Dosen Pengampu :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
PENDAHULUAN
kalori bagi masyarakat (Sugiyanto, 2007). Nilai kalori pada Gula mencapai 3,94
kkal/gram (Cahyadi, 2006). Nilai kalori yang tinggi menjadikannya sebagai salah
satu bahan makanan pokok selain beras, jagung dan umbi-umbian. Kebutuhan
gula menjadi lebih penting di banyak negara karena sebagai bahan pemanis
utama pada industri makanan dan minuman. Sampai saat ini, peranan gula
tebu menjadi salah satu industri hasil pertanian yang berkembang di Indonesia.
Industri Gula Glenmore (PT IGG) yang berlokasi di Kabupaten Banyuwangi. Area
perkebunan tebu penyuplai bahan baku gula yang dimiliki PT IGG luasnya
mencapai 11.250 ha. Luasnya lahan tebu tersebut menjadikan PT IGG memiliki
kapasitas produksi mencapai 6.000-9.000 ton tebu per hari (PTPN, 2016).
antaranya berupa limbah padat (Purwadi dkk., 2007). Limbah padat merupakan
1
2
sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat
padat, di antaranya berupa ampas tebu sebanyak 270.000 ton, blotong sebanyak
45.000 ton, dan abu ketel 9.000-18.000 ton per masa gilingnya. Limbah padat
menggunakan ampas tebu sebagai bahan bakar mesin boiler dan blotong
sebagai pupuk organik. Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses
ekstraksi cairan tebu yang strukturnya terdiri dari serat dengan panjang 1,7-2 mm
(Vitaloka dkk., 2016). Ampas tebu juga memiliki nilai kalor yang relatif tinggi, yaitu
anggaran dan pupuk hasil pengolahan blotong digunakan sebagai zat hara bagi
tanaman tebu serta sebagian dijual sehingga mampu mendatangkan profit bagi
perusahaan. Hasil samping dari pembakaran ampas tebu di mesin boiler berupa
abu ketel yang hingga kini belum dikelola dengan baik sehingga mengalami
penumpukan.
bagian dari upaya recycle untuk pengurangan sampah. Selain sebagai bentuk
aksi peduli lingkungan, tetapi juga memberikan profit bagi perusahaan. Hal
wawasan yang baru khususnya di bidang pengolahan limbah padat industri gula.
1. Apa saja jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri
2. Apa saja tahap pengolahan limbah padat industri yang dihasilkan industri
1.3 Tujuan
1. Jenis limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula
Glenmore (IGG).
4
3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah padat industri gula
PT Industri Gula Glenmore (IGG) mulai dibangun sejak Tahun 2012 dan
menempati lahan seluas 102 ha. PT Industri Gula Glenmore (IGG) merupakan
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Melalui power plant dan kota satelitnya, PT
IGG memiliki target 54 ribu ton/tahun dengan nilai investasi mencapai 1,5 triliun
2013).
Industri Gula Modern Terpadu”. Sedangkan misi dari PT Industri Gula Glenmore
2. membangun perusahaan yang tumbuh dan kuat sehingga lebih bermakna dan
lingkungan;
Kabupaten Banyuwangi.
5
6
Sampah juga merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah
tidak terpakai (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Limbah padat adalah segala
sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Limbah
padat ada yang mudah membusuk terdiri atas zat-zat organik seperti sayuran,
sisa daging, daun dan lain sebagainya, dan ada pula yang tidak mudah
membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain
pengelolaan yakni:
1. Limbah padat yang dapat membusuk, seperti (sisa makan, daun, sampah
sampah yang berasal dari industri yang mengandung zat-zat kimia maupun
dipakai, dikelola, dan dimanfaatkan dengan prosedur yang benar. Limbah padat
ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Limbah padat organik
merupakan sampah yang mudah membusuk seperti, sisa daging, sisa sayuran,
Limbah padat non organik dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik
tambang. Limbah padat ini tidak mudah menbusuk seperti, kertas, plastik,
logam, karet, abu gelas, bahan bangunan bekas dan lainnya (Amos, 2008).
