Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH PADAT INDUSTRI GULA


PT INDUSTRI GULA GLENMORE (IGG)
KARANGHARJO, GLENMORE, BANYUWANGI

NURUL HAMIDAH

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan komoditas penting karena bermanfaat sebagai sumber

kalori bagi masyarakat (Sugiyanto, 2007). Nilai kalori pada Gula mencapai 3,94

kkal/gram (Cahyadi, 2006). Nilai kalori yang tinggi menjadikannya sebagai salah

satu bahan makanan pokok selain beras, jagung dan umbi-umbian. Kebutuhan

gula menjadi lebih penting di banyak negara karena sebagai bahan pemanis utama

pada industri makanan dan minuman. Sampai saat ini, peranan gula belum

tergantikan disebabkan oleh belum tersedianya bahan pemanis buatan yang

mampu menggantikannya (Sugiyanto, 2007).

Indonesia sebagai Negara beriklim tropis, memiliki kondisi cuaca yang

mendukung pertumbuhan tanaman tebu. Akibatnya, industri gula berbahan dasar

tebu menjadi salah satu industri hasil pertanian yang berkembang di Indonesia.

Hal tersebut menjadikannya sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen

gula terbesar di dunia (Meireni, 2006).

Salah satu industri penghasil gula terbesar di Indonesia adalah PT Industri

Gula Glenmore (PT IGG) yang berlokasi di Kabupaten Banyuwangi. Area

perkebunan tebu penyuplai bahan baku gula yang dimiliki PT IGG luasnya

mencapai 11.250 ha. Luasnya lahan tebu tersebut menjadikan PT IGG memiliki

kapasitas produksi mencapai 6.000-9.000 ton tebu per hari (PTPN, 2016).

Proses pengolahan tebu menjadi gula menimbulkan hasil samping di

antaranya berupa limbah padat (Purwadi dkk., 2007). Limbah padat merupakan

1
2

sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat

(Pemerintah Republik Indonesia, 2008). PT IGG juga menghasilkan limbah padat,

di antaranya berupa ampas tebu sebanyak 270.000 ton, blotong sebanyak 45.000

ton, dan abu ketel 9.000-18.000 ton per masa gilingnya. Limbah padat tersebut,

diolah dengan beberapa teknologi terpilih agar tidak mencemari lingkungan dan

bahkan mampu mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.

Pengolahan limbah yang dilakukan PT Industri Gula Glenmore, yaitu

menggunakan ampas tebu sebagai bahan bakar mesin boiler dan blotong sebagai

pupuk organik. Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan

tebu yang strukturnya terdiri dari serat dengan panjang 1,7-2 mm (Vitaloka dkk.,

2016). Ampas tebu juga memiliki nilai kalor yang relatif tinggi, yaitu 3.283,797

kal/kg yang menjadikannya mudah terbakar (Tjahjono dkk., 2016). Pemanfaatan

ampas tebu sebagai bahan bakar boiler mampu menghemat anggaran dan pupuk

hasil pengolahan blotong digunakan sebagai zat hara bagi tanaman tebu serta

sebagian dijual sehingga mampu mendatangkan profit bagi perusahaan. Hasil

samping dari pembakaran ampas tebu di mesin boiler berupa abu ketel yang

hingga kini belum dikelola dengan baik sehingga mengalami penumpukan.

Pengolahan blotong menjadi pupuk dan pemanfaatan ampas tebu sebagai

bahan bakar yang dilakukan PT Industri Gula Glenmore merupakan bagian dari

upaya recycle untuk pengurangan sampah. Selain sebagai bentuk aksi peduli

lingkungan, tetapi juga memberikan profit bagi perusahaan. Hal tersebut menjadi

latar belakang untuk mempelajari sistem pengolahan limbah padat industri gula
3

dengan melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT Industri Gula

Glenmore (IGG) Banyuwangi, Jawa Timur.

Pelaksanaan PKL bagi mahasiswa, memberikan pengalaman dan wawasan

yang baru khususnya di bidang pengolahan limbah padat industri gula. Selain itu,

meningkatkan hubungan kerjasama yang baik antara Universitas Airlangga

dengan PT Industri Gula Glenmore (IGG). Keberhasilan PT IGG dalam mengolah

blotong menunjukkan bahwa potensi Indonesia sebagai produsen pupuk sangat

besar melalui industri gula yang ada.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam kajian ini adalah:

1. Apa saja jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri

Gula Glenmore (IGG)?

2. Apa saja tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri

gula PT Industri Gula Glenmore (IGG)?

3. Berapa kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat

industri gula PT Industri Gula Glenmore?

1.3 Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui:

1. Jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula

Glenmore (IGG).
4

2. Tahap-tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri gula

PT Industri Gula Glenmore (IGG).

3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat industri gula

PT Industri Gula Glenmore (IGG).

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari kajian ini adalah menambah

pengetahuan dan pengalaman mengenai praktik langsung pengelolaan limbah

padat industri di PT Industri Gula Glemore (IGG).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum

PT Industri Gula Glenmore (IGG) mulai dibangun sejak Tahun 2012 dan

menempati lahan seluas 102 ha. PT Industri Gula Glenmore (IGG) merupakan

konsorsium PT Perkebunan Nusantara XII dan XI yang berlokasi di Jalan Lintas

Selatan Km. 4, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi,

Provinsi Jawa Timur. Melalui power plant dan kota satelitnya, PT IGG memiliki

target 54 ribu ton/tahun dengan nilai investasi mencapai 1,5 triliun rupiah dan

menjadikannya sebagai industri gula termodern di Indonesia (PTPN, 2013).

Visi dari PT Industri Gula Glenmore (IGG) adalah “Menjadi Perusahaan

Industri Gula Modern Terpadu”. Sedangkan misi dari PT Industri Gula Glenmore

(IGG) sebagai berikut:

1. memproduksi gula dan produk turunannya dengan mutu tinggi;

2. membangun perusahaan yang tumbuh dan kuat sehingga lebih bermakna dan

mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder dan stakeholder;

3. berkomitmen menjalankan bisnis dengan mengutamakan kelestarian

lingkungan;

4. menumbuhkembangkan budaya usaha tani tebu yang berkualitas di kawasan

Kabupaten Banyuwangi.

5
6

2.2 Limbah Padat

2.1.1 Pengertian Limbah Padat

Limbah padat merupakan bahan buangan dari kegiatan rumah tangga,

komersial, industri atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia lainnya.

Sampah juga merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak

terpakai (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Limbah padat adalah segala sesuatu

yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Limbah padat ada

yang mudah membusuk terdiri atas zat-zat organik seperti sayuran, sisa daging,

daun dan lain sebagainya, dan ada pula yang tidak mudah membusuk berupa

plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain sebagainya (Soemirat,

2004).

2.2.2 Jenis Limbah Padat

Limbah padat dibedakan atas sifat biologisnya sehingga memperoleh

pengelolaan yakni:

1. Limbah padat yang dapat membusuk, seperti (sisa makan, daun, sampah

kebun, pertanian, dan lainnya).

2. Limbah padat yang berupa debu.

3. Limbah padat yang berbahaya terhadap kesehatan, seperti sampah-sampah

yang berasal dari industri yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisik

berbahaya (Soemirat, 2009).

Limbah padat berdasarkan komponennya dibagi menjadi 3 bagian yakni:


7

1. Limbah padat Organik

Limbah padat Organik merupakan barang yang dianggap sudah tidak

terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih dapat

dipakai, dikelola, dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Limbah padat

ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Limbah padat organik

merupakan sampah yang mudah membusuk seperti, sisa daging, sisa sayuran,

daun-daun, sampah kebun dan lainnya (Amos, 2008).

2. Limbah padat Non Organik

Limbah padat non organik dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik

berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang.

