Anda di halaman 1dari 15

TES INTELEGENSI

“Spearman dan Thurstone“

Disusun Oleh:

Nabillah Saputri 2130901235


Hanni pratiwi 2130901220
Aninda Nur Haliza 2130901222
Ambar Nurdian Syaputri 2130901243
Miranti Entahna Anugeraya 2130901242
Muhamad Ilham Fhatona 2130901229
Muhamad Akbar 2130901244
M. Jorgie Arroyandy 2130901221

Dosen Pengampuh:

Lediana Afriyanti, M.Psi. Psikolog, MH

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inteligensi merupakan salah satu konsep yang dipelajari dalam psikologi.
Pada hakekatnya, semua orang sudah merasa memahami makna intelegensi.
Sebagian orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan hal yang sangat
penting dalam berbagai aspek kehidupan. intelegensi erat kaitannya dengan
kehidupan manusia yang berhubungan dengan manusia. Banyak
problem-problem manusia yang berhubungan dengan intelegensi.
Dalam dunia pendidikan pun intelegensi sangat berkaitan, seolah-olah
intelegensi merupakan penentu keberhasilan untuk mencapai segala sesuatu
yang diinginkan, dan merupakan suatu penentu keberhasilan dalam semua
bidang kehidupan. untuk mengetahui tentang apa itu intelegensi menurut para
tokoh dan bagaimana intelegensi muncul akan dijelaskan didalam makalah
ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana teori pendekatan Spearman dan Thurstone penerapan
dalam kehidupan

