Anda di halaman 1dari 55

FISIKA BANGUNAN

AKUISTIK PADA BANGUNAN AUDITORIUM

OLEH:
DZAKIYYAH SARAH MUTMAINNAH (E1B122067)
PUTIH ANDRIYANI PURNAMA DEWI (E1B122087)
DITA PRAMESTI REGITA CAHYANI (E1B122065)
SATRIANI (E1B122051)
WD. NUR NAYLAH ADSANA SALIHI
ANDREAN TITON
MUH.FISABILILLAH NIPPI
L. M ASRAIN BAY YULARDHI (E1B122073)
MUHAMMAD SYARIF (E1B122043)
DIAN NUGRAHA (E1B122027)
NUR HUDA IRSANDI
MUH ARLAN SAPUTRA
MUH ARIFALDI

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dkk bisa menyelesaikan Makalah yang berjudul “Akuistik Pada
Bangunan Auditorium."

Tak lupa penulis dkk mengucapkan terima kasih kepada ibu Siti Belinda Amri, ST.,
MT. Dosen Fisika bangunan sekaligus Dosen Asistensi Makalah ini yang telah membantu
penulis dalam mengerjakan Makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan Makalah ini.

Makalah ini memberikan penejelasan mengenai Aturan-Aturan Menerapkan Akuistik


pada bangunan Auditorium untuk Menghasilkan Sumber suara serta bangunan multifungsi.

Penulis menyadari ada kekurangan pada Makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik
senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga berharap semoga Makalah
ini mampu memberikan pengetahuan tentang Aturan-Aturan Menerapkan Akuistik pada
bangunan Auditorium untuk Menghasilkan Sumber suara serta bangunan multifungsi.

Kendari, 28 Mei 2023

Penulis Dkk
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
A. Latar Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................................
C. Tujuan & Manfaat........................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................
A. Teori Akuistik ..............................................................................................................
B. Perilaku Bunyi (Behaviour of Sound) di Ruang Tertutup............................................
C. Persyaratan Akustik Perancangan Ruang GedungPertunjukan....................................
D. Sumber Bunyi Harus Dikelilingi Lapisan Pemantul Suara .........................................
E. Kesesuaian Luas Lantai Dengan Volume Ruang..........................................................
F. Menghindari Pemantul Bunyi Paralel Yang Saling Berhadapan.................................
G. Penempatan Penonton di Area Yang Menguntungkan.................................................

BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................


A. Auditorium Pada Desain Gedung Koetaradja Convention & Exhibition Center..........
B. Gedung Bandung Creative Hub (BCH).........................................................................
C. Auditorium Samantha Krida Universitas Brawijaya.....................................................

BAB IV PENUTUP..................................................................................................................
A. KESIMPULAN............................................................................................................
B. SARAN........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia pendidikan yang ada di Indonesia seiring perkembangan zaman mengalami


berbagai perubahan dari waktu ke waktu, sehingga hal ini merubah pola pikir masyarakatnya
untuk berubah menjadi lebih modern. Tolak ukur kemajuan suatu bangsa juga didapat dari
cerminan dan pendidikan yang ada di dalamnya, begitu juga kemajuan ilmu pengetahuan
yang ada di dalamnya seiring maju dan berkembangnya arus globalisasi.
Pendidikan pada dasarnya sesuai dengan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, pendidikan sendiri bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebuah pendidikan sendiri juga tidak lepas dari pentingnya tempat atau infrastruktur
yang mendukungnya, yaitu sebuah bangunan tempat belajar bagi para siswanya. Dalam hal
ini salah satu infrastruktur yang menjadi tempat sarana dan prasarana oleh siswa salah
satunya adalah auditorium, auditorium sendiri digunakan untuk kepentingan acara-acara
besar. Namun dalam membangun auditorium perlu memperhatikan beberapa aspek akuistik
yaitu: Reverberation Time, Diffusion, dan Isolasi Suara. Salah satu contohnya adalah
Auditorium pada Desain Gedung Koetaradja Convention & Exhibition Center, auditorium
Gedung Bandung Creative Hub (BCH) dan auditorium samantha krida universitas brawijaya.
Auditorium sendiri memiliki peran yang cukup penting bagi sebuah Institusi.
Hadirnya sebuah auditorium membuat sebuah kampus memiliki simbol atau suatu bangunan
yang membentuk sebuah ciri khas. Peran auditorium sendiri sangat penting dalam menunjang
sebuah pendidikan, seperti hal nya seminar dan konferensi berskala nasional atau
internasioanal. Fungsi auditorium dalam kampus sendiri ada dua, yang pertama adalah untuk
menyediakan tempat yang nyaman untuk pertemuan kelompok besar, seperti untuk instruksi,
pengujian, pertemuan, tampilan dan presentasi informasi dan bahan visual. Kedua adalah
memberikan fasilitas untuk pengajaran, partisipasi, dan kenikmatan seni pertunjukan, seperti
musik, teater, tari, pemilihan dan lainnya (Dober, 1996). Suatu Universitas sebaiknya
memiliki sebuah gedung auditorium sendiri guna berfungsi sebagai pusat kegiatan yang
melibatkan banyak orang, seperti kegiatan seminar, kegiatan wisuda, pertunjukan dari
mahasiswa, dan seminar. Selain berfungsi untuk kegiatan akademik dan non akademik
kampus, auditorium juga berfungsi untuk acara-acara dari masyarakat luar seperti pernikahan,
pertemuan, dan event-event dari luar. Sedangkan Akustika diartikan sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan suara atau bunyi. Menurut Shadily, (1987:8) akustik berarti ilmu suara atau
ilmu bunyi. Sedangkan Halme (1990, h.12) menyatakan bahwa akustik adalah salah satu
bentuk ilmu dan merupakan pertimbangan pertama untuk mendapatkan lingkungan ataupun
ruang dengan suara yang nyaman.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan Akuistik pada Bangunan Auditorium Koetaradja Convention &
Exhibition Center, auditorium Gedung Bandung Creative Hub (BCH) dan auditorium
samantha krida universitas brawijaya untuk Menghasilkan Sumber suara serta bangunan
multifungsi?
C. Tujuan & Manfaat
Dari hasil observasi lapangan penggunaan auditorium agar tercapainya tujuan serta
manfaat dengan mengetahui hasil observasi lapangan adalah:
Tujuan:
Untuk menciptakan lingkungan akustik yang mendukung penampilan secara optimal.
Dengan mengontrol dan memanipulasi refleksi, pantulan, dan penyebaran suara di dalam
ruangan. Sehingga menghasilkan suara yang jelas, terkontrol, dan harmonis.
Manfaat:
Agar setiap suara yang dihasilkan oleh penampil dapat didengar dengan jelas oleh
seluruh penonton, tanpa adanya distorsi atau gangguan yang dapat mengganggu penampilan.
Sehingga akustik yang baik pada bangunan auditorium dapat meningkatkan keseluruhan
pengalaman penonton dan membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
penampilan yang optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Akuistik

Akustik diartikan sebagai sesuatu yang terkait dengan bunyi atau suara, sebagaimana
pendapat Shadily (1987:8) bahwa akustik berasal dari kata dalam bahasa Inggris: acoustics,
yang berarti ilmu suara atau ilmu bunyi. Halme (1990:12) menyebutkan: Acoustics is a
science and the first consideration to get a comfortable sound environment, bahwa akustik
merupakan suatu ilmu dan merupakan pertimbangan pertama untuk mendapatkan lingkungan
suara yang nyaman, sebagaimana pendapatnya: Jadi Tata Akustik merupakan pengolahan tata
suara pada suatu ruang untuk menghasilkan kualitas suara yang nyaman untuk dinikmati,
merupakan unsur penunjang terhadap keberhasilan desain yang baik karena pengaruhnya
sangat luas dan dapat menimbulkan efek-efek fisik dan emosional dalam ruang sehingga
seseorang akan mampu merasakan kesan-kesan tertentu.

B. Perilaku Bunyi (Behaviour of Sound) di Ruang Tertutup

Bunyi adalah sebuah gelombang mekanik longitudinal yang menyebar melalui udara,
air, dan media material lainnya.bunyi adalah bagian yang paling penting dalam kehidupan
semua hewan tingkat tinggi, yang mempunyai organ khusus untuk menghasilkan dan
mengetahui gelombang ini. Yang berarti dari bunyi, hewan (khususnya jantan) sangat mahir
untuk berkomunikasi dengan yang lain dan untuk memperoleh informasi tentang
sekitarnya.Berdasarkan sumber yang didapat dari http://Acoustics.com bunyi di dalam ruang
tertutup (enclosed space) memiliki perilaku (behaviour) tertentu jika menumbuk dinding-
dinding dari ruang tertutup tersebut yakni energinya akan dipantulkan (reflected), diserap
(absorbed), disebarkan (diffused), atau dibelokkan (diffracted) tergantung pada sifat akustik
dindingnya. 1. Refleksi Bunyi (Pemantulan Bunyi) Bunyi akan memantul apabila menabrak
beberapa permukaan sebelum sampai ke pendengar sebagaimana pendapat Mills (1986: 27):
Reflected sound strikes a surface or several surfaces before reaching the receiver. Pemantulan
dapat diakibatkan oleh bentuk ruang maupun bahan pelapis permukaannya. Permukaan
pemantul yang cembung akan menyebarkan gelombang bunyi sebaliknya permukaan yang
cekung seperti bentuk dome (kubah) dan permukaan yang lengkung menyebabkan
pemantulan bunyi yang mengumpul dan tidak menyebar sehingga terjadi pemusatan bunyi.
1. Refleksi Bunyi (Pemantulan Bunyi)

Bunyi akan memantul apabila menabrak beberapa permukaan sebelum sampai ke


pendengar sebagaimana pendapat Mills (1986: 27): Reflected sound strikes a surface or
several surfaces before reaching the receiver. Pemantulan dapat diakibatkan oleh bentuk
ruang maupun bahan pelapis permukaannya. Permukaan pemantul yang cembung akan
menyebarkan gelombang bunyi sebaliknya permukaan yang cekung seperti bentuk dome
(kubah) dan permukaan yang lengkung menyebabkan pemantulan bunyi yang mengumpul
dan tidak menyebar sehingga terjadi pemusatan bunyi. Permukaan cembung Permukaan
cekung Sumber bunyi
Permukaan penyerap bunyi dapat membantu menghilangkan permasalahan gema maupun
pemantulan yang berlebihan.

2. Absorbsi Bunyi (Penyerapan Bunyi)

Saat bunyi menabrak permukaan yang lembut dan berpori maka bunyi akan terserap
olehnya (Doelle, 1990:26) sehingga permukaan tersebut disebut penyerap bunyi. Bahan-
bahan tersebut menyerap bunyi sampai batas tertentu, tapi pengendalian akustik yang baik
membutuhkan penyerapan bunyi yang tinggi. Adapun yang menunjang penyerapan bunyi
adalah lapisan permukaan dinding, lantai, langit-langit, isi ruang seperti penonton dan bahan
tirai, tempat duduk dengan lapisan lunak, karpet serta udara dalam ruang.

