Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS OBSTRUKTIF

DISUSUN OLEH :

ADELINA SIA

NPM : 19201002

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi

a. Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada
traktus intestinal (Price & Wilson, 2007).

b. Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007).

c. Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran
normal isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2005).

d. Obstruksi Ilius adalah gangguan aliran isi usus yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik
dan non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus.

B. Etiologi

a. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar
50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal
sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi
berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya.
Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.

b. Hernia inkarserata eksternal ( inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal )


merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif, dan merupakan penyebab
tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna
(paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan
hernia.

c. Neoplasma.Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen,


sedangkan tumor metastase atau tumor intra abdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui
kompresi eksternal.

d. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang
mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat
sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.

e. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama
masa infeksi atau karena striktur yang kronik.
f. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi
usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.

g. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong
empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang
menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat
terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang
menyebabkan obstruksi.

h. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi,
atau trauma operasi.

i. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.

j. Benda asing, seperti bezoar.

k. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.

l. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon
kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium

C. Patofisiologi

Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik.
Perbedaan utama adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan
akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari.
Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Perubahan patofisiologi utama pada
obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat, ini menjadi tempat perkembangan
bakteri sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang tertelan). Akumulasi gas
dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Apabila akumulasi terjadi di
daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen dan intra lumen.
Hal ini dapat meningkatkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air
dan elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan
retensi cairan di usus dan rongga peritoneum mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan
volume darah. Akumulasi gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus
sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang
mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah ke usus menurun,
terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi perforasi.
Dengan adanya perforais akan menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
terjadi sepsis dan peritonitis.

Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan
sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan
terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini
tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang
berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak
dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak,
sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang
akan meningkatkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak
akan menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan
merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron,
merangsang sekresi hidrogen di nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi
HCO3- dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya alkalosis metabolic. (Price &Wilson, 2007)

D.Pathway
E. Manifestasi Klinik

a. Mekanik sederhana – usus halus atas


Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah,
peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
b. Mekanik sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus meningkat, nyeri
tekan abdomen.
c. Mekanik sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian
terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
d. Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram
nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
e. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan terlokalisir,
distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri tekan
terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau
mengandung darah samar. (Price &Wilson, 2007)
 Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada (Winslet,2002;
Sabiston,1995).
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan
sigmoid yang tertutup.
c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah, peningkatan
hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar
serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.

G. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan
syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan
fungsi usus kembali normal.
a. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda vital,
dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi
dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena
seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda -
tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena,
diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk
mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen.
b. Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah
sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan
teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Berikut
ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya
berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang
dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat
diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang dilakukan
pada obstruksi ileus:
1) Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari
jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi
atau pada volvulus ringan.
2) Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya
pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma
colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus,
kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya
sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif,
mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis.

H. Komplikasi
a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama
pada organ intra abdomen.
b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
c. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi
toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang
hebat pada intra abdomen.
e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
f. Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada
usus.
g. Kematian ( Brunner and Suddarth, 2002 )
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1) Identitas Pasien
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat. Tanggal MRS,
dan informasi apabila dalam melakukan pengkajian kita perlu informasi selain dari
klien.

2) Keluhan utama pasien


Nyeri pada daerah luka post operasi.
3) Riwayat penyakit sekarang (sesuai pola PQRST)
Klien masuk RS tanggal 28 Mei 2003 jam 18.00 Wita dan langsung dilakukan operasi
cyto jam 21.00 Wita. Saat pengkajian tanggal 29 Mei 2003 klien mengeluh nyeri pada
daerah luka post operasi seperti diiris-iris dan ditusuk-tusuk, nyeri terasa sampai ke
samping kiri/ kanan perut nyeri lebih terasa apabila klien melakukan pernafasan perut.
Nyeri ilang apabila klien tenang dan tidak merasa tegang pada daerah perut. Intensitas
nyeri ± 3 – 5 menit.

4) Riwayat penyakit dahulu.


Klien pernah menderita penyakit yang sama dengan riwayat operasi 2 kali yaitu pada
tahun 2001 di RSUD Ulin, 2002 di RS Islam dan yang terakhir di RSUD Ulin, tidak ada
riwayat hypertensi, penyakit menular ataupun keganasan.

5) Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada diantara anggota keluarga yang mengalami sakit seperti klien, tidak ada
diantara keluarga yang mempunyai riwayat hypertensi, penyakit menular atau
keganasan.

 Diagnostik Test
1) Pemeriksaan sinar X: akan menunjukkan kuantitas abnormal dari gas dan cairan
dalam usus.
2) Pemeriksaan simtologi
3) Hb dan PCV: meningkat akibat dehidrasi
4) Leukosit: normal atau sedikit meningkat
5) Ureum dan eletrolit: ureum meningkat, Na+ dan Cl- rendah
6) Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen
7) Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu empedu,
volvulus, hernia).
8) Sigmoidoskopi: menunjukkan tempat obstruktif.

