Anda di halaman 1dari 39

PENGOLAHAN LIMBAH PADAT INDUSTRI

Dosen Pengampu :

Dr. Drs. Eko Suhartono, M.Si.

Nanda Bagus Wibisono 2120930310037

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2022
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan komoditas penting karena bermanfaat sebagai sumber

kalori bagi masyarakat (Sugiyanto, 2007). Nilai kalori pada Gula mencapai 3,94

kkal/gram (Cahyadi, 2006). Nilai kalori yang tinggi menjadikannya sebagai salah

satu bahan makanan pokok selain beras, jagung dan umbi-umbian. Kebutuhan

gula menjadi lebih penting di banyak negara karena sebagai bahan pemanis

utama pada industri makanan dan minuman. Sampai saat ini, peranan gula

belum tergantikan disebabkan oleh belum tersedianya bahan pemanis buatan

yang mampu menggantikannya (Sugiyanto, 2007).

Indonesia sebagai Negara beriklim tropis, memiliki kondisi cuaca yang

mendukung pertumbuhan tanaman tebu. Akibatnya, industri gula berbahan dasar

tebu menjadi salah satu industri hasil pertanian yang berkembang di Indonesia.

Hal tersebut menjadikannya sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen

gula terbesar di dunia (Meireni, 2006).

Salah satu industri penghasil gula terbesar di Indonesia adalah PT

Industri Gula Glenmore (PT IGG) yang berlokasi di Kabupaten Banyuwangi. Area

perkebunan tebu penyuplai bahan baku gula yang dimiliki PT IGG luasnya

mencapai 11.250 ha. Luasnya lahan tebu tersebut menjadikan PT IGG memiliki

kapasitas produksi mencapai 6.000-9.000 ton tebu per hari (PTPN, 2016).

Proses pengolahan tebu menjadi gula menimbulkan hasil samping di

antaranya berupa limbah padat (Purwadi dkk., 2007). Limbah padat merupakan

1
2

sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat

(Pemerintah Republik Indonesia, 2008). PT IGG juga menghasilkan limbah

padat, di antaranya berupa ampas tebu sebanyak 270.000 ton, blotong sebanyak

45.000 ton, dan abu ketel 9.000-18.000 ton per masa gilingnya. Limbah padat

tersebut, diolah dengan beberapa teknologi terpilih agar tidak mencemari

lingkungan dan bahkan mampu mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.

Pengolahan limbah yang dilakukan PT Industri Gula Glenmore, yaitu

menggunakan ampas tebu sebagai bahan bakar mesin boiler dan blotong

sebagai pupuk organik. Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses

ekstraksi cairan tebu yang strukturnya terdiri dari serat dengan panjang 1,7-2 mm

(Vitaloka dkk., 2016). Ampas tebu juga memiliki nilai kalor yang relatif tinggi, yaitu

3.283,797 kal/kg yang menjadikannya mudah terbakar (Tjahjono dkk., 2016).

Pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan bakar boiler mampu menghemat

anggaran dan pupuk hasil pengolahan blotong digunakan sebagai zat hara bagi

tanaman tebu serta sebagian dijual sehingga mampu mendatangkan profit bagi

perusahaan. Hasil samping dari pembakaran ampas tebu di mesin boiler berupa

abu ketel yang hingga kini belum dikelola dengan baik sehingga mengalami

penumpukan.

Pengolahan blotong menjadi pupuk dan pemanfaatan ampas tebu

sebagai bahan bakar yang dilakukan PT Industri Gula Glenmore merupakan

bagian dari upaya recycle untuk pengurangan sampah. Selain sebagai bentuk

aksi peduli lingkungan, tetapi juga memberikan profit bagi perusahaan. Hal

tersebut menjadi latar belakang untuk mempelajari sistem pengolahan limbah

padat industri gula


3

dengan melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT Industri

Gula Glenmore (IGG) Banyuwangi, Jawa Timur.

Pelaksanaan PKL bagi mahasiswa, memberikan pengalaman dan

wawasan yang baru khususnya di bidang pengolahan limbah padat industri gula.

Selain itu, meningkatkan hubungan kerjasama yang baik antara Universitas

Airlangga dengan PT Industri Gula Glenmore (IGG). Keberhasilan PT IGG dalam

mengolah blotong menunjukkan bahwa potensi Indonesia sebagai produsen

pupuk sangat besar melalui industri gula yang ada.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa saja jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri

Gula Glenmore (IGG)?

2. Apa saja tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri

gula PT Industri Gula Glenmore (IGG)?

3. Berapa kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat

industri gula PT Industri Gula Glenmore?

1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula

Glenmore (IGG).
4

2. Tahap-tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri gula

PT Industri Gula Glenmore (IGG).

3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat industri gula

PT Industri Gula Glenmore (IGG).


TINJAUAN TEORITIS

2.1 Gambaran Umum

PT Industri Gula Glenmore (IGG) mulai dibangun sejak Tahun 2012 dan

menempati lahan seluas 102 ha. PT Industri Gula Glenmore (IGG) merupakan

konsorsium PT Perkebunan Nusantara XII dan XI yang berlokasi di Jalan Lintas

Selatan Km. 4, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Melalui power plant dan kota satelitnya, PT

IGG memiliki target 54 ribu ton/tahun dengan nilai investasi mencapai 1,5 triliun

rupiah dan menjadikannya sebagai industri gula termodern di Indonesia (PTPN,

2013).

Visi dari PT Industri Gula Glenmore (IGG) adalah “Menjadi Perusahaan

Industri Gula Modern Terpadu”. Sedangkan misi dari PT Industri Gula Glenmore

(IGG) sebagai berikut:

1. memproduksi gula dan produk turunannya dengan mutu tinggi;

2. membangun perusahaan yang tumbuh dan kuat sehingga lebih bermakna dan

mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder dan stakeholder;

3. berkomitmen menjalankan bisnis dengan mengutamakan kelestarian

lingkungan;

4. menumbuhkembangkan budaya usaha tani tebu yang berkualitas di kawasan

Kabupaten Banyuwangi.