3. Diffusi Bunyi (Penyebaran Bunyi)

Bunyi dapat menyebar menyebar ke atas, ke bawah maupun ke sekeliling ruangan.


Suara juga dapat berjalan menembus saluran, pipa atau koridor.ke semua arah di dalam ruang
tertutup. Seperti yang tersebut dalam Acoustic.com: Sound can flank over, under, or around a
wall. Sound can also travel through common ductwork, plumbing or corridors.

4. Difraksi Bunyi (Pembelokan Bunyi)

Difraksi bunyi merupakan gejala akustik yang menyebabkan gelombang bunyi


dibelokkan atau dihamburkan di sekitar penghalang seperti sudut (corner), kolom, tembok
dan balok.

C. Persyaratan Akustik Perancangan Ruang GedungPertunjukan

Persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan oleh Doelle
(1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan kualitas suara yang baik, secara
garis besar gedung pertunjukan harus memenuhi syarat : kekerasan (loudness) yang cukup,
bentuk ruang yang tepat, distribusi energi bunyi yang merata dalam ruang, dan ruang harus
bebas dari cacat-cacat akustik.
1. Kekerasan (Loudness) yang Cukup

Kekerasan yang kurang terutama pada gedung pertunjukan ukuran besar disebabkan
oleh energi yang hilang pada perambatan gelombang bunyi karena jarak tempuh bunyi terlalu
panjang, dan penyerapan suara oleh penonton dan isi ruang (kursi yang empuk, karpet, tirai ).
Hilangnya energi bunyi dapat dikurangi agar tercapai kekerasan/loudness yang cukup. Dalam
hal ini Doelle (1990:54) mengemukakan persyaratan yang perlu diperhatikan untuk
mencapainya, yaitu dengan cara memperpendek jarak penonton dengan sumber bunyi,
penaikan sumber bunyi, pemiringan lantai, sumber bunyi harus dikelilingi lapisan pemantul
suara, luas lantai harus sesuai dengan volume gedung pertunjukan, menghindari pemantul
bunyi paralel yang saling berhadapan, dan penempatan penonton di area yang
menguntungkan.

D. Memperpendek Jarak Penonton dengan Sumber Bunyi.

Mills (1976: 15) mengemukakan pendapat mengenai persyaratan jarak penonton


dengan sumber bunyi untuk mendapatkan kepuasan dalam mendengar dan melihat
pertunjukan: No seat should be more than 20 m from the stage front if the performance is to
be seen and heard clearly. Jarak tempat duduk penonton tidak boleh lebih dari 20 meter dari
panggung agar penyaji pertunjukan dapat terlihat dan terdengar dengan jelas.
Akan tetapi untuk mendapatkan kekerasan yang cukup saja (tanpa harus melihat penyaji
dengan jelas), misalnya pada pementasan orkestra atau konser musik, toleransi jarak
penonton dengan penyaji dapat lebih jauh hingga jarak maksimum dengan pendengar yang
terjauh adalah 40m, sebagaimana yang dikemukakan Mills (1976:8). The maximum distance
between the orchestra and the further listeners, about 40 m.

E . Penaikan Sumber Bunyi

Sumber bunyi harus dinaikkan agar sebanyak mungkin dapat dilihat oleh penonton,
sehingga menjamin gelombang bunyi langsung yang bebas (gelombang yang merambat
secara langsung tanpa pemantulan) ke setiap pendengar.

F. Pemiringan Lantai

Lantai di area penonton harus dibuat miring karena bunyi lebih mudah diserap bila
merambat melewati penonton dengan sinar datang miring (grazing incidence). Aturan
gradien kemiringan lantai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 1:8 atau 30° dengan
pertimbangan keamanan dan keselamatan. Kemiringan lebih dari itu menjadikan lantai terlalu
curam dan membahayakan.
G. Sumber bunyi harus dikelilingi lapisan pemantul suara

Untuk mencegah berkurangnya energi suara, sumber bunyi harus dikelilingi oleh
permukaan-permukaan pemantul bunyi seperti gypsum board, plywood, flexyglass
dan sebagainya dalam jumlah yang cukup banyak dan besar untuk memberikan energi bunyi
pantul tambahan pada tiap bagian daerah penonton, terutama pada tempat-tempat duduk yang
jauh. Langit - langit dan dinding samping auditorium merupakan permukaan yang tepat untuk
memantulkan bunyi. Sehubungan dengan upaya penguatan bunyi tersebut Mills (1976:28)
berpendapat sebagai berikut.
One way of reinforcing sound from the stage is to provide reflectors above the front part of
the auditorium to direct the sound to the back seats, where the direct sound is weakest; in
some cases, the auditorium ceiling itself might be an appropriate reflecting surface.

Jadi salah satu cara untuk memperkuat bunyi dari panggung adalah dengan
menyediakan pemantul di atas bagian depan auditorium untuk memantulkan bunyi secara
langsung ke tempat duduk bagian belakang, dimana bunyi langsung (direct sound) terdengar
paling lemah.
Permukaan-permukaan pemantul bunyi (acoustical board, plywood, gypsum board dan lain-
lain) yang memadai akan memberikan energi pantul tambahan pada tiap-tiap bagian daerah
penonton, terutama pada bagian yang jauh. Ukuran permukaan pemantul harus cukup besar
dibandingkan dengan dengan panjang gelombang bunyi yang akan dipantulkan. Sudut-sudut
permukaan pemantul harus ditetapkan dengan hukum pemantulan bunyi dan langit-langit
serta permukaan dinding perlu dimanfaatkan dengan baik agar diperoleh pemantulan-
pemantulan bunyi singkat yang tertunda dalam jumlah yang terbanyak.

H. Kesesuaian luas lantai dengan volume ruang


Terkait dengan kapasitas tempat duduk, The Association of British Theatre
Technicians dalam Mills ( 1976:32) mengklasifikasikan gedung pertunjukan dari yang
berukuran kecil hingga sangat besar yakni: ukuran sangat besar berkapasitas 1500 atau lebih
tempat duduk, ukuran besar 900-1500 tempat duduk, ukuran sedang 500 – 900 tempat duduk
dan ukuran kecil kurang dari 500 tempat duduk.
Doelle (1990:58) menyebutkan bahwa nilai volume per tempat duduk penonton yang
direkomendasikan untuk gedung pertunjukan serbaguna minimal 5.1 m³ (m cubic), optimal
7.1 m³ dan maksimal 8.5 m³. Dari perbandingan tersebut dapat diperoleh standar ukuran
volume yang dipersyaratkan untuk gedung ukuran tertentu sehingga kelebihan ataupun
kekurangan kapasitas ruang dapat dihindari.
I. Menghindari pemantul bunyi paralel yang saling berhadapan

Bentuk plafond paralel secara horisontal seperti gambar di bawah ini tidak dianjurkan.

Pada gambar di atas terjadi pemantulan kembali sebagian besar bunyi langsung
(direct sound) ke sumber bunyi, dan sebagian lagi dipantulkan ke langit-langit dengan waktu
tunda singkat yang terbatas baru kemudian disebarkan ke arah penonton sehingga bunyi
langsung yang diterima penonton lebih sedikit sehingga kekerasan sangat berkurang.
Disarankan bentuk permukaan pemantul bunyi yang miring dengan permukaan yang
tidak beraturan, terutama daerah plafond di atas sumber bunyi, agar sebagian besar bunyi
langsung (direct sound) menyebar ke arah penonton dengan waktu tunda yang panjang
sehingga bunyi langsung dapat diterima sebagian besar penonton hingga ke tempat duduk
terjauh.
J. Penempatan penonton di area yang menguntungkan

Penonton harus berada di daerah yang menguntungkan, baik saat menonton maupun
melihat pertunjukan, yakni berada pada area sumbu longitudinal. Area sumbu longitudinal
merupakan area untuk pendengaran dan penglihatan terbaik, sehingga harus diefektifkan
untuk tempat duduk. Harus dihindari perletakan lorong sirkulasi di area ini. Selain ditinjau
dari kualitas mendengar dan melihat dari segi penontonnya, juga harus dilihat dari segi
kenyamanan pemainnya. Agar pemain masih bisa leluasa dalam melakukan aksi
panggungnya, maka rentang sudut yang masih bisa ditolerir 135° dari sumber bunyi seperti
yang dijelaskan oleh Mills (1976:37):
Greater encirclement has the obvious advantage of bringing more members of the audience
within good acoustics and visual distance of the stage, but it also means that they will tend to
be distracted in some instances by the audience on the other side of the acting area.
Furthermore, it is not possible for an actor to convey focial expressions and gestures in two
opposite directions at the same time, an angle 135° is generally considered to be the limit,
and greater encirclement can therefore impose constraints on the type of performance
undertaken.

Lingkar area tempat duduk penonton yang lebih besar merupakan hal yang
menguntungkan karena lebih banyak penonton yang mendapatkan jarak mendengar dan
melihat yang baik secara akustik maupun visual, tapi dalam beberapa hal cenderung tidak
menguntungkan bagi penonton yang berada di sisi panggung yang lain. Lagipula, tidak
mungkin bagi pemain untuk menghadap ke arah penonton yang berada di dua arah yang
berlawanan dalam waktu yang bersamaan.
Lingkar dengan sudut 135° merupakan batas maksimal, karena lebih dari itu akan menambah
ketidakleluasaan penampilan pemain saat melakukan pertunjukan.

