Anda di halaman 1dari 11

MISBEHAVIOR DAN INTERVENSI

PERILAKU MISBEHAVIOR PADA


PESERTA DIDIK

Disusun oleh :
Asty Randa M (210107502025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN


BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku mengganggu siswa di dalam kelas dinilai menyebabkan masalah pada
kegiatan belajar-mengajar. Perilaku mengganggu tersebut seperti lamban dalam
mengerjakan tugas dari guru, berbicara tidak sopan seperti bicara secara kencang, tidak
taat, tidak tepat waktu, tidak rapi, keluar dari tempat duduk dan menyakiti orang lain
secara lisan, mengobrol dengan teman lain saat kegiatan belajar mengajar berlangsung,
tidak mempedulikan guru, menghalangi orang lain dan lambat disebut sebagai perilaku
mengganggu yang paling menyusahkan dan sulit diatasi. Selain itu, melakukan
perbicangan yang tidak sesuai konteks pelajaran disusul dengan melamun merupakan
perilaku mengganggu yang sering dijumpai di dalam kelas. Perilaku siswa yang
mengganggu kegiatan belajar mengajar disebut dengan misbehavior.
Misbehavior bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki banyak
pengertian mulai dari perilaku bermasalah, mengganggu hingga perilaku tidak sopan.
Oleh karena itu untuk menjaga konsistensi penyebutan dan mencegah munculnya
pemaknaan ganda maka peneliti memutuskan menggunakan kata misbehavior dalam
mengungkapkan perilaku tersebut. Secara umum misbehavior merupakan perilaku
yang tidak tepat dan tidak diterima pada lingkungan tertentu karena perilaku tersebut
jelas mengganggu bagi orang lain ataupun lingkungan sekitar.
Menurut Common Wealth of Australia (2009) kombinasi dari faktor-faktor
individual dan faktor-faktor lingkungan sosial berkontribusi terhadap misbehavior. Jika
lingkungan tidak kondusif maka misbehavior mungkin akan meningkat dan sulit untuk
dikendalikan. Munculnya Misbehavior dipengaruhi beberapa faktor baik internal
maupun eksternal. Faktor eksternal salah satunya adalah faktor sosial terdekat anak
yakni keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling awal bagi
seorang anak untuk melakukan interaksi, sehingga nilai-nilai yang ditanamkan dalam
keluarga akan menjadi dasar bagi perkembangan berikutnya. Orang tua adalah model
bagi anaknya, jika orang tua memperlakukan anak dengan cara yang negatif maka anak
akan meniru mereka dengan melakukan perilaku yang negatif pula dan akan
mengeneralisasikan perilaku tersebut kepada masyarakat secara umum. Oleh karenanya
orang tua harus mengajarkan norma-norma sedini mungkin dan memperlakukan anak
dengan baik serta penuh cinta. Anak dapat dengan mudah membentuk pendapat
mengenai perilaku tertentu dengan meniru perilaku di sekitar mereka. Pola asuh dari
lingkungan sosial terdekat anak (orang tua dalam keluarga) sangat berkontribusi dalam
perilakunya.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perilaku mishebavior pada peserta didik
2. Bagaimana solusi dari permasalahan misbehavior pada peserta didik

C. Tujuan
1. Untuk mengetahuai perilaku mishebavior pada peserta didik
2. Untuk mengetahui solusi dari permasalahan misbehavior pada peserta didik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Misbehevior adalah ancaman terhadap ketertiban kelas. Ketika