5
6

2.2 Limbah Padat

2.1.1 Pengertian Limbah Padat

Limbah padat merupakan bahan buangan dari kegiatan rumah tangga,

komersial, industri atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia lainnya.

Sampah juga merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah

tidak terpakai (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Limbah padat adalah segala

sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Limbah

padat ada yang mudah membusuk terdiri atas zat-zat organik seperti sayuran,

sisa daging, daun dan lain sebagainya, dan ada pula yang tidak mudah

membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain

sebagainya (Soemirat, 2004).

2.2.2 Jenis Limbah Padat

Limbah padat dibedakan atas sifat biologisnya sehingga memperoleh

pengelolaan yakni:

1. Limbah padat yang dapat membusuk, seperti (sisa makan, daun, sampah

kebun, pertanian, dan lainnya).

2. Limbah padat yang berupa debu.

3. Limbah padat yang berbahaya terhadap kesehatan, seperti sampah-

sampah yang berasal dari industri yang mengandung zat-zat kimia maupun

zat fisik berbahaya (Soemirat, 2009).

Limbah padat berdasarkan komponennya dibagi menjadi 3 bagian yakni:


7

1. Limbah padat Organik

Limbah padat Organik merupakan barang yang dianggap sudah tidak

terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih dapat

dipakai, dikelola, dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Limbah padat

ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Limbah padat organik

merupakan sampah yang mudah membusuk seperti, sisa daging, sisa sayuran,

daun-daun, sampah kebun dan lainnya (Amos, 2008).

2. Limbah padat Non Organik

Limbah padat non organik dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik

berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan

tambang. Limbah padat ini tidak mudah menbusuk seperti, kertas, plastik,

logam, karet, abu gelas, bahan bangunan bekas dan lainnya (Amos, 2008).

Limbah padat jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol

gelas, tas plastik, dan kaleng (Gelbert, 1996).

3. Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun)

Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), sampah ini terjadi dari zat

kimia organik dan non organik serta logam-logam berat, yang umumnya berasal

dari buangan industri. Pengelolaan limbah B3 tidak dapat dicampurkan dengan

limbah padat organik dan non organik (Amos, 2008).

2.2.3 Limbah Padat Industri Gula

Limbah padat industri gula antara lain:


8

a. Blotong

Blotong atau disebut filter cake atau filter press mud adalah limbah

industri yang dihasilkan oleh pabrik gula dari proses klarifikasi nira tebu.

Penumpukan bahan tersebut dalam jumlah besar akan menjadi salah satu

sumber pencemaran lingkungan. Blotong mengandung bahan koloid organik

yang terdispersi dalam nira tebu dan bercampur dengan anion-anion organik dan

anorganik. Blotong sebagian besar terdiri atas serat-serat tebu dan merupakan

sumber unsur organik yang sangat penting untuk pembentukan humus tanah

(Prasad, 1976). Bentuk blotong dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Blotong (Sumber: www.google.com, 2018)

Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira.

Komposisi blotong terdiri atas sabut, wax, fat kasar, protein kasar, gula, dan total

abu. Komposisi ini berbeda persentasenya dari satu pabrik gula dengan pabrik

gula lainnya, bergantung pada pola produksi dan asal tebu (Rifa’i, 2009). Blotong

berpotensi untuk dijadikan pupuk organik karena memiliki sumber hara berupa

SiO2, CaO, P2O5 dan MgO sehingga dapat membantu memperbaiki sifat-sifat
9

fisik, kimia, dan biologi tanah. Blotong bersifat porous, yaitu memiliki pori-pori

dalam jumlah banyak sehingga memiliki kemampuan menyerap air cukup tinggi

dan memperbesar jumlah air yang tersedia di dalam tanah (Rajiman, 2008).

b. Ampas Tebu (Bagas)

Ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula yang melimpah yang

dihasilkan dari proses penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan

pabrik gula. Pemanfaatan ampas tebu di pabrik gula secara umum dilakukan

dengan cara langsung dikirm ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai bahan

bakar. Penanganan ampas tebu di beberapa pabrik gula masih belum

teralokasikan secara optimal, masih banyak ampas tebu yang melimpah tersisa

setiap kali produksi (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Berdasarkan data dari Pusat

Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dari 63 pabrik gula di Indonesia

rata-rata ampas tebu yang dihasilkan tiap pabrik gula sebesar 10% dari total tebu

yang digiling dan yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin boiler sebesar

50% dari total ampas tebu sedangkan sisanya tidak dimanfaatkan (Hidayati dkk.,

2016). Bentuk ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Ampas tebu (Sumber: P3GI, 2016)


10

Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang

seratnya antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 µm, sehingga

ampas tebu ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan

buatan. Bagas mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata

47,7%. Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas

selulosa, pentosan dan lignin (Husin, 2007).

c. Abu Ketel

Abu ketel merupakan residu bagas yang digunakan sebagai bahan bakar

boiler. Warna abu-abu kemerahan menunjukkan bahwa abu ketel memiliki silika

dalam jumlah besar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti

semen dalam pembuatan beton (concrete). Abu ketel mengandung beberapa

unsur hara diantaranya, kalium, kalsium, dan magnesium dalam jumlah relatif

tinggi sehingga digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah (amelioran)

di perkebunan tebu (Hussein dkk., 2014).

2.3 Pengelolaan Limbah Padat

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Pengelolaan Limbah

Padat adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan

yang meliputi pengurangan dan penanganan limbah padat. Pengelolaan limbah

padat di suatu daerah akan berdampak pada masyarakat maupun lingkungan

daerah itu sendiri. Banyak masalah yang ditimbulkan oleh limbah padat,

diantaranya pencemaran udara karena baunya yang tidak sedap dan

mengganggu kenyamanan, pencemaran air apabila membuang sampah

sembarangan, seperti di sungai yang


11

menyebabkan aliran air dapat terhalang sampah dan berpotensi menyebabkan

banjir saat musim hujan (Budiman, 2006).