2. Pemilihan Bentuk Ruang yang Tepat

Doelle (1995:95) menyebutkan bahwa bentuk ruang juga mempengaruhi kualitas


bunyi. Ada beberapa bentuk ruang pertunjukan yang lazim digunakan, yaitu: bentuk empat
persegi (rectangular shape), bentuk kipas (fan shape), bentuk tapal kuda (horse-shoe shape)
dan bentuk hexagonal (hexagonal shape).
Bentuk Ruang Empat Persegi (rectangular shape) merupakan bentuk tradisional
yang paling umum digunakan Ruang-ruang konser dari abad ke- 19 dan awal abad ke-20
seperti The Grosser Musikvereinsaal, Vienna, Andrew’s Hall Glasgow, The Concertgebouw
Amsterdam, The Stadt Casino Basel dan Symphony Hall Boston, semuanya mempunyai
bentuk lantai empat persegi. Keuntungan dari bentuk ruang ini dijelaskan Mills (1976:28)
sebagai berikut:
The virtues of this shape are a high degree of uniformity and in inherently good balance of
early and late energy. The small width is responsible for a substantial amount of early lateral
sound, enhanced by additional contribution of multiple reflections between the side walls.
Jadi bentuk ruang empat persegi panjang (rectangular shape) memiliki tingkat
keseragaman suara yang tinggi sehingga terjadi keseimbangan antara suara awal dan suara
akhir. Sisi lebar yang lebih kecil dapat merespon bunyi lateral /bunyi samping, diperkuat
dengan pantulan yang berulang-ulang antar dinding samping menyebabkan bertambahnya
kepenuhan nada, suatu segi akustik ruang yang sangat diinginkan pada ruang pertunjukan.
Kelemahan dari bentuk ini adalah pada bagian sisi panjangnya, karena menjadikan
jarak antara penonton dengan panggung terlalu jauh. Solusi untuk permasalahan ini adalah
dengan mempersempit area panggung dan memperlebar sisi depannya.
Lantai bentuk Kipas (Fan Shape) membawa penonton dekat dengan sumber bunyi karena
memungkinkan adanya konstruksi balkon. Keuntungan lain dari bentuk ini menurut Mills
(1986: 29):
The fan shape has the advantage of containing the maximum number of people in a given
angle for a specified maximum source receiver distance. This characteristic is attractive for
economic reason as well as enabling the hall to fulfil multi purpose requirements.

Jadi keuntungan ruang bentuk kipas, dapat menampung penonton dalam jumlah
banyak, disamping itu juga menyediakan sudut pandang yang maksimum bagi penonton.

Akan tetapi disisi lain, banyak pula kekurangan dari bentuk ini memiliki kekurangan
yang membuat reputasi akustiknya kurang baik, karena bentuk dinding samping yang
melebar ke belakang menyebabkan pemantulan yang terlalu cepat ke dinding belakang yang
dilengkungkan sehingga menciptakan gema dan pemusatan bunyi sehingga ruang ini
cenderung memiliki akustik yang tidak seragam, dengan kondisi area duduk penonton bagian
tengah yang kurang baik.
Ruang Bentuk Tapal Kuda (Horse-shoe shape) merupakan bentuk yang memiliki
keistimewaan karakteristik yakni adanya kotak-kotak yang berhubungan (rings of boxes)
yang satu di atas yang lain. Walaupun tanpa lapisan permukaan penyerap bunyi pada
interiornya, kotak-kotak ini berperan secara efisien pada penyerapan bunyi dan menyediakan
waktu dengung yang pendek. Disamping itu bentuk dindingnya membuat jarak penonton
dengan pemain menjadi lebih dekat. (Doelle:1990).
Bentuk Lantai Hexagonal (Hexagonal Shape) di di bawah ini dapat membawa
penonton sangat dekat dengan sumber bunyi, keakraban akustik dan ketegasan, karena
permukaan-permukaan yang digunakan untuk menghasilkan pemantulan-pemantulan dengan
waktu tunda singkat dapat dipadukan dengan mudah ke dalam keseluruhan rancangan
arsitektur

3. Distribusi Bunyi yang Merata

Energi bunyi dari sumber bunyi harus terdistribusi secara merata ke setiap bagian
ruang, baik yang dekat maupun yang jauh dari sumber bunyi. Untuk mencapai keadaan
tersebut menurut Doelle (1990:60) perlu diusahakan pengolahan pada elemen pembentuk
ruangnya, yakni unsur langit-langit, lantai dan dinding, dengan cara membuat permukaan
yang tidak teratur, penonjolan elemen bangunan, langit-langit yang ditutup, kotak-kotak yang
menonjol, dekorasi pada permukaan dinding yang dipahat, bukaan jendela yang dalam dan
sebagainya.
Pengolahan bentuk permukaan elemen pembentuk ruang terutama dibagian dinding dan
langit-langit dengan susunan yang tidak teratur dan dalam jumlah dan ukuran yang cukup
akan banyak memperbaiki kondisi dengar, terutama pada ruang dengan waktu dengung yang
cukup panjang.

4. Ruang harus bebas dari cacat-cacat akustik


Cacat akustik merupakan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada pengolahan
elemen pembentuk ruang gedung pertunjukan yang menimbulkan permasalahan akustik.
Adapun cacat akustik yang biasa terjadi pada sebuah gedung pertunjukan yang tidak di desain
dengan baik menurut Doelle (1990:64) ada delapan jenis, yakni: gema/echoes, pemantulan
yang berkepanjangan (long - delayed reflections), gaung, pemusatan bunyi, ruang gandeng
(coupled spaces), distorsi, bayangan bunyi, dan serambi bisikan (whispering gallery).
Gema (echoes) merupakan cacat akustik yang paling berat, terjadi bila bunyi yang
dipantulkan oleh suatu permukaan tertunda cukup lama untuk dapat diterima dan menjadi
bunyi yang berbeda dari bunyi yang merambat langsung dari sumber suara ke pendengar.
Terkait dengan hal ini Mills (1990:28) berpendapat: Reflections off large plane surfaces risk
being heard as echoes, that is discrete delayed repetitions of the direct sound. Jadi
pemantulan suara yang mengenai permukaan datar yang lebar beresiko terdengar sebagai
gema, yang ditandai dengan adanya penundaan yang berulang-ulang dari bunyi langsung.
Pemantulan yang Berkepanjangan (Long - Delayed Reflections) adalah cacat akustik
yang sejenis dengan gema, tetapi penundaan waktu antara penerimaan bunyi langsung dan
bunyi pantul agak lebih singkat, sedangkan gaung merupakan cacat akustik yang terdiri atas
gema-gema kecil yang berturutan dengan cepat. Peristiwa ini dapat diamati bila terjadi
ledakan singkat seperti tepukan tangan atau tembakan yang dilakukan di antara dua
permukaan dinding atau pemantul bunyi yang sejajar dan rata. Waktu dengung
(reverberation time) berperan penting dalam menciptakan kualitas musik dan kemampuan
untuk memahami suara percakapan dalam ruang.

5. Lantai

(Gambar.12 Lapisan material pada lantai pada bangunan auditorium


Sumber: Https://www.scribd.com )

Lantai adalah bagian bangunan yang penting, yang berhubungan langsung dengan
beban, baik beban mati maupun beban hidup atau bergerak. Contoh bahan lantai seperti:
kayu, batu alam atau buatan, logam, beton dan sebagainya. Dalam merencanakan lantai
ruang pertemuan perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :
1) Fungsi Lantai
Lantai berfungsi sebagai bidang dasar yang digunakan untuk aktifitas manusia dalam
melakukan kegiatan diatasnya dan sebagai alas dari suatu ruang.
2) Sifat Lantai
Lantai dapat membentuk sifat tertentu sesuai dengan fungsinya. Dimana lantai dapat
membentuk sifat/daerah dalam ruang, yaitu dengan membuat penaikan atau penurunan
dari sebagian lantai. Lantai dapat bersifat permanen maupun semi permanen.
3) Karakter Lantai
Lantai dapat menentukan karakter ruang, yaitu dengan menggunakan bentuk-bentuk
pemilihan bahan, pola maupun warna yang tepat atau sesuai dengan suasana ruang yang
ingin dicapai.
4) Konstruksi Lantai
Konstruksi lantai perlu diperhatikan bagaimana bahan lantai dipasang. Bagaimana
menempel pada dasaran lantai sehingga tidak menimbulkan kelembaban atau
menimbulkan panas yang berlebihan, dan sebagainya.

5) Macam Letak Lantai


- Basement.

(Gambar 13. Detail basement


Sumber : https://www.bibliocad.com)

- Ground Floor
(Gambar 14. Ground Floor
Sumber: Ilmu Teknik Sipil.com )

- Upper Floor

(Gambar 15. Upper Floor


Sumber: https://pin.it/4TtF99k )

Berdasarkan fungsi lantai ruang pendidikan musik maka bahan lantai harus memenuhi
persyaratan:
1. Mempunyai sifat akustik, yakni bahan yang menyerap suara dan tidak memindah
bunyi.
2. Mendukung kenikmatan visual bagi audience, agar arus gelombang bunyi
langsung kependengar memuaskan.
Berdasarkan karakteristiknya lantai terbagi menjadi empat, yaitu:
 Lantai lunak, terdiri dari semua tipe permadani dan karpet.

(Gambar 16. Karpet ballroom


Sumber: http://www.primahapsari.com)
Pemberian karpet pada lantai dapat menunjang penyerapan bunyi, sbb:
 Lantai Semi Keras, terdiri dari pelapisan lantai seperti vinyl, aspal dan cor.

Gambar 17. Lapisan lantai vinyl


( Sumber: https://balianflooring.id )

 Lantai Keras, terdiri dari semua jenis batuan dan logam yang dipakai sebagai
bahan lantai.

(Gambar 18. Lapisan keramik


Sumber: https://sahdieng.blogspot.com)

 Lantai Kayu (parquet), terdiri dari berbagai jenis dan motif bahan lantai yang
terbuat dari kayu.

(Gambar 19. Lantai kayu


Sumber: https://dokumen.tips/documents/detail-akustik)

6. Dinding
(Gambar 20. Gambar Lapisan dinding pada bangunan Auditorium
Sumber: Https://www .scribd.com)

Dinding adalah bidang datar yang vertikal yang membentuk ruangruang di dalam
bangunan. Secara struktur dinding dibedakan menjadi:
1. Dinding struktur (bearing wall) Dinding jenis ini merupakan dinding yang
mendukung sruktur di atasnya, misalnya sebagai pendukung atau tumpuan atap atau
sebagai penumpu lantai (pada bangunan bertingkat).
2. Dinding non struktur/ partisi (non bearing wall) Pada bangunan yang menggunakan
sistem non struktur kebebasan peletakan dinding dan permukaan pada dinding dapat
diatur menurut kehendak perencana, karena tumpuan atap terletak pada kolom-kolom
pendukung. Dinding non bearing wall terdiri dari: pasangan batu bata, pasangan
batako, multipleks, asbes, plat alumunium, dan lain sebagainya.

(Gambar 21. Dinding bearing wall & non bearing wall


Sumber: https://www.google.com)

Beberapa dinding jenis ini, diantaranya:

1. Party walls, adalah dinding pemisah antara dua bangunan yang bersandar pada
masing-masing bangunan.
(Gambar 22. Party walls
Sumber: https://mayplas.co.uk)

2. Fire walls, adalah dinding yang digunakan sebagai pelindung dari pancaran kobaran
api.

(Gambar 23. Fire walls


Sumber : https://images.app.goo.gl)

3. Certain or Panels walls, adalah dinding yang digunakan sebagai pengisi pada suatu
konstruksi rangka baja atau beton.
(Gambar 24. Certain or Panels walls
Sumber: https://www.archiexpo.com)

4. Partition walls, adalah dinding yang digunakan sebagai pemisah dan pembentuk
ruang. Partition terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
 Partisi permanen, yaitu sistem partisi yang dibuat untuk membagi ruang seperti
halnya dinding struktural, tetapi tidakmembutuhkan pondasi karena hanya
menahan beratnya sendiri.
 Partisi semi permanen, yaitu sistem partisi buatan pabrik yang mudah dibongkar
sesuai lay out. Partisi moveable, yaitu partisi yang dipakai pada hal-hal dimana
suatu ruang seringkali perlu di buka untuk mendapatkan bentuk ruang satu lantai
yang lebih luas.