Limbah padat ini tidak mudah menbusuk seperti, kertas, plastik, logam, karet,

abu gelas, bahan bangunan bekas dan lainnya (Amos, 2008). Limbah padat jenis

ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan

kaleng (Gelbert, 1996).

3. Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun)

Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), sampah ini terjadi dari zat

kimia organik dan non organik serta logam-logam berat, yang umumnya berasal

dari buangan industri. Pengelolaan limbah B3 tidak dapat dicampurkan dengan

limbah padat organik dan non organik (Amos, 2008).

2.2.3 Limbah Padat Industri Gula

Limbah padat industri gula antara lain:


8

a. Blotong

Blotong atau disebut filter cake atau filter press mud adalah limbah

industri yang dihasilkan oleh pabrik gula dari proses klarifikasi nira tebu.

Penumpukan bahan tersebut dalam jumlah besar akan menjadi salah satu sumber

pencemaran lingkungan. Blotong mengandung bahan koloid organik yang

terdispersi dalam nira tebu dan bercampur dengan anion-anion organik dan

anorganik. Blotong sebagian besar terdiri atas serat-serat tebu dan merupakan

sumber unsur organik yang sangat penting untuk pembentukan humus tanah

(Prasad, 1976). Bentuk blotong dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Blotong (Sumber: www.google.com, 2018)

Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira.

Komposisi blotong terdiri atas sabut, wax, fat kasar, protein kasar, gula, dan total

abu. Komposisi ini berbeda persentasenya dari satu pabrik gula dengan pabrik

gula lainnya, bergantung pada pola produksi dan asal tebu (Rifa’i, 2009). Blotong

berpotensi untuk dijadikan pupuk organik karena memiliki sumber hara berupa

SiO2, CaO, P2O5 dan MgO sehingga dapat membantu memperbaiki sifat-sifat
9

fisik, kimia, dan biologi tanah. Blotong bersifat porous, yaitu memiliki pori-pori

dalam jumlah banyak sehingga memiliki kemampuan menyerap air cukup tinggi

dan memperbesar jumlah air yang tersedia di dalam tanah (Rajiman, 2008).

b. Ampas Tebu (Bagas)

Ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula yang melimpah yang

dihasilkan dari proses penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan

pabrik gula. Pemanfaatan ampas tebu di pabrik gula secara umum dilakukan

dengan cara langsung dikirm ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai bahan

bakar. Penanganan ampas tebu di beberapa pabrik gula masih belum teralokasikan

secara optimal, masih banyak ampas tebu yang melimpah tersisa setiap kali

produksi (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Berdasarkan data dari Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dari 63 pabrik gula di Indonesia rata-rata

ampas tebu yang dihasilkan tiap pabrik gula sebesar 10% dari total tebu yang

digiling dan yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin boiler sebesar 50%

dari total ampas tebu sedangkan sisanya tidak dimanfaatkan (Hidayati dkk., 2016).

Bentuk ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Ampas tebu (Sumber: P3GI, 2016)


10

Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang seratnya

antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 µm, sehingga ampas tebu ini

dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagas

mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat

bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas selulosa, pentosan

dan lignin (Husin, 2007).

c. Abu Ketel

Abu ketel merupakan residu bagas yang digunakan sebagai bahan bakar

boiler. Warna abu-abu kemerahan menunjukkan bahwa abu ketel memiliki silika

dalam jumlah besar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti semen

dalam pembuatan beton (concrete). Abu ketel mengandung beberapa unsur hara

diantaranya, kalium, kalsium, dan magnesium dalam jumlah relatif tinggi

sehingga digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah (amelioran) di

perkebunan tebu (Hussein dkk., 2014).

2.3 Pengelolaan Limbah Padat

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Pengelolaan Limbah

Padat adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang

meliputi pengurangan dan penanganan limbah padat. Pengelolaan limbah padat di

suatu daerah akan berdampak pada masyarakat maupun lingkungan daerah itu

sendiri. Banyak masalah yang ditimbulkan oleh limbah padat, diantaranya

pencemaran udara karena baunya yang tidak sedap dan mengganggu kenyamanan,

pencemaran air apabila membuang sampah sembarangan, seperti di sungai yang


11

menyebabkan aliran air dapat terhalang sampah dan berpotensi menyebabkan

banjir saat musim hujan (Budiman, 2006).

2.3.1. Metode Pengelolaan Limbah Padat

Beberapa metode dalam pengelolaan limbah padat antara lain:

1. Reduce (mengurangi sampah)

Reduce (mengurangi sampah) berarti mengurangi segala sesuatu yang

mengakibatkan sampah. Reduksi atau disebut juga mengurangi sampah

merupakan langkah pertama untuk mencegah penimbulan sampah di TPA.

Menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya diolah,

hanya saja biayanya sangat mahal tidak sebanding dengan hasilnya, misalnya

pencacahan plastik menjadi bentuk yang lebih kecil yang selanjutnya diolah

menjadi biji plastik (Azwar, 2002).

Reduksi (mengurangi sampah) dapat dilakukan melalui beberapa proses:

a. Reduksi volume sampah secara mekanik. Contohnya, dilakukan pemadatan

pada dump truck yang dilengkapi alat pemadat sehingga volume sampah jauh

berkurang dan volume yang diangkut menjadi lebih banyak.

b. Reduksi volume sampah secara pembakaran. Proses ini dapat dilakukan oleh

sekelompok masyarakat dengan catatan memilki ruang atau area terbuka cukup

luas. Pembakaran dilakukan dengan menggunakan suatu unit instalasi

incinerator sederhana. Syaratnya sampah harus dipisah antara yang dapat

terbakar dan tidak dapat dibakar. Plastik tidak diikutkan dalam proses

pembakaran karena zat yang dihasilkan akan membahayakan kesehatan.


12

c. Reduksi sampah secara kimiawi. Contohnya pyrolysis, yaitu pemanasan tanpa

oksigen pada suatu reaktor. Umumnya zat organik tidak tahan terhadap panas

sehingga dengan pemanasan tanpa oksigen ini akan memecah struktur zat

organik tersebut (kondensasi) menjadi gas, cair dan padat (Suryono dan

Budiman, 2010).

2. Reuse (menggunakan kembali)

Reuse (menggunakan kembali), yaitu pemanfaatan kembali limbah padat

secara langsung tanpa melalui proses daur ulang. Contohnya seperti kertas-kertas

berwarna-warni dari majalah bekas dapat dimanfaatkan untuk bungkus kado yang

menarik, pemanfaatan botol bekas untuk dijadikan wadah cairan misalnya spirtus,

dan minyak cat. Menggunakan kembali barang bekas adalah wujud cinta

lingkungan (Suryono dan Budiman, 2010).

2 Recycling (mendaur ulang)

Recycling (mendaur ulang) adalah pemanfaatan bahan buangan untuk di

proses kembali menjadi barang yang sama atau menjadi bentuk lain. Mendaur

ulang diartikan mengubah limbah padat menjadi produk baru, khususnya untuk

barang-barang yang tidak dapat digunakan dalam waktu yang cukup lama

(Suryono dan Budiman, 2010). Recycling ialah pemanfaatan kembali limbah

padat yang masih dapat diolah. Pengelolaan limbah padat dengan cara recycling

(daur ulang) akan menghasilkan barang-barang dengan:

a. Bentuk dan fungsinya tetap

b. Bentuk berubah tetapi fungsi tetap.

c. Bentuk berubah dan fungsi pun berubah (Purwendro dan Nurhidayat, 2006).
13

2.4 Pupuk

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal

tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman.

Pupuk organik dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang Pupuk

Organik dan Pembenah Tanah, adalah pupuk yang sebagian besar atau

seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan

yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang

digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih

ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar

haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik.

