Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

EtikaBisnis
Disusun oleh :
SALLIMA SHOFWAN FADILA
112110555
MA 21 CB 01

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat berkembang semakin kompleks. Sasaran, bidang garapan dan


intervensi pekerjaan social juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi telah
membuka kesempatan bagi pekerja social untuk terlibat dalam bidang yang relative
baru, yakni dunia industry. Dunia industry kini sedang menggali manfaat- manfaat
positif dari adanya pekerja social industry, baik terhadap aspek financial ataupun
relasi social dengan para pekerja dan masyarakat.

Ide mengenai Tanggunjawab Sosial Perusahaan ( TSP ) atau yang dikenal


dengan Corporate Social Responbility (CSR) kini semakin diterima secara luas.
Kelompok yang mendukung wacana TSP berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat
dipisahkan dari para individu yang terlibat didalamnya, yakni pemilik dan
karyawannya. Namun mereka tidak boleh hanya memikirkan keuntungan
finansialnya saja, melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap
publik.

Semakin besar suatu organisasi, maka semakin besar pula tuntutan masyarakat
terhadap organisasi tersebut. Banyak lembaga bisnis yang menggunakan segala cara
untuk memenangkan persaingan oleh karena itu, diharapkan manajer dapat
menjalankan bisnis yang memenuhi syarat dalam etika bisnis, baik secara moral
maupun norma masyarakat. Organisasi sebagai suatu system juga diharapkan dapat
memiliki tanggung jawab social terhadap masyarakat.

Berita yang menggembirakan dari kalangan dunia usaha dewasa ini adalah
semakin banyaknya jumlah organisasi yang menciptakan jabatan-jabatan baru yang
berkaitan dengan lingkungan dalam jajaran pimpinan puncak mereka. Yang menjadi
pusat perhatian para pimpinan tersebut adalah segala kegiatan perusahaan, dari

2
program daur ulang yang dilakukan sampai ke kebijaksanaan jangka panjang
perusahaan terhadap lingkungan. Ini semua menuntut keterampilan dari manajer
ditambah kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai macam isu tentang
peraturan dan hal-hal teknis yang berkaitan dengan lingkungan. Kemampuan
melakukan diplomasi juga akan sangat membantu karena mereka juga berbicara atas
nama lingkungan alam, dan rakyat, dalam berbagai forum eksekutif. Pada perusahaan
DuPont, misalnya, setiap tahun dilakukan penilaian terhadap para line manajer
tentang seberapa baik mereka mengelola tanggung jawab yang berkaitan dengan
lingkungan.

Secara lebih teoritis dan sistematis, konsep Piramida Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang dikembangakan oleh Archie B Carrol memberi justify logis
mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan TSP bagi masyarakat di sekitarnya.
Sebuah perusahaan tidak hanya memiliki tangungjawab ekonomis, melainkan pula
tanggungjawab legal, etis dan filantropis

Berdasarkan hal tersebut, maka saya tertarik untuk membuat makalah ini yang
akan membahas mengenai pengenalan tentang gambaran CSR secara umum hingga
sampai kepada perencanaan CSR yang tepat dalam pengaplikasiannya..

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana sejarah perkembangan CSR ?


b. Bagaimana Definisi tanggungjawab sosial perusahaan ?
1. Konsep tanggung jawab dalam makna responsibility
2. Konsep tanggung jawab dalam makna liability
c. Bagaimana Motif Tanggungjawab Sosial ?
d. Bagaimana Model Tanggungjawab Sosial Perusahaan ?
e. Bagaimana Comdev dan Pemberdayaan Masyarakat ?

3
f. Bagaimana Peraturan Perundangan CSR ?
g. Bagaimana perencanaan CSR yang baik ?
h. Bagaimana implementasi CSR oleh Perusahaan ?

C. Tujuan

a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan CSR


b. Untuk mengetahui Definisi tanggungjawab sosial perusahaan
c. Untuk mengetahui Motif Tanggungjawab Sosial
d. Untuk mengetahui Model Tanggungjawab Sosial Perusahaan
e. Untuk mengetahui Comdev dan Pemberdayaan Masyarakat
f. Untuk mengetahui Peraturan Perundangan CSR
g. Untuk mengetahui bagaiman perencanaan CSR yang baik
h. Untuk mengetahui implementasi CSR oleh Perusahaan

D. Manfaat

Dalam mempelajari makalah ini kita bisa memperoleh manfaat tantang


gambaran umum dari CSR yang seringkita dengar selama ini, kemudian kita juga
akan mengetahui perencanaan program CSR yang tepat untuk bisa lebih kritis dalam
menanggapi pelaksanaan CSR dilapangan serta mengetahui bagaimana cara
mengelolah CSR yang baik dan benar dengan mengenal beberapa hal-hal penting
yang terkandung dalam CSR

4
BAB I

PPEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan Corporate Social Responcibility

1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an

Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada yang dapat
memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di dalam
banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang berjudul
Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada tahun 1953 merupakan
tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen memberikan definisi
awal dari CSR sebagai “it refers to the obligations of the businessmen to pursue those
policies, to make those decisions, or to follow those lines of actions which are
desirable in terms of the objectives and values of our society”.

Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi
landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan
bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.

Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu
diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut
pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua, judul
buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya menyebutkan
businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku bisnis di Amerika
masih didominasi oleh kaum lelaki. Walaupun judul dan isi buku Bowen ini masih
bias gender namun Universitas Sumatera Utara sejak penerbitan buku Bowen ini,
memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit sesudahnya
sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak CSR.

5
Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk
memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada
masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung jawab
sosial perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial sebagai,
“businessmen’s decision and actions taken for reasons at least partially beyond the
firm’s direct economic and technical interest”. Melalui definisi tersebut, Davis
menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab
ekonomi semata-mata. Argumen Davis menjadi sangat relevan karena pada masa
tersebut, pandangan mengenai tangung jawab sosial perusahaan masih sangat
didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, ekonom klasik
memandang para pelaku bisnis memiliki tanggung jawab sosial apabila mereka
berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki perusahaan seefisien mungkin
untuk menghasilkan barangdan jasa yang dibutukan oleh masyarakat pada kisaran
harga yang dapat terjangkau oleh masayarakat konsumen, sehingga masyarakat
bersedia untuk membayar harga barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan dengan
baik, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan maksimum sehingga
perusahaan bisa melanjutkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat (yakni
menghasilkan barang pada tingkat harga yang rasional, menciptakan lapangan kerja,
memberikan keuntungan bagi faktor-faktor produksi, serta memberi kontribusi pada
pemerintah melalui pembayaran pajak).

