Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN ESTETIKA POSTMODERN DALAM TRADISI “MANYONGGOT” PADA

MASYARAKAT TANJUNG BALAI ASAHAN

UJIAN TENGAH SEMESTER

TEORI-TEORI TEKS DAN BUDAYA

DOSEN PENGAMPU: Dr. ASMYTA SURBAKTI, M. Si

OLEH:

ETIKA SARI

217009011

MAGISTER LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2023
Kajian Estetika Postmodern dalam Tradisi “Manyonggot” pada Masyarakat Tanjung
Balai Asahan

PENDAHULUAN

Tanjungbalai Asahan adalah salah satu daerah tingkat dua di propinsi Sumatera
Utara. Etnis asli yang mendiami Tanjung balai Asahan (TBA) adalah etnis Melayu dan Batak
yang sebagian besarnya beragama Islam. Etnis Melayu merupakan motor utama penggerak
roda kebudayaan di Tanjungbalai Asahan. Oleh sebab itu, perilaku budaya secara umum yang
ditampilkan di daerah ini selalu merepresentasikan dan mengatasnamakan Islam, karena
telah menjadi adagium di kawasan ini bahwa Melayu sama dengan Islam. Kendatipun agama
Islam telah lama dianut oleh penduduk Tanjungbalai Asahan, tetapi banyak ditemukan ritual-
ritual yang berasal dari ajaran animisme yang terus tumbuh. Tradisi orang-orang Islam yang
khas inilah yang disebut oleh Robert Redfield sebagai little tradition yang membedakan
keislaman masyarakat Tanjungbalai Asahan dengan masyarakat Muslim di daerah lainnya
(Matondang, 2016). Salah satu di antara tradisi khas itu adalah tradisi Manyonggot yang
dilakukan sebagai media penyembuhan. Manyonggot secara antropologis dapat dipahami
sebagai sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tanjungbalai Asahan, khususnya
di daerah pedalaman dan daerah-daerah pinggir laut lainnya yang berkaitan dengan magis.
Tradisi ini dilakukan ketika seseorang dari anggota masyarakat kehilangan semangat badan
yang disebabkan karena sebelumnya ia mengalami hal yang membuatnya sangat terkejut.

Tradisi manyonggot sampai saat ini masih eksis ditemukan dalam aktivitas sehari-hari
masyarakat TBA, namun seiring berjalannya waktu ditemukan banyak pergeseran baik dalam
hal teknis, gaya maupun material pelaksanaannya mengikuti perkembangan zaman. Hal ini
diakui atau tidak merupakan pengaruh tak langsung dari postmodren. Postmodernisme
adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern
dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi, sistematisasi,
universalisasi tunggal dan kemajuan saints. Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin
meningkatkan kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan semua realitas serta
perkembangan dalam berbagai bidang (http://eprints.dinus.ac.id/diakses pada tanggal
19/01/19 dalam Swandi, dkk, 2019). Menurut Derrida dan Baudrillard dalam Darmawan (2006:
106) dalam Swandi, dkk, 2019, postmodernisme mengambil tanda-tanda dari periode klasik
dan modern untuk menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan
makna-makna konvensional untuk menghanyutkan diri dalam permainan bebas penanda-
penanda. Dalam tradisi manyonggot ditemukan terdapat nilai dalam konteks postmodern yang
bisa dilihat dari unsur teknis maupun materialnya.
Berkaitan dengan pemahaman estetika postmodern, ada lima idiom estetika yang
akan dijelaskan lebih lanjut yakni: pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Penelitian
ini akan mengupas adakah ditemukan idiom estetika postmodern dalam tradisi manyonggot
masyarakat Tanjung Balai Asahan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
metode etnografi (Croswell, John W:2007). Lokasi penelitian adalah Kota Tanjungbalai,
Sumatera Utara, alasan penentuan lokasi adalah karena kota Tanjungbalai merupakan
daerah yang masyarakat di dalamnya sebagai pelaku adat Manyonggot. Peneliti menganggap
kajian tentang estetika postmodren traddisi Manyonggot pada masyarakat Tanjung Balai
Asahan perlu untuk dilakukan sebagai salah satu upaya melestarikan nilai budaya daerah
setempat dan menjaga orisinalitasnya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif. Instrument penelitian adalah peneliti sendiri ditambah dengan instrument
tambahan berupa catatan lapangan. Pengumpulan data diperoleh dengan metode
pengamatan-partisipasif.

