“PERMUKAAN SEL”
DOSEN PENGAMPUH:
Dr.Helen J. Lawalata,M.Si
Vera LaspitaPasaribu(21507016)
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat cinta kasih-Nya,
sehinggakami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok padamata
kuliah BIOLOGI SEL, yang berjudul“PERMUKAAN SEL.”
Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RESEPTOR…………….……………………………..
B. PENGERTIAN ANTIGEN………………..……………………………
C. PENGERTIAN ADHESI………………….…………………………….
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua organisme tersusun atas sel sel. Mulai dari sayap kupu kupu hingga mahkota
bunga yang berwarna warni. Semua tersusun atas sel. Sel merupakan unit terkecil dari suatu
bentuk kehidupan. Untuk ukuran sekecil itu, sel tergolong sangat luar biasa. Sel seperti
sebuah pabrik yang senantiasa bekerja agar proses kehidupan terus berlangsung. Sel
mempunyai bagian bagian untuk menunjang fungsi tersebut. Ada bagian sel yang berfungsi
untuk menghasilkan energi, ada yang bertanggung jawab terhadap perbanyakan sel, dan ada
bagian yang menyeleksi lalu lintas zat masuk dan keluar sel. Dengan mengetahui komponen
sel, kita dapat memahami fungsi sel bagi kehidupan.
Permukaan sel merupakan bagian terluar dari suatu sel yang membatasi lingkungan
luar dengan sel. Permukaan sel memiliki peran penting untuk berinteraksi, menerima,
dan mengirimkan sinyal kepada sel lain. Pada permukaan sel terdapat reseptor-reseptor yang
dapat mengenal sinyal dan dapat diketahui oleh molekul-molekul sinyal. Sel bersifat antigen
jika sel tersebut berinteraksi dengan sel lain dan sel lain tersebut akan memproduksi
antigen. Komponen untuk antigen permukaan adalah protein dan hidrat arang atau
kombinasinya. Adhesi merupakan proses biologi yang dilakukan oleh sel tunggal untuk
membentuk jaringan dalam tubuh. Adhesi berperan dalam agregasi platelet di dalam
darah (thrombosis). Sel dapat berinteraksi dengan sel lainnya melalui komunikasi sel.
Terdapat berbagai jenis reseptor di membran plasma untuk menjalankan aktivitas
komunikasi sel.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa saja reseptor yang ada di permukaan sel?
2. Apa saja antigen yang ada di permukaan sel?
3. Apa saja adhesi yang terjadi di permukaan sel?
4. Apa saja jenis komunikasi yang terjadi pada sel?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi macam-macam reseptor yang ada di permukaan sel.
2. Mengidentifikasi macam-macam antigen yang ada di permukaan sel.
3. Mengodentifikasi macam-macam adhesi yang terjadi di permukaan sel.
4. Mengidentifikasi jenis komunikasi yang terjadi pada sel
BAB II
PEMBAHASAN
A. Reseptor
Reseptor permukaan sel (reseptor membran, reseptor
transmembran) adalah reseptor yang tertanam dalam membran plasma sebuah sel. Mereka
bertindak dalam persinyalan sel dengan menerima (mengikat) molekul ekstraseluler. Reseptor
permukaan sel merupakan protein membran integral khusus yang memungkinkan komunikasi
antara sel dan ruang ekstraseluler. Molekul ekstraseluler dapat
berupa hormon, neurotransmiter, sitokin, faktor pertumbuhan, molekul adhesi sel,
atau nutrien; mereka bereaksi dengan reseptor untuk menginduksi
perubahan metabolisme dan aktivitas sel. Dalam proses transduksi sinyal,
pengikatan ligan memengaruhi perubahan kimia yang mengalir melalui membran sel.
Reseptor terkait saluran ion dikenal sebagai reseptor ionotropik yang terlibat pensinyalan
sinaptik secara cepat antara sel yang tereksitasi secara elektrik. Pensinyalan tersebut
dimediasi oleh neurotransmiter dengan jumlah yang sedikit yang berperan secara sementara
untuk membuka atau menutup saluran ion yang dibentuk oleh protein pengikatnya. Kemudian
dengan cara singkat dapat mengubah permeabilitas ion membran plasma sehingga sel
pascasinaps tereksibilitas.
