NURUL HAMIDAH
PENDAHULUAN
kalori bagi masyarakat (Sugiyanto, 2007). Nilai kalori pada Gula mencapai 3,94
kkal/gram (Cahyadi, 2006). Nilai kalori yang tinggi menjadikannya sebagai salah
satu bahan makanan pokok selain beras, jagung dan umbi-umbian. Kebutuhan
gula menjadi lebih penting di banyak negara karena sebagai bahan pemanis utama
pada industri makanan dan minuman. Sampai saat ini, peranan gula belum
tebu menjadi salah satu industri hasil pertanian yang berkembang di Indonesia.
perkebunan tebu penyuplai bahan baku gula yang dimiliki PT IGG luasnya
mencapai 11.250 ha. Luasnya lahan tebu tersebut menjadikan PT IGG memiliki
kapasitas produksi mencapai 6.000-9.000 ton tebu per hari (PTPN, 2016).
antaranya berupa limbah padat (Purwadi dkk., 2007). Limbah padat merupakan
1
2
sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat
di antaranya berupa ampas tebu sebanyak 270.000 ton, blotong sebanyak 45.000
ton, dan abu ketel 9.000-18.000 ton per masa gilingnya. Limbah padat tersebut,
diolah dengan beberapa teknologi terpilih agar tidak mencemari lingkungan dan
menggunakan ampas tebu sebagai bahan bakar mesin boiler dan blotong sebagai
pupuk organik. Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan
tebu yang strukturnya terdiri dari serat dengan panjang 1,7-2 mm (Vitaloka dkk.,
2016). Ampas tebu juga memiliki nilai kalor yang relatif tinggi, yaitu 3.283,797
ampas tebu sebagai bahan bakar boiler mampu menghemat anggaran dan pupuk
hasil pengolahan blotong digunakan sebagai zat hara bagi tanaman tebu serta
samping dari pembakaran ampas tebu di mesin boiler berupa abu ketel yang
bahan bakar yang dilakukan PT Industri Gula Glenmore merupakan bagian dari
upaya recycle untuk pengurangan sampah. Selain sebagai bentuk aksi peduli
lingkungan, tetapi juga memberikan profit bagi perusahaan. Hal tersebut menjadi
latar belakang untuk mempelajari sistem pengolahan limbah padat industri gula
3
yang baru khususnya di bidang pengolahan limbah padat industri gula. Selain itu,
1. Apa saja jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri
2. Apa saja tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri
1.3 Tujuan
1. Jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula
Glenmore (IGG).
4
3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat industri gula
1.4 Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
PT Industri Gula Glenmore (IGG) mulai dibangun sejak Tahun 2012 dan
menempati lahan seluas 102 ha. PT Industri Gula Glenmore (IGG) merupakan
Provinsi Jawa Timur. Melalui power plant dan kota satelitnya, PT IGG memiliki
target 54 ribu ton/tahun dengan nilai investasi mencapai 1,5 triliun rupiah dan
Industri Gula Modern Terpadu”. Sedangkan misi dari PT Industri Gula Glenmore
2. membangun perusahaan yang tumbuh dan kuat sehingga lebih bermakna dan
lingkungan;
Kabupaten Banyuwangi.
5
6
Sampah juga merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak
terpakai (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Limbah padat adalah segala sesuatu
yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Limbah padat ada
yang mudah membusuk terdiri atas zat-zat organik seperti sayuran, sisa daging,
daun dan lain sebagainya, dan ada pula yang tidak mudah membusuk berupa
plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain sebagainya (Soemirat,
2004).
pengelolaan yakni:
1. Limbah padat yang dapat membusuk, seperti (sisa makan, daun, sampah
yang berasal dari industri yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisik
dipakai, dikelola, dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Limbah padat
ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Limbah padat organik
merupakan sampah yang mudah membusuk seperti, sisa daging, sisa sayuran,
Limbah padat non organik dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik
berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang.
Limbah padat ini tidak mudah menbusuk seperti, kertas, plastik, logam, karet,
abu gelas, bahan bangunan bekas dan lainnya (Amos, 2008). Limbah padat jenis
ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan
Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), sampah ini terjadi dari zat
kimia organik dan non organik serta logam-logam berat, yang umumnya berasal
a. Blotong
Blotong atau disebut filter cake atau filter press mud adalah limbah
industri yang dihasilkan oleh pabrik gula dari proses klarifikasi nira tebu.