PEMBAHASAN

Estetika merupakan aspek-aspek keindahan yang terdapat dalam sastra. Pada


umumnya aspek keindahan sastra didominasi oleh gaya bahasa. Permasalahan estetika
dalam sastra mengalami pergolakan mengikuti perkembangan zaman. Secara garis besar
periode sastra dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu periode klasik atau tradisional,
periode modern atau ilmiah dan periode postmodern. Pada periode klasik atau tradisional,
permasalah keindahan hanya sebatas ‘apa keindahan itu’. Kemudian, barulah pada periode
selanjutnya, periode modern atau ilmiah (abad ke-19 sampai saat ini) estetika atau keindahan
dikaitkan dengan ilmu pengetahuan lain. Namun, pada zaman modern, pengetahuan justru
lebih dominan. Karya sastra selalu menjadi subordinasi. Ciri estetika modern adalah sifatnya
yang rasional dan keindahan didekati dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah.
Paham ini ditolak dengan asumsi bahwa kualitas estetis karya tidak bisa dilihat dari seberapa
besar sumbangaan terhadap ilmu pengetahuan. Penolakan ini memunculkan paham baru
yang dinilai selangkah lebih maju dari modernisme, yang dikenal dengan istilah
postmodernisme. Penolakan terhadap logika modernisme bukan tanpa alasan. Hal tersebut
karena modernisme dinilai sering sulit berpikir kritis. Modernisme cenderung memandang
sastra dalam totalitas, benar salah, dan hitam putih. Postmodernisme di dalam karya Sastra
berciri ketidakpercayaan pada totalitas untuk bermuara terhadap atau kesediaan menerima
inkonsistensi, ketidaksejajaran, antarunsur pembangun dunia, dan keanekaragaman (Faruk,
2014: 234 dalam Afrodita, dkk, 2018). Paham posmodernisme beranggapan bahwa kata-kata
indah yang penuh dengan kiasan telah habis digunakan oleh pengarang sebelumnya. Jadi,
pada era postmodernisme estetika tidak lagi dilihat dari penggunaan metafora dan kata
kiasan.

Piliang (1999: 2) dalam Sila, I Nyoman, 2016 menyatakan, munculnya gejala


posmodernisme (estetika posmodern) dilatarbelakangi oleh terjadinya peralihan dari
masyarakat industri menuju masyarakat posindustri dan dari kebudayaan modern menuju
posmodern. Peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri telah
memengaruhi pemahaman masyarakat atas makna-makna. Dalam wacana posmodern ini
gagasan mengenai objek sebagai salah satu bentuk representasi dan gagasan mengenai
makna-makna ideologis objek itu sendiri, secara umum telah mengalami pergeseran. Objek
masa lalu berdasarkan religi, magis, mitos dikaitkan dengan upaya kemajuan dan
transformasi, kini pada masyarakat konsumer objek-objek didefinisikan kembali dengan kode-
kode baru, dengan bahasa estetik yang baru, dan makna-makna yang baru pula (Santoso,
2012: 322 dalam Sila, I Nyoman, 2016). Dalam wacana estetika posmodern tidak terjadi lagi
sekat-sekat budaya Global Lokal, sehingga dapat menyatu dan secara visual muncul menjadi
Glokalisasi. Glokalisasi sebagai proses munculnya suatu kebudayaan dimana kebudayaan
global dan lokal saling membangun. Robertson (1992) dalam Barker (2004: 120) dalam Sila,
I Nyoman, 2016, mengatakan banyak hal yang dipandang bersifat lokal, dan disepadankan
dengan global, sebagai hasil dari proses translokal. Kecenderungan kapitalisme konsumen
global masa kini mendorong ketiadaan batas kebutuhan/keinginan di mana celah pasar,
standarisasi, dan kenikmatan dari transformasi identitas secara konstan memunculkan
heterogenitas.