2.3.1. Metode Pengelolaan Limbah Padat

Beberapa metode dalam pengelolaan limbah padat antara lain:

1. Reduce (mengurangi sampah)

Reduce (mengurangi sampah) berarti mengurangi segala sesuatu yang

mengakibatkan sampah. Reduksi atau disebut juga mengurangi sampah

merupakan langkah pertama untuk mencegah penimbulan sampah di TPA.

Menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya diolah,

hanya saja biayanya sangat mahal tidak sebanding dengan hasilnya, misalnya

pencacahan plastik menjadi bentuk yang lebih kecil yang selanjutnya diolah

menjadi biji plastik (Azwar, 2002).

Reduksi (mengurangi sampah) dapat dilakukan melalui beberapa proses:

a. Reduksi volume sampah secara mekanik. Contohnya, dilakukan pemadatan

pada dump truck yang dilengkapi alat pemadat sehingga volume sampah jauh

berkurang dan volume yang diangkut menjadi lebih banyak.

b. Reduksi volume sampah secara pembakaran. Proses ini dapat dilakukan oleh

sekelompok masyarakat dengan catatan memilki ruang atau area terbuka

cukup luas. Pembakaran dilakukan dengan menggunakan suatu unit instalasi

incinerator sederhana. Syaratnya sampah harus dipisah antara yang dapat

terbakar dan tidak dapat dibakar. Plastik tidak diikutkan dalam proses

pembakaran karena zat yang dihasilkan akan membahayakan kesehatan.


12

c. Reduksi sampah secara kimiawi. Contohnya pyrolysis, yaitu pemanasan tanpa

oksigen pada suatu reaktor. Umumnya zat organik tidak tahan terhadap panas

sehingga dengan pemanasan tanpa oksigen ini akan memecah struktur zat

organik tersebut (kondensasi) menjadi gas, cair dan padat (Suryono dan

Budiman, 2010).

2. Reuse (menggunakan kembali)

Reuse (menggunakan kembali), yaitu pemanfaatan kembali limbah padat

secara langsung tanpa melalui proses daur ulang. Contohnya seperti kertas-

kertas berwarna-warni dari majalah bekas dapat dimanfaatkan untuk bungkus

kado yang menarik, pemanfaatan botol bekas untuk dijadikan wadah cairan

misalnya spirtus, dan minyak cat. Menggunakan kembali barang bekas adalah

wujud cinta lingkungan (Suryono dan Budiman, 2010).

2 Recycling (mendaur ulang)

Recycling (mendaur ulang) adalah pemanfaatan bahan buangan untuk di

proses kembali menjadi barang yang sama atau menjadi bentuk lain. Mendaur

ulang diartikan mengubah limbah padat menjadi produk baru, khususnya untuk

barang-barang yang tidak dapat digunakan dalam waktu yang cukup lama

(Suryono dan Budiman, 2010). Recycling ialah pemanfaatan kembali limbah

padat yang masih dapat diolah. Pengelolaan limbah padat dengan cara recycling

(daur ulang) akan menghasilkan barang-barang dengan:

a. Bentuk dan fungsinya tetap

b. Bentuk berubah tetapi fungsi tetap.

c. Bentuk berubah dan fungsi pun berubah (Purwendro dan Nurhidayat, 2006).
13

2.4 Pupuk

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal

tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman.

Pupuk organik dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang Pupuk

Organik dan Pembenah Tanah, adalah pupuk yang sebagian besar atau

seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan

yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang

digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan

kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai

C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Apabila C-

organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik, maka

diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Limbah industri yang

menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik

gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak,

dan sebagainya (Suriadikarta dkk., 2006).


HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Produksi Gula Secara Umum di PT IGG

Kegiatan Praktik Kerja Lapangan yang dilaksanakan di PT Industri Gula

Glenmore (IGG) bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan limbah padat yang

dihasilkan industri gula khususnya oleh PT IGG. Limbah padat dihasilkan dari

proses produksi gula di pabrik. Secara umum, alur proses produksi gula di pabrik

gula PT IGG seperti pada Gambar 4.1.

Tebu
Ampas
Pupuk Outpu tebu/
Stasiun penggilingan/mill t bagas

Blotong Nira
Output
Stasiun pemurnian/clarification
Nira
Jernih Outpu
t
Penguapan di
Nira Kental
evaporator

Stasiun
masakan/kristalisasi Boiler (untuk
Tetes bahan bakar)

sentrifugal
Outpu
Outp t
Gula
Abu ketel
Sugar handling

Sugar Sugar
dryer/ Packaging/ cooler/
pengeringan pengemasan pendinginan

Distribusi
Gambar 4.1 Alur Proses Produksi Gula

Keterangan: = Limbah padat yang dihasilkan


19
20

Proses produksi gula dimulai dari stasiun penggilingan (mill). Tebu yang

sudah dipanen dimasukkan ke dalam leveller untuk disamakan ukurannya.

Penyamaan ukuran akan memudahkan proses penggilingan tebu. Selanjutnya,

tebu dimasukkan ke dalam penggilingan sehingga dihasilkan nira (cairan gula)

dan bagas (ampas tebu). Terdapat empat mesin penggilingan sehingga proses

penggilingan berlangsung empat kali. Hal ini bertujuan agar lebih efisien dan

semakin banyak nira yang dihasilkan karena proses pemerasan dengan bantuan

air imbibisi dilakukan berulang kali. Nira yang dihasilkan ditampung di clear juice

tank untuk selanjutnya dibawa ke stasiun proses, sedangkan bagas dibawa ke

boiler untuk dijadikan bahan bakar mesin boiler karena karakteristiknya yang

kering dan mudah terbakar. Leveller dan mesin penggiling tebu dapat dilihat

pada Gambar 4.2.

a. Leveller b. Mesin penggiling tebu


Gambar 4.2 Leveller dan mesin penggiling tebu pada stasiun penggilingan/mill

Nira dari clear juice tank dibawa ke stasiun proses lebih tepatnya di

stasiun klarifikasi/pemurnian. Di stasiun ini, nira dibersihkan dari kotoran yang


21

ikut terbawa saat proses penggilingan. Nira harus bersih dari kotoran untuk

menjaga kemurniannya. Pada kondisi awal, nira tebu mempunyai kisaran pH 5,2

– 5,5 atau dalam kondisi asam yang membuatnya mudah mengalami inversi

sukrosa dengan cepat sehingga dapat menurunkan kadar sukrosa dalam nira

tebu. Agar tidak terjadi penurunan kadar sukrosa, maka pH nira perlu dinaikkan

melalui penambahan susu kapur/Ca(OH)2 yang biasa disebut dengan proses

defikasi dan sekaligus berfungsi sebagai penjernih (Purnomo, 1994). Dari proses

penjernihan nira dihasilkan endapan kotoran yang biasanya disebut sebagai

blotong. Blotong selanjutnya diangkut ke pabrik pupuk yang akan diolah menjadi

pupuk organik. Sementara itu, nira jernih dibawa ke evaporator.

Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air

yang harus dipisahkan dengan menggunakan alat penguap atau evaporator.

Evaporator berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam nira melalui proses

pemanasan dengan suhu 65oC - 110oC agar terjadi penguapan. Penguapan

adalah suatu proses menghilangkan zat pelarut (air) dari dalam larutan dengan

menggunakan panas (Soerjadi, 1977). Akibat proses penguapan, nira akan

menjadi kental. Artinya semakin lama proses pemanasan, kadar air dalam nira

semakin berkurang, dan nira menjadi semakin kental. Terdapat lima evaporator

dengan proses yang bertahap dari evaporator satu sampai lima. Kelima

evaporator tersebut membuat nira semakin mengental karena proses penguapan

berkali-kali. Nira kental dengan kemurnian 75% dari evaporator lima dibawa ke

stasiun masakan untuk dikristalkan. Sementara itu, uap dari evaporator

terkondensasi di mesin kondensor sehingga berubah wujud menjadi cair atau

biasa disebut sebagai air kondensat


22

yang dibawa ke spraypond untuk didinginkan, selanjutnya dibawa kembali ke

stasiun proses untuk dimanfaatkan kembali dalam proses pemasakan nira.

Bentuk evaporator dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Evaporator

Di stasiun masakan, terdapat empat macam vacum pan/tabung masakan,

yaitu A,B,C, dan R. Keberadaan empat vacum pan disebabkan proses

pemasakan harus melewati tahap yang berurutan di setiap tabungnya. Proses

pemasakan nira dimulai dari vacum pan A dan berakhir di vacum pan R. Nira dari

evaporator lima dibawa ke stasiun masakan c untuk dikristalkan dengan bantuan

bibit fondan. Fondan merupakan inti kristal gula yang sudah ditumbuk menjadi

halus yang berfungsi agar kristal gula yang terbentuk memiliki ukuran yang sama

(Anisa, 2012). Bibit fondan dapat dibuat di luar pan masakan. Untuk mengetahui

besar
23

kecil ukuran kristal dapat dilakukan dengan cara meletakkan kristal gula pada

kaca transparan yang diamati pada sinar lampu.

Gula kristal hasil masakan vacum pan c digunakan untuk pembibitan di

stasiun masakan b karena bentuk gula masih setengah jadi sehingga perlu

dimasak kembali. Begitu pula dengan gula kristal hasil dari stasiun masakan b

digunakan pembibitan untuk stasiun masakan a. Gula kristal dari stasiun

masakan a dibawa ke carbonator untuk dilebur dan ditambahkan kapur sampai

pHnya 10,5 (basa). Penambahan kapur tidak hanya dapat menaikkan pH, tetapi

juga membantu proses pengendapan koloid-koloid pada cairan gula sehingga

kotoran di dalamnya dapat diendapkan (Nurlela, 2002). Selanjutnya, gula yang

sudah dicairkan dibawa ke rotary leaf filter untuk disaring kotorannya. Kotoran

dari proses ini juga membentuk blotong. Bentuk rotary leaf filter dan vacum pan

dapat dilihat pada Gambar 4.4.

a. Rotary leaf filter b. Vacum pan


Gambar 4.4 Rotary leaf filter dan vacum pan

Output dari rotary leaf filter berupa clear liquor, yaitu nira kental yang

sudah bersih dan siap untuk dijadikan gula. Clear liquor dialirkan ke tanki R untuk

dikristalkan. Tangki masakan R tidak hanya menghasilkan kristal gula,


24

tetapi juga dan tetes (molase). Tetes (molase) merupakan hasil samping dari

industri gula yang berasal dari nira yang tidak mengkristal dengan kandungan

gula yang cukup tinggi, yaitu mencapai 52% (Juwita, 2012). Kristal gula dan

molase dipindah ke receiver untuk selanjutnya dibawa ke mesin sentrifugal yang

akan memisahkan kristal gula dan molase. Kristal gula hasil pemisahan dibawa

ke sugar handling untuk dikeringkan pada mesin sugar dryer dan didinginkan di

mesin sugar cooler untuk selanjutnya dibawa conveyor menuju sugar warehouse

untuk dikemas dan gula kristal siap didistribusikan. Sedangkan molase /tetesnya

dialirkan menuju tanki tetes untuk disimpan dan dijual pada pihak ketiga. Bentuk

sugar dryer dan sugar cooler dapat dilihat pada Gambar 4.5.

a. Sugar dryer b. Sugar cooler


Gambar 4.5 Sugar dryer dan sugar cooler

4.2 Mekanisme Pengolahan Limbah Padat Industri

4.2.1 Limbah Padat Industri

Limbah padat industri gula PT IGG yang dihasilkan berupa bagas (ampas

tebu), blotong, dan abu ketel. Bagas berasal dari proses penggilingan tebu,

sedangkan blotong berasal dari proses pemurnian nira dan filtrasi. Abu ketel

dihasilkan dari proses pembakaran bagas pada mesin boiler (pemanas).


