Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT EKONOMI ISLAM

SUMBER AJARAN EKONOMI ISLAM DAN PROBLEM DALAM


PEMIKIRANNYA

Dosen pengampu : Muhammad Iswandi, MSI

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Rihadatul Aisya 2231710076

Fitri Nur Indahsari 2231710123

Yusril 2231710085

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS

SAMARINDA

TAHUN 2023

1
2
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ekonomi, sebagaimana dikenal saat ini, mulai terbentuk di Eropa
selama abad kedelapan belas. Namun, analisis ekonomi memiliki garis
keturunan yang lebih panjang. Analisis ini dapat ditemukan dalam tulisan-
tulisan para filsuf Yunani kuno, cendekiawan Islam, aliran abad
pertengahan, dan Merkantilis abad keenam belas dan ketujuh belas.
Analisis ekonomi juga berkembang pada peradaban Tiongkok dan India
kuno.1 Schumpeter (1954) dalam bukunya ‘History of Economic
Analysis’ membedakan antara analisis ekonomi dan pemikiran ekonomi.
Menurutnya, pemikiran ekonomi merupakan akumulasi dari semua
pendapat dan opini tentang subjek ekonomi, terutama tentang kebijakan
publik yang berkaitan dengan ekonomi yang pada waktu dan tempat
tertentu, terpikirkan di benak masyarakat.
Untuk memahami dengan tepat tentang pemikiran ekonomi suatu
bangsa, studi tentang kondisi sosial-politik, lingkungan intelektual dan
sejarah ekonomi akan sangat membantu. Khususnya mengingat bahwa
sejarah ekonomi dan pemikiran ekonomi saling terkait erat. Kegiatan
ekonomi selalu berpedoman pada pemikiran ekonomi, dan pemikiran
ekonomi merupakan cerminan dari kondisi ekonomi.1
Penelusuran sejarah pemikiran ekonomi diperlukan untuk bisa
menganalisis masalah-masalah ekonomi, meskipun dalam ilmu ekonomi
menunjukkan tidak ada suatu teori ekonomi yang dapat menjawab semua
problema ekonomi. Problema ekonomi bisa sama tetapi setiap negara
mempunyai sistem sosial, politik, budaya yang berbeda, tentu
penanganannya juga berbeda. Setiap teori hanya bermanfaat untuk periode,
masalah, negara tertentu.2
1
Abdul Azim Islahi, A Study of Muslim Economic Thinking in the 11th A.H. / 17th C.E. Century,
Munich Personal RePEc Archive (King Abdulaziz University, 2009), https:// mpra.ub.uni-
muenchen.de/75431/.
2
Amin Pujiati, “Menuju Pemikiran Ekonomi Ideal: Tinjauan Filosofis Dan Empiris,” Fokus
Ekonomi 10, no. 2 (2011): 114–25.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Qauliah, Kauniah, dan Insaniah?
2. Bagaimana sumber materi al-quran, hadist, dan ‘urf?
3. Bagaimana sumber metodologis Qiyas,ijma’, maslahah, istihsan?
4. Bagaimana tipe-tipe metode interpretasi dan aliran-alirannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Qauliah, Kauniah, dan Insaniah.
2. Untuk mengetahui Bagaimana sumber materi al-quran, hadist, dan
‘urf.
3. Untuk mengetahui Bagaimana metodologis Qiyas,ijma’, maslahah,
istihsan.
4. Untuk mengetahui Bagaimana tipe-tipe metode interpretasi dan aliran-
alirannya.