(Gambar 25. Partition walls


Sumber: https://images.app.goo.gl)

5. Secara konstruksi ada tiga macam dinding, yaitu:


 Dinding pemikul, ialah suatu dinding dimana dinding tersebut menerima beban
atap atau beban lantai, maka dinding berfunsi sebagai struktur pokok.
 Dinding penahan, ialah suatu dinding yang menahan gayagaya horizontal.
Biasanya dibuat untuk menjaga kemungkinan dari pengaruh air, dingin, tanah.
 Dinding pengisi, ialah suatu dinding yang fungsinya mengisi bagian-bagian di
antara struktur pokok.

6. Fungsi Dinding
Fungsi dinding ialah sebagai pemikul beban di atasnya, sebagai penutup dan pembatas
ruang, baik visual maupun akustik.
Sifat DindinDinding dapat menentukan sifat tertentu sesuai dengan fungsinya. Misalnya
dinding yang bersifat permanen maupun semi permanen (dapat berubah-ubah).
8. Karakter Dinding
Dinding dapat membentuk karakter ruang, yaitu dengan pemilihan bahan, pola
maupun warna yang tepat atau sesuai dengan suasana ruang yang ingin dicapai.

9. Bahan Penutup Dinding


Bahan buatan yang fungsinya sebagai pelapis dinding dengan pemasangannya
menempel pada dasar dinding. Beberapa jenis bahan yang berfungsi sebagai penutup dinding
adalah sebagai berikut:

 batu: asbes, coraltex, marmer

(Batu asbes) (Coraltex) (batu marmer)

 kayu: papan, tripleks, bamboo, hardboard

(tripleks) (bamboo)

(papan) (hardboard)

 metal: alumunium, tembaga, kuningan


(Alumunium) (kuningan) (tembaga)

 gelas: kaca, cermin

(kaca) (cermin)

 plastik: fiberglass, folding door, dsb

(Fiberglass)
(folding door)

 cat: bermacam – macam cat tembok

(cat)

 kain: batik, sastra, dsb.


(Kain)
BAB III
PEMBAHASAN

A. Auditorium pada Desain Gedung Koetaradja Convention & Exhibition Center

(Gambar 26. Gedung Koetaradja Convention & Exhibition Center


Sumber: Foto Indonesia Convention Exhibition (ICE BSD))

1 Perencanaan desain auditorium

Auditorium yang di rancang pada gedung Koetaradja Convention & Exhibition


Center ialah seluas 3000 meter persegi dengan kapasitas 3500 kursi. Gambar 3.1
menunjukkan bentuk auditorium pada gedung, yaitu berbentuk persegi panjang yang
dikombinasikan dengan bentuk hexagonal agar dapat memantulkan bunyi secara merata.

(Gambar 27. Bentuk perancangan auditorium Gedung Koetaradja Convention & Exhibition
Center
Sumber: Jurnal Ilmiah Arsitektur Dan Perencanaan)

Auditorium ini digunakan untuk acara-acara konvensi seperti seminar, konferensi


skala besar, dan lain-lain. Auditorium ini juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas
pendukung seperti fasilitas perjamuan, fasilitas servis, fasilitas VIP, fasilitas kesehatan
dan toilet. Sirkulasi auditorium ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dibagian depan,
dibagian tengah, dan di bagian belakang dengan total pintu keluar berjumlah 20 buah.
Bentuk ruang auditorium yang dipilih ialah bentuk persegi panjang dan kipas pada bagian
arena dan panggung. Bentuk ini dipilih agar dapat memuat kapasitas kursi lebih banyak,
serta bentuk kipas dipilih pada bagian arena dan panggung agar penglihatan pengunjung
dapat lebih terpusat. Kursi penonton disusun mengikuti bentuk panggung untuk
meningkatkan efektivitas penglihatan penonton terhadap panggung.
2 Elemen interior

Auditorium pada akustik Perancangan elemen interior untuk menghasilkan


kualitas bunyi yang baik pada auditorium ini ialah dengan mengaplikasikan material
penyerap/pemantul bunyi pada bagian-bagian berikut:

1. Lantai
Lantai merupakan bagian datar pada bagian interior auditorium tempat
dimana kaki berpijak, tempat menyangga segala aktivitas dan furnitur dalam suatu
ruang. Lantai juga dapat berfungsi sebagai unsur dekorasi. Untuk menghasilkan
tata akustik yang baik, jenis material penutup lantai yang dapat pula berfungsi
sebagai peredam suara ialah bahan lembut berupa karpet ataupun permadani.
Material karpet selain berfungsi sebagai elemen akustik, juga dapat memberikan
kesan hangat pada interior auditorium.

Selain material penutupnya, struktur lantai sendiri juga dirancang


menggunakan sistem raised floor (gambar 25). Sistem ini menggunakan kayu atau
besi untuk mendudukkan papan lantai dengan menggunakan rangka. Rangka-
rangka ini nantinya akan diisi dengan bahan penyerap suara seperti glasswool
(gambar 26) yang dapat menghambat perambatan bunyi keluar ruangan. Di bagian
rangka ini juga dapat diletakkan berbagai macam kabel atau perpipaan yang
berkaitan dengan utilitas bangunan. Sementara pada bagian lantai juga akan
dilapisi karpet sebagai material yang dapat meredam suara (gambar 27).

(Gambar 28. raised floor) (Gambar 29. Glasswool)

(Gambar 30. Penerapan Material Karpet pada Desain


sumber: Jurnal Ilmiah Arsitektur Dan Perencanaan)

2. Dinding
Dinding merupakan komponen struktural/nonstruktural yang memiliki
tekstur dan karakteristik sesuai fungsi. Materialnya dapat terbuat dari beton,
gypsum, kaca, dan lain-lain. Untuk mendesain dinding auditorium agar dapat
memantulkan suara dengan baik, maka dibagian belakang panggung
diaplikasikan material penyerap suara seperti multipleks dan panel acourete
board panel (gambar 3.5). Hal ini dilakukan untuk mengurangi gema yang
dapat terjadi akibat suara yang ditimbulkan oleh sound system.

(Gambar 31. Acourete board panel


sumber: Jurnal Ilmiah Arsitektur Dan Perencanaan)

pada bagian kiri dan kanan area penonton diletakkan material penyerap
suara acourete fiber setebal 10 mm. acourete fiber ini dipilih karena
kemampuannya yang dapat menyerap suara 10 kali lebih besar dibandingkan
dengan bahan penyerap suara lain, disamping ketebalannya yang relatif tipis.

(Gambar 32. Pemasangan acourete fiber)


(Gambar 32. Penerapan pada desain 1)

Gambar 33. Penerapan pada desain 2

Bagian belakang panggung dilapisi dengan acourete board panel, dinding di


bagian dinding kiri dan kanan dilapisi dengan lapisan acourete fiber dan gypsum yang
terbuat dari kalsium sulfat dihidrat. Pemasangan dinding dengan sistem ini akan
mencegah terjadinya perambatan bunyi ke ruangan lain.

3. Plafon (langit-langit)
Unsur pembentuk ruang yang berperan penting dalam tata akustik interior
selanjutnya adalah plafon atau langit-langit ruangan. Plafon merupakan salah
satu unsur pembatas ruang berkarakteristik khusus yang dapat menentukan
jenis kegiatan yang berlangsung pada ruangan tersebut. Untuk jenis ruang
auditorium, plafon berfungsi sebagai dekorasi serta peredam suara yang
efektif, ditunjang dengan peredam suara yang dipasang pada bagian dinding
dan lantai. Auditorium ini dirancang agar berfungsi sebagai pemecah suara
dengan ketinggian langit-langit yang semakin menurun dan miring ke arah
panggung, agar bunyi dapat memantul secara merata sehingga dapat
mengurangi terjadinya dengung (reverberation) ataupun gema. Desain langit-
langit harus dibuat bersegi-segi agar dapat memantulkan suara, sehingga bunyi
yang dihasilkan oleh sound system akan tersebar merata.

Untuk menghindari cacat akustik yang mungkin terjadi karena ruang


gandeng, maka ruang auditorium di desain tidak berhubungan dengan ruangan
lain agar bunyi dari luar tidak masuk ke dalam ruang. Solusi selanjutnya
adalah tidak mendekatkan kursi penonton dengan pintu keluar, agar penonton
tidak terganggu dengan bunyi-bunyian yang datang dari luar ruangan.
(Gambar 34. Bentuk plafon auditorium yang baik)

(Gambar 35. penerapan plafon pada auditorium)

Untuk menghindari cacat akustik yang mungkin terjadi karena ruang gandeng, maka
ruang auditorium di desain tidak berhubungan dengan ruangan lain agar bunyi dari luar tidak
masuk ke dalam ruang. Solusi selanjutnya adalah tidak mendekatkan kursi penonton dengan
pintu keluar, agar penonton tidak terganggu dengan bunyi-bunyian yang datang dari luar
ruangan.

B. Gedung Bandung Creative Hub (BCH)


Gedung Bandung Creative Hub (BCH) memiliki banyak ruangan dan fasilitas,
salah satu fasilitas yang sering digunakan untuk berbagai kebutuhan adalah Auditorium
multifungsi. Auditorium multifungsi merupakan salah satu ruangan yang “spesial”
dikarenakan dalam perancangannya membutuhkan rancangan yang berebeda dengan
ruangan yang lainnya, pada rancangan interior ruang auditorium tidak hanya fungsi
estetika yang diutamakan, tetapi fungsi akustika pun menjadi hal yang patut diperhatikan.