25

a. Bagas (ampas tebu)

Bagas (ampas tebu) diolah dengan cara dijadikan bahan bakar pada

mesin boiler. Karakteristiknya yang kering, ringan, dan mudah terbakar

menjadikan ampas tebu cocok digunakan sebagai bahan bakar boiler. Bentuknya

berupa serabut yang cukup halus dan berwarna kuning kecoklatan. Pembakaran

ampas tebu digunakan untuk memanaskan air pada suhu 400 0C dan tekanan 45

bar di mesin boiler agar menghasilkan steam (uap) yang digunakan untuk

menggerakkan turbin. Energi mekanik yang dihasilkan turbin diubah menjadi

energi listrik dengan bantuan mesin generator. Energi listrik yang dihasilkan

digunakan sebagai sumber energi listrik untuk aktivitas di pabrik gula

keseluruhan. Potensi daya listrik yang dihasilkan mencapai 20 Megawatt (MW).

Kebutuhan listrik di pabrik gula Glenmore hingga saat ini hanya sebesar 8 MW,

sehingga daya yang dihasilkan berlebih sebanyak 12 MW. Daya yang berlebih

tersebut rencananya akan dijual ke PLN sehingga dapat mendatangkan profit

bagi perusahaan. Banyaknya ampas tebu yang dihasilkan PT IGG mencapai 25-

30% dari total berat tebu yang digiling. Ampas tebu yang dihasilkan PT IGG

seluruhnya dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin boiler, sehingga tidak

mencemari lingkungan. Bentuk ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 4.6.
26

Gambar 4.6 Ampas tebu (Bagas)

Kapasitas produksi Pabrik Gula Glenmore, yaitu 4.000-6.000 ton cane per

day (tcd). Jadi total ampas tebu yang dihasilkan per harinya mencapai 1.000-

1.800 ton. Apabila diakumulasikan selama masa giling berlangsung, yaitu selama

150 hari (5 bulan) dan kapasitas produksi 6.000 tcd, maka total ampas tebu yang

dihasilkan dalam satu masa giling tersebut sejumlah 270.000 ton ampas tebu.

Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar boiler selama satu

masa giling.

Keuntungan penggunaan ampas tebu selain menghemat anggaran, tetapi

juga udara yang keluar dari cerobong asap bersih sehingga tidak mencemari

lingkungan. Hal ini disebabkan karena mesin boiler dilengkapi dengan

Electrostatic Precipitator (ESP) yang berfungsi menangkap partikulat hasil

pembakaran ampas tebu. Kendala yang biasa ditemui di lapangan ialah apabila

sedang musim hujan, maka ampas tebu yang dihasilkan cenderung masih basah
27

dan sulit untuk dibakar karena kadar airnya tinggi, sehingga menghambat kerja

mesin boiler dan proses produksi secara keseluruhan.

Ampas tebu yang basah biasanya disebabkan karena tebu dibiarkan di

atas truk pembawa tanpa penutup pada saat sebelum masuk penggilingan,

sehingga ketika turun hujan tebu menjadi basah. Untuk mengantisipasi kendala

ini, apabila ampas tebu dalam kondisi basah sehingga tidak dapat digunakan

sebagai bahan bakar boiler, maka dibantu dengan bahan bakar main fuel oil atau

bahan bakar minyak agar mesin boiler tetap hidup, meskipun dengan resiko abu

ketel yang dihasilkan lebih banyak dan mencemari udara karena asap yang

dikeluarkan berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada main fuel oil,

terdapat kandungan hidrokarbon, akibatnya pada saat dibakar, atom hidrogen

berikatan dengan atom karbon sehingga menghasilkan asap hitam pekat

(Nurudin, 2016). Perbedaan bahan bakar mesin boiler berupa ampas tebu atau

main fuel oil hanya sebatas pada perbedaan asap pembakaran, namun tidak

sampai berpengaruh pada kualitas nira atau blotong yang dihasilkan.

Ampas tebu yang terlalu kering juga berbahaya, karena mudah terbakar.

Oleh karena itu, di tempat penyimpanan ampas tebu (Bagass House) dilakukan

pengecekan berkala untuk memastikan bahwa ampas tebu tidak terbakar.

Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menjaga tingkat kekeringan bagas

agar tetap pada kondisi kering yang normal.

b. Blotong

Selain ampas tebu, proses produksi gula juga menghasilkan blotong.

Bentuk blotong hampir menyerupai tanah namun masih mengandung serabut-


28

serabut halus yang berwarna hitam. Blotong mengandung bahan penyubur tanah

seperti Nitrogen, Fosphat (P2O5), Kalsium (CaO), humus, dan bahan organik lain

sehingga dapat diolah menjadi pupuk organik, penyubur atau untuk perbaikan

struktur tanah terutama pada lahan kering (Taufik dkk., 2013). Bentuk blotong

dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Blotong

Proses pengolahan blotong menjadi pupuk dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Cahaya matahari + Blotong di shelter Rough crusher


superdex

Packaging curah Rotary


Bin hopper mixer Rotary cooler
dryer

granule
Penambahan Zat
fosfat

Pan granulator Rotary dryer Rotary cooler with screen Packaging

Penambahan
molase
Gambar 4.8 Pengolahan blotong menjadi pupuk
29

Blotong yang dihasilkan dari stasiun proses diangkut oleh dump truk

menuju pabrik pupuk untuk dikeringkan dan difermentasi/dikomposkan di shelter.

Pengomposan dilakukan untuk mengkonversikan bahan-bahan organik komplek

menjadi bahan yang lebih sederhana dengan menggunakan aktivitas mikroba,

sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman

(Taufik dkk., 2013).