Limbah padat jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol
Sampah berbahaya atau bahan beracun (B3), sampah ini terjadi dari zat
kimia organik dan non organik serta logam-logam berat, yang umumnya berasal
a. Blotong
Blotong atau disebut filter cake atau filter press mud adalah limbah
industri yang dihasilkan oleh pabrik gula dari proses klarifikasi nira tebu.
Penumpukan bahan tersebut dalam jumlah besar akan menjadi salah satu
yang terdispersi dalam nira tebu dan bercampur dengan anion-anion organik dan
anorganik. Blotong sebagian besar terdiri atas serat-serat tebu dan merupakan
sumber unsur organik yang sangat penting untuk pembentukan humus tanah
Komposisi blotong terdiri atas sabut, wax, fat kasar, protein kasar, gula, dan total
abu. Komposisi ini berbeda persentasenya dari satu pabrik gula dengan pabrik
gula lainnya, bergantung pada pola produksi dan asal tebu (Rifa’i, 2009). Blotong
berpotensi untuk dijadikan pupuk organik karena memiliki sumber hara berupa
SiO2, CaO, P2O5 dan MgO sehingga dapat membantu memperbaiki sifat-sifat
9
fisik, kimia, dan biologi tanah. Blotong bersifat porous, yaitu memiliki pori-pori
dalam jumlah banyak sehingga memiliki kemampuan menyerap air cukup tinggi
dan memperbesar jumlah air yang tersedia di dalam tanah (Rajiman, 2008).
Ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula yang melimpah yang
pabrik gula. Pemanfaatan ampas tebu di pabrik gula secara umum dilakukan
dengan cara langsung dikirm ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai bahan
teralokasikan secara optimal, masih banyak ampas tebu yang melimpah tersisa
setiap kali produksi (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Berdasarkan data dari Pusat
rata-rata ampas tebu yang dihasilkan tiap pabrik gula sebesar 10% dari total tebu
yang digiling dan yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin boiler sebesar
50% dari total ampas tebu sedangkan sisanya tidak dimanfaatkan (Hidayati dkk.,
ampas tebu ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan
buatan. Bagas mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata
47,7%. Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas
c. Abu Ketel
Abu ketel merupakan residu bagas yang digunakan sebagai bahan bakar
boiler. Warna abu-abu kemerahan menunjukkan bahwa abu ketel memiliki silika
unsur hara diantaranya, kalium, kalsium, dan magnesium dalam jumlah relatif
daerah itu sendiri. Banyak masalah yang ditimbulkan oleh limbah padat,
Menghancurkan sampah menjadi jumlah yang lebih kecil dan hasilnya diolah,
hanya saja biayanya sangat mahal tidak sebanding dengan hasilnya, misalnya
pencacahan plastik menjadi bentuk yang lebih kecil yang selanjutnya diolah
pada dump truck yang dilengkapi alat pemadat sehingga volume sampah jauh
b. Reduksi volume sampah secara pembakaran. Proses ini dapat dilakukan oleh
terbakar dan tidak dapat dibakar. Plastik tidak diikutkan dalam proses
oksigen pada suatu reaktor. Umumnya zat organik tidak tahan terhadap panas
sehingga dengan pemanasan tanpa oksigen ini akan memecah struktur zat
organik tersebut (kondensasi) menjadi gas, cair dan padat (Suryono dan
Budiman, 2010).
secara langsung tanpa melalui proses daur ulang. Contohnya seperti kertas-
kado yang menarik, pemanfaatan botol bekas untuk dijadikan wadah cairan
misalnya spirtus, dan minyak cat. Menggunakan kembali barang bekas adalah
proses kembali menjadi barang yang sama atau menjadi bentuk lain. Mendaur
ulang diartikan mengubah limbah padat menjadi produk baru, khususnya untuk
barang-barang yang tidak dapat digunakan dalam waktu yang cukup lama
padat yang masih dapat diolah. Pengelolaan limbah padat dengan cara recycling
c. Bentuk berubah dan fungsi pun berubah (Purwendro dan Nurhidayat, 2006).
