Anda di halaman 1dari 9

Kala Tan Merapah

Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau yang biasa dikenal dengan nama Tan
Malaka. Nama itu berasal dari nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis keturunan
ibunya. Ia lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
pada tanggal 2 Juli 1897. Orang tuanya adalah bangsawan yang bekerja sebagai pegawai
pertanian Hindia Belanda yang selangkah lebih maju dibandingan dengan penduduk pribumi
lainnya. Pada tahun 1913 ia mengenyam pendidikan di Kweekschool, Bukit Tinggi.

Ketika masa remaja, Tan jatuh cinta pada Syarifah Nawawi seorang gadis manis semasa ia
bersekolah di Kweekschool, Bukit Tinggi. Kisah mereka diawali dengan pertemuan tak
terduga di perpustakaan sekolah. Syarifah, wanita berkebaya tradisional itu menghampiri
dirinya dan mengacaukan fokus nya yang tengah membaca sejarah Jerman karya James J
Sheehan.

"Permisi, apa yang sedang Anda baca?" tanya wanita itu dengan senyum lembut.

Tan Malaka terkejut dan menatap wanita itu.

"Ini adalah buku tentang sejarah Jerman," jawab Tan Malaka dengan hati-hati.

Gadis itu tersenyum lebar. "Saya sangat tertarik pada sejarah Jerman. Apa mungkin Anda
bisa membantu saya memahami beberapa konsep yang sulit?"

Pertemuan mereka sepertinya terlihat begitu spontan dan janggal. Hal itu dikarenakan
Syarifah si gadis berkebaya memang sudah menyukai Tan sejak hari pertama sekolah. Ia
terpana dengan kharisma dan kecerdasan yang Tan miliki.

Lambat laun, Tan dan Syarifah semakin dekat. Mereka mulai sering bertukar pikiran tentang
Nusantara dan banyak hal lainnya. Karena hubungan yang semakin dekat itu, Tan lama
kelamaan menaruh perasaan yang sama pula kepada Syarifah.

Namun takdir berkata lain dengan harapan, karena Tan merupakan siswa yang cerdas dan
kritis ia mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di Belanda. Syarifah yang mengetahui
hal tersebut tentu mengalami perasaan sakit yang amat mendalam. Mereka belum memiliki
hubungan apa-apa namun sama-sama sudah menaruh perasaan yang begitu dalam. Tan
Malaka bingung harus apa, karena ia diberatkan dengan 2 pilihan yang begitu penting bagi
hidupnya.

2 hari sebelum keberangkatannya ke Belanda, Tan menemui Syarifah di rumahnya.

“Syarifah, engkau tahu bahwa kesempatan ini sangat penting bagiku. Pendidikan di Belanda
akan memberiku pengetahuan yang lebih agar diriku dapat kembali ke negeri ini dan
memberikan kontribusi yang besar.”

“Aku tahu, Tan. Tapi kau juga tahu betapa berat hatiku harus merelakanmu pergi begitu jauh.
Kita baru saja menemukan satu sama lain, aku memerlukanmu disini.”

“Syarifah, engkau adalah cahaya dalam hidupku, dan cintaku padamu akan selalu
memanduku, bahkan di negara yang jauh. Ini adalah pengorbanan yang harus aku lakukan
demi negeri ini.”

“Apakah kau berjanji akan kembali?”, tanya Syarifah.

“Aku berjanji.”, ucap Tan.

Dengan perpisahan itulah, akhirnya Tan pergi merantau ke Rijks Kweekschool di Haarlem,
Belanda.

Selama tinggal di Belanda, Tan Malaka kerap sekali sakit akibat makanan dan iklim
Belanda yang tidak cocok dengan tubuhnya sehingga ia menderita Pleuritus. Dengan kualitas
makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan
Malaka mulai terserang radang paru-paru tepat pada musim panas tahun 1915. Sejak itu dia
tak pernah seratus persen sehat.