mempersiapkan rencana pelajaran, seseorang Guru dapat merancang konten atau materi
yang akan diajarkan, metode pengajaran dan semua kegiatan terkait, dan mengkonfigurasi
semua ini di sekitar pengaturan yang paling sesuai yang tersedia. Perilaku Misbehavior
siswa selama pelajaran tampaknya menjadi faktor yang paling signifikan yang menghambat
pengajaran terlepas dari upaya yang diberikan oleh guru untuk manajemen perilaku yang
efektif. Alasannya adalah bahwa perilaku Misbehavior tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Beberapa perilaku Misbehavior yang secara umum sering dilakukan oleh siswa
yaitu intrupsi verbal seperti ngobrol, bersenandung, tertawa terbahak-bahak, berbisik-bisik.
Perilaku tidak ada kaitan dengan tugas atau belajar seperti melamun, tertidur, menyisir-
nyisir rambut, memainkan benda-benda tertentu, dan mencorat-coret. Ada juga pergerakan
fisik yang dianggap mengganggu seperti mendatangi tempat duduk temannya, tidak
mencatat, duduk di atas meja, berjongkok di atas kursi, melempar kertas. Selain itu ada
perilaku tidak hormat yang ditujukan kepada guru maupun teman-temannya seperti
berdebat, mengejek atau menyindir, ujaran kasar, membantah. Semua perilaku tersebut
merupakan perilaku yang termasuk pada perilaku yang menggangu yang harus guru hadapi
setiap harinya. Istilah yang digunakan terhadap berbagai perilkau tersebut yaitu surface
behaviors. Istilah tersebut digunakan karena berbagai perilaku tersebut tipikal atau jenis
perilaku masalah perilaku personal yang mendalam namun merupakan perilaku
perkembangan yang wajar yang sering dilakukan anak-anak.
Perilaku Misbehavior dengan sendirinya dapat menular pada siswa lainnya sering
disebut sebagai efek riak. Chatting antara dua siswa, misalnya, dapat secara bertahap
menyebar ke enam siswa, kekasaran yang dilakukan oleh seseorang siswa pada akhirnya
bisa menjadi kekasaran oleh beberapa siswa, dan seterusnya. Sekelompok kecil penelitian
menunjukkan bahwa ruang kelas yang ditandai dengan perilaku misbehavior
mempengaruhi prestasi anak-anak. Proses pembelajaran untuk siswa lain dipengaruhi
ketika satu siswa berperilaku dengan cara yang mengganggu.
Pengelolaan kelas dalam mengatasi perilaku Misbehavior siswa seringkali
menggunakan punishment atau hukuman sebagai teknik dalam memodifikasi perilaku
siswa. Namun pemberian hukuman pada siswa yang melakukan perilaku misbehavior
terutama disaat pembelajaran berlangsung hanya akan membuat siswa yang lain menjadi
semakin tidak fokus dan membuat kondisi kelas pun tidak lagi kondusif. Selain itu menurut
Karson (2014) bahwa hukuman tidak mengubah kecenderungan perilaku. Adapun dampak
dari penerapan teknik hukuman memunculkan situasi dimana siswa dimanipulasi
perilakunya untuk berperilaku secara tepat namun disisi lain kebutuhan psikologisnya tidak
terpenuhi. Cara seperti ini selain dirasa tidak adil bagi siswa juga menciptakan situasi
dimana perilaku yang dibentuk hanya dilakukan ketika ada hadiah atau imbalan saja.
Sehingga dapat dimengerti mengapa teknik tersebut dianggap memiliki tingkat
keberhasilan yang rendah dalam mengeneralisasi perubahan perilaku pada lingkungan yang
baru.
Meningkatkan hubungan guru dengan siswa sangatlah penting karena posisi guru
yang memilki kedudukan yang sangat penting juga dalam keberhasilan belajar siswa. Guru
memiliki kekuatan untuk membangun siswa atau bahkan menjatuhkan siswa. Setiap guru
dapat mempengaruhi sikap siswa di kelas. Guru dapat menumbuhkan atau meniadakan rasa
ingin tahu bawaan yang dibawa siswa ke dalam kelas bahkan sebaliknya. Pada akhirnya,
terserah kepada guru apakah siswa melihat sekolah sebagai tempat berkembang atau
sebagai tempat untuk ditakuti. Guru yang efektif adalah mereka yang mengenal murid
mereka dan kebutuhan unik mereka dan memiliki rencana proaktif untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Ada empat nilai perilaku guru yang dapat menjadi budaya positif dalam rangka
membantu menfasilitasi siswa terlibat dalam hubungan yang positif antara guru dengan
murid. Keempat nilai perilaku tersebut yaitu, guru menerima tanggung jawab pribadi atas
keberhasilan siswa, guru memperluas perannya tidak hanya sekedar mengajar dan
menyampaikan mata pelajaran. Guru memiliki dedikasi terhadap siswa, dan guru memiliki
optimisme bahwa semua siswa dapat belajar. Salah satu aspek lainnya berkaitan dengan
hubungan antara guru dengan siswa ialah kemampuan guru untuk merasa nyaman berada
di tengah-tengah siswa. Para siswa dapat mengetahui apakah seorang guru merasa nyaman
berada bersama mereka atau tidak. Walaupun ketika Guru hanya membuka diri dengan
merespon apa yang siswa rasakan berkaitan dengan lingkungan sekolah dan berbagi hal
terbatas mengenai kehidupan seputar sekolah maka secara umum hal tersebut dapat
meningkatkan kedekatan hubungan. Namun terkadang guru menginginkan agar hubungan
yang dibangun dilakukan lebih sistematis lagi dalam rangka mengembangkan hubungan
yang positif antara guru dengan siswa.
BAB III
PEMBAHASAN