13
2.4 Pupuk
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal
tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman.
Organik dan Pembenah Tanah, adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan
yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang
digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan
kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai
organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik, maka
gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak,
Glenmore (IGG) bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan limbah padat yang
dihasilkan industri gula khususnya oleh PT IGG. Limbah padat dihasilkan dari
proses produksi gula di pabrik. Secara umum, alur proses produksi gula di pabrik
Tebu
Ampas
Pupuk Outpu tebu/
Stasiun penggilingan/mill t bagas
Blotong Nira
Output
Stasiun pemurnian/clarification
Nira
Jernih Outpu
t
Penguapan di
Nira Kental
evaporator
Stasiun
masakan/kristalisasi Boiler (untuk
Tetes bahan bakar)
sentrifugal
Outpu
Outp t
Gula
Abu ketel
Sugar handling
Sugar Sugar
dryer/ Packaging/ cooler/
pengeringan pengemasan pendinginan
Distribusi
Gambar 4.1 Alur Proses Produksi Gula
Proses produksi gula dimulai dari stasiun penggilingan (mill). Tebu yang
dan bagas (ampas tebu). Terdapat empat mesin penggilingan sehingga proses
penggilingan berlangsung empat kali. Hal ini bertujuan agar lebih efisien dan
semakin banyak nira yang dihasilkan karena proses pemerasan dengan bantuan
air imbibisi dilakukan berulang kali. Nira yang dihasilkan ditampung di clear juice
boiler untuk dijadikan bahan bakar mesin boiler karena karakteristiknya yang
kering dan mudah terbakar. Leveller dan mesin penggiling tebu dapat dilihat
Nira dari clear juice tank dibawa ke stasiun proses lebih tepatnya di
ikut terbawa saat proses penggilingan. Nira harus bersih dari kotoran untuk
menjaga kemurniannya. Pada kondisi awal, nira tebu mempunyai kisaran pH 5,2
– 5,5 atau dalam kondisi asam yang membuatnya mudah mengalami inversi
sukrosa dengan cepat sehingga dapat menurunkan kadar sukrosa dalam nira
tebu. Agar tidak terjadi penurunan kadar sukrosa, maka pH nira perlu dinaikkan
defikasi dan sekaligus berfungsi sebagai penjernih (Purnomo, 1994). Dari proses
blotong. Blotong selanjutnya diangkut ke pabrik pupuk yang akan diolah menjadi
Evaporator berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam nira melalui proses
adalah suatu proses menghilangkan zat pelarut (air) dari dalam larutan dengan
menjadi kental. Artinya semakin lama proses pemanasan, kadar air dalam nira
semakin berkurang, dan nira menjadi semakin kental. Terdapat lima evaporator
dengan proses yang bertahap dari evaporator satu sampai lima. Kelima
berkali-kali. Nira kental dengan kemurnian 75% dari evaporator lima dibawa ke
pemasakan nira dimulai dari vacum pan A dan berakhir di vacum pan R. Nira dari
bibit fondan. Fondan merupakan inti kristal gula yang sudah ditumbuk menjadi
halus yang berfungsi agar kristal gula yang terbentuk memiliki ukuran yang sama
(Anisa, 2012). Bibit fondan dapat dibuat di luar pan masakan. Untuk mengetahui
besar
23
kecil ukuran kristal dapat dilakukan dengan cara meletakkan kristal gula pada
stasiun masakan b karena bentuk gula masih setengah jadi sehingga perlu
dimasak kembali. Begitu pula dengan gula kristal hasil dari stasiun masakan b
pHnya 10,5 (basa). Penambahan kapur tidak hanya dapat menaikkan pH, tetapi
sudah dicairkan dibawa ke rotary leaf filter untuk disaring kotorannya. Kotoran
