Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan, dimana bagian lautan

lebih besardaripada bagian daratan. Akan tetapi daratan adalah bagian dari kulit

bumi yang dapat diamati langsung dengan dekat, maka banyak hal-hal yang dapat

diketahui secara cepat dan jelas. Salahsatu diantaranya adalah kenyataan bahwa

daratan tersusun oleh jenis batuan yang berbeda satusama lain dan berbeda-beda

materi penyusun serta berbeda pula dalam proses terbentuknya.

Geologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bumi meliputi

komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah dan proses pembentukannya.

Dalam geologi, kita akan mempelajari semua hal tentang seluk-beluk bumi ini

secara keseluruhan. Dari mulai gunung- gunung dengan tinggi ribuan meter,

hingga palung-palung didasar samudera. Dan untuk mengetahui semua itu,

tentunya kita harus mempelajari apa-apa sajakah materi pembentuk bumi ini,

itulah yang akan dilakukan oleh para geologist. Materi dasar pembentuk bumi ini

adalah batuan, dimana batuan sendiri adalah kumpulan dari mineral, dan mineral

terbentuk dari kristal-kristal.

Ada banyak jenis batuan yang ada di bumi, terbagi atas tiga macam bentuk

dari dilihat proses pembentukannya yaitu batuan metamorf, batuan beku, dan

batuan sedimen. Namun, pada praktikum ini akan membahas mengenai batuan

beku. Seperti namanya batuan “Beku”, terbentuk karena adanya proses

pembekuan tepatnya pendinginan atau lebih tepatnya penurunan suhu dari larutan
pijar vaitu magma. Magma adalah cairan yang sangat panas (1400c) yang berada

didalam bumi. Batuan Beku (Batu Igneus) adalah batuan yang terbentuk di bawah

permukaan (intrusif) mau pun terbentuk di atas permukaan tanah (ekstrusif)

melalui proses pendinginan dan pengerasan dari magma yang melewati proses

kristalisasi atau terkadang tidak melewati proses kristalisasi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Praktikan dapat mengetahui mengenai karakteristik batuan beku.

2. Praktikan dapat mendeskripsikan batuan.

3. Praktikan dapat memahami genesa pembentukan batuan.

1.3 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai

berikut:

1. Lembar kerja praktikum (LKP)

2. Alat tulis kertas (ATK)

3. Sampel peraga

4. Komperator

5. Lup

6. Klasifikasi Travis (1955) dan klasifikasi fenton (1940)

7. Buku Rocks and Minerals

8. Clipboard

9. Kertas HVS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Geologi

Geologi berasal dari bahasa Yunani Geo (Bumi) dan logos (diskusi).

Geologi adalah ilmu yang mencari pemahaman tentang planet Bumi. Memahami

Bumi adalah tantangan karena planet kita adalah tubuh yang dinamis dengan

banyak bagian yang berinteraksi dan sejarah yang kompleks. Sepanjang

keberadaannya yang panjang, Bumi telah mengalami perubahan. Bahkan, Bumi

sedang berubah saat Anda membaca halaman ini dan akan terus berubah.

Terkadang perubahan terjadi dengan cepat dan keras, seperti saat terjadi longsor

atau letusan gunung berapi. Seringkali juga, perubahan berlangsung sangat

lambat sehingga tidak terperhatikan selama seumur hidup. Skala ukuran dan

ruang juga sangat bervariasi di antara fenomena yang dipelajari oleh geologis.

Kadang-kadang geologis harus fokus pada fenomena yang bersifat mikroskopis,

seperti struktur kristalin mineral, dan kadang-kadang mereka harus berurusan

dengan fitur yang berskala kontinental atau global, seperti pembentukan

rangkaian pegunungan utama. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

2.2. Siklus Batuan

Batu adalah material yang paling umum dan melimpah di Bumi. Bagi

seorang penjelajah yang penuh rasa ingin tahu, variasinya nampaknya hampir tak

ada habisnya. Ketika sebuah batu diperiksa dengan cermat, kita menemukan

bahwa biasanya terdiri dari kristal-kristal kecil yang disebut mineral. Mineral

adalah senyawa kimia (atau kadang-kadang unsur tunggal), masing-masing


dengan komposisi dan sifat fisiknya sendiri. Butiran atau kristal tersebut bisa

sangat kecil secara mikroskopis atau dengan mudah terlihat dengan mata

telanjang. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Mineral-mineral yang membentuk sebuah batu sangat memengaruhi sifat