PEMBAHASAN

A. Ayat Qauliyah

4
Ayat Qauliyah (tanda terucap) adalah ayat-ayat yang difirmankan
olehAllah swt di dalam Al Quran yang terdiri 114 surat 6666
ayat.Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk
tentang cara mengenal Allah. Sebagaimana Allah telah mengisyarakat
pada ayat pertama Alquran surah Al Alaq(1-5) yang diturunkan kepada
nabi Muhammad saw saat beliau berkhalwat di Gua Hira, yaitu:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telahmenciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah YangMaha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam,(Maksudnya:Allah mengajar manusia
dengan perantaraan tulis baca), Diamengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Ayat di atas menjelaskan agar manusia membaca tanda-tanda
kebesaran Allah dan ciptaan-Nya atas nama Allah (qauliyah dan
kauniyah). Manusia diciptakan dari segumpal darah dan Allah
mengejar manusia dengan perantara anqalam (tulis-baca) apa-apa yang
tidak diketahui manusia. Sebenarnya tujuan membaca ayat-ayat Allah
adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) secara lebih mendalam.
Ketika sudah mengenal Allah dengan baik dan mendalam maka semakin
bertambah keimanan serta meningkatkan ketaqwaan. Dengan demikian
membaca Al-quran adalah wujud membaca ayat-ayat qauliyah
(tanda-tanda terucap) yang telah difirmankan dalam kitab-kitab Nya.
Pada surat At Tin dijelaskan “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
(Yang di maksud dengan Tin oleh sebagian ahli Tafsir ialah tempat
tinggal Nabi Nuh,yaitu Damaskus yang banyak pohon Tin; dan
Zaitun ialah Baitul Maqdis yang banyak tumbuh Zaitun) dan demi bukit
Sinai (Bukit Sinai yaitu tempat Nabi Musaa.s. menerima wahyu dari
Tuhannya), dan demi kota (Mekah) ini yang aman,sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya(neraka), Ayat qauliyah di atas menjelaskan bahwa Allah

5
bersumpah demi buah Tin yakni tempat tinggal nabi Nuh dimana terdapat
banyak buah Tin, dan buah Zaitun(Baitul Maqdis), demi buah Sinai
(tempat nabi Musa). Pada ayat ini tanda-tanda ciptaan Tuhan
terwujud dalambuah Tin, buah Zaitun, dan buah Sinai. Ketigabuah
tersebut merupakan hipernim dari nama buah-buahan yang berfungsi
sebagai tanda simbolis. Pada suatu kisah nabi Musa diajak bicara
oleh Allah, ayat yang mengisahkan ini menjelaskan bahwa kalam
Allah swt adalah suara dan huruf,yang sesuai dengan kemuliaan dan
kesempurnaan Allah, bukan makna dan pikiranyang ada dalam diri
Allah swt. Sebab kalau kalam Allah swt niscaya nabi Musatidak
dapat mendengarnya dan tidak akan digelari Kalimur Rahman.

B. Ayat Kauniyah
Ayat Kauniyah (tanda terwujud) adalah ayat atau tanda yang
wujud disekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah
dalam bentuk benda,kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di
dalam alam ini. Oleh karena alamini hanya mampu dilaksanakan oleh
Allah dengan segala sistem dan peraturan-Nya, maka ia menjadi tanda
kehebatan dan keagungan Allah. Ayat-ayat kauniyah adalah jagat raya ini
berikut isi-isinya termasuk manusia beserta isi hatinya. Paraulama
menegaskan bahwa Alquran dapat dipahamisebagaimana dari keseluruhan
firman Allah, namun juga dapat bermakna sepenggal dari ayat-
ayat-Nya.Sebagaimana dalam surah Fushilat ayat 53 dijelaskan:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami disegala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi merekabahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi
atas segala sesuatu?
Ayat di atas menjelaskan dengan tegas bahwa Allah
menampilkan atau mempresentasikan tanda-tanda kekuasaan dan
kebesaran-Nya di setiap penjuru bumi sehingga manusia mengakui

6
bahwa Al Quran itu adalah benar, dan Tuhanadalah saksi atas segala
sesuatu. Dalam ayat lain Allah swt menyuruh hamba-hamba-Nya untuk
merenungi ayat-ayat kauniyah untuk berpikir dan memperhatikan bukti-
bukti kekuasaan dan kemahabesaran Allah swt, seperti terdapat pada
surah Adz Dzariyat ayat 20-21dan Al Ghasyiyah 17-20:

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi


orang-orang yang yakin dan (juga) pada dirimu sendiri.Maka apakah
kamu tidak memperhatikan?(QS. Adz Dzariyat, 20-21)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia


diciptakan,Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-
gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan? Makaberilah peringatan,karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS. AlGhasyiyah 17-20)
Kedua ayat di atas menyampaikan agar manusia menggali,
berpikir atassemua ciptaan Allah beserta isinya, seperti unta-unta
(binatang), gunung-gunung(tumbuhan), serta bumi dan lain
sebagainya. Intinya adalah Allah menyuruhmanusia untuk membaca
ayat-ayat kauniyah. Allah menunjukkan tanda-tanda Kemahabesaran
dan Kemahakuasaan dalam bentuk unta, gunung, dan bumi
danmanusia itu sendiri. Hal tersebutdi atas ditegaskan oleh
Poespoprodjobahwa manusia harus senantiasa menafsirkan (membuat
interpretasi) karena ia selalu harus menempatkan diri dalam
konteks yang terus berubah
Menafsirkan merupakan hakikat transendensi manusia menghadapi
dan menghindari bahaya imanensi(ketenggelaman, kebekuan)
eksistensinya(Poespoprodjo, 1987). Membaca tanda-tanda Tuhan baik
qauliyah maupun kauniyah adalah menafsirkan, menggali,
mengungkap tabir kebesaran dan keagungan Tuhan melalui
pikiran,idea yang rasional, logis dan metodologis. Melalui