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok
dari mata kuliah Tes Intelegensi serta memahami pendekatan Intelegensi,
teorinya serta kelemahan dan kelebihan menurut Spearman dan Thurstone
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Spearman
Charles E. Spearman (1904-1927) menyatakan dari setiap intelegensi
seseorang hanya memiliki dua faktor yang mana teori terkenalnya yaitu Teori
dua faktor )two-factor theory) menjelaskan bahwa seseorang memiliki baik
intelegensi umum, yang disebut dengan “g” (dari general) maupun intelegensi
khusus, yang disebut “s” (dari spesific). Spearman yakin dalam diri seseorang
pada tes intelegensi hanya memiliki dua faktor tersebut yang mempengaruhi.
(W. Santrock, 2003)
Dalam perumusan asli, teori ini mempertahankan pendapat bahwa semua
aktivitas intelektual bersama-sama memiliki satu faktor umum yang disebut
dengan faktor umum atau faktor g. teori dua faktor juga mengasumsikan
sejumlah sepesifik atau faktor s, untuk aktivitas tunggal pada masing-masing
amat spesifik. Terdapat pula faktor kelompok disamping dari faktor umum
dan spesifik, tidak universal seperti g atau amat spesifik seperti faktor-faktor s,
dinamakan faktor kelompok dengan makna yang lebih luas seperti aritmatik,
mekanik, dan linguistik. (Sutanto, 2009)
Faktor g mencakup semua kegiatan intelektual yang dimiliki oleh setiap
orang dalam berbagai derajat tertentu. Pada faktor s mencakup berbagai
faktor khusus tertentu yang berkaitan dengan tugas tertentu. Antar tiap kedua
faktor seringkali bersamaan bekerja, namun juga kerap kali berbeda. Dalam
penjelasannya, faktor g lebih banyak mewakili segi genetis dan faktos lebih
banyak diperoleh melalui latihan dan pendidikan. (Semiawan, 1997) .
Manusia dalam menentukan perilaku atau mentalnya memiliki kedua faktor
tersebut. (Amseke & dkk., 2021)
Teori tes klasik atau Classical Test Theory (CTT) disebut juga dengan
teori skor murni klasik (Classical True-Score Theory) merupakan salah satu
pendekatan yang digunakan dalam dunia pengukuran di bidang psikologi,
pendidikan dan di bidang ilmu sosial lainnya. Fokus dari tes ini yaiatu ingin
melihat skor murni dari skor tampak yang diperoleh oleh subjek dalam
menjawab tes. Spearman mengembangkan CTT dengan menggabungkan
konsep error dan korelasi.
Pendekatan teori tes klasik menggunakan pendekatan deterministik
(certainty) dengan fokus utama analisis adalah skor total individu. Setiap tes
memiliki error yang muncul setiap hasil pengukuran dalam mengukur sifat
manusia. kesalahan pengukuran dalam teori ini merupakan kesalahan acak
dan kesalahan ini merupakan penyimpangan secara teoritis dan skor total
yang diperoleh dengan skor amatan yang diharapkan. Kesalahan pengukuran
sistematis dianggap bukan kesalahan pengukuran. Skor murni dan error
keduanya adalah variabel laten (variabel yang tak dapat diamati langsung),
tujuan pengujian adalah untuk menraik kesimpulan mengenai skor murni
individu.
Pada teori tes klasik skor perolehan pengukuran merupakan skor tampak
yang selanjutnya dilambangkan dengan X. Di dalam skor tampak terdapat
skor murni (T) dan error pengukuran (E) yang tidak pernah dapat diketahui
besarannya. (Azwar, 2011 dalam (Antara, 2020) ). Teori tes klasik bekerja
pada tataran skor tampak dengan menggunakan model linier dalam
menjelaskan model skor.
Asumsi-asumsi yang mendasari teori tes klasik adalah:
1. X = T + E, yaitu hubungan Skor tampak (X), skor murni (T), dan error
pengukuran (E) bersifat adiftif. Skor tampak (X) yang diperoleh individu
merupakan akumulasi dari skor murni (T) dan error pengukuran (E).
2. (X) = T, yang artinya skor murni merupakan nilai harapan X. karena besar
skor murni diasumsikan tetap dalam setiap pengukuran, maka besar
varians skor tampak akan tergantung pada variasi error pengukuran.
3. ρet= 0 yang artinya korelasi antara error pengukuran dan skor murni
adalah nol. Menurut asumsi ini, bagi suatu kelompok populasi subjek yang
dikenai tes distribusi error pengukuran dan distribusi skor murni adalah
independen satu sama lain. Variasi error tidak tergantung pada variasi
skor murni.
4. ρe1e2 = 0 yang berarti bahwa bila e1 adalah error pengukuran tes pertama
dan e2 adalah error pengukuran tes kedua, maka asumsi ini menyatakan
bahwa distribusi error kedua tes tersebut tidak berkorelasi satu sama lain.
5. ρe1t2 = 0 artinya error pada suatu tes tidak berkorelasi dengan skor murni
pada tes lain.
6. Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang paralel jika