Pada tahun 1916, kesehatannya makin buruk hingga ia sulit untuk mengikuti pelajaran
di sekolahnya, tetapi dia tidak menyerah begitu saja. Waktu ujian datang, namun Tan Malaka
masih saja sakit, ujian ia lalui dalam kondisi tidak sehat tetapi dengan semangatnya, ia tetap
berusaha untuk mengikuti ujian tersebut dengan sungguh-sungguh agar memperoleh hasil
yang maksimal. Setelah ujian selesai, Tan malaka duduk di taman sekolah untuk menikmati
udara segar. tetapi tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Tan Malaka?" seru gadis Belanda bernama Fenny Truijvenberg.

"Iya? ada yang bisa saya bantu?" balas Tan Malaka dengan bingung melihat seseorang
tidak dikenal memanggilnya.

"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Fenny dengan cemas.

"Tentu saja aku baik-baik saja, Anda siapa?" tanya Tan Malaka sambil mencoba
mengingat wajah gadis tersebut.

"uhukk uhukkk.." suara batuk Tan Malaka yang tiba-tiba semakin parah. Dengan
cepat Fenny mengusap punggung Tan Malaka hingga batuk selesai. Tan Malaka dengan
bingung bertanya lagi, lalu akhirnya Fenny memperkanalkan diri.

Semenjak hari itu, Tan Malaka semakin dekat dengan Fenny. Fenny merawat Tan
Malaka dengan sepenuh hati dan berusaha untuk selalu berada di sampingnya. Tidak lama
setelah itu, Fenny yang memiliki paras cantik tersebut menjadi pacar Tan Malaka. Tan
Malaka sangat senang memiliki pasangan karena ia tidak merasa sendiri lagi.

Tanpa sepengetahuan Fenny, ternyata Tan Malaka berpacaran dengan Fenny hanya
untuk memanfaatkan kebaikannya saja. Tan Malaka merasa bahwa Fenny sangat
membantunya untuk mengurus dirinya yang sedang sakit dan juga menemani dirinya agar
tidak sendirian di Belanda.

Tan Malaka tidak hanya tertarik mempelajari materi yang diajarkan di kelas saja,
namun ia juga tertarik dengan sejarah revolusi, serta teori revolusi sebagai sarana untuk
mengubah masyarakat. Inspirasi pertamanya tentang ini adalah dari buku De Fransche
Revolutie (Revolusi Prancis). Hingga akhirnya Tan semakin tertarik tentang pemikiran
komunisme dan sosialisme lewat karya Karl Marx, Engels hingga Lenin.

Setelah lulus dari Rijks Kweekschool, Tan berniat untuk kembali ke kampung
halamannya. Tan bimbang dengan pemikirannya antara pergi kembali ke kampung
halamannya atau bertahan di Belanda untuk menjaga perasaan Fenny. Setelah banyaknya
pertimbangan, Tan lebih memilih pergi meninggalkan Fenny begitu saja tanpa mengucapkan
sepatah katapun kepada Fenny. Menghiraukan perasaan Fenny terhadap Tan, Tan langsung
bergegas kembali ke Indonesia karena ingin menemui pujaan hatinya.
Tiba di bandara Sumatera Utara pada tahun 1918, Tan ditawari oleh salah satu
karyawan Indonesia yang bekerja untuk Belanda supaya mengajar anak- anak. “Mohon maaf
Tan, jika berkenan apakah Anda bisa mengajar anak- anak yang ada di Deli?” Kata karyawan
itu.

“Sebelumnya saya minta maaf karena saya sudah punya rencana kedepannya,” kata
Tan.

“Saya mohon Tuan Tan, saya dengar Anda sangat berjiwa revolusioner. Banyak anak-
anak di Deli yang sangat bodoh karena terjebak oleh sistem yang diciptakan Belanda. Anda
harus melihatnya dengan mata kepala Anda sendiri, keadaan yang terjadi Deli,” kata
karyawan itu sambil berlutut di depan Tan.

Akhirnya hati Tan luluh dengan perkataan karyawan itu, sehingga menerima tawaran
untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara. Di masa inilah ia
mengamati dan memahami penderitaan kaum pribumi di Deli. Kondisi di Deli sangat
menyedihkan terdapat pembagian kasta, antara kasta pejabat dan kasta kuli. Selain itu ada hal
yang sangat menarik dilakukan Belanda agar kaum kuli makin terjebak dan tergantung
terhadap Belanda, pihak Belanda menciptakan permainan yang sangat membuat ketagihan
kaum pribumi yaitu permainan judi.

