Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Pada penelitian ini, beberapa landasan teori yang digunakan relevan

dengan landasan teoritis. Adapun teori-teori yang akan dipaparkan pada

penelitian ini diantaranya:1) Project Based Learning (PjBL); 2) Problem Based

Learning (PBL); 3) Kemampuan Berpikir Kritis; 4) Disposisi Matematis.

2.1.1 Project Based Learning (PjBL)

Model pembelajaran berbasis proyek atau bisa disebut PjBL adalah model

pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran

melalui kegiatan penelitian untuk mengerjakan dan menyelesaikan suatu proyek

tertentu. Menurut Krismanto (Handayani, 2018) menyatakan bahwa model

pembelajaran proyek matematika missouri adalah salah satu model yang

dikembangkan melalui penelitian dan merupakan model terstruktur dimana

langkah-langkahnya terdiri dari peninjauan, pengembangan, kerja sama dan

penugasan. Model pembelajaran ini kombinasi kerja kooperatif dengan kerja

mandiri, sehingga kemampuan siswa untuk bekerja sama atau bekerja mandiri

dapat dilatih dengan baik. Selain itu model pembelajaran PjBL menjembatani

antara pembelajaran yang berpusat pada guru menuju pada siswa.

Karakteristik model pembelajaran PjBL adalah lembar tugas proyek.

Menurut Israini (Setyawan, 2017) tugas proyek dapat meningkatkan komunikasi,

penalaran, dan keterampilan pengambilan keputusan. Tugas proyek ini dapat

dilakukan secara individu atau dalam kelompok sehingga menghasilkan suatu


9
konsep yang baru. Adapun menurut Kamdi (Wikanta, 2017) PjBL dicirikan

dengan karakteristik pembelajaran diantaranya: berpusat pada proses atau

berpusat pada siswa, relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit

pembelajaran bermakna dengan mengintegrasikan konsep-konsep dari sejumlah

komponen pengetahuan, atau disiplin atau lapangan studi, dan pembelajaran

berlangsung secara kolaboratif dalam kelompok yang heterogen.

Glasersfeld (Mahasneh, 2018: 513) menyatakan bahwa manfaat utama dari

pembelajaran berbasis proyek adalah pencapaian pengetahuan melalui kesabaran

dan fleksibilitas (Trial-and-Error), belajar praktis dan menerapkan pengetahuan

yang baru didapat ke situasi dan kondisi baru. Untuk guru yang mengunakan

pembelajaran berbasis proyek ini berfokus pada keterampilan siswa dalam

mengajukan pertanyaan yang menstimulasi pemikiran konstruktif untuk

memberikan jawaban, perumusan masalah dan resolusi. Fokus penting lainnya

adalah penilaian sejawat dan pengumpuluan data yang dihasilkan, analisis dan

mencapai kesimpulan.

Klein et al (Lina, 2018) menyatakan pembelajaran berbasis proyek

ditempuh melalui tiga tahap, yaitu perencanaan proyek, pelaksanaan proyek dan

evaluasi proyek. Kegiatan perencanaan meliputi identifikasi masalah, menemukan

alternatif yang dilanjutkan dengan merumuskan strategi pemecahan masalah, serta

melakukan perencanaan. Tahap pelaksanaan, meliputi pembimbingan siswa dalam

menyelesaikan tugas, pengujian produk (evaluasi) dan presentasi antar kelompok.

Tahap evaluasi, meliputi penilaian proses dan produk dalam kemajuan belajar

proyek, proses actual dari pemecahan masalah, kemajuan kinerja tim dan

10
individual, buku catatan dan catatan penelitian, kontrak belajar penggunaan

komputer dan refleksi.

Santyasa (Ismuwardani, 2019) menambahkan bahwa pembelajaran proyek

berfokus pada konsep-konsep inti dan prinsip-prinsip disiplin, memfasilitasi

penyelidikan, memecahkan masalah dan tugas-tugas lainnya yang berpusat pada

siswa dan menghasilkan suatu produk yang nyata. Demikian juga pendapat Jones

et al (Thomas, 2000; Kholiq, 2107) yang menyatakan bahwa PjBL adalah tugas-

tugas yang diberikan berdasarkan pertanyaan mendasar atau permasalahan yang

menantang, melibatkan siswa untuk merancang proyek, memecahkan masalah,

memberikan keputusan serta menyelidiki aktivitas, memberikan waktu

penyelesaian kepada siswa dan berujung pada produk yang nyata dan presentasi.

Hal ini dipertegas oleh Stivers (Lina: 2018) hakikat kerja proyek adalah

kolaboratif, maka pengembangan keterampilan belajar berlangsung diantara

siswa, kekuatan individu dan cara belajar diakui dapat memperkuat tim. Melalui

pembelajaran berbasis proyek siswa akan belajar memahami berbagai konsep dan

memfokuskan pada pertanyaan atau masalah yang mendorong dalam menjalani

konsep dan prinsip. Berbeda dengan pembelajaran yang menggunakan model

konvensional yang sering digunakan oleh guru tetapi penggunaannya tergantung

kemampuan guru dalam memberikan penjelasan.