skor-skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor
murni yang sama (T = T) dan varian skor-skor kesalahannya sama
(se2=se’2). Dalam praktiknya, asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi.
7. Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan dan Xt1 dan Xt2
yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi
subjek X1 = X2 = C12 yang mana C12 adalah bilangan konstanta, maka
kedua tes tersebut disebut tes yang paralel (essentiallyequivalent).
Asumsi-asumsi tersebut dijadikan dasar untuk mengembangkan
formula-formula dalam menentukan validitas dan reabnilitas. Kriteria
lain yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tes adalah tingkat
kesukaran, indeks daya beda dan efektifitas distractor. (Antara, 2020)
Kelebihan dan Kelemahan Teori Spearman:
Kelebihan:
1. Tidak hanya membahas g sebagai faktor tunggal, tetapi inteligensi
merupakan faktor umum mendasari fungsi-fungsi mental dan
faktor-faktor khusus.
2. Setiap individu memiliki jenis inteligensi khusus yang berbeda
dengan individu yang lain. Hal ini disebabkan karena setiap faktor
s memiliki ukuran yang berbeda.
3. Inteligensi atau kecerdasan umum menurut Spearman ini dapat
terukur dalam tes inteligensi.
4. Teori ini menekankan pentingnya faktor ‘g’ yang mampu
mewakili semua tes yang memiliki kesamaan. Hal inipun
memberikan implikasi pada efisiensi pengukuran.
5. Beberapa ahli menyatakan bahwa inteligensi atau kecerdasan
umum ini dimiliki oleh setiap individu dan dapat diaplikasikan
untuk memprediksi kesuksesan atau prestasi yang bersifat
akademis dan pekerjaan.
6. Dalam bidang pendidikan, pengukuran yang valid terhadap faktor
‘g’ dapat dipergunakan sebagai dasar perencanaan, pengaturan,
dan perlakuan pendidikan yang tepat bagi peserta didik agar
peserta didik dapat berhasil dalam bidang akademik secara
optimal.
7. Dalam kehidupan sosial, pengukuran yang valid terhadap faktor
‘g’ pada individu-individu ini dapat dijadikan dasar berinteraksi
dengan lingkungan sosial dengan tujuan agar individu-individu
tersebut dapat mendapatkan kenyamanan sosial dalam
menjalankan kehidupannya. (Uyun et al., 2021)
Kelemahan
1. Tidak ada kekomplekan tingkah laku mental yang spesifik.
2. Teori ini dipandang terlalu sempit dalam memaknai inteligensi
karena lebih menekankan pada faktor ‘g’ yang mencakup
kemampuan berbahasa, logika dan matematis. Padahal inteligensi
mencakup konsep yang lebih kompleks dan luas.
3. Kurangnya perhatian pada faktor ‘s’ atau inteligensi yang bersifat
spesifik pada masing-masing individu.
4. Beberapa ahli, seperti Sternberg, menyatakan bahwa inteligensi
yang terukur ini hanyalah satu bagian dari inteligensi yang
sesungguhnya dan bagian ini hanya terlihat pada mereka yang
memiliki kecerdasan akademik. Padahal masih banyak
bagian-bagian inteligensi yang lainnya yang tidak kalah penting
perannya. (Triwulandari & U.S, 2022)
B. Teori Thurstone
Biografi Thurstone
Louis Leon Thurstone merupakan psikolog asal Amerika yang lahir pada
29 Mei 1887di Chicago dan meninggal di Chape Hill pada 29 September
1955. Thurstone di kenal sebagai ahli dalam bidang psikometri. Thurstone
dikenal dari karyanya dalam bidang perkembangan tes intelegensi yang
menerapkan analisis factor jamak. Teori Thurstone yang sangat dikenal ialah
Theory of Primary Mental Abilities atau Teori Kemampuan Mental Primer
yang didasari dari penemuannya mengenai relasi antara tes kemampuan
dengan menggunakan tehnik analisis factor jamak.
Kemampuan Dasar (PMA) menurut L.L Thurston
Dalam psikologi, inteligensi dipahami sebagai sebuah variabel yang
menggambarkan kemampuan dasar manusia (ability) dan menyangkut
berbagai kemampuan khusus (Thurstone dalam Adinugroho, 2016). Setiap
kemampuan khusus mampu berperan sebagai instrumen yang digunakan oleh
manusia ketika menghadapi masalah yang membutuhkan kapasitas
kognitifMisalnya, ketika seorang tentara/polisi harus mengatur strategi yang
paling efektif untuk melakukan penyergapan musuh di hutan belantaraStrategi
yang disusun akan berbeda ketika musuh berada di daerah
perairanPenyusunan strategi yang berbeda tentu akan membutuhkan
kemampuan khusus yang berbeda pula, bahkan kombinasi dari lebih satu
kemampuan khusus (Adinugroho, 2016).
PMA (Primary Mental Abilities) adalah teori inteligensi yang
menjelaskan bahwa manusia memiliki tujuh kemampuan dasar yang saling
terkait satu sama lain (Thurstone dalam Adinugroho, 2016). Teori PMA
merupakan teori yang lahir dari kritik Thurstone terhadap teori inteligensi g