dari proses ini juga membentuk blotong. Bentuk rotary leaf filter dan vacum pan
Output dari rotary leaf filter berupa clear liquor, yaitu nira kental yang
sudah bersih dan siap untuk dijadikan gula. Clear liquor dialirkan ke tanki R untuk
tetapi juga dan tetes (molase). Tetes (molase) merupakan hasil samping dari
industri gula yang berasal dari nira yang tidak mengkristal dengan kandungan
gula yang cukup tinggi, yaitu mencapai 52% (Juwita, 2012). Kristal gula dan
akan memisahkan kristal gula dan molase. Kristal gula hasil pemisahan dibawa
ke sugar handling untuk dikeringkan pada mesin sugar dryer dan didinginkan di
mesin sugar cooler untuk selanjutnya dibawa conveyor menuju sugar warehouse
untuk dikemas dan gula kristal siap didistribusikan. Sedangkan molase /tetesnya
dialirkan menuju tanki tetes untuk disimpan dan dijual pada pihak ketiga. Bentuk
sugar dryer dan sugar cooler dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Limbah padat industri gula PT IGG yang dihasilkan berupa bagas (ampas
tebu), blotong, dan abu ketel. Bagas berasal dari proses penggilingan tebu,
sedangkan blotong berasal dari proses pemurnian nira dan filtrasi. Abu ketel
Bagas (ampas tebu) diolah dengan cara dijadikan bahan bakar pada
menjadikan ampas tebu cocok digunakan sebagai bahan bakar boiler. Bentuknya
berupa serabut yang cukup halus dan berwarna kuning kecoklatan. Pembakaran
ampas tebu digunakan untuk memanaskan air pada suhu 400 0C dan tekanan 45
bar di mesin boiler agar menghasilkan steam (uap) yang digunakan untuk
energi listrik dengan bantuan mesin generator. Energi listrik yang dihasilkan
Kebutuhan listrik di pabrik gula Glenmore hingga saat ini hanya sebesar 8 MW,
sehingga daya yang dihasilkan berlebih sebanyak 12 MW. Daya yang berlebih
bagi perusahaan. Banyaknya ampas tebu yang dihasilkan PT IGG mencapai 25-
30% dari total berat tebu yang digiling. Ampas tebu yang dihasilkan PT IGG
mencemari lingkungan. Bentuk ampas tebu dapat dilihat pada Gambar 4.6.
26
Kapasitas produksi Pabrik Gula Glenmore, yaitu 4.000-6.000 ton cane per
day (tcd). Jadi total ampas tebu yang dihasilkan per harinya mencapai 1.000-
1.800 ton. Apabila diakumulasikan selama masa giling berlangsung, yaitu selama
150 hari (5 bulan) dan kapasitas produksi 6.000 tcd, maka total ampas tebu yang
dihasilkan dalam satu masa giling tersebut sejumlah 270.000 ton ampas tebu.
Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar boiler selama satu
masa giling.
juga udara yang keluar dari cerobong asap bersih sehingga tidak mencemari
pembakaran ampas tebu. Kendala yang biasa ditemui di lapangan ialah apabila
sedang musim hujan, maka ampas tebu yang dihasilkan cenderung masih basah
27
dan sulit untuk dibakar karena kadar airnya tinggi, sehingga menghambat kerja
atas truk pembawa tanpa penutup pada saat sebelum masuk penggilingan,
sehingga ketika turun hujan tebu menjadi basah. Untuk mengantisipasi kendala
ini, apabila ampas tebu dalam kondisi basah sehingga tidak dapat digunakan
sebagai bahan bakar boiler, maka dibantu dengan bahan bakar main fuel oil atau
bahan bakar minyak agar mesin boiler tetap hidup, meskipun dengan resiko abu
ketel yang dihasilkan lebih banyak dan mencemari udara karena asap yang
dikeluarkan berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada main fuel oil,
(Nurudin, 2016). Perbedaan bahan bakar mesin boiler berupa ampas tebu atau
main fuel oil hanya sebatas pada perbedaan asap pembakaran, namun tidak
Ampas tebu yang terlalu kering juga berbahaya, karena mudah terbakar.