7
objektivitasilmu yang sistematis, rahasia dan pesan Tuhan yang
multimakna dapat diterapkandan diterjemahkan dalam kehidupan.
Disiplin ilmu yang mengkaji tanda dinamakan semiotika (semiologi).3

C. Ayat Insaniyah

ayat Insaniyah adalah bersumber dari manusia sendiri sebagaimana


tersebut dalam QS. a-Maidah (5):31, QS. Asy-Syura (42):38, dan Ali
Imran (3):159. Ayat-ayat Insaniyah tersebut khususnya QS. al-Maidah
(5):31) itu menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan ilmu kepada
Kabil bagaimana cara mengubur mayat saudaranya yang bernama Habil
itu. Tapi karena Kabil melihat contoh seekor burung gagak menggali-gali
bumi untuk mengubur burung lain yang telah mati, maka potensi akal
kreatif Kabil muncul sehingga dia mendapatkan pengetahuan baru yakni
cara menguburkan mayat saudaranya itu. Demikian juga manusia
mengindera, berpikir ilmiah dan merasa tentang berbagai fenomena alam
kemudian dibahas oleh berbagai ahli yang disebut dengan musyawarah,
diskusi, workshop, seminar, dan seterusnya akan melahirkan berbagai jenis
ilmu pengetahuan.4

D. Sumber Materi Al-Qur’an


Dalam Al-Qur'an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang
ekonomi berdasarkan prinsip syari'ah yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al
Fanjani menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu:
1. Al-Baqarah ayat 188, 275 dan 279.
2. An-Nisa' ayat 5 dan 32.
3. Hud ayat 61 dan 116.
4. Al-Isra' ayat 27.

3
Marwan, JURNAL PENDIDIKAN STUDI BAHASA DAN SASTRA, Vol 5, No 4 2017.
4
Hani Zahrani, Anwar Dhobith dan Rubini, Epistemologi Pendidikan Islam, Jurnal Komunikasi
dan Pendidikan Islam-Volume11, Nomor2,Desember 2022 hal.62.

8
5. An-Nur ayat 33.
6. Al-Jatsiah ayat 13.
7. Ad-Dzariyah ayat 19.
8. An-Najm ayat 31.
9. AI-Hadid ayat 7.
10. AI- Hasyr ayat 7.
11. Al-Jumu'ah ayat 10.
12. Al Maa'arifayat 24 dan 25.
13. AI- Ma'un ayat 1,2 dan 3.64.5
Di samping ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi ayat-
ayat Al-Qur'an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan
baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar
keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi
transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari'ah.

E. Sumber Materi Al-Hadist


Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli
hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang
berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Oleh
karena itu, mempergunakan Al Hadits sebagai sumber hukum dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah sangat dianjurkan kepada pihak-
pihak yang berwenang.
Hadits Rasulullah SAW. yang dapat dijadikan rujukan dapat diambil
dalam beberapa kitab hadits sebagai berikut:
1) Sahih Bukhari, Al Buyu' ada 82 hadits, ljarah ada 24 hadits, As
Salam ada 10 hadits, Al Hawalah ada 9 hadits, Al Wakalah ada 17
hadits, Al Muzara'ah ada 28 hadits dan Al Musaqatada 29 hadits.
2) Sahih Muslim ada 115 hadits dalam Al Buyu'.

5
Mahmud Syauqi al Fanjani, 1989, AI Wajzfi al Iqtishad al Islami, Terjemahan Mu dzkir, AS.
Ekonomi Islam Masa Kini, Bandung: Husaini.

