Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

OLEH:
Dr. Marsela

PEMBIMBING:
Dr. Asmawati
Dr. Risnandar Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD Kota Dumai
2021
BAB I
PENDAHULUAN

CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam

system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data dari

WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika menderita CHF. Menurut

American Heart Association ( AHA ) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta

penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal jantung ( Padila, 2012 ). Penderita gagal

jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari Departemen Kesehatan

mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada tahun

2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita CHF dan menjalani rawat inap Selain itu,

penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah gagal

jantung ( readmission ), walaupun pengobatan dengan rawat jalan telah diberikan secara

optimal. Hal serupa juga dibenarkan oleh Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 % pasien

Medicare yang dirawat dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada 6 bulan

kemudian. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun, CHF

merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di rumah sakit ( usia 65 –

75 tahun mencapai persentase sekitar 75 2 % pasien yang dirawat dengan CHF ). Resiko

kematian yang diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal

jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Menurut
penelitian, sebagian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup lebih

dari 5 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Gagal jantung adalah sebuah sindroma klinis yang kompleks yang berasal dari
gangguan structural dan fungsional dari pengisian dan/atau pengosongan ventrikel.
Manifestasi cardinal dari gagal jantung adalah sesak nafas dan cepat lelah, yang bisa
membatasi toleransi aktivitas, dan retensi cairan, yang bisa berujung pada kongesti pulmonal
dan/atau splanknik, dan edema perifer. 11 Sebagian pasien akan memiliki keterbatasan
aktivitas yang bermakna tetapi sedikit gejala retensi cairan, dimana sebagian pasien lainnya
akan lebih mengeluhkan gejala edema, sesak nafas dan cepat lelahnya. 12

Gagal jantung adalah sebuah sindrom yang disebabkan oleh kegagalan fungsi
jantung, secara umum disebabkan karena gangguan atau kerusakan otot miokardial
dan ditandai dengan pelebaran ventrikel kiri atau pembesaran atau keduanya.
Kegagalan pada fungsi sistolik primer atau diastolic atau campuran keduanya, akan
menyebabkan abnormalitas neurohormonal dan sirkulasi, yang biasanya
menimbulkan gejala-gejala tipikal seperti retensi cairan, sesak nafas, dan cepat lelah,
terutama pada aktivitas. 14

2. Fisiologi Jantung dan sistem sirkulasi kardiovaskular


Jantung merupakan organ yang terdiri dari otot, dimana kerjanya seperti otot polos
tapi bentuknya serat lintang seperti otot rangka. Letaknya di dalam rongga dada depan
(kavum mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, di atas
diafragma dan pangkalnya terdapat di belakang kiri antara kosta V dan VI dua jari di bawah
papilla mamae. Ukuran jantung kurang lebih sekepalan tangan orang dewasa

Jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu :


a. Endokardium merupakan bagian yang paling dalam terdiri dari jaringan endotel
b. Miokardium merupakan lapisan inti/otot
c. Pericardium merupakan selaput pembungkus jantung yang merupakan bagian
terluar, terdiri dari dua lapisan yaitu visceral dan parietal.

Jantung menjalankan fungsinya sebagai sebuah pompa yang memasok darah bagi
organ-organ serta jaringan dalam tubuh manusia. Waktu memompa, jantung memberikan
tekanan yang diperlukan untuk melawan tahanan perifer yang dimiliki oleh pembuluh darah
supaya tercipta perbedaan tekanan sehingga darah bisa dialirkan ke jaringan-jaringan (seperti
sifat cairan, darah mengalir dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan
rendah).15
Peredaran darah dalam tubuh manusia terjadi secara kontinu terus menerus yang
diawali dari jantung sebagai pompanya. Peredaran darah jantung terbagi menjadi dua yaitu
peredaran darah sistemik dan peredaran darah pulmonal. Peredaran darah pulmonal adalah
peredaran darah antara jantung dengan paru saja, darah yang penuh karbondioksida dipompa
mulai dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis melewati katup semilunaris pulmonalis, darah
masuk paru untuk mengalami pertukaran udara secara difusi pada alveolus paru dan
kemudian darah yang kini kaya dengan oksigen kembali menuju jantung pada atrium kiri
melalui vena pulmonalis. Peredaran darah sistemik adalah peredaran darah dengan lingkup
yang lebih besar antara jantung dengan jaringan tubuh lainnya, dimulai dari atrium kiri darah
yang kaya akan oksigen melewati katup mitral masuk ke ventrikel kiri dan kemudian darah
dipompa dari ventrikel kiri ke aorta melewati katup semilunaris aorta beredar ke seluruh
tubuh dan masuk kembali ke jantung pada atrium kanan melalui vena kava superior dan
inferior. Aorta mengalami percabangan-percabangan yang diikuti penurunan tekanan
sebelum akhirnya mencapai target organ, aorta bercabang menjadi arteri-arteri, masing-
masing arteri bercabang lagi menjadi arteri-arteri kecil (arteriol), lalu berlanjut menjadi
kapiler-kapiler arteri yang berhubungan dengan kapiler vena dimana disinilah terjadi
pertukaran oksigen yang berdifusi ke jaringan-jaringan dan karbondioksida masuk ke dalam
kapiler-kapiler vena yang kemudian bersatu menjadi vena-vena kecil (venul), masing-masing
venul bergabung dengan venul lainnya menjadi vena-vena yang akhirnya berakhir menjadi
vena kava superior bagi organ-organ superior tubuh dan vena cava inferior bagu organ-organ
inferior tubuh.

Kontraktilitas jantung (kekuatan dan kecepatan dari kontraksinya) sebagai sebuah


pompa ditentukan oleh preload, afterload, keberadaan substrat-substrat dalam darah (contoh:
O2, asam lemak, glukosa), detak dan ritme jantung, serta jumlah dari miokardium yang
tersedia. Istilah “cardiac output” (CO) merupakan hasil dari detak jantung (HR) dengan
stroke volume (SV); juga dipengaruhi oleh aliran darah balik vena, tonus perifer vascular,
dan faktor-faktor neurohumural.

