Anda di halaman 1dari 21

1

BAB 5
PENGETAHUAN BERKELAMIN
Feminisme dan ilmu

Dalam masyarakat kita...."kebenaran" dipusatkan pada bentuk wacana ilmiah dan institusi-
institusi yang menghasilkannya.... ia adalah isu seluruh perdebatan politik dan konfrontasi
sosial.
(Michel Foucault)

PERTIMBANGAN DASAR

Di pusat, hati pun, atas apa yang kita sebut "peradaban Barat" adalah gagasan dua kali lipat
tentang ilmu dan rasio: peradabannya Rasio Pencerahan mungkin, tentu saja, hadir lebih dari beberapa
gagasan yang lain: sejarah progresifnya sendiri dan kapasitasnya untuk membawa kebebasan dunia dari
prasangka dan takhayul. Tapi ia utamanya melalui penggunaan pengetahuan ilmiah dan teknologi yang
mereka telurkan, orang-orang Barat percaya bahwa mereka memiliki kapasitas untuk membawa
kehidupan yang lebih baik dan dalam kondisi yang lebih manusiawi serta untuk mencapai kesetaraan,
mereka memberi pernyataan ganda sebagai dasar dan harapan atas demokrasinya. Penyempurnaan atas
seluruh ras manusia, terutama sekali harapan atas kebebasannya dari prasangka, dominasi, dan
kebrutalan, adalah--hampir tanpa sanggahan dari abad 18--tidak keluar dari batas-batas gagasan ilmu itu
juga. Tentu saja, Hans-Georg Gadamer menunjuk pada gagasan atas penyempurnaan ini, atas "formasi-
diri atau pengolahan", sebagaimana "barangkali gagasan agung abad 18", memberikan Rasio Pencerahan
"sebuah muatan baru secara mendasar", dan menciptakan pernafasan atmosfer itu juga dengan ilmu
human abad 19" (1975, h. 10). Gagasan progresif ini adalah tangkai yang tak dapat dihindarkan dari fitur
ekonomi masyarakat Barat: syarat kapitalisme industri atas perubahan dan pergerakan serta titik tekan
akibatnya pada "kebaikakn dan 'kebaruan'" dan kemajuan yang tidak dapat dihindarkan (Wallerstein
1990, h. 37). Tapi asal usul dan perkembangan gagasan atas kemajuan berakar seolah-olah dalam pesona
peradaban klasik terhadap pengetahuan dan keyakinannya pada "pengetahuan obyektif" (Nisbet 1980).

Gagasan pengetahuan ilmiah yang sangat sentral untuk peninggalan peradaban Barat dan
untuk periode abad 18 Pencerahan, dikonsepsikan sendiri sebagai proyeksi semua
kemanusiaan--"kemanusiaan datang dari zaman" milik Kant atau penggambaran Diderot atas filsafat
sebagai panduan umum kemanusiaan. Karena tidak ada batas-batas nasional untuk "rasio kritis"
Pencerahan. Sungguh berlawanan, ilmunya akan membantu semua orang dan perubahan seluruh dunia,
bahkan dalam wajah rintangan besar atas ketidaktahuan, perbudakan, dan barbarisme. Keyakinan ini
mencakup ilmu sebagai kekuatan progresif bagi pembebasan manusia terletak pada gagasan bahwa
pengetahuan ilmiah (sebuah metode universalnya sendiri) mengikuti hukum-hukum universal yang
penemuannya menuntun semua orang menuju takdir alaminya. "Fondasi satu-satunya bagi kepercayaan
dalam ilmu alam", Condoret menyatakan,

adalah gagasan ini, bahwa hukum-hukum umum mengatur fenomena alam semesta,
diketahui atau tidak diketahui, adalah perlu dan tetap.... Kemajuan ilmu memastikan
2

kemajuan seni dan pendidikan, yang sebaliknya ia memajukan ilmu. Pengaruh timbal balik
yang aktivitasnya terus menerus diperbarui, patut dilihat sebagai salah satu dari sebab-
sebab yang paling kuat dan aktif yang bekerja bagi kesempurnaan umat manusia.

(Condoret [1794] 1973, h. 803, 805)

Menurut pengamatan kontemporer, gagasan-gagasan pervasif ini dan narasi-narasi yang


mengiringinya--pembebasan kemanusiaan dan persatuan serta universalitas pengetahuan--memberikan
kehidupan dan spirit bentuk-bentuk moralitas kolektif tersendiri, ketaksadaran politik, dan identitas
nasional kita. Dalam melakukan demikian, mereka menjadikan ilmu kita sejenis kebenaran abadi dan
pembuktian kebenaran manusia. Ilmu sebagai penjelmaan praktis dari rasio impersonal, kemudian,
membawakan Barat dengan kisah-kisah kita yang paling mulia dan paling vital.

Universalisme metode-metode ilmu dan obyeknya--hukum-hukum alam, atas manusia, dan atas
masyarakat--memaksudkan bahwa etos ilmu meletakkan keobyektifannya dan karakter impersonal.
Tentu saja, ilmu menghadirkan rasio impersonal dalam bentuk terlengkapnya. Dalam istilah umum,
kebenaran ilmu tidak bergantung pada personal atau sifat sosial ilmuwan--bangsa, agama, ras. Terdapat,
kenyataannya, pertimbangan tidak relevan pada usaha ilmiah dan bertentangan dengan tujuan-
tujuannya: "Perintah universalisme ditanamkan dalam karakter impersonal ilmu" (Merton [1942] 1990, h.
69) dan sesuai dengan pelaksanaan dan standar masyarakat demokrasi. Karena ilmu dan pemerintahan
demokrasi menegakkan dalam prinsip gagasan bahwa partikularisme bukan tempat sebagai kriteria bagi
pengejaran kebenaran ilmiah ataupun dalam hal keadilan politik. Sementara kepedulian sejarah dan
sosiologi pada "suku ilmiah" (Clarke 1969) tidak diragukan lagi akan menyingkap susunan berbeda nan
kompleks atas gagasan-gagasan dan praktik-praktik mengenai pendirian universal ilmu, termasuk
kriteria oleh ilmuwan mereka sendiri, universalisme memberi definisi singkat apa, pada prinsipnya,
ilmu. Akhirnya sampai sekarang.

Selama setengah abad terakhir ini gagasan ilmu universal berjalan lambat sekali tetapi secara
meyakinkan ditentang oleh gerakan intelektual dan gerakan sosiopolitik, yang berpikiran sungguh
berbeda dalam banyak respek yang lain, berbagi skeptisisme tentang posibilitas dan bahkan ilmu umum
tentang manusia dengan asumsi rasionalisnya mengenai penerapan ilmu bagi kemajuan manusia.
Bermacam-macam perkembangan intelektual, diarahkan melawan positivisme, secara efektif berhasil
meruntuhkan tempatnya sebagai fondasi filsafat sosial dan sebagai metode ilmu sosial terpilih. Para
Hermeneut, strukturalis, postrukturalis, dan teoritisi budaya dalam jajaran disiplin--antropologi dan
sosiologi, filsafat, kajian kesusastraan, dan sejarah--bersaing menawarkan metode-metode bagi disiplin
dan praktik pengetahuan. Model-model yang mereka sertakan, terutama sekali mengenai teks dan
penafsirannya atau model "bahasa" (memahami melalui teori atau retorika, representasi, atau wacana),
menyoroti bangunan konsepsi dan bahkan karakter artifisial obyek-obyek penelitiannya; dan juga,
memberi perhatian pada problem pengambilan obyek-obyek semua penelitian "obyektif". Dalam istilah
"teori interpretasi", memahami sesuatu--memahami gestur manusia, tanda tertulis, atau teks tertulis--
meliputi "terang dan mode yang tidak dapat direduksi lagi atas apa yang dapat dimengerti" (Ricoeur
1976, h, 72). Pemahaman berbeda tentang eksplanasi, yang membedakan pencarian ilmu atas sebab
musabab melalui penemuan hukum-hukum dan gagasan yang mengiringinya mengenai "realitas"
3

sebagai sesuatu yang berdiri atas dirinya sendiri, yakni, bagian dari interpretasi kita atasnya.

Selama periode yang sama--kasarnya setengah abad terakhir--kehidupan intelektual


kontemporer dikepung krisis rasionalitas dan apa yang seorang filosof-pemandu sebut sebagai "momok
relativisme.... gentanyangan" di belakang dan di bawah perdebatan dan dialog tersebut (Bernstein 1983,
h. x-xi). Orang-orang yang terlibat, dia menyatakan, melontarkan pertanyaan kritis mendalam mengenai
kategori-kategori, perbedaan-perbedaan, dan bias-bias yang membentuk budaya kita dan kehidupan
sehari-hari kita sejak abad 17. Antropolog James Clifford (1986, h. 10), dalam penilaiannya sendiri atas
representasi baru-baru ini, setuju dengan respek kepada signifikasi sejarah atas krisis baru-baru ini: kritik
kontemporer diarahkan melawan "keyakinan Barat yang berlebihan, wacana-wacana karaktristik". Bagi
orang-orang yang terlibat, gagasan ilmu dan pengetahuan universal itu pulalah yang metode dan
strukturnya memahami kebenaran, ketentuan terakhir dalam obyek, atau pembongkaran realitas menjadi
problematis atau, dalam beberapa bagian, mencurigakan. Dalam perbedaan yang tajam pada pernyataan
bahwa metode ilmiah menemukan dan menggambarkan alam semesta obyektif, pendekatan ini
berpendapat bahwa "realitas" adalah relasional, tanda kutip menunjukkan status relatif dan problematis
mengenai apa realitas itu: apakah riil itu dipahami melalui keterkaitannya pada wacana-wacana khusus
atau pada "kode-kode" atau konvensi-konvensi" pikiran dan tindakan. Dan padahal, sebelumnya,
metode-metode ilmiah diperlakukan untuk mendirikan obyektifitas, sekarang "obyektifitas" dilihat
sebagai sesuatu yang diskursif; subyektifitas personal dan otoritas budaya mencatat bahkan
menguraikan seperti "penyelenggaraan rekaan satu sama lain" (Clifford 1985).