Proses pengeringan dilakukan dengan radiasi sinar matahari. Desain

shelter dengan atap berbahan kaca berfungsi untuk memantulkan radiasi sinar

matahari sehingga memberi suasana panas pada shelter yang dapat membantu

proses pengeringan. Sedangkan, proses fermentasi/pengomposan di shelter

biasanya berlangsung selama 30 hari, tetapi proses tersebut dapat dipercepat

dengan ditambahkan starter berupa superdex. Penambahan superdex berfungsi

mempercepat proses dekomposisi. Banyaknya superdex yang ditambahkan,

yaitu 25 kg superdex per ton blotong. Temperatur pada saat fermentasi dijaga

pada angka 500C untuk menjaga kelembabannya. Tanda-tanda fermentasi

berhasil jika permukaan limbah blotong menjadi kecoklatan atau kehitam-hitaman

dan berbau manis seperti tape. Blotong yang telah mengalami proses fermentasi

selama 15 hari, kadarnya telah menyusut sebesar 50% dengan tingkat

kelembaban sebesar 30% (Taufik dkk., 2013). Bentuk shelter dapat dilihat pada

Gambar 4.9.
30

Gambar 4.9 Shelter

Selanjutnya, blotong hasil fermentasi (kompos) dimasukkan ke mesin

crusher feeding belt conveyor yang disalurkan ke mesin rough crusher untuk

proses pencacahan, sehingga kompos yang awalnya masih berupa gumpalan

besar menjadi butiran kasar yang berukuran lebih kecil. Ukuran tersebut

memudahkan pada proses pengolahan selanjutnya. Terdapat dua buah mesin

pencacah (rough crusher) dengan tujuan agar lebih cepat dan efisien.

Kompos hasil pencacahan dibawa ke mesin rotary dryer menggunakan

conveyor untuk dikeringkan. Pengeringan kompos bertujuan untuk menurunkan

kadar airnya. Proses pengeringan memanfaatkan energi panas yang bersumber

dari tungku pembakaran (furnace) yang menggunakan kayu sebagai bahan

bakarnya dengan bantuan combuster blower agar menjaga api tetap menyala.

Energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar butiran kasar kompos

dengan kecepatan tertentu pada suhu 4000C, sehingga output dari mesin ini

berupa butiran kompos yang sudah kering dan memiliki kadar air kurang dari

20% (Isro, 2009). Pada proses pengeringan juga dihasilkan debu yang

disalurkan melalui
31

pipa exhausting yang bermuara ke kolam, sehingga butiran debu akan

mengendap di dasar kolam. Bentuk mesin rotary dryer, rotary cooler, dan rough

crusher dapat dilihat pada Gambar 4.10.

a. Rotary Dryer b. Rotary Cooler

c. Rough Crusher
Gambar 4.10 Rotary Dryer, Rotary Cooler, dan Rough Crusher

Kompos yang keluar dari rotary dryer masih panas, sehingga perlu

didinginkan di mesin rotary cooler, sehingga output dari mesin ini adalah kompos

dengan suhu yang lebih rendah, yakni sekitar 30-400C. Mesin rotary cooler juga

dilengkapi dengan pipa exhausting sebagai jalur keluar debu yang dihasilkan.
32

Selanjutnya, debu ditampung di dalam kolam dan diendapkan agar tidak

berterbangan dan mencemari udara. Apabila debu di dalam kolam sudah

terakumulasi cukup banyak, maka dilakukan pengerukan dimanfaatkan untuk

pupuk tanaman di sekitar pabrik gula PT IGG.

Kompos dari mesin rotary cooler dibawa oleh conveyor menuju mesin

mixer. Pada proses ini ditambahkan zat fosfat (P) sebagai tambahan nutrisi untuk

pupuk. Zat fosfat (P) merupakan hara utama (primer) kedua setelah nitrogen (N)

yang membantu metabolisme dan proses mikrobiologi tanah sehingga mutlak

diperlukan baik oleh mikroba tanah maupun tanaman. Selain itu, zat fosfat

berperan dalam pembentukan lemak dan albumin tanaman serta perkembangan

akar, khususnya lateral dan akar halus berserabut. Oleh karena itu, ketersediaan

zat fosfat di dalam tanah menjadi sangat penting bagi tanaman (Widawati dan

Kanti, 2000). Di dalam mesin mixer terjadi proses pengadukan agar zat fosfat

tercampur merata dengan komposnya. Bentuk mixer dapat dilihat pada Gambar

4.11.

Gambar 4.11. Mixer


33

Setelah kompos dan zat fosfat tercampur merata di dalam mesin mixer,

kompos diangkut conveyor menuju bin hopper yang merupakan tempat

keluarnya pupuk sebelum dikemas. Terdapat dua macam bin hopper, yaitu bin

hopper untuk curah dan granule. Bin hopper curah adalah wadah yang

diperuntukkan sebagai keluaran dari pupuk dengan butiran halus yang memiliki

ukuran <0,5 mm. Sedangkan bin hopper granule adalah wadah untuk

menampung pupuk yang akan diproduksi dalam ukuran butiran yang lebih besar

(kasar) yaitu 0,5 mm. Pupuk yang keluar dari bin hopper curah langsung

dikemas, sedangkan pupuk yang ditampung pada bin hopper granule diproses

lebih lanjut agar diperoleh butiran yang lebih besar.

Agar diperoleh pupuk granule, pupuk dari bin hopper dibawa conveyor

menuju pan granulator. Pada proses ini, pupuk ditambahkan larutan molase atau

tetes yang berfungsi sebagai perekat antar butiran, sehingga terbentuk butiran-

butiran dengan ukuran yang lebih besar (granule). Granule yang dihasilkan

diangkut conveyor menuju mesin rotary dryer untuk dikeringkan. Ukuran rotary

dryer untuk granule lebih besar dari curah, pun dengan suhu yang lebih tinggi

hingga 7500C. Hal ini disebabkan ukuran butiran yang lebih besar, sehingga

dibutuhkan alat penunjang yang lebih besar pula dan suhu yang lebih panas agar

proses pengeringan berjalan optimal. Bentuk Bin Hopper dan Pan Granulator

dapat dilihat pada Gambar 4.12.


34

a
a. Bin Hopper b. Pan Granulator
Gambar 4.12 Bin Hopper dan Pan Granulator

Granule dari rotary dryer yang masih panas dibawa ke mesin rotary

cooler untuk diturunkan suhunya/didinginkan sampai pada suhu 30-400C. Rotary

cooler untuk granule dilengkapi dengan screen (saringan), yang berfungsi agar

granule yang keluar memiliki ukuran yang seragam untuk selanjutmya dikemas,

sedangkan granule yang tidak lolos screen, dikembalikan ke mesin rough

crusher untuk diolah kembali. Pupuk yang sudah dikemas digunakan untuk

nutrisi bagi tanaman tebu milik PT Perkebunan Nusantara XII yang merupakan

induk perusahaan PT Industri Gula Glenmore, sehingga pengolahan blotong

menjadi pupuk adalah bentuk dari proses daur ulang (recycle) dari limbah padat

industri gula.