Oleh karena itu, di tempat penyimpanan ampas tebu (Bagass House) dilakukan
Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menjaga tingkat kekeringan bagas
b. Blotong
serabut halus yang berwarna hitam. Blotong mengandung bahan penyubur tanah
seperti Nitrogen, Fosphat (P2O5), Kalsium (CaO), humus, dan bahan organik lain
sehingga dapat diolah menjadi pupuk organik, penyubur atau untuk perbaikan
struktur tanah terutama pada lahan kering (Taufik dkk., 2013). Bentuk blotong
Proses pengolahan blotong menjadi pupuk dapat dilihat pada Gambar 4.8.
granule
Penambahan Zat
fosfat
Penambahan
molase
Gambar 4.8 Pengolahan blotong menjadi pupuk
29
Blotong yang dihasilkan dari stasiun proses diangkut oleh dump truk
sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman
shelter dengan atap berbahan kaca berfungsi untuk memantulkan radiasi sinar
matahari sehingga memberi suasana panas pada shelter yang dapat membantu
yaitu 25 kg superdex per ton blotong. Temperatur pada saat fermentasi dijaga
dan berbau manis seperti tape. Blotong yang telah mengalami proses fermentasi
kelembaban sebesar 30% (Taufik dkk., 2013). Bentuk shelter dapat dilihat pada
Gambar 4.9.
30
crusher feeding belt conveyor yang disalurkan ke mesin rough crusher untuk
besar menjadi butiran kasar yang berukuran lebih kecil. Ukuran tersebut
pencacah (rough crusher) dengan tujuan agar lebih cepat dan efisien.
bakarnya dengan bantuan combuster blower agar menjaga api tetap menyala.
Energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar butiran kasar kompos
dengan kecepatan tertentu pada suhu 4000C, sehingga output dari mesin ini
berupa butiran kompos yang sudah kering dan memiliki kadar air kurang dari
20% (Isro, 2009). Pada proses pengeringan juga dihasilkan debu yang
disalurkan melalui
31
mengendap di dasar kolam. Bentuk mesin rotary dryer, rotary cooler, dan rough
c. Rough Crusher
Gambar 4.10 Rotary Dryer, Rotary Cooler, dan Rough Crusher
Kompos yang keluar dari rotary dryer masih panas, sehingga perlu
didinginkan di mesin rotary cooler, sehingga output dari mesin ini adalah kompos
dengan suhu yang lebih rendah, yakni sekitar 30-400C. Mesin rotary cooler juga
dilengkapi dengan pipa exhausting sebagai jalur keluar debu yang dihasilkan.
32
Kompos dari mesin rotary cooler dibawa oleh conveyor menuju mesin
mixer. Pada proses ini ditambahkan zat fosfat (P) sebagai tambahan nutrisi untuk
pupuk. Zat fosfat (P) merupakan hara utama (primer) kedua setelah nitrogen (N)
diperlukan baik oleh mikroba tanah maupun tanaman. Selain itu, zat fosfat
akar, khususnya lateral dan akar halus berserabut. Oleh karena itu, ketersediaan
zat fosfat di dalam tanah menjadi sangat penting bagi tanaman (Widawati dan
Kanti, 2000). Di dalam mesin mixer terjadi proses pengadukan agar zat fosfat
tercampur merata dengan komposnya. Bentuk mixer dapat dilihat pada Gambar
4.11.