3. Etiologi
Penyebab dari gagal jantung kongestif secara umum dibagi menjadi dua, yaitu karena kausal
kardiak dan kausal sistemik/non kardiak.10

Tipe Contoh
Kardiak
Kerusakan miokardial Infark miokard
Miokariditis
Kardiomiopati : familial/genetic,
restiriktif, toksik/obat, metabbolik
Kelainan katup/valvular Stenosis aortic
Regurgitasi mitral
Arritmia Bradiarritmia
Takiaritmia
Gangguan konduksi Block nodus AV
Left bundle branch block
Menurunnya ketersediaan substrat/zat-zat Iskemia
( glukosa, asam lemak bebas)
Kelainan infiltratif atau kelainan matriks Amilodisosis, Sarcoidosis
Fibrosis kronik
Hemokromatosis
Sistemik
Kelainan-kelainan yang meningkatkan Anemia
kebutuhan output kardiak Hipertiroid
Penyakit Paget
Kelainan-kelainan yang meningkatkan Stenosis aortic
resistensi terhadap output (afterload) Hipertensi
Tabel 1. Etiologi gagal jantung

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :


1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal
atau bersamaan yaitu
a. Beban tekanan
b. Beban volume
c. Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat diastole
d. Obstruksi pengisian ventrikel
e. Aneurisma ventrikel
f. Disinergi ventrikel
g. Restriksi endokardial atau miokardial
2. Abnormalitas otot jantung
a. Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal
kronik,anemia) toksin atau sitostatika.
b. Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi, beban pengisian (preload) dan beban
tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi
memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat,
sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar
meningkatka simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan
terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung
yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balikvena(Venous
return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan
menaikkan kembali curah jantung.15 Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi
cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan
mekanisme kompensasi jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya
dan sirkulasi darah dalam tubuh tidak terpenuhi, maka hal itulah yang diesbut
sebagai kegagaln fungsi jantung15.
4. Klasifikasi
New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung ke dalam 4
kelas berdasarkan derajat keparahan gejala dan keterbatasan kapasitas fungsional/aktivitas
penderita. Sistem klaisifikasi NYHA sebagai sistem klasifikasi gagal jantung yang tertua,
pertama kali diterbitkan di tahun 1928 dan mengalami beberapa kali revisi sampai revisi yang
terakhir yaitu revisi ke-9 pada Maret 1994. 16,17 Klasifikasi NYHA menekankan pada kapasitas
aktivitas yang bisa dilakukan penderita dan simtomatik dari penyakit gagal jantung itu
sendiri. Dari klasifikasi NYHA bisa dinilai derajat keparahan dan prognosis dari penderita
gagal jantung sehingga dianggap sebagai prediktor utama dan independen mengenai outcome
dan mortalitas pasien.9,12,16 Karena menitikberatkan pada derajat keparahan dan simtomatik
penderita, kelas pasien bisa berubah-berubah secara dua arah, meningkat ke kelas yang lebih
baik (dengan terapi) atau justru semakin memburuk, dalam periode waktu yang relative
singkat. 2

Kelas Kapasitas fungsional pasien


NYHA Kelas I Para penderita penyakit jantung dengan tidak ada batasan dalam
melakukan kegiatan fisik, serta tidak menunjukkan gejala-gejala
penyakit jantung seperti cepat lelah, berdebar-debar, sesak nafas
dan/atau nyeri dada, apabila mereka melakukan kegiatan biasa.

NYHA Kelas II Para penderita penyakit jantung dengan batasan minimal atau
sedikit, dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa akan menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak nafas dan/atau nyeri dada.

NYHA Kelas III Para penderita penyakit jantung dengan batasan menengah/sedang
dalam kegiatan fisik Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat,
akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,
jantung berdebar, sesak nafas, dan/atau nyeri dada

NYHA Kelas IV Para pendertia penyakit jantung dengan batasan maksimal/berat


dalam melakukan aktivitas. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

Tabel 2.Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association

American Heart Association dan American College of Cardiology mengklasifikasikan


gagal jantung menjadi 4 tahap/stadium berdasarkan penilaian objektif dari penderitanya. Sistem
klasifikasi ACC/AHA pertama kali diterbitkan tahun 1995, sempat diperbarui dan ditulis ulang
pada tahun 2001, sampai akhirnya diterbitkan edisi terbaru pada tahun 2005. 2,16
Sistem klasifikasi
ini dibuat bukan untuk menggantikan klasifikasi NYHA tetapi untuk sebagai
pelengkap/tambahan 2,12
yang lebih menekankan perkembangan dan natur progresi dari penyakit
gagal jantung bahkan sejak awal pasien belum menderita gagal jantung dan hanya memiliki
faktor-faktor resiko, sehingga bisa juga berfungsi sebagai preventif disamping juga terapeutik
dalam menetukan strategi penatalaksanaan pasien sesuai tahap penyakitnya.. 2,12,16 Stadium-
stadium nya bersifat progresif dalam arti sekali pasien naik ke suatu stadium, tidak bisa turun ke
stadium sebelumnya, melainkan terus meningkat.12

Tahap/Stadium Penilaian objektif Deskripsi


A = Risiko tinggi Pasien yang mempunyai risiko Pasien dengan
gagal jantung tinggi terhadap perkembangan - Hipertensi
gagal jantung tetapi tanpa - Diabetes mellitus Obesitas
kelainan struktur jantung dan - Sindroma metabolik
gejala gagal jantung. - Penyakit atherosklerotik
ATAU
- Riwayat keluarga penderita
kardiomiopati
B = Gagal jantung Pasien dengan penyakit akibat - Penyakit valvular asimtomatik
asimtomatik kelainan struktur jantung tetapi - Remodeling ventrikel kiri (LVH dan
tidak menunjukkan tanda dan fraksi ejeksi yang rendah)
gejala gagal jantung. (Gagal - Riwayat infark miokard
jantung asimtomatik)
C = Gagal Jantung Pasien dengan penyakit akibat Pasien dengan
Simtomatik kelainan struktur jantung yang - penyakit akibat kelainan struktur
disertai gejala-gejala gagal jantung
jantung (Gagal Jantung DAN
Simtomatik) - sesak nafas, cepat lelah, dan
gangguan/penurunan toleransi
aktivitas
D = Gagal jantung Pasien dengan gagal jantung Pasien dengan gejala yang tetap
menetap stadium menetap yang membutuhkan menonjol pada saat istirahat,
akhir intervensi khusus (sulit diterapi meskipun telah diberikan terapi medis
dengan pengobatan standar) maksimal (contoh: pasien dengan
riwayat hospitalisasi berulang dan
tidak bisa dipulangkan ke rumah
tanpa intervensi khusus)
Tabel 3. Klasifikasi Gagal Jantung menurut American College of Caridology/American Heart
Association

Gagal jantung juga sering dibedakan berdasarkan fraksi ejeksinya( jumlah darah yang
dipompa setiap kali kontraksi) yaitu gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal dan gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi. Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (≤40%)
mengindikasikan adanya gangguan fungsi sistolik dari ventrikel kiri, sehingga disebut juga gagal
jantung sistolik.18 Gagal jantung juga bisa terjadi pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri
yang normal namun membutuhkan tekanan pengisian lebih tinggi dari biasanya untuk mencapai
volum normal diastolik pengisian ventrikel kiri, sehingga gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang
tidak terganggu ini (≥50%) disebut juga gagal jantung diastolik. 18