Permainan ini sengaja dibuat sedesain mungkin agar kaum kuli terperangkap dengan
menghabiskan upahnya yang kecil itu untuk bermain judi dan membuat kaum kuli tersebut
ketagihan dan membuat uangnya habis, setelah ketagihan kaum Belanda juga mengizinkan
para kuli berhutang agar semakin ketergantungan dengan Belanda. Ketika kontrak habis para
kuli akan minta memperpanjang dan disaat inilah pihak Belanda mengurangi upah kuli,
dengan sangat terpaksa karena ada beban hutang membuat para kuli mengambilnya, anehnya
lagi para kuli sama sekali tidak kapok sehingga membuat semakin miskin dan bodoh. Dari
sinilah Tan Malaka menemukan ketimpangan sosial di lingkungan sekitar dan muncullah sifat
radikal Tan Malaka. Tan berniat melakukan perubahan terhadap pemikiran para kuli, ia
menyebarkan ideologi komunis. Karena Ideologi komunis sangat cocok dengan kondisi para
kuli, sehingga membuat para kuli memberontak. Pihak Belanda sangat tidak menyukai Tan
karena menyebarkan ideologi komunis ini. Pihak Belanda sangat geram karena para kaum
kasta bawah sudah mengerti apa yang akan dipikirkan pihak Belanda. Pihak Belanda
membuat rencana supaya Tan pergi dari wilayah Deli. Hingga ketika Tan sedang mengajar
murid- muridnya, datanglah serdadu Belanda. “Keluar kau Tan, dasar antek- antek komunis,”
kata salah satu serdadu Belanda dengan nada penuh amarah.

Tan yang mendengar keributan di luar langsung menuju arah suara. “ Ada apa dengan
keributan ini?” kata Tan.
Tanpa basa- basi Tan langsung dibuat bertekuk lutut. “Diam kau, mulai hari ini dan
seterusnya kau harus pergi dari tempat ini,” kata serdadu Belanda.

Para murid yang mendengar keributan langsung bergerumun datang menuju arah Tan.
Para murid hendak memulai pertarungan tapi dihentikan oleh Tan. “Hentikan pertarungan ini,
aku tidak ingin ada pertumpahan darah yang sia- sia. Baiklah aku akan menuruti perintahmu,
aku akan pergi dari sini,” kata Tan.

Para murid yang mendengar kabar itu menangis, karena tidak mengira guru mereka
akan pergi. Hingga tanpa salam perpisahan Tan pergi begitu saja. Tan kembali menuju tujuan
awalnya kembali ke Indonesia yaitu untuk menemui Syarifah dan menikahinya. Tapi ketika
Tan sedang makan di restoran dekat kediamannya, Tan Malaka tidak sengaja mendengar
obrolan orang lain. “Hei, apa kau sudah mendengar kabar bahwa gadis desa kita ini ada yang
menikah dengan seorang bangsawan dari Sunda?” kata orang asing itu terhadap temannya.

“Oh iyakah? Siapakah gerangan gadis itu?” jawab temannya.

“Astaga kau tidak kenal gadis cantik desa kita ini? Tentu saja Syarifah Nawawi.” kata
orang asing itu.
Tan yang mendengar hal itu terkejut, lantaran Syarifah Nawawi yang merupakan cinta
pertamanya sudah menikah dengan seorang pria bangsawan Sunda, padahal waktu itu Tan
kembali ke Indonesia dengan tujuan untuk meminang Syarifah tapi sayang cintanya telah
kandas. Tan sangat menyesal dengan pilihannya waktu itu yang lebih memilih pendidikan
daripada cintanya terlebih dahulu. Tan pulang menuju rumah, di sana Ibunya yang sedang
menjemur pakaian terkejut, melihat kepulangan Tan. “Tan anakku, sudah lama sekali kau
tidak mengabari ibundamu ini. Apakah kamu baik- baik saja?” kata Ibu Tan.