Penumpukan bahan tersebut dalam jumlah besar akan menjadi salah satu sumber
terdispersi dalam nira tebu dan bercampur dengan anion-anion organik dan
anorganik. Blotong sebagian besar terdiri atas serat-serat tebu dan merupakan
sumber unsur organik yang sangat penting untuk pembentukan humus tanah
Komposisi blotong terdiri atas sabut, wax, fat kasar, protein kasar, gula, dan total
abu. Komposisi ini berbeda persentasenya dari satu pabrik gula dengan pabrik
gula lainnya, bergantung pada pola produksi dan asal tebu (Rifa’i, 2009). Blotong
berpotensi untuk dijadikan pupuk organik karena memiliki sumber hara berupa
SiO2, CaO, P2O5 dan MgO sehingga dapat membantu memperbaiki sifat-sifat
9
fisik, kimia, dan biologi tanah. Blotong bersifat porous, yaitu memiliki pori-pori
dalam jumlah banyak sehingga memiliki kemampuan menyerap air cukup tinggi
dan memperbesar jumlah air yang tersedia di dalam tanah (Rajiman, 2008).
Ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula yang melimpah yang
pabrik gula. Pemanfaatan ampas tebu di pabrik gula secara umum dilakukan
dengan cara langsung dikirm ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai bahan
bakar. Penanganan ampas tebu di beberapa pabrik gula masih belum teralokasikan
secara optimal, masih banyak ampas tebu yang melimpah tersisa setiap kali
produksi (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
ampas tebu yang dihasilkan tiap pabrik gula sebesar 10% dari total tebu yang
digiling dan yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin boiler sebesar 50%
dari total ampas tebu sedangkan sisanya tidak dimanfaatkan (Hidayati dkk., 2016).
antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 µm, sehingga ampas tebu ini
mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat
bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas selulosa, pentosan
c. Abu Ketel
Abu ketel merupakan residu bagas yang digunakan sebagai bahan bakar
boiler. Warna abu-abu kemerahan menunjukkan bahwa abu ketel memiliki silika
dalam jumlah besar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti semen
dalam pembuatan beton (concrete). Abu ketel mengandung beberapa unsur hara
suatu daerah akan berdampak pada masyarakat maupun lingkungan daerah itu
pencemaran udara karena baunya yang tidak sedap dan mengganggu kenyamanan,
Menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya diolah,
hanya saja biayanya sangat mahal tidak sebanding dengan hasilnya, misalnya
pencacahan plastik menjadi bentuk yang lebih kecil yang selanjutnya diolah
pada dump truck yang dilengkapi alat pemadat sehingga volume sampah jauh
b. Reduksi volume sampah secara pembakaran. Proses ini dapat dilakukan oleh
sekelompok masyarakat dengan catatan memilki ruang atau area terbuka cukup
terbakar dan tidak dapat dibakar. Plastik tidak diikutkan dalam proses
oksigen pada suatu reaktor. Umumnya zat organik tidak tahan terhadap panas
sehingga dengan pemanasan tanpa oksigen ini akan memecah struktur zat
organik tersebut (kondensasi) menjadi gas, cair dan padat (Suryono dan
Budiman, 2010).
secara langsung tanpa melalui proses daur ulang. Contohnya seperti kertas-kertas
berwarna-warni dari majalah bekas dapat dimanfaatkan untuk bungkus kado yang
menarik, pemanfaatan botol bekas untuk dijadikan wadah cairan misalnya spirtus,
dan minyak cat. Menggunakan kembali barang bekas adalah wujud cinta
proses kembali menjadi barang yang sama atau menjadi bentuk lain. Mendaur
ulang diartikan mengubah limbah padat menjadi produk baru, khususnya untuk
barang-barang yang tidak dapat digunakan dalam waktu yang cukup lama
padat yang masih dapat diolah. Pengelolaan limbah padat dengan cara recycling
c. Bentuk berubah dan fungsi pun berubah (Purwendro dan Nurhidayat, 2006).
13
2.4 Pupuk
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal
tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman.