Pada saat itu, konsep ini telah mengakibatkan sebagian orang yang terlibat
dalam aktivitas bisnis maupun para teoritis ekonomi klasik menarik kesimpulan
bahwa satu-satunya tujuan perusahaan adalah meraih laba semaksimal mungkin, serta
menjalankan operasi perusahaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang
berlaku. Setelah itu Davis memperkuat argumennya dan ia berhasil memberikan
pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis
menegaskan adanya “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan “social
responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social

6
power…..then the avoidance of social responsibility leads to gradual erosion of social
power.” Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial para pelaku bisnis akan
sejalan dengan kekuasaan sosial yang mereka miliki…..oleh karenanaya bila pelaku
usaha mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka hal ini bisa mengakibatkan
merosotnya kekuatan sosial perusahaan.

Argumenargumen yang dibangun oleh Davis menjadi cikal bakal bagi


identifikasikewajiban perusahaan yang akan mendorong munculnya konsep CSR di
era tahun 1970-an. Selain itu konsepsi Davis mengenai “Iron Law of Responsibility”
menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu
perusahaan.

Berkembangnya konsep tanggung jawab sosial di era tahun 1950-1960 tidak


terlepas dari pemikiran para pemimpin perusahaan yang pada saat itu menjalankan
usaha mereka dengan mengindahkan prinsip derma (charity principle) dan prinsip
perwalian (stewardship principle). Prinsip derma yang dimaksud di sini adalah para
pelaku bisnis telah melakukan berbagai aktivias pemberian derma (charity) yang
sebagai besar berasal dari kesadaran pribadi kepemimpinan perusahaan untuk berbuat
sesuatu kepada masyarakat. Semangat berbuat baik kepada sesama manusia antara
lain dipicu oleh nilai-nilai spiritual yang dimiliki para pemimpin perusahaan kala itu.
Nilai-nilai tersebut, mendorong sebagian pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan
filantropis di antaranya dalam bentuk derma atau sedekah.

Sedangkan prinsip perwalian yaitu bahwa perusahaan merupakan wali yang


dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola berbagai sumber daya. Oleh karena itu,
perusahaan harus mempertimbangkan dengan seksama berbagai kepentingan dari
para pemangku kepentingan yang dikenai dampak keputusan dan praktik operasi
perusahaan. Berdasarkan prinsip perwalian, perusahan diharapkan untuk melakukan
aktivias yang baik, tidak hanya untuk perusahaan tetapi juga untuk lingkungan
sekitarnya

7
2. Perkembangan Konsep CSR Periode Tahun 1970-1980-an

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan


Social Responsibilities of Business Corporations.Penerbitan yang dapat dianggap
sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan
usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran


konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggung jawab dasar dari korporasi untuk
penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan
pertumbuhan). Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk
lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan
kebijakan mana yang akan diambil. Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab
yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi
dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam


artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi
memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social
obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social
obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan
pertimbanganpertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligation hanya
menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan
perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum
saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja
yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsiveness merupakan perilaku
korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat.
Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif.

8
Kedua, perusahaan yang melaksanankan program CSR pada periode 1970-
1980 mulai mencari model CSR yang dapat mengukur dampak pelaksanaan CSR
oleh perusahaan terhadap masyarakat serta sejauh mana pelaksanaan CSR sebagai
suatu investasi sosial memberikan Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa
social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social
responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social
performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris
yang dipaparkan oleh CED.

Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan


konsep CSR pada era tahun 1970-1980-an. Pertama, periode awal tahun 1970-an
merupakan periode berkembangnya pemikiran mengenai manajemen para pemangku
kepentingan. Hasil-hasil penelitian empiris menunjukkan perlunya perusahaan untuk
memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dalam keputusan-keputusan
perusahaan yang akan memberikan dampak terhadap para pemangku kepentingan.
Kontribusi bagi peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Kebutuhan ini telah
mendorong lahirnya konsep corporate social performance Ketiga, periode tahun
1980-an merupakan periode tumbuh dan berkembangnya perusahaan multinasional
(multinational corporationMNC). Para MNC beroperasi di berbagai negara yang
memiliki kekuatan hukum dan undang-undang yang berbeda dengan hukum dan
undangundang di negara asal perusahaan MNC.sebagai penyempurnaan atau konsep
CSR sebelumnya.

3. Perkembangan Konsep CSR di Era Tahun 1990-an sampai Saat Ini

Tahun 1987, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on


Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our
Common Future – juga dikenal sebagai The Brundtland Report Commission untuk
menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan
tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya

9
bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada
isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerja sama multilateral dalam rangka
melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut The
Brutland Commisssion yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan
(sustainability development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
Corporate Social Performance adalah suatu konfigurasi prinsip-prinsip tanggung
jawab sosial, proses social responsiveness serta berbagai kebijakan, program, dan
hasil-hasil yang bisa diobservasi sebagai hasil dari hubungan sosial yang dilakukan
perusahaan.

Manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang
dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pengenalan konsep sustainability development
memberi dampak besar kepada perkembangan konsep CSR selanjutnya. Beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an sampai
saat ini ialah diperkenalkannya konsep sustainable development yang mendorong
munculnya sustainability report dengan menggunakan metode triple bottom line yang
dikembangkan oleh Elkington maupun GRI. Perkembangan CSR saat ini juga
dipengaruhi oleh perubahaan orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela
untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi
dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang
memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang.
Kotler dan Lee menyebutkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan
melalui pelaksanaan CSR yang bersifat yang strategis ini, seperti peningkatan
penjualan dan market share, memperkuat brand positioning, meningkatkan citra
perusahaan, menurunkan biaya operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan di
mata para investor dan analis keuangan.

10
B. Definisi Tanggungjawab Sosial Perusahaan
1. Defenisi Corporate Social Responsibility Menurut para ahli
Defenisi CSR menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang
menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan
manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur
(procedure) yang tepat dan profesional”.
Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk
tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”.
CSR menurut Merrick Dodd menyatakan, bahwa CSR adalah “suatu
pengertian terhadap para buruh, konsumen dan masyarakat pada umumnya dihormati
sebagai sikap yang pantas untuk diadopsi oleh pelaku bisnis….”.
Saleem Sheikh menjelaskan bahwa “CSR merupakan tanggung jawab
perusahaan, apakah bersifat sukarela atau berdasarkan undang-undang, dalam
pelaksanaan kewajiban sosial-ekonomi di masyarakat”.
Ramon Mullerat menggambarkan CSR sebagai konsep bahwa perusahaan
secara sukarela sebagai penghargaan kepada stakeholders yang lebih luas
memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup lebih bersih, kehidupan
masyarakat lebih baik melalui interaksi aktif dengan semua pihak. S. Zadek, M.
Fostater dan P. Raynard membagi CSR ke dalam 3 (tiga) generasi yakni mulai dari
yang sifatnya sekedar filantropis, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
strategi bersaing jangka panjang perusahaa, serta yang terakhir yang lebih maju lagi,
yakni yang berorientasi pada advokasi dan kebijakan public.
Menurut defenisi The Jakarta Consulting Group, CSR diarahkan baik ke
dalam (internal) maupun keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung jawab internal
(Internal Responsibilities) diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk
profitabilitas yang optimal dan pertumbuhan perusahaan, termasuk juga tanggung
jawab yang diarahkan kepada karyawan terhadap kontribusi mereka kepada
perusahaan berupa kompensasi yang adil dan peluang pengembangan karir.

11
Sedangkan tanggung jawab eksternal (External Responsibilities)berkaitan dengan
peran serta perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja,
meningkatkan kesejahteraan dan kompetisi masyarakat, serta memelihara lingkungan
bagi kepentingan generasi mendatang
Magnan dan Ferrel juga memberikan defenisi CSR yaitu “A business acts in
socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse
stake holder interest.” Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan
perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai pihak stakeholders yang
beragam dalam setiap keputusan yang diambil oleh pelaku bisnis melalui perilaku
yang secara sosial bertanggung jawab.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga
keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to
contribute to sustainable economic development working with employees and their
representative the local community and society at large to improve quality of life, in
ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen
bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan
bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat
luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis
dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and
transparent business practices that are based on ethical values and respect for
employees, communities and environment..”(CSR berarti praktek bisnis yang terbuka
dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai,
komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi
tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR)mengemukakan
bahwa “CSR is a concept where by companies integrate social and environmental
concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders
on a voluntary basic.”(CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan
mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan

12
bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar
sukarela).
Defenisi CSR secara etimologis di Indonesia kerap diterjemahkan sebagai
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun setelah tanggal 16 Agustus
2007, CSR di Indonesia telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disingkat UUPT bahwa CSR yang
dikenal dalam undang-undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3
yang berbunyi, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Dari berbagai defenisi CSR yang beragam diungkapkan oleh para ilmuan
tersebut di atas, maka peneliti menyatakan konsep yang perlu dipahami tentang CSR
ini, yakni CSR menawarkan sebuah kesamaan dalam bentuk keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta
lingkungan. Selain itu, ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good
Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium
Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.
CSR adalah suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usah untuk bertindak
etis dan memberikan kontrinusi bagi perkembangan ekonomi dari komunitas
setempat ataupun masyarakat luas ,Bersama meningkatkan taraf hidup pekerja beserta
keluarganya dan masyarakat luas .WORLD BISNIS COUNCIL FOR SUSTAINEBEL
DEVELOPMEN ( WBCSD ) .
Schermerhorn (1993) memberi definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka
sendiri dalam melayanai kepentingan organisasi dan kepentingan public eksternal.

13
Secara konseptual, TSP adalah pendekatan dimana perusahaan
mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka
dengan para pemangku kepentingan ( stakeholders ) berdasarkan prinsip kesukarelaan
dan kemitraan. ( Nuryana, 2005 ). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan
yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan
identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan( corporate social
Investment/investing), pemberian perusahaan ( Corporate Giving), kedermawanan
Perusahaan ( Corporate Philantropy ).
Secara teoretis, berbicara mengenai tanggung jawab yang harus dilaksanakan
oleh perusahaan, maka setidaknya akan menyinggung 2 makna, yakni tanggung
jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis, dan tanggung
jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau hukum.

2. Konsep Tanggung Jawab dalam Makna Responsibility

Burhanuddin Salam, dalam bukunya “Etika Sosial”, memberikan pengertian


bahwa responsibility is having the character of a free moral agent; capable of
determining one’s acts; capable deterred by consideration of sanction or
consequences. (Tanggung jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral;
mampu menentukan tindakan seseorang; mampu ditentukan oleh sanki/hukuman atau
konsekuensi). Setidaknya dari pengertian tersebut, dapat kita ambil 2 kesimpulan :
a)harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan; dan b)harus ada
kesanggupan untuk memikul resiko atas suatu perbuatan. Kemudian, kata tanggung
jawab sendiri memiliki 3 unsur : 1)Kesadaran (awareness). Berarti tahu, mengetahui,
mengenal. Dengan kata lain, seseorang(baca : perusahaan) baru dapat dimintai
pertanggungjawaban, bila yang bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya;
2)Kecintaan atau kesukaan (affiction). Berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan,
kerelaan dan kesediaan berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila
tidak ada kesadaran berarti rasa kecintaan tersebut tidak akan muncul. Jadi cinta
timbul atas dasar kesadaran, atas kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab;

14
3)Keberanian (bravery). Berarti suatu rasa yang didorong oleh rasa keikhlasan, tidak
ragu-ragu dan tidak takut dengan segala rintangan. Jadi pada prinsipnya tanggung
jawab dalam arti responsibility lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus
atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan atau
konsekuensi apapun dari perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata
lain responsibility merupakan tanggung jawab dalam arti sempit yaitu tanggung yang
hanya disertai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman sebagian
pelaku dan atau perusahaan terhadap CSR hanya sebatas tanggung jawab moral yang
mereka wujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity.

3. Konsep Tanggung Jawab dalam Makna Liability

Berbicara tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara tanggung


jawab dalam ranah hukum, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab
keperdataan. Dalam hukum keperdataan, prinsip-prinsip tanggung jawab dapat
dibedakan sebagai berikut : 1)Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsure
kesalahan (liability based on fault); 2)Prinsip tanggung jawab berdasarkan
praduga(presumption of liability); 3)Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability
or strict liability). Selain ketiga hal tersebut, masih ada lagi khusus dalam gugatan
keperdataan yang berkaitan dengan hukum lingkungan ada beberapa teori tanggung
jawab lainnya yang dapat dijadikan acuan, yakni : 1)Market share liability; 2)Risk
contribution; 3)Concert of action; 4)Alternative liability; 5)Enterprise liability.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan perbedaan antara tanggung jawab
dalam makna responsibility dengan tanggung jawab dalam makna liability pada
hakekatnya hanya terletak pada sumber pengaturannya. Jika tanggung jawab itu
belum ada pengaturannya secara eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk
dalam makna responsibility, dan sebaliknya, jika tanggung jawab itu telah diatur di
dalam norma hukum, maka termasuk dalam makna liability
Munculnya Konsep TSP didorong oleh terjadinya Kecenderungan pada
masyarakat industri yang dapat disingkat dengan fenomena DEAF (yang dalam

15
bahasa inggris berarti Tuli), sebuah akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi,
Aquariumisasi, dan Feminisasi ( Suharto, 2005)

1. Dehumanisas industry. Efisien dan mekanisasi yang semakin menguat di


dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi
kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar
perusahaan. “Merger mania” dan perampingan perusahaan telah
menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran,
ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan
kerusakan lingkungan yang hebat.
2. Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya
untuk meminta pertanggungjawaban perusahaaan atas berbagai masalah sosial
yang sering kali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini
semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja
dalam proses produksi, melainkan pula dalam kaitannya dengan
kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang
ditimbulkannya.
3. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja ini semakin transparan dan
terbuka laksana sebuah akuarium .Perusahaan yang hanya memburu rente
ekonomi dan cenderung mengabaikan hokum, prinsip, etis,dan, filantropis
tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus,
masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.
4. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin
menuntut dunia perusahaan, bukan saja terhadap lingkungan internal
organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, kesehatan dan
keselamatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial,
seperti penelantaran anak, kenakalan remaja akibat berkurangnya kehadiran
ibu-ibu dirumah dan tentunya dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial
seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan

16
kesehatan bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi
bagi remaja bisa merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini.

C. Motif Tanggungjawab Sosial


Sebagaimana dinyatakan Porter dan Kramer (2002) diatas, Pendapat yang
menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial adalah terpisah dan bertentangan
adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari
masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu Piramida Tanggungjawab Sosial Perusahaan
yang dikemukakan oleh Archie B. Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Karenanya secara konseptual, TSP merupakan Keedulian perusahaan yang didasari 3
prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines yaiu, 3P :
1. Profit, perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People, Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti
pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana
pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan
ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi
warga setempat
3. Plannet, Perusahaan peduli terhadap lingkunga hidup dan berkelanjutan
keragaman hayati. Beberapa program TSP yan berpijak pada prinsip ini
biasanay berupa penghijaunan lingkungan hidup, penyediaan sarana air
bersih, perbaikan permukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme ) dll.
Secara Tradisional, para teoritisi maupun pelaku bisnis memiliki interprestasi
yang keliru mengenai keuntungan ekonomi perusahaan. Pada umumnya mereka
berpendapat mencari laba adalah hal yang harus diutamakan dalam perusahaan.
Diluar mencari laba hanya akan menggangu efisiensi dan efektifitas perusahaan.
Karena seperti yang dinyatakan Milton Friedman, Tanggungjawab Sosial Perusahaan

17
tiada lain dan harus merupakan usaha mencari laba itu sendiri ( Saidi dan Abidan
(2004:60)
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability development) dapat juga berarti
menjaga pertumbuhan jumlah penduduk yang tetap sepadan dengan kapasitas
produksi sesuai dengan daya dukung lingkungan. Dengan demikian pembangunan
berkelanjutan merupakan integrasi dari cita ideal untuk memenuhi kebutuhan
generasi kini secara merata (intra-generational equity), hal ini menentukan tujuan
pembangunan, dan memenuhi kebutuhan generasi kini dan generasi mendatang
secara adil (inter-generational equity) menentukan tujuan kesinambungan.
Pembangunan berkelanjutan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan
antara jumlah penduduk dan kemampuan produksi sesuai daya dukung lingkungan
mengindikasikan adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan dan persyaratan keseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan untuk
mencapai kondisi kesinambungan yang akan berubah sesuai situasi dan kondisi serta
waktu. Pada intinya pembangunan berkelanjutan memiliki dua unsur pokok yaitu
kebutuhan yang wajib dipenuhi terutama bagi kaum miskin, dan kedua adanya
keterbatasan sumber daya dan teknologi serta kemampuan organisasi sosial dalam
memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa
mendatang. Untuk itu Komisi Brandtland memberikan usulan penting dalam
pembangunan berkelanjutan yaitu adanya keterpaduan konsep politik untuk
melakukan perubahan yang mencakup berbagai masalah baik sosial, ekonomi
maupun lingkungan. Pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan karena dorongan
berbagai hal, salah satunya adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
pelaksanaan pembangunan. Pengalaman negara maju dan negara berkembang
menunjukkan bahwa pembangunan selain mendorong kemajuan juga menyebabkan
kemunduran karena dapat mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak
lagi dapat mendukung pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik
apabila didukung oleh lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.

18
Penerapan TSP di Indonesia semakin meningkat, baik dalam kuantitas
maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi,
dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnaya semakin besar. Penelitian PIRAC pada
tahun 2001 menunjukkan bahwa Dana TSP di Indonesia mencapai lebih dari 115
miliar rupiah atau sekitar 11,5 juta dolar AS dari 180 Perusahaan yang dibelanjakan
untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media masa. Meskipun dana ini masih
sangat kecil jika dibandingkan dengan dana TSP di Amerika Serikat, dilihat dari
angka kumulaitif tersebut, perkembangan TSP di Indonesia cukup menggembirakan.
Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiatan TSP adalah
sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Sebagai perbandingan, di
AS porsi sumbangan dana TSP pada atahun 1998 mencapai 21,51 miliar dollar dan
tahun 2000 mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2.030 triliun rupiah ( Saidi dan
Abidin, 2004:64).
Apa yang memotivasi perusahaan melakukan TSP ?
Saidi dan Abidin ( 2004:69) membuat matriks yang menggambarkan tiga
tahap atau paradigma yang berbeda, diantaranya :
1. Corporate Charity, yakni dorongan amal berdasarakan motivasi keagamaan.
2. Corporate Philanthropy,yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya
bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan
memperjuangkan kemerataan sosial.
3. Corporate Citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan
social berdasarkan prinsip keterlibatan social.
Jika dipetakan, tampaklah bahwa spectrum paradigm ini terentang dari
“sekedar menjalankan kewajiban” hingga “ demi kepentingan bersama “ atau
dari “ membantu dan beramal kepada sesama” menjadi “memberdayakan
manusia”. Meskipun tidak selalu berlaku otomatis, pada umumnya perusahaan
melakukan TSP didorong oleh motivasi Karitatif kemudian kemanusiaan dan
akhirnya kewargaan.

19
Tahapan/Paradigma
Motivasi
Karitatif Filantropis Kewargaan
Semangat/Prinsip Agama, Norma, etika, dan Pencerahan diri
Tradisi, Adat hukum universal: dan rekonsiliasi
redistribusi kekayaan dengan
ketertiban sosial
Misi Mengatasi Menolong sesama Mencari dan
masalah mengatai akar
sesaat/saat itu masalah :
memberikan
kotribusi kepada
masyarakat
Pengelolaan Jangka Pendek Terencana,terorganisasi, Terinternalisasi
dan Parsial dan terprogram dalam kebijakan
perusahaan
Pengorganisasian Kepanitiaan Yayasan/ dana abadi Professional :
keterlibatan
tenaga-tenaga
ahli didalamnya
Penerima Manfaat Orang Miskin Masyarakat Luas Masyarakat luas
dan perusahaan
Kontibusi Hibah sosial Hibah pembangunan Hibah sosial
maupun
pembangunan
dan keterlibatan
sosial
Inspirasi Kewajiban Kemanusiaan Kepntingan
bersama
Sumber : Dikembangkan dari Saidi dan Abidin (2004:69)

20
D. Model Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Menurut Saidi dan Abidin ( 2004:64-65) ada empat model pola TSP di
Indonesia :
1. Keterlibatan langsung, Perusahaan menjalankan program TSP secara
langsung dengan menyelengarakan sendiri kegaiatn social atau
menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, Perusahaan mendirikan
yayasan sendiri dibawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupaka
adopsi dari model yang lazm diterapkan di perusahaan-perusahaan di
negara maju.
3. Bermitra dengan pihak lain, Perusahaan menyelenggarakan TSP melalui
kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasinn pemerintah (Ornop),
Instansi Pemerintah, Universitas atau media masa, baik dalam mengelola
dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu Konsorsium, perusahaan turut
mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga social yang
didirikan untuk tujuan social tertentu
Jenis kegiatan TSP berdasarkan jumlah kegiatan dan dana
No Jenis/Sektor Kegiatan Jumlah Kegiatan Jumlah Dana
. (rupiah)
1 Pelayanan Sosial 95 kegiatan(34,1 % ) 38 miliar (33,0 % )
2 Pendidikan dan Penelitian 71 kegiatan(25,4 % ) 66,8 miliar (57,9
%)
3 Kesehatan 46 kegiatan(16,4 % ) 4,4 miliar (3, 8% )
4 Kedaruratan (emergency) 30 kegiatan(10,8 % ) 2,9 miliar (2,5 % )
5 Lingkungan 15 kegiatan(5,4 % ) 395 juta (0,3 % )
6 Ekonomi Produktif 10 kegiatan(3,6 % ) 640 juta ( 0,6 % )
7 Seni, olahraga dan pariwisata 7 kegiatan(2,5 % ) 1 miliar ( 0,9 % )

21
8 Pembangunan 5 kegiatan(1,8 % ) 1,3 miliar (1,0 % )
prasarana,perumahan
9 Hokum, advokasi, politik 0 0
JUMLAH 279 Kegiatan 115,3 miliar

E. Comdev Dan Pemberdayaan Masyarakat


Sebagaimana dijelaskan dimuka, konsep TSP seringkali diidentikkan dengan
metoda Pengembangan Masyarakat ( Community Develompment ) yang akhir-akhir
ini banyak diterapkan oleh Perusahaan dengan istilah Comdev. Dilihat dari motivasi
dan paradigm TSP diatas, maka sesungguhnya Pendekatan Comdev merupaka salah
satu bentuk TSP yang lebih banyak didorong oleh motivasi kewargaan, meskipun
pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi filantropis.sebagai ilustrasi,
Comdev berangkat dari pendayagunaan hibah pembangunan yang dicirikan oleh
adanya langkah proaktif beberapa pihak dan kemampuan mereka dalam mengelola
program dalam merespon kebutuhan masyarakat disuatu tempat. Hibah pembangunan
merujuk pada bantuan selektif pada satu lembaga nirlaba yang menjalankan satu
kegiatan yang sejalan dengan pemberi bantuan yang dalam hal ini adalah perusahaan.
Sedangkan kegiatan-kegiatan amal atau karitatif yang bergaya sinterklas, lebih
banyak didorong oleh motivasi karitatif dan pendayagunaan hibah sosial. Hibah
Sosial adalah bantuan kepada suatu lembaga sosial guna menjalankan kegiatan-
kegiatan sosial, pendidikan, sedekah, atau kegiatan untuk kemaslahatan umat dnegan
hak pengelolaaan hibah sepenuhnya pada penerima. Saidi dan Abidin ( 2004:61).
Kalau ditelaah secara seksama, maka tujuan utama pendekatan Comdev
adalah bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada si penerima.
Melainkan berusaha agar si penerima memiliki kemamuan atau kapasitas untuk
mampu menolong dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev adalah
Pemberdayaan Masyarakat. Oleh karena itu kegiatan Comdev biasanya diarahkan

22
pada proses pemerkuasaan, peningktan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para
penerima pelayanan.
Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana
dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui
program peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang
beruntung(disadvantaged groups ) agar mereka memiliki kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan, melakukan pilihan-pilihan
hidup, melaksanakan kegiatan ekonomi, menjangaku dan memobilisai sumber, serta
berpartisipasi dalam kegiatan social.
Meskipun pemberdayaan masyarakat dpat dilakukan terhadap semua
kelompok atau kelas masyarakat, namun pada umumnya pemerdayaan dilakukan
terhadap kelompok masyarakat yang dianggap lemah atau kurang berdaya yang
memiliki karakteristik lemah atau rentan dalam aspek :
1. Fisik : Orang dengan kecatatan dan kemampuan khusus.
2. Psikologis : Orang yang mengalami masalah personal dan penyesuaian
diri.
3. Finansial : Orang yang tidak memiliki Pekerjaan, pendapatan, modal, dan
asset yang mampu menopang kehidupannya.
4. Struktural : Orang yang mengalami diskriminasi dikarenakan status
sosialnya, gender, etnis,orientasi sosial, dan pilihan politiknya.
Selanjutnya, melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha,
perluasan akses terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses
pemberdayaan diarahkan agar kelompok lemah tersebut mimiliki kemampuan atau
keberdayaan. Keberdayaan disini bukan saja dalam arti fisik atau ekonomi, melainkan
pula dalam arti psikologis dan sosial, seperti :
1. Memiliki sumber pendapatan yang dapat menopang kebutuhan diri dan
keluarganya.

23
2. Mampu mengemukakan gagasan didalam keluarga mauoun didepan
umum.
3. Memiliki mobilitas yang cukup luas : pergi keluar rumah atau wilayah
tempat tinggalnya.
4. Berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
5. Mampu membuat keputusan dan menentukan pilihan-pilihan hidupnya.

Proses Pemberdayaan Masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa tahapan :


1. Menentukan populasi atau kelompok sasaran
2. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kelompok sasaran
3. Merancang program kegiatan dan cara-cara pelaksanaannya
4. Menentukan sumber pendanaan
5. Menentukan dan mengajak pihak-pihak yang akan dilibatkan
6. Melaksakan kegiatan atau mengimplementasiakan program
7. Dan, memonitor dan mengevaluasi kegiatan.
Kegiatan-kegiatan pemberdayaan biasanya dilakukan secara berkelompok dan
terorganisir dengan melibatkan beberapa strategi seperti pendidikan dan pelatihan
keterampilan hidup ( life skills ), ekonomi produktif, perawatan social, penyadaran
dan pengubahan sikap dan perilaku, advokasi, pendampingan dan pembelaan hak-hak
klien, aksi sosial, sosialisasi,kampanye, demonstasi,kolaborasi, kontes, atau
pengubahan kebijakan publik agar lebih responsive terhadap kebutuhan kelompok
sasaran.
Berbeda dengan kegiatan Bantuan Sosial karitatif yang dicirikan oleh adanya
hubungan “ patron-klien “ yang tidak seimbang, maka pemberdayaan masyarakat
dalam program Comdev didasari oleh pendekatan yang partisipatoris, humanis,
emansipatoris yang berpijak pada beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Bekerja bersama berperan setara.

24
2. Membantu rakyat agar mereka bisa membantu dirinya sendiri dan orang
lain.
3. Pemberdayaan bukan kegiatan satu malam.
4. Kegiatan diarahkan bukan saja untuk mendapat satu hasil, melainkan juga
agar menguasai prosesnya.
Agar berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas
lokal, melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kegiatan
sosial.

F. Peraturan Perundangan Csr


Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang
membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial
yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO
26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.
Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung
jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1)mengembangkan suatu
konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2)
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah
berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat
internasional.

Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli


yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara

25
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan
mencakup 7 isu pokok yaitu:

1. Pengembangan Masyarakat

2. Konsumen

3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat

4. Lingkungan

5. Ketenagakerjaan

6. Hak asasi manusia

7. Organizational Governance (governance organisasi)

ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab


suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap
masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:

Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan


masyarakat; Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; Sesuai hukum yang
berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional; Terintegrasi di seluruh
aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun
jasa.

Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility


hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu
pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu
tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan,
namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan

26
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu,
maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya
belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.

G. Perencanaan program CSR

Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan


melakukan program CSR, menurut Wibisono (2008), setidaknya terdapat empat
tahap, diantaranya:

1. Tahap perencanaan

Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR


Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah awal
untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen manajemen,
Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya, diskusi kelompok,
dan lain-lain.

CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan


mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan
langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif
bagi penerapan CSR secara efektif.

Langkah selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment


merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya yang
mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi atau
menggunakan tenaga ahli.

Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau


petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR
dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu

27
memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen
perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efesien.

2. Tahap Implementasi

Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak
apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara
keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat yang
optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil. Oleh
karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah dirancang.

Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang harus
disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan, dan
bagaimana cara mealakukan impelementasi beserta alat apa yang diperlukan. Dalam
istlah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam:

 Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan

 Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas


atau pekerjaan yang harus dilakukannya.

 Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan


tindakan

 Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan

 Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana

 Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan

Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi,
pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada

28
komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan implementasi
CSR khsusnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif, upaya ini perlu
dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk untuk mengelola
program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu direktur atau CEO.
Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan diimplementasikan
mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam
perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat dialami oleh unit penyelenggara

Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan


pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan
internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk
memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya melalui
sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi, pemasaran dan
proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa penerapan CSR
bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan, bukan lagi sebagai
upaya untuk compliance tetapi sudah beyond compliance.

3. Tahap Evaluasi

Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi


program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari
waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR. Terkadang
ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal. Sedangkan jika
program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal evaluasi harus
tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal. Bahkan kegagalan
atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut dievaluasi.

Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi


dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk
menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspek-aspek tertentu
dari program yang telah diimplementasikan.

29
4. Pelaporan

Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk


keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk keperluan
shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan.

H. Implementasi CSR Oleh Perusahaan


Di Indonesia sekarang ini, sudah banyak perusahaan-perusahaan besar yang
melaksanakan program CSR. Bentuknya pun sangat beragam dan manfaatnya bisa
diterapkan di semua kalangan. Pada tulisan ini kami akan menampilkan berbagai
macam perusahaan yang melaksanakan program CSR sebagai bentuk Social
Investment serta bentuk-bentuk nyata disertai contohnya.
1. PT Jababeka Infrastruktur
Program CSR yang dijalankan oleh pihak Jababeka adalah mencakup :
Program pemberdayaan ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, Pengembangan
kebudayaan, dan Kepedulian terhadap lingkungan.
a. Pemberdayaan ekonomi : Memberikan pelatihan keterampilan seperti usaha
jahit dan ternak sapi. Kemudian memberikan dana bantuan juga sebagai modal
awal bagi masyarakat di sekitar.
b. Kesehatan : Memberikan pelayanan pemeriksaan gratis dan pembagian obat-
obatan secara Cuma-Cuma. Jababeka juga menyediakan edukasi kesehatan
bagi siswa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
c. Pendidikan : Menyediakan beasiswa bagi anak SD, SMP, dan SMA. Kemudian
memberikan bantuan peralatan kepada pihak sekolah. Serta mengadakan
perlombaan yang sifatnya edukatif.
d. Pengembangan kebudayaan : Memberikan bantuan sumbangan untuk
pembangunan masjid, perbaikan jalan, serta mengadakan event-event
pagelaran budaya bagi masyarakat.

30
e. Lingkungan : Mengelola limbah B3 dengan baik, membangun kolam renang
yang asri, menanam pohon sebagai penghijauan, dan Membangun Jababeka
Botanical Garden yang luasnya mencapai 100 Ha.

2. PT Unilever Indonesia, Tbk


Unilever melaksanakan program CSR yang beragam pula, diantaranya : Green
and Clean dengan memanfaatkan bekas kantong produk Unilever menjadi
bentuk baru yang bermanfaat; Pemberdayaan petani kedelai hitam; Program
kesehatan dengan adanya pemeriksaan kesehatan gratis, periksa gigi gratis,
serta membangun kader-kader yang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan.
3. PT Bakrie Sumatera Plantations
Program-program CSR yang dijalankannya adalah: Membangun koperasi desa;
memberikan bantuan pendidikan bagi siswa SD; mengadakan perkumpulan
ibu-ibu pengajian; dan juga Memberikan pelayanan pendidikan bagi
masyarakat kurang mampu.
4. PT Adaro Indonesia, Tbk
a. Bidang ekonomi : Menciptakan program kemitraan untuk membuat usaha kecil
menengah yang berkelanjutan
b. Bidang Pendidikan : Menciptakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Integrasi program PAUD dengan Posyandu; Memberikan bantuan sarana dan
prasarana untuk PAUD; Memberikan beasiswa kepada siswa berpretasi pada
tingkat SD, SMP, dan SMA; Memberikan pelatihan kepada para guru dalam
bidang IT.
c. Bidang Lingkungan : Menyediakan pusat air bersih dan menjualnya kepada
masyarakat dengan harga terjangkau. Pengaturannya dijalankan oleh warga
masyarakat tersebut sendiri
5. PT Indominco Mandiri

31
a. Bidang Sosial : Memberdayakan perempuan agar dapat menjadi sosok mandiri;
Menyelenggarakan kegiatan budaya untuk mempererat tali silaturahmi di
antara warga.
b. Bidang Ekonomi : Mengambangkan usaha kecil rumput laut serta
pendampingan kepada masyarakat; Memberikan pelatihan-pelatihan
keterampilan kepada masyarakat, perempuan, dan anak-anak usia produktif.
6. PT Bank Mandiri, Tbk
a. Bidang Sumber Daya Manusia : Memberikan pelatihan kewirausahaan dan
mengadakan berbagai macam event wirausaha muda dengan memberikan dana
bantuan bagi pengusung format wirausaha yang fresh dan achievable.
b. Bidang Pendidikan : Memberikan support dan rangsangan lomba-lomba untuk
mengasah kecerdasan dan kreatifitas siswa; Memberikan dana beasiswa bagi
yang ebrprestasi dan kurang mampu.
7. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk
a. Bidang IT : Mendirkan kampung digital sehingga di sana(Sampali, Sumut)
banyak orang yang melek teknologi, utamanya computer dan internet;
pelatihan berbagai macam program komputer perkembangan; Memberikan
pelatihan kepada siswa SMP dan SMA.
b. Bidang Sosial : Pemberdayaan pendidikan anak kurang mampu; Pembinaan
remaja olahraga; Pasar murah penjualan sembako; Cerdas cermat; Gebyar
festival seni Islami; dan juga Peringatan HUT RI dengan mengadakan berbagai
macam lomba.
c. Bidang Ekonomi : Program kemitraan untuk usaha kecil menengah; Kelompok
usaha pembuatan pupuk organik; dan juga Membuat koperasi simpan pinjam.
d. Bidang Lingkungan : Perbaikan dan pengembangan drainase; Penanaman
pohon pelindung; Pengerasan dan pengaspalan jalan; Pembuatan gapura
Kampung Digital Sampali; dan Pembuatan plang nama PKK Kampung
Sampali.

32
8. PT HM Sampoerna, Tbk
Berbagai macam kegiatan CSR nya antara lain : Membentuk Tim Sampoerna
Resque untuk melaksanakan tanggap darurat terhadap bencana; Menciptakan
air bersih untuk masyarakat; Membangun usaha mikro dan kecil; Memberikan
beasiswa bagi SMA dan Sarjana; Melakukan penanaman pohon untuk
reboisasi.
9. PT Tambang Batubara Bukit Asam
a. Bidang Lingkungan : Pembuatan kolam pengendap lumpur; Pemanfaatan
tanaman minyak kayu putih; Membangun Taman Hutan Raya
b. Bidang Ekonomi : Membangun kelompok usaha pupuk Bokashi Organik
c. Bidang Sosial : Penataan Pasar Tanjung Enim
10. PT Arutmin Indonesia
Programnya antara lain : Kerjasama dengan KUD setempat; Program
AHPB(Aku Himung Petani Banua) yang mengajak masyarakat untuk
memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya; Membangun insfrastruktur;
Memberikan bantan kesehatan dan sosial lainnya.
11. PT Bakrieland Development, Tbk
Program CSR di Bakrieland antara lain : Membangun Rasuna Epicentrum,
yakni sebuah kawasan resapan air; Penggunaan solar energy system dalam
setiap project Bakrieland; Goes Green di Bali Nirwana Resort; Mempekerjakan
2 orang anggota keluarga yang tanahnya dibeli Bakrieland.