“Tentu saja aku baik- baik saja.” kata Tan dengan tersenyum dan berpelukan dengan
Ibunya sambil menutupi kesedihannya yang mendalam.
Tan kemudian masuk ke dalam rumahnya sambil mengingat kenangan masa kecilnya
sewaktu tinggal bersama ayah ibunya. Saat malam tiba, Tan merenungi nasibnya untuk
kemudian hari. Sambil menikmati teh yang diseduh oleh ibunya dan menikmati cantiknya
bulan dan bintang malam itu. Tan membulatkan tekadnya untuk memilih memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia yang sedang dijajah oleh Belanda. Kemudian terbesit ide di otaknya
untuk pergi ke Batavia, karena di sanalah banyak orang- orang berpengaruh yang berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia. Esok harinya ketika sudah selesai sarapan pagi, ibu Tan
mengawali percakapan. “Tan, berhubung banyak teman- teman seumuran kamu yang sudah
menikah, bagaimana kalau kamu Ibu jodohkan dengan gadis cantik?” Kata Ibu Tan.

“Maaf ibunda tapi sayangnya ini belum waktunya Tan untuk menikah, karena
Indonesia masih membutuhkan perjuangan saya untuk kemerdekaan Indonesia, dan untuk
menikah saya kesampingkan dulu perasaan itu. Karena saya tidak mau menikah selain
dengan wanita yang saya cintai yaitu Syarifah Nawawi,” kata Tan dengan tegas.

“Tapi bukankah gadis itu sudah menikah? Kenapa kau masih mengharapkan dia?”
Kata Ibu.

“Maaf Ibunda ini keputusanku.” Kata Tan.

Tahun 1919, Tan sudah membulatkan tekadnya untuk pergi ke Batavia. Sebelumnya ia
berpamitan dengan kedua orang tuanya supaya diberi keselamatan. Tan tiba di Batavia
menggunakan kapal milik pedagang. Tan kemudian bergegas mencari markas para anggota
PKI, tapi tidak ketemu karena waktu itu para anggota PKI sedang diburu oleh pemerintahan
Belanda. Ketika sedang melihat poster kabar berita, tiba- tiba terdapat beberapa orang asing
mendekati Tan dan berkata, “ikuti kami, jika kau ingin membela negaramu.”

Tan terkejut dengan hal itu, lalu bergegas lari mengikuti mereka. Hingga sampailah
mereka di gang sempit. “Kami sudah tau, bahwa Anda mencari kami. Dan kami juga ingin
merekrut anggota baru, maukah kamu menjadi salah satu anggota partai kami?” kata salah
satu orang itu yang bernama Semaun.

"Saya tertarik dengan tawaran Anda, tapi dengan syarat jika saya masuk menjadi
anggota PKI, saya diperbolehkan mendirikan sekolah," kata Tan.
"Baiklah, dengan status saya sebagai salah satu petinggi, saya dapat mengabulkan
permintaan Anda. Tapi ada alasan apa Anda ingin mendirikan sekolah?" kata Semaun.

"Sebenarnya saya berniat mendirikan sekolah, supaya tidak hanya kaum kelas atas
saja yang dapat mengenyam pendidikan, tapi seluruh rakyat dapat mengenyam pendidikan.
Dan lebih mudah untuk mengajarkan dan menyebarkan ideologi komunisme,” kata Tan
Malaka.

“Boleh juga rencanamu itu, baiklah… ayo ikuti saya, kita akan menuju markas pusat,”
kata Semaun.

Sampailah Tan di markas pusat PKI, di saat itu para anggotanya masih sedikit karena
banyak orang belum mengetahui tentang ideologi komunis. Melihat hal ini membuat hati Tan
tergugah dan Tan ingin berjuang bersama PKI meraih kemerdekaan. Di saat itulah Tan
menjadi lebih aktif dalam pengajarannya, hingga terdapat ribuan masyarakat mendukung PKI
untuk mendirikan Republik Indonesia. Di sela- sela pengajarannya, Tan juga banyak menulis
buku buatannya sendiri yang berbau komunis. Aksi Tan yang menjadi sangat agresif,
membuat masyarakat bergabung menjadi bagian PKI dan mendukung penuh. Karena
kegiatan Tan yang menjadi lebih aktif, pihak Belanda akhirnya membuat Tan Malaka menjadi
buronan paling dicari di seluruh Indonesia.