Perilaku mengganggu seorang peserta didik d kelas dapat dipandang dari teori
Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik.
1. Teori Behavioristik
Teori Behavioristik memandang perilaku mengganggu di kelas ditentukan oleh
guru berdasarkan perilaku yang ditunjukkan siswa. Guru memegang peran penting
dalam menguatkan dan meredakan perilaku mengganggu di kelas. Teori Behavioristik
memandang perilaku mengganggu sebagai perilaku yang tampak dan mudah dinilai
orang lain, misalnya berbicara di luar gilirannya, membuat kebisingan yang tidak perlu,
yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi, memaki dan berdebat dengan guru Dengan
kata lain teori Behavioristik memandang dari sudut pandang eksternal siswa. Tujuan
guru adalah menciptakan lingkungan kelas yang positif. Perilaku yang ditargetkan
untuk dimodifikasi perilaku adalah perilaku yang mengganggu seluruh kelas yang
meliputi perilaku berbicara di luar gilirannya, membuat kebisingan yang tidak perlu,
yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi, memaki dan berdebat dengan guru. Setelah
itu, guru akan menargetkan memodifikasi perilaku yang diinginkan. Berbagai metode
dapat digunakan untuk menghilangkan perilaku disruptive (mengganggu) dan
memperkuat perilaku produktif.
2. Teori Kognitif
Teori kognitif melihat proses pembelajaran sebagai perolehan atau reorganisasi
struktur kognitif melalui proses dan menyimpan informasi tentang ilmu pengetahuan.
Siswa tidak secara pasif bereaksi terhadap stimulus, tetapi merupakan peserta aktif
dalam proses pembelajaran. teori kognitif adalah kemampuan melakukan proses
informasi pelajar dalam menentukan cara belajar mereka sendiri dan itu adalah tugas
guru untuk mengembangkan cara-cara yang merangsang peserta didik menggunakan
kemampuan untuk memproses informasi yang dipelajari. Perhatian yang paling utama
dalam teori kognitif adalah proses kegiatan belajar dan mengajar dan penerimaan
informasi. Karena siswa harus menjadi peserta aktif dan kreatif dalam proses ini,
seorang siswa yang hanya menolak untuk berpartisipasi akan dianggap mengganggu.
Siswa yang mengabaikan tugas-tugas dari sekolah juga dianggap mengganggu. Siswa
juga dapat dianggap mengganggu apabila memproses informasi tetapi memilih untuk
tidak menggunakan informasi tersebut. Perilaku mengganggu akan dianggap sebagai
tindakan yang impulsif atau tindakan yang diambil tanpa berpikir.
3. Teori Humanistik
Dalam kaitannya dengan perilaku mengganggu, bahwa teori humanistik
menganggap disruptive (yang mengganggu) satu orang belum tentu mengganggu orang
lain. Karena perspektif humanistik memperhitungkan individu serta kelompok, maka
keputusan mengenai apa yang dianggap disruptive (mengganggu) ditentukan oleh
kelompok. Dengan kata lain disruptive (yang mengganggu) adalah individu yang tidak
mematuhi aturan kelas. Tidak menghormati orang lain baik secara perasaan ataupun
dengan menggunakan properti juga akan dianggap disruptive (mengganggu).
Pelanggaran terhadap hak setiap individu biasanya akan dipandang sebagai perilaku
mengganggu. Apapun yang terjadi di kelas yang akan membuat individu merasa tidak
aman atau terancam juga akan dianggap disruptive (mengganggu). Situasi ini juga dapat