Organik dan Pembenah Tanah, adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan
yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang
digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik.
Apabila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik, maka
menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula,
limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan
METODE PENELITIAN
Kerangka kerja dari Praktik Kerja Lapangan dijelaskan pada Gambar 3.1.
Perizinan
14
15
3. 3 Pengumpulan Data
jenis limbah padat industri gula PT IGG, kuantitas limbah padat yang dihasilkan,
tahapan pengolahan limbah padat industri PT IGG dan kuantitas pupuk yang
Data tahapan pembuatan gula kristal diperoleh dengan cara mengamati secara
stasiun untuk diperoleh informasi terkait proses pembuatan gula mulai dari
konsumen.
berupa ampas tebu. Stasiun boiler yang merupakan sumber energi listrik bagi
pabrik juga menghasilkan limbah berupa abu ketel yang merupakan hasil
seorang staf Responsibility Centre (RC) Utility tentang kuantitas blotong, seorang
staf dari rumah bagas tentang kuantitas ampas tebu, dan seorang staf
Responsibility Centre (RC) Boiler tentang kuantitas abu ketel yang dihasilkan di
PT IGG.
17
bahan bakar mesin boiler diamati di stasiun boiler. Selain pengamatan, juga
terkait mekanisme pembakaran ampas tebu yang diubah menjadi energi listrik
wawancara kepada seorang staf yang merupakan penanggung jawab rumah pupuk
terkait mekanisme pengolahan pupuk menjadi blotong yang dimulai dari proses
terkait jumlah pupuk yang dihasilkan dari pengolahan blotong tiap masa giling.
limbah padat yang terolah dengan jumlah limbah total. Tingkat reduksisitas dapat
hasil analisis data dijelaskan dalam laporan secara deskriptif. Dalam penyusunan
laporan ini, dilakukan konsultasi dengan dosen pembimbing secara intensif agar
Glenmore (IGG) bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan limbah padat yang
dihasilkan industri gula khususnya oleh PT IGG. Limbah padat dihasilkan dari
proses produksi gula di pabrik. Secara umum, alur proses produksi gula di pabrik
Tebu
Ampas
Pupuk Output tebu/bagas
Stasiun penggilingan/mill
Blotong Nira
Output
Stasiun pemurnian/clarification
Nira
Jernih Output
Penguapan di evaporator
Nira Kental
Stasiun masakan/kristalisasi
Boiler (untuk
Tetes bahan bakar)
sentrifugal
Output
Outp
Gula
Abu ketel
Sugar handling
Sugar Sugar
dryer/pengeringan Packaging/pengemasan cooler/pendinginan
Distribusi
19
20
Proses produksi gula dimulai dari stasiun penggilingan (mill). Tebu yang
dan bagas (ampas tebu). Terdapat empat mesin penggilingan sehingga proses
penggilingan berlangsung empat kali. Hal ini bertujuan agar lebih efisien dan
semakin banyak nira yang dihasilkan karena proses pemerasan dengan bantuan air
imbibisi dilakukan berulang kali. Nira yang dihasilkan ditampung di clear juice
boiler untuk dijadikan bahan bakar mesin boiler karena karakteristiknya yang
kering dan mudah terbakar. Leveller dan mesin penggiling tebu dapat dilihat pada
Gambar 4.2.
Nira dari clear juice tank dibawa ke stasiun proses lebih tepatnya di
ikut terbawa saat proses penggilingan. Nira harus bersih dari kotoran untuk
menjaga kemurniannya. Pada kondisi awal, nira tebu mempunyai kisaran pH 5,2 –
5,5 atau dalam kondisi asam yang membuatnya mudah mengalami inversi sukrosa
dengan cepat sehingga dapat menurunkan kadar sukrosa dalam nira tebu. Agar
tidak terjadi penurunan kadar sukrosa, maka pH nira perlu dinaikkan melalui
penambahan susu kapur/Ca(OH)2 yang biasa disebut dengan proses defikasi dan
nira dihasilkan endapan kotoran yang biasanya disebut sebagai blotong. Blotong
selanjutnya diangkut ke pabrik pupuk yang akan diolah menjadi pupuk organik.
Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air yang
berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam nira melalui proses pemanasan
dengan suhu 65oC - 110oC agar terjadi penguapan. Penguapan adalah suatu proses
menghilangkan zat pelarut (air) dari dalam larutan dengan menggunakan panas
(Soerjadi, 1977). Akibat proses penguapan, nira akan menjadi kental. Artinya
semakin lama proses pemanasan, kadar air dalam nira semakin berkurang, dan
nira menjadi semakin kental. Terdapat lima evaporator dengan proses yang
bertahap dari evaporator satu sampai lima. Kelima evaporator tersebut membuat
nira semakin mengental karena proses penguapan berkali-kali. Nira kental dengan
sehingga berubah wujud menjadi cair atau biasa disebut sebagai air kondensat
22
stasiun proses untuk dimanfaatkan kembali dalam proses pemasakan nira. Bentuk
yaitu A,B,C, dan R. Keberadaan empat vacum pan disebabkan proses pemasakan
harus melewati tahap yang berurutan di setiap tabungnya. Proses pemasakan nira
dimulai dari vacum pan A dan berakhir di vacum pan R. Nira dari evaporator
lima dibawa ke stasiun masakan c untuk dikristalkan dengan bantuan bibit fondan.
Fondan merupakan inti kristal gula yang sudah ditumbuk menjadi halus yang
berfungsi agar kristal gula yang terbentuk memiliki ukuran yang sama (Anisa,
2012). Bibit fondan dapat dibuat di luar pan masakan. Untuk mengetahui besar
23
kecil ukuran kristal dapat dilakukan dengan cara meletakkan kristal gula pada
stasiun masakan b karena bentuk gula masih setengah jadi sehingga perlu dimasak
kembali. Begitu pula dengan gula kristal hasil dari stasiun masakan b digunakan
pembibitan untuk stasiun masakan a. Gula kristal dari stasiun masakan a dibawa
ke carbonator untuk dilebur dan ditambahkan kapur sampai pHnya 10,5 (basa).
Penambahan kapur tidak hanya dapat menaikkan pH, tetapi juga membantu proses
rotary leaf filter untuk disaring kotorannya. Kotoran dari proses ini juga
membentuk blotong. Bentuk rotary leaf filter dan vacum pan dapat dilihat pada
Gambar 4.4.
Output dari rotary leaf filter berupa clear liquor, yaitu nira kental yang
sudah bersih dan siap untuk dijadikan gula. Clear liquor dialirkan ke tanki R
tetapi juga dan tetes (molase). Tetes (molase) merupakan hasil samping dari
industri gula yang berasal dari nira yang tidak mengkristal dengan kandungan gula
yang cukup tinggi, yaitu mencapai 52% (Juwita, 2012). Kristal gula dan molase
memisahkan kristal gula dan molase. Kristal gula hasil pemisahan dibawa ke
sugar handling untuk dikeringkan pada mesin sugar dryer dan didinginkan di
mesin sugar cooler untuk selanjutnya dibawa conveyor menuju sugar warehouse
untuk dikemas dan gula kristal siap didistribusikan. Sedangkan molase /tetesnya
dialirkan menuju tanki tetes untuk disimpan dan dijual pada pihak ketiga. Bentuk
sugar dryer dan sugar cooler dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Limbah padat industri gula PT IGG yang dihasilkan berupa bagas (ampas
tebu), blotong, dan abu ketel. Bagas berasal dari proses penggilingan tebu,
sedangkan blotong berasal dari proses pemurnian nira dan filtrasi. Abu ketel
Bagas (ampas tebu) diolah dengan cara dijadikan bahan bakar pada mesin
ampas tebu cocok digunakan sebagai bahan bakar boiler. Bentuknya berupa
serabut yang cukup halus dan berwarna kuning kecoklatan. Pembakaran ampas
tebu digunakan untuk memanaskan air pada suhu 4000C dan tekanan 45 bar di
mesin boiler agar menghasilkan steam (uap) yang digunakan untuk menggerakkan
turbin. Energi mekanik yang dihasilkan turbin diubah menjadi energi listrik
dengan bantuan mesin generator. Energi listrik yang dihasilkan digunakan sebagai
sumber energi listrik untuk aktivitas di pabrik gula keseluruhan. Potensi daya
gula Glenmore hingga saat ini hanya sebesar 8 MW, sehingga daya yang
Banyaknya ampas tebu yang dihasilkan PT IGG mencapai 25-30% dari total berat
tebu yang digiling. Ampas tebu yang dihasilkan PT IGG seluruhnya dimanfaatkan
sebagai bahan bakar mesin boiler, sehingga tidak mencemari lingkungan. Bentuk
Kapasitas produksi Pabrik Gula Glenmore, yaitu 4.000-6.000 ton cane per
day (tcd). Jadi total ampas tebu yang dihasilkan per harinya mencapai 1.000-1.800
ton. Apabila diakumulasikan selama masa giling berlangsung, yaitu selama 150
hari (5 bulan) dan kapasitas produksi 6.000 tcd, maka total ampas tebu yang
dihasilkan dalam satu masa giling tersebut sejumlah 270.000 ton ampas tebu.
Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar boiler selama satu
masa giling.
juga udara yang keluar dari cerobong asap bersih sehingga tidak mencemari
pembakaran ampas tebu. Kendala yang biasa ditemui di lapangan ialah apabila
sedang musim hujan, maka ampas tebu yang dihasilkan cenderung masih basah
27
dan sulit untuk dibakar karena kadar airnya tinggi, sehingga menghambat kerja
Ampas tebu yang basah biasanya disebabkan karena tebu dibiarkan di atas
truk pembawa tanpa penutup pada saat sebelum masuk penggilingan, sehingga
ketika turun hujan tebu menjadi basah. Untuk mengantisipasi kendala ini, apabila
ampas tebu dalam kondisi basah sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan
bakar boiler, maka dibantu dengan bahan bakar main fuel oil atau bahan bakar
minyak agar mesin boiler tetap hidup, meskipun dengan resiko abu ketel yang
dihasilkan lebih banyak dan mencemari udara karena asap yang dikeluarkan
berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada main fuel oil, terdapat kandungan
hidrokarbon, akibatnya pada saat dibakar, atom hidrogen berikatan dengan atom
bahan bakar mesin boiler berupa ampas tebu atau main fuel oil hanya sebatas pada
perbedaan asap pembakaran, namun tidak sampai berpengaruh pada kualitas nira
Ampas tebu yang terlalu kering juga berbahaya, karena mudah terbakar.
Oleh karena itu, di tempat penyimpanan ampas tebu (Bagass House) dilakukan
Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menjaga tingkat kekeringan bagas
b. Blotong
serabut halus yang berwarna hitam. Blotong mengandung bahan penyubur tanah
seperti Nitrogen, Fosphat (P2O5), Kalsium (CaO), humus, dan bahan organik lain
sehingga dapat diolah menjadi pupuk organik, penyubur atau untuk perbaikan
struktur tanah terutama pada lahan kering (Taufik dkk., 2013). Bentuk blotong
Proses pengolahan blotong menjadi pupuk dapat dilihat pada Gambar 4.8.
granule
Penambahan Zat fosfat
Penambahan molase
Blotong yang dihasilkan dari stasiun proses diangkut oleh dump truk
sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman
shelter dengan atap berbahan kaca berfungsi untuk memantulkan radiasi sinar
matahari sehingga memberi suasana panas pada shelter yang dapat membantu
25 kg superdex per ton blotong. Temperatur pada saat fermentasi dijaga pada
manis seperti tape. Blotong yang telah mengalami proses fermentasi selama 15
hari, kadarnya telah menyusut sebesar 50% dengan tingkat kelembaban sebesar
30% (Taufik dkk., 2013). Bentuk shelter dapat dilihat pada Gambar 4.9.
30
crusher feeding belt conveyor yang disalurkan ke mesin rough crusher untuk
proses pencacahan, sehingga kompos yang awalnya masih berupa gumpalan besar
menjadi butiran kasar yang berukuran lebih kecil. Ukuran tersebut memudahkan
pada proses pengolahan selanjutnya. Terdapat dua buah mesin pencacah (rough
bakarnya dengan bantuan combuster blower agar menjaga api tetap menyala.
Energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar butiran kasar kompos
dengan kecepatan tertentu pada suhu 4000C, sehingga output dari mesin ini berupa
butiran kompos yang sudah kering dan memiliki kadar air kurang dari 20% (Isro,
2009). Pada proses pengeringan juga dihasilkan debu yang disalurkan melalui
31
pipa exhausting yang bermuara ke kolam, sehingga butiran debu akan mengendap
di dasar kolam. Bentuk mesin rotary dryer, rotary cooler, dan rough crusher
c. Rough Crusher
Gambar 4.10 Rotary Dryer, Rotary Cooler, dan Rough Crusher
Kompos yang keluar dari rotary dryer masih panas, sehingga perlu
didinginkan di mesin rotary cooler, sehingga output dari mesin ini adalah kompos
dengan suhu yang lebih rendah, yakni sekitar 30-400C. Mesin rotary cooler juga
dilengkapi dengan pipa exhausting sebagai jalur keluar debu yang dihasilkan.
32
Kompos dari mesin rotary cooler dibawa oleh conveyor menuju mesin
mixer. Pada proses ini ditambahkan zat fosfat (P) sebagai tambahan nutrisi untuk
pupuk. Zat fosfat (P) merupakan hara utama (primer) kedua setelah nitrogen (N)
diperlukan baik oleh mikroba tanah maupun tanaman. Selain itu, zat fosfat
akar, khususnya lateral dan akar halus berserabut. Oleh karena itu, ketersediaan
zat fosfat di dalam tanah menjadi sangat penting bagi tanaman (Widawati dan
Kanti, 2000). Di dalam mesin mixer terjadi proses pengadukan agar zat fosfat
tercampur merata dengan komposnya. Bentuk mixer dapat dilihat pada Gambar
4.11.
Setelah kompos dan zat fosfat tercampur merata di dalam mesin mixer,
kompos diangkut conveyor menuju bin hopper yang merupakan tempat keluarnya
pupuk sebelum dikemas. Terdapat dua macam bin hopper, yaitu bin hopper untuk
curah dan granule. Bin hopper curah adalah wadah yang diperuntukkan sebagai
keluaran dari pupuk dengan butiran halus yang memiliki ukuran <0,5 mm.
Sedangkan bin hopper granule adalah wadah untuk menampung pupuk yang akan
diproduksi dalam ukuran butiran yang lebih besar (kasar) yaitu 0,5 mm. Pupuk
yang keluar dari bin hopper curah langsung dikemas, sedangkan pupuk yang
ditampung pada bin hopper granule diproses lebih lanjut agar diperoleh butiran
Agar diperoleh pupuk granule, pupuk dari bin hopper dibawa conveyor
menuju pan granulator. Pada proses ini, pupuk ditambahkan larutan molase atau
tetes yang berfungsi sebagai perekat antar butiran, sehingga terbentuk butiran-
butiran dengan ukuran yang lebih besar (granule). Granule yang dihasilkan
diangkut conveyor menuju mesin rotary dryer untuk dikeringkan. Ukuran rotary
dryer untuk granule lebih besar dari curah, pun dengan suhu yang lebih tinggi
hingga 7500C. Hal ini disebabkan ukuran butiran yang lebih besar, sehingga
dibutuhkan alat penunjang yang lebih besar pula dan suhu yang lebih panas agar
proses pengeringan berjalan optimal. Bentuk Bin Hopper dan Pan Granulator
a
a. Bin Hopper b. Pan Granulator
Gambar 4.12 Bin Hopper dan Pan Granulator
Granule dari rotary dryer yang masih panas dibawa ke mesin rotary
cooler untuk granule dilengkapi dengan screen (saringan), yang berfungsi agar
granule yang keluar memiliki ukuran yang seragam untuk selanjutmya dikemas,
sedangkan granule yang tidak lolos screen, dikembalikan ke mesin rough crusher
untuk diolah kembali. Pupuk yang sudah dikemas digunakan untuk nutrisi bagi
pupuk adalah bentuk dari proses daur ulang (recycle) dari limbah padat industri
gula.