dan penampilannya. Selain itu, tekstur sebuah batu - ukuran, bentuk, dan/atau

susunan mineral-mineral penyusunnya - juga memiliki efek signifikan pada

penampilannya. Komposisi mineral dan tekstur sebuah batu, pada gilirannya,

mencerminkan proses-proses geologis yang menciptakannya. Analisis semacam

ini sangat penting untuk pemahaman tentang planet kita. Pemahaman ini memiliki

banyak aplikasi praktis, seperti dalam pencarian sumber daya energi dan mineral

serta penyelesaian masalah lingkungan. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Siklus batuan memungkinkan kita untuk melihat banyak hubungan di antara

berbagai bagian sistem Bumi. Ini membantu kita memahami asal usul batuan

beku, sedimen, dan metamorf serta melihat bahwa setiap jenis batuan terhubung

satu sama lain melalui proses eksternal dan internal yang beroperasi pada dan di

dalam planet. Anggap siklus batuan sebagai gambaran sederhana tetapi berguna

tentang geologi fisik. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Magma adalah batuan yang meleleh yang terbentuk jauh di bawah

permukaan Bumi. Seiring waktu, magma mendingin dan mengeras. Proses ini

disebut kristalisasi dan dapat terjadi baik di bawah permukaan maupun, setelah

letusan gunung berapi, di permukaan. Dalam kedua situasi tersebut, batuan yang

dihasilkan disebut batuan beku. (Lutgens & Tarbuck, 2009).


Jika batuan beku terpapar di permukaan, mereka akan mengalami

pelapukan, di mana pengaruh harian dari atmosfer secara perlahan merusak dan

menguraikan batuan. Material yang dihasilkan seringkali akan tergerak ke bawah

lereng oleh gravitasi sebelum diambil dan diangkut oleh salah satu agen erosi,

seperti sungai, gletser, angin, atau ombak. Pada akhirnya, partikel dan zat yang

larut ini, disebut sedimen, akan terendap. Meskipun sebagian besar sedimen pada

akhirnya, Sedimen akhirnya berhenti di samudera, tetapi lokasi-lokasi lain tempat

pengendapan terjadi termasuk dataran banjir sungai, cekungan gurun, rawa-rawa,

dan bukit pasir. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Selanjutnya, sedimen mengalami litifikasi, yang berarti "konversi menjadi

batuan." Sedimen biasanya berubah menjadi batuan sedimen saat terkompaksi

oleh berat lapisan di atasnya atau saat direkatkan oleh air tanah yang meresap

mengisi pori-pori dengan materi mineral. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Jika batuan sedimen yang dihasilkan terkubur dalam Bumi dan terlibat

dalam dinamika pembentukan pegunungan atau disisipkan oleh massa magma,

batuan sedimen tersebut akan mengalami tekanan besar dan/atau panas yang

intens. Batuan sedimen bereaksi terhadap perubahan lingkungan dan berubah

menjadi jenis batuan ketiga, yaitu batuan metamorf. Ketika batuan metamorf

mengalami perubahan tekanan tambahan atau suhu yang lebih tinggi, ia meleleh,

menciptakan magma, yang akhirnya mengkristal menjadi batuan beku, memulai

siklus kembali. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Dari mana sumber energi yang menggerakkan siklus batuan Bumi berasal?

Proses-proses yang didorong oleh panas dari dalam Bumi bertanggung jawab atas
pembentukan batuan beku dan metamorf. Pelapukan dan erosi, proses eksternal

yang didorong oleh energi dari Matahari, menghasilkan sedimen dari mana batuan

sedimen terbentuk. (Lutgens & Tarbuck, 2009).