Imawan (Ratnasari, et al. 2018) menyatakan bahwa model pembelajaran

PjBL atau serupa dengan PjBL lebih efektif daripada penerapan metode

pembelajaran konvensional. Adapun langkah-langkah penerapan model

pembelajaran PjBL dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

11
Fase Pembelajaran Kegiatan

Menentukan pertanyaan mendasar Guru memberikan stimulus melalui


Atau esensial pertanyaan mendasar yang nantinya akan
menjadi masalah yang harus dipecahkan
melalui proyek oleh siswa.

Mendesain perencanaan proyek Siswa berkelompok untuk membuat


sebuah perencanaan bagaimana proyek
mereka dilaksanakan dan guru membantu
untuk menjaga agar proyek yang
direncanakan rasional dan logis serta
bermanfaat bagi pembelajaran mereka.

Menyusun jadwal Siswa menentukan jadwal agar proyek


mereka dibuat dan dilaksanakan dan
terselesaikan secara baik dengan
menggunakan waktu yang efektif
sehingga dapat terselesaikan sesuai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh
guru.
Memonitor kemajuan proyek Guru memonitor kemajuan proyek siswa
yang sudah dibuat. Membantu mengatasi
jika ada kendala dalam menyelesaikan
proyek tersebut.

Menguji proses dan hasil belajar Guru menguji proses dan hasil belajar
selama melaksanakan proyek dan diakhiri
proyek. Guru memberikan umpan balik,
penguatan, bantuan dan sejenisnya. Guru
juga harus mengevaluasi hasil belajar baik
dari aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan.

Evaluasi Penilaian Guru mengevaluasi proyek mereka dan


melakukan baik dari aspek sikap,
keterampilan dan pengetahuan

12
2.1.2 Problem Based Learning

Pengertian Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning

merupakan sebuah model pembelajaran yang memberikan permasalahan-

permasalahan yang praktis sesuai dengan keadaan nyata. Model ini melatih

peserta didik dalam memecahkan sebuah permasalahan dengan menggunakan

pengetahuan yang dimilikinya. Proses tersebut akan memicu proses pembangunan

pengetahuan baru yang lebih bermakna bagi peserta didik. Sebuah proses yang

ditempuh oleh peserta didik guna menemukan sebuah jawabah dari permasalahan

yang akhinya tidak lagi menjadi sebuah permasalahan bagi dirinya merupakan arti

dari Problem Based Learning menurut Hudojo.

Pengertian PBL menurut Dutch adalah “metode intruksional yang

menantang peserta didik supaya belajar bekerjasama dalam sistem kelompok guna

mencari solusi dari masalah yang ada”. Masalah digunakan untuk mengaitkan rasa

ingin tahu, kemampuan dalam menganalisis, dan inisiatif peserta didik terhadap

materi pembelajaran. PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan

analitis, dengan menggunakan sumber belajar yang sesuai. Berdasarkan uraian di

atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa model Problem Based Learning

merupakan model pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam

memecahkan permasalahan secara nyata. Model ini memicu rasa ingin tahu dan

membangkitkan motivasi peserta didik. Model PBL juga menjadi wadah bagi

peserta didik untuk dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan keterampilan

berpikir yang lebih tinggi.

13
Kegiatan pembelajaran yang menggunakan model PBL memiliki beberapa

manfaat, diantaranya adalah :

1. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan permasalahan.

2. Lebih mudah dalam mengingat materi yang telah diajarkan.

3. Meningkatkan kepahaman peserta didik terhadap materi ajar.

4.Meningkatkan kemampuannya yang relevan dengan dunia praktek.

5.Membangun rasa kepemimpinan dan kerjasama.

6.Kecakapan belajar dan memotivasi peserta didik untuk mengembangkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Menurut Wina dalam buku Sutrjo, Problem Based Learning (PBL)

merupakan model pembelajaran yang memberikan peluang besar kepada peserta

didik dalam penentuan dan perumusan sebuah topik permasalahan yang

selanjutnya akan dijawab dan dikaitkan dengan materi pembelajaran tertentu.

Peserta didik akan diarahkan kepada aktivitas-aktivitas pembelajaran yang akan

mengarah pada penyelesaian masalah secara teratur dan juga masuk akal.