Postmodernisme merupakan kegiatan memuaskan keinginan yang pada akhirnya


menimbulkan needs vs wants. Memudahkan manusia untuk memiliki identitasnya sendiri-
sendiri, segala macam pemikiran yang dirasa benar menjadi relatif. Jika cut and paste ada
dan fakta-faktanya ramai diperbincangkan, maka perlu adanya edukasi kepada audience
tentang adanya praktik seni postmodernisme yang dimana adalah cikal bakal praktik-praktik
reproduksi karya dalam kebudayaan manusia hari ini dalam Wahyuningtyas, Maria Antonia
Kusuma, 2018.

Estetika zaman modern merujuk pada segala bentuk pembaruan dan segala bentuk
keautentikan. Namun, estetika postmodernisme lebih merujuk beberapa hal mendasar dalam
penciptaan karya seni (Harieyanto, Muhammad Iqbal, 2017). Sebagaimana dieksplorasi oleh
Piliang (2012: 179) dalam Afrodita, dkk, 2018, idiom-idiom estetika yang dominan menjadi
warna dalam sastra postmodern antara lain pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia.

Pengertian estetika sebagai filsafat pada prisipnya telah menempatkan pada satu titik
dikotomi antara realita dan abstraksi, serta antara keindahan dan makana. Estetika tidak lagi
menyimak keindahan dalam konvensional, melainkan telah bergeser kearah sebuah wacana
dan fenomena. Menilai bahwa praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik
estetikammasa sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan serius. Kini praktik estetika
beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional dan ironis (Agus,
2002:65 dalam Saptono).

Paparan singkat tentang tradisi manyonggot

Berdasarkan asal usulnya kata “songgot” merupakan perbendaharaan kata dari


bahasa batak Toba yang telah diadopsi menjadi bahasa Melayu Asahan, dalam bahasa Batak
“songgot” memiliki arti kaget atau terkejut. Secara semantis kata manyonggot berarti
mengejutkan atau membuat terkejut, dalam hal ini manyonggot dimaknai sebagai acara adat
yang bertujuan untuk membuat terkejut orang yang sakit (karena terkejut disebabkan
kecelakaan atau sebagainya) agar semangat batinnya kembali lagi atau dalam kata lain
manyonggot berfungsi agar rasa terkejut yang sebelumnya diderita oleh seseorang hilang
atau tondi badannya kembali datang. Manyonggot adalah sebuah tradisi masyarakat Melayu
terutama di kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara, dalam budaya melayu Asahan
Manyonggot merupakan tradisi untuk menolak bala dan penyakit bagi keluarga, saudara, atau
siapapun yang terkena musibah (Sumber wawancara Arifin 25 Oktober 2019 dalam Graldine,
2020).