Sebagai bagian dari perkembangan ini--pemberian arti relatif dan pembatasan konteks
pengetahuan dan penyebaran perspektif ini lebih lanjut--konsep "budaya" menjadi garis terdepan
diskusi-diskusi ini (Robertson 1992, Bab 2). Ia bahkan mungkin dikatakan bahwa penggunaan konsep itu
telah berkembang dan memperoleh momentum sebagai penghukuman berkenaan dengan "tirani
Metode" (Bernstein 1983, h. xi) dan usaha ilmiah telah mendirikan mereka sendiri. "Budaya" dipahami
sebagai keberubahan,_ lemah, dan sepenuhnya manusia dan daerah kesatuan pengalaman dan
pengetahuan, dioperasikan sebagai kategori yang merepresentasikan apa yang bukan rasio universal.
Gagasan atas budaya itu pula yang sungguh sesuai dengan pendekatan yang "meletakkan lebih historis,
non algoritma, pemahaman fleksibel rasionalitas manusia, salah satu yang menyoroti dimensi tak
terucapkan dari penilaian dan imajinasi manusia serta peka terhadap kemungkinan tak terduga dan
menemukan keaslian yang baru dalam situasi-situasi tertentu" (Bernstein 1983, h. xi). "Budaya"
memungkinkan kita untuk merepresentasikan pluralitas, kesatuan, dan fitur-fitur lokal eksistensi sosial
kita, untuk menekan perbedaan melebihi kesatuan, untuk menegaskan gagasan konstruksi melebihi
esensi, untuk "memerangi totalitas" (Lyotard 1984, h. 82). Dalam istilah politik, "budaya" menyediakan
bagi masyarakat dunia untuk bercakap-cakap dengan yang lain, untuk berpikir melampaui asal usul
mereka sendiri, dan untuk memasuki dunia dimana perbedaan memperoleh artinya sendiri (Bhabha
1994); "budaya" memungkinkan kita untuk berbicara melintasi dan diantara budaya-budaya di waktu
ketika "budaya global" sedang berlangsung (Featherstone 1990). "Budaya" juga sebuah bentukan, melalui
bentukan itu kapitalisme Barat menjadi istilah-istilah bersama problem "universalisme" dalam wajah
perbedaan (rasisme dan sexisme) dan perubahan (Wallerstein 1990).
4

Bahkan dalam ilmu sosial, "budaya" (konsep dan teori) melayani lebih luas kebutuhan dalam
pemikiran kita, fungsi yang lebih luas dari pada sebagai sekedar perangkat bagi penelitian sistematis.
"Budaya" merupakan "obyek problematis baru" (Clifford 1986, h. 3) beberapa disiplin, karena ia memberi
arti pengertian kontemporer kita tentang ketidaktetapan, secara global dibentuk tapi secara lokal
merupakan tanah lapang dari praktik-praktik kolektif, secara tertentu menyingkap bentuk-bentuk
representasi (imej, simbol, gagasan, wacana, teks). Ia juga menandakan keadaan kontemporer berpaling
pada kehidupan sehari-hari, pada politik makna dan penandaan, dan penyingkapan metafor-metafor
yang digunakan dalam ilmu sosial sekarang ini--hal itu dari bahasa dan tektualitas. Semua ini adalah apa
yang "budaya" dan "studi budaya" hadirkan (dan menghadirkan kembali)-- sejenis "menggantikan"
secara tetap usaha ilmiah beberapa masyarakat-dunia kita. Dalam kata seorang juru bicara paling
penting dari studi budaya, studi budaya "memegang pertanyaan teoritik dan politik dalam sesuatu yang
sungguh tak terpecahkan tapi ketegangan permanen....[membolehkan] seseorang untuk mengganggu,
mengacaukan, mengacak-acak yang lain, tanpa mendesakkan beberapa penutup teoritis akhir" (Hall
1992, h. 284).

Oleh karenanya, kita dapat berbicara tentang "penemuan budaya", yakni, penggunaannya
untuk menafsirkan masyarakat, kelompok, dan peradaban namun tidak untuk menghadirkan mereka
(Wagner 1981). Kita dapat menafsirkan "penemuan budaya" ini sebagai sebuah strategi beberapa
intelektual Barat yang ketertarikannya dengan "kawasan makna dan identitas" dan yang dunianya
membuat ia "bertambah sulit untuk melekatkan identitas manusia dan makna kepada pertalian 'budaya'
atau mungkin 'bahasa'" (Clifford 1988, h. 95). Bagi mereka (dan, mungkin, bagi yang lain juga), "budaya"
memberi arti pecahan "narasi-narasi besar" (Lyotard 1984) peradaban Barat, dari narasi-narasi besar itu
ilmu rasional adalah narasi terbesarnya.

Tapi siapa dan apa turunan narasi besar ini? Siapa atau apa yang membuat ilmu menjadikan
sesuatu yang diproduksi atau dibentuk? Bagaimana ilmu rasional dan klaim keuniversalannya menjadi
tidak mungkin? Bagaimana kita menjadi berbicara seperti yang kita lakukan saat ini, mengenai "budaya
atas ilmu?" Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak diragukan lagi banyak terdapat dalam
gerakan sosial dan politik sebagaimana mereka lakukan dalam perkembangan intelektual dalam
setengah abad terakhir. Walaupun Saya tidak akan meletakkan mereka di sini, jawaban mesti juga
datang dari ilmu itu sendiri, kritik-diri dan fitur-fitur non dogmatiknya, responsifnya pada
perkembangan sosial dan budaya, dan skeptisismenya mengenai otonominya berhadap-hadapan dengan
konteks sosiopolitik, dalam sosiopolitik itu ia bekerja. Semua ini mengundang dan mempromokan
"budaya atas pengaduan" (Hughes 1993) bahkan menentang dirinya sendiri.

Karena keutuhan pada gagasan itu pula atas obyektifitas ilmiah adalah gagasan ilmu sebagai
usaha mengoreksi diri, mengundang reinterpretasi sistematik dan teratur atas metodenya sendiri dan
obyek-obyek studinya. Rasionalitas ilmiah, masih dapat, membawakan transformasi atas usahanya
sendiri (Harding 1991, h. 3-4). Obyektifitas ilmiah juga termasuk standar-standar integritas profesional
yang dapat melayani untuk melegitimasi penelitian seksama dari ilmuwan ke ilmuwan. Dalam kasus
yang tidak banyak diketahui dari David Baltimore (ilmuwan universitas Rockefeller dan peraih Nobel
yang menolak untuk menyelidiki dugaan-dugaan tanpa bukti atas pemalsuan catatan-catatan penelitian),
5

ilmuwan muda Margot O'Toole, yang membuka kasus tersebut, mendesak bahwa dia sekedar
memelihara tanggung jawabnya pada integritas ilmiah (Hilts 1991; 1992), dengan demikian
penggambaran gagasan ilmu itu juga untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai
validitas karya ilmuwan senior. Tentu saja, fitur-fitur skandal dari kasus ini berasal dari publik dan
pengakuan profesional bahwa Baltimore dan sejumlah koleganya melanggar standar profesional yang
dia dan mereka harapkan untuk tegak: kritik-diri dan praktik-praktik serta prosedur-prosedur sistematis,
pada prinsipnya, justru apa yang metode ilmiah nyatakan untuk menjadi. Karena alasan ini,
pemeriksaan-pemeriksaan, kritik ilmu akan memasukkan ilmuwan mereka sendiri yang menganggap
sebagai barisan kritik ilmu (feminis, environmentalis, anti pengembangan nuklir, dan lainnya).

Pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa yang meletakkan dasar-dasar bagi kritisisme baru-baru


ini atas ilmu dan praktiknya yang tidak dapat dihindarkan meliputi pertimbangan-pertimbangan
mengenai apakah ilmu itu: bagaimana ilmu itu bukan sesuatu, dan tentu bukan sesuatu yang univokal.
Agaknya, ilmu adalah variabel historis. Seperti beberapa fitur pokok masyarakat industri, perubahan
ilmu, sebagaimana tempatnya dalam masyarakat kontemporer--seperti letaknya dalam pemerintahan,
dalam perang, dalam kebijakan dan perencanaan sosial. Seperti pada kritik ilmu, keluasan otoritas ilmu
dan kuasanya dalam setengah abad ini tentu mempengaruhi munculnya gerakan untuk menentang dan
untuk meneliti dengan cermat praktik-praktik ilmu. Di Amerika sekarang ini, jumlah ilmuwan
mendekati 1 juta dan bagiannya dari anggaran pemerintah $25 milyar; pada 1940 hanya sekitar 200 ribu
ilmuwan, anggaran dari pemerintah $70 juta (Hilts 1992). Dirumuskan berbeda, angka pertumbuhan bagi
ilmu jauh lebih besar dari pertumbuhan income nasional (Rose dan Rose 1969, h. 4). Jadi pertanyaan atas
legitimasi ilmu muncul tepatnya selama periode ekspansi ilmu dan bertambahnya pengaruh serta kuasa
dalam masyarakat modernitas lanjut. Keluasan fungsinya, dalam beberapa cara, secara aktual melayani
untuk meruntuhkan otoritasnya serta kredibilitasnya dalam masyarakat luas sebagai tidak memihak,
manusiawi, berusaha obyektif. Tapi ia juga akan dialamatkan bahwa, dalam beberapa respek penting,
walau tentangan berat untuk praktik-praktik ilmu, "gajah bahkan tidak mengibaskan belalainya atau
tampak melihat sekilas" ke pengganggunya (Bleier 1986, h. 1). Baik konsekuensi atau bukan, ini akan
menjadi isu yang akan saya alamatkan kemudian.
6

ILMU DIKECAM

Sejarah ilmu baru-baru ini dibuat oleh beberapa gerakan berbeda dari kritik yang tekun
menampilkan penyelewengannya dan meruntuhkan otoritanya. Sebagian, gerakan ini menghadirkan
upaya pubik menarik seseorang yang bertanggung jawab untuk bertambahnya bahaya dan resiko yang
bertambah dari pengembangan teknik dan kedokteran: nuklir dan perang kimia, lingkungan dan sumber
polusi kimiawi dan penyakit, kecelakaan destruktif pada alam sebagai sumber minyak, bahaya yang
mengiringi pengobatan dan pembedahan medis baru. Kenyataannya, gerakan lingkungan, kelompok
anti nuklir, aktifis pelindung binatang, dan lainnya secara efektif menampilkan penipuan-penipuan besar
dan penyelewengan praktik-praktik ilmiah dan pengaruh perubahan dalam peyembuhan dan
eksperimen yang menggunakan "subyek-subyek manusia" dan binatang-binatang lain, penggunaan
berlebihan obat-obat penyembuhan dan terapi bagi populasi terlembaga, penyembuhan medis hina pada
perempuan, dan eksploitasi pekerja dan tentara melalui pembukaannya pada pengobatan medis dan
teknologi kehidupan.

Selama lebih dari dua dekade, kritik ilmu, terutama feminis, menghadirkan oposisi hebat
kepada institusi ilmu dan teknologi. Kelompok terorganisir perempuan melancarkan serangannya pada
dua barisan--politik dan intelektual. Di tempat pertama, mereka meminta perbaikan dalam praktik-
praktik medis meliputi perempuan sebagai klien (melahirkan, diagnosa dan penyembuhan kanker rahim
dan payudara, aborsi, wali keibuan, dan sebagainya). Dalam prosesnya, mereka mengklaim berbicara
untuk orang lain yang dimarjinalkan oleh institusi dan menegakkan praktik-praktik medis sesungguhya
bagi mereka. Protes oleh perempuan juga meluas pada institusi besar hukum, politik, dan kesejahteraan
sosial. Dalam prosesnya, feminis dan yang lain jelas memiliki peran dalam meruntuhkan reputasi ilmu
sebagai kemajuan manusia dan secara umum melangsungkan upaya tersebut. Di universitas-universitas,
feminis mengkritik mengenai tidak dimasukkannya perempuan dalam ilmu-ilmu (lihat Rossi 1965 untuk
pernyataan awal; Rose 1986 dan Hubbard 1990, Bab 3-4 untuk tinjauan dan yang lebih baru), dan juga
dari semua bidang-bidang "produksi pengetahuan" yang lain dalam masyarakat kontemporer (hukum,
kebijakan sosial dan pemerintahan, profesi akademik, dan sebagainya). Tindakan perempuan sebagai
individu-individu dan dalam kelompok perempuan juga sangat mencolok dalam peran-peran aktifnya
sebagai pemimpin dan mobilisator dalam gerakan perdamaian Amerika 1980-an (Lofland 1993), dan juga
dalam gerakan lingkungan dan ekologi di periode yang sama. Masing-masing memfokuskan serangan
politiknya pada praktik-praktik "imperialis" Amerika dan penegakan ilmiah Barat yang lain: negara,
dalam kasus mesin dan teknologi perang nuklir; korporasi multinasional yang dibantu oleh negara-
bangsa, dalam kasus pelaksanaan penghamburan dan pengrusakan lingkungan.

Kritik-kritik feminis

Feminis tersebut letak dan audiensnya yang utama adalah universitas-universitas, yang
memulai serangannya pada ilmu dan penegakan ilmiah dengan pencatatan, yang sudah berjalan lama,
peminggiran perempuan dari semua bidang dan profesi yang dihadirkan universitas. Feminis membuka
kedok apa yang digambarkan secara ringkas sebagai " bias laki-laki" yang menjalankan konsep-konsep,
teori-teori, metode dari banyak disiplin akademik: misalnya, tulisan kritis awal tampak dalam fisika
7

(Keller 1978; 1985); dalam filsafat (Harding dan Hintikka 1983); dalam sejarah (Janssen-Jurreit 1980);
dalam psikologi (Gilligan 1979; 1982; Sherif 1979); dalam sosiologi dan teori sosial (Bart 1971; Bernard
1973; Smith 1987, lihat h. 22, n. 7). Tubuh penelitian ini menjadi jelas bahwa ilmu (ilmu dan teknik,
termasuk ilmu sosial) jauh lebih sistematis meminggirkan perempuan dari pada disiplin-disiplin lain
(Rosser 1986; National Science Foundation 1982). Dengan respek kepada ratusan perempuan yang
berhasil meletakkan ilmu, feminis mencatat, yang sudah lama dan baru-baru ini, pemencilan perempuan
dan pekerja berstatus rendah serta dianggap rendah dalam bidang usahanya (Weisstein 1977; Tertanda
1978; Vetter 1980; Rossiter 1982).

Studi-studinya juga mencatat praktik yang meluas, sampai sangat baru-baru ini, mengenai
peminggiran perempuan sebagai subyek penelitian dalam studi-studi ilmiah. Kesetaraan penting
sebagaimana peminggiran ini merupakan praktik umum dari studi-studi ini untuk mengeneralisir
temuan-temuannya kepada laki-laki dan perempuan. Dalam ilmu kedokteran dan dalam psikologi,
misalnya, ini menuntun perempuan pada ketidaktahuan sistematis atas fitur-fitur berkembang dan
kondisi-kondisi ganjil medis. Apa yang kita pikir bahwa kita mengetahui secara psikologis dan medis
"perkembangan manusia" merupakan, dalam dampaknya, pengetahuan dari perkembangan laki-laki
(Berkeley et al. 1986). Praktik-praktik seperti ini menyingkap kewajaran persepsi "androsentris", dimana
laki-laki berdiri sebagai ukuran dari semua keberadaan manusia, sebuah persepsi bahwa ilmuwan laki-
laki gagal mempersepsi, seperti mereka, hampir tanpa pengecualian, gagal menghasilkan pengetahuan
sistematis dan tanpa prasangka tentang kesehatan perempuan dan tubuhnya (Longino 1990, h. 129ff.).
Memberi angka tinggi pada kanker dan kerusakan hati perempuan, misalnya, secara sedikit relatif
mengetahui mengenai etiologi dan penyembuhannya. Awal kritik feminis pada ilmu memulai dengan
pertanyaan-pertanyaan: "Apa dasar ketidaktahuan dari perempuan ini?", "Apakah itu mengenai ilmu--
atau mengenai perempuan--atau mengenai feminis--yang menjelaskan ketidakhadiran nyata suara
feminis dalam ilmu alam?" (Bleier 1986, h. 1). "Apa yang akan dilakukan mengenai situasi perempuan
dalam ilmu" atau tentang pertanyaan perempuan dalam ilmu" (Harding 1986, h. 9)? Apakah yang
dilakukan sekarang bermaksud untuk perempuan?

Dalam banyak kasus, pencatatan peminggiran ilmu atas perempuan dari praktik ilmu,
bagaimanapun penting dalam meruntuhkan klaim-klaim ilmiah tentang obyektifitas dan universalisme,
bukankah, dalam dunianya sendiri, terdapat kritik radikal terhadap ilmu--yakni, seseorang yang
membawa kepada pertanyaan klaim-klaim yang mendasari usaha ilmiah, terutama sekali klaimnya pada
rasionalitas ilmiah. Karena bagaimanapun banyak praktik-praktik diskriminasi melawan perempuan
dicatat, ini tidak meruntuhkan klaim-klaim ilmu kepada universalisme dan obyektivismenya. Karena
responnya pada praktik-praktik ini sekedar akan membetulkannya melalui praktik-praktik yang lebih
jujur dan lebih pantas--dengan membuat ilmu tak ilmiah jadi lebih ilmiah.

Keberatan pada ilmu jauh lebih seksama terdapat dalam jenis studi feminis yang lain dan yang
berbeda, terutama sekali yang menunjukkan bagaimana konsep-konsep dan teori-teori ilmiah, seperti
biologi, immunologi, dan psikologi, memuat di dalamnya gagasan dasar secara historis dan budaya
tentang legitimasi historis status subordinat perempuan. Misalnya, karya Bleier (1984) mengenai teori-
teori dan penelitian biologi memperhatikan bagaimana sumbangsih ilmu biologi untuk elaborasi
8

penyingkapan gagasan-gagasan tentang inferioritas biologis perempuan--gagasan yang melegitimasi


status sosial inferior perempuan dalam peradaban Barat. Haraway (1989), Longino dan Doell (1983), dan
Longino (1990) memberikan penelitian yang mengalamatkan bagaimana tepatnya konsep-konsep dan
interpretasi-interpretasi "androsentris" dan "sexist"1 memasuki primatologi dan evolusioner dan praktik-
praktik penelitian (i.e., melalui konsep-konsep dan hipotesa-hipotesa, dalam desain penelitian aktual,
dan dalam kumpulan serta interpretasi data). Karya Haraway dalam sejarah ilmu (1989, Bab 10; cf.
Harding 1991, h. 209-211; 1986, h. 233-239) memeriksa bagaimana makna-makna ras dan jender
dibudayakan dan orang-orang Afrika memasuki primatologi dari bangsa dan budaya yang berbeda
(misalnya, orang India, Jepang, Amerika) merefleksikan konsepsi berbeda atas alam dan masyarakat.
Karya Haraway memperlihatkan bagaimana gagasan-gagasan primatologi dapat dibaca sebagai bagian
dari nasional tertentu dan wacana politik budaya tertentu yang melayani sebagai pelegitimasian skema
dominasi politik (lihat diskusi Longino 1990, h. 209-214). Bentuk-bentuk penelitian ini memasukkan
pandangan atas obyek-obyek primatologi--binatang-binatang menyusui tingkat utama dan tingkah
lakunya--sebagai obyek sosiobudaya yang melayani sebagai "sumber untuk pemberian" (Haraway 1991,
h. 197). Atau, untuk mengambil contoh dari ilmu biologi dan evolusioner dan untuk menggunakan
metafor berbeda, tubuh manusia laki-laki dan perempuan dari spesies berbeda melayani sebagai ruang,
pada ruang itu prasasti sosiopolitik dapat ditulis. "Alam", dalam kalimat Haraway, "hanya meteri kasar
budaya, menyediakan, memelihara, memperbudak, mengagungkan, atau sebaliknya membuat lentur
untuk diperlakukan oleh budaya" (1991, h. 98; cf. Angier 1994). Bagaimanapun perbedaan metode-
metode penelitiannya, Hubbart (1990, Bab II) juga menunjukkan bagaimana dalam bidang-bidang politik
dan proses-proses evolusioner, seksualitas manusia, dan perbedaan seksual diberi arti dan diurai melalui
studi-studi ilmiah. "Alam adalah bagian dari sejarah dan budaya", Hubbart berpendapat, "bukan sekitar
yang lain". Hubbart (1990, h. 1) dan Bleier (1984; 1986) memberikan tinjauan yang sangat meyakinkan
mengenai "perbedaan sex", mereka memfokuskan dalam studi biologi mengenai struktur otak, hormon,
gen; keduanya menyimpulkan bahwa penelitian tidak memberikan dukungan empiris bagi minat pikiran
ilmiah yang sudah berlangsung lama ini. Hubbart juga menyatakan bahwa konsep "perbedaan sex"
sendiri tak dapat dielakkan adalah politik dan moral, dan berhubungan dengan dominasi atas
perempuan dan legitimasinya. (Fokus ilmu pada "perbedaan", dia berpendapat di sini, juga dampak-
dampak penting pelegitimasian bagi perbedaan kelas dan ras.)

Seluruh tinjauan Longino (1990, Bab 6-7; cf. Harding 1986, Bab 4, tinjauan Longino dan Doell
198) mengenai studi perbedaan sex dalam bidang antropologi fisik, psikologi psikologis, dan
endoktrinologi memeriksa hipotesis-hipotesis (dan latar belakang asumsinya) dan data dalam
keteraturan untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan utama filosofis mengenai penelitian ilmiah.
Analisis dan simpulannya mengenai penelitian perbedaan sex adalah hal tersendiri, dalam beberapa
respek, dari kritik yang lain. Berhubungan dengan kritik feminis yang lain, Longino termasuk moderat
dengan mengusulkan "epistemologi kontekstual". Dia tidak memegang pandangan bahwa metode
ilmiah, termasuk fokusnya pada "perbedaan", sudah menjadi sifatnya androsentris (meski dia secara
1

Longino (1990, h. 129) membedakan "androsentrisme" (persepsi dunia dari titik pijak laki-laki yang gagal
mempersepsi secara akurat atau menggambarkan kehidupan perempuan) dan "sexisme" (praktik-praktik yang
berasumsi atau melegimimasi subordinasi perempuan dapa laki-laki). Karya Harding, seperti kebanyakan penulis
feminis terkemuka yang lain, juga memperlakukan perbedaan ini (1986; 1991).
9

teratur mengidentifikasi asumsi-asumsi sexist dan androsentris dalam pelaksanaan pada beragam tahap
studi ilmiah). Metode "kontekstualis"nya memandang ilmu sebagai suatu usaha yang memasukkan
dirinya sendiri dalam kesanggupan dan syarat untuk memeriksa asumsi-asumsi dan kepentingan-
kepentingan pada kerja dalam penelitian ilmiah--nilai-nilai ilmu sendiri (nilai-nilai "konstitutif"), seperti
akurasi dan kemungkinan meramalkan, latar belakang asumsi-asumsi (atau "kontekstual" atau nilai-nilai
sosiobudaya). Sementara yang disebut belakangan ini sering mengelakkan penilaian empiris, mereka
jelas memberikan lingkungan dan jiwa khas suatu bangsa (etos), dalam lingkungan dan etos itu kerja
ilmiah bekerja. Praktik-praktik ilmiah dan nilai kontekstual eksis "dalam dinamika interaksi" (Longino
1990, h. 5), dan, kenyataannya "struktur kognitif dan logis penelitian ilmiah membutuhkan interaksi
demikian" (h. 185). Pelukisannya atas praktik-praktik ilmiah masih menahan (melawan kritik-kritik
feminis lain) demi kapasitas ilmuwan dan/atau audiensnya untuk menguji secara reflektif bagaimana
nilai-nilai kontekstual dan kepentingan-kepentingan--sementara, pada prinsipnya, bagian luar untuk
penyelidikan-penyelidikannya--secara aktual beroperasi pada semua tingkat penelitian dan analisa
(deskripsi, presentasi, dan interpretasi data). Masih, bersama-sama dengan kritik saudaranya, menolak
sama sekali gagasan dan tujuan dari ilmu bebas nilai dan mengusulkan bagaimana ilmu feminis (dan
juga secara politik yang lain menjalankan penelitian-penelitian ilmiah) dapat beroperasi sebagai ilmu
peka politik (1990, Bab 9). Dia juga menggunakan pikiran revisionis atas "ideologi" yakni sepenuhnya
konsisten dengan memberlakukan pandangan-pandangan kritik feminis lain: ideologi melayani
fungsinya yang sudah berlangsung lama sebagai pedang ilmiah atau pengetahuan filosofis. Karena
ideologi mengoperasikan seluruh ilmu mainstream, dan "kontra ideologi" dapat digunakan untuk
menunjukkan dan untuk mengubah keberadaan ilmu (1990, h. 187). Oleh karenanya, ideologi sekarang
menduduki tempat yang menjadi haknya dalam ilmu dan mengarahkan jalan ilmu "baru".

Minat saya sendiri dalam kerja kritik feminis adalah untuk menaksir apa yang memungkinkan
akan menjadi (dan telah menjadi) hasil (praktis dan teoritis) kritisismenya--dan untuk siapa. Bagi Saya,
jawaban bagi pertanyaan "untuk siapa?" adalah yang paling besar artinya. Sementara Saya akan
langsung mengalamatkan pertanyaan ini pada kesimpulan bab ini, Saya akan memulai dengan
mengatakan bahwa dampak terbesar feminis--dengan tidak memaksudkan yang bertalian--menjadi
terasa dalam universitas. Argumen teoritisnya (bersama dengan penelitian pendukungnya) bahwa ilmu
adalah budaya bergema melintasi ilmu sosial dan ilmu human, membuka penelitian lintas disiplin dalam
dasar-dasar budaya mengenai pencarian pengetahuan dan rasionalitas. Bagaimanapun banyaknya
perbedaan yang memisahkan kritik-kritik feminis yang paling penting (perbedaan yang menduduki dan
persoalannya lebih banyak dari pembacanya, Saya meragukan), kritik feminis sama dalam desakannya
bahwa ilmu dipahami dan diperiksa sebagai keseluruhan aktifitas budaya dan sosial. Saya memasukkan
di sini--mendaftar kritik-kritik utama dan posisinya yang paling karaktristik--argumen Sandra Harding
(1986) bahwa ilmu sosial kritis dan refleksi-diri akan menjadi model bagi semua ilmu sosial (1991);
konsepsi Donna Haraway mengenai pengetahuan ilmiah sebagai "pengetahuan yang disituasikan" (1988;
1991, Bab 9) yang memasukkan gagasan tentang pengetahuan ilmiah sebagai kebenaran retoris, dia
terutama sekali menggunakan pandangan Foucault (1982) tentang obyek-obyek ilmiah sebagai "obyek-
obyek yang dibentuk", dan desakannya pada "perspektif parsial" melebihi relativisme dan holisme--
masing-masing menjalankan posisi "konstruksionis sosial" radikal; pandangan Helen Longino tentang
10

ilmu sebagai "pengetahuan sosial" dimana nilai-nilai sosial memainkan peranan aktif dan penting dalam
perkembangan terus menerusnya; dan pandangan Ruth Bleier tentang ilmu sebagai "tubuh pengetahuan
yang dihasilkan secara sosial dan institusi budaya" (1986, h. 2). Biologi (bidang dasar studi Bleier) adalah
sekumpulan gagasan dan praktik yang memproduksi dan mengalamiahkan konvensi pikiran dan
perasaan dalam budaya luas. Sosiologi dan "teori materi" Hilary Rose (1986; 1994) memandang kerja
ilmiah sebagai suatu kejadian penting dari divisi umum pekerja sex dalam masyarakat--pandangan yang
menolak kepalsuan-kepalsuan ideologi ilmu seperti "bebas jender", strategi tertentu untuk ilmu
menyangkal dirinya atas budaya, menyatakan dirinya sendiri, "budaya dari bukan budaya" (1994, h. 2; cf.
Aronowitz 1988). Sumbangsih Dorothy Smith pada teori sosiobudaya atas ilmu (1987; 1990a; 1990b)
terdiri dari dua dekade karya dan penelitian, dalam penelitian itu dia memeriksa pengetahuan psikiatri
dan ilmu sosial sebagai bagian vital dari strategi kompleks untuk putusan, pelaksanaan, pengelolaan
kehidupan perempuan.

Ilmu-seperti-perspekti budaya juga penting bagi gerakan politik dan gerakan dari kritik ilmu.
Secara politik, feminis dan kritik lain terhadap ilmu--aktifis perdamaian, aktifis anti nuklir, ekolog--
melancarkan gerakan sosial pada 1960an dan 1970an yang menentang gagasan otonomi ilmu dari
kehidupan sosiobudaya, menarik perhatian pada hubungan politis dan praktis terhadap institusi-
institusi politik, bisnis, dan militer. Gerakan ini tidak diragukan lagi mempengaruhi bagaimana ilmu
ditafsirkan dalam kesadaran populer, meruntuhkan, sebagaimana mereka dan yang lain lakukan,
pandangan yang sudah berlangsung lama tentang ilmu sebagai usaha netral secara fundamental, tak
dapat dipisahkan--secara praktik, politik, budaya--dari sosial dan lingkungan ideologisnya. Pernyataan
feminis, tapi sejumlah besar yang lain yang ikut serta dalam menentang ilmu dan sejarah destruktif
teknologi dan masa depannya, adalah bahwa pengetahuan ilmiah sendiri--fisika, kimia, biologi--
beroperasi secara integral dengan pasar, bentuk pemerintahan kita, dan institusi pembinaan perang kita.
Gagasan ilmu-seperti-budaya tidak dapat diragukan lagi lahir dari gerakan-gerakan politik demikian,
yang melihat dalam klaim "otonomi" ilmu adalah sebuah kebohongan ideologis, sebuah gagasan yang
tidak terpencil dari uraian yang lebih lengkap atas ilmu sebagai formasi sosial dan sejarah tertentu--
sebagaimana epistemologi yang berfungsi sebagai "strategi pembenaran" atas kekuasaan, wacana ilmiah,
yang dalam klaimnya pada pengetahuan obyektif, merasionalkan kepercayaan atas kekuasaan (Harding
1990, h. 87).

Gagasan ilmu-seperti-budaya adalah juga gagasan ngambang yang dihirup oleh sekelompok
sarjana hampir di waktu yang sama. Dari ragam disiplin dan perspektif, para analis mempertontonkan
bahwa tidak ada pengetahuan yang bebas dari pelaksanaan kekuasaan dan bahwa beberapa dan semua
pengetahuan beroperasi seperti bahasa (bentuk budaya yang paling unggul). Ini bermaksud bahwa,
sebagaimana bahasa, pengetahuan memberi struktur-struktur dan pelaksanaan-pelaksanaan bagi semua
representasi realitas. Argumen utama--ditarik secara prinsip dari analisis wacana, yang feminis
gunakan--adalah bahwa obyek-obyek pengetahuan dibentuk sebagai obyek penelitian di bawah atau di
dalam sistem deskripsi--deskripsi-deskripsi yang sudah eksis dalam konteks (sosiobudaya) kolektif. 2
2

Saya di sini menunjuk pada komentar Longino (1990, h. 98-102) mengenai hal ini dan identifikasinya atas "konstitusi
sebuah obyek" seperti Foucault (1982). Diantara filosof pragmatis Amerika, terutama George Herbert Mead, terdapat
teori yang sungguh serupa pada teori Foucault, salah satu yang sama-sama menekankan pada "diskursif". Lihat
11

Mengambil dari karya-karya kontemporernya, terutama sekali dalam kesusastraan dan linguistik, dan
juga dari "program kuat" dalam sosiologi ilmu (Bloor 1991), feminis mensistematiskan gagasan
kesesuaian ilmu dan semua bentuk sosiobudaya, teks-teks dan praktik-praktik. "Obyek-obyek alami"
ilmu, mereka berpendapat, sudah eksis dalam bidang sosiobudaya mengenai interpretasi dalam cara
demikian bahwa nilai-nilai sosiobudaya dan ideologi beroperasi dalam penstrukturan penelitian ilmiah
dan prosedur-prosedur; yakni, makna-makna budaya (mengenai sifat dasar, monogami, ke-perempuan-
an, tubuh, dan sebagainya) beroperasi sebagai bagian penelitian ilmiah. Tentu saja, bagaimana ia dapat
menjadi sebaliknya? Pengetahuan ilmiah merupakan bangunan konsep dunia yang sudah diketahui dan
dialami sebagai sesuatu; pencarian pengetahuan mengira tempat kehidupan budaya, dalam kehidupan
budaya itu ilmu membentangkan dirinya sendiri.