Tan juga turut ambil alih dalam menyelesaikan persengketaan internal Sarekat Islam.
Waktu itu Sarekat Islam terpcah menjadi dua yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam
Merah. Hingga akhirnya perselisihan ini diselesaikan dengan kongres, dalam konggres Tan
berperan besar dalam meredakan perseteruan ini. Ia menyampaikan dengan tegas dalam
mengungkapkan pendapat dan dapat menggugah orang-orang yang hadir dalam kongres
tersebut. Setelah kongres ini berakhir, banyak orang menjadi tertarik untuk menjadi bagian
dari PKI. Sehingga pada Desember 1920, Tan diangkat menjadi ketua Partai Komunis
Indonesia berkat kontribusinya. Setelah menjadi ketua PKI, Tan menjadi lebih aktif dalam
menyebarkan propagandanya. Hal ini menjadi pemicu dan membuat Belanda sudah tidak bisa
menahan kesabarannya. Dan Puncaknya pada akhir Desember 1921, Tan ditangkap oleh
pihak Belanda dan diasingkan menuju Filipina.

Saat diasingkan di Filipina, Tan Malaka yang menyamar dengan nama Elias Fluentes
tetap berambisi untuk menyebarkan propaganda mengenai ideologi komunisme. Elias tetap
aktif menulis banyak tulisan politik dan buku-buku yang membahas perkembangan
nasionalisme di Indonesia. Namun ia tidak sendirian, Elias bertemu dengan seorang warga
negara Indonesia di Filipina yang bernama Sudarsono dan mereka menyebarkan
propaganda-propaganda bersama.

Pada suatu hari, Sudarsono mengajak Elias berjalan-jalan di sekitar Universitas


Manila. Saat sedang berjalan di dekat taman, Elias melihat seorang gadis berparas cantik
yang sedang duduk di kursi taman. Elias seketika menghentikan langkahnya dan tatapannya
mengarah ke arah gadis tersebut.

"Kau menyukai gadis cantik yang sedang duduk itu, ya?" tanya Sudarsono sambil
tersenyum kecil.

"Dia cantik sekali sampai-sampai taman ini kalah indah dengannya. Apakah kau
mengenalnya?" kata Elias.

"Gadis cantik itu bernama Nona Carmen dan merupakan putri dari Rektor Universitas
Manila ini" jawab Sudarsono.

Mengetahui Elias menyukai Nona Carmen, tanpa berbasa-basi Sudarsono langsung


mengajak Elias untuk menghampiri Nona Carmen.

"Selamat siang, Nona Carmen. Perkenalkan saya Sudarsono. Maaf menggangu


waktunya, apakah teman saya ini boleh berkenalan dengan Anda?

"Selamat siang, tentu saja boleh." Nona Carmen menjawab Sudarsono dengan ramah.

"Eeh.. selamat siang, Nona Carmen. Perkenalkan saya Elias Fluentes, senang
berkenalan dengan Nona." Kata Elias gugup.

"Senang berkenalan denganmu juga, Elias." Jawab Nona Carmen.

Sejak saat itu Elias dan Nona Carmen menjadi dekat karena Nona Carmen juga
memiliki ketertarikan yang sama mengenai ideologi komunisme. Nona Carmen terkagum
dengan kepandaian Elias dan menjadi terpikat. Tidak lama setelah itu, Elias dan Nona
Carmen menjalin asmara karena keduanya saling memiliki ketertarikan satu sama lain.
Mereka sering bertukar pikiran membahas komunisme, bahkan Nona Carmen mengajari Elias
bahasa Tagalog dan memberi informasi mengenai Filipina kepada Elias.
Pada tahun 1949, Elias sedang menikmati makan malam romantis bersama
kekasihnya. Malam yang ia sangka sebagai malam yang indah nan romantis itu tiba-tiba
bersuasana tegang karena diluar terdengar banyak pasuka bersenjata.

"Serahkan dirimu, Tan Malaka. Tempat ini sudah dikepung," kata Nona Carmen.

Tanpa Tan Malaka sadari, gadis berparas cantik yang selama ini ia kira sebagai
kekasihnya adalah seorang mata-mata Belanda. Tan Malaka akhirnya dibunuh dalam sebuah
peristiwa yang tragis, mengakhiri perjalanannya sebagai salah satu pemimpin perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang penuh semangat dan tekad. Kisah ini merupakan cerminan dari
banyak pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai