Anda di halaman 1dari 16

RINGKASAN MATERI KULIAH

Topik : Kelompok 2 : Rifa Alfiandi, 2007531018


Perspektif Historis CSR, Ferdinanda C. Latu, 2007531051
Sustainable Development, Amelia Lensi Matei, 2007531072
dan Sustainability Accounting Nyoman Ayu Natasya Amanda, 2007531083

Pengantar
Ketika ada sebuah perusahaan besar berdiri di lingkungan masyarakat, maka secara otomatis perusahaan
besar tersebut memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau lingkungan tempatnya berdiri.
Tanggung jawab sebuah perusahaan kepada masyarakat memiliki sifat yang wajib. Artinya apabila
perusahaan tidak melakukan tanggung jawabnya kepada masyarakat atau lingkungan di sekitarnya maka
akan mendapatkan sanksi. Corporate Social Responsibility atau disingkat CSR merupakan salah satu
program yang digunakan untuk melaksanakan kewajiban dari perusahaan. Secara historis, tanggung
jawab sosial ini telah ada sejak jaman dahulu. Penggunaan Istilah Corporate Social Responsibility dimulai
sejak tahun 1970-an setelah Jhon Elkington mengemukakan 3 komponen penting untuk Sustainable
Development yaitu, economic growth, environmental protection, dan social equity.

Peta Konsep

Perspektif Historis CSR,


Sustainable Development dan
Sustainability Accounting

Perspektif Historis Sustainable Sustainability


CSR Development Accounting

Tahun 1700 SM Prinsip Pembangunan Howed Bowen


Berkelanjutan Sebagai
berikut :
1930 Fenomena Keith Davis
Tanggung Jawab
Moral
Kepercayaan
Publik/Masyarakat US Committee for
Economic Development
Tahun 1940-an : in 1971
Pengembangan
Masyarakat
Tahun 1950-an : CSR Mandatori Regulasi
Prinsip Kehati-hatian Prancis Pertama di
Modern
Dunia

Tahun 1960 Prinsip Antar Generasi Runtuhnya Ekonomi


Sosialis

Tahun 1970
Asas Subsidiaritas
Balance Scorecard

Tahun 1980 – 1990 :