Tapi obyek-obyek dibentuk dalam pengertian lain, juga: dalam mengerjakan ilmu--dalam kerja
ilmuwan di laboratorium--produksi pengetahuan adalah "konstruktif ketimbang deskriptif": praktik ilmu
dapat diperiksa dengan menguraikannya sebagai aktifitas budaya dalam kebenarannya sendiri;obyek-
obyek ilmiah secara teknis dihasilkan dalam laboratorium.... secara simbolis dan politis dibentuk (knorr-
Cetina 1993, h. 4). Obyek-obyek ilmu—fakta-faktanya, pelaksanaaan-pelaksanaannya, ukuran-
ukurannya--adalah, meminjam kalimat Thomas Kuhn (1970, h. 126), "berkumpul bersama kesukaran".
Mereka bukan "terberi" dari pengalaman ataupun apa yang secara langsung dilihat; mereka adalah
"ketentuan paradigma". Sebagaimana "pengetahuan" kita tentang sesuatu dipersepsi, persepsi ilmiah kita
adalah persepsi-persepsi terdidik: "Kita tidak memiliki akses langsung pada apa yang kita ketahui itu,
tidak ada kaidah-kaidah atau generalisasi-generalisasi guna mengungkapkan pengetahuan ini" (Kuhn
1970, h. 196).

Karya Haraway (1991, Bab 9), misalnya, melukiskan dari karya para sosiologi pengetahuan
ilmiah (sociologists of scientific knowledge) (Bruno Latour, Steve Woolgar et al.), yang karyanya meliputi
studi tentang ilmu dan teknologi melalui studi pengamatan pada situs-situs produksi ilmiah, terutama
laboratorium. Sosiolog ilmu (sociologist of science) Karin Knorr-Cetina (1993, h. 5) menggambarkan arti
penting teori dari laboratorium dalam cara yang menjadikan jelas bagaimana pendekatan ini membuka
"kebiasaan" laboratorium, fitur biasa dan informalnya:

Arti penting pikiran tentang kebohongan laboratorium tidak hanya dalam fakta bahwa ia
membuka bidang ini atas penyelidikan dan menawarkan sebuah kerangka kerja budaya
bagi pengerukan bidang ini. Ia berbohong juga dalam fakta bahwa laboratorium sendiri
menjadi pikiran teoritis dalam pemahaman kita terhadap ilmu. Menurut perspektif ini,
laboratorium adalah tempat (lokus) dari mekanisme dan proses yang dapat diletakkan
untuk mengurai "keberhasilaln" dari ilmu.... mekanisme dan proses ini non-metodologis
dan keduniawian. Mereka tampak tidak banyak melakukan dengan logika dan prosedur
ilmiah khusus, dengan rasionalitas, atau dengan apa yang dimaksudkan oleh ke-valid-an....
Laboratorium merupakan lingkungan "tinggi" yang "meningkatkan pada" keteraturan
ilmiah sebagaimana dialami dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitan kepada keteraturan
sosial. Bagaimana perbaikan ini datang? Studi laboratorium meyakinkan bahwa ia tunduk

Mead 1934, h. 77-88; 1938, h. 140-153; [1917] 1982.


12

pada obyek-obyek alamiah.... obyek-obyek bukan campuran entitas yang diletakkan


"sebagai mereka".... laboratorium jarang bekerja dengan obyek-obyek yang terjadi di alam....
mereka bekerja dengan obyek-kesan atau dengan visualnya, auditory, elektrik, dan
sebagainya, meniru dengan komponen-komponennya, turunan-turunannya, versi
"murni"nya.

Walaupun keberatan-keberatan beberapa kritik feminis 3 terhadap pengawinan hal tersebut


dalam studi sosial atas ilmu, terdapat beberapa poin penting dari kesepakatan antara mereka. Kedua
kelompok yang mengadopsi secara eksplisit pendekatan budaya kepada ilmu, dan semua implikasinya:
pandangan nominalis (vs esensialis) tentang ilmu sebagai formasi sosiohistoris kompleks mengubah
dunianya sendiri dan diubah oleh dunianya; pandangan tentang ilmu sebagai bentuk produksi
pengetahuan yakni, dalam respek-respeknya yang paling penting, yang dapat dibandingkan dalam
organisasi dan praktiknya kepada bentuk-bentuk lain produksi pengetahuan; pandangan tentang metode
ilmiah sebagai ritual-ritual kompleks dan aktifitas-aktifitas yang mempekerjakan kategori-kategori
budaya, makna, dan simbol; pandangan tentang kerja ilmiah sebagai aktifitas sosial yang dibentuk oleh
wacana dan kuasa.

Tapi feminis menawarkan sesuatu yang penting dan tersendiri bagi kritisisme ilmu, meluaskan
penyingkapan gagasan tentang ilmu-seperti-budaya dan mengalamatkan kepadanya muatan politis atas
beberapa konsekuensi. Sebagai kekuatan budaya dan suatu wacana, mereka berpendapat, skema
klasifikasi dan kategori ilmu, persoalan-persoalannya, dan obyek-obyeknya atas penelitian beroperasi
sebagai kekuatan ideologi. mengalamiahkan penundukan atas perempun, sementara di waktu yang
sama, membawa dirinya sendiri ke sisi luar budaya dan sejarah, dan dengan demikian, membebaskan
dari analisa budaya dan sosial (Harding 1986, Bab 5; Rose 1994, h. 97). "Persoalan dari apa yang kita sebut
praktik ideologi". Dorothy Smith menulis, "adalah bahwa mereka membatasi kita pada tingkatan
konsepsi, membungkam kehadiran dan cara berpikir atas relasi-relasi yang mendasari yang mereka
ungkapkan" (1990a, h. 37). Oleh karena itu, klaim-klaim ilmu pada universalisme, netralitas, dan
obyektifitas merupakan, dalam dampak-dampaknya, mistifikasi-mistifikasi. Apa yang secara efektif
mereka mistifikasi--disamping praktik khusus dari ilmu sendiri, mode-mode pelaksanaannya yang
dijernihkan, tata cara rahasia dan praktik-praktik yang tidak dapat disertakan--adalah, tepatnya, operasi-
operasi budayanya. Dengan menyoroti "kemunafikan dan irasionalitas atas klaim universalistik ilmu
dalam wajah jahat dan praktik-praktik diskriminasi yang tak diucapkan", feminisme menarik perhatian
kepada mistifikasi dari ilmu (Harding 1991, h. 32).

Jika, sebagaimana feminis berpendapat, pengetahuan ilmiah adalah pemahaman terbaik


sebagai sebuah formasi budaya, kemudian ilmu dapat dibuka dan ditundukkan kepada penelitian-
penelitian sosiohistoris. Jika ilmu merupakan sebuah "konstruk sosial", maka konstruksinya dan
konstruktornya dapat dilihat. Demikian logika melayani sebagai undangan bagi seluruh tuan rumah dari
penelitian budaya ke dalam kerja ilmiah, ke dalam perkiraan atas penelitian-penelitian ilmu, metafor-
metafornya yang berlaku, metode-metode dan teknik-tekniknya yang berkuasa, dan cara-cara tersebut
dihubungkan pada ekonomi, politik, dan budaya. Sarjana feminis meletakkan pernyataan tegas pada

3
Lihat Rose (1994, h. 88-89) dan Harding (1991, h. 82-83) untuk contoh ini.
13

pandangan bahwa gagasan budaya dan studinya, menggunakan metode-metode "ilmu budaya" (dari
sosiologi, antropologi, linguistik, studi kesusastraan, dan sebagainya), dapat digunakan untuk
mengevaluasi ilmu. Ilmu dilihat sebagai sekumpulan metode dan praktik yang hanya dapat diteliti
dengan cermat oleh dirinya sendiri dan dalam standar-standarnya sendiri atas pengetahuan dan
produksi kebenaran. Ilmu tidak kebal budaya (Aronowitz 1988, h. viii). Pernyataan tegas ini atas status
ilmu memiliki pembelanya dalam lingkungan akademik (e.g., dari hermeneutik dan teori kritis, dari
filsafat dan sejarah ilmu) dan memberikan muatan jelas bagi kritik atas penyingkapan ortodoksi
peradaban dan budaya Barat--rasionalitas, obyektifitas, dan pencarian pengetahuan universal. Ilmu akan
menduduki tempatnya yang ditinggikan di atas "masyarakat", tapi akan berimplikasi secara mendalam
dalam sejarah politiknya.4

ILMU BERKELAMIN

Agenda tertentu feminis adalah untuk memperlihatkan tepatnya bagaimana pengetahuan


ilmiah "berkelamin" dan "bias jender", produk dari tindakan partikular temuan-temuannya--tentu saja,
sama seperti tindakan sex, meliputi sebagaimana ia hanya dilakukan seperti produsennya. Karena jika
ilmu adalah integral pada dunia yang sangat luas dan kompleks dari "masyarakat industri modern"--jika
ia sebuah konstruk sosial", atau fenomena sosial dan budaya--maka ilmu adalah sebuah kreasi dan
kolaborasi laki-laki dan mewakili sejarah partikularnya sendiri dan kehidupan politik dalam masyarakat
industri modern. Diungkapkan dalam aforisme Virginia Woolf, "Daya sex ilmu akan nampak bukan sex;
dia (perempuan) adalah seorang laki-laki, seorang ayah" ([1938] 1966, h. 139).

"Infeksinya ilmu", sebagaimana Woolf menyebutnya dalam Three Guineas, adalah sebuah
penyakit, merajalela di abad 19, menyebar terutama pada manusia di tempat publik dan profesi-profesi
("kita menemukan kehadirannya di gedung putih, di universitas-universitas, dan di gereja-gereja").
Gejala-gejala yang jelas menyakitkan: emosi-emosi kekanak-kanakan yang kuat dan perasaan-perasaan
digerakkan "oleh beberapa sugesti bahwa perempuan diakui" pada barisan mereka. Karena maksud
pemaafan dan penyembunyian emosi-emosi tersebut, ilmu (juga terinfeksi), dengan Alam sebagai saksi
ahli, "menghasilkan ukuran untuk meneraturkan", menyatakan bahwa otak perempuan bahkan terlalu
kecil untuk diperiksa. Dan bila, tentu saja, bahwa otak akan melewati pemeriksaan-pemeriksaan, ia
bukan otak kreatif; ataupun dapatkah ia memikul tanggung jawab; ataupun mendapat gaji tinggi.
"Demikian ilmu berpendapat, demikian profesor-profesor setuju".... dan demikian dinyatakan para ayah
bersama para imam (Woolf [1938] 1966, h. 127, 135-140).