factor yang mendeskripsikan inteligensi sebagai satu kemampuan umum yang
dimiliki oleh manusia yang bernama general ability atau general factor (g)
yang dikemukakan (Charles Spearman dalam Adinugroho, 2016). Teori PMA
tidak mengidentifikasi bahwa manusia hanya memiliki satu kemampuan dasar,
melainkan tujuh kemampuan dasar (Thurstone dalam Adinugroho, 2016).
Tujuh kemampuan dasar tersebut, adalah verbal comprehension (V); word
fluency (W); number (N); space (S); associative memory (M); perceptual
speed (P); general reasoning (I).
Tujuh kemampuan dasar itu ialah :
1. kemampuan di bidang angka, yaitu kecepatan dan ketepatan dalam
perhitungan aritmatika sederhana
2. kemampuan dalam kelancaran kata, yaitu kecepatan menyebutkan
kata-kata dalam kategori tertentu, misalnya menyebutkan nama makanan
yang dimulai dengan huruf s.
3. kemampuan dalam ingatan asosiatif, yaitu keterampilan dalam tugas-tugas
yang menuntut ingatan, misalnya belajar mengasosiasikan pasangan
item-item yang tidak berhubungan
4. kemampuan dalam penalaran induktif, yaitu kemampuan menemukan
hukum-hukum.
5. kemampuan dalam penguasaan ruang, yaitu memvisualisasikan bagaimana
objek tiga dimensi dapat tampak jika dirotasikan atau dipecah-pecahkan.
6. kemampuan dalam pemahaman verbal, yaitu kemampuan dalam jumlah
kosa kata, pemahaman bacaan, dan analogi verbal.
7. kemampuan dalam kecepatan perceptual, yaitu kemampuan dalam
tugas-tugas klerikal sederhana, seperti memeriksa kesamaan dan
perbedaan detail visual.
Berbeda dengan tes-tes yang biasa dilaksanakan dengan pelemparan dadu
atau kartu, Thurstone secara arbitrare menggunakan 60 sub-tes untuk ujian.
Ujian ini dilaksanakan, dengan teknik statistik yang disebutnya analisa faktor.
Dengan menggunakan metode ini, ia menyempurnakan 60 sub-tes itu menjadi
2. Tetapi oleh para ahli psikologi 21 tes tersebut hanya 11 tes yang biasa
digunakan untuk mengukur kemampuan mental primer.
Teori Multi-Faktor Thurstone, menunjukkan kemampuan-kemampuan
mental primer yang satu sama lain berkaitan dan berhubungan dengan
kemampuan atau kecakapan umum yang pada prinsipnya terdiri dari 3 ide
dasar, yaitu:
1. Jumlah Kemampuan mental primer pada teori Thurstone.
2. Hubungan masing-masing kemampuan mental primer dengan kemampuan
mental primer lainnya.
3. Hubungan antara kemampuan mental primer dengan kemampuan mental
general (umum).
Ke-3 ide dasar tersebut akan dibahas satu persatu, untuk memperoleh
gambaran tentang teori inteligensi Thurstone.
Hubungan Antar Kemampuan Mental Primer
Masing-masing kemampuan telah digambarkan sedemikian rupa,
sehingga nampak kaitan antar masing-masing kemampuan mental primer
dengan kemampuan yang lain. Persilangan tersebut menunjukkan hubungan
satu, sama lain secara positif. Di dalamnya terdapat angkaangka, yang
menunjukkan koefisien korelasi. Bukan tugas kita untuk mencari koefisien
korelasi tersebut. Koefisien korelasi ini menunjukkan koefisien korelasi antar
kemampuan mental yang saling berkaitan.
Thurstone telah menguji koefisien korelasi tersebut dengan caranya
sendiri. Terdapat 2 set kemampuan mental yang memiliki koefisien korelasi
yang sama besar, yaitu:
 Penalaran dengan angka.
 Penalaran dengan penguasaan kata.
Keduanya memiliki koefisien korelasi 0,54. Dua kemampuan mental
yang memiliki koefisien korelasi kecil adalah ruang dan memori. Korelasi
dari kedua kemampun mental tersebut hanya 0,14. Kemampuan mental yang
tidak memiliki korelasi sama sekali adalah kecepatan perseptual, sebab
Thurstone tidak menunjukkannya.
Kelebihan dan Kelemahan Teori Thurstone
Kelebihan:
1. Mampu untuk memahami bahan verbal, berfikir verbal dan mampu
menangkap konsep.
2. Mampu mengutarakan ide yang ada di pikiran dengan kata-kata
3. Mampu untuk menggunakan pikiran melalui angka-angka,
perhitungan cepat
4. Mampu untuk melihat dimensi, mengimaginasikan bentuk akhir suatu
objek dengan melihat pelannya.
5. Mampu untuk mengingat hal-hal yang dipelajari atau dialami
sebelumnya.
6. Mampu untuk mengenali persamaan dan juga perbedaan antara
objek-objek atau simbol-simbol secara teliti
7. Mampu untuk memecahkan persoalan secara logik, kemampuan untuk
membuat abstraksi dan kemampuan untuk menangkap hubungan
diantara dua hal
Kekurangan:
1. Terdapat bias budaya, bahasa dan lingkungan yang
mempengaruhinya.
2. Kekecewaan terhadap tes IQ konvensional mengembangkan sejumlah
teori alternatif yang semuanya menegaskan bahwa kecerdasan berasal