Apabila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik, maka

diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Limbah industri yang

menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula,

limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan

sebagainya (Suriadikarta dkk., 2006).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Praktik Kerja Lapangan

Praktik Kerja Lapangan ini dilaksanakan mulai Tanggal 25 Juni-20 Juli

Tahun 2018 di PT Industri Gula Glenmore, Desa Karangharjo, Kecamatan

Glenmore, Kabupaten Banyuwangi.

3.2 Cara Kerja

Kerangka kerja dari Praktik Kerja Lapangan dijelaskan pada Gambar 3.1.

Ide Praktik Kerja Lapangan:


Sistem Pengolahan Limbah
Padat di PT Industri Gula
Glenmore (IGG) Karangharjo,
Glenmore, Banyuwangi

Studi Kepustakaan yang terkait:


Gambaran Umum PT Industri
Gula Glenmore (IGG), Limbah
Padat, dan Pengolahan Limbah
Padat Industri Gula

Perizinan

14
15

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Data Primer Data Sekunder


1. Tahapan pembuatan gula 1. Gambaran umum PT
2. Jenis limbah padat industri IGG
gula PT IGG
3. Tahapan pengolahan
limbah padat industri gula
PT IGG
4. Kuantitas limbah padat
industri yang dihasilkan
PT IGG
5. Kuantitas pupuk hasil
olahan blotong yang
dihasilkan PT IGG

Analisis dan Pengolahan Data


Meliputi Tingkat Reduksitas
Limbah Padat Berdasarkan
Kuantitas Pupuk

Penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan

Gambar 3.1 Kerangka Operasional Praktik Kerja Lapangan

3. 3 Pengumpulan Data

Data primer yang dikumpulkan meliputi tahapan pembuatan gula kristal,

jenis limbah padat industri gula PT IGG, kuantitas limbah padat yang dihasilkan,

tahapan pengolahan limbah padat industri PT IGG dan kuantitas pupuk yang

dihasilkan dari pengolahan blotong.


16

a. Tahapan Pembuatan Gula Kristal

Data tahapan pembuatan gula kristal diperoleh dengan cara mengamati secara

langsung proses pembuatannya di pabrik. Pengamatan dilakukan di stasiun

penggilingan tebu, stasiun pemasakan nira, gudang pengemasan dan penyimpanan

gula. Di masing-masing lokasi dilakukan wawancara terhadap penanggung jawab

stasiun untuk diperoleh informasi terkait proses pembuatan gula mulai dari

penggilingan tebu sampai pengemasan gula yang siap didistribusikan ke

konsumen.

b. Jenis limbah padat industri

Informasi jenis limbah padat yang dihasilkan PT IGG diketahui berdasarkan

pengamatan langsung di pabrik gula. Berdasarkan pengamatan di stasiun

pemasakan, limbah padat yang dihasilkan berupa blotong. Pengamatan juga

dilakukan di stasiun penggilingan. Proses penggilingan tebu menghasilkan limbah

berupa ampas tebu. Stasiun boiler yang merupakan sumber energi listrik bagi

pabrik juga menghasilkan limbah berupa abu ketel yang merupakan hasil

pembakaran ampas tebu.

c. Kuantitas limbah padat yang dihasilkan

Data kuantitas limbah padat diperoleh berdasarkan wawancara terhadap

seorang staf Responsibility Centre (RC) Utility tentang kuantitas blotong, seorang

staf dari rumah bagas tentang kuantitas ampas tebu, dan seorang staf

Responsibility Centre (RC) Boiler tentang kuantitas abu ketel yang dihasilkan di

PT IGG.
17

d. Tahapan Pengolahan Limbah Padat Industri PT IGG

Data tahapan pengolahan limbah padat industri PT IGG diperoleh dengan

cara mengamati secara langsung di lapangan. Pemanfaatan ampas tebu menjadi

bahan bakar mesin boiler diamati di stasiun boiler. Selain pengamatan, juga

dilakukan wawancara kepada 3 orang staf Responsibility Centre (RC) Boiler

terkait mekanisme pembakaran ampas tebu yang diubah menjadi energi listrik

untuk menyuplai kebutuhan listrik di pabrik gula. Sedangkan tahapan pengolahan

blotong menjadi pupuk diamati di rumah pupuk PT IGG. Dilakukan pula

wawancara kepada seorang staf yang merupakan penanggung jawab rumah pupuk

terkait mekanisme pengolahan pupuk menjadi blotong yang dimulai dari proses

fermentasi, penghancuran, pemanasan, pendinginan, pencampuran dengan molase

sampai ke tahap akhir, yaitu pengemasan.

e. Kuantitas pupuk hasil olahan blotong yang dihasilkan PT IGG

Data kuantitas pupuk diperoleh berdasarkan wawancara terhadap seorang staf

Responsibility Centre (RC) Utility yang bertanggung jawab di rumah pupuk

terkait jumlah pupuk yang dihasilkan dari pengolahan blotong tiap masa giling.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah gambaran umum mengenai PT

Industri Gula Glenmore. Data tersebut diperoleh dari website resmi PT

Perkebunan Nusantara yang merupakan induk perusahaan dari PT IGG.

3.4 Analisis dan Pengolahan Data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui tingkat reduksisitas limbah

padat industri gula di PT IGG. Analisis dilakukan dengan membandingkan jumlah


18

limbah padat yang terolah dengan jumlah limbah total. Tingkat reduksisitas dapat

diketahui dengan Persamaan 3.1.

Jumlah limbah terolah


Tingkat reduksisitas limbah = x 100% …………. (3.1)
Jumlah limbah total

3.5 Penyusunan Laporan

Hasil dari pengamatan selama Praktik Kerja Lapangan di PT IGG dan

hasil analisis data dijelaskan dalam laporan secara deskriptif. Dalam penyusunan

laporan ini, dilakukan konsultasi dengan dosen pembimbing secara intensif agar

diperoleh hasil laporan yang mampu dipertanggungjawabkan dan bermanfaat,

baik bagi mahasiswa maupun bagi industri tersebut.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Produksi Gula Secara Umum di PT IGG

Kegiatan Praktik Kerja Lapangan yang dilaksanakan di PT Industri Gula

Glenmore (IGG) bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan limbah padat yang

dihasilkan industri gula khususnya oleh PT IGG. Limbah padat dihasilkan dari

proses produksi gula di pabrik. Secara umum, alur proses produksi gula di pabrik

gula PT IGG seperti pada Gambar 4.1.

Tebu
Ampas
Pupuk Output tebu/bagas
Stasiun penggilingan/mill

Blotong Nira
Output
Stasiun pemurnian/clarification
Nira
Jernih Output
Penguapan di evaporator
Nira Kental

Stasiun masakan/kristalisasi
Boiler (untuk
Tetes bahan bakar)

sentrifugal
Output
Outp
Gula
Abu ketel
Sugar handling

Sugar Sugar
dryer/pengeringan Packaging/pengemasan cooler/pendinginan

Distribusi

Gambar 4.1 Alur Proses Produksi Gula


Keterangan: = Limbah padat yang dihasilkan

19
20

Proses produksi gula dimulai dari stasiun penggilingan (mill). Tebu yang

sudah dipanen dimasukkan ke dalam leveller untuk disamakan ukurannya.