Kapasitas produksi tebu memengaruhi jumlah blotong yang dihasilkan,

sehingga juga memengaruhi jumlah pupuk yang dihasilkan. Kapasitas produksi

pupuk di rumah pupuk PT IGG mencapai 90 ton/hari dengan komposisi 75%

curah dan 25% granule. Total blotong yang dihasilkan biasanya sebanyak 5%

dari
35

total tebu yang diolah. Dengan masa giling 150 hari dan kapasitas produksi 6.000

tcd, maka jumlah blotongnya mencapai 45.000 ton per masa giling. Jumlah

blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore selama musim giling 2017

dapat dilihat pada Gambar 4.13.

5000
4500
4000
3500
Jumlah Blotong (Ton)

3000
2500
2000
1500
1000
500
0 Juli AgustusSeptemberOktober
Gambar 4.13 Jumlah blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore
Bulan
selama musim giling 2017

c. Abu Ketel

Proses produksi gula juga menghasilkan limbah abu ketel. Sumber abu

ketel di boiler dihasilkan dari tungku pembakaran secara wet scrubber dan dry

scrubber. Pada proses wet scrubber, gas keluar melalui cerobong dan ditangkap

dengan alat Grid Collector yang memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-

partikel besar. Electrostatic Precipitator (ESP) pada proses dry scrubber,

berfungsi sebagai penangkap gas yang keluar untuk memisahkan partikel-

partikel kecil dengan menggunakan medan listrik voltase tinggi (ITB, 2009).

Tingginya
36

daya listrik terhadap partikulat menyebabkan ESP memiliki efisiensi yang sangat

tinggi, yaitu mencapai 97,25% (Muttaqim dkk., 2015).

Abu yang ditangkap di ESP, pengeluarannya dibantu dengan air menuju

ke hopper yang selanjutnya ditampung ke dalam kolam agar abu terendapkan di

dasar kolam. Pengendapan abu di kolam bertujuan agar abu tidak berterbangan

di udara dan memudahkan saat pengumpulannya. Air yang tersaring di kolam

penyaringan, disirkulasi kembali ke boiler untuk dipanaskan kembali. Abu yang

telah kering di kolam penyaringan di ambil menggunakan loader.

Berbeda dengan bagas dan blotong yang diolah sehingga mengurangi

pencemaran lingkungan, abu ketel hingga kini tidak dimanfaatkan dan hanya

dibiarkan di pinggir kolam abu hingga terbentuk gundukan. Meskipun limbah ini

termasuk jenis limbah organik sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan, namun

keberadaannya dalam kuantitas yang cukup besar yaitu sebesar 1-2% dari total

tebu yang digiling atau sekitar 60-120 ton per hari (kapasitas produksi 6000 tcd),

tentunya hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan dan secara tidak

langsung telah mencemari lingkungan. Padahal, abu ketel sejatinya dapat

dimanfaatkan kembali karena mengandung mineral anorganik atau unsur-unsur

logam yang merupakan unsur hara atau nutrisi yang diperlukan oleh tanaman

(Purwati dkk., 2007). Limbah abu ketel juga dapat dicampurkan dengan

beberapa zat lain untuk dijadikan menjadi pupuk mixed (fine compost). Senyawa

kimia abu ketel yang dominan adalah SiO2 (silika), yaitu sebesar 70,97 %

(Misran, 2005). Bentuk abu ketel dapat dilihat pada Gambar 4.14.
37

a. Abu Ketel b. Kolam Abu


Gambar 4.14 Abu Ketel dan Kolam Abu
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula Glenmore

antara lain bagas (ampas tebu), blotong, dan abu ketel.

2. Proses pengolahan limbah padat industri di PT Industri Gula Glenmore antara

lain bagas (ampas tebu) dijadikan bahan bakar mesin boiler. Blotong diolah

menjadi pupuk dengan prinsip fermentasi dan diproduksi dalam bentuk curah

(halus) dan granule (kasar). Abu ketel hingga kini tidak ada proses

pengolahan limbah lebih lanjut.

3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan per hari sebesar 90 ton/hari atau 10.800 ton

per masa giling (selama 5 bulan masa giling)

5.2 Saran

Saran yang diberikan kepada PT IGG terkait pengelolaan limbah padat

industrinya, yaitu:

1. Menyediakan tempat penampungan abu ketel agar tidak mengalami

penumpukan di pinggir kolam abu.

41
42

2. Melakukan observasi secara intensif terhadap kandungan zat kimia pada abu

ketel dan pemanfaatannya, sehingga tingkat reduksisitas limbah padat industri

PT IGG meningkat.

3. Melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kualitas pupuk sesuai

dengan baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan

Pembenah Tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Amos, N. 2008. Kesadaran Lingkungan. Jakarta. PT. Rinika Cipta. 67.

Anisa. 2012. Prinsip Dasar Kristalisasi. https://datenpdf.com/download/prinsip-


dasar-kristalisasi_pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.

Azwar, A. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi Revisi. Jakarta Barat. Penerbit


Bina Rupa Aksara. 56.

Budiman, C. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta. EGC.

Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek kesehatan Bahan Tambahan Pangan.


Jakarta. Penerbit Bunga Aksara.

Gelbert, M. 1996. Sampah dan Pengelolaannya. Malang. PPPGT / VEDC. 67.

Hidayati, D.S.N., Kurniawan, S., Restu, N.W., & Ismuyanto, B. 2016. Potensi
Ampas Tebu Sebagai Alternatif Bahan Baku Pembuatan Karbon Aktif.
Jurnal Natural B. Vol 3. No 4.

Husin, A. 2007. Pemanfaatan Limbah Untuk Bahan Bangunan.


http://www.kimpraswil.go.id/balitbang/puskim/Homepage%20Modul%20
2003/modulc1/MAKALAH%20C1_3.pdf. Diakses tanggal 7 April 2018.