Gambar 2.1 Siklus Batuan (Sumber: Lutgens & Tarbuck, 2009)

Dalam daur tersebut, batuan beku terbentuk sebagai akibat dari pendinginan

dan pembekuan magma. Pendinginan magma yang berupa lelehan silikat, akan

diikuti oleh proses penghabluran yang dapat berlangsung dibawah atau diatas

permukaan Bumi melalui erupsi gunung berapi. Kelompok batuan beku tersebut,

apabila kemudian tersingkap dipermukaan, maka ia akan bersentuhan dengan

atmosfir dan hidrosfir, yang menyebabkan berlangsungnya proses pelapukan.

(Djahuri Noor, 2009).


Melalui proses ini batuan akan mengalami penghancuran. Selanjutnya,

batuan yang telah dihancurkan ini akan dipindahkan/digerakkan dari tempatnya

terkumpul oleh gayaberat, air yang mengalir diatas dan dibawah permukaan,

angin yang bertiup, gelombang dipantai dan gletser dipegunungan-pegunungan

yang tinggi. Media pengangkut tersebut juga dikenal sebagai alat pengikis, yang

dalam bekerjanya berupaya untuk meratakan permukaan Bumi. (Djahuri Noor,

2009).

Bahan-bahan yang diangkutnya baik itu berupa fragmen-fragmen atau

bahan yang larut, kemudian akan diendapkan ditempat-tempat tertentu sebagai

sedimen. Proses berikutnya adalah terjadinya ubahan dari sedimen yang bersifat

lepas, menjadi batuan yang keras, melalui pembebanan dan perekatan oleh

senyawa mineral dalam larutan, dan kemudian disebut batuan sedimen. Apabila

terhadap batuan sedimen ini terjadi peningkatan tekanan dan suhu sebagai akibat

dari penimbunan dan atau terlibat dalam proses pembentukan pegunungan, maka

batuan sedimen tersebut akan mengalami ubahan untuk menyesuaikan dengan

lingkungan yang baru, dan terbentuk batuan malihan atau batuan metamorfis.

(Djahuri Noor, 2009).

Apabila batuan metamorfis ini masih mengalami peningkatan tekanan dan

suhu, maka ia akan kembali leleh dan berubah menjadi magma. Panah-panah

dalam gambar, menunjukan bahwa jalannya siklus dapat terganggu dengan adanya

jalan-jalan pintas yang dapat ditempuh, seperti dari batuan beku menjadi batuan

metamorfis, atau batuan metamorfis menjadi sedimen tanpa melalui pembentukan

magma dan batuan beku. Batuan sedimen dilain pihak dapat kembali menjadi
sedimen akibat tersingkap ke permukaan dan mengalami proses pelapukan.

(Djahuri Noor, 2009).

2.3. Batuan Beku

Batuan beku atau igneus rock berasal dari Bahasa Latin ignis yaitu api.

Batuan beku adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan

mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan bumi

yang dikenal sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di atas permukaan bumi

yang dikenal sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). (Muhammad Zuhdi, 2019).

Di bawah kerak bumi, suhu terus naik, meskipun tidak secepat itu. Di

astenosfera (pada kedalaman sekitar 100 hingga 350 kilometer), suhunya sangat

tinggi sehingga batuan-batuan dapat meleleh dalam lingkungan tertentu untuk

membentuk magma. Ada tiga proses berbeda dalam melelehkan astenosfera, yaitu

peningkatan suhu, penurunan tekanan, dan penambahan air.