Dalam masyarakat Melayu Asahan “manyonggot” dikenal sebagai sebuah acara adat
ketika seseorang secara diam-diam dan secara mendadak didatangi oleh serombongan orang
(sanak famili, jiran, karib kerabat) sambil dibawakan bale (balai) berisikan pulut (beras ketan),
marawal dan telur, bale kemudian diangkat ke atas kepala orang tersebut sambil diucapkan
doa-doa dan nasihat, kemudian dipakaikan kain sarung ke badan orang tersebut lalu ditaburi
beras dan bunga rampai serta disuapi dengan pulut yang terdapat pada bale, sebelum acara
ini dilaksanakan maka seluruh sanak famili dilarang menyebut kata-kata yang berhubungan
dengan acara manyonggot, misalnya: bale, pulut, kain sarung, dan lain sebagainya, hal ini
bertujuan agar orang tersebut sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya akan disonggot
oleh keluarganya, larangan ini bertujuan supaya orang yang disonggot tersebut benar-benar
terkejut dengan acara penyonggotan itu dan diharap dengan terkejutnya ia, maka semangat
badannya (kekuatan mental) akan kembali datang atau sebagai doa dan harapan baik
kepada dirinya, jika seseorang mengetahui dirinya akan disonggot maka diyakini bahwa acara
penyonggotan tidak akan menjadi “obat” bagi orang tersebut. Seseorang yang disonggot
biasanya orang yang mengalami sakit parah, orang yang ditimpa sesuatu yang sangat
mengejutkan (misalnya tertabrak kendaraan), orang yang akan melahirkan, akan berangkat
naik haji, dll.
(Matondang 2014:450 dalam Graldine, 2020) Menyonggot adalah adat istiadat untuk
mengembalikan kekuatan jiwa (semangat) seseorang yang sedang mengalami musibah
seperti kecelakan, sakit dan lain sebagainya. Songgot juga bisa digunakan dalam acara
penghormatan seperti berangkat haji, khitanan, atau khataman Alqur‟an. Acara ini dilakukan
dengan melakukan upah-upah, yaitu dengan membawa balai (wadah bersegi empat
bertingkat) yang didalamnya terisi pulut ketan yang diwarnai dengan warna kuning sedangkan
yang berkaitan dengan keagamaan dikaitakan dengan upah-upah

Berdasarkan paparan singkat terkait tradisi manyonngot di atas, berikut adalah


analisis temuan idiom-idiom estetika postmodern dalam tradisi manyonggot pada masyarakat
Tanjung Balai Asahan.

Pastiche

Pastiche adalah sebuah gaya dalam seni dan desain yang mengambil teks, karya atau
gaya masa lalu sebagai titik berangkat duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi sebagai
ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi. Piliang menambahkan pastiche mengimitasi
bentuk teks dari berbagai fragmen sejarah sekaligus mencabutnya dan menempatkan ke
dalam konteks semangat masa kini. Pastiche, merupakan istilah yang mengacu pada
pengertian keberadaan pinjaman (terutama) pada seni (Piliang, 2003: 209). Hal itu dapat
berupa satu unsur (atau elemen), atau sekelompok unsur, sehingga keberadaannya pada
suatu karya seni dapat disebut unsur pastiche pada seni, atau terhadap karya seni itu sendiri
dapat disebut bersifat pastiche. Selain itu, dapat pula berupa suatu konstruksi yang terdiri atas
susunan unsur-unsur pastiche itu sendiri sehingga suatu karya seni demikian disebut karya
seni pastiche (Syafril, 2008).
Unsur pastiche yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah bertolak dari
fenomena racun yang menjadi penawar bagi racun (antidote) yang ditiru dari fenomena alam
sekitar, masyarakat Tanjung Balai Asahan percaya bahwa rasa terkejut yang membuat
seseorang menjadi jatuh sakit dapat dihilangkan dengan cara kembali membuat dia terkejut.

Parodi

Parodi adalah mengambil berbagai teks masa lalu sebagai titik berangkat kritik,
ungkapan ketidakpuasan, atau sekedar penyampaian rasa humor. Berbagai teks yang saling
dipertemukan akhirnya menghasilkan gaya ketiga yaitu gaya hibrida. Parodi adalah satu
bentuk dialog sebagaimana konsep dialog bakhtin-antarteks dan bertujuan mengekspresikan
perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau
karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara
berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik,
atau membuat lelucon darinya (Piliang 2003: 213- 314; Kutha Ratna, 2007: 387).
Unsur Parodi yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah manyonggot
merupakan tradisi yang berasal dari istilah batak yang awalnya didominasi oleh pemeluk
Kristen, namun saat ini kandungan budaya melayu sangat kental di dalamnya, acara adat
manyonggot diakhiri dengan pembacaan doa yang akan diselenggarakan sesuai dengan
syariat Islam, hal ini dikarenakan sangat eratnya hubungan antara Islam dan Melayu di
Tanjungbalai, hingga keduanya sangat sulit dipisahkan. Beberapa prosesi dalam tradisi ini
dapat dilihat masih terpapar kepercayaan animisme seperti menyabur beras ke atas kepala
orang yang disonggot dengan maksud menolak bala dan menjemput keselamatan dan
sebagainya, saat ini unsur tersebut dihilangkan oleh sebagian orang karena dinilai aktivitas
membuang beras merupakan mubazir dalam perspektif Islam.