Hussein, A.A.E., Shafiq, N., Nuruddin, M.F., & Memon, F.A. 2014. Compressive
Strength And Microstructure Of Sugarcane Bagasse Ash Concrete.
Journal of Applied Science Engineering Technology. Vol 7. No.12. Hal
2569 – 2577.

Indriani & Sumiarsih. 1992. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan. Tegalan.
Jakarta. Penebar Swadaya.

Institut Teknologi Bandung. 2009. Pengantar Pencemaran Udara.


http://kuliah.ftsl.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pengaantarpencemaa
ran.pdf. Diakses pada tanggal 30 Nopember 2018.

Isro, I. 2009. Pengujian Pupuk N-Alternatif pada Tebu Tanaman Pertama (PC) di
PG Pesantren Baru dan PG Jombang Baru. Pasuruan. P3GI.

Juwita, R. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu (Saccharum officinarum
L) Selama Proses Fermentasi. Makassar. Universitas Hasanuddin.

Meireni, D. 2006. “Permintaan Impor Gula Indonesia Tahun 1980– 2003”, Tesis.
Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

43
44

Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Taknologi
Proses. Vol 4. No. 2. Hal 6-10. 24 September
2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15389/1/tkp-ul2005-
%20(2).pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.

Mukono. 2006. Prinsip-prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya.


Airlangga University Press. 26-28.
Muttaqim, L.M., Trimulyono, A., & Hadi, S.E. 2015. Analisa Electrostatic
Precipitator (ESP) Pada Exhaust Dalam Upaya Pengendalian Partikulat
Debu Gas Buang Main Engine Kapal Latih BIMASAKTI. Jurnal Teknik
Perkapalan. Vol 3. No.1.

Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Warna Gula Merah.


Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Nurudin. 2016. Minyak Bumi. https://www.academia.edu/9111411/Minyak_bumi.


Diakses pada tanggal 30 Nopember 2018.

P3GI. 2016. http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/?p=15169. Diakses pada


tanggal 30 Nopember 2018.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 2 /


Pert / Hk.060 / 2 / 2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah.

Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang nomor 18 tahun 2008


tentang Pengelolaan Sampah.

Prasad, M. 1976. Response of Sugarcane Press Mud and NPK Fertilizer : I. Effect
on Sugarcane Yield and Sucrose Content. Agric j. 60 : 539-543.

PT Industri Gula Glenmore. 2018. Hasil Pengujian Kandungan Blotong dan


Pupuk. Banyuwangi.

PTPN. 2013. http://www.ptpn12.com. Diakses pada tanggal 18 Januari 2018

PTPN. 2016. http://www.ptpn12.com. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2018.

Purnomo, E. 1994. Susu Kapur Bening untuk Pra Defikasi nira gilingan.
Pasuruan. P3GI.

Purwadi, A., Suryadi, Usada, W., & Isyuniarto. 2007. Proses Ozonasi pada
Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 2. No.1. Hal 1-5.

Purwati, S., Soetopo, R., & Setiawan, Y. 2007. Potensi penggunaan abu boiler
Industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada
areal gambut tanaman industri. Jurnal Selulosa. No. 42. Vol 1. Hal 8-17.
45

Purwendro, S. & Nurhidayat. 2006. Mengolah Sampah Untuk Pupuk Pestisida


Organik. Jakarta. Penebar Swadaya. 45-65.

Rajiman. 2008. Pengaruh Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Dan
Hasil Bawang Merah Pada Lahan Pasir Pantai Bugel Kabupaten Kulon
Progo. Jurnal Agrin. Vol 12. No.1.

Ramadhani, F.K. 2013. Blotong (Filter Cake) Sebagai Aktifator Pembuatan


Pupuk Organik. Surabaya. Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Rifa’i R.S. 2009. Potensi Blotong (Filter Cake) sebagai Pupuk Organik Tanaman
Tebu. Yogyakarta. LPP.
Soemirat, S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gajah Mada University
Press. 27.

Soemirat, S. 2009. Kesehatan Lingkungan Jilid II. Yogyakarta. Gajah Mada


University Press. 153.

Soerjadi. 1977. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula.


Yogyakarta. Lpp.

Sugiyanto, C. 2007. Permintaan Gula di Indonesia. Jurnal Ekonomi


Pembangunan. Universitas Gajah Mada. Vol 8. No.2. Hal 113-127.

Suriadikarta, Didi, A., & Simanungkalit, R.D.M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/juknis/pu puk
%20organik.pdf?secure=true. Diakses pada tanggal 19 Juli 2018.

Suryono, H. & Budiman, C. 2010. Kesehatan Lingkungan. Bandung. Pustaka


Baru. 73-76.

Taufik, Supari, & Gunawan, B. 2013. Analisa Kandungan Kimia Pupuk Organik
Dari Blotong Tebu Limbah Dari Pabrik Gula Trangkil. Kudus. Universitas
Muria Kudus.

Tjahjono, T., Subroto, & Rachman, A. 2016. Analisis Pengaruh Pembakaran


Briket Campuran Ampas Tebu dan Sekam Padi dengan Membandingkan
Pembakaran Briket Masing-Masing Biomassa. Jurnal Ilmiah Teknik
Mesin. Vol 17. No.1. Hal 44-51.

Vitaloka, A., Rohanah, A., & Rindang, A. 2016. Karakteristik Kertas Berbahan
Baku Ampas Tebu dan Sampah Kertas. Jurnal Rekayasa Pangan dan
Pertanian. Vol 5. No.1.

Widawati, S., & Kanti, S.A. 2000. Pengaruh Isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Efektif dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Kacang Tanah
46

(Arachishypogaea).http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatal
og/downloadDatabyId/2772/2773.pdf. Diakses dari pada tanggal
25 Oktober 2018.

www.google.com. 2018. https://ilmubudidaya.com/cara-membuat-pupuk-organik-


dari-blotong-limbah-pabrik-gula/pupuk-padat. Diakses pada tanggal 29 Nopember
2018.

Anda mungkin juga menyukai