9
3) Sahih Ibn Hibban, tentang Al Buyu' ada 141 hadits, tentang Al-
ijarah ada 38 hadist.
4) Sahih Ibn Khuzaimah ada 300 hadits tentang berbagai hal yang
menyangkut ekonomi dan transaksi keuangan.
5) Sunan Abu Dawud ada 290 hadits dalam kitab Al Buyu'.
6) Sunan Al-Tarmizi ada 117 hadits di dalam kitab Al Buyu'.
7) Sunan Al Nasa'i ada 254 hadits dalam kitab Al Buyu'.
8) Sunan Ibn Majah ada 170 hadits di dalam kitab Al Tijarah.
9) Sunan Al Darimi terdapat 94 hadits dalam kitab Al Buyu'.
10) Sunan Al Kubra li Al Baihaqi terdapat 1085 hadits tentang Al
Buyu dan 60 hadist tentang Al Ijarah.
11) Musannaf Ibn Abi Syaibah terdapat 1000 hadits.
12) Musanaf Abdu Al Razzaq terdapat 13.504 hadits tentang Al
Buyu'.
13) Mustadrak Al Hakim terdapat 245 hadits tentang Al Buyu'.

Angka-angka yang tersebut dalam kitab-kitab tersebut bukanlah hal


yang berdiri sendiri, sebab banyak sekali nash Al-Hadits yang terdapat
dalam kitab-kitab tersebut bunyi dan sanadnya sama. Hal ini akan sangat
membantu dalam menjadikan Al-Hadits sebagai sumber hukum ekonomi
syari'ah.
Di samping sumber hukum ekonomi syari' ah yang terdapat di dalam
kitab-kitab Al-Hadits di atas, masih banyak lagi AI-Hadits yang terdapat
dalam kitab-kitab lain seperti Sunan Al Daruquthni, Sahih Ibnu
Khuzaimah, Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya'la al Musili, Musnad Abu
'Awanah, Musnad Abu Dawud al Tayalisi, Musnad al Bazzar, dan masih
banyak yang lain yang semuanya merupakan sumber hukum syari'ah yang
dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan perkara di Peradilan
Agama.6

6
Iman Juhari, Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Menurut Hukum Islam, Mei 2017, CV
Budi utama, hal.81-82

10
F. Urf’
Urf berasal dari kata ‘arafa yang mempunyai derivasi kata al-ma‘ruf
yang berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui. 7 Sedangkan‘urf menurut
bahasa adalah kebiasan yang baik. Adapun pengertian‘urf adalah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusiaannya.8 ‘urfadalah perkataan atau perbuatan baik
yang telah populer dan dikerjakan oleh orang banyak dalam
masyarakat.Artinya‘urf merupakan kebiasaan baik yang dilakukan secara
berulang-ulang oleh masyarakat. Dasar penggunaan‘urf adalah sebagai
berikut, Allah berfirman dalam QS. Al-Araf 199.

‫حِد اْلَع ْفَو َو َأمر ِباْلُعْر ِف َو َأْع ِر ْض َع ِن اْلَج ِهِليَن‬


Artinya: Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf Dan
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (al-‘Araf: 199).
Ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa Allah menyuruh
supaya kita menggunakan ‘urf. Kata‘urf dalam ayat diatas dimaknai
dengan suatu perkara yang dinilai baik oleh masyarakat.9 Ayat tersebut
dapat dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah
dianggap baik sehingga menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.Seruan ini
didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik dan dinilai berguna
bagi kemaslahatan mereka. Imam al-Syatibi dan Ibn Qayyim al-Jauziyah,
berpendapat bahwa‘urf bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan
hukum Islam. Namun, kedua Imam tersebut memberikan catatan, apabila
tidak ada nas} yang menjelaskan hukum masalah tersebut. 11 Dari-dalil

7
Rijal Mumazziq Zionis,”Posisi al-’Urf dalam Struktur Bangunan Hukum Islam”. Jurnal Falasifa,
Vol. 2 No.2, Sekolah Tinggi Agama Islam al-Falah As-Sunniyyah (STAIFAS), 2011), 132.
8
Muhammad ma’sum Zainy al-Hasyimy,Sistematika Teori Hukum Islam(Qowa’id Fiqhiyyah)
(Jombang: Darul Hikmah Jombang dan Maktabah al-Syarifah Al-Khodijah, 2008), 79-80.
9
hmad Sufyan Che Abdullah, “Aplikasi Doktrinal-’Urf dalam Istrumen Pasaran Kewangan Islam
di Malaysia”.Skripsi(2002) 25.