Penyamaan ukuran akan memudahkan proses penggilingan tebu. Selanjutnya,

tebu dimasukkan ke dalam penggilingan sehingga dihasilkan nira (cairan gula)

dan bagas (ampas tebu). Terdapat empat mesin penggilingan sehingga proses

penggilingan berlangsung empat kali. Hal ini bertujuan agar lebih efisien dan

semakin banyak nira yang dihasilkan karena proses pemerasan dengan bantuan air

imbibisi dilakukan berulang kali. Nira yang dihasilkan ditampung di clear juice

tank untuk selanjutnya dibawa ke stasiun proses, sedangkan bagas dibawa ke

boiler untuk dijadikan bahan bakar mesin boiler karena karakteristiknya yang

kering dan mudah terbakar. Leveller dan mesin penggiling tebu dapat dilihat pada

Gambar 4.2.

a. Leveller b. Mesin penggiling tebu


Gambar 4.2 Leveller dan mesin penggiling tebu pada stasiun penggilingan/mill

Nira dari clear juice tank dibawa ke stasiun proses lebih tepatnya di

stasiun klarifikasi/pemurnian. Di stasiun ini, nira dibersihkan dari kotoran yang


21

ikut terbawa saat proses penggilingan. Nira harus bersih dari kotoran untuk

menjaga kemurniannya. Pada kondisi awal, nira tebu mempunyai kisaran pH 5,2 –

5,5 atau dalam kondisi asam yang membuatnya mudah mengalami inversi sukrosa

dengan cepat sehingga dapat menurunkan kadar sukrosa dalam nira tebu. Agar

tidak terjadi penurunan kadar sukrosa, maka pH nira perlu dinaikkan melalui

penambahan susu kapur/Ca(OH)2 yang biasa disebut dengan proses defikasi dan

sekaligus berfungsi sebagai penjernih (Purnomo, 1994). Dari proses penjernihan

nira dihasilkan endapan kotoran yang biasanya disebut sebagai blotong. Blotong

selanjutnya diangkut ke pabrik pupuk yang akan diolah menjadi pupuk organik.

Sementara itu, nira jernih dibawa ke evaporator.

Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air yang

harus dipisahkan dengan menggunakan alat penguap atau evaporator. Evaporator

berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam nira melalui proses pemanasan

dengan suhu 65oC - 110oC agar terjadi penguapan. Penguapan adalah suatu proses

menghilangkan zat pelarut (air) dari dalam larutan dengan menggunakan panas

(Soerjadi, 1977). Akibat proses penguapan, nira akan menjadi kental. Artinya

semakin lama proses pemanasan, kadar air dalam nira semakin berkurang, dan

nira menjadi semakin kental. Terdapat lima evaporator dengan proses yang

bertahap dari evaporator satu sampai lima. Kelima evaporator tersebut membuat

nira semakin mengental karena proses penguapan berkali-kali. Nira kental dengan

kemurnian 75% dari evaporator lima dibawa ke stasiun masakan untuk

dikristalkan. Sementara itu, uap dari evaporator terkondensasi di mesin kondensor

sehingga berubah wujud menjadi cair atau biasa disebut sebagai air kondensat
22

yang dibawa ke spraypond untuk didinginkan, selanjutnya dibawa kembali ke

stasiun proses untuk dimanfaatkan kembali dalam proses pemasakan nira. Bentuk

evaporator dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Evaporator

Di stasiun masakan, terdapat empat macam vacum pan/tabung masakan,

yaitu A,B,C, dan R. Keberadaan empat vacum pan disebabkan proses pemasakan

harus melewati tahap yang berurutan di setiap tabungnya. Proses pemasakan nira

dimulai dari vacum pan A dan berakhir di vacum pan R. Nira dari evaporator

lima dibawa ke stasiun masakan c untuk dikristalkan dengan bantuan bibit fondan.

Fondan merupakan inti kristal gula yang sudah ditumbuk menjadi halus yang

berfungsi agar kristal gula yang terbentuk memiliki ukuran yang sama (Anisa,

2012). Bibit fondan dapat dibuat di luar pan masakan. Untuk mengetahui besar
23

kecil ukuran kristal dapat dilakukan dengan cara meletakkan kristal gula pada

kaca transparan yang diamati pada sinar lampu.

Gula kristal hasil masakan vacum pan c digunakan untuk pembibitan di

stasiun masakan b karena bentuk gula masih setengah jadi sehingga perlu dimasak

kembali. Begitu pula dengan gula kristal hasil dari stasiun masakan b digunakan

pembibitan untuk stasiun masakan a. Gula kristal dari stasiun masakan a dibawa

ke carbonator untuk dilebur dan ditambahkan kapur sampai pHnya 10,5 (basa).

Penambahan kapur tidak hanya dapat menaikkan pH, tetapi juga membantu proses

pengendapan koloid-koloid pada cairan gula sehingga kotoran di dalamnya dapat

diendapkan (Nurlela, 2002). Selanjutnya, gula yang sudah dicairkan dibawa ke

rotary leaf filter untuk disaring kotorannya. Kotoran dari proses ini juga

membentuk blotong. Bentuk rotary leaf filter dan vacum pan dapat dilihat pada

Gambar 4.4.

a. Rotary leaf filter b. Vacum pan


Gambar 4.4 Rotary leaf filter dan vacum pan

Output dari rotary leaf filter berupa clear liquor, yaitu nira kental yang

sudah bersih dan siap untuk dijadikan gula. Clear liquor dialirkan ke tanki R

untuk dikristalkan. Tangki masakan R tidak hanya menghasilkan kristal gula,


24

tetapi juga dan tetes (molase). Tetes (molase) merupakan hasil samping dari

industri gula yang berasal dari nira yang tidak mengkristal dengan kandungan gula

yang cukup tinggi, yaitu mencapai 52% (Juwita, 2012). Kristal gula dan molase

dipindah ke receiver untuk selanjutnya dibawa ke mesin sentrifugal yang akan

memisahkan kristal gula dan molase. Kristal gula hasil pemisahan dibawa ke

sugar handling untuk dikeringkan pada mesin sugar dryer dan didinginkan di

mesin sugar cooler untuk selanjutnya dibawa conveyor menuju sugar warehouse

untuk dikemas dan gula kristal siap didistribusikan. Sedangkan molase /tetesnya

dialirkan menuju tanki tetes untuk disimpan dan dijual pada pihak ketiga. Bentuk

sugar dryer dan sugar cooler dapat dilihat pada Gambar 4.5.

a. Sugar dryer b. Sugar cooler


Gambar 4.5 Sugar dryer dan sugar cooler

4.2 Mekanisme Pengolahan Limbah Padat Industri

4.2.1 Limbah Padat Industri

Limbah padat industri gula PT IGG yang dihasilkan berupa bagas (ampas

tebu), blotong, dan abu ketel. Bagas berasal dari proses penggilingan tebu,

sedangkan blotong berasal dari proses pemurnian nira dan filtrasi. Abu ketel

dihasilkan dari proses pembakaran bagas pada mesin boiler (pemanas).


25

a. Bagas (ampas tebu)

Bagas (ampas tebu) diolah dengan cara dijadikan bahan bakar pada mesin

boiler. Karakteristiknya yang kering, ringan, dan mudah terbakar menjadikan

ampas tebu cocok digunakan sebagai bahan bakar boiler. Bentuknya berupa

serabut yang cukup halus dan berwarna kuning kecoklatan. Pembakaran ampas

tebu digunakan untuk memanaskan air pada suhu 4000C dan tekanan 45 bar di

mesin boiler agar menghasilkan steam (uap) yang digunakan untuk menggerakkan

turbin. Energi mekanik yang dihasilkan turbin diubah menjadi energi listrik

dengan bantuan mesin generator. Energi listrik yang dihasilkan digunakan sebagai

sumber energi listrik untuk aktivitas di pabrik gula keseluruhan. Potensi daya

listrik yang dihasilkan mencapai 20 Megawatt (MW). Kebutuhan listrik di pabrik

gula Glenmore hingga saat ini hanya sebesar 8 MW, sehingga daya yang

dihasilkan berlebih sebanyak 12 MW. Daya yang berlebih tersebut rencananya

akan dijual ke PLN sehingga dapat mendatangkan profit bagi perusahaan.

