% = gizi baik


 60-80% = gizi kurang
 < 60% = gizi buruk

c. Penilaian status gizi berdasarkan KMS19

 Dibawah garis merah menunjukkan anak mengalami kurang gizi sedang hingga


berat. Jika anak berada di zona ini, maka segera bawa anak ke dokter spesialis anak
untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut.
 Terletak di daerah dua pita warna kuning (di atas garis merah), hal ini
menunjukkan anak tersebut mengalami kurang gizi ringan.
 Dua pita warna hijau muda dan dua warna hijau tua di atas pita kuning,
menunjukkan anak memiliki berat badan cukup atau status gizi baik atau normal.
Meski begitu, berat badan anak tetap perlu ditimbang dan diawasi agar senantiasa
sesuai dengan umurnya.
 Empat pita di atas pita warna hijau tua (2 pita warna hijau muda ditambah 2
pita warna kuning), menunjukkan anak memiliki berat badan yang lebih di atas
normal.
Gambar 2.3 Grafik Kartu Menuju Sehat19

DAFTAR PUSTAKA

1. Maulina N. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Cakupan Imunisasi Vitamin A.


Jurnal Aceh Medika. 2018 Okt; 2(2): 224-32.
2. Medscape. Vitamin A Deficiency [document on internet] 12 Oktober 2016
[diunduh 16 Mei 2020]. Tersedia dari:
https://emedicine.medscape.com/article/126004-overview
3. Marcdante K, et. al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Essensial. Edisi Update
Keenam. Singapore: Elsevier; 2018.
4. Medscape. Beriberi (Thiamine Deficiency) [document on internet] 31 Maret
2020 [diunduh 16 Mei 2020]. Tersedia dari:
https://emedicine.medscape.com/article/116930-overview#a4
5. Whitfield KC, Bourassa MW, dkk. Thiamine deficiency disorders: diagnosis,
prevalence, and a roadmap for global control programs. Annals of the New York
Academy of Sciences. 2018 Oct; 1430(1): 3-43.
6. Udhayabanu T, Manole A, dkk. Riboflavin Responsive Mitochondrial
Dysfunction in Neurodegenerative Diseases. Journal of Clinical Medicine. 2017
May; 6(5): 1-13.
7. Medscape. Pyridoxine Deficiency [document on internet] 15 September 2016
[diunduh 16 Mei 2020]. Tersedia dari:
https://emedicine.medscape.com/article/124947-overview#a5
8. Miller JW. Proton Pump Inhibitors, H2-Receptor Antagonists, Metformin, and
Vitamin B-12 Deficiency: Clinical Implications. American Society for Nutrition.
2018 Jul; 9(4): 511s-8s.
9. Callus CA, Vella S, Ferry P. Scurvy is back. Nutrition and Metabolic Insights.
2018 Sept; 11: 1-2.
10. Gani LU, How CH. PILL Series. Vitamin D deficiency. Singapore Med J. 2015
Aug; 56(8):433-6.
11. Marchili MR, Santoro E, Marchesi A, Bianchi S, Rotondi Aufiero L, Villani A.
Vitamin K deficiency: a case report and review of current guidelines. Italian
Journal of Pediatrics. 2018 Mar 14; 44(1):1-5.
12. Aprilia A. Obesitas pada Anak Sekolah Dasar. Majority. 2015 Juni; 4(7): 45-8.
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis Tatalaksana dan Pencegahan Obesitas
Pada Anak dan Remaja. Jakarta : IDAI ; 2014.
14. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2017.
15. Suantara IMR, Suiraoka I. Epidemiologi Gizi. Ponorogo: Forum Ilmiah
Kesehatan (FORIKES); 2018.
16. KEMENKES RI. Ilmu Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016.
17. WHO. WHO Child Growth Standards. Geneva. WHO; 2006.
18. CDC. CDC Growth Charts for the United States: Methods and Development. US.
CDC; 2002.
19. PERMENKES RI. Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita. Jakarta.
KEMENKES RI; 2010.

Anda mungkin juga menyukai