11
diatas juga dapat dipahami, apabila terjadi suatu perselisihan pandangan
dalam jual beli, sewa-menyewa atau kerja sama antara pemilik sawah dan
penggarapnya, dan lain sebagainya. Maka penyelesaiannya dapat
disesuaikan dengan adat kebiasaan (‘urf) yang telah berlaku di masyarakat
tesebut. Dan jika adat tersebut bertentangan dengan nas}seperti praktek
ribawi dan kebiasaan suap-menyuap, maka hal tesebut tidak dibenarkan.
Dalam konteks hukum Islam, para Ulama berpendapat bahwa hanya ‘urf
sahih sajalah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. 10 Suatu
hukum yang ditetapkan atas dasar‘urf dapat berubah karena kumungkinan
adanya perubahan‘urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman dan
sebagainya. Sebagian mendasarkan hal itu pada kenyataan bahwa, Imam
Syafi’i ketika di Irak mempunyai pendapat - pendapat yang berlainan
dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir.
Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-
nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari
kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (welfare state).
Berbeda dari sistem kapitalisme, sistem Ekonomi Islam menentang
eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang
penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kacamata Islam
merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi
ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral syariah Islam.11
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis,
sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-
tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan
kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir
semua tanggung jawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem,
ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang

10
Toha Andiko,Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah Panduan Praktis dalam Memproses Problematika Hukum
Islam Kontemporer, 146.
11
Veitzal Rivai, “Keistimewaan Ekonomi Islam dalam Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
Umat,”Journal Analytica Islamica ,Vol 1 no 2, (2012), 344-352.

12
boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu
memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil,
kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.12
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi Islam
harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara
lain: Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium),Kebebasan (free
will),Tanggung jawab (responsibility). Manusia sebagai wakil (khalifah)
Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua
(kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia
adalah kepercayaan-Nya di bumi. Di dalam menjalankan kegiatan
ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba seperti yang
dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 275.
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan
bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Nilai Islam bukan semata- semata
hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka
bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia
yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai kesejahteraan (falah).
Sedangkan keterkairan antara hukum dan kegiatan ekonomi tercermin dari
terjadinya akad. Akad adalah proses yang penting di dalam proses kegiatan
ekonomi, tanpa adanya akad proses trransaksi menjadi tidak sah, karena
tidak adanya perjanjian di awal oleh kedua belah pihak. Proses
kepemilikin adalah bentuk proses perpindahan hak milik berdasarkan
transaksi, setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk
memindahkan hak milik kepada pihak kedua melalui pihak pertama,
misalnya dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
Dalam hal tersebut selalu ada keterkaitan antara aspek hukum dan
ekonomi Islam. Sehingga kegiatan dalam ekonomi Islam digali dari hukum

12
Taqiyuddin An-Nabhani,Sistem Ekonomi Islam, terj. Muhadi Zainuddin(Yogyakarta:UII Pres,
2000), 12-63.

13
Islam itu sendiri, di dalam Islam kegiatan ekonomi dan hukum tidak dapat
dipisahkan. Sumber utama dalam hukum Islam adalah al-Qur’an,
didalamnya menegaskan bahwa Nabi Muhammad diberi kewenangan
untuk menjelaskan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan dalam
beberapa hal memberikan ketentuan hukum baru. Dengan
demikian,Sunnah Rasul merupakan sumber kedua hukum Islam setelah al-
Qur’an. Sunnah Rasul memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk
menemukan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam al-
Qur’an atau Sunnah Rasul secara jelas dengan jalan ijtihad. Dengan
demikian, ijtihad dapat dipandang sebagai sumber ketiga hukum
Islam.Hukum-hukum ijtihadiyah pada pokoknya bersumber kepada qiyas
dan pertimbangan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Di antara
yang akan mendatangkan kebaikan dan memnuhi kepentingan masyarakat
adalah mengukuhkan berlakunya ‘urf yang tidak bertentangan dengan nash
al-Quran dan Sunnah Rasul.

G. Sumber Metodelogis Qiyas


Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar darikata qâsa-
yaqîsu, (‫اس‬jjj‫ق‬-‫ )يقيس‬yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu
(Ahmad Warsono Munawwir,1984). Amir Syarifudin Menjelaskan bahwa
qiyas berarti qodaro(‫ )قدر‬yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu
dengan yang semisalnya. Sebagai contoh, "Fulan Meng qiyas kan baju
dengan lengan tangannya", artinya membandingkan antara dua hal untuk
mengetahui ukuran yang lain. Metode qiyas bukanlah menetapkan hukum
dari awal, melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum pada
suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-
benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang
yang akan melakukan qiyas,ialah mencari apakah ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetap kan hukum dari peristiwa atau kejadian.