Pemecahan masalah dapat ditempuh dengan empat langkah yaitu paham

akan masalah, memikirkan penyelesaian dari permasalahan, melaksanakan

rencana yang telah ditentukan, dan mengkaji pemecahan masalah yang telah

diperoleh. Sedangkan menurut Ruseffendi, dalam pemecahan masalah biasanya

terdapat lima langkah yang harus dilakukan:

a. Menyajikan permasalahan secara jelas;

b.Menyatakan permasalahan dalam bentuk mudah dipecahkan;

14
c. Menyusun hipotesis dan langkah kerja yang diperkirakan baik untuk

digunakan dalam memecahkan permasalahan tersebut;

d. Menguji hipotesis dan melakukan kerja guna mendapatkan hasil

(pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain);

e. Pengecekan hasil tugas yang telah dilakukan.

Meskipun kemampuan dalam memecahkan masalah merupakan

kemampuan yang tidak mudah untuk dicapai, namun kemampuan ini harus tetap

diajarkan dalam semua tingkatan karena hal ini sangatlah penting.

Berdasarkan Pengertian Problem Based Learning (PBL), dapat ditarik

kesimpulan bahwa, model pembelajaran Problem Based Learning ini adalah

model pembelajaran yang terpusat guna memecahkan sebuah permasalahan yang

ada pada suatu topik tertentu dengan berpikir secara kritis guna mendapatkan

sebuah penyelesaiannya.

15
2.1.2.1. Langkah Problem Based Learning

Adapun penjelasannya yaitu, pertama adalah tahap Orientasi peserta didik

pada masalah, pada tahap ini Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran,

menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Mengajukan fenomena, demonstrasi,

Orientasi peserta didik pada masalah Mengorganisasi peserta didik untuk belajar

Membantu investigasi mandiri dan kelompok Mengembangkan dan

mempresentasikan artefak dan exhibit menganalisis dan mengevaluasi proses

penyelesaian masalah atau cerita untuk memunculkan masalah-masalah yang

nyata, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang

16
dipilih, selanjutnya tahap yang kedua yaitu Mengorganisasi peserta didik untuk

belajar, pada tahap ini Pendidik membantu peserta didik untuk mendefinisikan

dan mengorganisasikan pembelajaran agar relevan dengan penyelesaian masalah.

Tahap yang ketiga yaitu, Membantu investigasi mandiri dan kelompok pada tahap

ini pendidik mendorong peserta didik untuk mencari informasi yang sesuai,

melakukan eksperimen, dan mencari penjelasan dan juga pemecahan masalahnya.

Tahap yang keempat yaitu Mengembangkandan mempresentasikan artefak dan

exhibit. Pada tahap ini pendidik membantu peserta didik dalam perencanaan dan

perwujudan artefak yang sesuai dengan tugas yang diberikan seperti tugas berupa

laporan, video, dan model-model serta membantu mereka saling berbagi satu

sama lain terkait hasil karyanya. Tahapan yang terakhir adalah tahap yang kelima

yaitu menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah, pada tahap

ini pendidik membantu peserta didik untuk melakukan refleksi terhadap hasil

penyelidikannya serta proses-proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

2.1.2.2 Kelebihan Problem Based Learning (PBL)

Setiap model pembelajarn memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan

dari Model pembelajaran Problem Based Learning adalah peserta didik akan

terbiasa menghadapi masalah-masalah atau problem posing dan merasa tertantang

untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada tersebut. tidak hanya terkait pada

pembekajaran di kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam

kehidupan sehari-hari, kelebihan yang kedua dari model pembelajaran ini yaitu

memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman sebaya,

17
teman sekelompok, dan berdiskusi dengan teman sekelas, lalu model

pembelajaran ini juga mengakrabkan pendidik dengan peserta didiknya, dan

kelebihan terakhir pada model Problem Based Learning ini yaitu peserta didik

yang akan terbiasa dengan penyelesaian masalah yang nyata, maka peserta didik

akan lebih menguasai tentang penyelesaian masalah secara eksperimen

2.1.2.3 Kekurangan Problem Based Learning (PBL)

Selain terdapat kelebihan pada model Problem Based Learning ini, pada

model ini juga terdapat kekurangannya, yaitu tidak banyak pendidik yang mampu

mengantarkan peserta didik untuk dapat memecahkan maslaah yang ada, kedua

yaitu seringkali membutuhkan waktu yang panjang, sehingga akan memakan

waktu yang banyak, ketiga yaitu aktivitas peserta didik diluar sekolah akan sulit

dipantau oleh peserta didik.

2.1.2.4 Kewajiban Pendidik dalam Penerapan Problem Based Learning

(PBL)

a. Mendefinisikan, merancang, dan mempresentasikan masalah dihadapan

peserta didik.

b. Membantu peserta didik dalam memahami masalah serta menentukan

bersama peserta didik bagaimana seharusnya masalah ini dicermati dan

diselesaikan.

c. Membantu peserta didik memaknai masalah yang ada.