Klasifikasi Ejeksi Deskripsi


fraksi
(%)
I. Gagal jantung dengan ≤40 Disebut juga sebagai gagal jantung sistolik. Randomized
penurunan fraksi ejeksi controlled trial mencatat bahwa hanya pada pasien-
(Heart failure with pasien ini efikasi dari terapi bisa tercapai
reduced ejection fraction
= HF rEF)
II. Gagal jantung dengan ≥50 Disebut juga sebagai gagal jantung diastolik. Sampai
fraksi ejeksi yang sekarang efikasi dari terapi pada pasien ini masih belum
normal/tidak terganggu
(Heart failure with memuaskan
preserved ejection
fraction = HF pEF)
a. HF pEF, borderline 41-49 Termasuk dalam kelompok borderline atau intermediate.
Karakteristik, pola terapi, dan hasil akhirnya menyerupai
pasien-pasien HF Pef
b. HF pEF, perbaikan >40 Sebagian pasien dengan gagal jantung fraksi ejeksi
normal ternyata pernah fraksi ejeksi yang menurun juga.
Pasien-pasien dengan perbaikan/peningkatan fraksi
ejeksi ini perlu dibedakan dengan mereka yang terus-
terusan memiliki fraksi ejeksi normal atau justru terus-
terusan memiliki fraksi ejeksi yg menurun. Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengklasifikasikan pasien
ini dengan lebih baik
Tabel 4. Gagal Jantung HFrEF, HF pEF.

Selain itu ada juga klasifikasi lain gagal jantung berdasarkan durasi atau onsetnya, yaitu
gagal jantung akut dan gagal jantung kronik. Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan
cepat dari gejala atau tanda akibat fungsi jantung yang abnormal, dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya gangguan jantung sebelumnya. Gangguan/disfungsi jantung yang dialami bisa berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload, dan seringkali memerlukan pengobatan segera.
Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis. Ada kelompok praktisi kesehatan yang mengartikan
gagal jantung akut hanya sebagai istilah kegawatdaruratan semata untuk edema paru akut akibat
gagal jantung. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir, istilah “gagal jantung akut” ini
mempunyai arti yg diperluas menjadi gagal jantung awitan baru atau gagal jantung yang tiba-tiba
memburuk dengan riwayat gagal jantung kronik sebelumnya. 10Gagal jantung kronik didefinisikan
sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas,
cepat lelah, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan istirahat.
Gagal jantung juga bisa dibagi menjadi gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri
berdasarkan masing-masing manifestasinya yang berbeda. 10Gagal jantung kiri; disfungsi ventrikel
kiri menyebabkan penurunan kardiak output dan peningkatan tekanan vena pulmonalis yang
menuju jantung.10 Ketika tekanan kapiler pulmonary melebihi tekanan onkotik dari plasma
protein, terjadi ekstravasasi cairan dari kapiler menuju ruang interstitial dan alveoli, mengurangi
komplians paru, dan meningkatkan kerja napas. 10 Akumulasi cairan dalam alveoli ini (edema
pulmoner) secara signifikan mempengaruhi ventilasi perfusi (V/Q). Pada gagal jantung kiri yang
kronik dan berat bisa terjadi pleura efusi pada hemithorax kanan dan akhirnya pada kedua sisi,
yang semakin memperberat sesak nafas. Ventilasi per menit meningkat, kemudian PaCO2
menurun dan pH darah menjadi meningkat (alkalosis respiratorik). 10Gagal jantung kanan;
disfungsi ventrikel kanan menyebabkan peningkatan tekanan vena sistemik, vena-vena kava yang
menuju jantung, menyebabkan ekstravasai cairan dan edema, terutama pada jaringan-jaringan
longgar, seperti mata kaki dan organ-organ visceral abdomen. 10 Hepar paling sering terganggu,
tetapi lambung dan usus juga menjadi tersumbat; akumulasi cairan dalam rongga peritoneal
(asites) bisa terjadi.10 Gagal jantung kanan biasa mengakibatkan gangguann fungsi hati yang
moderat,10 dengan peningkatan bilirubin konjugasi dan tak terkonjugasi, PTm dan enzim-enzim
hepatic (ALP,SGOT,SGPT). Hepar yang mengalami gangguan ini akan memecahkan aldosterone
lebih sedikit dari biasanya, berkontribusi menjadi akumulasi cairan yang semakin parah. 10
Kongesti vena kronik dari organ-organ visceral bisa mengakibatkan anorexia, malabsorpsi nutrisi
dan obat-obatan, kebocoran protein (diare dan hipoalbuminemia), kebocroan darah kronik lewat
gastrointestinal, dan iskemik atau infark pada usus. 10

5. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (1) gangguan kontraktilitas
ventrikel, (2) meningkatnya afterload, atau (3) gangguan pengisisan ventrikel. Gagal
jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel (karena gangguan
kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal
jantung yang dikarenakan oleh abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel
disebut disfungsi diastolik.
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan gagal
jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya volume,
gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada gagal jantung
sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh
secara adekuat. Sementara itu gagal jantung diastolik dikarenakan meningkatnya
kekakuan pada dinding ventrikel.Pada disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena
mengalami penurunan kapasitas ejeksi darah karena gangguan kontraktilitas miokard atau
tekanan yang berlebihan (misal, kelebihan afterload). Hilangnya kontraktilitas merupakan
hasil dari destruksi myosit, abnormalitas fungsi myosit, atau fibrosis. Tekanan yang
berlebihan mengganggu ejeksi ventrikel dengan adanya peningkatan resistensi aliran
yang signifikan. Hasil dari disfungsi sistolik adalah menurunnya stroke volume. Jika
darah balik normal dari paru ditambah dengan volume akhir sistolik yang telah
meningkat karena tidak sempurnanya pengosongan ventrikel maka volume bilik saat
diastolik meningkat. Sehingga volume dan tekanan pada akhir diastolik menjadi lebih
tinggi.
Selama diastolik, meningkatnya tekanan ventrikel kiri yang menetap diteruskan
ke atrium kiri (melalui katup mitral yang terbuka) dan juga diteruskan ke vena dan
kapiler pulmonaris. Peninggian tekanan hidrostatik kapiler pulmonal > 20 mmHg
menghasilkan transudasi cairan ke interstisial paru sehingga menimbulkan gejala
kongesti paru.
Sebanyak sepertiga pasien dengan klinis gagal jantung memiliki fungsi sistolik ventrikel
yang normal. Banyak dari mereka menunjukkan abnormalitas fungsi diastolik ventrikel seperti :
gangguan relaksasi awal diastolik, meningkatnya kekakuan dinding ventrikel, atau keduanya.
Iskemik miokard akut adalah salah satu contoh kondisi yang menghambat penghantaran energi
dan relaksasi diastolik. Sedangkan hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis atau kardiomiopati restriktif
menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku. Pasien dengan disfungsi diastolik sering
menunjukkan tanda kongesti vaskuler karena paningkatan tekanan diastolik yang diteruskan ke
paru dan vena sistemik.

Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai
respon menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah untuk
tetap memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup : (1) Mekanisme
Frank-Starling, (2) Perubahan neurohormonal, (3) remodeling dan hipertrofi ventrikular.

1. Mekanisme Frank Starling


Menurut hukum Frank Starling, penambahan panjang serat menyebabkan
kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.
2. Perubahan neurohormonal
Respon neurohormonal yang terjadi paling awal untuk mempertahankan curah
jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin
menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan
peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi
sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan volume
darah yang bersikulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga
counter-regulator peptidas dari jantung seperti natriuretik peptidas yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan dieresis serta turut
mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA. Natriuretik peptida ini juga bisa
menjadi penanda gagal jantung yang bisa diamati dalam darah.
3. Remodelling dan hipertrofi ventrikel
Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap
peningkatan kebutuhan suplai darah, maka terjadi berbagai macam remodeling
termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang
jantung atau pressure overload (missal pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi
ditandai dengan peningkatan diameter serat otot jantung. Pembesaran ini memberikan
pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah
tanpa penambahan ruang jantung. Namun bila pengisian volume jantung terganggu
(misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga
bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ketebalan dinding
jantung yang disertai penambahan ukuran ruang jantung.
Mekanisme adaptif ini dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa
darah pada tingkat yang realtif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan
patologik kemudian akan berkembang lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan
sitoskeletal, sintesi dan remodeling matirks ekstraselular (terutama kolagen) juga
dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan structural yang semakin
menggangu fungsi ventrikel kiri.
6. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda yang biasa ditemukan pada gagal jantung adalah

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Rasa sesak nafas - peningkatan tekanan vena jugular
- Sesak nafasyang dipengaruhi posisi - hepatojugular reflux
(orthopnea) - bunyi jantung III (irama gallop)
- Sesak nafas yang lebih parah saat malam - Impuls apikal yang bergeser ke lateral
hari (Paroxysmal nocturnal dyspnea) - murmur kardiak
- Penurunan toleransi aktivitas
- Cepat lelah, memerlukan waktu lebih
banyak untuk beristirahat
- pembengkakan ankle
Kurang tipikal Kurang Spesifik
- Batuk pada malam hari (nocturnal cough) - Edema perifer ( ankle, sakral, scrotal)
- Mengi (wheezing) - Krepitasi pulmonal
- Peningkatan BB (>2kg/minggu) - udara yang masuk berkurang, dull
- Penurunan BB (gagal jantung tahap lanjut) pada perkusi basal paru (efusi pleura)
- Perasaan kembung - takikardi
- Penurunan nafsu makan - denyut yang irregular
- Berdebar-debar - takipnu
- confused / kebingungan (terutama pada - hepatomegali
usia lanjut) - ascites
- depresi - cachexia
- Pingsan
Tabel 5. Manifestasi klinis gagal jantung menurut European Society of Cardiology

7. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dimana diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium rutin
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiography-doppler, dan pemeriksaan yang lebih baru
seperti pemeriksaan biomarker.19
ACC/AHA menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada satupun
uji diagnostik tunggal yang spesifik, selain daripada diagnosis klinis yang ditetapkan
berdasarkan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik. 12 Berbagai metode dikembangkan
oleh para ilmuwan untuk untuk dijadikan alat bantuan dalam menskrining pasien gagal
jantung kongestif berdasarkan anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik pasien.
Beberapa diantaranya yang sering dipakai adalah Kriteria Framingham, Kriteria Boston,
Kriteria Duke, Skoring KILLIP, dan lain-lain.20,21

Kriteria Framingham membutuhkan adanya 2 kriteria mayor atau sekurang-


kurangnya 1 kriteria mayor dengan tambahan 2 kriteria minor untuk menetapakan diagnosis
gagal jantung kongestif.

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) Edema ekstremitas
Distensi Vena leher Batuk malam hari
Ronki paru Sesak nafas pada aktivitas biasa
Kardiomegali Hepatomegali
Edema paru akut Efusi pleura
S3 gallop Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekananan vena sentral Takikardi
Refluks hepatojugular
* Penurunan BB ≥ 4.5 kg dalam 5 hari * Penurunan BB ≥ 4.5 kg dalam 5 hari
pengobatan pengobatan
Tabel 6. Kriteria Framingham

Sementara itu European Soicety of Cardiology juga menerbitkan kriteria diagnosis gagal
jantung yang konsisten dengan pembagian gejala dan tanda dari gagal jantung yang dibuat oleh
ESC sendiri

Diagnosis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi memerlukan 3 kondisi yang harus
dipenuhi :
1.Gejala tipikal gagal jantung
2. Tanda-tanda tipikal gagal jantung
3. penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri
Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal/tidak terganggu, memerlukan 4
kondisi yang harus dipenuhi :
1. Gejala tipikal gagal jantung
2. Tanda-tanda tipikal gagal jantung
3. Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal atau sedikit berkurang; dan ventrikel kiri tidak
melebar/dilatasi
4. Penyakit struktural jantung yang relevan (penebalan ventrikel kiri/ pembesaran atrium
kiri) dan/atau disfungsi diastolic
Tabel 7. Diagnosis gagal jantung menurut European Society of Cardiology

Para peneliti juga mengembangkan sistem skoring untuk menilai klaisifikasi pasien gagal
jantung, diataranya

Kelas Definisi
I Tanpa gejala klinis gagal jantung kongestfi
II Ronki basah, bunyi S3, dan tekanan JVP meningkat
III Edema paru akut
IV Shok kardiogenik atau hipotensi (SBP < 90) dan terdapat
vasokontriksi perifer ( oliguria, sianosis, berkeringat
lebih)
Tabel 8. Klasifikasi Killip

8. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:

a. Elektrokardiogram (EKG)
Rekaman EKG harus dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai dengan
gagal jantung. Perubahan EKG biasanya dijumpai pada pasien yang diduga
mengalami gagal jantung. Abnormalitas dari EKG memiliki nilai prediksi yang
kecil akan adanya gagal jantung. 1
b. Foto thoraks
Foto thoraks merupakan komponen penting dalam diagnostik gagal
jantung. Pada foto thoraks kita dapat menilai kongesti pulmonal serta dapat
menunjukkan penyebab sesak nafas oleh karena paru atau thoraks. Foto thoraks
digunakan untuk mendeteksi adanya kardiomegali, kongesti pulmonal dan
akumulasi cairan pleura, serta dapat menunjukkan adanya penyakit paru atau
infeksi yang menyebabkan atau yang memperberat sesak nafasnya. Temuan
kongestif bersifat prediktir. Namun kardiomegali bisa tidak dijumpai pada
keadaan akut, tetapi selalu dijumpai pada gagal jantung kronik.1
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan diagnostik yang rutin dilakukan pada pasien gagal jantung
berupa pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, leukosit, dan platelet), elektrolit
serum, kreatinin serum, Laju Filtrasi Glomerulus, kadar glukosa, tes fungsi hati,
dan urinalisa. Abnormalitas elektrolit atau hematologis tidak sering dijumpai pada
pasien gagal jantung, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan
penurunan fungsi ginjal umum dijumpai, khususnya pada pasien yang mendapat
terapi dengan diuretik dan ACE-I/ARB/aldosteron antagonis. 1
Pemeriksaan Troponin I atau T sebaiknya dilakukan pada pasien yang
diduga gagal jantung dengan tampilan klinis yang mengarah pada sindroma
koroner akut. Peningkatan troponin kardiak mengindikasikan adanya nekrosis
myosit/sel otot jantung, dan jika ada indikasi sebaiknya revaskularisasi
dipertimbangkan dan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang sesuai. Peningkatan
troponin juga terjadi pada akut miokarditis. Peningkatan ringan pada troponin
kardiak sering dijumpai pada gagal jantung berat atau selama episode gagal
jantung dekompensasi pada pasien tanpa bukti adanya iskemik miokard yang
disebabkan sindrom koroner akut dan situasi lain seperti sepsis. 1 Menurut WHO,
peningkatan troponin yang bermakna adalah peningkatan troponin sampai lebih
dari 2x nilai normalnya. Perlu diperhatikan bahwa pada orang gagal jantung
dengan penurunan fungsi ginjal sampai dengan gagal ginjal, enzim troponin nya
akan cenderung meningkat, akibat efek dari overload cairan yang meregangkan
otot-otot jantung untuk bekerja lebih sehingga terjadi pelepas troponin.22

d. Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi ditujukan kepada semua teknik pencitraan jantung
yang menggunakan ultra sound, termasuk colour Doppler dan Tissue Doppler
Imaging. Penggunaan ekokardiografi sudah rutin digunakan untuk menentukan
disfungsi jantung akibat kelainan struktur dan fungsi jantung. Ekokardiografi
sudah tersebar luas, cepat, non – invasif dan aman dan menunjukkan informasi
mengenai anatomi jantung (volume, geometri, massa), gerakan dinding, dan
fungsi katup. Untuk menentukan disfungsi jantung, dari ekokardiografi biasanya
diukur Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF) untuk membedakan pasien
dengan disfungsi sistolik dan pasien dengan disfungsi diastolik; fungsi sistoliknya
normal. (normal fraksi ejeksi > 45 – 50%).
e. Natriuretik Peptida
Nilai NT Pro BNP berpotensi sebagai marker prognostik yang baik
terhadap morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung, termasuk dapat
memprediksi cardiac event di masa mendatang pada pasien dengan eksaserbasi
akut. Satu studi prospektif telah menjumpai bahwa konsentrasi BNP awal 480
pg/ml, memiliki sensitivitas 68%, spesifisitas 88%, dan akurasi 85% yang
memprediksi endpoint gagal jantung kongestif (kematian, masuk rumah sakit,
kunjungan berulang di unit gawat darurat) sesudah periode 6 bulan follow up
sesudah dipulangkan dari rumah sakit. Pasien dengan kadar pro BNP > 480
pg/ml, mengalami probabilitas kumulatif 6 bulan sebesar 51% terhadap event
disfungsi jantung (35% pasien mengalami kematian akibat dari event disfungsi
jantung mereka), sedangkan kadar BNP < 250pg/ml mempunyai prognosis yang
lebih baik dengan hanya probabilitas kumulatif 2,5% terhadap event disfungsi
jantung.Rekomendasi AHA tahun 2009 menyatakan bahwa pengukuran kadar
natriuretik peptida (BNP dan NTproBNP) dapat berguna untuk evaluasi pasien
pada keadaan emergensi dimana diagnosis klinis masih belum pasti. Pengukuran
natriuretik peptida juga bermanfaat dalam stratifikasi resiko (level of evidence A).
Dalam guideline tahun 2005 direkomendasikan pengukuran BNP untuk evaluasi
pasien dengan kemungkinan gagal jantung pada setting emergensi, sementara
update tahun 2009 menambahkan pengukuran NTproBNP (level of evidence A).
Namun demikian, juga tercantum bahwa meskipun peningkatan natriuretik
peptida bisa membantu mengkonfirmasi diagnosis gagal jantung, hasil dari tes ini
sendirian tidak boleh digunakan untuk mengkonfirmasi atau mengeliminasi
diagnosis gagal jantung. 23

9. Prognosis
Secara umum, pasien dengan gagal jantung kongestif memiliki prognosis yang buruk,
kecuali kausal penyakitnya merupakan kausal yang bisa dikoreksi. Angka mortalitas dalam
masa 1 tahun perawatan pertama kali di rumah sakit sebesar 30%. 10 Pada gagal jantung
kronik, angka mortalitas bergantung pada derajat keparahan gejala dan disfungsi ventricular,
sehingga bisa bervariasi antara 10%-40% per tahun. 10 Studi mencatata bahwa 30-40% pasien
penderita gagal jantung meninggal dalam 1 tahun pertama setelah diagnosis 9 dan 50%
meninggal dalam 5 tahun pertama setelah diagnosis. 3 Faktor-faktor spesifik yang menunjang
prognosis yang buruk meliputi hipotensi, fraksi ejeksi yang rendah, adanya penyakit arteri
koroner, kadar troponin, peningkatan BUN, penurunan filtrasi glomerulus, hiponatremia, dan
kapasitas fungsional yang buruk (diuji dengan tes berjalan selama 6 menit). Kapasitas
fungsional yang menjadi dasar klasifikasi NYHA merupakan prediktor penting bagi angka
kematian. dimana studi mencatat mortalitas per tahun dari asien dengan keterbatasan aktivitas
minimal (NYHA kelas II) sebesar 5-10%, pasien dengan keterbatasan sedang/menengah
(NYHA kelas III) sebesar 10-15%, dan pasien dengan simtom saat istirahat (NYHA kelas IV)
sebesar 30-70%.9,24