curah dan 25% granule. Total blotong yang dihasilkan biasanya sebanyak 5% dari
35
total tebu yang diolah. Dengan masa giling 150 hari dan kapasitas produksi 6.000
tcd, maka jumlah blotongnya mencapai 45.000 ton per masa giling. Jumlah
blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore selama musim giling 2017
5000
4500
4000
3500
3000
Jumlah Blotong (Ton)
2500
2000
1500
1000
500
0
Juli Agustus September Oktober
Bulan
c. Abu Ketel
Proses produksi gula juga menghasilkan limbah abu ketel. Sumber abu
ketel di boiler dihasilkan dari tungku pembakaran secara wet scrubber dan dry
scrubber. Pada proses wet scrubber, gas keluar melalui cerobong dan ditangkap
dengan alat Grid Collector yang memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-
kecil dengan menggunakan medan listrik voltase tinggi (ITB, 2009). Tingginya
36
daya listrik terhadap partikulat menyebabkan ESP memiliki efisiensi yang sangat
dasar kolam. Pengendapan abu di kolam bertujuan agar abu tidak berterbangan di
pencemaran lingkungan, abu ketel hingga kini tidak dimanfaatkan dan hanya
dibiarkan di pinggir kolam abu hingga terbentuk gundukan. Meskipun limbah ini
termasuk jenis limbah organik sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan, namun
keberadaannya dalam kuantitas yang cukup besar yaitu sebesar 1-2% dari total
tebu yang digiling atau sekitar 60-120 ton per hari (kapasitas produksi 6000 tcd),
tentunya hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan dan secara tidak langsung
merupakan unsur hara atau nutrisi yang diperlukan oleh tanaman (Purwati dkk.,
2007). Limbah abu ketel juga dapat dicampurkan dengan beberapa zat lain untuk
dijadikan menjadi pupuk mixed (fine compost). Senyawa kimia abu ketel yang
dominan adalah SiO2 (silika), yaitu sebesar 70,97 % (Misran, 2005). Bentuk abu
37
blotong, pupuk granul, dan pupuk curah dikarenakan proses pengomposan yang
dilakukan sehingga berpengaruh terhadap kadar air, pH, dan kandungan zat
secara manual menggunakan sinar matahari maupun di dalam mesin rotary dryer.
pertumbuhan populasi bakteri akan meningkatkan kebutuhan zat organik pada saat
agar diketahui kelayakan dari pupuk yang dihasilkan. Baku mutu yang dijadikan
kualitas pupuk yang dihasilkan PT IGG dengan baku mutu dapat dilihat pada
Tabel 4.2
Tabel 4.2 Perbandingan Kualitas Pupuk dengan Baku mutu berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk
Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. di PT IGG
Parameter Baku Mutu* Pupuk Kesesuaian Pupuk Kesesuaian
Granul Curah
C-Organik 15 (Minimal) 14,42% Belum sesuai 20,19% Sesuai
Kadar Air 15 (Minimal) 10,16% Belum sesuai 5,5% Belum
sesuai
pH 4-9 7,8 Sesuai 7,9 Sesuai
N 4 (Minimal) 0,62% Belum sesuai 0,83% Belum
sesuai
P2O5 4 (Minimal) 4,26% Sesuai 2,17% Belum
sesuai
K2O 4 (Minimal) 0,53% Belum sesuai 0,53% Belum
sesuai
*Baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011
tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah.
39
Berdasarkan Tabel 4.2, hanya terdapat 2 parameter yang sesuai dengan baku
mutu pada pupuk granul, yaitu parameter pH dan zat P2O5, sedangkan parameter
C-Organik, kadar air, zat N, dan K2O belum memenuhi baku mutu. Pada pupuk
curah, juga terdapat 2 parameter yang sesuai dengan baku mutu, yaitu C-Organik,
dan pH, sedangkan parameter kadar air, zat N, P2O5 dan K2O belum memenuhi
baku mutu. Berdasarkan hasil perbandingan parameter dengan baku mutu yang
ada, maka baik pupuk granul maupun curah yang dihasilkan PT IGG belum layak
untuk didistribusikan karena masih terdapat parameter yang belum sesuai baku
Pembenah Tanah.
limbah yang diolah atau dimanfaatkan kembali dengan total limbah yang
dihasilkan selama sekali masa giling (5 bulan). Tingkat reduksisitas limbah dapat
a. Ampas tebu
b. Blotong
c. Abu Ketel
Abu ketel hingga kini tidak diolah lebih lanjut dan langsung dibuang ke
d. Reduksisitas Total
270.000+45.000
= x 100 = 99,96%
270.000+45.000+120
reduksisitas ampas tebu sebesar 100%, blotong sebesar 30%, dan abu ketel 0%.