18
2.1.3 Kemampuan Berpikir Kritis

2.1.3.1 Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis

Di era globalisasi seperti sekarang sangatlah mudah seseorang

mendapatkan informasi, misal melalui media cetak, media elektronik, buku, atau

internet. Di tengah informasi yang banyak tersebut tentu ada informasi yang benar

dan tidak. Seseorang harus bisa menganalisa asumsiasumsi ataupun pendapat

yang melandasinya secara logis agar bisa memilah manakah informasi yang harus

diambil sebagai informasi yang benar, tidak hanya itu seseorang harus bisa

meyakinkan pendapatnya kepada orang lain, untuk melakukan hal demikian

seseorang harus memiliki suatu kompetensi berpikir kritis.

Menurut Siswono berpikir kritis termasuk salah satu perwujudan berpikir

tingkat tinggi (high order thinking). Sedangkan menurut Baker, menjelaskan

berpikir kritis digunakan seseorang dalam proses kegiatan mental seperti

mengidentifikasi pusat masalah dan asumsi dalam sebuah argumen, membuat

simpulan yang benar dari data, membuat simpulan dari informasi atau data yang

diberikan, menafsirkan apakah kesimpulan dijamin berdasarkan data yang

diberikan, dan mengevaluasi bukti atau otoritas.

Berpikir kritis tidak berarti orang yang suka berdebat dengan

mempertentangkan pendapat atau asumsi yang keliru, akan tetapi pemikir kritis

juga dapat memberikan suatu solusi dari permasalahan dan pendapat yang

disampaikan memiliki dasar yang tepat, rasional dan hati-hati.

19
Sebagaimana menurut Ennis, bahwa berpikir kritis merupakan berpikir

logis atau masuk akal yang berfokus pada pengambilan keputusan tentang yang

dipercaya dan dilakukan seseorang. Jufri, menjelaskan para pemikir kritis selalu

melewati beberapa tahap dalam tindakannya yakni merumuskan masalah,

memberikan argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan

evaluasi, lalu mengambil keputusan dan menentukan tindakan.

Tahap ini memiliki kesamaan karakteristik dengan langkahlangkah

pemecahan masalah menurut Polya, yakni memahami masalah, merencanakan

penyelesaian, melaksanakan perencanaan, dan memeriksa kembali. Nampak

bahwa langkah-langkah penalaran yang dilakukan para pemikir kritis lebih logis,

rasional, cermat, detail langkah demi langkah sesuai fokus permasalahan sebelum

mengambil suatu keputusan. Berpikir kritis juga lebih kompleks dari berpikir

biasa pada umumnya yang hanya memahami konsep atau masalah saja tanpa bisa

mengidentifikasi dan mengeksplorasi masalah untuk mencari solusi lebih lanjut

karena berpikir kritis membutuhkan kemampuan mental dan kemampuan

intelektual yang lebih tinggi. Meskipun kompetensi berpikir kritis memiliki

manfaat yang sangat besar dan dibutuhkan di era globalisai, namun dalam

pelaksanaan pendidikan khususnya dalam pembelajaran matematika di sekolah

dasar, kompetensi berpikir kritis jarang diperhatikan pendidik dalam

pembelajaran.

Sebagaimana pendapat Fisher, pembelajaran selama ini hanya

mengajarkan tentang isi materi pelajaran dan mengesampingkan pengajaran

keterampilan berpikir, sehingga sebagian peserta didik sama sekali tidak

20
memahami keterampilan berpikir yang dibicarakan. Hal ini kontradiksi dengan

Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa salah satu

kemampuan berpikir yang hendaknya dimiliki oleh peserta didik mulai dari

peserta didik Sekolah Dasar (SD) melalui pembelajaran matematika adalah

berpikir kritis.

Berpikir kritis merupakan suatu sikap mau berpikir secara mendalam

tentang masalah- masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang;

pengetahuan tentang metode-metode pemeriksanaan dan penalaran yang logis;

dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.

menurut Kowiyah, kemampuan berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau proses

kognitif dan tindakan mental untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan

keterampilan agar mampu menemukan jalan keluar dan melakukan keputusan

secara deduktif, induktif dan evaluatif sesuai dengan tahapannya yang dilakukan

dengan berpikir secara mendalam tentang hal-hal yang dapat dijangkau oleh

pengalaman seseorang, pemeriksaan dan melakukan penalaran yang logis yang

diukur melalui kecakapan interpretasi, analisis, pengenalan asumsi-asumsi,

deduksi, evaluasi inference, eksplanasi/penjelasan, dan regulasi diri. Pengertian

dari berpikir kritis cenderung tetap walaupun ada terdapat perkembangan, yakni

berpikir kritis merupakan pola pikir yang wajar dan reflektif dan memiliki titik

fokus dalam memutuskan segala sesuatu yang telah dilakukan.