14
Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah
dilakukan qiyas. Menurut Imam Syafi’i, tidak boleh melakukan qiyas
kecuali orang yang telah berhasil memiliki alat-alat qiyas, yaitu;
mengetahui hukum-hukum al-Qur’an yakni fardu (kewajiban), adab
(kesusasteraan), nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus),
‘amm-khas (umum-khusus),irsyad (petunjuk) dan nadb-nya (anjurannya).
.Contoh penggunaan metode qiyas misalnya Ketika seorang mujtahid
ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau Tuak.
Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur’an
ternyata tidak satu pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya.
Maka untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas
yakni mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar
firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat: 90-91.

‫ٰۤي‬
‫َاُّيَها اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۤۡو ا ِاَّنَم ا اۡل َخ ۡم ُر َو اۡل َم ۡي ِس ُر َو اَاۡلۡن َص اُب َو اَاۡلۡز اَل ُم ِر ۡج ٌس ِّم ۡن َع َمِل‬
‫ِاَّنَم ا ُيِر ۡي ُد الَّشۡي ٰط ُن َاۡن ُّيۡو ِقَع َبۡي َنُك ُم اۡل َع َداَو َة َو اۡل َبۡغ َض ٓاَء‬٩٠َ‫الَّشۡي ٰط ِن َفاۡج َتِنُبۡو ُه َلَع َّلُك ۡم ُتۡف ِلُح ۡو ن‬
َ ‫ِفى اۡل َخۡم ِر َو اۡل َم ۡي ِس ِر َو َيُص َّد ُك ۡم َع ۡن ِذ ۡك ِر ِهّٰللا َو َع ِن الَّص ٰل وِةۚ َفَهۡل َاۡن ـُتۡم ُّم ۡن َتُهۡو‬
‫ن‬
Artinya: “
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan”. “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di
haramkannya Khamr. Haramnya meminum khamr tersebut berdasarkan
‘Illat hukumnya yakni memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di

15
dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar dalam hukumnya maka
minuman tersebut adalah haram(Abdul Wahhab al-Khallaf, 1994:
53).Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk
bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan hukum khamr, karena‘Illat
keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat antara kasus yang tidak ada nash-
nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan
hukum.
Adapun contoh lain seperti A telah menerima wasiat dari B bahwa ia
akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal
dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu
dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah
yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah ke jadian
yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula
persamaan '‘Illat-nya. Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh
ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera
memperoleh harta warisan. Berdasarkan beberapa contoh di atas dapat
dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian
yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ' ‘Illat yang
sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang
pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.13

H. Sumber Metodelogis ijma


Secara ontologis studi tentang Ijma’ merupakan suatu kajian yang
dalam rumpun keilmuan Islam (Islamic studies) termasuk bidang ilmu

13
Sakirman, Jurnal Pemikiran Hukum dan hukum Islam, Metodelogis Qiyas dan Istinbath.

16
ushul fikih, yakni ilmu yang mengkaji metode penetapan hukum Islam.14
Ijma’ diposisikan sebagai salah satu dari sumber hukum Islam selain al-
Qur’an, Sunah dan kias.15 Konsekuensi yuridis nya, setiap masalah yang
telah dijustifikasi tersebut secara moral memiliki daya ikat bagi umat
muslim. Di samping posisinya sebagai produk ijtihad dan sumber hukum,
Ijma’ merupakan metode penerapan dan penetapan aturan Islam yang
tumbuh secara evolutif.
Secara epistemologis, teori Ijma’ kebalikan dari kristalisasi ajaran
dasar Islam tentang permusyawaratan dan persatuan umat serta mengakui
infallibilitas consensus para ulama.16 Infallibilitas consensus ulama ini
adalah bentuk pemuliaan dan penghormatan Allah SWT. kepada umat
Islam.17 Allah SWT. dalam QS. al-Syura : 38 berfirman yang Artinya:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan


Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka.”(QS.al-Syura: 38).