Kitsch

Kitsch adalah semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi. Produksi kitsch adalah
semangat memassakan seni tinggi, membawa seni tinggi dari menara gading elit ke hadapan
massa melalui produksi massal; melalui proses demitosisasi nilai-nilai seni tinggi. Kitsch yang
sebagai istilah berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat murah) dan kitschen yang
berarti secara literal ‘memungut sampah dari jalan’ juga didefinisikan dalam The Concise
Oxford Dictionary of Literary Term sebagai “segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang
murahan dan tanpa selera” sering ditafsirkan sebagai sampah artistik, atau selera rendah (bad
taste) (Piliang 2003: 217; Kutha Ratna, 2007: 387- 388 dalam Syafril, 2008). Produksi kitsch
lebih didasarkan semangat memassakan seni tinggi, membawa seni tinggi dari menara
gading elit ke hadapan massa melalui produksi massal; melalui proses demitoisasi nilai-nilai
seni tinggi.

Unsur kitsch yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah produksi massal
properti pelaksaan manyonggot yang mengalami penurunan kualitas, salah satu contohnya
penggunaan kain tebal sebagai marawal (bunga balai) diganti menjadi kertas minyak karena
lebih murah dan mudah dibuat. Kemudian penggunaan tepung-tepungan yang diberi air dan
pewarna untuk dioleskan ke wajah orang yang disonggot diganti menjadi bedak tabur karena
lebih mudah diperoleh. Hal tersebut tentu mengurangi kesakralan dari tradisi tersebut.

Camp

Camp adalah menekankan pada dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya
dengan mengorbankan isi. Piliang (2003: 222 dalam Syafril, 2008) menekankan camp
sebagai model estetisme, yaitu satu cara melihat dunia sebagai fenomena estetik, namun
bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan keartifisialan dan
penggayaan. Estetisme itu dapat dipandang positif dalam pengembangan gaya karena
pemberontakannya menentang gaya elit kebudayaan tinggi. Penekanan camp bukanlah
keunikan dari satu karya seni, melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi. Camp
menjunjung tinggi ketidaknormalan dan keluarbiasaan (Piliang, 2003:222-223 dalam Syafril,
2008).

Unsur Camp yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah modifikasi beberapa
properti dalam pelaksaan tradisi tersebut sehingga mengurangi nilainya, contohnya balai yang
digunakan pada dasarnya terbuat dari kayu yang diukir bermotif bunga malah diganti dengan
kayu yang ditempel cangkang kerang karena kebetulan di Tanjung Balai banyak ditemukan
sampah cangkang kerang, motif bunga yang terdapat pada sisi luar balai menunjukkan
kedekatan dan keterikatan antara manusia dengan alam, jika diganti dengan cangkang
kerang tentu akan memunculkan asumsi bahwa semua benda yang tidak dipakai lagi bisa
ditempel di sisi luar balai sehingga relief ukir yang ditonjolkan kehilangan makna.

Schizophernia

Schizophrenia adalah sebuah istilah psikoanalis, yang digunakan sebagai bahasa


metaforik untuk menjelaskan fenomena estetik bahwa makna tidak dihasilkan berdasarkan
hubungan yang pasti antara penanda dan petanda. Akibat yang terjadi adalah putusnya rantai
pertandaan maka yang muncul adalah makna-makna kontradiktif, ambigu, atau samar-samar
(Piliang, 2003:231 dalam Mujiono, 2016).