Banyaknya ampas tebu yang dihasilkan PT IGG mencapai 25-30% dari total berat

tebu yang digiling. Ampas tebu yang dihasilkan PT IGG seluruhnya dimanfaatkan

sebagai bahan bakar mesin boiler, sehingga tidak mencemari lingkungan. Bentuk

ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 4.6.


26

Gambar 4.6 Ampas tebu (Bagas)

Kapasitas produksi Pabrik Gula Glenmore, yaitu 4.000-6.000 ton cane per

day (tcd). Jadi total ampas tebu yang dihasilkan per harinya mencapai 1.000-1.800

ton. Apabila diakumulasikan selama masa giling berlangsung, yaitu selama 150

hari (5 bulan) dan kapasitas produksi 6.000 tcd, maka total ampas tebu yang

dihasilkan dalam satu masa giling tersebut sejumlah 270.000 ton ampas tebu.

Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar boiler selama satu

masa giling.

Keuntungan penggunaan ampas tebu selain menghemat anggaran, tetapi

juga udara yang keluar dari cerobong asap bersih sehingga tidak mencemari

lingkungan. Hal ini disebabkan karena mesin boiler dilengkapi dengan

Electrostatic Precipitator (ESP) yang berfungsi menangkap partikulat hasil

pembakaran ampas tebu. Kendala yang biasa ditemui di lapangan ialah apabila

sedang musim hujan, maka ampas tebu yang dihasilkan cenderung masih basah
27

dan sulit untuk dibakar karena kadar airnya tinggi, sehingga menghambat kerja

mesin boiler dan proses produksi secara keseluruhan.

Ampas tebu yang basah biasanya disebabkan karena tebu dibiarkan di atas

truk pembawa tanpa penutup pada saat sebelum masuk penggilingan, sehingga

ketika turun hujan tebu menjadi basah. Untuk mengantisipasi kendala ini, apabila

ampas tebu dalam kondisi basah sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan

bakar boiler, maka dibantu dengan bahan bakar main fuel oil atau bahan bakar

minyak agar mesin boiler tetap hidup, meskipun dengan resiko abu ketel yang

dihasilkan lebih banyak dan mencemari udara karena asap yang dikeluarkan

berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada main fuel oil, terdapat kandungan

hidrokarbon, akibatnya pada saat dibakar, atom hidrogen berikatan dengan atom

karbon sehingga menghasilkan asap hitam pekat (Nurudin, 2016). Perbedaan

bahan bakar mesin boiler berupa ampas tebu atau main fuel oil hanya sebatas pada

perbedaan asap pembakaran, namun tidak sampai berpengaruh pada kualitas nira

atau blotong yang dihasilkan.

Ampas tebu yang terlalu kering juga berbahaya, karena mudah terbakar.

Oleh karena itu, di tempat penyimpanan ampas tebu (Bagass House) dilakukan

pengecekan berkala untuk memastikan bahwa ampas tebu tidak terbakar.

Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menjaga tingkat kekeringan bagas

agar tetap pada kondisi kering yang normal.

b. Blotong

Selain ampas tebu, proses produksi gula juga menghasilkan blotong.

Bentuk blotong hampir menyerupai tanah namun masih mengandung serabut-


28

serabut halus yang berwarna hitam. Blotong mengandung bahan penyubur tanah

seperti Nitrogen, Fosphat (P2O5), Kalsium (CaO), humus, dan bahan organik lain

sehingga dapat diolah menjadi pupuk organik, penyubur atau untuk perbaikan

struktur tanah terutama pada lahan kering (Taufik dkk., 2013). Bentuk blotong

dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Blotong

Proses pengolahan blotong menjadi pupuk dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Cahaya matahari + superdex Blotong di shelter Rough crusher

Packaging curah Rotary


Bin hopper mixer Rotary cooler
dryer

granule
Penambahan Zat fosfat

Pan granulator Rotary dryer Rotary cooler with screen Packaging

Penambahan molase

Gambar 4.8 Pengolahan blotong menjadi pupuk


29

Blotong yang dihasilkan dari stasiun proses diangkut oleh dump truk

menuju pabrik pupuk untuk dikeringkan dan difermentasi/dikomposkan di shelter.

Pengomposan dilakukan untuk mengkonversikan bahan-bahan organik komplek

menjadi bahan yang lebih sederhana dengan menggunakan aktivitas mikroba,

sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman

(Taufik dkk., 2013).

Proses pengeringan dilakukan dengan radiasi sinar matahari. Desain

shelter dengan atap berbahan kaca berfungsi untuk memantulkan radiasi sinar

matahari sehingga memberi suasana panas pada shelter yang dapat membantu

proses pengeringan. Sedangkan, proses fermentasi/pengomposan di shelter

biasanya berlangsung selama 30 hari, tetapi proses tersebut dapat dipercepat

dengan ditambahkan starter berupa superdex. Penambahan superdex berfungsi

mempercepat proses dekomposisi. Banyaknya superdex yang ditambahkan, yaitu

25 kg superdex per ton blotong. Temperatur pada saat fermentasi dijaga pada

angka 500C untuk menjaga kelembabannya. Tanda-tanda fermentasi berhasil jika

permukaan limbah blotong menjadi kecoklatan atau kehitam-hitaman dan berbau

manis seperti tape. Blotong yang telah mengalami proses fermentasi selama 15

hari, kadarnya telah menyusut sebesar 50% dengan tingkat kelembaban sebesar

30% (Taufik dkk., 2013). Bentuk shelter dapat dilihat pada Gambar 4.9.
30

Gambar 4.9 Shelter

Selanjutnya, blotong hasil fermentasi (kompos) dimasukkan ke mesin

crusher feeding belt conveyor yang disalurkan ke mesin rough crusher untuk

proses pencacahan, sehingga kompos yang awalnya masih berupa gumpalan besar

menjadi butiran kasar yang berukuran lebih kecil. Ukuran tersebut memudahkan

pada proses pengolahan selanjutnya. Terdapat dua buah mesin pencacah (rough

crusher) dengan tujuan agar lebih cepat dan efisien.

Kompos hasil pencacahan dibawa ke mesin rotary dryer menggunakan

conveyor untuk dikeringkan. Pengeringan kompos bertujuan untuk menurunkan

kadar airnya. Proses pengeringan memanfaatkan energi panas yang bersumber

dari tungku pembakaran (furnace) yang menggunakan kayu sebagai bahan

bakarnya dengan bantuan combuster blower agar menjaga api tetap menyala.

Energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar butiran kasar kompos

dengan kecepatan tertentu pada suhu 4000C, sehingga output dari mesin ini berupa

butiran kompos yang sudah kering dan memiliki kadar air kurang dari 20% (Isro,

2009). Pada proses pengeringan juga dihasilkan debu yang disalurkan melalui
31

pipa exhausting yang bermuara ke kolam, sehingga butiran debu akan mengendap

di dasar kolam. Bentuk mesin rotary dryer, rotary cooler, dan rough crusher

dapat dilihat pada Gambar 4.10.

a. Rotary Dryer b. Rotary Cooler

c. Rough Crusher
Gambar 4.10 Rotary Dryer, Rotary Cooler, dan Rough Crusher

Kompos yang keluar dari rotary dryer masih panas, sehingga perlu

didinginkan di mesin rotary cooler, sehingga output dari mesin ini adalah kompos

dengan suhu yang lebih rendah, yakni sekitar 30-400C. Mesin rotary cooler juga

dilengkapi dengan pipa exhausting sebagai jalur keluar debu yang dihasilkan.
32

Selanjutnya, debu ditampung di dalam kolam dan diendapkan agar tidak

berterbangan dan mencemari udara. Apabila debu di dalam kolam sudah

terakumulasi cukup banyak, maka dilakukan pengerukan dimanfaatkan untuk

pupuk tanaman di sekitar pabrik gula PT IGG.