Pemeriksaan fisik pada pasien ileus obstruksi


1. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen.
Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus (Gambar 2.4) yang bisa
bekorelasi dengan mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan
muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan
kolik (Sabiston, 1995; Sabara, 2007)
2. Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum
apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance musculair’ involunter
atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal (Sabiston, 1995;
Sabara, 2007).
3. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus
di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising
usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa
juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruksi strangulata
(Sabiston, 1995).
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rektum
dan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan massa atau tumor serta tidak
adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus
halus. Jika darah makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalam
rektum, maka sangat mungkin bahwa ileus obstruktif didasarkan atas lesi
intrinsik di dalam usus (Sabiston, 1995). Apabila isi rektum menyemprot;
penyakit Hirdchprung (Anonym, 2007).

B. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya
mual, muntah, demam dan diaforesis.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
d. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.
e. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. Perencanaan Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya
mual, muntah, demam dan diaforesis.
Tujuan :
Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi, Mempertahankan hidrasi adekuat dengan
bukti membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik, tanda-
tanda vital stabil, dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.
 Kriteria hasil:
1. Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70 -120/80 mmHg)
2. Intake dan output cairan seimbang
3. Turgor kulit elastic
4. Mukosa lembab
5. Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl:
94-111 mmol/L).

Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan cairan pasien 1. Mengetahui kebutuhan cairan
pasien.

2. Observasi tanda-tanda vital: N, 2. Perubahan yang drastis pada tanda-


TD, P, S tanda vital merupakan indikasi
kekurangan cairan.

3. Observasi tingkat kesadaran dan 3. kekurangan cairan dan elektrolit


tanda-tanda syok dapat mempengaruhi tingkat
kesadaran dan mengakibatkan syok.

4. Observasi bising usus pasien tiap 4. Menilai fungsi usus


1-2 jam
5. Monitor intake dan output secara 5. Menilai keseimbangan cairan
ketat
6. Pantau hasil laboratorium serum 6. Menilai keseimbangan cairan dan
elektrolit, hematokrit elektrolit
7. Beri penjelasan kepada pasien dan 7. Meningkatkan pengetahuan pasien
keluarga tentang tindakan yang dan keluarga serta kerjasama antara
dilakukan: pemasangan NGT dan perawat-pasien-keluarga.
puasa.
8. Kolaborasi dengan medik untuk 8. Memenuhi kebutuhan cairan dan
pemberian terapi intravena elektrolit pasien.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.
 Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
2. Berat badan stabil.
3. Pasien tidak mengalami mual muntah.

Intervensi Rasional
1. Tinjau faktor-faktor individual 1. Mempengaruhi pilihan
yang mempengaruhi intervensi.
kemampuan untuk mencerna
makanan, mis: status puasa,
mual, ileus paralitik setelah
selang dilepas. 2. Menentukan kembalinya
2. Auskultasi bising usus; peristaltik ( biasanya dalam 2-4
palpasi abdomen; catat pasase hari ).
flatus. 3. Meningkatkan kerjasama
3. Identifikasi kesukaan / pasien dengan aturan diet.
ketidaksukaan diet dari pasien. Protein/vitamin C adalah
Anjurkan pilihan makanan kontributor utuma untuk
tinggi protein dan vitamin C. pemeliharaan jaringan dan
perbaikan. Malnutrisi adalah
fator dalam menurunkan
pertahanan terhadap infeksi.
4. Sindrom malabsorbsi dapat
terjadi setelah pembedahan usus
4. Observasi terhadap terjadinya halus, memerlukan evaluasi
diare; makanan bau busuk dan lanjut dan perubahan diet, mis:
berminyak. diet rendah serat.
5. Mencegah muntah.
Menetralkan atau menurunkan
5. Kolaborasi dalam pemberian pembentukan asam untuk
obat-obatan sesuai indikasi: mencegah erosi mukosa dan
Antimetik, mis: proklorperazin kemungkinan ulserasi.
(Compazine). Antasida dan
inhibitor histamin, mis:
simetidin (tagamet).

c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
pola nafas menjadi efektif
 Kriteria hasil :
pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi: 18-20x/menit
Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: P, TD, N,S 1. Perubahan pada pola nafas
akibat adanya distensi abdomen
dapat mempengaruhi
peningkatan hasil TTV.