Reseptor terkait protein-G bertindak secara tidak langsung untuk mengatur aktivitas protein
target yang terikat membran plasma yang terpisah. Reseptor dan protein target saling
berinteraksi satu sama yang diperantarai oleh protein pengikat GTP trimerik (protein G). Jika
protein target adalah enzim, maka aktivitas protein tersebut dapat mengubah konsentrasi
mediatror intraseluler. Akan tetapi, jika protein target merupakan saluran ion, maka aktivitas
protein tersebut dapat mengubah permeabilitas ion membran plasma.
Reseptor terkait-enzim, ketika diaktifkan berperan secara langsung sebagai enzim. Reseptor
tersebut dibentuk oleh protein transmembran single-pass yang memiliki situs pengikatan
ligan di luar sel dan pengikatan enzim di dalam. Reseptor terkait-enzim memiliki struktur
yang heterogen dibandingkan dengan dua kelas protein reseptor lainnya.
Gambar Tiga kelas reseptor permukaan sel: (A) Reseptor terkait saluran ion, (B) reseptor
terkait protein G dan (C) reseptor terkait enzim. Meskipun banyak reseptor terkait-enzim
memiliki aktivitas enzim intrinsik, seperti yang ditunjukkan di sebelah kiri, banyak lainnya
bergantung pada enzim terkait, seperti yang ditunjukkan di sebelah kanan.
1. Relay protein –> hanya akan meneruskan pesan ke komponen sinyal berikutnya yang
berada dalam rantai.
2. Protein pembawa pesan –> membawa sinyal dari satu bagian ke bagian yang lain dari
sel, seperti dari sitosol ke nukleus.
3. Protein adaptor –> menghubungkan satu protein pensinyalan ke protein pensinyalan
lainnya.
4. Protein penguat –> yaitu dapat berupa enzim atau saluran ion. Protein tersebut dapat
meningkatkan sinyal yang mereka terima, baik dengan memproduksi perantara
intraseluler kecil dalam jumlah besar atau dengan cara mengaktifkan protein sinyal
intraseluler hilir dalam jumlah yang besar juga.
5. Protein transduser –> dapat mengubah sinyal menjadi bentuk yang berbeda.
Contohnya ialah enzim yang membuat AMP siklik: ia dapat mengubah sinyal dan
menguatkannya, sehingga dapat berperan sebagai transduser dan penguat.
6. Protein bifurkasi –> menyebarkan sinyal dari satu jalur pensinyalan ke jalur lainnya.
7. Protein integrator –> dapat menerima sinyal dari dua atau lebih jalur pensinyalan dan
mengintegrasikannya sebelum meneruskan sinyal.
8. Protein pengatur gen laten –> diaktifkan pada reseptor permukaan sel kemudian
akan bermigrasi ke nukleus untuk merangsang transkripsi gen.
Gambar Berbagai jenis protein pensinyalan intraseluler di sepanjang jalur pensinyalan dari
reseptor permukaan sel ke nucleus
B. ANTIGEN
a. Pengertian Antigen
Antigen adalah zat asing bagi tubuh yang menyebabkan reaksi kekebalan. Ini
merupakan sebuah respon imun yang terjadi ketika antibodi yang merupakan protein
dalam sistem kekebalan tubuh untuk menyerang antigen.
Antigen merupakan zat yang menginduksi pembentukan antibodi, karena sistem
kekebalan mengenalinya sebagai ancaman. Zat ini bisa asing (non-pribumi) dari lingkungan
(sebagai bahan kimia) atau terbentuk di dalam tubuh (sebagai racun virus atau bakteri).
Antigen biasanya protein atau polisakarida. Ini termasuk bagian dari bakteri (kapsul, dinding
sel, flagella, fimbriae, dan toksin), virus dan mikroorganisme lainnya. Lipid dan asam nukleat
bersifat antigenik hanya jika dikombinasikan dengan protein dan polisakarida.
Antigen non-mikroba eksogen (asing bagi individu) dapat termasuk serbuk sari, putih telur,
dan protein dari jaringan dan organ yang ditransplantasikan, atau protein pada permukaan sel
darah merah yang ditransfusikan.
Klasifikasi antigen
Xenoantigen: Mereka adalah karakteristik antigen dari spesies tertentu dan karenanya aneh
bagi individu spesies lain. Contoh antigen xenoantigen: Albumin manusia adalah antigen
untuk kelinci.