33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara konseptual, TSP adalah pendekatan dimana perusahaan
mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka
dengan para pemangku kepentingan ( stakeholders ) berdasarkan prinsip kesukarelaan
dan kemitraan. ( Nuryana, 2005 ). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan
yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan
identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan( corporate social
Investment/investing), pemberian perusahaan ( Corporate Giving), kedermawanan
Perusahaan ( Corporate Philantropy ). Secara teoretis, berbicara mengenai tanggung
jawab yang harus dilaksanakan oleh perusahaan, maka setidaknya akan menyinggung
2 makna, yakni tanggung jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab
moral atau etis, dan tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab
yuridis atau hukum.

B. Saran

Adapun saran yang bisa saya berikan selaku penyusun makalah ini adalah,
sebaiknya setiap perusahaan harus bisa memahami dan merealisasikan CSR dengan
baik dan benar untuk bisa menciptakan sinerji keuntungan yang bisa dirasakan oleh
semua pihak termasuk didalamnya pemerintah dan masyarakat itu sendiri, semua ini
tidak lepas dari kerjasama partisipatif semuanya untuk bisa mewujudkan apa yang
dikatak oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang intinya adalah segala kekayaaan alam di

34
ndonesia dikelola sepenuhnya oleh Negara dan dimanfatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.

35
HASIL DISKUSI DI KELAS

Setelah makalah kami presentasikan di depan kelas, terjadi diskusi yang


menghasilkan beberapa pertanyaan yang harus kami jawab. Pertanyaan itu antara lain
:

Bagaimana perlakuan pemerintah kepada Perusahaan yang di satu sisi


melaksanakan CSR namun di sisi lain produknya juga merugikan masyarakat?

Sebenarnya perusahaan sudah melakukan kesalahan yang besar dengan menghasilkan


produk yang merugikan bagi masyarakat. Namun, kembali lagi dengan permintaan
dari masyarakat itu sendiri, selama produknya masih dibeli oleh masyarakat, selama
itu pulalah perusahaan itu masih akan tetap berdiri. Mengenai peran pemerintah
sendiri sudah jelas, ia adalah sebagai regulator dari segala kebijakan yang ada.
Mungkin saja masyarakat kita masih kurang pengetahuan mengenai dampak buruk
yang bisa disebabkan oleh produk suatu perusahaan, maka di sinilah peran
pemerintah, yakni memberikan pengetahuan yang baik bagi masyarakatnya.

Sebenarnya apakah tujuan suatu perusahaan melaksanakan program CSR di


perusahaannya?

Tujuannya jelas!!! Yakni untuk membuat citra yang positif bagi perusahaan oleh
masyarakat. Semakin perusahaan dikenal “baik” oleh masyarakat, secara tidak
langsung produk yang dihasilkannya pun akan mendapatkan predikat “baik” pula,
dan itu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan tentunya meningkatkan hasil
penjualan juga.

Adapun alasan perusahaan melakukan CSR ada 3 hal seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya :

1. Corporate Charity, yakni dorongan amal berdasarakan motivasi keagamaan.

36
2. Corporate Philanthropy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya
bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan
memperjuangkan kemerataan sosial.

3. Corporate Citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan


sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial.

Ketiga hal di atas pulalah yang menjadi dasar suatu perusahaan melaksanakan
program CSR bagi masyarakat di sekitarnya.

Apa langkah kongkrit pemerintah dalam hal menjadi Regulator atas kebijakan
perusahaan?

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki seperangkat aturan tentang perlindungan


lingkungan hidup (UU No. 23/1997) dan perlindungan konsumen (UU No. 8/1999)
dan peraturan itu secara implisit sudah menekankan suatu perusahaan menerapkan
CSR. Keterkaitan dengan CSR Perusahaan secara langsung, pemerintah telah
membuat aturan Pasal 74 UU PT No. 40/2007 meskipun menuai kontroversi. Namun,
ya itulah langkah kongrit pemerintah dalam peranannya sebagai regulator.

Apa peranan seorang Pekerja Sosial di dalam pelaksanaan CSR suatu perusahaan?

Menarik sekali pertanyaannya karena ini sudah memasuki wilayah pekerja sosial
dalam kaitannya dengan pelaksanaan CSR perusahaan. Yang jelas Pekerja Sosial di
sana dapat menjadi seorang manajer program, artinya Pekerja Sosial lah yang
merancang program-program pelayanan CSR bagi masyarakat. Pekerja Sosial juga
yang melakukan asesmen terhadap kebutuhan pelayanan masyarakat. Jadi nantinya
program CSR yang dijalankan oleh perusahaan akan tepat guna dan bermanfaat.

Bagaimana peluang kerja bagi Pekerja Sosial Industri di suatu perusahaan?


(Kaitannya dengan kenyataan saat ini)

37
Ini juga sebuah pertanyaan yang menarik dan kami rasa patut menjadi pertanyaan kita
semua. Baiklah akan coba kami jawab. Sejatinya peluang Pekerja Sosial Industri ini
amatlah luas. Hanya saja memang dari kitanya sendiri yang masih “malu-malu”
menunjukkan kualitas kita. Alhasil ya malah orang lain yang menyerobot posisi
strategis itu. Padahal sebenarnya kita yang bisa menghandle dan mengerti kebutuhan
khusus dari masyarakat melalui asesmen yang detil. Nah, jadi sekarang ini
merupakan PR bagi kita semua untuk menunjukkan kualitas kita sebagai Pekerja
Sosial Profesional dan juga dukungan dari semua pihak untuk ikut mempromosikan
profesi ini.

Kita saat ini sedang menjalani Jurusan Rehabilitasi Sosial, bagaimana penerapan
Pekerja Sosial Klinis dalam perusahaan?

Sungguh pertanyaan yang kritis. Sebagai Pekerja Sosial Klinis, kita dalam perusahaan
bisa memberikan pelayanan kepada Bos dan Karyawan dalam rangka ikut
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami dan juga memberikan
pelayanan konseling guna meningkatkan kualitas dan semangat kerja.

DAFTAR PUSTAKA

38
Wahyudi, Isa & Busyra Azheri. 2008. Corporate Social Responsibility : Prinsip,
Pengaturan dan Implementasi. Malang : Inspire.

Tofi, La. Majalah Bisnis dan CSR. Juli 2008. Jakarta : LatofiSukma DivaEvente

http://www.jababeka.com/site/
http://www.unilever.co.id/ourvalues/
Suharto, Edi, Ph.D, 2007, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat
Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Bandung : Refika Aditama.

39

Anda mungkin juga menyukai