Setelah kompos dan zat fosfat tercampur merata di dalam mesin mixer,
keluarnya pupuk sebelum dikemas. Terdapat dua macam bin hopper, yaitu bin
hopper untuk curah dan granule. Bin hopper curah adalah wadah yang
diperuntukkan sebagai keluaran dari pupuk dengan butiran halus yang memiliki
ukuran <0,5 mm. Sedangkan bin hopper granule adalah wadah untuk
menampung pupuk yang akan diproduksi dalam ukuran butiran yang lebih besar
(kasar) yaitu 0,5 mm. Pupuk yang keluar dari bin hopper curah langsung
dikemas, sedangkan pupuk yang ditampung pada bin hopper granule diproses
Agar diperoleh pupuk granule, pupuk dari bin hopper dibawa conveyor
menuju pan granulator. Pada proses ini, pupuk ditambahkan larutan molase atau
tetes yang berfungsi sebagai perekat antar butiran, sehingga terbentuk butiran-
butiran dengan ukuran yang lebih besar (granule). Granule yang dihasilkan
diangkut conveyor menuju mesin rotary dryer untuk dikeringkan. Ukuran rotary
dryer untuk granule lebih besar dari curah, pun dengan suhu yang lebih tinggi
hingga 7500C. Hal ini disebabkan ukuran butiran yang lebih besar, sehingga
dibutuhkan alat penunjang yang lebih besar pula dan suhu yang lebih panas agar
proses pengeringan berjalan optimal. Bentuk Bin Hopper dan Pan Granulator
a
a. Bin Hopper b. Pan Granulator
Gambar 4.12 Bin Hopper dan Pan Granulator
Granule dari rotary dryer yang masih panas dibawa ke mesin rotary
cooler untuk granule dilengkapi dengan screen (saringan), yang berfungsi agar
granule yang keluar memiliki ukuran yang seragam untuk selanjutmya dikemas,
crusher untuk diolah kembali. Pupuk yang sudah dikemas digunakan untuk
nutrisi bagi tanaman tebu milik PT Perkebunan Nusantara XII yang merupakan
menjadi pupuk adalah bentuk dari proses daur ulang (recycle) dari limbah padat
industri gula.
curah dan 25% granule. Total blotong yang dihasilkan biasanya sebanyak 5%
dari
35
total tebu yang diolah. Dengan masa giling 150 hari dan kapasitas produksi 6.000
tcd, maka jumlah blotongnya mencapai 45.000 ton per masa giling. Jumlah
blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore selama musim giling 2017
5000
4500
4000
3500
Jumlah Blotong (Ton)
3000
2500
2000
1500
1000
500
0 Juli AgustusSeptemberOktober
Gambar 4.13 Jumlah blotong yang dihasilkan PT Industri Gula Glenmore
Bulan
selama musim giling 2017
c. Abu Ketel
Proses produksi gula juga menghasilkan limbah abu ketel. Sumber abu
ketel di boiler dihasilkan dari tungku pembakaran secara wet scrubber dan dry
scrubber. Pada proses wet scrubber, gas keluar melalui cerobong dan ditangkap
dengan alat Grid Collector yang memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-
partikel kecil dengan menggunakan medan listrik voltase tinggi (ITB, 2009).
Tingginya
36
daya listrik terhadap partikulat menyebabkan ESP memiliki efisiensi yang sangat
dasar kolam. Pengendapan abu di kolam bertujuan agar abu tidak berterbangan
pencemaran lingkungan, abu ketel hingga kini tidak dimanfaatkan dan hanya
dibiarkan di pinggir kolam abu hingga terbentuk gundukan. Meskipun limbah ini
termasuk jenis limbah organik sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan, namun
keberadaannya dalam kuantitas yang cukup besar yaitu sebesar 1-2% dari total
tebu yang digiling atau sekitar 60-120 ton per hari (kapasitas produksi 6000 tcd),
logam yang merupakan unsur hara atau nutrisi yang diperlukan oleh tanaman
(Purwati dkk., 2007). Limbah abu ketel juga dapat dicampurkan dengan
beberapa zat lain untuk dijadikan menjadi pupuk mixed (fine compost). Senyawa
kimia abu ketel yang dominan adalah SiO2 (silika), yaitu sebesar 70,97 %
(Misran, 2005). Bentuk abu ketel dapat dilihat pada Gambar 4.14.