Alloantigen: Mereka antigen yang ada pada beberapa individu dari spesies tertentu dan
asing bagi individu dari spesies yang sama ini yang tidak memilikinya. Contoh antigen ini:
Antigen yang termasuk dalam sistem golongan darah ABO.
Autoantigen: Mereka adalah antigen komponen dari tubuh itu sendiri, yang dalam kondisi
tertentu dapat memicu respon imun.
Antigen harus memiliki kualitas orang asing ke tubuh manusia. Artinya, semua antigen
datang dari luar atau bisa juga ada di tubuh kita.
Tidak semua antigen menyebabkan respons imun, karena jumlah inokulum yang
dimasukkan, harus cukup besar untuk memicu respons.
Respons imun terhadap antigen berada di bawah kendali genetik. Berkat ini, sistem
kekebalan tubuh memutuskan kapan harus merespon antigen dan kapan tidak, dan terhadap
siapa ia akan merespons dan terhadap siapa tidak.
Struktur dasar antigen memiliki relevansi penting. Ini disebabkan oleh fakta bahwa
imunitas yang diperantarai sel melibatkan limfosit T dan B. Karena limfosit T mengatur
seluruh respons imun dan diikuti oleh limfosit B yang bersifat sekunder.
Ada beberapa antigen yang harus dikenali oleh limfosit T untuk memberikan jawaban,
yang disebut antigen yang bergantung pada timus; dan ada orang lain yang tidak, cukup
bagi mereka untuk mencapai limfosit B untuk dikenali, mereka disebut antigen timus
independen.
Molekul antigenik yang sama dapat menginduksi produksi molekul antibodi yang berbeda,
sebanyak yang dimiliki penentu antigenik berbeda.
Untuk alasan ini dikatakan bahwa antigen bersifat polivalen. Secara umum, antigen memiliki
antara 5 dan 10 penentu antigen di permukaannya (walaupun beberapa memiliki 200 atau
lebih), yang mungkin berbeda satu sama lain, sehingga mereka dapat bereaksi dengan
berbagai jenis antibodi. Haptens disebut molekul yang mampu secara khusus mengikat
dengan beberapa antibodi. Namun, mereka tidak dianggap antigen karena tidak imunologis,
yaitu mereka tidak menyebabkan sintesis atau pembentukan antibodi.
Fungsi Antigen
Antigen dan antibodi memiliki fungsi penting dalam vaksin. Antigen yang hadir
dalam vaksin fungsinya untuk menstimulasi limfosit B yang ada dalam sistem kekebalan
tubuh. Setelah limfosit ini distimulasi, tubuh merespons dan menghasilkan sel plasma yang
mengeluarkan antibodi spesifik untuk penyakit spesifik itu.
Ada beberapa sel B yang menjadi sel memori yang membantu dalam mengenali
paparan penyakit apa pun di masa depan. Jadi, pada akhirnya, fungsi antigen ini membantu
dalam produksi antibodi yang lebih cepat. Antibodi ini bekerja secara efisien dan mengikat
diri pada antigen dan dengan demikian menghilangkan penyakit.
Contohnya :
Tipe darah A memberitahu orang-orang untuk membuat antibodi hanya untuk jenis B.
Antigen ini dapat menempel pada permukaan sel-sel darah atau protein di tubuh. Seorang tipe
B membentuk antibodi untuk melawan tipe A, ini juga disebut sebagai jenis yang dominan.
Jika anda tipe jenis B dan O, makan anda dapat menyubangkannya ke tipe darah A dan
darah AB. Jika Anda adalah tipe darah AB, sel-sel Anda tidak membuat antibodi terhadap
tipe A atau tipe B dalam antigen permukaan. Anda hanya dapat menerima donor darah
dari golongan AB saja. Dan hanya dapat menyumbangkan darah dengang tipe darah AB juga.
Kalau anda tipe darah golongan O, berarti sel-sel anda membuat antibodi terhadap kedua tipe
A dan B di antigen. Jika ada yang membutuhkan donor darah, dia hanya dapat menerima
lebih banyak donir dari golongan darah O. Namun, jika anda ingin menyumbangkan darah,
maka anda dapat menyumbangkan darah kepada siapa saja. Karena anda termasuk seorang
pendonor yang universal. Dan golongan darah O adalah yang paling umum.