5.1 Kesimpulan
1. Limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula Glenmore
lain bagas (ampas tebu) dijadikan bahan bakar mesin boiler. Blotong diolah
menjadi pupuk dengan prinsip fermentasi dan diproduksi dalam bentuk curah
(halus) dan granule (kasar). Abu ketel hingga kini tidak ada proses pengolahan
3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan per hari sebesar 90 ton/hari atau 10.800 ton
5.2 Saran
industrinya, yaitu:
41
42
2. Melakukan observasi secara intensif terhadap kandungan zat kimia pada abu
PT IGG meningkat.
Pembenah Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, D.S.N., Kurniawan, S., Restu, N.W., & Ismuyanto, B. 2016. Potensi
Ampas Tebu Sebagai Alternatif Bahan Baku Pembuatan Karbon Aktif.
Jurnal Natural B. Vol 3. No 4.
Hussein, A.A.E., Shafiq, N., Nuruddin, M.F., & Memon, F.A. 2014. Compressive
Strength And Microstructure Of Sugarcane Bagasse Ash Concrete.
Journal of Applied Science Engineering Technology. Vol 7. No.12. Hal
2569 – 2577.
Indriani & Sumiarsih. 1992. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan. Tegalan.
Jakarta. Penebar Swadaya.
Isro, I. 2009. Pengujian Pupuk N-Alternatif pada Tebu Tanaman Pertama (PC) di
PG Pesantren Baru dan PG Jombang Baru. Pasuruan. P3GI.
Juwita, R. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu (Saccharum officinarum
L) Selama Proses Fermentasi. Makassar. Universitas Hasanuddin.
Meireni, D. 2006. “Permintaan Impor Gula Indonesia Tahun 1980– 2003”, Tesis.
Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
43
44
Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Taknologi
Proses. Vol 4. No. 2. Hal 6-10. 24 September
2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15389/1/tkp-ul2005-
%20(2).pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.
Prasad, M. 1976. Response of Sugarcane Press Mud and NPK Fertilizer : I. Effect
on Sugarcane Yield and Sucrose Content. Agric j. 60 : 539-543.
Purnomo, E. 1994. Susu Kapur Bening untuk Pra Defikasi nira gilingan.
Pasuruan. P3GI.
Purwadi, A., Suryadi, Usada, W., & Isyuniarto. 2007. Proses Ozonasi pada
Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 2. No.1. Hal 1-5.
Purwati, S., Soetopo, R., & Setiawan, Y. 2007. Potensi penggunaan abu boiler
Industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada
areal gambut tanaman industri. Jurnal Selulosa. No. 42. Vol 1. Hal 8-17.
45
Rajiman. 2008. Pengaruh Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Dan
Hasil Bawang Merah Pada Lahan Pasir Pantai Bugel Kabupaten Kulon
Progo. Jurnal Agrin. Vol 12. No.1.
Rifa’i R.S. 2009. Potensi Blotong (Filter Cake) sebagai Pupuk Organik Tanaman
Tebu. Yogyakarta. LPP.
Soemirat, S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gajah Mada University
Press. 27.
Suriadikarta, Didi, A., & Simanungkalit, R.D.M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/juknis/pu
puk%20organik.pdf?secure=true. Diakses pada tanggal 19 Juli 2018.
Taufik, Supari, & Gunawan, B. 2013. Analisa Kandungan Kimia Pupuk Organik
Dari Blotong Tebu Limbah Dari Pabrik Gula Trangkil. Kudus. Universitas
Muria Kudus.
Vitaloka, A., Rohanah, A., & Rindang, A. 2016. Karakteristik Kertas Berbahan
Baku Ampas Tebu dan Sampah Kertas. Jurnal Rekayasa Pangan dan
Pertanian. Vol 5. No.1.
Widawati, S., & Kanti, S.A. 2000. Pengaruh Isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Efektif dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Kacang Tanah
46
(Arachishypogaea).http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatal
og/downloadDatabyId/2772/2773.pdf. Diakses dari pada tanggal 25
Oktober 2018.