1. Peningkatan Suhu

Peningkatan suhu akan melelehkan batuan yang panas. Magma memiliki

suhu tinggi yang paling banyak berada pada kisaran 700°C sampai 1300°C. Suhu

magma sulit diukur, namun pengukuran di laboratorium dan pengamatan lapangan

yang terbatas menunjukkan bahwa suhu letusan berbagai magma adalah sebagai

berikut: Magma Basaltik suhunya 1000 sampai 1200°C, Magma Andesitik 800

sampai 1000°C, Magma Rhyolitik 650 sampai 800°C

2. Penurunan Tekanan

Mineral terdiri dari susunan teratur atom yang saling terikat. Ketika sebuah

mineral meleleh, atom-atom tersebut menjadi tidak teratur dan bergerak bebas,
menempati lebih banyak ruang daripada saat mereka berada dalam bentuk mineral

padat. Oleh karena itu, magma menempati sekitar 10 persen lebih banyak volume

daripada batuan yang meleleh untuk membentuknya. Sebagai analogi, bayangkan

kerumunan orang duduk di dalam auditorium mendengarkan konser. Pada

awalnya, mereka duduk dalam barisan yang padat dan teratur. Tetapi jika semua

orang berdiri untuk menari, mereka membutuhkan lebih banyak ruang karena ada

celah yang terbuka di antara penari saat mereka bergerak.

Jika sebuah batuan dipanaskan hingga titik leburnya di permukaan Bumi, ia

akan dengan mudah meleleh karena tidak ada tekanan yang cukup untuk

mencegahnya mengembang. Suhu di astenosfera sudah jauh lebih dari cukup

untuk melelehkan batuan, tetapi di sana, tekanan tinggi mencegah batuan tersebut

mengembang, dan itu tidak dapat meleleh. Namun, jika tekanan tersebut

berkurang, volume besar astenosfera dapat meleleh. Peleburan yang disebabkan

oleh penurunan tekanan disebut sebagai peleburan akibat pelepasan tekanan.

3. Penambahan air.

Batu yang basah pada umumnya akan meleleh pada suhu yang lebih rendah

daripada batu yang kering yang sebaliknya identik. Oleh karena itu, penambahan

air ke batuan yang mendekati suhu leburnya dapat melelehkan batuan tersebut.

Beberapa proses tektonik tertentu menambahkan air ke dalam batuan panas

astenosfera untuk membentuk magma. (Thompson & Turk, 1998).

2.4. Lingkungan Pembentukan Magma

Magma terbentuk dalam tiga lingkungan tektonik, yaitu sebagai berikut :

1. Produksi Magma di Pusat Penyebaran


Ketika lempeng litosfer terpisah di pusat penyebaran, astenosfera panas dan

plastis mengalir ke atas untuk mengisi celah. Saat astenosfera naik, tekanan turun

dan peleburan akibat pelepasan tekanan membentuk magma basaltik (istilah

basaltik dan granitik merujuk pada magma dengan komposisi kimia basalt dan

granit, secara berturut-turut). Karena magma memiliki kerapatan yang lebih

rendah daripada batuan di sekitarnya, magma naik ke permukaan. Sebagian besar

pusat-pusat penyebaran di dunia terletak di dasar laut, di mana mereka

membentuk punggung tengah samudra. Magma yang terbentuk akibat peleburan

akibat pelepasan tekanan membentuk kerak samudra baru di punggung tengah

tersebut. Kemudian, kerak samudra tersebut menyebar ke luar, berada di atas

lempeng tektonik yang terpisah. Hampir seluruh kerak samudra di Bumi terbentuk

dengan cara ini di punggung tengah samudra. Beberapa pusat penyebaran, seperti

East African rift, terjadi di daratan, dan di sini juga, magma basaltik meletus ke

permukaan Bumi.

2. Produksi Magma di Titik Panas

Mantel plume adalah kolom naik batuan mantel panas dan plastis yang

berasal dari dalam mantel. Mantel plume naik karena suhunya lebih tinggi

daripada mantel sekitarnya dan, akibatnya, memiliki daya apung. Ketika mantel

plume naik, peleburan akibat pelepasan tekanan membentuk magma yang meletus

ke permukaan Bumi. Titik panas adalah tempat aktif secara vulkanik di

permukaan Bumi yang berada tepat di atas mantel plume. Karena mantel plume

terbentuk di bawah astenosfera, titik panas dapat terjadi di dalam lempeng

tektonik. Sebagai contoh, titik panas Yellowstone, yang bertanggung jawab atas
gunung berapi dan mata air panas di Taman Nasional Yellowstone, berada jauh

dari batas lempeng terdekat. Jika mantel plume naik di bawah laut, letusan gunung

berapi akan membentuk gunung berapi bawah laut dan pulau-pulau vulkanik.