Antigen adalah molekul asing yang mendatangkan suatu respon spesifik dari limfosit.
Salah satu cara antigen menimbulkan respon kekebalan adalah dengan cara mengaktifkan sel
B untuk mensekresi protein yang disebut antibodi. Istilah antigen sendiri merupakan
singkatan antibodi-generator(pembangkit antibodi).Masing-masing antigen mempunyai
bentuk molekuler khusus dan merangsang sel-sel B tertentu untuk mensekresi antibodi yang
berinteraksi secara spesifik dengan antigen tersebut (Campbell, 2004).
Sistem antigen semacam ini pada manusia disebut HLA. Kedua sisten itu
mempunyai veriasi genetik tapi dengan cara tertentu (inbreeding) dapat diperoleh tikus-tikus
dengan antigen yang homogen. Antigen H-2 pada membran plasma dibentuk oleh due rantai
polipeptida. Satu berupa rantei polipeptida panjang dan satulagi berupa rantai
polipeptida pendek. Kedua rantai yang panjang dan pendek bergabung tetapi bukan berupa
ikatan kovalen. Rantai panjang dua buah antigen dapat bergabung secara kovalen
membentuk dimar. Terdapat hidrat arang pada sistem H-2 yang bergabung dengan rantai
panjang. Antigen H-2 tidak dapat dipisahkan dari mimbran plasma kecuali dengan bahan
pelarut seperti detergen. Dengan enzim papan rantai polipeptida yang panjang akan
putus menjadi dua bagian. Bagian yang larut dalam air (Fs) akan terlepas sedang bagian
yang tak larut (Fm) akan tetap menempal pada membran.satuhal yang menarik ialah
bahwa rantai polipeptida yang pendek dari antigen H-2 dibuat oleh setiap sel tubuh dan
terdapat pada berbagai macam spesies hewan. Rantai polipeptida pendek itu disebut β-2
mikroglobulin.
Proses adhesi adalah merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam
kolonisasinya pada permukaan sel inang. Adhesi bakteri pada permukaan sel memperpendek
jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh sehingga mempermudah toksin atau metabolit
lain yang dihasilkan bakteri untuk melekat pada reseptornya di permukaan sel inang.
(Wibawan dkk,1992; Shuter dkk, 1996). Proses adesi ada dua macam yaitu spesifik dan non-
spesifik. Adesi yang bersifat spesifik adalah adesi yang perlekatannya diperantarai oleh
reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan dengan antigen permukaan bakteri
(adesin). Adesin dapat berupa fimbria, pili, kapsul atau komponen struktural bakteri lainnya.
Adesi yang bersifat non-spesifik adalah adesi yang perlekatannya tidak melibatkan
reseptor permukaan tetapi melalui sifat hidrofobisitas bakteri dan perbedaan muatan listrik
permukaan bakteri dengan permukaan sel hospes (Wibawan dkk, I992).
Kemampuan bakteri untuk adhesi pada sel inang juga tergantung struktur atau molekul
yang dapat menempel atau adhesi yang disebut adhesin, yang memungkinkan organisme
tersebut menempel pada reseptor yang terdapat pada sel inang (Khusnan & Salasia, 2006).
Hemaglutinin juga termasuk faktor dalam proses adesi karena hemaglutinin ini
memperantarai perlekatan sel bakteri pada sel darah merah. Bakteri yang mempunyai
hemaglutinin dapat lebih mudah menempel pada permukaan mukosa(Wibawan, 1999).
Hubungan antara sifat hemaglutinin dan kemampuan bakteri untuk melekat pada sel
inang telah diteliti pada berbagai spesies bakteri. Bakteri yang memiliki hemaglutinin dapat
lebih mudah menempel pada permukaan mukosa. Hal ini telah dibuktikan pada beberapa
species bakteri seperti Streptococcus Group B (SGB), S. saphrophyticus, S.
epydermidis (Beuth dkk, 1988; Gattermann dkk, 1992; Wibawan dkk, 1993; Rupp dkk, 1995;
Wahyuni, 1998). Hal yang sama juga ditemukan pada hemaglutinin yang terekspresi pada
pili Escherichia coli yang mempunyai peran dalam proses adhesi pada sel epitel ambing
(Abrar dan Amelia, 2000; Abrar, 2009). Adesin merupakan struktur bakteri yang
memperantarai adesi, sedangkan adesin yang meaglutinasi eritrosit adalah hemaglutinin
(Isaacon, 1985). Dari hasil penelitian diketahui bahwa bakteri yang mempunyai hemaglutinin
mempunyai kemampuan menempel pada se1 epitel ambing jauh lebih tinggi dibanding yang
tidak memiliki hemag1utinin (Wahyuni, 1998).