E Mediastika (2005) menyatakan bahwa auditorium merupakan sebuah ruangan


yg diperuntukkan untuk mengadakan pertemuanpertemuan umum, aktivitas pertunjukan,
dan lain sebagainya, sedangkan auditorium multifungsi merupakan jenis auditorium yang
tidak dirancang secara khusus untuk fungsi verbal atau musik, namun dirancang untuk
berbagai aktivitas lain, seperti mengadakan pernikahan, pameran produk, dan aktivitas
perayaan seperti ulang tahun dan lain sebagainya. Akustika diartikan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan suara atau bunyi.
Menurut Shadily, (1987:8) akustik berarti ilmu suara atau ilmu bunyi.
Sedangkan Halme (1990, h.12) menyatakan bahwa akustik adalah salah satu bentuk ilmu
dan merupakan pertimbangan pertama untuk mendapatkan lingkungan ataupun ruang
dengan suara yang nyaman. Sedangkan desain interior menurut Cohen (1994), merupakan
aktivitas merancang, menata, merencanakan suatu ruang dalam bangunan. Penataan pada
suatu ruang memiliki tujuan agar pengguna ruang tersebut merasa aman, nyaman, senang,
dan betah berada di ruangan tersebut. Pengendalian bising dan akustik pada ruang
arsitektur dapat dilakukan dengan mengendalikan getaran dan juga penggunaan material
bangunan yang efektif (Long, 2006). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kebisingan dan bunti yang tidak diinginkan adalah dengan pemasangan bahan
penyerap suara, yaitu dengan pemilihan material yang dapat mengurangi mereduksi
kebisingan dan kekuatan suara hingga 10 dB (Rossing et al, 2007). Sedangkan menurut
Cox dan D'Antonio (2009), dengan penambahan bahan yang memiliki kemampuan
penyerapan suara, kebisingan menurun sampai 3-4 dBA, dan tingkat gema dalam ruang
akan berkurang.

1. Material pada Auditorium BCH

Pembahasan mengenai material pada interior auditorium multifungsi BCH akan


dilakukan dari bawah ke atas ruangan, atau akan dibahas mulai dari lantai – dinding –
kemudian langit-langit. Dalam perancangan interior ruangan serupa auditorium seperti;
studio musik, studio rekaman, aula sekolah, dan lain sebagainya, penggunaan material
akustika wajib diterapkan agar dapat memenuhi standar secara akustik dan kegiatan yang
dilaksanakan di dalamnya berjalan sebagaimana mestinya. Pada interior auditorium peran
material adalah sebagai salah satu media utama untuk mengendalikan akustika, pada
umumnya didalam auditorium digunakan material berpori yang memiliki fungsi sebagai
penyerap suara, material berpori terdiri dari berbagai macam contohnya; kain, busa, kapas
sintetis, dan lain sebagainya.

a) Lantai
Dalam interior auditorium multifungsi BCH, pada elemen lantai untuk
konstruksi utamanya menggunakan beton bertulang, dengnan finishing keramik yang
kemudian ditutupi degan karpet bercorak, pemilihan karpet bercorak memiliki fungsi
estetis dan juga fungsi akustik, pada fungsi estetis karpet bercorak lebih menarik
ketimbang karpet polos, selain itu corak pada karpet dapatv menyamarkan kotoran
sehingga karpet lebih tidak mudah terlihat kotor. Pada sisi akustik material karpet
yang memiliki permukaan halus dan banyak pori-pori dari rajutan benangnya, dapat
meredam gelombang suara berfrekuensi mid-low atau frekuensi menengah hingga
rendah, seperti suara vokal manusia atau suara bass, material karpet dapat menjadi
material peredam suara yang cukup efektif.
(Gambar 36. Material karpet pada tangga auditorium BCH
sumber jurnalJurnal Ilmiah Desain Interior)

(Gambar 37. Material karpet pada lantai dan panggung auditorium BCH.
Sumber: jurnalJurnal Ilmiah Desain Interior)

b.) Dinding

Dinding auditoium BCH memiliki konstruksi utama dari material batu bata
yang kemudian digunakan finishing cat tembok. Pada permukaan dindingnya dilapisi
oleh treatment berbentuk geometris yang terbuat dari material papan serat (medium
density fibre board) yang memiliki permukaan berlubang. Selain material papan serat
pada bagian dinding juga memiliki treatment yang dilapisi oleh kain hitam, pada
bagian dinding material masih didominasi oleh material berserat atau yang memiliki
rongga. Doelle (1990) mnyatakan bahwa bahan yang memiliki rongga merupakan
jenis material penyerap bunyi yang efisien dan mampu mengubah energi bunyi yang
datang menjadi energi panas.
Gambar 38. Treatment dinding auditorium BCH, dengan material papan serat (1), dan kain hitam (2).
Sumber: Jurnal Ilmiah Desain Interior)

Dapat dilihat pada gambar 20, pada bagian treatment dinding digunakan
material dengan permukaan berongga pada dinding untuk fungsi akustik menyerap
dan memantulkan kembali gelombang bunyi.

c) Furnitur
Bagian furnishing atau furnitur yang terdapat di dalam interior auditorium
BCH adalah kursi penonton dengan jumlah 156 tempat duduk, pemasangan kursi
penonton terletak diatas lantai yang berbentuk miring seperti lereng dengan
kemiringan 17º, kemiringan lantai inidimaksudkan agar penonton di kursi belakang
tetap bisa mendapat visibilitas yang baik, dan juga dalam sisi akustiknya gelombang
bunyi lebih mudah diserap apabila melalui bidang yang miring.

(Gambar 39. Tempat duduk penonton dalam auditorium BCH.


Sumber: https://id.pinterest.com)

Seperti yang terlihat pada gambar 4, material furnitur kursi penonton


meggunakan busa atau spons yang dilapis dengan upholstery berbahan tekstil,
karakteristik bahan busa dan berpori seperti yang telah disebutkan dalam Doelle
(1990). Bagian tempat duduk penonton dapat menjadi media pemecah gelombang
suara apabila dalam jumlah yang banyak dikarenakan penyusunan tempat duduk yang
teratur dan berada pada bidang yang miring, sedangkan material busa pada tempat
duduk penonton selain memberikan kenyamanan terhadap audience juga dapat
berfungsi sebagai penyerap gelombang bunyi.

d) Langit-langit

75 Pada bagian langit-langitnya, auditorium BCH menggunakan aplikasi


material yang hampirserupa dindingnya, yaitu memiliki bentuk geometris dengan
penyusunan bertumpuk, penerapan treatment ini memiliki fungsi akustik sama dengan
treatment pada dinding, dan juga menggunakan material yang sama dengan treatment
dinding yaitu material papan serat, namun pada bagian langitlangit papan serat yang
digunakan memiliki permukaan solid dan tidak berlubang seperti pada dinding, hal ini
dikarenakan area langit-langit digunakan sebagai media pemantul suara.

(Gambar 40. Langit-langit pada auditorium BCH


Sumber: jurnalJurnal Ilmiah Desain Interior)

Berdasarkan teori akustika menurut Leslie L. Doelle, langit-langit dapat menjadi


media pengendalian akustik yang efektif, dengan menempatkan bentuk geometris yang
bervariasi guna memantulkan dan memecah gelombang bunyi agar lebih merata dan
meminimalisir adanya echo yang tidak diinginkan. Penggunaan material penyerap bunyi yang
dipasang pada langit-langit dan dinding ruangan. Penggunaan bentuk geometris dan dimensi
yang bervariasi sangat dianjurkan agar dapat memecah dan memantulkan bunyi secara
merata. Material lain yang digunakan pada langit-langit adalah gypsum dan panel kayu.
Selain untuk menunjang fungsi akustiknya, pemasangan bentuk geometris pada bagian langit-
langit juga dapat berguna untuk memantulkan gelombang bunyi, pemantulan ini diperlukan
agar gelombang bunyi yang berasal dari panggung pertunjukkan dapat sampai hingga ke
tempat duduk penonton yang paling belakang sekalipun, selain itu pemasangan treatment
pada langit-langit dapat memiliki fungsi akustik sebagai pemecah bunyi agar tidak terjadi
gaung yang tidak diinginkan.
Pada auditorium BCH, pemanfaatan permukaan langit-langit sebagai pemantul bunyi,
berfungsi sebagai bagian dari pengendalian akustika, yaitu agar bunyi dapat menyebar secara
merata di dalam ruangan, dan juga untuk menghindari adanya area bayang-bayang akustika
yang diakibatkan oleh jarak dan juga penyusunan ruang. Kombinasi antara bahan penyerap
dan bahan pemantul pada ruang auditorium merupakan salah satu cara untuk mengatur
kekuatan suara, mengendalikan gaung, dan gema, juga untuk penyebaran suara agar merata.
Ruang auditorium sebagai ruang akustika yang optimal pengendalian akustikanya ditandai
oleh pemerataan suara di seluruh area ruangan, artinya baik audiens yang berada di depan, di
samping, dan di belakang mendapatkan kualitas suara yang sama baiknya.

Sebagian besar material yang digunakan pada interior auditorium BCH, dimulai dari
elemen lantai, dinding, furnitur, hingga langit- langit sudah sesuai dengan teori dalam ilmu
desain interior dan juga akustika yang sudah berlaku.

C. Auditorium Samanta Krida universitas brawijaya


Auditorium Samantha Krida merupakan sebuah ruang berbentuk persegi panjang
dengan ukuran panjang 53 meter dan lebar 46 meter. Dengan adanya bentuk
bertingkattingkat pada plafon, ketinggian ruangan bervariasi dari 6,8 meter pada area
tribune, hingga 13 meter pada area tengah. Ruangan ini merupakan bagian utama yang
ada di dalam Gedung Samantha Krida. Auditorium ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu
area panggung, area hadirin utama, dan area tribune.

(Gambar 41. Pembagian area di auditorium pada denah (atas) dan potongan (bawah)
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).
Area panggung merupakan tempat pembicara maupun pemain musik biasa melakukan
aktivitasnya. Area ini berukuran panjang 15 meter dan lebar 9 meter, serta memiliki akses
visual dan audial langsung dari dan menuju area tengah. Area tengah ini memiliki ukuran
panjang 41 meter dan lebar 22 meter. Area ini merupakan area terbesar dari auditorium. Di
sisi kanan dan kiri area tengah terdapat empat buah tribune dengan ukuran masing masing
lebar 8 meter dan panjang 15 meter. Keempat tribune ini memiliki lantai bertingkat-tingkat
dengan kenaikan 70 cm pada tingkat pertama dan kenaikan 45 cm untuk setiap tingkat
berikutnya. Lebar masing-masing tingkat tersebut adalah sebesar 1 meter. Terdapat beberapa
jenis materal yang diterapkan pada auditorium yang menentukan lamanya waktu dengung
dalam ruangan tersebut. Material dengan luas permukaan terbesar adalah papan gipsum yang
terdapat pada plafon. Bentuk plafon auditorium ini tidak sepenuhnya rata melainkan memiliki
bentuk yang sedikit bertrap sehingga memiliki sifat difraksi walaupun tidak banyak. Meski
demikian, area plafon ini masih cenderung berperan sebagai reflektor bunyi karena material
gypsum yang bersifat memantulkan bunyi.