Kompos dari mesin rotary cooler dibawa oleh conveyor menuju mesin

mixer. Pada proses ini ditambahkan zat fosfat (P) sebagai tambahan nutrisi untuk

pupuk. Zat fosfat (P) merupakan hara utama (primer) kedua setelah nitrogen (N)

yang membantu metabolisme dan proses mikrobiologi tanah sehingga mutlak

diperlukan baik oleh mikroba tanah maupun tanaman. Selain itu, zat fosfat

berperan dalam pembentukan lemak dan albumin tanaman serta perkembangan

akar, khususnya lateral dan akar halus berserabut. Oleh karena itu, ketersediaan

zat fosfat di dalam tanah menjadi sangat penting bagi tanaman (Widawati dan

Kanti, 2000). Di dalam mesin mixer terjadi proses pengadukan agar zat fosfat

tercampur merata dengan komposnya. Bentuk mixer dapat dilihat pada Gambar

4.11.

Gambar 4.11. Mixer


33

Setelah kompos dan zat fosfat tercampur merata di dalam mesin mixer,

kompos diangkut conveyor menuju bin hopper yang merupakan tempat keluarnya

pupuk sebelum dikemas. Terdapat dua macam bin hopper, yaitu bin hopper untuk

curah dan granule. Bin hopper curah adalah wadah yang diperuntukkan sebagai

keluaran dari pupuk dengan butiran halus yang memiliki ukuran <0,5 mm.

Sedangkan bin hopper granule adalah wadah untuk menampung pupuk yang akan

diproduksi dalam ukuran butiran yang lebih besar (kasar) yaitu 0,5 mm. Pupuk

yang keluar dari bin hopper curah langsung dikemas, sedangkan pupuk yang

ditampung pada bin hopper granule diproses lebih lanjut agar diperoleh butiran

yang lebih besar.

Agar diperoleh pupuk granule, pupuk dari bin hopper dibawa conveyor

menuju pan granulator. Pada proses ini, pupuk ditambahkan larutan molase atau

tetes yang berfungsi sebagai perekat antar butiran, sehingga terbentuk butiran-

butiran dengan ukuran yang lebih besar (granule). Granule yang dihasilkan

diangkut conveyor menuju mesin rotary dryer untuk dikeringkan. Ukuran rotary

dryer untuk granule lebih besar dari curah, pun dengan suhu yang lebih tinggi

hingga 7500C. Hal ini disebabkan ukuran butiran yang lebih besar, sehingga

dibutuhkan alat penunjang yang lebih besar pula dan suhu yang lebih panas agar

proses pengeringan berjalan optimal. Bentuk Bin Hopper dan Pan Granulator

dapat dilihat pada Gambar 4.12.


34

a
a. Bin Hopper b. Pan Granulator
Gambar 4.12 Bin Hopper dan Pan Granulator

Granule dari rotary dryer yang masih panas dibawa ke mesin rotary

cooler untuk diturunkan suhunya/didinginkan sampai pada suhu 30-400C. Rotary

cooler untuk granule dilengkapi dengan screen (saringan), yang berfungsi agar

granule yang keluar memiliki ukuran yang seragam untuk selanjutmya dikemas,

sedangkan granule yang tidak lolos screen, dikembalikan ke mesin rough crusher

untuk diolah kembali. Pupuk yang sudah dikemas digunakan untuk nutrisi bagi

tanaman tebu milik PT Perkebunan Nusantara XII yang merupakan induk

perusahaan PT Industri Gula Glenmore, sehingga pengolahan blotong menjadi

pupuk adalah bentuk dari proses daur ulang (recycle) dari limbah padat industri

gula.

Kapasitas produksi tebu memengaruhi jumlah blotong yang dihasilkan,

sehingga juga memengaruhi jumlah pupuk yang dihasilkan. Kapasitas produksi

pupuk di rumah pupuk PT IGG mencapai 90 ton/hari dengan komposisi 75%

curah dan 25% granule. Total blotong yang dihasilkan biasanya sebanyak 5% dari
35

total tebu yang diolah. Dengan masa giling 150 hari dan kapasitas produksi 6.000

tcd, maka jumlah blotongnya mencapai 45.000 ton per masa giling. Jumlah

blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore selama musim giling 2017

dapat dilihat pada Gambar 4.13.

5000
4500
4000
3500
3000
Jumlah Blotong (Ton)

2500
2000
1500
1000
500
0
Juli Agustus September Oktober
Bulan

Gambar 4.13 Jumlah blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore


selama musim giling 2017

c. Abu Ketel

Proses produksi gula juga menghasilkan limbah abu ketel. Sumber abu

ketel di boiler dihasilkan dari tungku pembakaran secara wet scrubber dan dry

scrubber. Pada proses wet scrubber, gas keluar melalui cerobong dan ditangkap

dengan alat Grid Collector yang memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-

partikel besar. Electrostatic Precipitator (ESP) pada proses dry scrubber,

berfungsi sebagai penangkap gas yang keluar untuk memisahkan partikel-partikel

kecil dengan menggunakan medan listrik voltase tinggi (ITB, 2009). Tingginya
36

daya listrik terhadap partikulat menyebabkan ESP memiliki efisiensi yang sangat

tinggi, yaitu mencapai 97,25% (Muttaqim dkk., 2015).

Abu yang ditangkap di ESP, pengeluarannya dibantu dengan air menuju

ke hopper yang selanjutnya ditampung ke dalam kolam agar abu terendapkan di

dasar kolam. Pengendapan abu di kolam bertujuan agar abu tidak berterbangan di

udara dan memudahkan saat pengumpulannya. Air yang tersaring di kolam

penyaringan, disirkulasi kembali ke boiler untuk dipanaskan kembali. Abu yang

telah kering di kolam penyaringan di ambil menggunakan loader.

Berbeda dengan bagas dan blotong yang diolah sehingga mengurangi

pencemaran lingkungan, abu ketel hingga kini tidak dimanfaatkan dan hanya

dibiarkan di pinggir kolam abu hingga terbentuk gundukan. Meskipun limbah ini

termasuk jenis limbah organik sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan, namun

keberadaannya dalam kuantitas yang cukup besar yaitu sebesar 1-2% dari total

tebu yang digiling atau sekitar 60-120 ton per hari (kapasitas produksi 6000 tcd),

tentunya hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan dan secara tidak langsung

telah mencemari lingkungan. Padahal, abu ketel sejatinya dapat dimanfaatkan

kembali karena mengandung mineral anorganik atau unsur-unsur logam yang

merupakan unsur hara atau nutrisi yang diperlukan oleh tanaman (Purwati dkk.,

2007). Limbah abu ketel juga dapat dicampurkan dengan beberapa zat lain untuk

dijadikan menjadi pupuk mixed (fine compost). Senyawa kimia abu ketel yang

dominan adalah SiO2 (silika), yaitu sebesar 70,97 % (Misran, 2005). Bentuk abu

ketel dapat dilihat pada Gambar 4.14.


36

37

a. Abu Ketel b. Kolam Abu


Gambar 4.14 Abu Ketel dan Kolam Abu

4.3 Analisis Kualitas Blotong dan Pupuk

Perbandingan kualitas blotong dan pupuk yang dihasilkan PT IGG dapat

dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Perbandingan Kualitas Blotong dan Pupuk di PT IGG


Parameter Satuan Blotong Pupuk Pupuk Curah
Granul
C-Organik % 17,72 14,42 20,19
C/N - 19,69 - -
Kadar Air % 15,3 10,16 5,5
pH - 8,2 7,8 7,9
N % 0,9 0,62 0,83
P2O5 % 3,42 4,26 2,17
K2O % 0,53 0,53 0,53
Sumber: Laboratorium Utility PT IGG (2018)

Berdasarkan Tabel 4.1, diketahui bahwa terdapat perbedaan kualitas antara

blotong, pupuk granul, dan pupuk curah dikarenakan proses pengomposan yang

dilakukan sehingga berpengaruh terhadap kadar air, pH, dan kandungan zat

organiknya. Kadar air mengalami penurunan karena blotong dikeringkan baik


38

secara manual menggunakan sinar matahari maupun di dalam mesin rotary dryer.

pH mengalami penurunan karena blotong ditambahkan molase/tetes yang

memiliki pH 5-7 atau bersifat asam, sehingga mampu menurunkan pH blotong.