Adanya adesi ini memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh
sehingga mempermudah toksin yang dihasilkannya melekat pada reseptor.
Pada Streptococcus sp, kemampuan adesi dipengaruhi oleh faktor virulensi struktural yang
dimiliki bakteri seperti kapsul, protein permukaan dan hemaglutinin. Kemampuan
adesi Streptococcus agalactiae yang memiliki permukaan yang bersifat hidrofob dan
memiliki hemaglutinin lebih besar dari pada yang bersifat hidrofil dan tidak mempunyai
hemaglutinin (Wahyuni,1998; Wahyuni dkk, 2006). Demikian juga Staphylococcus
aureus penyebab mastitis pada sapi perah yang mempunyai hemaglutinin dan
bersifat hidrofob mempunyai kemampuan adesi pada sel epitel ambing yang lebih tinggi jika
dibandingkan yang tidak (Wahyuni, 2005; Salasia dkk, 2005).
Pada kasus mastitis subklinis, kemampuan adesi bakteri justru lebih diperlukan dari
pada sifat invasif (Wibawa dkk, 1999). Menurut Wahyuni dkk (2005), diduga bahwa
hemaglutinin merupakan salah satu faktor virulen yang dimiliki oleh bakteri patogen dan
bertanggung jawab dalam mekanisme infeksi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wibawan
dkk (1999) yang menyebutkan bahwa pada adesi Staphylococcus aurem dapat ditunjukkan
bahwa bakteri yang memiliki hemaglutinin melekat pada sel epitel ambing dalam bentuk
kelompok-kelompok kecil dengan jumlah berkisar 2 hingga 5 kelompok kecil (cluster) per sel
epitel ambing, sedangkan pada bakteri yang tidak mempunyai hemaglutinin tidak dijumpai
adanya adesi bakteri pada sel ambing.
Pada kasus mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus jalannya infeksi ini
biasanya melalui mukosa kelenjar ambing. Patogenesis infeksi bakteri ini pada kejadian
mastitis subklinis belum diketahui secara sempurna. Diduga infeksi dimulai oleh keberhasilan
bakteri menembus lapisan mukosa, lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi.
Tampaknya kemampuan adhesi dan kolonisasi bakteri pada sel epitel merupakan tahap kritis
untuk keberhasilan infeksi. Keberadaann hemaglutinin yang tinggi pada isolat S. aureus asal
sapi mastitis subklinis pada penelitian memberikan indikasi bahwa hemaglutinin berperan
penting dalam proses adhesi bakteri ke permukaan sep epitel (Abrar dkk, 2013).
Pseudomonas aeruginosa (Ps. aeruginosa) adalah bakteri Gram negatif berbentuk
batang, bergerak dengan flagela dan bersifat aerob. Bakteri ini banyak menginfeksi penderita
di rumah sakit dengan predisposisi tertentu. Ps.aeruginosa mempunyai pili type IV yang
berfungsi sebagai adhesin untuk mengikat sel host. Ps.aeruginosa dapat melakukan adhesi
dan kolonisasi pada bermacam–macam type sel dari epitel sel buccal, paru, ginjal dan sel
endothel (Comolli dkk,1999). Banyak faktor-faktor penentu patogenitas dari bakteri ini
diantaranya yang berhubungan dengan struktur sel seperti pili (fimbriae) dan bahan yang
dikeluarkan seperti exotoxin A dan protease (Salyers dan whitt, 1994).
Kemampuan bakteri untuk melekat dan menembus sel endotel merupakan akibat dari
interaksi adhesin-reseptor antara bakteri dan permukaan sel endotel (Tompkins dkk, 1985).