terjadi dalam bentuk perilaku fisik, misalnya individu yang menyerang individu lain,
atau dalam bentuk emosional, misalnya individu yang menggoda atau mempermalukan
individu lain. Siswa yang suka mengganggu temannya suka membuli di dalam kelas
akan membuat kondisi kelas tidak kodusif lagi, hal ini juga akan dianggap disruptive
karena kegiatan belajar mengajar didalam kelas terganggu.
Perilaku mengganggu dan mengancam itu sendiri terbagi menjadi 3 tingkatan
yang berbeda, yaitu :
1. Tingkat pertama, yang adalah masalah yang tidak serius, mencakup setiap situasi
yang dapat ditangani secara informal antara guru dan siswa, yang mengarah ke
penyelesaian masalah yang cepat.
2. Tingkat kedua melibatkan masalah yang sedang berlangsung, atau kejadian yang
lebih serius di dalam kelas. Dalam situasi ini, Guru dapat berkonsultasi dengan Bidang
Kesiswaan. Jika diperlukan, guru bidang kesiswaan akan membantu guru dalam
mengevaluasi dan menyelesaikan situasi.
3. Tingkat Ketiga adalah yang paling serius dan paling berbahaya dari beberapa tingkat
perilaku mengganggu yang lain. Jika terjadi perilaku pada tingkat ini, maka guru harus
segera menghubungi pihak yang bertanggung jawab dalam urusan penanganan siswa
(guru BK atau psikolog sekolah).
Adapun cara mengatasi perilaku mengganggu di kelas dapat diatasi dengan
beberapa cara., dengan tiga pendekatan dalam mengatasi perilaku mengganggu di kelas
melalui pendekatan behavioristik, kognitif, dan humanistik.
1. Pendekatan Behavioristik
Pendekatan Behavioristik menggunakan beberapa strategi diantaranya :
a) Penguatan (Reinforcement)
Reinforcement (penguatan) adalah kegiatan atau proses untuk mempertahankan atau
meningkatkan perilaku. Penguatan positif adalah pemberian stimulus respon, dan
berfungsi untuk meningkatkan atau mempertahankan respon yang diharapkan. Seorang
guru akan memberikan penghargaan pada siswa yang menunjukkan perilaku yang
diharapkan agar kemudian siswa lain mengulangi perilaku tersebut atau melakukan
perilaku yang serupa dengan perilaku yang diharapkan.
b) Hukuman (Punishment)
Pemberian hukuman bertujuan untuk menurunkan kemungkinan terulangnya perilaku
yang tidak diinginkan dan memberikan rasa jera untuk tidak mengulangi perbuatan
yang tidak terpuji. Hukuman dari sekolah, skorsing, pemberian tugas dan dimarahi guru
adalah contoh dari hukuman di sekolah.
c) Kontrak Perilaku (Behavior contract)
Kontrak perilaku didefinisikan sebagai persetujuan resmi antara klien dengan individu
yang mempengaruhi perilaku klien tersebut. Individu yang dimaksud meliputi, guru,
konselor, orangtua, pekerja sosial, dan teman sebaya klien, tujuan dari kontrak perilaku,
yaitu untuk mendapatkan komitmen untuk mengubah perilaku dan untuk mendapatkan
persetujuan mengenai perubahan perilaku yang dihasilkan.
d) Peragaan (Modeling)
Penanganan lain yang dapat digunakan untuk meredakan perilaku mengganggu di kelas
adalah dengan menggunakan modeling (peragaan). Peragaan perilaku didasarkan pada
konsep bahwa banyak perilaku dapat dipelajari dengan efektif modeling (peragaan)
atau meniru. A
2. Pendekatan Kognitif
Banyak aplikasi dari pendekatan kognitif yang berhubungan dengan perilaku
mengganggu. Misalnya saja seseorang guru menceritakan pengalamannya tentang