dari sejumlah kemampuan independen yang berkontribusi secara unik
terhadap tampilan manusi.
C. Teori Burt
Burt atau Sir Cyril Burt merupakan seorang psikolog yang lahir pada
tanggal 3 maret 1883. Burt dikenal oleh karyanya yang membahas tentang
heriabilitas inteigensi. Menurut Burt kecerdasan atau inteligence adalah
kemampuan – kemampuan dalam berpikir secara umum yang pastinya
dibawa oleh setiap individu sejak dia dilahirkan. selain itu Burt juga
mengatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan mental secara umum yang
dimiliki oleh seseorang (Keat & Mohamad, 2016).
Dalam teori tersebut Burt mengatakan bahwa kemampuan mental
seseorang itu terbagi atas beberapa faktor yaitu,
1. Faktor umum (general / G) merupakan faktor yang mendasari semua
tingkah laku manusia.
2. Faktor kelompok (common factor / C) merupakan faktor yang berfungsi
terhadap beberapa tingkah laku yang berarti tidak pada semua tingkah
laku.
3. Faktor spesifik (Specific / S) merupakan faktor yang mendasari tingkah
laku tertentu saja atau tingkah laku khusus (Azwar, 1996).
Didalam teorinya Burt juga menggambarkan lima tingkatan hirarki yang
dapat menjelaskan kecerdasan atau inteligence seseorang. Dari lima tingkatan
itu tingkat satu atau tingkat paling bawah adalah sensasi atau bisa diartikan
sebagai kemampuan penginderaan (sensory) dan kemampuan penggerak
(motorik). Lalu satu tingkat diatasnya atau tingkat ke dua adalah persepsi atau
proses pengamatan. Satu tingkat diatasnya atau tingkat ke tiga adalah asosiasi
yang mencakup ingatan dan kebiasaan. Tingkat keempat adalah relasi dan
yang kelima atau yang teratas adalah inteligensi umum. Inteligensi umum ini
dianggap berperan secara integratif dalam setiap tingkat hirarki Burt ini.
Contoh tes intelegensi berdasarkan teori Burt adalah Draw a Man Test
(DMT) merupakan tes yang bersangkutan dengan gambar – gambar manusia
yang pertama kali dikembangkan oleh Burt pad atahun 1921, lalu
disempurnakan oleh Florance dan menerbitkan Draw a Man Test (DMT). tes
ini dirancang untuk mengukur inteligensi pada anak yang berumur 5 sampai
11 tahun.
D. Teori Vernon
Inteligensi adalah perwujudan dari suatu daya dalam diri ma- nusia, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang di berbagai bi- dang. Spearman
membuat suatu rumusan yang dinamai "general ability" yang berperan dalam
menyimpan dan mengikat kembali suatu informasi, menyusun konsep-konsep,
menangkap adanya hubungan-hubungan dan membuat kesimpilan, mengolah
bahan- bahan dan menyusun suatu kombinasi baru dari bahan tersebut.
Vernon (1973) ada tiga arti mengenai inteligensi, pertama in- teligensi
adalah kapasitas bawaan yang diterima oleh anak dari orang tuanya melalui
gene yang nantinya akan menentukan per- kembangan mentalnya. Kedua,
istilah inteligensi mengacu pada pandai, cepat dalam bertindak, bagus dalam
penalaran dan pe- mahaman, serta efisien dalam aktifitas mental. Arti ketiga
dari in- teligensi adalah umur mental atau IQ atau skor dari suatu tes in-
teligensi.
Sampai saat ini sudah banyak tes inteligensi yang disusun oleh para ahli
baik tes intelegensi untuk anak-anak maupun orang dewasa, tes inteligensi
yang disajikan secara individual maupun secara kelompok, tes verbal dan tes
performansi, dan tes inteligensi untuk orang cacat khusus misalnya tuna
rungu dan tuna netra.
Beberapa bentuk tes inteligeni antara lain;
a. Tes inteligensi untuk anak-anak (tes Binet, WISC, WPPSI, CPM, CFIT
skala 1 & 2, dan TIKI dasar).
b. Tes inteligensi untuk remaja - dewasa (TIKI menengah, TIKI tinggi,
WAIS, SPM, APM, CFIT skala
c. Tes inteligensi untuk tuna rungu (SON)
Hasil tes inteligensi pada umumnya berupa IQ (Intelligence Quotient),
namun ada juga tes inteligensi yang tidak menghasilkan IQ yaitu berupa
tingkat/grade (Raven). Istilah IQ pertama sekali dikemukakan pada tahun
1912 oleh William Stern, seorang ahli psikologi berkebangsaan Jerman.
Kemudian oleh Lewis Madison Terman istilah tersebut digunakan secara
resmi untuk hasil tes inteligensi Stanford Binet Intelligence Scale di Amerika
Serikat pada tahun 1916. Perhitungan IQ menurut William Stern
menggunakan rasio antara MA dan CA, dengan rumus IQ = (MA/CA) x 100.
MA adalah mental age, CA adalah chronological age, 100 adalah angka
konstan.
KESIMPULAN
Dari keempat tokoh yang sudah dijelaskan, masing-masing tokoh memiliki
sudut pandang serta teori yang berbeda dalam mengartikan "Tes Inteligensi" yang
tentunya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dalam
teorinya.
DAFTAR PUSTAKA