Molekul reseptor tergantung pada jenis bakteri. Molekul reseptor terdapat di enterosit epitel
vesica urinaria atau endotel. Bakteri Pseudomonas aeruginosa melekat selektif terhadap sel-
sel endotel manusia (Plotkowski dkk, 1994). Castric dkk 2001, juga menjelaskan bahwa
pili P. aeruginosa merupakan pili somatik, filamen protein yang meluas seperti benang dari
satu atau kedua sel poles, yang merupakan faktor virulensi utama, memicu adherensi pada sel
inang dan proses invasi pada sel inang.
Porphyromonas gingivalis mudah berinvasi ke sirkulasi darah dikaitkan dengan
kebutuhannya untuk mendapatkan nutrisi, yaitu peptida dan hemin (sumber besi yang mutlak
diperlukan). Karena sumber hemin utama adalah hemoglobin yang terdapat dalam darah,
maka Porphyromonas gingivalis cenderung berinvasi ke sirkulasi darah untuk mendapatkan
hemoglobin (Lamont dan Jenkinson,1998). Berbagai penelitian juga telah melaporkan
kemampuan Porphyromonas gingivalis untuk berinvasi dan menempel pada endotel dan plak
aterosklerotik (7-10). Kemampuan menempel pada substrat atau sel tersebut dikarenakan
memiliki molekul-molekul adhesin pada permukaan selnya, seperti hemaglutinin dan
fimbrilin (Lamont dan Jenkinson, 1998). Outer membrane protein (OMP) dari suatu bakteri
gram negatif termasuk P. Gingivalis berperan sangat penting dalam virulensi melalui proses
adhesi dengan sel hospesnya serta merupakan antigen untuk mendeteksi adanya serum
antibodi pada penderita (Ekpo dan Utane, 2009).
Protein hemaglutinin terutama yang ditemukan pada pili (protein hemaglutinin subunit
pili) selain berfungsi sebagai proses perlekatan bakteri pada sel induk semang, juga mampu
meningkatkan pembentukan antibodi yang berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi oleh
bakteri tertentu. Seperti yang dilaporkan oleh Darmawati(1998) protein hemaglutinin subunit
pili dengan berat molekul 32 dan 66 kDa bersifat imunogenik.
Kemampuan melekat bakteri Esherichia coli pada sel epitel pipi sapi berhubungan
dengan peranan toksin untuk melekat pada reseptor permukaan baik yang spesifik maupun
yang tidak spesifik. Pada adhesi yang bersifat spesifik, perlekatan bakteri diperantarai oleh
reseptor permukaan sel inang yang mampu berkaitan dengan antigen permukaan bakteri.
Perlekatan yang bersifat tidak spesifik diduga tidak melibatkan peranan reseptor permukaan.
Antigen permukaan ini secara umum disebut adhesin dan dapat berupa fimbria, pili, kapsul
atau komponen struktural bakteri lainnya (Wibawan dan Laemmaler, 1992; Wibawan dkk,
1993). Hubungan antara sifat proses adhesi disebabkan karena adanya sifat hidrofobisitas
agen dan keberadaan muatan listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel induk semang,
sehingga perlekatan umumnya tidak kuat dan bersifat irreversible.
Keberadaan hemaglutinin pada Escherichia coli penyebab diare pada sapi diyakini
sebagai salah satu faktor virulensi. Hemaglutinin ini bertanggung jawab terhadap adhesi
secara spesifik bakteri pada sel-sel epitel usus. Keberadaan hemaglutinin pada permukaan
bakteri sangat menentukan proses adhesi. Bakteri yang tidak memiliki hemaglutinin maka
kemampuan adhesinya akan lemah. Hal ini sangat mempengaruhi patogenitas dari bakteri itu
sendiri karena adhesi merupakan tahap awal dari proses infeksi (Abrar, 2009).
Pada penelitian Wahyudi (2007) tentang adhesi dan aktifitas fagositosis sel
polimorfonuklear terhadap Staphylococcus aureus asal susu sapi perah dan manusia yang
bersifat multiresisten terhadap antibiotik, disebutkan bahwa indeks adhesi dan fagositosis dari
sel netrofil dapat ditentukan dengan menghitung jumlah bakteri yang menempel dan yang
difagosit oleh setiap sel netrofil dari 10 sel netrofil pada setiap preparat apus, dengan
menggunakan mikroskop. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
indeks adhesi adalah banyaknya bakteri yang melekat pada sel inang persatuan jumlah sel
inang (Santosaningsih, 2004).