3. Produksi Magma di Zona Subduksi

Di zona subduksi, sebuah lempeng litosfer mengalami penurunan ratusan

kilometer ke dalam mantel. Sebuah lempeng yang tenggelam dilapisi oleh kerak

samudra, yang pada gilirannya, jenuh dengan air laut. Saat batuan basah ini

tenggelam ke dalam mantel, peningkatan suhu mengeluarkan air, yang naik ke

astenosfer panas tepat di atas lempeng yang tenggelam tersebut. Saat lempeng

yang tenggelam turun, ia menarik batuan astenosfer plastis bersamanya. Batuan

dari lapisan lebih dalam dalam astenosfer kemudian mengalir ke atas untuk

menggantikan batuan yang tenggelam. Tekanan berkurang saat batuan panas ini

naik. Terakhir, gesekan menghasilkan panas di zona subduksi saat satu lempeng

bergeser melewati lempeng yang berlawanan. Penambahan air, pelepasan tekanan,

dan pemanasan gesekan digabungkan untuk melelehkan sebagian astenosfer, pada

kedalaman sekitar 100 kilometer, di mana lempeng yang tenggelam masuk ke

dalam astenosfera. Penambahan air mungkin faktor paling penting dalam produksi

magma di zona subduksi, dan pemanasan gesekan mungkin faktor yang paling

tidak penting. Akibat dari proses-proses ini, batuan beku adalah fitur umum di

zona subduksi. Gunung berapi di Pacific Northwest, tebing granit di Yosemite,

dan Pegunungan Andes semuanya adalah contoh batuan beku yang terbentuk di

zona subduksi. Ring of fire adalah zona aktivitas vulkanik yang terkonsentrasi

yang mengikuti jejak zona subduksi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik.
Sekitar 75 persen gunung berapi aktif di Bumi (tidak termasuk gunung berapi

bawah laut di punggung tengah samudra) berada di dalam ring of fire. (Thompson

& Turk, 1998).

2.5. Klasifikasi Batuan Beku

Batuan beku diklasifikasikan berdasarkan tempat terbentuknya, warna,

kimia, tekstur, dan mineraloginya.

1. Berdasarkan tempat terbentuknya batuan beku dibedakan atas:

a. Batuan beku Plutonik, yaitu batuan beku yang terbentuk jauh di perut

bumi.

b. Batuan beku Hypabisal, yaitu batuan beku yang terbentu tidak jauh dari

permukaan bumi.

c. Batuan beku vulkanik, yaitu batuan beku yang terbentuk di permukaan

bumi Berdasarkan warnanya, mineral pembentuk batuan beku ada dua

yaitu mineral mafic (gelap) seperti olivin, piroksen, amphibol dan biotit,

dan mineral felsic (terang) seperti Feldspar, muskovit, kuarsa dan

feldspatoid.

2. Klasifikasi batuan beku berdasarkan warnanya yaitu:

a. Leucocratic rock, kandungan mineral mafic < 30%

b. Mesocratic rock, kandungan mineral mafic 30% - 60%

c. Melanocratic rock, kandungan mineral mafic 60% - 90%

d. Hypermalanic rock, kandungan mineral mafic > 90%

3. Berdasarkan kandungan kimianya yaitu kandungan SiO2-nya batuan beku

diklasifikasikan menjadi empat yaitu:


a. Batuan beku asam (acid), kandungan SiO2 > 65%, contohnya Granit,

Ryolit.

b. Batuan beku menengah (intermediat), kandungan SiO2 65% - 52%.

Contohnya Diorit, Andesit

c. Batuan beku basa (basic), kandungan SiO2 52% - 45%, contohnya

Gabbro, Basalt

d. Batuan beku ultra basa (ultra basic), kandungan SiO2 < 30% (Djahuri
Noor, 2012).
2.6. Struktur Batuan Beku

Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku dibedakan menjadi batuan

beku extrusive dan intrusive. Hal ini pada nantinya akan menyebabkan perbedaan

pada tekstur masing masing batuan tersebut. Kenampakan dari batuan beku yang

tersingkap merupakan hal pertama yang harus kita perhatikan. Kenampakan inilah

yang disebut sebagai struktur batuan beku (Djahuri Noor, 2012).