2.1.3.2 Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pembelajaran

Berpikir kritis sangatlah penting. Hal yang melatarbelakangi pentingnya

dalam berpikir kritis antara lain, yaitu:

21
1. Pengetahuan yang dasarnya adalah hafalah telah didiskreditkan;

kebanyakan individu tidak akan mampu menyimpan memori

pengetahuan di dalam ingatan mereka untuk dgunakan dalam waktu

yang akan datang;

2. Saat ini, informasi dapat menyebar secara pesat, akibatnya individu

harus memiliki sebuah kemampuan yang nantinya akan disalurkan

supaya mereka dapat mengenali berbagai macam permasalahan dalam

konteks yang berbeda dengan waktu yang berbeda;

3. Dunia pekerjaan yang begitu kompleks membutuhkan seseorang yang

pemikir dimana mampu mengambil keputusan sendiri dalam dunia

kerja, dan

4. Masyarakat saat ini membutuhkan sesorang untuk menangkap dan

menggabungkan informasi dari berbagai sumber yang selanjutnya dapat

membuat keputusan.

2.1.3.3 Indikator kemampuan berpikir kritis

a. Memberikan penjelasan sederhana (Elementary Clarification), meliputi,

fokus terhadap pertanyaan, membuat analisis dari sebuah argumen,

bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan atau

tantangan.

b. Membangun keterampilan dasar (basic support), meliputi

mempertimbangan kredibilitas sumber dan melakukan pertimbangan

observasi

22
c. Penarikan kesimpulan (inteference), meliputi penyusunan dan

pertimbangan dedukasi, induksi, dan hasil.

d. Memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), meliputi

mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan definisi,

mengidentifikasi asumsi.

e. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics), meliputi

menentukan suatu tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.

Dalam menghadapi dunia yang penuh persaingan dan tantangan saat ini

dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan tinggi dalam

pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Seseorang yang memiliki kemampuan

tinggi harus dapat berpikir logis, rasional, kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir

logis, rasional, kritis dan kreatif termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat

tinggi yang tidak dapat terjadi dengan sendirinya.

Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang mengarahkan kita untuk

membuat sebuah keputusan yang masuk kedalam logika, sehingga kita mampu

mengambil keputusan sesuai dengan apa yang menurut kita baik dan yang

dilakukan benar.

Steven memberikan definisi berpikir kritis sebagai berpikir dengan benar

mendapatkan pengetahuan yang relevan dan reliabel. Berpikir kritis merupakan

berpikir dengan menggunakan nalar, reflektif, bertanggung jawab, dan expert

dalam berpikir. Berdasarkan hal tersebut maka seseorang dapat dikatakan berpikir

kritis jika seseorang tersebut memperoleh suatu pengetahuan dengan cara hati-

hati, lebih banyak mepertimbangkan hasil informasi yang didapatkan, sehingga

23
dapat diambil kesimpulan yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya Steven mengemukakan bahwa proses berpikir kritis dapat

digambarkan seperti metode ilmiah, yaitu: mengidentifikasi sebuah permasalahan,

membuat rumusah masalah, mencari dan mengumpulkan data yang relevan,

menguji hipotesis secara logis, melakukan evaluasi dan membuat kesimpulan

yang reliabel.

Pengertian berpikir kritis menurut Krulik dan Rudnik, adalah

mengelompokkan, mengorganisasi, mengingat, dan menganalisis informasi yang

diperlukan, menguji, menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek dari situasi

masalah. Pengertian berpikir kritis yang dikemukakan Krulik dan Rudnik pada

hakekatnya sejalan dengan pengertian berpikir kritis menurut Steven karena

keduanya menggunakan langkah-langkah metode ilmiah dalam melakukan proses

berpikir.

Ennis, mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses berpikir dengan

tujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan

mengenai apa yang akan diyakini dan apa yang akan dilakukan. Dalam

memutuskan apa yang akan dipercaya dan apa yang akan dilakukan, diperlukan

informasi yang reliabel dan pemahaman terhadap topik atau lapangan studi.

Berdasarkan semua hal tersebut seseorang dapat mengambil keputusan yang

reliabel. Keputusan mengenai keyakinan sangat penting, Suatu kunci dalam

memutuskan suatu keyakinan sering merupakan sebuah argumen. Berdasarkan

definisi Ennis maka seseorang yang berpikir kritis mampu mengambil keputusan

24
mengenai apa yang akan diyakini dan apa yang akan dilakukan berdasarkan

informasi yang dapat dipercaya dan pemahaman terhadap topik yang dihadapi.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, terdapat

satu kesamaan mengenai pengertian berpikir kritis, yaitu aktivitas mental yang

dilakukan dengan menggunakan langkah dalam metode ilmiah, yaitu: paham dan

mampu merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi yang

didaptakan, merumuskan praduga dan hipotesis, menguji hipotesis secara logis,

membuat kesimpulan secara hati-hati, melakukan evaluasi dan memutuskan

sesuatu yang telah diyakini atau sesuatu yang akan dilakukan, serta meramalkan

akibat yang akan terjadi.