D. KOMUNIKASI ANTAR SEL
Sel saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk menjalankan proses kehidupan.
Dalam komunikasi tersebut, komitmen antar sel menjadi hal sangat penting karena
keberadaan suatu sel dalam jaringan diperlukan oleh sel yang lainnya. Apabila keberadaan
suatu sel sudah tidak dibutuhkan lagi dalam jaringan, misalkan dalam jaringan suatu
kebutuhan sel sudah mencukupi, maka sel tersebut akan mengalami apoptosis. Hal tersebut
merupakan kondisi yang perlu dilakukan pada bagian rangka tubuh dalam menjalankan
fungsi dari bagian jaringan atau organ untuk mendukung proses kehidupan organisme.
Jaringan komunikasi antara satu sel dengan sel yang lainnya akan menghasilkan suatu
koordinasi agar dapat mengatur pertumbuhan, osmoregulasi, reproduksi dan hal lainnya pada
berbagai jaringan maupun organ.
Komunikasi sel merupakan suatu mekanisme dimana satu sel dapat mempengaruhi
sifat sel lainnya yang juga terjadi pada organisme uniseluler sebelum munculnya organisme
multiseluler. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan terhadap yeast sebagai
organisme eukatiotik. Sel-sel pada yeast dalam menjalankan aktivitas hidupnya dapat
berjalan secara mandiri, mereka dapat berkomunikasi dan bekerjasama dalam persiapan
untuk perkawinan seksual. Saccharomyces cerevisiae misalnya, ketika sel haploid telah siap
untuk kawin, maka ia akan mengeluarkan peptida (sebagai faktor kawin) yang akan
memberikan sinyal pada sel-sel lawan jenis untuk berhenti berkembang biak dan
mempersiapkan diri untuk kawin (Gambar 1). Fusi selanjutnya dari dua sel haploid jenis
kawin yang berlawanan akan menghasilkan sel diploid, yang kemudian dapat menjalani
proses meiosis dan bersporulasi, menghasilkan sel-sel haploid dengan bermacam-macam gen
baru.
Gambar . Sel yeast yang merespons faktor kawin
Studi tentang yeast mutan yang tidak dapat melakukan perkawinan telah
mengidentifikasi banyak protein yang diperlukan dalam proses sinyal. Protein ini membentuk
jaringan pensinyalan yang mencakup protein reseptor pada permukaan sel seperti protein
pengikat GTP dan protein kinase, yang masing-masing memiliki kerabat dekat pada protein
yang melakukan pensinyalan terhadap sel hewan. Namun, melalui duplikasi dan divergensi
gen, sistem pensinyalan pada hewan jauh lebih rumit dibandingkan pada yeast.
Dalam melakukan komunikasi antara satu sel dengan yang lainnya untuk proses
kawin, sel yeast mengeluarkan beberapa jenis peptida kecil. Sedangkan pada sel-sel hewan
tingkat tinggi dalam melakukan komunikasi melalui ratusan jenis molekul sinyal, seperti
peptida kecil, protein, asam amino, nukleotida, steroid, retinoid, turunan asam lemak dan
bahkan gas terlarut seperti oksida nitrat dan karbon monoksida. Sebagian besar molekul
sinyal ini disekresikan melalui eksositosis dari sel pemberi sinyal ke bagian ekstraseluler,
sedangkan yang lainnya dilepaskan melalui proses difusi pada membran plasma. Reseptor
merupakan protein spesifik yang secara khusus dapat mengikat molekul sinyal kemudian
dapat merespons sel target. Molekul sinyal ekstraseluler bekerja pada konsentrasi yang sangat
rendah (biasanya ≤ 10-8 M) dan reseptor yang mengenalinya biasanya mengikat mereka
dengan afinitas tinggi (konstanta afinitas Ka ≥ 108 liters/mol). Dalam kebanyakan kasus,
reseptor tersebut merupakan protein transmembran pada permukaan sel target. Ketika
reseptor tersebut mengikat molekul sinyal ekstraseluler (ligan), reseptor menjadi aktif dan
menghasilkan kaskade sinyal intraseluler yang mengubah sifat sel. Dalam kasus lain, reseptor
yang berada pada sel target dan molekul sinyal harus memasuki sel untuk mengaktifkannya.