Memperhatikan gambaran ayat ersebut, maka tergambar bahwa di


balik prinsip ajaran Ijma’ terkandung sikap kehati-hatian (ikhthiyāth)
untuk meminimalisir kesalahan dan bagian dari konsep antisipatif terhadap
masalah hukum yang muncul. Secara metodologis,Ijma’ dimaksudkan
sebagai upaya dalam peningkatan kualitas kebenaran dan keabsahan
produk ijtihad yang semula bersifat personal menjadi bersifat kolektif.18
Kajian Ijma’ selama ini juga lebih dominan melihatnya dari perspektif
produk ijtihad dan cenderung mengabaikan perspektif metodologisnya,
yakni bagaimana Ijma’ itu berproses dan terbentuk.Cara pandang yang

14
Al-Syaukani,Irsyadal-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul(Beirut: Dar El Ma’rifah,
TanpaTahun), 18.
15
Joseph Schacht,The Origin of Muhammadan Jurisprudence(London: Oxford at the Clarendon
Press,1975).h. 77
16
Fazlur Rahman,Islamic Methodology in History(Karachi: Institute of Islamic Research,
1965).h.19
17
As-Sarakhsi,Usul As-Sarakhsi(t.tp.: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1372).h. 295
18
Wahbah az-Zuhaili,Usul al-Fiqh al-Islami, 16 ed. (Damaskus: Dar el Fikr, 2009).h. 465-513

17
demikian berdampak pada kesan bahwa Ijma’ hanya menjadi penopang
“status quo”pendapat ulama masa lalu. Padahal seharusnya Ijma’itu
bersifat dinamis-futuristik agar mampu menjawab dan memberikan solusi
–solusi masalah aktual yang muncul.

I. Sumber Metodelogis Maslahah


Mashlahah mursalah tediri dari dua kata, yaitu mashlahah dan
mursalah.Kata“maslahat” yang sudah “mengindonesia” berasal dari
bahasa Arab (mashlahah) dengan jama’nya mashalih yang secara
etimologi berarti : manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau
kegunaan. 19Mashlahah merupakan bentuk mashdar dari fi’il shalaha, ia
merupakan lawan dari kata mafsadat yang berarti kerusakan dan
kebinasaan.
Mashlahat secara etimologi adalah kata mufrad dari mashlahat
sama artinya dengan alshalah yaitu mendatangkan kebaikan. Terkadang
dipakai istilah lain yaitu istislah yang berarti mencari kebaikan. Sering
pula kata mashlahat atau istishlah ini diidentikan dengan al-Munasib yaitu
berarti hal-hal yang cocok, sesuai dengan tempat penggunaannya. Dari
pengertian-pengertian ini dapat ditegaskan bahwa setiap sesuatu apa saja
yang mengandung manfaat di dalamnya baik itu untuk meraih
kemanfaatan, kelezatan ataupun untuk menolak kemudharatan, maka hal
itu disebut dengan mashlahat.

Adapun pengertian maslahah menurut beberapa istilah yaitu


sebagai berikut:

19
Ibn Mandzur al-Afriqiy, Lisan al-‘Arab, (Beiru : Dar al-Sadr, 1972), h.348.

18
1. Al- Khawarizmi (W. 997H) memberikan definisi bahwa mashlahah
adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/
kerusakan/ hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).20
2. Al-Thufi (657 H-716 H) merumuskan definisi mashlahah menurut ‘urf
(pemahaman umum yang berlaku di masyarakat) adalah sebab yang
membawa kepada kemashlahatan (manfaat), seperti bisnis
menyebabkan seseorang memperoleh untung. Menurut pandangan
hukum Islam, mashlahat adalah sebab yang membawa akibat bagi
tercapainya tujuan Syari’, baik dalam bentuk ibadat maupun
adat/mu’amalat.
3. Al-Ghazali (450 H- 505 H) memberikan definisi mashlahat menurut
makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudharat/ hal-
hal yang merugikan. Akan tetapi, bukan itu yang kami kehendaki,
sebab meraih manfaat dan menghindar dari mudharat adalah tujuan
makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya
tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan maslahat ialah
memelihara tujuan syara’ / hukum Islam. Tujuan hukum Islam yang
ingin dicapai dari makhluk atau manusia ada lima, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hokum yang
mengandung tujuan memelihara ke lima hal ini disebut mashlahat; dan
setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah dan menolaknya
disebut mashlahat.
Selain itu terdapat juga macam-macam maslahah, yang dimana
terbagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut:
1. Mashlahah al-Dharuriyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat.
Kemashlahatan seperti ini ada lima, yaitu ; (1) memelihara agama,
(2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara

20
Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min’Ilm al-Ushul, (Mesir: al-Thiba’ah al-
Muniriyyah), h.312.

19
keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut
dengan al-mashalih al-khamsah.
2. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemashlahatan pokok (mendasar) sebelumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia atau dengan kata lain
mashlahat yang dibutuhkan oleh orang dalam mengatasi berbagai
kesulitan yang dihadapinya.
3. Mashlahah al-Tahsiniyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapai
kemashlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan untuk memakan
yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-
ibadah sunah sebagai amalan tambahan, dan berbagai cara
menghilangkan najis dari badan manusia.