Sedangkan kandungan zat organik rata-rata mengalami penurunan karena

pertumbuhan populasi bakteri akan meningkatkan kebutuhan zat organik pada saat

pengomposan, sehingga kandungan zat organik mengalami penurunan pada saat

proses pengomposan selesai dan blotong menjadi pupuk (Ramadhani, 2013).

4.4 Perbandingan Kualitas Pupuk dengan Baku Mutu

Kualitas pupuk yang dihasilkan PT IGG dibandingkan dengan baku mutu

agar diketahui kelayakan dari pupuk yang dihasilkan. Baku mutu yang dijadikan

acuan berupa Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011

tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. Perbandingan

kualitas pupuk yang dihasilkan PT IGG dengan baku mutu dapat dilihat pada

Tabel 4.2

Tabel 4.2 Perbandingan Kualitas Pupuk dengan Baku mutu berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk
Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. di PT IGG
Parameter Baku Mutu* Pupuk Kesesuaian Pupuk Kesesuaian
Granul Curah
C-Organik 15 (Minimal) 14,42% Belum sesuai 20,19% Sesuai
Kadar Air 15 (Minimal) 10,16% Belum sesuai 5,5% Belum
sesuai
pH 4-9 7,8 Sesuai 7,9 Sesuai
N 4 (Minimal) 0,62% Belum sesuai 0,83% Belum
sesuai
P2O5 4 (Minimal) 4,26% Sesuai 2,17% Belum
sesuai
K2O 4 (Minimal) 0,53% Belum sesuai 0,53% Belum
sesuai
*Baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011
tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah.
39

Berdasarkan Tabel 4.2, hanya terdapat 2 parameter yang sesuai dengan baku

mutu pada pupuk granul, yaitu parameter pH dan zat P2O5, sedangkan parameter

C-Organik, kadar air, zat N, dan K2O belum memenuhi baku mutu. Pada pupuk

curah, juga terdapat 2 parameter yang sesuai dengan baku mutu, yaitu C-Organik,

dan pH, sedangkan parameter kadar air, zat N, P2O5 dan K2O belum memenuhi

baku mutu. Berdasarkan hasil perbandingan parameter dengan baku mutu yang

ada, maka baik pupuk granul maupun curah yang dihasilkan PT IGG belum layak

untuk didistribusikan karena masih terdapat parameter yang belum sesuai baku

mutu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan

Pembenah Tanah.

4.5 Tingkat Reduksisitas Limbah

Tingkat reduksisitas limbah diukur berdasarkan perbandingan jumlah

limbah yang diolah atau dimanfaatkan kembali dengan total limbah yang

dihasilkan selama sekali masa giling (5 bulan). Tingkat reduksisitas limbah dapat

diperoleh dari Persamaan 3.1.

Jumlah limbah terolah


Tingkat reduksisitas limbah = x 100% ………….. (3.1)
Jumlah limbah total

Perhitungan tingkat reduksisitas limbah sebagai berikut:

a. Ampas tebu

Jumlah ampas tebu yang dihasilkan = 270.000 ton

Jumlah ampas tebu yang dimanfaatkan = 270.000 ton


270.000 ton
Maka, Tingkat reduksisitas ampas tebu = x 100% = 100%
270.000 ton
40

b. Blotong

Jumlah blotong yang dihasilkan = 45.000 ton

Jumlah pupuk yang dihasilkan = 90 ton/hari

Jumlah pupuk yang dihasilkan


Maka, Tingkat reduksisitas limbah = x 100%
Jumlah limbah blotong

90 ton x 150 hari


= x 100 = 30%
45.000

c. Abu Ketel

Abu ketel hingga kini tidak diolah lebih lanjut dan langsung dibuang ke

lingkungan, sehingga tingkat reduksinya 0%.

d. Reduksisitas Total

Perhitungan tingkat reduksisitas total menggunakan Persamaan 3.1.

Total limbah terolah


Reduksisitas total =
Total limbah yang dihasilkan
x 100% ……………… (3.1)

270.000+45.000
= x 100 = 99,96%
270.000+45.000+120

Berdasarkan perhitungan pada Persamaan 3.1, diketahui bahwa tingkat

reduksisitas ampas tebu sebesar 100%, blotong sebesar 30%, dan abu ketel 0%.

Maka, total reduksisits limbah padat di PT IGG sebesar 99,96%.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan observasi selama praktik kerja di PT Industri Gula Glenmore,

dapat disimpulkan bahwa:

1. Limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula Glenmore

antara lain bagas (ampas tebu), blotong, dan abu ketel.

2. Proses pengolahan limbah padat industri di PT Industri Gula Glenmore antara

lain bagas (ampas tebu) dijadikan bahan bakar mesin boiler. Blotong diolah

menjadi pupuk dengan prinsip fermentasi dan diproduksi dalam bentuk curah

(halus) dan granule (kasar). Abu ketel hingga kini tidak ada proses pengolahan

limbah lebih lanjut.

3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan per hari sebesar 90 ton/hari atau 10.800 ton

per masa giling (selama 5 bulan masa giling)

5.2 Saran

Saran yang diberikan kepada PT IGG terkait pengelolaan limbah padat

industrinya, yaitu:

1. Menyediakan tempat penampungan abu ketel agar tidak mengalami

penumpukan di pinggir kolam abu.

41
42

2. Melakukan observasi secara intensif terhadap kandungan zat kimia pada abu

ketel dan pemanfaatannya, sehingga tingkat reduksisitas limbah padat industri

PT IGG meningkat.

3. Melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kualitas pupuk sesuai

dengan baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan

Pembenah Tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Amos, N. 2008. Kesadaran Lingkungan. Jakarta. PT. Rinika Cipta. 67.

Anisa. 2012. Prinsip Dasar Kristalisasi. https://datenpdf.com/download/prinsip-


dasar-kristalisasi_pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.

Azwar, A. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi Revisi. Jakarta Barat. Penerbit


Bina Rupa Aksara. 56.

Budiman, C. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta. EGC.

Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek kesehatan Bahan Tambahan Pangan.


Jakarta. Penerbit Bunga Aksara.

Gelbert, M. 1996. Sampah dan Pengelolaannya. Malang. PPPGT / VEDC. 67.

Hidayati, D.S.N., Kurniawan, S., Restu, N.W., & Ismuyanto, B. 2016. Potensi
Ampas Tebu Sebagai Alternatif Bahan Baku Pembuatan Karbon Aktif.
Jurnal Natural B. Vol 3. No 4.

Husin, A. 2007. Pemanfaatan Limbah Untuk Bahan Bangunan.


http://www.kimpraswil.go.id/balitbang/puskim/Homepage%20Modul%20
2003/modulc1/MAKALAH%20C1_3.pdf. Diakses tanggal 7 April 2018.

Hussein, A.A.E., Shafiq, N., Nuruddin, M.F., & Memon, F.A. 2014. Compressive
Strength And Microstructure Of Sugarcane Bagasse Ash Concrete.
Journal of Applied Science Engineering Technology. Vol 7. No.12. Hal
2569 – 2577.

Indriani & Sumiarsih. 1992. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan. Tegalan.
Jakarta. Penebar Swadaya.