“Triple Battom Line” Pencemar Membayar Robert Hugh Gray

John Elkington’s Triple


Bottom Line

Sustinability Reporting

Sosio-Spiritualitas
Akuntansi
Pokok Bahasan :
1. Perspektif Historis Pemikiran Corporate Social Responsibility
2. Perspektif Historis Pemikiran Sustainable Development
3. Perspektif Historis Pemikiran Sustainability Accounting
PEMBAHASAN
I. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY
CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam perusahaan,
mengalami evolusi dan metamorphosis dalam rentang waktu yang cukup lama.
Tahun 1700 SM
Dari beberapa artikel dituliskan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang
berisi ratusan hukum kurang lebih ada 282 hukum yang memerikan sanksi bagi para
pengusaha yang menyebabkan kematian bagi pelangganya. Pada Kode Hammurabi
dijelaskan bahwa akan diberikan hukuman mati kepada orang yang mememiliki ijin
memproduksi makanan minuman namun memberikan pelayanana yang buruk serta
melakukan pembangunan dibawah kualitas standar.
1930 fenomena Tanggung Jawab Moral
Pada waktu ini banyak protes yang muncul dari masyarakat akibat ulah perusahaan yang
tidak mempedulikan masyarakat sekitarnya. Segala sesuatu hanya diketahui oleh
perusahaan. Ditambah kenyataan bahwa pada saat itu telah terjadi resesi dunia secara
besar-besaran yang mengakibatkan pengangguran dan banyak perusahaan yang bangkrut.
Pada masa ini dunia berhadapan dengan kekurangan modal untuk input produksinya.
Buruh terpaksa berhenti bekerja, pengangguran sangat meluas dan merugikan
pekerjannya. Saat itu timbul ketidakpuasan terhadap sikap perusahaan yang tidak
bertanggung jawab terhadap pekerjanya karena perusahaan hanya diam dan tidak bisa
berbuat apa-apa. Menurut masyarakat pada masa ini perusahaan sama sekali tidak
memiliki tanggung jawab moral. Menyadari kemarahan masyarakat muncul beberapa
perusahaan yang meminta maaf kepada masyarakat dan memberi beberapa jaminan
kepada para karyawannya yang dipecat. Sesuatu yang menarik dari fenomena ini adalah
belum dikenalnya istilah CSR tapi perusahaan sudah melakukan. Meskipun upaya
perusahaan untuk memperhatikan masyarakat sekitarnya sudah jelas terlihat. Namun
usaha itu lebih dikenal sebatas tanggung jawab moral.
Tahun 1940-an : Pengembangan Masyarakat
Dimulai dengan istilah Comdev dipergunakan di Inggris 1948, untuk mengganti
istilah mass education (pendidikan massa). Pengembangan masyarakat merupakan
pembangunan alternatif yang komprehensif dan berbasis komunitas yang dapat
melibatkan baik oleh Pemerintah, Swasta, ataupun oleh lembaga – lembaga non
pemerintah. Beberapa alternatif pendekatan yang pernah terjadi di Amerika Serikat
terkait dengan pengembangan masyarakat ini, antara lain :
(1) Pendekatan komunitas,
(2) pendekatan pemecahan masalah,
(3) pendekatan eksperimental,
(4) pendekatan konflik kekuatan,
(5) pengelolaan sumberdaya alam
(6) perbaikan lingkungan komunitas masyarakat perkotaan.
Pendekatan komunitas merupakan pendekatan yang paling sering dipergunakan
dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai tiga ciri utama :
(1) basis partisipasi masyarakat yang luas
(2) fokus pada kebutuhan sebagian besar warga komunitas
(3) bersifat holistik.
Keunggulan pendekatan ini adalah adanya partisipasi yang tinggi dari warga dan
pihak terkait dalam pengambilan keputusan(perencanaan) dan pelaksanaan, serta dalam
evaluasi dan menikmati hasil kegiatan bersama warga komunitas.
Tahun 1950-an: CSR MODERN
(SR bukan CSR). Tidak disebutkan kata corporate kemungkinan karena intervensi
dari korporasi modern. Menurut Howard R. Bowen dalam bukunya:

“Social Responsibility of The Businessman” dianggap sebagai tonggak bagi CSR


modern. Dalam buku itu Bowen (1953:6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai
:“… obligation of businessman to pursue those policies, to makethose decision or to
follow those line of action wich are desirable in term of theobjectives and values of our
society.” kalau membaca judulnya seolah bias gender (hanya menyebutkan businessman
tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang
diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit
setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR sehingga Bowen pantas
disebut sebagai Bapak CSR. Setelah itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent
Spring” yang ditulis oleh Rachel Carson, ia mengingatkan kepada masyarakat dunia
bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Sejak itu,
perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat
perhatian yang luas.
Tahun 1960
Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi
CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis
dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara
CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility ” yang
menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial
yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate
with their social power ). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak
menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat
akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai
dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan
korporasi. Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul “Silent Spring”.
Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam.
Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian
alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan
menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga
menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain
penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu
”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events. Tahun
1963, Joseph W. McGuire (1963:144) memperkenalkan istilah Corporate Citizenship.
McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social responsibilities supposes that the
corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities
to society which extend beyond these obligations”. McGuire kemudian menjelaskan lebih
lanjut kata “beyond” dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah
politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh
permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak
“baik,” sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.
Tahun 1970
Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social
Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code
of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan
dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam
lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi
untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan
pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih
sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan
mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin
akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga
lingkungan dan masyarakat.

Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang
berjudul “Dimensions of Corporate Social Performance”, S. Prakash Sethi memberikan
penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social
responsibility , dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah
perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbanganpertimbangan
hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi
dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak
hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social
obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial.
Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan
antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation
bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat
preventif. Dimensidimensi kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga
mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED.
Tahun 1980-1990 : “triple bottom line”
Ketenaran istilah CSR semakin menjadi ketika buku Cannibals With Forks: The
Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) terbit dipasaran. Didalam buku ini ia
mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic
growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World
Commission on Environment and Development (WCED). dalam Brundtland Report
(1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus yang senagaja ia singkat menjadi
3P yaitu singkatan dari profit, planet dan people. Di dalam bukunya itu ia menjelaskan
bahwa Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit).
Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people). Menurut Elkington, sebuah perusahaan tidak akan
pernah menjadi besar jika lingkungan dan masyarakat tidak mendukung.

II. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN SUSTAINABLE


DEVELOPMENT

Konsep Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan pertama kali


diperkenalkan sebagai tujuan sosial pada konferensi pertama PBB dalam bidang
Lingkungan Hidup di Stocklom pada tahun 1972. Latar belakang diadakan konferensi
tersebut dipicu oleh kekhawatiran global akan kemiskinan yang berlarut-larut dan
meningkatnya ketidakadilan sosial, ditambah dengan kebutuhan pangan dan masalah
lingkungan global serta kesadaran bahwa ketersedian sumber daya alam untuk
mendukung pembangunan ekonomi amatlah terbatas.
Kekhawatiran akan kelangkaan sumberdaya alam sangatlah wajar dan dapat kita
lihat kembali pada berbagai tulisan-tulisan sosial di masa lampau. Salah satunya yang
berpengaruh ada pada tulisan klasik Thomas Malthus, An Essay on the Principles of
Population (1798), dimana digambarkan sebuah ketakutan akan pertumbuhan populasi
manusia, yaitu pembangunan industri yang cepat pada abad ke-19 disertai dengan
polusi dan sentra pertumbuhan masyarakat yang tinggal dan bekerja dalam kondisi
miskin di kota-kota besar. Sebuah era dari perubahan sosial masyarakat yang penuh
masalah, kekauan sosial dan anarkisme, termasuk di dalamnya tumbuhnya gerakan-
gerakan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan dan masyarakat pada sebuah
populasi urban. Ide-ide tentang proto-enviromentalist kemudian muncul dalam
beberapa alur pemikiran radikal abad ke-19. Sementara itu, beberapa langkah juga
dilakukan dengan pemahaman ilmiah dan sistematik dari inter relasi antara spesies-
spesies alami, populasi dan lingkungan-lingkungannya seperti pada Teori Evolusi
Darwin dan asal mula ilmu ekologi. (Goodland, 1975)
Meski demikian, baru pada tahun 1960-an pergerakan perlawanan terhadap polusi
lingkungan industri lebih memperhatikan pada inter relasi antara aktivitas manusia dan
lingkungan alam. Dengan menggunakan sebuah pendekatan ‘sistem’ dan model
computer, pada tahun 1972 lahirlah ‘Limit of Growth’, salah satu proyek dari Club
of Rome, sebuah organisasi individu yang memiliki kepedulian yang sama terhadap
masa depan umat manusia, didanai oleh Volkswagen Foundation. Buku ‘Limit of
Growth’ mengkaji sebuah interaksi antara populasi, pertumbuhan industri, produksi
pangan dan keterbatasan ekosistem di Planet Bumi. Gelombang literatur tentang
Pembangunan Berkelanjutan kemudian semakin diperluas pada tahun 1980-an, ketika
the International Union for the Conservation of Nature Influential World Conservation
Strategy (1980) atau Uni International untuk Konservasi Alam mengajukan konsep
Pembangunan Berkelanjutan, atau sebuah pembangunan yang mempertimbangkan
fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati agar terus dipertahankan.