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting.

Hal ini di seperti yang diungkapkan oleh Soeprapto “Kemampuan berpikir kritis

merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan dan

berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah lama

menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942. Penelitian dan berbagai

pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik pembicaraan dalam sepuluh tahun

terakhir”. Jadi dapat dikatakan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan yang

sangat penting bagi kehidupan sehingga dijadikan sebagai tujuan pokok dalam

pendidikan. Menurut Sutarmo “Kemampuan berpikir kritis, otak dipaksa berpikir

serius untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu yang berpikir atau

memikirkan tindakan yang akan dilakukan nanti.” Karena setiap orang memiliki

masalah yang bukan untuk di hindari melainkan untuk di pecahkan, maka

seharusnya setiap orang juga memiliki kemampuan berpikir kritis sehingga

25
mereka dapat memikirkan apa langkah yang harus ditempuh untuk memecahkan

masalah serius yang mereka hadapi. Menurut Richard W. Paul yang dikutip oleh

Kasdin dan Febiana “Berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual

dimana seseorang secara aktif dan terampil memahami mengaplikasikan,

menganalisis, mensintesakan dan mengevaluasi berbagai informasi yang dia

kumpulkan atau yang dia ambil dari pengalaman, pengamatan, refleksi yang

dilakukannya, penalaran atau komunikasi yang dilakukannya”.

Seseorang yang berpikir kritis akan selalu aktif dalam memahami dan

menganalisis semua informasi yang ia dapatkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa

kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting bagi

setiap orang yang digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan dengan

berpikir serius, aktif, teliti dalam menganalisis semua informasi yang mereka

terima dengan menyertakan alasan yang rasional sehingga setiap tindakan yang

akan dilakukan adalah benar.

2.1.4 Disposisi Matematis

Seorang siswa dengan siswa lainnya pasti memiliki cara pandang dan sikap

yang berbeda dalam belajar, terutama dalam bidang matematika. Sikap adalah

gejala dari dalam diri yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk

mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang,

barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap positif dari

siswa kepada guru maupun kepada mata pelajaran terutama matematika

merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa dan proses

26
pembelajaran dalam kelas. Sebaliknya, sikap negatif siswa apalagi jika diiringi

kebencian dapat menyebabkan kesulitan belajar terhadap siswa tersebut.

Sikap dalam belajar ini dapat dikatakan sebagai disposisi yaitu kepribadian

atau sikap yang diperlukan oleh seseorang untuk mencapai suatu kesuksesan agar

mampu menghadapi suatu permasalahan, bertanggung jawab dalam belajar dan

mampu menerapkan kebiasaan kerja dengan baik (Sa’adah:2019). Istilah disposisi

matematis yang dipopulerkan oleh NCTM (National Council of Teachers of

Mathematics) merupakan sikap kecenderungan untuk berpikir, bertindak secara

positif dan apresiasi siswa terhadap Matematika (Prasetyo:2019). Dapat dikatakan

bahwa disposisi matematis merupakan suatu sikap pandang siswa terhadap

pentingnya matematika termasuk kegunaan dan peran matematika. Setiap siswa

harus memiliki sikap disposisi dalam mengikuti setiap pelajaran dikelas, termasuk

matematika. Sumarno mendefinisikan disposisi matematika sebagai kesadaran,

keinginan,, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir

dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman,

taqwa dan akhlak mulia. Dengan disposisi matematis yang tinggi, maka akan

terbentuk pribadi yang bertanggung jawab, tangguh dan ulet serta membantu

dirinya untuk mencapai hasil yang terbaik (Asmara:2016). Sehingga hal ini yang

dinamakan dengan disposisi matematis.

Disposisi matematis dalam konteks pembelajaran berkaitan dengan

bagaimana siswa mengkomunikasikan ide–ide matematis, bagaimana mereka

mampu bertanya atau menjawab pertanyaan, berdiskusi dalam sebuah kelompok

27
dan menyelesaikan masalah matematika. Apabila siswa menyukai masalah-

masalah matematika dan melibatkan dirinya secara langsung serta merasakaan

bahwa dirinya mengalami proses belajar secara sadar dan teratur dalam

menyelesaikan masalah yang merupakan tantangan baginya sehingga muncul

adanya sikap percaya diri dalam dirinya, kesadaran untuk mengevaluasi hasil

berpikirnya dan pengharapan untuk memperoleh hasil yang tepat. Kemudian

dalam ranah matematika, kemampuan disposisi matematis berkaitan dengan

bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematika, apakah percaya diri, tekun,

memiliki kemauan yang kuat untuk menyelesaikan masalah matematika,

berminat, serta berpikir fleksibel untuk mengunakan berbagai alternatif

penyelesaian masalah (Nababan:2020). Perkins, Jay, dan Tishman menyebutkan

tiga elemen disposisi matematis yang saling terkait yaitu sebagai berikut:

a. Kecenderungan (inclination), berkaitan dengan bagaimana sikap siswa

terhadap tugas-tugas yang diberikan.