Institut Teknologi Bandung. 2009. Pengantar Pencemaran Udara.


http://kuliah.ftsl.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pengaantarpencemaa
ran.pdf. Diakses pada tanggal 30 Nopember 2018.

Isro, I. 2009. Pengujian Pupuk N-Alternatif pada Tebu Tanaman Pertama (PC) di
PG Pesantren Baru dan PG Jombang Baru. Pasuruan. P3GI.

Juwita, R. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu (Saccharum officinarum
L) Selama Proses Fermentasi. Makassar. Universitas Hasanuddin.

Meireni, D. 2006. “Permintaan Impor Gula Indonesia Tahun 1980– 2003”, Tesis.
Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

43
44

Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Taknologi
Proses. Vol 4. No. 2. Hal 6-10. 24 September
2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15389/1/tkp-ul2005-
%20(2).pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.

Mukono. 2006. Prinsip-prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya.


Airlangga University Press. 26-28.
Muttaqim, L.M., Trimulyono, A., & Hadi, S.E. 2015. Analisa Electrostatic
Precipitator (ESP) Pada Exhaust Dalam Upaya Pengendalian Partikulat
Debu Gas Buang Main Engine Kapal Latih BIMASAKTI. Jurnal Teknik
Perkapalan. Vol 3. No.1.

Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Warna Gula Merah.


Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Nurudin. 2016. Minyak Bumi. https://www.academia.edu/9111411/Minyak_bumi.


Diakses pada tanggal 30 Nopember 2018.

P3GI. 2016. http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=15169. Diakses pada


tanggal 30 Nopember 2018.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 2 /


Pert / Hk.060 / 2 / 2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah.

Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang nomor 18 tahun 2008


tentang Pengelolaan Sampah.

Prasad, M. 1976. Response of Sugarcane Press Mud and NPK Fertilizer : I. Effect
on Sugarcane Yield and Sucrose Content. Agric j. 60 : 539-543.

PT Industri Gula Glenmore. 2018. Hasil Pengujian Kandungan Blotong dan


Pupuk. Banyuwangi.

PTPN. 2013. http://www.ptpn12.com. Diakses pada tanggal 18 Januari 2018

PTPN. 2016. http://www.ptpn12.com. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2018.

Purnomo, E. 1994. Susu Kapur Bening untuk Pra Defikasi nira gilingan.
Pasuruan. P3GI.

Purwadi, A., Suryadi, Usada, W., & Isyuniarto. 2007. Proses Ozonasi pada
Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 2. No.1. Hal 1-5.

Purwati, S., Soetopo, R., & Setiawan, Y. 2007. Potensi penggunaan abu boiler
Industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada
areal gambut tanaman industri. Jurnal Selulosa. No. 42. Vol 1. Hal 8-17.
45

Purwendro, S. & Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk Pestisida


Organik. Jakarta. Penebar Swadaya. 45-65.

Rajiman. 2008. Pengaruh Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Dan
Hasil Bawang Merah Pada Lahan Pasir Pantai Bugel Kabupaten Kulon
Progo. Jurnal Agrin. Vol 12. No.1.

Ramadhani, F.K. 2013. Blotong (Filter Cake) Sebagai Aktifator Pembuatan


Pupuk Organik. Surabaya. Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Rifa’i R.S. 2009. Potensi Blotong (Filter Cake) sebagai Pupuk Organik Tanaman
Tebu. Yogyakarta. LPP.
Soemirat, S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gajah Mada University
Press. 27.

Soemirat, S. 2009. Kesehatan Lingkungan Jilid II. Yogyakarta. Gajah Mada


University Press. 153.

Soerjadi. 1977. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula.


Yogyakarta. Lpp.

Sugiyanto, C. 2007. Permintaan Gula di Indonesia. Jurnal Ekonomi


Pembangunan. Universitas Gajah Mada. Vol 8. No.2. Hal 113-127.

Suriadikarta, Didi, A., & Simanungkalit, R.D.M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/juknis/pu
puk%20organik.pdf?secure=true. Diakses pada tanggal 19 Juli 2018.

Suryono, H. & Budiman, C. 2010. Kesehatan Lingkungan. Bandung. Pustaka


Baru. 73-76.

Taufik, Supari, & Gunawan, B. 2013. Analisa Kandungan Kimia Pupuk Organik
Dari Blotong Tebu Limbah Dari Pabrik Gula Trangkil. Kudus. Universitas
Muria Kudus.

Tjahjono, T., Subroto, & Rachman, A. 2016. Analisis Pengaruh Pembakaran


Briket Campuran Ampas Tebu dan Sekam Padi dengan Membandingkan
Pembakaran Briket Masing-Masing Biomassa. Jurnal Ilmiah Teknik
Mesin. Vol 17. No.1. Hal 44-51.

Vitaloka, A., Rohanah, A., & Rindang, A. 2016. Karakteristik Kertas Berbahan
Baku Ampas Tebu dan Sampah Kertas. Jurnal Rekayasa Pangan dan
Pertanian. Vol 5. No.1.

Widawati, S., & Kanti, S.A. 2000. Pengaruh Isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Efektif dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Kacang Tanah
46

(Arachishypogaea).http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatal
og/downloadDatabyId/2772/2773.pdf. Diakses dari pada tanggal 25
Oktober 2018.

www.google.com. 2018. https://ilmubudidaya.com/cara-membuat-pupuk-organik-


dari-blotong-limbah-pabrik-gula/pupuk-padat. Diakses pada tanggal 29
Nopember 2018.
47

Lampiran 1. Laporan Hasil Pengujian Kandungan Blotong


Parameter Unit Kontrol
C-Organik % 17,72
C/N - 19,69
Bahan Ikutan % 0,0
Kadar Air % 15,3
Pb Ppm Ttd
pH - 8,2
Cd % 1,0
N % 0,90
P2O5 % 3,42
K2O % 0,53
Fe Total Ppm 19663,2
Mn Ppm 810,9
Zn Ppm 206,2
Escherichia coli* MPN/g < 11.000
Salmonella sp. CFU/G < 10
Sumber: Lab. Utility PT Industri Gula Glenmore (2018)
48

Lampiran 2. Laporan Hasil Pengujian Pupuk Granul


Parameter Unit Kadar Standard
C-Organik % 14,42 minimal 15
Bahan Ikutan % 0,0 maksimal 2
Kadar Air % 10,16 minimal 15
Pb Ppm 12,4 Maksimal 50
pH - 7,8 4–9
N % 0,62 minimal 4
P2O5 % 4,26 minimal 4
K2O % 0,53 minimal 4
Ukuran Butir Mm 5,68 2–5
Fe Total Ppm 20429,3 maksimal 9000
Mn Ppm 727,9 maksimal 5000
Zn Ppm 195,0 maksimal 5000
Escherichia coli MPN/g <3 maksimal 102
Salmonella sp. CFU/G < 10 maksimal 102
Sumber: Lab. Utility PT Industri Gula Glenmore (2018)
49

Lampiran 3. Laporan Hasil Pengujian Pupuk Curah


Parameter Unit Kadar Standart
C-Organik % 20,19 minimal 15
Bahan Ikutan % 0,0 maksimal 2
Kadar Air % 5,5 15 – 25
Pb Ppm 11,7 maksimal 50
pH - 7,9 4–9
N % 0,83 minimal 4
P2O5 % 2,17 minimal 4
K2O % 0,81 minimal 4
Ukuran Butir 2-5 mm % - -
Fe Total Ppm 19854,0 maksimal 9000
Mn Ppm 658,6 maksimal 5000
Zn Ppm 269,5 maksimal 5000
Escherichia coli* MPN/g <3 maksimal 102
Salmonella sp. CFU/G < 10 maksimal 102
Sumber: Lab. Utility PT Industri Gula Glenmore (2018)

Anda mungkin juga menyukai