J. Sumber Metodologis Istihshan


Isthisan secara etimologi berarti menganggap atau meyakini kebaikan
sesuatu, Secara terminology ,Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi
bahwa “ Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan
qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau
ketentuan hukum kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang sifatnya
istisna’I (pengecualian), karena ada kesalahan memahami dalil yang
memungkinkan memenangkan perpindahan itu.”21
Dengan demikian istihsan merupakan salah satu metode istinbat
(menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’I )
dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah) ,karena itu orang yang
menggunakan istihsan tidak berarti semata mata menggunakan
perasaannya dan keing inannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan
( maqosid ) syara’ Sebab jika hukum yang berdasarkan qiyas yang

21
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al Dakwah al Islamiyah, cetakan VIII,thn
1991), 79.

20
diamalkan padahal ditemukan banyak kesuliatan dalam penerapannya,
maka tujuan syara’ dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai.
Selain itu juga stihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan
bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan
mengutamakan al-maslaha al-mursal dari pada qiyas. Dengan demikian,
jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah tertentu dibandingkan
dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering
dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain
yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan.
Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum,
jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan
maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari
satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya.22

K. Tipe-tipe Metode Inprementasi dan Aliran-Aliranya


Dalam filsafat ekonomi Islam, terdapat berbagai tipe metode
interpretasi dan aliran-aliran yang berbeda dalam memahami prinsip-
prinsip ekonomi dalam Islam. Berikut adalah beberapa tipe metode
interpretasi dan aliran-aliran utama:
1. Metode interpretasi Salafiyyah
aliran ini menghidupkan atau memurnikan kembali ajaran Islam.
Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bawa salafiyah tumbuh
dan berkembang menjadi aliran (madzhab) atau paham golongan,
sebagaimana golongan khawarij, mu’tazilah, maturidiyah dan
kelompok-kelompok lainnya.23

2. Metode interpretasi historis

22
Achmad Lubabul Chadziq, Isthisan dan Implementasinya dalam Penetapan Hukum Islam,
Volume15, Nomor 02,Agustus 2019.
23
Darwin Agung Septian Miolo, Aliran Kalam Salafiyah, Volume 18 Nomor 1(Juni)2021

21
Penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau
sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undang-
undang). Metode ini melibatkan penafsiran teks-teks Islam
berdasarkan konteks sejarah saat teks-teks tersebut diturunkan.
Mereka berusaha memahami bagaimana prinsip-prinsip tersebut
dapat diterapkan dalam konteks modern.24
3. Metode interpretasi filosofis (Muttakalimun)
Metode ini menetapkan ka’idah ditopang dengan alasan-alasan
yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun ‘aqliy (dengan akal
fikiran) tanpa terikat dalam hukum-hukum furu’ yang telah ada dari
madzab manapun. Adakalanya kaidah-kaidah yang disusun dalam
ushul fiqih mereka menguatkan furu’ yang terdapat dalam mazhab
mereka dan adakalanya melemahkan furu’ mazhab mereka Aliran
ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi
oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Sebagai akibat dari
perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini
sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aliran ini
mencoba mengaitkan prinsip ekonomi islam dengan prinsip
filosofis seperti keadilan, kebebasan, dan keseimbangan.25
4. Aliran Neoklasik

5. menekankan
pentingnya aspek
psikologis dan

24
Sitti Mawar, Metode Penemuan Hukum, Interprestasi, Konstruksi, Harmonisasi Hukum.
25
Wahyuddin, Aliran-aliran ilmu fiqih, Volume I, Nomor1,Januari-Juni 2021

22
6. sosial karyawan
sebagai individu
maupun sebagai
bagian kelompok
kerjanya
7. menekankan
pentingnya aspek
psikologis dan
8. sosial karyawan
sebagai individu
maupun sebagai
bagian kelompok
kerjanya
Aliran ini adalah hubungan aliran manusiawi yang dikembangkan
atas dasar teori klasik untuk menekankan pentingnya aspek
psikologis dan social. Aliran ini mencoba mengintegrasikan
prinsip-prinsip ekonomi Islam dengan teori-teori ekonomi modern,
seperti ekonomi pasar bebas. Mereka percaya bahwa prinsip-

23
prinsip Islam dapat diterapkan dalam konteks ekonomi global yang
kompleks.

24

Anda mungkin juga menyukai