37
5.1 Kesimpulan
1. Limbah padat industri yang dihasilkan industri gula PT Industri Gula Glenmore
lain bagas (ampas tebu) dijadikan bahan bakar mesin boiler. Blotong diolah
menjadi pupuk dengan prinsip fermentasi dan diproduksi dalam bentuk curah
(halus) dan granule (kasar). Abu ketel hingga kini tidak ada proses
3. Kuantitas pupuk yang dihasilkan per hari sebesar 90 ton/hari atau 10.800 ton
5.2 Saran
industrinya, yaitu:
41
42
2. Melakukan observasi secara intensif terhadap kandungan zat kimia pada abu
PT IGG meningkat.
Pembenah Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, D.S.N., Kurniawan, S., Restu, N.W., & Ismuyanto, B. 2016. Potensi
Ampas Tebu Sebagai Alternatif Bahan Baku Pembuatan Karbon Aktif.
Jurnal Natural B. Vol 3. No 4.
Hussein, A.A.E., Shafiq, N., Nuruddin, M.F., & Memon, F.A. 2014. Compressive
Strength And Microstructure Of Sugarcane Bagasse Ash Concrete.
Journal of Applied Science Engineering Technology. Vol 7. No.12. Hal
2569 – 2577.
Indriani & Sumiarsih. 1992. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan. Tegalan.
Jakarta. Penebar Swadaya.
Isro, I. 2009. Pengujian Pupuk N-Alternatif pada Tebu Tanaman Pertama (PC) di
PG Pesantren Baru dan PG Jombang Baru. Pasuruan. P3GI.
Juwita, R. 2012. Studi Produksi Alkohol dari Tetes Tebu (Saccharum officinarum
L) Selama Proses Fermentasi. Makassar. Universitas Hasanuddin.
Meireni, D. 2006. “Permintaan Impor Gula Indonesia Tahun 1980– 2003”, Tesis.
Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
43
44
Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Taknologi
Proses. Vol 4. No. 2. Hal 6-10. 24 September
2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15389/1/tkp-ul2005-
%20(2).pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.
Prasad, M. 1976. Response of Sugarcane Press Mud and NPK Fertilizer : I. Effect
on Sugarcane Yield and Sucrose Content. Agric j. 60 : 539-543.
Purnomo, E. 1994. Susu Kapur Bening untuk Pra Defikasi nira gilingan.
Pasuruan. P3GI.
Purwadi, A., Suryadi, Usada, W., & Isyuniarto. 2007. Proses Ozonasi pada
Limbah Cair Industri Gula. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 2. No.1. Hal 1-5.
Purwati, S., Soetopo, R., & Setiawan, Y. 2007. Potensi penggunaan abu boiler
Industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada
areal gambut tanaman industri. Jurnal Selulosa. No. 42. Vol 1. Hal 8-17.
45
Rajiman. 2008. Pengaruh Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah Dan
Hasil Bawang Merah Pada Lahan Pasir Pantai Bugel Kabupaten Kulon
Progo. Jurnal Agrin. Vol 12. No.1.
Rifa’i R.S. 2009. Potensi Blotong (Filter Cake) sebagai Pupuk Organik Tanaman
Tebu. Yogyakarta. LPP.
Soemirat, S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta. Gajah Mada University
Press. 27.
Suriadikarta, Didi, A., & Simanungkalit, R.D.M. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/juknis/pu puk
%20organik.pdf?secure=true. Diakses pada tanggal 19 Juli 2018.
Taufik, Supari, & Gunawan, B. 2013. Analisa Kandungan Kimia Pupuk Organik
Dari Blotong Tebu Limbah Dari Pabrik Gula Trangkil. Kudus. Universitas
Muria Kudus.
Vitaloka, A., Rohanah, A., & Rindang, A. 2016. Karakteristik Kertas Berbahan
Baku Ampas Tebu dan Sampah Kertas. Jurnal Rekayasa Pangan dan
Pertanian. Vol 5. No.1.
Widawati, S., & Kanti, S.A. 2000. Pengaruh Isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Efektif dan Dosis Pupuk Fosfat terhadap Pertumbuhan Kacang Tanah
46
(Arachishypogaea).http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatal
og/downloadDatabyId/2772/2773.pdf. Diakses dari pada tanggal
25 Oktober 2018.