Gagal jantung biasanya memburuk secara gradual, diselingi dengan beberapa periode
parah dekompensasi, dan pada akhirnya beurjung pada kematian, meskipun masa bertahan
hidupnya bisa diperpanjang seiring dengan kemajuan terapi. 10 Namun, kematian juga bisa
terjadi secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi sebelumnya, tanpa disertai perburukan gejala.
Banyak variabel yang menentukan informasi prognosis dari penderita gagal jantung
diantaranya seperti umur, etiologi, kelas NYHA, fraksi ejeksi, penyakit-penyakit komorbid
(disfungsi renal, diabetes, anemia, hiperuricemia), dan konsentrasi natriuretik peptida
plasma.13,23 Seiring waktu, variabel-variabel ini tentu bisa mengalami fluktuasi perubahan ,
sehingga demikian juga terjadi perubahan prognosisnya. 13 Penilaian prognosis sangatlah
penting dalam mengedukasi pasien mengenai alat dan tindakan operasi (termasuk
transplantasi) dan menyusun rencana penatalaksanaan akhir hidup bersama pasien, anggota
keluarga, atau pihak pemberi layanan kesehatan. 13 Gagal jantung jelas secara signifikan
menurunkan kualitas hidup penderitanya (health-related quality of life=HRQOL) terutama
pada fungsi fisik dan vitalitas. 12 Upaya peningkatan kualitas hidup pasien sama pentingnya
dengan meningkatkan kuantitas (lama) hidup pasien. 10 Oleh karena itu sangat diperlukan
upaya pengontrolan faktor resiko serta penyakit-penyakit komorbid untuk memperbaiki
prognosis.

10. Penatalaksanaan
Sasaran utama dari penatalaksanaan pasien yang telah ditetapkan gagal jantung
kongestif ada tiga, antara lain untuk meringankan gejala dan tanda (contoh: sesak nafas akibat
edema paru), menurunkan angka perawatan di rumah sakit, dan tentunya meningkatkan angka
ketahanan hidup sehingga menurunkan mortalitas. 13 Pengurangan angka mortalitas dan
perawatan di rumah sakit menunjukkan efektivitas terapi untuk memperlambat atau
mencegah perburukan progresif dari gagal jantung. 13 Sering ditemukan juga perbaikan
remodeling ventrikel kiri dan penunrunan dari kadar natriuretik peptida dalam sirkulasi.
Sedangkan unsur-unsur terapi gagal jantung kongestif meliputi perubahan pola diet dan gaya
hidup, terapi kausa nya, pengaturan seleksi obat, terapi alat-alat mekanik, sampai ke upaya
transplantasi jantung dan seluruh penanganannya sangat melibatkan pelayanan multidisipin
yang berkesinambungan.10

a. Edukasi
 Perubahan pola diet dan gaya hidup dibarengi dengan
edukasi, diet rendah sodium, berat badan dan ketahanan
fisik yang sesuai, dan koreksi kondisi yang mendasarinya.10
 Edukasi pada pasien atau pihak yang merawatnya sangat
penting bagi keberhasilan proses perawatan jangka
panjang. Pasien dan keluarga seharusnya dilibatkan dalam
pemilihan terapi, diberitahu mengenai tanda-tanda bahaya
dekomepnasi jantung, dan bagaimana hubungan dengan
penyakit kausal.
 Konsumsi diet rendah sodium akan membantu mengurangi
retensi cairan. Pasien harus mengurangi garam pada
makanan-makanan yang ia makan serta makann-makanan
yang asin. Selain itu pada pasien dengan aterosklerosis atau
diabetes juga harus mengikuti secara ketat pola makan yang
telah ditentukan bagi mereka. Obesitas dapat memperburuk
gejala-gejala gagal jantung sehingga indeks massa tubuh
pasien juga harus diperhatikan.
b. Terapi kausa penyakit
Bila hipertensi, anemia berat, hemokromatosis, diabetes yang tidak
terkontrol, tirotoksikosis, beriberi, alkoholik, penyakit Chagas’, atau
toksoplasmosis, serta sebab-sebab penyakit lainnya bisa ditangani, kondisi pasien
bisa membaik secara dramatis. Iskemia miokardial yang signifikan harus
ditangani secara agresif; penanganannya meliputi revaskualrisasi dengan
Percutaneous coronary intervention (PCI) atau operasi bypass.
c. Keterlibatan tim multidisplin
Tim pelayanan multidisiplin (dokter umum, dokter spesialis, perawat,
farmasi, pekerja social, spesialis rehabilitasi) berperan penting dalam manajemen
tatalaksana gagal jantung dimana pendekatan multidisiplin ini meningkatkan
perbaikan dan mengurangi hospitalisasi bagi pasien gagal jantung.
d. Terapi mekanikal
Penggunaan Implantable Cardioverter-Defibrillator (ICD) atau
biventricular pacing sesuai bagi sebagian pasien. ICD direkomendasikan pada
pasien dengan angka harapan hidup yang tinggi, dengan takikardi atau fibrilasi
ventrikel berulang atau menetap.9,10 Sementara itu terapi resinkronisasi kardiak
(cardiac resynchronization therapy/CRT) digunakan untuk meredakan gejala dan
hospitalisasi pasien dengan gagal jantung, fraksi ejeksi ventrikel kiri < 0.35, dan
pelebaran gelombang ORS (0.12s). Ultrafiltrasi digunakan untuk pasien rawat
inap yang memiliki overload cairan yang berat, tidak respons terhadap pemberian
diuretic, dan serum creatinine yang meningkat (sindroma kardiorenal). 10

e. Operasi
Operasi bisa dijadikan pilihan tepat bila terdapat suatu kelainan structural
yang bisa dikoreksi . Penututpan shunt congenital atau akuiasata di dalam jantung
bisa menjadi terapi yang kuratif. Bypass arteri koronaria bisa mengurangi iskemia
dan membantu para pasien dengan kardiomiopati iskemik dan masih terus
dipelajari keefektifannya pada pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik
iskemia. Bila gagal jantung secara primer disebabkan karena kelainan katup,
perbaikan surgical atau penggantian katup sangat dipertimbangkan. Transplantasi
jantung merupakan terapi pilihan utama bagi pasien usia < 60 tahun yang
memiliki gagal jantung refrakter yang berat dan tidak ada kondisi mengancam
jiwa yang lain. Pasien-pasien dengan usia yang lebih tua namun dengan kondisi
kesehatan yang baik juga bisa dipertimbangkan untuk menjalani operasi
transplant. Angka ketahanan hidup sebesar 82% pada 1 tahun pertama dan 75%
pada 3 tahun pertama, namun demikian angka mortalitas saat menunggu donor
organ jantung sebesar 12-15%. Selain itu jumlah pendonor jantung masih sedikit
jumlahnya.
Gambar 2. Guideline Penatalaksanaan Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology
Foundation (ACCF) and American Heart Association (AHA) 2013
BAB III
LAPORAN KASUS

II. IDENTITAS
1. Nama :Tn.A
2. Jenis Kelamin :Laki-laki
3. Tempat, Tanggal Lahir :1 Oktober 1970
4. Usia :51 tahun
5. Alamat :-
6. Status Menikah :Menikah
7. Agama :Islam
8. Pekerjaan :karyawan swasta
9. No. Rekam Medis : 382403

III. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 3 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan
Batuk kering, lemas, keringat dingin dan BAK menjadi sering

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merasakan sesak napas sejak 3 jam SMRS. Sesak dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang duduk.
Sesak napas terjadi selama ± 5 menit. Sebelum pasien merasakan sesak napas, pasien mengalami batuk
kering yang disusul dengan sesaknya, dan setelah 5 menit kemudian sesak napas hilang. Hal yang
dilakukan pasien untuk mengurangi sesak napasnya adalah dengan menarik napasnya dalam-dalam dan
batuk. Sesak napas tersebut sudah sering dirasakan pasien sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul, cepat
membaik sehingga pasien masih dapat menyesuaikan diri. Namun sesak napas yang dirasakan pasien saat
ini, dirasakan lebih berat dari sebelumnya hingga pasien takut tidak bisa bernapas. Sesak napas sering
dirasakan pasien saat pasien saat sedang tidur, sehingga pasien terbangun dan pasien langsung duduk atau
berdiri lalu pergi keluar rumah (area terbuka) untuk menghirup udara lebih banyak. Setelah pasien
duduk atau berdiri, pasien merasa lebih nyaman, dan sesak berkurang. Pasien menggunakan 2–3 bantal
ketika tidur. Selain itu sesak napas terkadang juga dirasakan pasien ketika sedang beraktivitas seperti
ketika sedang berjalan kaki. Ketika pasien mengalami serangan sesak napas pasien mengalami keringat
dingin dan disertai badan melemas. Pasien mengalami nyeri dada.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sempat dirawat selama 5 hari dengan keluhan yang sama yaitu sesak
napas sekitar 6 bulan yang lalu.
Pasien tidak pernah melakukan operasi jantung

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan atau penyakit seperti pasien.

6. Riwayat Kebiasaan dan Sosial


Pasien merupakan seorang perokok aktif, ± 1 bungkus per hari yang sudah
dimulai sejak SMP.
Pasien tidak mengkonsumsi kopi ataupun alkohol.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum :tampak sakit sedang
2. Kesadaran :komposmentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
3. Tanda-tanda Vital :
a. Tekanan darah :160/100 mmHg
b. Nadi :108 x/m (ireguler, tidak sama dengan HR, isi cukup)
c. Pernapasan :24 x/m
d. Suhu :36,5oC
4. BMI : 75 kg/ 1,75 m2 = 24,5 kg/m2 berat badan berlebih
5. Kepala :normosefali, penyebaran rambut merata
a. Mata :pupil bulat reaktif isokor,reflek cahaya langsung +/+, reflek
cahaya tidak langsung +/+konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
b. Mulut : oral mukosa basah, bau mulut (-)
c. Bibir : mukosa kering, simetris, tidak pucat
d. Uvula : intak di tengah
e. Tonsil : T1T1
f. Faring : faring tenang
g. Leher : tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, jugular venous pressure
(JVP) : meningkat
6. Thorax:
 Kulit: bekas luka(-) perubahan warna (-) spider naevi (-)
 Bentuk : tidak ada deformitas, bentuk dada simetris
 Gerak : tidak ada gerak napas tertinggal, retraksi interkostal(-)
a. Jantung
i. Inspeksi :iktus kordis tidak terlihat
ii. Palpasi :iktus kordis teraba pada interkostal 5 anterior axillary
sinistra
iii. Perkusi :
– batas jantung kanan ICS 5 parasternal dextra
– batas jantung kiri ICS 5 anterior axillary sinistra
– batas jantung atas ICS 2 parasternal sinistra
iv. Auskultasi :bunyi jantung S1S2 ireguler, gallop (-), murmur (-)

b. Paru
i. Palpasi :vokal fremitus normal dan seimbang pada kedua sisi,
pengembangan dada simetris
ii. Perkusi :bunyi sonor pada seluruh lapangan paru
iii. Auskultasi :suara nafas vesikuler, wheezing (-)/(-) , ronkhi (+)/(+), Irama
nafas teratur
7. Abdomen :
a. Inspeksi :datar, bekas luka(-), kaput medusa (-)
b. Auskultasi: bising usus positif
c. Perkusi :Timpani di seluruh regio abdomen
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba. Massa
abnormal (-)
8. Ekstremitas :
a. Akral hangat, edema (-) , sianosis (-)pergerakan aktif dan pasif normal/tidak
terganggu
b. Kekuatan motorik 5 5 5 5 | 5 5 5 5
5555|5555
c. Reflek fisiologis : positif, normal. Hipo/Hiper reflex (-)
d. Reflek patologis : Babinski (-)
e. Sensorik : sensitif terhadap rangsang sentuh dan nyeri

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Nilai normal


Darah Rutin
Hemoglobin 16,1 gr/dl 13-17gr/dl
Hematokrit 48 % 37-54%
Leukosit 8,4 rb/ul 5-10rb/ul
Trombosit 212 rb/ul 150-400 rb/ul
Faal ginjal
Ureum 38 mg/dl 20-40
Creatinin 1,7 mg/dl 0,5-1,2
Elektrolit
Na+ 144,3 meq/l 135- 147 meq/l
K+ 3,79 meq/l 3,5-5 meq/l
Cl– 97,9 meq/l 95-105 meq/l

Pencitraan X-ray Thorax AP:

Cor: membesar, pinggang jantung melurus, apex rounded


Paru : tidak tampak infiltrat, corakan bronkovaskular bagian suprahilar prominen, garis
pleura, sinus phrenicuscostalis dan diafragma baik.
Tulang dan soft tissue baik
Kesan : Kardiomegali
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Gagal Jantung Kongesti NYHA class III e.c hipertensi

PENATALAKSANAAN
 Bedrest ½ duduk
 O2 4 liter/menit
 IVFD Nacl 16 tpm
 CPG 75mg 1x1
 Digoxin 1 x 1
 Furosemide 1 amp/8jam
 Spironolactone 1x 25 mg
 Ambroxol 3x 1
 KSR 3x1

VI. FOLLOW UP

Tanggal & Waktu Follow up


23 Mei 2021 S:sesak napas (+), batuk kering (+), keringat dingin (+),
lemas (+), nyeri dada (+), jantung berdebar-debar (-), BAK
sering.
O:
KU = CM
TD:160/100 mmHg N: 104x/m(reguler) RR:24x/m S:36oC
Thorax :
Cor: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: SN vesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, datar, timpani, BU(+)
Ektremitas : akral hangat, edem (-)
LAB:
Hematokrit : 48 % (37-54%)
Leukosit : 8,4 rb/ul (5-10 rb/ul)
Trombosit : 212 rb/ul (150-400 rb/ul)
Na : 144,3 meq/l (135-147 meq/l)
K : 3,79 meq/l (3,5-5 meq/l)
Cl : 97,9 meq/l (95-105 meq/l)