(Gambar 42. Kondisi eksisting plafon dengan material gipsum. Sumber: Jurnal Penerapan elemen
akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas Brawijaya).
Elemen pelingkup utama lainnya pada auditorium adalah dinding perimeter. Pada
bagian ini, material yang digunakan adalah batu bata yang dicat. Material jenis ini juga
memantulkan gelombang bunyi dengan sangat baik sehingga berperan sebagai reflektor
akustik. Bentuk dinding yang lurus dan tanpa penambahan atau pengurangan (sirip, roster,
dsb.) menjadikan area dinding ini sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan
tingginya waktu dengung pada ruangan.

(Gambar 43. Kondisi eksisting dinding auditorium dengan material batu bata.
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Untuk lantai auditorium, material yang digunakan adalah plat beton yang diberi
lapisan keramik di atasnya. Material ini juga dapat memantulkan bunyi dengan sangat baik,
bahkan yang paling baik dibanding material lain dalam bangunan. Bentuk lantai yang rata
dan luas menjadikan area lantai sebagai reflektor yang signifikan yang juga menjadi faktor
meningkatnya waktu dengung auditorium.

(Gambar 44. Kondisi eksisting lantai auditorium bermaterial beton dengan lapisan ubin keramik
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Pada bagian depan ruangan terdapat sebuah panggung yang biasa dijadikan tempat
penampil. Panggung ini setinggi 150 cm dan terbuat dari material beton yang dilapisi karpet.
Material beton merupakan reflektor bunyi yang baik, namun lapisan karpet mengurangi daya
pantul bunyi beton tersebut sehingga kombinasi material ini lebih bersifat sebagai penyerap
bunyi.

(Gambar 45. Kondisi eksisting area panggung dengan material lantai beton berlapis karpet. Sumber:
Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas Brawijaya).
Di kedua sisi auditorium terdapat tribune yang berorientasi ke bagian tengah
auditorium. Tribune ini berfungsi sebagai area hadirin tambahan saat bagian tengah
auditorium tidak dapat digunakan sebagai area hadirin. Tribune pada auditorium ini terbentuk
dari material yang sama dengan area panggung, yaitu kombinasi material beton berlapis
karpet. Bentuk tribune yang bertrap dan material yang bersifat menyerap bunyi menjadikan
area tribune ini sebagai area penyerap utama yang dapat mempercepat waktu dengung dalam
bangunan.
(Gambar 46. Kondisi eksisting area tribune dengan lantai beton bertrap yang dilapisi karpet Sumber:
Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas Brawijaya).

Selain pada tribune dan panggung, kolom-kolom pada auditorium juga merupakan
beton yang dilapisi karpet. Kolom terebut meripakan kolom dengan dimensi 60 x 120 cm.
Meskipun area pantulnya tidak begitu signifikan, namun adanya kolom beton berlapis karpet
ini sangat diperlukan sebagai penyerap bunyi.

(Gambar 47. Kondisi eksisting kolom beton dengan lapisan karpet.


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Secara umum, elemen utama pembentuk ruang auditorium ini terbentuk dari
kombinasi material reflektor dan penyerap bunyi. Material reflektor antara lain papan gipsum
pada plafon, batu bata berlapis cat pada dinding, dan plat beton berlapis keramik pada lantai.
Pada area panggung dan tribune, material yang digunakan adalah beton berlapis karpet yang
merupakan penyerap bunyi. Selain itu, terdapat beberapa elemen pengisi ruang yang dapat
membantu mengurangi waktu dengung, yaitu pagar beton berlapis keramik dan partisi kayu.
Gedung Samantha Krida memiliki kapasitas sebesar kapasitas sebesar 3.400 orang.
Bangunan ini memiliki sebuah auditorium yang biasa digunakan untuk berbagai jenis
kegiatan kampus seperti wisuda, seminar, dan perlombaan mahasiswa. Selain itu, bangunan
ini juga mewahadahi acara publik seperti konser musik dan pernikahan. Tiap acara tersebut
memiliki kebutuhan aktivitas akustik yang harus dipenuhi, yaitu dalam hal bicara dan musik.

1. Waktu Dengung
Untuk mengukur waktu dengung menggunakan formula Sabine, dibutuhkan data
berupa volume ruang dan jumlah penyerapan bunyi dalam nilai sabine. Data tersebut
didapatkan dari pengolahan data hasil pengukuran langsung, yaitu dimensi ruang serta luas
permukaan elemen interior dan jenis materialnya.

(Tabel 1. Koefisien Serap Bunyi Material pada Interior Auditorium)

Volume ruang didapatkan dari penghitungan data dimensi ruang, yaitu panjang, lebar,
dan tinggi ruangan. Total penyerapan bunyi didapatkan dari pengalian luas permukaan pantul
dengan koefisien serap bunyi materialnya. Terdapat 3 nilai koefisien serap bunyi untuk
frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz. Dengan begitu, waktu dengung diukur untuk bunyi
dengan masing-masing frekuensi tersebut. Data yang tertuang dalam tabel tersebut kemudian
diolah untuk mendapatkan jumlah penyerapan bunyi yang dinyatakan dalam satuan Sabine
(Sa).

(Tabel 2. Jumlah Serap Bunyi Elemen Interior Auditorium)


Dengan diketahuinya seluruh variabel pada formula Sabine, nilai RT untuk tiap
frekuensi bunyi dapat dihitung. Setelah melakukan penghitungan dengan formula Sabine,
akhirnya didapatkan nilai RT ruang auditorium. Terdapat nilai RT yang terlalu tinggi pada
frekuensi 500 Hz dan 1000 Hz, yaitu 4,23 detik dan 2,30 detik. Nilai ini dianggap terlalu
tinggi karena berada di atas standar auditorium serbaguna yaitu 1,40 – 1,90 detik. Terdapat
juga nilai RT yang sudah memenuhi standar, yaitu pada frekuensi 2000 Hz yang bernilai 1,78
detik.

(Tabel 3. Waktu Dengung pada Auditorium Eksisting)

Nilai RT yang terlalu tinggi pada frekuensi tertentu menandakan adanya cacat akustik
berupa dengung. Adanya dengung pada auditorium serbaguna akan mengganggu aktivitas
mendengar. Gangguan yang disebabkan berupa sulitnya bunyi yang didengar untuk diartikan
sehingga informasi dalam bentuk bunyi tersebut tidak tersampaikan. Gangguan penerimaan
informasi ini akan lebih dirasakan pada aktivitas bicara karena aktivitas ini mengandalkan
pengucapan dan pelafalan yang lebih akurat dibanding musik. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan tingginya waktu dengung pada auditorium. Salah satu faktor utama adalah
volume ruang yang terlalu besar dibanding luas permukaan interior. Hal ini menyebabkan
sedikitnya area serap bunyi sehingga bunyi yang muncul akan bertahan lebih lama di dalam
ruang. Faktor lain adalah elemen interior yang terlalu banyak menggunakan material yang
bersifat memantulkan bunyi. Penggunaan elemen pemantul bunyi tersebut terdapat pada
plafon, lantai dan dinding auditorium yang merupakan elemen interior utama dan yang paling
luas permukaan pantul bunyinya. Ini menyebabkan rendahnya nilai serap bunyi dalam ruang
dan meningkatkan waktu dengung. Dengan adanya masalah akustik pada objek penelitian,
maka objek tersebut dinilai memerlukan rekomendasi desain yang dapat mengurangi nilai RT
hingga sesuai standar. Berdasarkan analisis pada faktor penyebab tingginya waktu dengung,
penyelesaian yang dapat dilakukan adalah memperbesar luas bidang tumbuk bunyi atau
dengan menggunakan material dengan daya serap bunyi yang lebih tinggi. Penambahan luas
bidang tumbuk bunyi dapat berupa penambahan elemen interior seperti panel atau partisi
akustik. Sedangkan untuk material penyerap bunyi, penerapannya dapat berupa pelapisan
pada permukaan elemen interior.
2. Distribusi Tingkat Tekanan Bunyi (TTB)

Hasil pengukuran nilai TTB menunjukkan pengurangan dari sumber bunyi yang terletak
60 cm di atas panggung. Sumber bunyi tersebut diatur untuk mengeluarkan bunyi dengan
TTB sebesar 85,0 dB. Kemudian pada area ukur yang berjarak 1 meter dari panggung,
terukur TTB sebesar 81,2 dB. Angka ini berkurang 3,8 dB dari nilai TTB langsung yang
dihasilkan sumber bunyi. Area hadirin dimulai dari grid ukur 1, yaitu area berjarak 3 meter
dari panggung. Pada titik ukur A1, area hadirin paling dekat dengan panggung, terukur nilai
TTB sebesar 78,3 dB. Nilai ini kemudian terus mengalami pengurangan sebesar 1,2 hingga
1,3 dB pada tiap titik ukur di belakangnya.
(Gambar 48. Diagram persebaran tingkat tekanan bunyi pada area hadirin.
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Pada titik A6 yang berjarak 30 meter dari paggung, didapatkan hasil pengukuran TTB
sebesar 72,0 dB. Nilai ini berbeda 6,3 dB dari titik A1 yang bernilai 78,3 dB. Lalu pada titik
A7 di belakangnya, nilai TTB terukur sebesar 70,8, selisih 7,5 dB dari nilai TTB di titik A1.
Nilai TTB yang lebih kecil lagi didapat pada titik ukur B7 yang merupakan titik ukur pada
area hadirin utama yang jaraknya paling jauh dari panggung. Nilai TTB pada titik ini hanya
sebesar 69,8 dB, yaitu selisih 8,5 dB dengan titik A1.
Pada area tribune, TTB yang diterima mengalami penurunan yang lebih besar
dibanding pada area tengah. Di titik C1 yang merupakan area tribune terdekat dengan sumber
bunyi, nilai TTB yang diterima adalah sebesar 73,0 dB yaitu selisih 4,7 dB dengan titik A1.
Lebih jauh lagi, pada titik C7 terukur nilai TTB hanya sebesar 68,4 dB, selisih 9,9 dB dengan
titik A1. Dari data distribusi TTB pada auditorium, terdapat banyak titik yang memiliki nilai
TTB dengan selisih lebih dari 6 dB dibanding titik lainnya. Selisih nilai TTB paling besar
bahkan mencapai 9,9 dB, yaitu selisih antara titik A1 yang merupakan area hadirin paling
dekat panggung, dengan titik C7 yang merupakan area tribune terjauh dari panggung.
Selisih nilai TTB yang terlalu besar menandakan adanya cacat akustik pada
auditorium Samantha Krida berupa tidak meratanya distribusi TTB. Tidak meratanya TTB
pada auditorium berakibat menyebabkan kurangnya kemampuan pendengar untuk menerima
bunyi dari sumber bunyi. Hal ini sangat mengganggu karena membuat pendengar tidak dapat
menerima informasi yang disampaikan melalui bunyi oleh pembicara atau pemusik. Pada
kasus tidak meratanya TTB dalam auditorium, kurang terdengarnya bunyi oleh sebagian
pendengar tidak bisa diatasi dengan memperkuat bunyi yang dihasilkan sumber bunyi. Ini
karena penguatan bunyi utama tersebut malah akan menyebabkan pendengar yang berada
lebih dekat dengan sumber bunyi menerima bunyi yang terlalu kuat dan justru akan merasa
tidak nyaman bahkan sampai mengganggu pendengaran. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan tidak meratanya TTB pada auditorium ini. Salah satu faktor utama adalah
luasnya denah yang menyebabkan besarnya perbedaan jarak pendengar terdekat dengan
pendengar terjauh. Dari titik pendengar terdekat dengan panggung, pendengar terjauh di area
hadirin utama berjarak lebih dari 35 meter, dan pendengar terjauh di area tribune berjarak
lebih dari 40 meter.

(Gambar 49. Jarak antara pendengar terdekat dan terjauh dari panggung.
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Faktor lain adalah adanya area yang menerima bayangan bunyi. Bayangan bunyi ini
adalah area yang hanya sedikit atau tidak sama sekali mendapat bunyi langsung dari sumber
bunyi. Hal ini terjadi pada area tribune yang terhalang kolom dan pagar. Adanya penghalang
ini dapat mengurangi gelombang bunyi yang diterima pada area tribune sehingga nilai TTB
pada area tersebut rendah. Pada auditorium terdapat beberapa speaker yang difungsikan
sebagai sumber bunyi dalam acara yang diwadahi. Di area panggung, terdapat empat buah
speaker, dua buah speaker lantai dan dua buah speaker gantung. Terdapat juga 4 buah speaker
gantung di area tribune, satu untuk tiap sudut tribune. Setiap speaker tersebut merupakan
speaker permanen yang letaknya tetap untuk tiap acara. Selain speaker permanen, untuk acara
tertentu digunakan juga speaker berdiri yang dapat dipindah-pindah. Speaker jenis ini bersifat
cadangan, dan hanya dikeluarkan dari tempat penyimpanan saat diperlukan.

(Gambar 50. Lokasi peletakan speaker permanen pada auditorium.


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Adanya bantuan speaker sebagai sumber bunyi buatan dapat membantu pemerataan
distribusi bunyi dalam ruangan. Dengan tambahan speaker, tingkat tekanan bunyi yang
diterima di tiap area pendengar dapat diatur agar tidak memiliki selisih terlalu jauh. Selain
itu, penggunaan speaker non-permanen juga membantu pengendalian distribusi bunyi.
Dengan begitu, distribusi TTB pada area yang dirasa kurang dapat dipenuhi.

3. Simulasi Digital

Software utama yang digunakan untuk simulasi akustik adalah Ecotect Analysis 2011.
Software ini dapat digunakan untuk mengukur RT pada auditorium yang dibuat model
digitalnya. Model interior auditorium dibuat menggunakan software Sketchup dengan
dimensi dan material yang disamakan dengan kondisi eksisting auditorium. Model eksisting
ini kemudian dimasukkan ke dalam Ecotect Analysis 2011 untuk dilakukan simulasi.
o Simulasi waktu dengung
Di dalam software Ecotect Analysis 2011, material yang digunakan pada model dapat
diatur sifat akustiknya. Sifat akustik yang dimaksud adalah nilai koefisien serap bunyi
material tersebut. Pengaturan nilai koefisien serap bunyi disamakan dengan nilai koefisien
material pada kondisi eksisting. Setelah material dibuat, material l tersebut. Pengaturan nilai
koefisien serap bunyi disamakan dengan nilai koefisien material pada kondisi eksisting.
Setelah material dibuat, material tersebut diterapkan pada elemen-elemen interior model, dan
disamakan dengan kondisi eksisting.

(Gambar 51. Model digital auditorium dengan ukuran dan jenis material eksisting
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Setelah model eksisting selesai dibuat, dilakukan kalkulasi nilai RT secara digital.
Kalkulasi waktu dengung dilakukan menggunakan software Ecotect Analysis yaitu pada
bagian Analysis – Reverberation Time. Terdapa beberapa metode penghitungan waktu
dengung pada bagian ini. Namun metode yang digunakan pada simulasi ini adalah metode
penghitungan Sabine, sama dengan metode penghitungan secara manual. Setelah melakukan
penghitungan, didapatkan nilai RT untuk berbagai frekuensi pada ruangan model. Untuk
menyesuaikan dengan penghitungan manual, nilai RT yang digunakan adalah pada frekuensi
500 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz. Hasil kalkulasi digital yang dilakukan dibandingkan dengan
hasil dari penghitungan manual sebagai upaya validasi simulasi.

Dari perbandingan hasil kalkulasi yang dilakukan, didapatkan nilai Relative Error
sebesar 9,74%. Ini berarti tingkat kekeliruan dalam proses simulasi yang dilakukan masih
dalam batas yang disyaratkan dan hasil yang didapatkan dianggap valid. Dengan simulasi
yang telah divalidasi, maka model dan parameter simulasi yang tersebut dapat digunakan
sebagai model dasar dalam melakukan simulasi selanjutnya. Hal ini memudahkan proses
penghitungan dan pengujian terhadap variabel bebas yang diubah. Perbandingan hasil dari
kedua metode yang dilakukan tersebut dituangkan ke dalam tabel 4.6 berikut.

(Tabel 4. Perbandingan Hasil Pengukuran Manual dengan Simulasi Digital)

(Gambar 52. Penerapan tirai pada model simulasi Ecotect Analysis


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Selanjutnya, dengan model simulasi yang valid tersebut dilakukan penghitungan


waktu dengung auditorium pada saat area tribune ditutup partisi. Untuk itu, pada model
eksisting ditambahkan elemen interior berupa partisi. Material yang digunakan adalah kain
atau tirai, yaitu material yang biasa digunakan pada saat acara pernikahan. Koefisien serap
bunyi untuk material kain adalah 0,35, 0,40, dan 0,50 untuk masingmasing frekuensi 500 Hz,
1000 Hz, dan 2000 Hz. Setelah model elemen penutup tribun dimasukkan ke dalam model
ruangan, dilakukan penghitungan nilai RT. Dari penghitungan tersebut, didapatkan nilai RT
sebesar 0,42 detik, 0,34 detik, dan 0,31 detik pada rentang masing-masing frekuensi 500 Hz,
1000 Hz, dan 2000 Hz. Ketiga nilai tersebut lebih rendah dibanding nilai RT pada auditorium
eksisting, tanpa adanya penutup tribune. Hal ini dikarenakan adanya penambahan elemen
pengisi ruang yang menambah luas bidang tumbuk bunyi, sehingga nilai yang dihasilkan
lebih kecil.

Nilai RT yang dihasilkan mengalami penurunan yang cukup jauh dari nilai RT eksisting,
yaitu sebesar 2,8 detik pada 500 Hz, 1,95 detik pada 1000 Hz, dan 1,39 detik pada 2000 Hz.
Penurunan nilai RT ini terlalu besar untuk diterapkan pada auditorium karena nilai RT yang
dihasilkan berada di bawah kriteria. Untuk itu, sebagai penutup pada area tribune, perlu
digunakan material yang memiliki nilai koefisien serap bunyi yang tidak terlalu besar
sehingga pengurangan nilai RT bisa cukup untuk mencapai kriteria.

(Tabel 5. Nilai RT pada Auditorium dengan Tambahan Tirai pada Tribune)

4. Penambahan lapisan material penyerap bunyi

Pada auditorium Samantha Krida, terdapat penggunaan elemen interior berbahan material
keras. Material keras tersebut terdapat pada dinding, lantai, dan plafon. Untuk penambahan
lapisan material penyerap bunyi, penerapannya dilakukan pada lantai dan dinding. Pada
plafon tidak ditambahkan lapisan penyerap karena area tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
bidang pantul untuk menyebarkan bunyi dengan baik ke seluruh ruangan (Ronarizkia & Iyati,
2018).
1) Penerapan lapisan penyerap bunyi pada lantai auditorium
Pada lantai auditorium, penambahan lapisan penyerap bunyi diterapkan pada
seluruh lantai area hadirin. Luas permukaan lantai tersebut mencapai 3.396 m2 . Luas
permukaan tersebut cukup besar sehingga perubahan material yang dilakukan
menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap nilai RT. Di seluruh area ini
material penyerap bunyi dijadikan lapisan di atas material beton yang menjadi bahan
utama plat lantai.

(Gambar 53. Area lantai yang akan dilapisi material penyerap bunyi ditandai warna kuning. Sumber:
Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas Brawijaya).
Penerapan karpet pada desain ini menggunakan lateks sebagai bahan pelapis yang
merekatkan karpet dengan beton sehingga karpet tidak mudah bergeser. Adanya lapisan lateks
ini berpengaruh terhadap daya serap lapisan material secara keseluruhan. Materal karpet di
atas lapisan lateks memiliki koefisien serap bunyi sebesar 0,39, 0,34, dan 0,48 untuk
frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz secara berturut-turut. Dengan memasukkan data
koefisien serap bunyi ke dalam software Ecotect Analysis 2011, dilakukan simulasi untuk
mendapatkan nilai RT setelah penerapan lapisan karpet pada lantai.

(Gambar 54. Pemasangan karpet pada plat lantai beton.


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Pada visualisasi model 3D, lantai menggunakan karpet berwana cokelat. Warna
cokelat tersebut dipilih untuk menyesuaikan dengan warna ruangan secara keseluruhan.
Selain itu warna cokelat yang dipilih juga mirip dengan warna lantai eksisting. Dengan
begitu, adanya perubahan material lantai tidak menyebabkan berubahnya kesan interior yang
terlalu besar dibanding kondisi eksisting.

(Gambar 55. Visualisasi penerapan lapisan karpet pada lantai


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Simulasi penerapan lapisan karpet pada lantai dengan software Ecotect Analysis 2011
menghasilkan nilai RT. Nilai RT yang dihasilkan yaitu 2,03 detik pada frekuensi 500 Hz, 1,68
detik pada frekuensi 1000 Hz, dan 1,23 detik pada frekuensi 2000 Hz. Nilai ini mengalami
penurunan dari RT eksisting pada tiap frekuensi yang diukur.
2. Penerapan panel akustik pada plafon
Pada auditorium, area plafon merupakan elemen pembentuk ruang yang paling luas.
Hal ini membuat pengolahan pada area plafon akan menimbulkan pengaruh yang cukup
besar terhadap kondisi akustik ruangan. Selain itu, pada area ini juga tidak terdapat
perabot maupun elemen pengisi interior yang mengurangi luas area plafon. Dengan
begitu, untuk mengarahkan bunyi pantulan ke belakang area tengah, hasilnya akan
sangat paling berarti saat diterapkan pada area plafon.
Untuk dapat mengendalikan arah pantul bunyi, diperlukan elemen yang bersifat
memantulkan bunyi. Elemen yang digunakan adalah panel diffuser yang digantung ada
plafon di atas area hadirin di tengah. Panel tersebut berupa papan melengkung yang
menempel pada rangka aluminium. Untuk material papan yang digunakan, terdapat dua
alternatif, yaitu plywood dan plasterboard. Kedua material ini digunakan karena
sifatnya yang mudah dibentuk melengkung, serta memiliki peran yang baik dalam
memantulkan bunyi.