b. Kepekaan (sensitivity), berkaitan dengan sikap siswa terhadap kesiapan

diri dan kesempatan dalam menghadapi tugas.

c. Kemampuan (ability), berkaitan dengan kemampuan siswa dalam

menyelesaikan masalah dari tugas yang sesungguhnya (Widyasari:2016)

Disposisi siswa terhadap matematika terwujud melalui sikap dan tindakan atau

strategi apa yang dipilih untuk menyelesaikan tugas serta kemauan yang kuat

dalam diri siswa untuk belajar matematika (Nababan:2020). Sehingga elemen

disposisi kecenderungan, kepekaan dan kemampuan tersebut akan terlihat ketika

siswa sedang melakukan proses pembelajaran matematika dan dalam

28
menyeesaikan tugasnya. Disposisi matematis termasuk salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar matematika.

Keyakinan siswa mengenai kecakapan dalam menyelesaikan masalah

matematika dan memahami sifat-sifat serta konsep matematika memiliki pengaruh

penting terhadap bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematika dan

pendekatan apa yang akan digunakan sehingga pada akhirnya mereka mampu dan

berhasil menyelesaikan soal-soal dan masalah matematika yang disajikan. Siswa

yang merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan cenderung lebih gigih,

positif thinking dan semangat untuk mencoba belatih kembali secara berulang, dan

bahkan mencari soal-soal baru yang mungkin tingkatannya sama atau lebih tinggi

dari soal sebelumnya. Sedangkan sikap siswa yang negative memiliki pengaruh

sebaliknya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa disposisi matematis itu

sebuah sikap yang tercermin dalam bentuk perilaku, maka disposisi matematis

akan nampak dalam berbagai indikator. Menurut Polking, indikator disposisi

matematis yaitu:

a. Kepercayaan diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah,

memberi alasan, dan mengkomunikasikan gagasan

b. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik serta berusaha

menemukan metode alternatif dalam memecahkan masalah

c. Tekun mengerjakan tugas matematika

d. Minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan daya temu dalam melakukan tugas

matematik.

29
e. Cenderung memonitor, merefleksikan performance dan penalaran mereka

sendiri.

f. Menilai aplikasi matematika dalam berbagai situasi matematika dan

pengalaman dalam kehidupan sehari-hari

g. Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai,

matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.

Dapat dipahami bahwa rangkaian sikap yang menunjukkan indikator disposisi

matematis dari seseorang berdasarkan uraian tersebut, antara satu dan lainnya

saling berkaitan serta merupakan satu rangkaian yang holistic (Hakim: 2019)

Berdasarkan indikator tersebut, disposisi matematis siswa dapat dinilai

melalui kuesioner untuk mendapatkan informasi terkait sikap siswa mengenai hal-

hal berikut (Asmara:2016):

a. Menunjukkan sikap percaya diri dalam belajar matematika. Rasa percaya

diri disini diharapkan siswa mampu menggunakan matematika,

mengkomunikasikan gagasan, memberikan alasan dan memecahkan

masalah tanpa ada perasaan yang berat atau takut salah.

b. Menunjukkan kegigihan dalam menyelesaikan permasalahan matematika.

Siswa pantang menyerah serta tekun dalam mengerjakan tugas

matematika.

c. Menunjukkan fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematika.

Maksud dari fleksibilitas disini siswa mampu dalam mengidentifikasi

bagian yang diketahui, ditanyakan atau suatu gagasan matematika

30
kemudian berusaha menemukan cara alternatif untuk memeacahkan suatu

masalah matematika yang disajikan.

d. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dalam belajar matematika.

Minat, keingintahuan, dan daya temu yang tinggi dalam melakukan tugas

matematika sehingga dapat menumbuhkan keyakinan bahwa matematika

tidak sulit.

e. Dapat mengaplikasikan matematika dalam kehidupan.

f. Menunjukkan refleksibilitas untuk memonitor belajar matematika. Siswa

diharapkan cenderung memonitor dan merefleksikan kinerja dan penalaran

mereka sendiri.

g. Menunjukkan sikap kooperatif dan penghargaan terhadap orang lain dalam

belajar matematika. Menunjukkan sikap kooperatif dan penghargaan peran

matematika dalam kultur dan nilai matematika, sebagai alat dan bahasa.