perilaku mengganggu pada siswa, dengan bercerita pada siswa, secara tidak langsung
alam pikiran siswa akan memproses, menggambarkan dan belajar apa yang telah
diceritakan. Tujuan dari pendekatan kognitif sendiri adalah membantu siswa belajar
membangun sebuah cara-cara belajar, melatih siswa untuk mengenal apa yang harus
mereka pelajari, serta meningkatkan frekuensi dan kualitas pembelajaran (Zimmerman,
1995:14).
3. Pendekatan Humanistik
Bagi pendidik yang menerapkan pendekatan humanistik, seorang siswa mengganggu
adalah sebuah indikasi bahwa siswa tersebut tidak senang atau mengalami
pertentangan. Guru seharusnya memperlakukan siswa tersebut dengan empati. Cara ini
dapat mendorong siswa agar mau berbicara dan berbagi tentang perasaannya. Prinsip
intervensi yang paling sedikit berarti menggunakan metode paling sederhana yang akan
berhasil. Ada kesinambungan strategi mulai dari yang paling sedikit hingga paling
banyak menggangu, pencegahan perilaku buruk, isyarat nonverbal seperti kontak mata
yang dapat menghentikan perilaku buruk, pujian terhadap siswa lain yang berperilaku
baik, peringatan lisan sederhana yang langsung diberikan setelah siswa berperilaku
buruk, pengulangan peringatan lisan, dan penerapan konsekuensi ketika siswa menolak
untuk taat.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perilaku menganggu adalah permasalahan anak di kelas yang tidak bisa
dianggap enteng. Anak-anak yang suka membuat suasana kelas tidak nyaman
atau tidak menyenangkan bahwa anak tersebut mengalami disruptive
(mengganggu). Banyak guru yang mengajar di kelas cenderung mengabaikan
atau menganggap bahwa hal itu merupakan perilaku anak yang biasa atau guru
sebenarnya belum mengetahui cara untuk mengatasi perilaku menganggu
tersebut. Padahal anak tersebut yang mengalami disruptive (mengganggu) harus
mendapatkan perhatian khusus supaya anak tersebut berubah dan tidak
mengganggu temannya didalam kelas. Selain itu guru kelas harus bisa
melakukan berbagai tindakan guna mengurangi perilaku menganggu di kelas
melalui berbagai pendekatan yaitu behavioristik, kognitif dan humanistik yang
mana bertujuan untuk kebaikan anak didik menjadi lebih baik.

B. SARAN

Terkait dengan masalah misbehavior pada peserta didik, sebaiknya orang tua
dan guru memperhatikan permintaan anak yang akan membuat mereka merasa
lebih penting dan membantu mereka melihat Sesutu secara positif, selalu
memberikan dukungan,semangat dan motivasi, serta menjadi tempat bercerita
seorang anak yang dapat mencegah perilaku misbehavior seorang anak dimasa
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Audi, J. 2019. Jurnal audi. Jurnal Ilmiah Kajian Ilmu Anak Dan Media Informasi
PUD, 3359(1), 63–72.
Swin, T., & Watson, L. 2011. Infants and toddlers- Curriculum and teaching.
Belmont: Wadsworth Preventing Misbehavior.

Trisnawati, E., Nurihsan, J., & Dahlan, T. H. (2019). Apakah Terdapat Perbedaan
Perilaku Mengganggu Di Kelas Antara Anak Laki-Laki Dan Perempuan Di
Bandung. Psikologi : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 24, 1–12.
Yuan & Che. 2012 . How to Deal with Student Misbehaviour in the Classroom?
Journal of Educational and Developmental Psychology. 2

Anda mungkin juga menyukai