2. Kaji status pernafasan: pola, 2. Adanya distensi pada


frekuensi, kedalaman abdomen dapat menyebabkan
perubahan pola nafas.
3. Kaji bising usus pasien 3. Berkurangnya/hilangnya
bising usus menyebabkan terjadi
distensi abdomen sehingga
mempengaruhi pola nafas.
4. Tinggikan kepala tempat tidur 4. Mengurangi penekanan pada
40-60 derajat paru akibat distensi abdomen.
5. Observasi adanya tanda-tanda 5. Perubahan pola nafas akibat
hipoksia jaringan perifer: adanya distensi abdomen dapat
cianosis menyebabkan oksigenasi perifer
terganggu yang dimanifestasikan
dengan adanya cianosis.
6. Mendeteksi adanya asidosis
6. Monitor hasil AGD respiratorik.
7. Meningkatkan pengetahuan
7. Berikan penjelasan kepada dan kerjasama dengan keluarga
keluarga pasien tentang pasien.
penyebab terjadinya distensi
abdomen yang dialami oleh
pasien 8. Memenuhi kebutuhan
8. Laksanakan program medic oksigenasi pasien
pemberian terapi oksigen

d. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi kembali normal.
 Kriteria hasil:
Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek, BU normal: 5-
35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.
Intervensi Rasional
1. Kaji dan catat frekuensi, warna 1. Mengetahui ada atau tidaknya
dan konsistensi feces kelainan yang terjadi pada
eliminasi fekal.
2. Auskultasi bising usus 2. Mengetahui normal atau
Intervensi Rasional
tidaknya pergerakan usus.

3. Kaji adanya flatus 3. Adanya flatus menunjukan


perbaikan fungsi usus.
4. Kaji adanya distensi abdomen 4. Gangguan motilitas usus dapat
menyebabkan akumulasi gas di
dalam lumen usus sehingga
terjadi distensi abdomen.
5. Berikan penjelasan kepada 5. Meningkatkan pengetahuan
pasien dan keluarga penyebab pasien dan keluarga serta untuk
terjadinya gangguan dalam meningkatkan kerjasana antara
BAB perawat-pasien dan keluarga.
6. Membantu dalam pemenuhan
6. Kolaborasi dalam pemberian kebutuhan eliminasi
terapi pencahar (Laxatif)

e. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
rasa nyeri teratasi atau terkontrol

 Kriteria hasil:
pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada
tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: N, TD, HR, P 1. Nyeri hebat yang dirasakan pasien
tiap shif akibat adanya distensi abdomen
dapat menyebabkan peningkatan
hasih TTV.
2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik 2. Mengetahui kekuatan nyeri yang
dan skala nyeri yang dirasakan dirasakan pasien dan menentukan
pesien sehubungan dengan adanya tindakan selanjutnya guna
distensi abdomen mengatasi nyeri.
3. Berikan posisi yang nyaman: 3. Posisi yang nyaman dapat
posisi semi fowler mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik 4. Relaksasi dapat mengurangi rasa
relaksasi tarik nafas dalam saat nyeri
merasa nyeri
5. Anjurkan pasien untuk 5. Mengurangi nyeri yang dirasakan
menggunakan tehnik pengalihan pasien.
saat merasa nyeri hebat.
Intervensi Rasional
6. Kolaborasi dengan medic untuk 6. Analgetik dapat mengurangi rasa
terapi analgetik nyeri

f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan:
Kecemasan teratasi.
 Kriteria hasil :
pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan
mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi Rasional
1. Observasi adanya 1. Rasa cemas yang dirasakan
peningkatan kecemasan: wajah pasien dapat terlihat dalam
tegang, gelisah ekspresi wajah dan tingkah
laku.
2. Kaji adanya rasa cemas yang 2. Mengetahui tingkat
dirasakan pasien kecemasan pasien.
3. Berikan penjelasan kepada 3. Dengan mengetahui tindakan
pasien dan keluarga tentang yang akan dilakukan akan
tindakan yang akan dilakukan mengurangi tingkat kecemasan
sehubungan dengan keadaan pasien dan meningkatkan
penyakit pasien kerjasama
4. Berikan kesempatan pada 4. Dengan mengungkapkan
pasien untuk mengungkapkan kecemasan akan mengurangi
rasa takut atau kecemasan yang rasa takut/cemas pasien
dirasakan
5. Pertahankan lingkungan yang 5. Lingkungan yang tenang dan
tenang dan tanpa stres. nyaman dapat mengurangi
stress pasien berhadapan
dengan penyakitnya
6. Dorong dukungan keluarga 6. Support system dapat
dan orang terdekat untuk mengurani rasa cemas dan
memberikan support kepada menguatkan pasien dalam
pasien memerima keadaan sakitnya.

D. Evaluasi
Hasil yang diharapkan sesuai diagnose keperawatan
1. Tidak ada atau nyeri abdomen berkurang
2. Menunjukkan tanda-tanda keseimbangan cairan elektrolit
3. Membuat pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup dengan ketetapan
jumlah dan konsistensi
4. Mendapat nutrisi yang optimal
5. Tidak adanya depresi pernafasan
6. Tidur/istirahat tidak ada gangguan
7. Tidak mengalami komplikasi dengan suhu batas normal
8. Menunjukkan rileks dan tidak cemas
9. Memperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang proses penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Elsevier
Sounders

Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri:
Mosby Elsevier.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6,


Volume1. Jakarta: EGC.

Rahayu Rejeki handayani, bahar asril. Buku ajar ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jilid III edisi IV ;
2007. 1405-1410

Anda mungkin juga menyukai