Indikator disposisi matematis siswa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

menurut Polking. Seorang guru akan lebih mudah menyampaikan materi

matematika jika siswanya memiliki disposisi yang baik. Apabila disposisi

matematisnya baik maka muncul kesadaran bahwa matematika merupakan

sesuatu yang penting serta memiliki manfaat dalam kehidupan sehari-hari

sehingga dia sadar bahwa matematika perlu untuk dipelajari sebagai salah satu

bekal dalam menjalani kehidupannya. Dari sini dapat memudahkan siswa dalam

menerima dan mengolah materi matematika dari guru, memahami bagaimana

konsep pengerjaan dan mungkin mampu mengeksplorasi materi matematika yang

didapatkan dalam kehidupan sehari-harinya.

31
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan

2.2.1 Hasil Penelitian yang Relevan

Ada beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan atau berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Ina Vandian Tama (2020), berjudul “Pengaruh Model Problem

Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Sikap Sosial

Peserta didik Kelas XI Pada Mata Pelajaran Biologi di SMAN 6 Bandar

Lampung”.

2. Penelitian Imam Gozali (2021), berjudul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis

Masalah Terhadap Disposisi Matematis dan Kemampuan Pemecahan Masalah

Siswa.”

3. Penelitian Eva Khairani Astri (2022), berjudul “Pengaruh Model Project Based

Learning Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dan Berkomunikasi Peserta

Didik”.

Beberapa penelitian terdahulu di atas memiliki persamaan dan perbedaan

dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, antara lain:

No Judul Penelitian Persamaan Perbedaan

1. “Pengaruh Model Problem Penelitian Selain pengaruh

Based Learning (PBL) bertujuan melihat terhadap

Terhadap Kemampuan apakah ada kemampuan

Berpikir Kritis dan Sikap pengaruh yang berpikir kritis,

Sosial Peserta didik Kelas XI signifikan Model sikap sosial siswa

32
Pada Mata Pelajaran Biologi di Problem Based juga menjadi

SMAN 6 Bandar Lampung” Learning tujuan penelitian.

Terhadap

Kemampuan

Berpikir Kritis

Peserta Didik

2. “Pengaruh Pembelajaran Penelitian Penelitian ini juga

Berbasis Masalah Terhadap bertujuan melihat melihat pengaruh

Disposisi Matematis dan apakah ada Model

Kemampuan Pemecahan pengaruh yang Pembelajaran

Masalah Siswa.” signifikan Model terhadap

Pembelajaran Kemampuan

Masalah Pemecahan

Terhadap Masalah Siswa

Disposisi Siswa. Namun

Matematis Siswa tidak meneliti

pengaruh Model

Pembelajaran

Berbasis Proyek.

3. Pengaruh Model Project Based Penelitian Penelitian ini

Learning Terhadap bertujuan melihat tidak melihat

Keterampilan Berpikir Kritis apakah ada pengaruh Model

dan Berkomunikasi Peserta pengaruh yang Pembelajaran

33
Didik signifikan Model Problem Based

Project Based Learning terhadap

Learning (PjBL) Kemampuan

Terhadap Berpikir Kritis

Keterampilan dan Disposisi

Berpikir Kritis Matematis siswa.

Peserta Didik.

2.3 Kerangka Berpikir

Pembelajaran materi Fungsi Eksponen di kelas X SMK N 4 Medan masih

menggunakan metode ceramah, metode ceramah ini menyebabkan siswa kesulitan

dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru. Tidak hanya itu, metode

ceramah ini juga tidak mampu merangsang kemampuan berpikir kritis siswa.

Siswa cenderung hanya bisa mengerjakan soal yang mirip dengan contoh yang

diberikan. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa dan dan hasil belajar siswa yang tidak mencapai KKM. Hal ini

juga menyebabkan semakin kurangnya rasa percaya diri siswa dalam mengerjakan

soal soal fungsi eksponen. Siswa cenderung takut bahwa pekerjaannya salah. Hal

ini tidak sejalan dengan satu diantara indikator disposisi matematis yaitu rasa

percaya diri siswa dalam menyelesaikan masalah. Bukan hanya itu, siswa juga

belum memiliki kegigihan yang kuat dalam menyelesaikan soal – soal yang

diberikan. Kemudian peneliti mengupayakan penerapan model pembelajaran yang

dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa

34
dalam pembelajaran fungsi eksponen. Model yang dimaksud adalah Problem

Based Learning dan Project Based Learning. Penerapan kedua model ini dalam

pembelajaran materi Fungsi Eksponen diharapkan dapat berpengaruh secara

signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dan disposisi matematis

siswa sehingga akhirnya siswa dapat memenuhi KKM yang ditetapkan dan

mampu menyelesaikan soal fungsi eksponen yang lebih bervariasi.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

35
2.4 Hipotesis Penelitian

Terdapat pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran Problem

Based Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL) terhadap kemampuan

berpikir kritis dan disposisi matematis siswa. Penelitian ini berasumsi bahwa

kedua model pembelajaran tersebut dapat membantu dan mendorong siswa untuk

aktif mencari solusi dari masalah yang diberikan sehingga siswa mampu

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis.

36
37

Anda mungkin juga menyukai