(Gambar 56. Material yang digunakan pada panel akustik (atas), serta potongan melintang
(bawah kiri), dan tampak atas (bawah kanan).
Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Panel akustik tersebut diterapkan pada plafon di area hadirin. Penerapan panel
tersebut adalah dengan cara digantung pada ketinggian dan orientasi yang bervariasi, 800 cm
hingga 1.230 cm di atas area tengah. Variasi ini dilakukan untuk mengarahkan penyebaran
bunyi lebih merata ke arah pendengar di bagian belakang. Terdapat sebanyak 30 panel yang
diperlukan untuk mengisi plafon di atas area hadirin. Jumlah tersebut menggambarkan
luasnya area permukaan pantul bunyi yang ditambahkan ke dalam ruang. Dengan begitu, nilai
RT dalam ruang mengalami pengurangan.
(Gambar 57. Penerapan panel akustik pada plafon auditorium pada potongan)

Dari Setelah rancangan bentuk panel dan penerapannya dibuat, langkah selanjutnya
adalah melakukan pengujian atas pengaruh akustik yang dihasilkan rancangan tersebut.
Untuk menguji rancangan ini, dilakukan simulasi dalam Ecotect Analysis. Model panel yang
telah dibuat dimasukkan ke dalam model auditorium. Letak, posisi, dan jumlah panel yang
dimasukkan disesuaikan dengan rancangan asli. Setelah model panel diterapkan ke dalam
model auditorium, maka proses simulasi dapat dilakukan untuk mengukur nilai RT.

(Gambar 58. Peletakan panel akustik ke dalam model 3d auditorium.


Sumber: Jurnal Penerapan elemen akustik ruang pada auditorium Samantha Krida universitas
Brawijaya).

Pada model simulasi yang sudah diterapkan panel akustik, dimasukkan data
nilai koefisien serap bunyi material. Setelah data material dimasukkan, dilakukan
penghitungan nilai RT pada simulasi. Material yang diuji pertama adalah plywood.
Material ini sama dengan yang digunakan pada panel untuk rekomendasi penutup
tribune. Nilai RT yang didapatkan dari simulasi adalah sebesar 1,76 detik untuk
frekuensi bunyi 500 Hz, 1,61 detik untuk frekuensi 1000 Hz, dan 1,44 detik untuk
frekuensi 2000 Hz.
Nilai RT yang dihasilkan ini mengalami penurunan dibanding nilai RT
eksisting. Penurunan nilai RT yang terjadi adalah sebesar 1,46 detik pada frekuensi
500 Hz, 1,13 detik pada frekuensi 1000 Hz, dan 0,26 detik pada frekuensi 2000 Hz.
Dari ketiga nilai RT pada tiap tingkat frekuensi, semuanya berada pada rentang nilai
1,40 – 1,90. Kondisi ini menandakan waktu dengung pada simulasi ini sudah
memenuhi standar. Dengan Plafon panel akustik Gambar 4.40 Peletakan panel akustik
ke dalam model 3d auditorium. Gambar 4.39 Nilai RT setelah penerapan panel
plywood pada plafon. 82 begitu desain alternatif ini dianggap berhasil dalam
meningkatkan kualitas akustik hingga mencapai standar yang disarankan.
(Tabel 6. Waktu Dengung pada Penerapan Diffuser Plywood)
Selanjutnya, dilakukan pengukuran nilai RT untuk panel diffuser
menggunakan material plasterboard. Material yang digunakan ini sama dengan yang
digunakan pada rekomendasi panel penutup tribune sebelumnya. Dari pengukuran ini
didapatkan nilai RT sebesar 1,79 detik pada 500 Hz, 1,61 detik pada 1000 Hz, dan
1,41 detik pada 2000 Hz.
Dari hasil simulasi, diketahui bahwa terjadi penurunan nilai RT dibanding
kondisi eksisting. Penurunan yang terjadi tersebut adalah sebesar 1,43 detik pada
frekuensi 500 Hz, 0,68 detik pada frekuensi 1000 Hz, dan 0,29 detik pada frekuensi
2000 Hz. Dari ketiga nilai RT pada tiap tingkat frekuensi, semuanya berada pada
rentang nilai 1,40 – 1,90. Kondisi ini menandakan waktu dengung pada simulasi ini
sudah memenuhi standar. Dengan begitu desain alternatif ini dianggap berhasil dalam
meningkatkan kualitas akustik hingga mencapai standar yang disarankan.

(Tabel 7. Waktu Dengung pada Penerapan Diffuser Plasterwood)


BAB 1V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Akustik diartikan sebagai sesuatu
yang terkait dengan bunyi atau suara. akustik merupakan suatu ilmu dan merupakan
pertimbangan pertama untuk mendapatkan lingkungan suara yang nyaman. Jadi Tata
Akustik merupakan pengolahan tata suara pada suatu ruang untuk menghasilkan
kualitas suara yang nyaman untuk dinikmati, merupakan unsur penunjang terhadap
keberhasilan desain yang baik karena pengaruhnya sangat luas dan dapat
menimbulkan efek-efek fisik dan emosional dalam ruang sehingga seseorang akan
mampu merasakan kesan-kesan tertentu.
Untuk memperolah tata akustik yang baik, ruang auditorium harus memenuhi
persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan oleh Doelle
(1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan kualitas suara yang baik,
secara garis besar gedung pertunjukan harus memenuhi syarat: kekerasan (loudness)
yang cukup, bentuk ruang yang tepat, distribusi energi bunyi yang merata dalam
ruang, dan ruang harus bebas dari cacat-cacat akustik.
Sebagian besar material yang digunakan pada interior Auditorium gedung
creative hub (BCH) dimulai dari elemen lantai, dinding, furnitur, hingga langit- langit
sudah sesuai dengan tata akustik yang berlaku.

B. Saran

Dalam memilih material untuk elemen interior auditorium, sebaiknya karakter


akustiknya dijadikan pertimbangan. Keseimbangan antara penggunaan material
pemantul dan penyerap bunyi dapat menentukan waktu dengung yang terjadi dalam
ruangan. Penggunaan panel akustik dapat membantu mengendalikan bunyi di dalam
ruang. Untuk memperkuat bunyi di area tengah, sebelum digunakannya speaker
tambahan, dapat dipertimbangkan penggunaan panel reflektif yang diatur untuk
mengarahkan pantulan bunyi ke area tersebut. Dengan begitu, kebutuhan terhadap
speaker akan berkurang.
Hasil penerapan akustik pada auditorium ini diharapkan dapat bermanfaat dan
mampu memecahkan berbagai permasalahan yang ada pada akustik serupa.
Mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan pemikiran dan kemampuannya untuk
lebih terbuka tentang luasnya akustik pada auditorium yang perlu banyak pemecahan
permasalahan desain dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada didalamnya.
Makalah ini merupakan makalah yang tidak luput dari kekurangan sehingga
tidak menutup kemungkinan untuk adanya perbaikan dan peningkatan
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, D.R.S. (2010). Tinjauan Akustik Perancangan Interior Gedung


Pertunjukan. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta.

D’Antonio, Peter. Cox, Trevor J. 2009. Acoustic Absorbers and Diffusers: Theory,
Design and Application. New york. Taylor & Francis Group.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat


Bahasa Edisi Keempat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Doelle, L.E. (1990). Akustik Lingkungan. Jakarta: Erlangga.

Doelle, L.L. 1990. Environtmental Acoustic. New york. McGraw-Hill Publishing


Company. Halme, Arthur.1990. Space. Finlandia: Finnish Interior.

Doelle, Leslie E. 1990. Akustik Lingkungan. Jakarta: Erlangga

Gramedia

Halme, Arthur.1991. Space. Finlandia: Finnish Interior

Harris, Cyril M. (1975). Dictionary of Architecture and Construction. Unites States of


America: McGraw-Hill, Inc.

Indrani, H. C. (2013). Studi Penerapan Sistem Akustik pada Ruang Kuliah Audio
Visual. Surabaya: Dimensi Interior.

Indrani, H. C. (2013). Studi Sistem Akustik pada Gereja Katolik Santa Maria Tak
Bercela Surabaya. Surabaya: Dimensi Interior.

John M. Echols dan Hassan Shadily. 1987. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:

Kang, J. 2007. Urban Sound Environment. London. Taylor and Francis.

Keputusan Dirjen Pariwisata: Kep 06/U/IV/1992 Tentang Penyelenggaraan


Kepariwisataan pada Pasal 6 tentang industri MICE.

Lawson, F. (1981). Convention, and Exhibition Facilities. London: The Architectural


Press Ltd.

Legoh, F. (1993). Acoustic Design and Scale Model Testing at A Multipupose


Auditorium. UK: University of Salford

Long, M. 2006. Architectural Acoustics. Oxford UK. Elsevier.

Mediastika, C. E. (2005). Akustika Bangunan: Prinsip-prinsip dan Penerapannya di


Indonesia. Yogyakarta: Erlangga.
Mediastika, C. E. 2005. Akustika Bangunan: Prinsipprinsip dan penerapannya di
Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Mill, Edward D. 1976. Planning, London: Newness-Butterworth

Mills, E.D. (1976). Planning Building for Administration, Entertainment and


Recreation. New York: Krieger Publishing Company.

Muhammad, S. R. (2017). Analisis Pengaruh Pemasangan Absorber dan Diffusor


Terhadap Kinerja Akustik pada Dinding Auditorium

Pamudji Suptandar. 1982. Interior Design. Jakarta: Usakti

Ramadhan, A. N., Adhitama, M. S., & Nugroho, A. M. (2017). Optimalisasi


Kenyamanan Akustik Ruang pada JX International Surabaya. Malang:
Universitas Brawijaya

Reznikoff, SC.1979. Specifications for Commercial Interiors. First Printing

Satwiko, P. (2009). Fisika Bangunan. Yogyakarta: ANDI

Satwiko, Prasasto. 2009. Fisika Bangunan. Yogyakarta. Andi.

Sularti, S. (2010). Kajian Kenyamanan Audial pada Ruang Kuliah (Studi Kasus
Universitas Langlangbuana, Bandung). Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Lalangbuana.

Suptandar, J. P. (2004). Faktor Akustik dalam Perancangan Desain Interior. Jakarta:


Djambatan.

W.J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai New
York

Anda mungkin juga menyukai