Namun, meski telah banyak literatur tentang pembangunan berkelanjutan, konsep


tersebut tidak semata-mata langsung diterima secara internasional. Barulah pada
Laporan Komisi Brundtland tahun 1987, disebutkan bahwa Pembangunan
Berkelanjutan merupakan sebuah pembangunan yang memenuhi kebutuhan di masa
kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi di masa depan untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
Berdasarkan pada Laporan tersebut, prinsip-prinsip dasar dari Pembangunan
Berkelanjutan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Kepercayaan Publik/Masyarakat: Terdapat kewajiban negara untuk mengelola
sumber daya alam yang dipercayakan untuk keuntungan masyarakatnya.
2. Prinsip Kehati-hatian: adanya tindakan untuk mencegah kerusakan ireversibel
atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan kembali dan pencegahannya tidak
dapat ditunda hanya karena keterbatasan pengetahuan akan ilmu ilmiah.
3. Keadilan Antar Generasi: Genarasi di masa depan tidak boleh dirugikan atau
mendapat dampak buruk karena keputusan yang dibuat pada masa sekarang.
4. Asas Subsidiaritas: Keputusan-keputusan harus dibuat atau dilakukan dengan
mempertimbangkan keputusan atau masukan dari lembaga maupun pemangku
kepentingan pada tingkat terendah yang sesuai kapasitasnya.
5. Pencemar Membayar: Biaya kerusakan/terganggunya lingkungan harus
ditanggung oleh pihak-pihak yang turut bertanggung jawab akan
kerusakan/gangguan tersebut.
Beberapa prinsip-prinsip tambahan lain juga memperhatikan pada upaya solusi
terhadap kemiskinan yang berkelanjutan dan ketidakadilan sosial antara bangsa-bangsa
di dunia. Keberlangsungan hidup generasi masa kini dan masa depan, hingga kini
masih terletak pada jantung perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan.
Kepercayaan masyarakat, partisipasi pemerintahan pusat dan daerah juga menjadi
prinsip dasar pada konsep pembangunan ini.

Di Indonesia, Konsep Kebijakan Pembangunan berdasarkan kepada Undang


Undang Dasar 1945. Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia telah masuk
pada amandemen UUD 45 yang keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Konsep
tersebut salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”.
Presiden Jokowi melalui acara World Culture Forum di Bali pada tanggal 10 – 14
Oktober 2016, yaitu Culture for An Inclusive Sustainable Planet, menyatakan
pemerintah Indonesia sepakat bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan
komitmen global yang harus bersama-sama diwujudkan dengan terus bekerja sama
dan saling bertukar pengalaman.
Dengan memahami konsep dan tujuan Pembangunan Berkelanjutan, diyakini
bahwa keberlangsungan hidup manusia dan kesejahteraan sosial, ekonomi dan
lingkungan masyarakat akan terus terjaga dalam kurun waktu yang lama dan
berkelanjutan.

III. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN SUSTAINABILITY


ACCOUNTING
KEMUNCULAN SUSTAINABILITY ACCOUNTING
Dalam Kemunculan sustainability accounting ini terdapat 10 tahapan atau fase
yang dimana dalam setiap fase menjelaskan hal penting oleh para ahli, yakni sebagai
berikut :
Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) merupakan seorang historian ekonom Amerika yang
memberikan inspirasi tentang kemunculan Sustainability Accounting. Dimana Bowen
mengawali karirnya di Universitu of Iowa, hingga keposisi the presiden of Grinnell
College, the University of Iowa. Dalam hal ini bowen memberikan kontribusi yakni
dengan publikasi bukunya yang berjudul Social Responsibility of Businessmen tahun
1953.

Secara kolektif buku tersebut akhirnya dijadikan landasan awal dalam


mendefinisikan tanggungjawab social bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan
tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (society
values). Konsep ini merontokkan paham ekonomi yang dengan pengorbanan sekecil-
kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar- besarnya. Nilai-nilai social dan
lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu belum sangat berarti
dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association (1971) mencatat
bahwasannya fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal, dan pendekatan
untuk memperkenalkan awal akuntansi social dan lingkungan. Dimana asosiasi ini
berpandangan bahwa Non-Financial Measures atau pengukuran non keuangan adalah
penting untuk efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Davis (1960) dalam hal ini memperkenalkan tulisannya tentang Can Business
Afford to Ignore its Social Responsibilities? Dimana Davis secara tajam berpandangan
bahwa tanggung jawab social harus dimiliki oleh organisasi. ”Business’ decisions and
actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s economic or technical
interest (davis,1960)”

Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggungjawab social


organisasi di luar tanggungjawab ekonomi semata. Argumen Davis menajdi sangat
relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggungjawab social
organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Dimana mereka
beranggapan bahwa tanggungjawab social hanya sebatas masyarakat dapat membeli
dengan harga yang telah diciptakan secara efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik
maka organisasi akan mendapatkan ekuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi
akan mampu melakukan tanggungjawab sosialnya, seperti :
1. Menciptakan lapangan pekerjaan
2. Memberikan kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak, serta
3. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Commite for Economic Development (CED) merupakan organisasi non- profit dan
non-partisipan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives dan
pemimpin universitas terkemuka membuat laporan dengan sangat fenomena pada
tahun 1971 yang berjudul Social Responsibilities of Business Corporations. Dimana
laporan tersebut menggunakan three concentric circles, yang dimana hal ini dapat
dipahami bahwa:

1. Inner circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terdalam)


2. Intermediate circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab
menengah)
3. Outer circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terluar)
Carroll (1979) juga menjelaskan tentang komponen-komponen tanggungjawab social
organisasi bisnis ke dalam 4 kategori, yakni :
1. Economic responsibilities, pada dasarnya tanggungjawab ekonomi merupakan
membangun organisasi bisnis
2. Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalam menjalankan bisnis yakni
dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku
3. Ethical responsibities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis
dan sesuai dengan norma moral masyarakat.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan
bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Perkembangan akuntansi social pada tahun 1970an juga mencatat adanya kebutuhan baru
dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan social dan lingkungan agar
aktivitas social dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh karena itu, peneliti
seperti Carroll (1979), Wartick dan Cochran (1985), dan Wood (1991) mengembangkan
konsep yang disebut dengan Corporate Social Performance (CSPP, yang didalamnya
mengandung 3 dimensi, yakni :
1. Dimensi kategori tanggungjawab social (ekonomi, hukum, etika, dan
discretionary)
2. Dimensi kemampuan memberikan respons (responsiveness)
3. Dimensi dalam isu social tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi
pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja dan pemegang saham )
Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang iron
law of responsibility yang menjadikan fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan
akuntansi social dan lingkungan. Argument-argumen yang dibangun Davis, menjadi cikal
bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya
konsep akuntansi social dan lingkungan di era 70an. Selain itu, konsepsi Davis, mengenai
iron law of responsibility menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi public
atas keberadaan suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu mengemabngkan
tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum dilaksanakan secara mandatory. Fase
inilah yang membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa persyaratan
detail tentang pelaporan akuntansi social dan lingkungan.
Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neoliberalisme
yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi
social dan lingkungan. Propoanda kedermawanan para pemiliki perusahaan besar mulai
mengatur strategi baru untuk ekstra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. para
pemehgang saham perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap
tanggungjawab social. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan
kinerja perusahaan- perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General
Motors dan Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadi skandal keuangan
antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang
corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak
ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia. Sekalipun masa
tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat, konsep dan kerangka
model akuntansi social dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada masa ini beberapa
konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially
Responsible Investing (SRI). Dimana SRI ini banyak digunakan oleh UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai
kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Achneiderman, yang
kemudian didesain ulang secara komprehesif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi
social dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance
Scorecard. Keempat perspektif sangat fenomenal tersebut adalah Financial, Customer,
Internal Business Processes, Learning And Growth. Pada awal tahun 1990an merupakan
booming model pelaporan akuntansi social dan lingkungan dengan memenafaatkan
konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan Eropa menggunakan
konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian organisasinya kepada
stakeholdernya.
Fase ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi social dan lingkungan
tidak diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi social dan lingkungan
hingga gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikan warna
yang berbeda terhadap metode accounting sustainabilitas. Metode tersebut yaitu
sustainable cost, natural capital inventory accounting, dan input-output analysis.

Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line


Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep “triple bottom line”. Konsep ini
memberikan inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensional yang “single
bottom line”, yaitu keuangan saja. Istilah ini menjadi penting saat people, planet dan
profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban social dan lingkungan.
Jika dirinci lebih lanjut mengenai ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek
ini dapat diwujudkan dalam kegiatan seperti :

1. Aspek Sosial, misalnya pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan


kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan
social, olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan, dan sebagainya.
2. Aspek Ekonomi, misalnya kewirausahaan, kelompok usaha bersama/ unit mikro
kecil dan menengah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur
ekonomi dan usaha produktif lain.
3. Aspek Lingkungan, misalnya penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air,
pelestarian alam, dan lain sebagainya.
Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran aspek spiritual yang implementasinya dibutuhkan
strategi tertentu. Adapun strategi yang dapat digunakan dalam implementasi akuntansi
social dan lingkungan yaitu penguatan kapasitas (capacity building), Kemitraan
(collaboration) dan penerapan inovasi.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang bersamaan denganElkington (1997), NGO CERES (Coalition for
Environmentally Responsible Economies) dan the United Nations Environment
Programmes (UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), oraganisasi
independen yang membangun standard Sustainability Reporting. GRI
mengidentifikasikan 6 extra—indikator keuangan: aspek kemasyarakatan, ekonomi,
lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab produk.

Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi


Akuntansi telah memasuki fenomena baru ‘Beyond Materiality” (2008). Akhir
tahun 2000, jurusan akuntansi fakultas ekonomi universitas brawijaya memperkenalkan
pemahaman akuntansi tidak hanya sebatas pada angka moneter dan tabel jurnal transaksi
ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas dan metafisika. Spiritualitas
dipahami bahwa setiap individu dan organisasi mempunyai tanggungjawab membangun
peristiwa-peristiwa ekonomi, social, dan lingkungan dalam organisasinya yang
direlasikan dengan ‘holy spirit’ yang merupakan bentuk berbasis religiusitas dan
universilalitas. Sosio-Spiritualitas akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan
holy spirit dalam mengkreasikan dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap
peristiwa- peristiwa ekonomi, social dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.

Penutup

CSR merupakan kewajiban mutlak perusahaan sebagai suatu bentuk tanggung


jawabsosial perusahaan berupa kepedulian dan perhatian pada komunitas sekitarnya.
Pandangan perusahaan terhadap kewajiban tersebut berbeda-beda. Mulai dari anggapan
sekedar basa- basi atau suatu keterpaksaan, hanya untuk pemenuhan kewajiban, hingga
pelaksanaan berdasarkan asas kesukarelaan. Bentuk-bentuk CSR yang dapat dilakukan
oleh perusahaan dapat diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan yang
penerapannya harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat penerima CSR.

CSR memberikan manfaat yang sangat besar dalam menyejarterakan masyarakat


danmelestarikan lingkungan sekitarnya, serta bentuk investasi bagi perusahaan
pelakunya.Investasi bagi perusahaan dapat berupa jaminan keberlanjutan operasi
perusahaan dan pembentukan citra positif perusahaan. Manfaat ini dapat diperoleh
apabila perusahaanmenerapkan CSR atas dasar kesukarelaan, sehingga akan timbul
hubungan timbal balikantara pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar. Masyarakat
akan secara sukarelamembela keberlanjutan perusahaan tersebut dan memberikan
persepsi yang baik pada perusahaan. Dengan begitu citra positif perusahaan akan
terbentuk dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesian Institute for Sustainable Mining (IISM), Web. 2017. Sejarah dan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan Sebagai Tujuan Sosial dan Prinsip Dasar
Pembangunan Berkelanjutan. Dikutip pada https://iism.or.id/2017/12/28/sejarah-
dan-konsep-pembangunan-berkelanjutan- sebagai-tujuan-sosial-dan-prinsip-dasar-
pembangunan-berkelanjutan/. Diakses pada tanggal 20 Februari 2021.

Hardi, Jhon. 2016. RINGKASAN SEJARAH CSR DUNIA KE


INDONESIA. http://jhonhardi.com/ringkasan-sejarah-csr-dunia-ke-
indonesia/ (diakses pada 22 Februari 2021)

Anda mungkin juga menyukai