X-ray Thorax AP:


Cor: membesar, pinggang jantung melurus, apex rounded
Paru : tidak tampak infiltrat, corakan bronkovaskular bagian
suprahilar prominen, garis pleura, sinus phrenicuscostalis
dan diafragma baik.
Tulang dan soft tissue baik
Kesan : Kardiomegali

A:GJK NYHA class III


P:
 Bed Rest ½ duduk
 O2nasal kanul 4 liter/menit
 IVFD Nacl 16tpm
 CPG 75mg 1x1
 Digoxin 1 x 1
 Lasix 2x2 ampul (IV)
 Spironolactone 1x 25 mg
 Ambroxol 3x 1
 KSR 3x1
24 mei 2021 S:sesak napas (+), batuk kering(+), keringat dingin (-),
lemas (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (-), BAK
sering.
O:
KU =CM
TD:140/90 mmHg N:86x/m(reguler) RR:22x/m
S:36,2oC
Thorax :
Cor: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: SN vesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, datar, timpani, BU(+)
Ekstremitas : akral hangat, edem (-)

LAB:

A:GJK NYHA class III
P:
 Bed Rest ½ duduk
 O2nasal kanul 4 liter/menit
 IVFD Nacl 16tpm
 CPG 75mg 1x1
 Digoxin 1 x 1
 Lasix 2x2 ampul (IV)
 Spironolactone 1x 25 mg
 Ambroxol 3x 1
 KSR 3x1
25 mei 2021 S:sesak napas (+), batuk (+)
O:
KU:CM
TD:120/80 mmHg N:85x/m (reguler) RR:24x/m S:36oC
Thorax :
Cor: S1S2 ireguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: SN vesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, datar, timpani, BU(+)n, NT (-)
LAB:

A:GJK NYHA class III
P:
 Bed Rest ½ duduk
 O2nasal kanul 4 liter/menit
 IVFD Nacl 16tpm
 CPG 75mg 1x1
 Digoxin 1 x 1
 Lasix 2x2 ampul (IV)
 Spironolactone 1x 25 mg
 Ambroxol 3x 1
 KSR 3x1
26 mei 2021 S:Batuk (+), sesak napas <<
O:
KU = CM
TD:120/80 mmHg N: 100x/m (reguler) RR: 20x/m
S:36,5oC
Cor: S1S2 ireguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: SN vesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, datar, timpani, BU(+)
Ektremitas : akral hangat, edem (-)

A: GJK NYHA class III


P:
 Digoxin 1 x 1
 Furosemid 1 x 1
 Spironolactone 1x 25 mg
 Ambroxol 3x 1
 KSR 3x1
 Pasien PAPS

PUSTAKA
1. Fonarow GC. Epidemiology and risk stratification in acute heart failure. Am Heart J.
2008; 155(2):200-7.
2. Hunt SA. ACC/AHA guidelines: A-, B-, C-, and D-based approach to chronic heart
failure therapy. Eur Heart J Suppl. 2006; 8(supp 6):e3-e5.
3. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, et al. Heart disease and stroke statistics--2013 update:
a report from the American Heart Association. Circulation. 2013; 127:e6.
4. National Clinical Guideline Centre for Acute and Chronic Conditions. Chronic Heart
Failure. Management of chronic heart failure in adults in primary and secondary care.
London: National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE); August 2010:1-49
5. Townsend N, Wickramasinghe K, Bhatnagar P, SMolina K, Nichols M, Rayner M for the
British Heart Foundation Health Promotion Research Group Department of Public
Health. Coronary heart disease statistic 2012 edition. London: British Heart Foundation;
2012: 1-211.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS
2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; Desember 2008: 1-290.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; Desember 2013:1-268.
8. Mann DL, Chakinala M. Heart failure and cor pulmonale. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 18th ed. Boston, MA: McGraw-Hill; 2011. p.3888-3922.
9. Porter RS, Kaplan JL, et al. The Merck manual of diagnosis and therapy. 19th ed.
Whitehouse Station (NJ): Merck Sharp & Dohme Corp., A Subsidiary of Merck & Co.,
Inc.; 2011. p. 2268-84.
10. Francis GS, Tang W, Walsh RA. Pathophysiology of heart failure. In: Fuster V, Walsh
RA, Harrington RA, editors.Hurst's The Heart, 13th ed. New York, (NY): McGraw-Hill;
2011. p.719-809. HURST
11. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the management
of heart failure. Circulation. 2013; 128:e240-e327.
12. McMurray JJV, Adamopoulos S, Dickstein K, Filippatos G, et al. ESC guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: the Task Force for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of the European Society
of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of
the ESC. Eur Heart J. 2012; 33(14): 1787-1847.
13. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, et al. Focused update incorporated
into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure
in Adults: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines Developed in Collaboration with the
International Society for Heart and Lung Transplantation. J Am CollCardiol 2009; 53:e1–
e90.
14. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 7th ed. Canada (CA):
Brooks/Cole; 2010. P. 343-389
15. Guglin M, Barold SS. Evaluation of heart failure symptoms for device therapy. Pacing
Clin Electrophysiol, 2012;35(9):1045-1049.
16. Raphael C, Briscoe C, Davies J, et al. Limitations of the New York Heart Association
functional classification system and self‐reported walking distances in chronic heart
failure. Heart. 2007; 93(4): 476–482.
17. Mosterd A, Hoes AW. Clinical epidemiology of heart failure. Heart. 2007;93(9): 1137-
1146.
18. Nasif M, Alahmad A. Congestive heart failure and public health. USU. 2008.
19. Fonseca C, Oliveira AG, Mota T, et al. Evaluation of the performance and concordance
of clinical questionnaires for the diagnosis of heart failure in primary care. Eur J Heart
Fail. 2006; 6(6): 813-820.
20. Sanchez MA, Pineda SO. Diagnosis and therapy for diastolic heart failure. Rev Esp
Cardiol. 2006; 57(6): 570-5.
21. Tsai SH, Chu SJ, Hsu CW, Cheng SM, Yang SP (March 2008). "Use and interpretation
of cardiac troponins in the ED". Am J Emerg Med26 (3): 331–41
22. Horsley L. ACC and AHA update on chronic heart failure guidelines. Am Fam Physician.
2010;81(5):654-665
23. Reisfield GM, Wilson GR. Prognostication in Heart Failure. Fast Facts and Concepts.
2005; 143.
24. Levy WC, Mozaffarian D, Linker DT, et al. The Seattle Heart Failure Model: prediction
of survival in heart failure. Circulation. 2006; 113: 1424–33.

Anda mungkin juga menyukai