Unsur schizophrenia yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah dilihat dari asal
katanya saja aktivitas manyonggot adalah tradisi yang bertujuan untuk mengejutkan
seseorang agar keterkejutan yang dia alami sebelumnya menjadi hilang, namun saat ini
makna tersebut terkadang hilang karena sebagian orang malah meminta orang lain untuk
manyonggot dirinya, tentu saja jika ia mengetahui bahwa dirinya akan disonggot dia tidak
akan merasa terkejut dan tradisi tersebut tidak menjadi efektif untuk menjadi obat bagi dirinya,
ada salah kaprah makna yang terjadi.

SIMPULAN

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan ditemukan unsur-unsur estetika


postmodern di dalam tradisi manyonggot masyarakat Tanjung Balai Asahan, hal ini
dikarenakan karena adanya gesekan antara tradisi manyonggot yang bernilai klasik dan
tradisional dengan pengaruh postmodern yang memasuki berbagai aspek kehidupan
termasuk aspek adat budaya. Penting untuk menyadari bahwa sebuah tradisi yang kaya akan
nilai dan norma akan tercerabut kearifannya jika didominasi oleh unsur-unsur estetika
postmodern yang berlebihan. Untuk itu dituntut bagi kita semua untuk mampu
mempertahankan nilai dan norma yang terkandung dalam tradisi kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA

Afrodita, Meli, Zuriyati, Nuruddin. 2018. Estetika Postmodernisme Dalam Novel Gentayangan
Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu Karya Intan Paramaditha. JURNAL GRAMATIKA.
Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia V4.i2 (227-240)
Ceswell, John W.2007. Second Edition Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Approaches. Sage Publication: India
I Nyoman Sila. Kajian Estetika Posmodern Seni Kriya Di Tegallalang Gianyar BalI. Seminar
Nasional Riset Inovatif (Senari) Ke-4 Tahun 2016 Isbn 978-602-6428-04-2
Maria Antonia Kusuma Wahyuningtyas. 2018. Perancangan Infografis Bergerak Sebagai
Media Edukasi Seni Rupa Postmodernisme di Indonesia dii Yogyakarta. Jurnal Tugas Akhir.
Upt Perpustakaan ISI Yogyakarta
Matondang, Husnel Anwar. 2016. Tradisi Kisik-Kisik Dalam Masyarakat Muslimtanjungbalai
Asahan. Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumatera Utara MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-
Desember 2016
Muhammad Iqbal, Harieyanto. 2017. Unsur Estetiks Pastiche dan Skizofrenia pada Tokok
Franky dalam Anime One Piece episode 237-568 Karya Sutradara Konosuke Uda, Munehisa
Sakai, dan Hiroaki Miyamoto. Skripsi. Universitas Brawijaya.
Mujiyono. 2016. Logika Intertekstual, Dekonstruksi, dan Simulasi dalam Karya Seni Rupa
Posmodern: Studi Kasus pada Karya Redesain Kaos Cenderamata Obyek Wisata Religi
Demak. Jurnal Imajinasi Vol X no 1 Januari 2016
Saptono. Sajian Komposisi Karawitan Sebuah Kategori Contoh Dalam Wacana Estetika
Postmodern. PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Swandi, I Made Dwiarya, Swandi, I Wayan, Mudra, I Wayan, 2019. Logo “Petitenget Festival
2018” Dalam Budaya Postmodern. NIRMANA, Vol. 19, No. 1, Januari 2019, 52-58
Syafril. Idiom-idiom Estetik Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp, dan Skizofrenia dalam Karya
Teater Postmodern Indonesia Jalan Lurus. Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang
Wahid, Ramli Abdul. 2008. Kamus Bahasa Melayu Asahan. Medan: LP2IK

Anda mungkin juga menyukai