Hal tersebut mengharuskan molekul sinyal yang berukuran kecil dan bersifat hidrofobik agar
berdifusi melintasi membran plasma.
Gambar Pengikatan molekul sinyal ke reseptor permukaan sel atau reseptor intraseluler
Sebagian besar molekul sinyal bersifat hidrofilik sehingga tidak dapat melintasi
membran plasma secara langsung. Sebaliknya, mereka dapat mengikat reseptor permukaan
sel, yang pada gilirannya menghasilkan satu atau lebih sinyal di dalam sel target. Molekul
sinyal kecil dapat berdifusi melintasi membran plasma dan berikatan dengan reseptor di
dalam sel target, baik di sitosol maupun di nukleus. Banyak dari molekul sinyal kecil ini
bersifat hidrofobik dan hampir tidak larut dalam air, oleh karena itu mereka diangkut dalam
aliran darah dan cairan ekstraseluler lainnya setelah berikatan dengan protein pembawa.
Banyak molekul sinyal tetap terikat pada permukaan sel pensinyalan dan hanya dapat
mempengaruhi sel-sel yang menghubunginya saja. Pensinyalan seperti itu sangat penting
selama perkembangan dan dalam respons imun. Molekul yang disekresikan dapat dibawa
pada jarak yang jauh untuk bekerja pada target yang jauh atau mereka dapat bertindak
sebagai mediator lokal yang dapat mempengaruhi sel-sel di lingkungan secara langsung dari
sel pensinyalan. Proses terakhir ini disebut pensinyalan parakrin. Agar sinyal parakrin dikirim
hanya kepada sel target yang tepat, molekul yang disekresikan tidak boleh dibiarkan berdifusi
terlalu jauh, sehingga molekul cepat diambilalih oleh sel target tetangga, dihancurkan oleh
enzim ekstraseluler atau diimobilisasi oleh matriks ekstraseluler.
G
ambar Bentuk pensinyalan antarsel
(A) Pensinyalan yang bergantung pada kontak (membutuhkan sel untuk berada dalam kontak
langsung membran-membran). (B) Pensinyalan parakrin bergantung pada sinyal yang
dieksresikan ke bagian ekstraseluler dan bekerja secara lokal pada sel tetangga. (C)
Pensinyalan sinaptik dilakukan oleh neuron yang mentransmisikan sinyal secara elektrik di
sepanjang aksonnya dan melepaskan neurotransmiter pada sinapsis (D) Pensinyalan endokrin
bergantung pada sel-sel endokrin yang mensekresi hormon ke dalam aliran darah, kemudian
didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh.
Melalui gap junction aktivitas dari sel tetangga dapat terkoordinasikan. Gap juntion
merupakan sambungan sel-sel khusus yang dapat terbentuk di antara membran plasma yang
berdekatan dan secara langsung dapat menghubungkan sitoplasma dari sel-sel yang
bergabung melalui saluran sempit. Saluran tersebut memungkinkan terjadinya pertukaran
molekul sinyal intraseluler yang kecil (mediator intraseluler), seperti Ca2+ dan AMP siklik,
tetapi tidak untuk makromolekul, seperti protein atau asam nukleat. Dengan demikian, sel-sel
yang dihubungkan oleh gap junction dapat berkomunikasi satu sama lain secara langsung,
tanpa harus melewati pembatas yang diberikan oleh membran plasma.
1. Hynes RO, Zhao Q (2000). "The evolution of cell adhesion". J Cell Biol. 150 (2):
F89–96. PMC 2180234 . PMID 10908592.
2. Ahmed N, Riley C, Rice G, Quinn M (2005). "Role of integrin receptors for
fibronectin, collagen and laminin in the regulation of ovarian carcinoma
functions in response to a matrix microenvironment". Clin Exp
Metastasis. 22 (5): 391–402. PMID 16283482.
3. Desgrosellier JS, Cheresh DA (2010). "Integrins in cancer: biological implications
and therapeutic opportunities". Nat Rev Cancer. 10 (1): 9–
22. doi:10.1038/nrc2748. PMC 4383089 . PMID 20029421.