Sementara aliran Woolf dan kritik feminis yang berbeda, logika mereka secara mencolok
serupa. Mereka memandang ilmu sebagai keterlibatan mendalam dalam strategi peminggiran dari laki-
laki. Karena penemuan muatan dalam risalah ilmiah, dalam doktrin evolusioner, atau dalam teori
mengenai "pengembangan manusia" menegaskan superioritas alamiah laki-laki. Dalam corak khas ilmu
4

Di belakang gagasan dan strategi politik ini terletak gagasan kontemporer, dalam "sejarah dari sejarah-sejarah",
bahwa semua tulisan atas sejarah adalah politis. Hayden White (1973, "introduction") menyebut ini "karakter fiktif
dari rekonstruksi sejarah", pandangan yang melawan "klaim sejarah diantara ilmu-ilmu". Studi dan tulisan atas
sejarah memberi makna "fiktif" dalam pengertian bahwa kesadaran historis dipandang sebagai pendirian ideologis
atau "prasangka Barat secara khusus" terhadap yang lain "kurang lebih" budaya dan peradaban dunia.
14

sosial feminis, ilmu merupakan sekumpulan praktik-praktik berkuasa, "praktik-praktik konseptual"


(Smith 1990a), melalui praktik-praktik itu sifat dasar perempuan, tubuhnya, dan psikologinya
dihasilkan (Hubbart et al. 1982). Tentu saja, memberi tempat paling unggul ilmu dalam peradaban
industri, ilmu adalah bentuk pengetahuan paling maskulin --abstrak, obyektif, otoritatif (Fargaris 1986, h.
185); kalimat "ilmuwan laki-laki" itu pun berlebihan (Harding 1991, h. 20). Pernyataan demikian ini tidak
hanya milik feminis. Thomas Kuhn menyimpulkan "poskrip"nya 1969 pada risalah klasik tentang sejarah
ilmu dengan kata-kata serupa diktum, menegaskan bahwa jika pengetahuan ilmiah "pada hakikatnya
merupakan kepemilikan bersama dari kelompok.... untuk memahaminya kita mesti tahu karakteristik
khusus dari kelompok yang mencipta dan menggunakannya" (Kuhn 1970, h. 210).

Impersonalitas dan abstrak ilmu itu pula, ia berpendapat, merefleksikan dan mengungkapkan
pengalaman kelas dominan laki-laki dalam masyarakat borjuis Barat (e.g., Bordo 1987; Keller 1985;
Merchant 1980; Rose 1983; Rose dan Rose 1979). Tapi watak maskulin ini juga (dan bukan kebetulan)
melayani untuk mengumumkan secara resmi hak-hak istimewa dan melindungi posisi ilmu dan
ilmuwan. Misalnya, dalam esainya "Women's Nature and Scientific Objectivity", Elizabeth Fee berpendapat
bahwa penyingkapan dikotomi budaya Barat--rasio/emosi, obyektifitas/subyektifitas, budaya/alam,
publik/privat--terus menerus melayani untuk mengideologikan dominasi laki-laki sebagai penguasa
dalam industri yang mendasari masyarakat, untuk melegitimasi tempat ilmu sebagai "sisi luar" dari
budaya dan politik, dan untuk membatasi perempuan dalam posisi-posisi dan tempat-tempat yang
pantas pada sifat dasar perempuan. "Identifikasi laki-laki sebagai pikiran yang mengetahui dan
perempuan sebagai sambungannya pada sifat dasar merupakan tema berlanjut dalam budaya Barat".
Perempuan dan reproduksi manusia diserahkan pada ruang "alami", sementara aktifitas manusia yang
lain (dan laki-laki) diberikan pada ruang sosial" (Fee 1986, h. 44). Kontrol laki-laki melebihi produksi
pengetahuan ilmiah dan wacana tidak memungkinkan keluar dari bagian sosial dan dominasi politiknya
dan juga kuasanya melebihi perempuan. Ilmu tidak hanya apa yang laki-laki kontrol, yakni bagaimana
laki-laki mengontrol. Melalui pengetahuannya pulalah dapat ditemukan siapa laki-laki yang mengontrol.

Karya Hilary Rose baru-baru ini mengikuti jejak bagaimana agenda-agenda penelitian feminis
bergeser dari perhatian awalnya terhadap peminggiran perempuan dari ilmu ke pandangan tentang
"perempuan sebagai yang dihasilkan oleh ilmu", menunjuk pada sarjana yang "melukiskan mengenai
konsep jender untuk menjelaskan proses ganda ilmu berkelamin dihasilkan oleh sistem produksi
pengetahuan berkelamin" (Rose 1994, h. 18). Secara aktual, dua agenda ini secara tertutup berkaitan.
Karena, sebagaimana feminis berpendapat, peminggiran perempuan dari ilmu adalah suatu diskursif
ulung lantaran sebagai pengetahuan ilmiah yang menguraikan perempuan dalam cara-cara tetentu,
sebagai sisi luar ("di bawah", "ketidaksanggupan atas") pemerintahan, rasionalitas, dan otoritas.
Terutama sekali ini menjadi jelas dalam ilmu biologi dan psikologi dimana ketergantungan dan
subordinasi perempuan secara ilmiah "ditegaskan" dalam cara-cara yang tidak terkira banyaknya (Hrdy
1981; Hubbart et al. 1979; Smith 1990a, Bab 5-7; Broverman et al. 1970).

"Ketidaksanggupan" perempuan dikaji sebagai ketidaksanggupan yang dibentuk secara ilmiah.


Ini tidak bermaksud bahwa ketidaksanggupan ini adalah fiksi ilmiah. Ia bermaksud bahwa dalam
wacana ilmiah, terutama, perempuan menemukan ketidaksanggupannya yang paling benar dan
15

konsekuen berhadap hadapan dengan laki-laki. Karena salah satu fungsi khusus dari wacana ilmiah,
apakah mereka medis, psikiatri, atau termasuk disiplin akademik, adalah untuk memperlihatkan
perempuan kelemahannya yang paling besar dan kerentanannya sebagai perempuan--untuk menamakan
dan memetakan kelemahan mentalnya, patologi khusunya, kelebihan fisiknya, atau hanya
ketidaksanggupan alaminya.

Dorothy Smith meminta perhatian kita pada "pengasingan dari ungkapan", ketika perempuan
menjadi "sadar atas mode bicara, tulisan, dan pikiran" yang membawa kuasanya atas ungkapan jauh
darinya bahkan sebagaimana mereka menggunakannya (Smith 1990a, h. 199-200). Agaknya seperti
pelayan Stevens (dalam film The Remain of the Day), yang memiliki ketidaktahuan luar biasa atas urusan-
urusan publik menegaskan pandangan tamu tuannya bahwa Stevens dan sejenisnya tidak cocok untuk
berpemerintahan sendiri. Kenyataannya, kehidupan atas kerja berat dan pelayanan pada tuannya, dan
ketidaktahuan dan penempatan rendah tersebut dipelihara, adalah bukti yang tidak dapat disangkal
mengenai ketidakmampuan politik. Sejajar Saya melukiskan di sini antara wacana "tuan" (ilmu, dalam
kasus perempuan) yang melibatkan kelompok subordinat dalam subordinasi mereka, menjebloskan
mereka dalam cara-cara yang mengatur untuk mensyahkan penghukuman-penghukuman tuannya atas
sifat dasar mereka.

Psikolog Carol Gilligan juga menunjukkan sesuatu yang serupa dalam silence of women (1982, h.
173): "Sebagaimana kita telah mendengar selama berabad-abad suara dari laki-laki dan teori-teori
perkembangan [psikologi] yang pengalamannya memberitahukan, begitu kita datang lebih baru-baru ini
mengumumkan tidak hanya kebisuan perempuan tapi kesulitan mendengar apa yang mereka katakan
ketika mereka bicara". Kehidupan dalam dunia dimana mereka dan pengalamannya didevaluasikan,
suara terputus putus perempuan (seperti pelayan Stevens) mengkhianati pengertiannya sendiri
mengenai ketidakpercayaan dalam diri mereka sendiri, ketidakpercayaan lahir dari kebiasaan
kebisuannya.

Metafor "suara"--diambil dalam kalimat "berbicara terus terang", "jadi bisu", "tidak bersuara",
"penemuan suara seseorang" (Berkeley et al., 1986, h. 18)--menyingkap seseorang bagi karya feminis
dalam bidang yang sama berbedanya dengan sejarah (Lerner 1986), psikologi (Gilligan 1982), dan puisi
(Rich 1977). Kebisuan ini pula menunjukkan peminggiran aktif perempuan dari produksi pengetahuan
yang berlaku dan otoritatif dari peradaban Barat (hukum, ilmu, kedokteran) dan juga peraturannya.
Semua implikasi berarti atas peminggiran ini atau pembungkaman perempuan, penulis-penulis feminis
menguraikan dalam dua keterangan.

Pertama, status marjinal perempuan dalam produksi peradaban kita--dalam pembuatan ilmu,
teknologi, pemerintahan, pembikinan seni dan sastra--secara efektif melayani untuk mensyahkan klaim
inferioritas perempuan dan, dengan demikian, untuk melegitimasi subordinasinya. Karena perempuan
tidak memiliki apapun dari dirinya sendiri ("tidak ada masa lalu, tidak ada sejarah, tidak ada agama",
Simone de Beauvoir menulis dalam The Second Sex), tidak adanya hal-hal tersebut untuk mengesahkan
diri mereka dan kesanggupannya serta prestasinya sendiri. Gagasan "penemuan" dan "penciptaan"
sejarahnya sendiri (maksud teoritis dari istilah-istilalh ini dapat berbeda secara luas) membentuk bagian
tengah karya klasik Gerda Lerner The Creation of Patriarchy (1986), berpendapat bahwa tulisan atas sejarah
16

perempuan sangat diperlukan untuk mengubah status subordinatnya. Tanpa sejarah untuk
memperlihatkan perempuan tempatnya dalam masyarakat dan peradaban, mereka tidak punya pilihan
lain; tidak ada apapun--tidak ada sejarah atas dirinya sendiri dan kesanggupannya—sejarah atas dirinya
itu untuk melukiskan dalam percobaannya untuk menegaskan dirinya sendiri dan untuk menyatakan
dengan tegas tempatnya di sisi laki-laki. Selama dialog perempuan tetap dialog bersama sistem-sistem
atas keunggulan laki-laki, "sumber wawasan baru tertutup untuknya", dan daya dorong untuk secara
aktif menegaskan dirinya dalam sejarah yang dihilangkan. Karena dalam sistem simbol keunggulan laki-
laki ini, "perempuan--sebagai sebuah konsep, entitas kolektif, sebuah individu--adalah marjinal atau
digolongkan marjinal" (Lerner 1986, h. 227).