Amseke, F. V., & dkk. (2021). Teori dan Aplikasi Psikologi Perkembangan. Aceh:
Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Antara, A. A. (2020). Penyetaraan Vertikal dengan Pendekatan Klasik dan Item
Response Theory. Yogyakarta: Deepublish Publisher.
Semiawan, C. (1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Gramedia.
Sutanto. (2009). Super Tes; Panduan Praktis untuk Persiapan Tuntas. Jakarta
Selatan: TransMedia Pustaka.
W. Santrock, J. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Triwulandari, S., & U.S, S. (2022). Analisis Inteligensi Dan Berpikir Kritis.
Jurnal Kependidikan, 8(1), 50–61.
https://doi.org/10.37150/jut.v8i1.1618
Uyun, N., Magdalena, I., & Maulida, Z. (2021). Definisi Sejarah Teori Intelegensi.
Jurnal Sosial Teknologi, 1(10), 145–149.
https://doi.org/10.59188/jurnalsostech.v1i10.209
Adinugroho, I. (2016). Pengujian Properti Psikometrik Intelligenz Stuktur Test
Subtes Kemampuan Spasial Dua Dimensi (Form Auswahl): Studi
Pada Dua SMA Swasta di Jakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi
MANASA, 5(2), 165 – 180.
Gregory, R. J. 2015. Psychological Testing: historia, principles, and applications,
seventh, edition.United States of America: Pearson Education.
Nasaban, L. (2004). Para Psikolog terkemuka dunia (riwayat hidup pokok pikiran
dan karya). Jakarta: Penerbit Grasindo.
Azwar, S. (1996). Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keat, O. B., & Mohamad, N. (2016). Human Inteligence: The process or Content.
Jurnal of Management and Science, 14(1), 103-110.

Anda mungkin juga menyukai