Gagasan ini, tentu, gagasan dan strategi yang sama dari kelompok-kelompok lain sekarang ini
yang urgensinya untuk membuka kedok dan menulis prestasinya sendiri sebagaimana orang akan
melakukan demikian dalam meneraturkan untuk menegaskan tempatnya yang pantas dalam sejarah dan
peradaban dunia. Mengerahkan alasan politis yang sama: tanpa peran produktif dalam sejarah, tanpa
rekaman prestasi (dan juga rekaman atas penindasannya oleh yang lain), pelitiknya sendiri menuntut
ketiadaan maksud.

Kedua, kritik feminis berpendapat bahwa proyeknya menuliskan kembali sejarah perempuan,
sebagaimana dalam kasus sejarah laki-laki, melukiskan dari pengalamannya sendiri serta kehidupan
sosiopolitiknya. Sejarah perempuan, ia berpendapat, tidak dapat dihindarkan akan menguraikan sejarah
yang keluar dari pengalaman kolektifnya sendiri dan akan membuka prestasi kolektif dan individu yang
"dihilangkan" atau "didevaluasi" sebagai bagian atas subordinasi dan penindasannya. Aronowitz (1991,
h. 312-313) menemukan dalam gagasan feminis atas keadaan marjinal untuk menuliskan sejarah seluruh
pikiran politik budaya. Karena ia menegaskan sebagaimana bentuk dan kekuatan asas peminggiran itu
dari bahasa dan wacana: "perempuan tidak hadir dalam teks wacana publik". Jadi, dia menggarisbawahi,
dalam komentarnya sendiri mengenai kritik feminis, bahwa ketidakhadiran perempuan dalam wacana
publik adalah tidak sebanyak ekspresif peminggirannya, sebagaimana ia konstitutif atasnya, dan dengan
demikian hal itu adalah sangat pentig untuk mengatasi supremasi laki-laki.

Tema feminis tentang "mendapatkan suara" bermaksud bahwa mereka akan menyuarakan
pengalaman kolektifnya sendiri sebagai perempuan--bahwa mereka akan membuat pengalaman ini
sebagai cara yang sah untuk "memasuki sejarah", dengan berbicara dari titik pijaknya sendiri dan bukan
titik pijak laki-laki: "Kita sudah tahu bahwa pikiran perempuan, akhirnya tidak terkekang setelah
beberapa ribu tahun, akan memiliki bagiannya dalam memberikan pandangan, perintah, solusi.
Perempuan di waktu panjang terakhir akan menuntut, sebagaimana yang laki-laki lakukan dalam
Renaissance, hak untuk menjelaskan, hak untuk mendefinisikan" (Lerner 1986, h. 229).

ILMU FEMINIS

Proyek pendefinisian apakah ilmu dapat menjadi ilmu ketika ilmu diletakkan di tangan dan
pikiran serta hati perempuan telah menyibukkan kritik feminis sejak 1980an. Apa yang disebut "titik
pijak perempuan" atau artikulasi world view feminis atau dasar perspektif feminis mengenai pengalaman
17

kolektif perempuan, merupakan inti dari tulisan-tulisan feminis lintas disiplin. Pernyataan awal oleh
Dorothy Smith (1987), Hilary Rose (1983), dan Nancy Hartsock (1983) adalah amat penting, menjelajah
kemungkinan-kemungkinan demi kejelasan "ilmu feminis" yang mendasar dalam posisi sosiopolitik dan
pengalaman sosial perempuan--sebuah "kepentingan" atau secara politik memperlakukan ilmu
digunakan untuk memahami dunia dari posisi orang yang ditundukkan atau dimarjinalkan. Ilmu
feminis adalah "ilmu pengganti" dalam tujuannya untuk merekonstruksi proyek ilmu Pencerahan atas
pembebasan kemanusiaan, sementara melawan klaim Pencerahan untuk mendirikan Rasio "murni",
bebas dari rintangan kehidupan materi dan lokasi sosial. Dalam kata-kata Harding (1991, h, 121), "ilmu
pengganti" milik feminis menggunakan "kehidupan perempuan sebagai dasar untuk mengkritik klaim-
klaim pengetahuan dominan, yang mendasari secara pokok dalam kehidupan laki-laki pada ras, kelas,
budaya dominan". Sasarannya bukan "ideologi" dalam makna sempit dari istilah ini. Karena feminis
berpindah dari kritik atas ilmu-seperti-ideologi ke kritik ilmu-seperti-budaya (lihat interpretasi Saya atas
ideologi seperti budaya dalam Bab 2 buku ini). Sasarannya adalah memaksimalkan dan memperkuat
obyektifitas pengetahuan ilmiah, "mengatasi kepercayaan berlebihan pada kehidupan laki-laki secara
khusus dan juga menjadikan kehidupan perempuan sebagai asal usul bagi problematika ilmiah, sumber
kejelasan ilmiah, serta tanda periksa validitas atas klaim-klaim pengetahuan" (Harding 1991, h. 122-123;
cf. Harding 1993a; 1993b; Rose 1994, h, 93-96).

Isu-isu yang mengiitari kemungkinan ilmu feminis membuka keluasan dan kesulitan
penelitian-penelitian epistemologis mengenai apakah "ilmu pengganti" feminis akan berarti, terutama
sekali dalam wajah kritik posmodernis atas ilmu empiris dan, tentu saja, dari semua "narasi-narasi
induk" (misal, Nicholson 1990; Alcoff dan Porter 1993). "Teoritisi titik pijak" feminis menemukan dirinya
sendiri dalam perdebatan panjang dengan sekutu feminis bersama posmodernisme, yang
mempertanyakan gagasan itu juga tentang "titik pijak feminis" atau "ilmu feminis", dan juga dengan yang
lain yang melawan gagasan itu juga tentang klaim-klaimya yang tampak berbicara untuk semua feminis,
untuk semua perempuan. Apakah di sana, misalnya, sebagai suatu world view atau pengetahuan
tersendiri untuk perempuan? Bukankah pernyataan tegas demikian meletakkan pada pikiran-pikiran
"esensialis", yang mendefinisikan konteks sejarah dan sosial itu juga dari yang teori feminis lukiskan?
Bukankah gagasan atas titik pijak feminis universal mendasar dalam teori tentang sifat dasar esensial
perempuan, termasuk sifat dasar ragawinya? Dapatkah beberapa kelompok tunggal "diprioritaskan" atau
klaim "epistemik istimewa" tanpa mensubordinasi yang lain? 5 Dan seterusnya. (Lihat diskusinya dalam
Rose 1994, Bab 1-2; Longino 1990, Bab 9; Harding 1991, Bab 5 dan 12; Harding 1986, Bab 6.)

Perdebatan tentang pertanyaan-pertanyaan ini telah meluas dan menggebu-gebu, meliputi


mereka adalah feminis dengan personal dan intelektual yang luas (dan karir) memancangkan dalam
istilah dan hasil dari isu-isu ini. 6 Isu vital dalam perdebatan ini baik atau tidak untuk menorehkan upaya
5
Kritisisme ini mengenai klaim atas "keistimewaan epistemik" adalah penting secara partikular, karena ia membuka
teoritisi titik pijak (standpoint) pada tingkat yang sama pada laki-laki--yakni, strategi laki-laki atas pengklaiman
kebenaran berbicara untuk semua sementara menjadikan yang lain diam dalam proses-proses itu. Saya berhutang
budi pada Margaret Urban Walker untuk pengklarifikasian implikasi-implikasi dari isu-isu ini, dan juga untuk
penbacaan hati-hatinya dan komentar mengenai bab ini.
6
Untuk pertukaran hebat dan tidak ramah secara partikular antara teoritisi standpoint tertemuka (Smith) dan feminis
posmodernis (Clough), lihat Smith (1993) dan Clough (1993). Hilary Rose (1994, Bab 4) meletakkan bersama-sama
dua pendekatan dalam cara yang paling memuaskan, sementara yang benar-benar tinggal di tempat teoritisi
standpoint, penegasan pentingnya dalam nilai "relisme kritis".
18

dan tinta pada sebuah ilmu baru serta obyektifitas yang lebih kuat dan lebih inklusif (teori titik-pijak),
atau apakah untuk berdiri dalam oposisi pada beberapa atau semua wacana universal (ilmu, rasio,
kebenaran, obyektifitas), sementara mempromokan nilai dari suara yang sangat banyak, dan juga "matrik
dominasi" yang kompleks (Collins 1990), serta menarik perhatian pada "wacana" ilmu sebagai
kuasa/pengetahuan (posmodernisme). Linda Nicholson (1990, h. 8) menunjukkan, dan Saya setuju,
bahwa bagi beberapa feminis persoalan sulit adalah apakah kategori-kategori jender itu juga akan
"mempertahankan kritik posmodern", relativisme bakunya, permusuhannya pada teori, dan kecurigaan
absolutnya.

Sementara Saya membagi perhatian Nicholson dengan keberlangsungan hidup dari "jender"
(konsepnya), Saya menemukannya sebuah perhatian yakni keseluruhan akademiklah, semenjak dalam
dunia luas (setidaknya universitas-seperti-dunia) konsep atas jender, bersama-sama dengan konsep ras
dan, kurang lebih, etnisitas,7 dengan tangkas mengambil tempat seperempat suara hati kolektif Amerika,
dalam pertanyaan mendasar atas identitas politik dan sosial seseorang--lelaki/perempuan, atau apapun;
kulit hitam/kulit putih, atau apapun--secara mendalam dan tidak dapat dielakkan. Ini tidak untuk
mengatakan bahwa kesadaran atas jender dan ras serta kuasanya sebagai representasi kolektif
(meluaskan kiasan pada Durkheim) berbaris bergandengan dengan pertumbuhan sosial dan persamaan
politik. Terdapat, kenyataannya, pertimbangan jelas untuk mendukung pandangan sexisme tepatnya
(menahan ucapan Saya di sini pada "jender") dalam opini publik, dalam institusi agama, di tempat kerja,
dan seterusnya. Bagaimanapun, realitas sosial jender--sebagai kategori kekuatan kolektif dan sebuah
fakta sosial yang memasuki kehidupan politik kita, wacana profesional kita (ilmiah, medis, dan lainnya),
dan kehidupan diskursif sehari-hari kita--tidak perlu dipersoalkan lagi. Kesadaran kolektif atas
perbedaan peran sosiokultural laki-laki dan perempuan, atas "stereotipe" jenis kelamin, atas "godaan
jenis kelamin", dan seterusnya, adalah fakta sosial kontemporer yang sangat kuat. Di manapun seseorang
berdiri pada nilai dan fakta itu, ia merupakan fakta yang sama semua.

ILMU-SEPERTI-BUDAYA: SEBUAH PENILAIAN

"Jender adalah kategori yang lahir dari budaya" (Gergen 1991, h. 143). Tempatnya dalam opini
publik dan politik, tidak dapat diragukan lagi, adalah dampak gerakan feminis untuk mengubah
kesadaran publik dalam keteraturan untuk mencapai secara efektif hak-hak politik dan sosial. Namun
kondisi bagi gerakan itu untuk mendirikan secara efektif hal tersebut dapat diperoleh dalam perubahan
budaya--perubahan dalam pengetahuan, teknologi, kesusatraan--jauh lebih luas dari gagasan perempuan
itu sendiri. Meletakkan kesadaran publik atas "jender" dan "ras", yang Saya diskusikan di atas.
Keefektifannya sebagai kategori sosial atau representasi kolektif merupakan dampak dari proses sosial
yang luas dan kompleks: diantaranya, tumbuhnya kesusatraan dari populasi kita dan menyebarnya ilmu
modern dan disiplin-disiplin (sosiologi, psikologi) dalalm bahasa biasa (cara bercakap) dan struktur
mental, sekulerisasi bahasa dan world view, dan juga dampak-dampak gerakan politik (hak-hak sipil,
7
Di Amerika "ras" dan "jender" memainkan perenan sosial dan politik penting, sebagaimana budaya populer dan
media memainkannya. "Etnisitas" mungkin mengambil tempat kedua pada "ras" dan "jender", dalam politik nasional
akhirnya, kecuali di Amerika baru-baru ini perdebatan ras dan politik melebihi imigran dan imigrasi, yang
cenderung menguat seperti di California dan Florida. Tapi di arena global, etnis dan identitas nasional dan
perjuangan baru-baru ini sangat hebat. Ketika sosiolog dan politisi Amerika terkemuka Daniel Patrick Moynihad
menerbitkan karyanya paling baru-baru ini mengenai etnisitas, Pandaemonium (1993), fokusnya adalah global
bukan nasional.
19

feminisme) pada kesadaran umum.

Dari pandangan panjang (histoire de la longue durée karya Braudel), "jender" dan "ras"
merupakan gagasan yang tidak mungkin tegak, tak terpikirkan bagi abad-abad terakhir. Pandangan
yang luar biasa kuat dan bertahan lama adalah bahwa menjadi laki-laki/perempuan, kulit hitam/kulit
putih (rumusan-rumusan kita sendiri) merupakan "sifat dasar" atau "takdir", bukan budaya, fakta-fakta
biologis yang tak beruba; inferioritas perempuan dan kulit hitam yang tak terbantahkan adalah fakta-
fakta kemampuan otak inferior, lemah mental, dan lainnya. "Pembebasan" perempuan dari apa yang
Laurence Stone (1994) sebut "dua ribu tahun dekat perbudakan" terjadi hanya abad ini; kesempatan yang
sama atas perempuan bagi pendidikan adalah juga hanya abad lama. "Tidak ada", Stone mengamati,
"yang lebih menyolok dari pada perampasan sistematis pendidikan atas perempuan". Secara relatif di
waktu yang singkat, bahwa pendidikan melayani sebagai kondisi untuk emansipasi sosial dan politik
perempuan, dan juga dampak dari pertumbuhan emansipasi itu.

Pembebasan perempuan, kemudian, bertepatan dengan gerakan dan perubahan--dalam ilmu,


kesusastraan, rasionalisasi kehidupan sosial--yang secara efektif membawa ke dalam pandangan realitas
budaya yang sangat kuat atau fakta budaya dalam produksi dan pemeliharaan dari kejadian sebelumnya
yang menganggap sama sekali atau tak terelakkan "alamiah". Bagi perempuan, gagasan budaya adalah
bagian yang tidak mungkin keluar dari emansipasinya, melayani secara efektif sebagai strategi bagi
emansipasinya, semenjak perubahan kondisi atas subordinasinya memerlukan pikiran bahwa perbedaan
sex berdasar secara budaya ("jender"). Tentu, sejarawan pertengahan modernitas dengan tepat
menunjukkan bahwa "budaya" pada pikiran kita untuk beberapa waktu sekarang, akhirnya semenjak
"penemuan" Eropa, keseluruhan abad 16, mengenai peradaban dunia (Anderson 1991, h. 68-69; cf. Gay
1969, Bab 7) dan semenjak fenomena "pluralisme" (Berger et al. 1973) dalam hal-hal agama, ras, dan
nasionalitas meruntuhkan universalisme peradaban abad pertengahan. Tapi keseluruhan abad ini,
gagasan budaya menjadi tidak hanya bidang wewenang dari intelektual dan akademik, tapi fitur dari
world view umum, dan gagasan yang digunakan dalam percakapan biasa. Kelayakan bagi gagasan
budaya untuk mendapatkan momentum yang sudah ia dapatkan dan dalam jangka tahun yang sangat
singkat, ia kemungkinan besar bahwa ia memerlukan daya pendorong yang sangat kuat dari
seperangkat gerakan politik: gerakan egaliter yang mencari hak-hak bagi perempuan, bagi bangsa etnik,
bagi semua ras. Sebagaimana Max Weber begitu sering mengamati gagasan tak berdaya kalau mereka
dihubungkan pada kepentingan materi kelompok. "Gagasan tidak dipercaya dalam wajah sejarah kalau
mereka menunjuk dalam arahan tingkah laku yang memajukan ragam kepentingan" (Gerth dan Mills
1946, h. 62-63).

Bila di sini beberapa gagasan tunggal yang telah dan dapat secara efektif mengubah institusi
sosial, memang susunan sosialnya sendiri, yakni dari "budaya". Tentu susunan sosial sudah berubah jika
gagasan atas "budaya" bisa mengakar dan tumbuh subur, terutama sekali imej pokoknya bahwa
"masyarakat adalah sesuatu yang dihasilkan". Sifat dasar revolusioner gagasan ini barangkali paling baik
dipahami sekarang seperangkat perlawanan naik tenggelam dari fundamentalisme atau
kontramodernisme pada layar global. Gagasan budaya adalah integral pada modernitas itu sendiri dan
pada pengejarannya atas humanitas pencerahan, tapi ia adalah, sebagaimana Hilary Rose (1994, h. 238)
20

juga mengamati, "subversif mendalam" ketika digunakan untuk mendefinisikan beberapa tubuh
otoritatif pengetahuan sebagaimana dibentuk secara sosial. Ia adalah "pengakuan" atas
"kesubversifan"nya bahwa catatan-catatan yang tidak dapat diragukan, sebagian, bagi militansi brutal
dari fundamentalisme di dunia sekarang ini. Karena gerakan feminis yang muncul di tengah-tengah
orang fundamentalis, suatu kombinasi yang bisa jadi secara partikular mematikan.8

Walaupun transformasi sosial--modernisasi, sekulerisasi, demokratisasi--bahwa gagasan atas


budaya telah diungkapkan dan disebarkan sejak "penemuannya" di sekitar abad 16, gagaan ilmu-seperti-
budaya tentu sebuah gagasan yang mustahil sampai sangat baru-baru ini. Gagasan bahwa ilmu adalah
tidak lebih (tidak kurang) "konstruksi" ketimbang sesuatu yang lain, memberi kesan bahwa ia
"menggedor bersama-sama dalam beberapa tempat untuk beberapa tujuan.... seperti segala budaya yang
lain.... Jika pengetahuan dibuat, pembuatnya bisa jadi terkunci di dalam" (Geertz 1990, h. 19).

Gagasan tentang ilmu-seperti-budaya secara radikal merendahkan harapan Pencerahan untuk


sebuah ilmu universal, harapan progresif Condorcet bagi "kesempurnaan manusia" dan
menempatkannya kembali bersama sebuah cita-cita duniawi dan usaha-usaha politis yang memiliki
metode dan kebenaran--karena mereka "dipalukan bersama" oleh yang mematikan belaka (kebanyakan
laki-laki)—menumbuhkan pertengkaran. Pertengkarannya tentu fungsi atas pertumbuhan kapasitas
ilmu, bersama pertumbuhan kuasanya, untuk mencipta kerusakan dalam kehidupan kita dan dalam
lingkungan kita. Kritik ilmu mengakui bahwa musuh mereka adalah seseorang yang menakutkan dan
bahwa otoritas dan legitimasi ilmu adalah tidak sejajar. Jadi pengamatan Foucault (1980b, h. 131-133)
mengenai "ekonomi politik" dari kebenaran:

Dalam masyarakat seperti kita...."kebenaran" adalah pusat pada bentuk wacana ilmiah dan
institusi yang menghasilkannya; ia adalah subyek untuk kesatuan ekonomi yang konstan
dan dorongan politik.... ia adalah obyek, di bawah bentuk-bentuk berbeda, atas penyebaran
dan konsumsi yang luas sekali....ia dihasilkan dan disebarkan di bawah kontrol, dominan
jika tidak ekslusif, dari beberapa aparatur ekonomi dan politik yang besar (universitas,
tentara, tulisan (karya), media)....ia adalah isu dari seluruh perdebatan politik dan
konfrontasi sosial....Problem politik esensial bagi intelektual bukan untuk mengkritisi
muatan ideologi yang diduga berkait pada ilmu....tapi tentang mengetahui dengan pasti
kemungkinan tentang bentukan sebuah politik baru atas kebenaran.

Feminis mengakui bahwa prestasi yang paling penting menjadi "ilmu feminis" baru mungkin
perjuangannya untuk berlomba dalam produksi kebenaran. Ini adalah perjuangan mereka; ini adalah
untuk mereka, "saudara perempuan". Diantara beberapa sesuatu itu ia adalah perjuangan bagi kontrol
berlebihnya konfigurasi-konfigurasi yang paling hebat dan paling konsekuen atas dunia kita--ilmu,
teknologi, kedokteran dan aparatur-aparaturnya (dari universitas sampai kamar perang, dari klinik
sampai laboratorium). Perjuangan-perjuangan yang lalu bagi pemilihan umum, bagi pembatasan diri,
bagi kontrol kelahiran, bagi hak-hak untuk bekerja dan berperang, dan bahkan untuk pelegalan aborsi,

Saya, tentu, berpikir dari kasus penting dari penulis feminis Bangladesh Taslima Nasrin, yang terpaksa bersembunyi
ketika pemerintah menuduhnya mencemarkan Islam dan ketika para mullah meletakkan harga atas kepalanya.
Kasus tersebut bukannya tanpa ironi, karena feminis Bangladesh termasuk sejumlah musuh-musuh Nasrin.
21

masih muda dalam wajah perjuangan perempuan untuk membuat ilmu dalam dunia dimana ilmu
adalah kekuasaan. Bahwa perjuangan ini dilihat sebagai pembebasan manusia dan sosial adalah
menyolok dalam evokasinya atas nenek moyang Pencerahan kita. Walaupun pembicara dan ucapannya
bisa menggemparkannya, feminis "berharap bagi pengetahuan transformatif" adalah pencarian Condoret
akan berharga.

Anda mungkin juga menyukai