1. Batuan beku ekstrusif

Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya

berlangsung dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini yaitu lava yang

memiliki berbagia struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi

pada saat pembekuan lava tersebut. Struktur ini diantaranya:

a. Masif, yaitu struktur yang memperlihatkan suatu masa batuan yang terlihat

seragam.

b. Sheeting joint, yaitu struktur batuan beku yang terlihat sebagai lapisan

c. Columnar joint, yaitu struktur yang memperlihatkan batuan terpisah poligonal

seperti batang pensil.


d. Pillow lava, yaitu struktur yang menyerupai bantal yang bergumpal-gumpal.

Hal ini diakibatkan proses pembekuan terjadi pada lingkungan air.

e. Vesikular, yaitu struktur yang memperlihatkan lubang-lubang pada batuan

beku. Lubang ini terbentuk akibat pelepasan gas pada saat pembekuan.

f. Amigdaloidal, yaitu struktur vesikular yang kemudian terisi oleh mineral lain

seperti kalsit, kuarsa atau zeolit

g. Struktur aliran, yaitu struktur yang memperlihatkan adanya kesejajaran

mineral pada arah tertentu akibat aliran.

2. Batuan beku intrusif

Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya

berlangsung dibawah permukaan bumi. berdasarkan kedudukannya terhadap

perlapisan batuan yang diterobosnya struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi

menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan. (Djahuri Noor, 2012).

Gambar 2.2 Bagan struktur batuan beku intrusif (Sumber: Djahuri Noor, 2012)

1. Konkordan

Tubuh batuan beku intrusif yang sejajar dengan perlapisan disekitarnya, jenis

jenis dari tubuh batuan ini yaitu:


a. Sill, tubuh batuan yang berupa lembaran dan sejajar dengan perlapisan batuan

disekitarnya.

b. Laccolith, tubuh batuan beku yang berbentuk kubah (dome), dimana perlapisan

batuan yang asalnya datar menjadi melengkung akibat penerobosan tubuh

batuan ini, sedangkan bagian dasarnya tetap datar. Diameter laccolih berkisar

dari 2 sampai 4 mil dengan kedalaman ribuan meter.

c. Lopolith, bentuk tubuh batuan yang merupakan kebalikan dari laccolith, yaitu

bentuk tubuh batuan yang cembung ke bawah. Lopolith memiliki diameter yang

lebih besar dari laccolith, yaitu puluhan sampai ratusan kilometer dengan

kedalaman ribuan meter.

d. Paccolith, tubuh batuan beku yang menempati sinklin atau antiklin yang telah

terbentuk sebelumnya. Ketebalan paccolith berkisar antara ratusan sampai

ribuan kilometer. (Djahuri Noor, 2012).

2. Diskordan

Tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan disekitarnya.

Jenis-jenis tubuh batuan ini yaitu:

a. Dyke, yaitu tubuh batuan yang memotong perlapisan disekitarnya dan memiliki

bentuk tabular atau memanjang. Ketebalannya dari beberapa sentimeter sampai

puluhan kilometer dengan panjang ratusan meter.

b. Batolith, yaitu tubuh batuan yang memiliki ukuran yang sangat besar yaitu >

100 km2 dan membeku pada kedalaman yang besar.

c. Stock, yaitu tubuh batuan yang mirip dengan Batolith tetapi ukurannya lebih

kecil. (Djahuri Noor, 2012).

2.7. Tekstur Batuan Beku


Magma merupakan larutan yang kompleks. Karena terjadi penurunan temperatur,

perubahan tekanan dan perubahan dalam komposisi, larutan magma ini mengalami

kristalisasi. Perbedaan kombinasi hal-hal tersebut pada saat pembekuan magma

mengakibatkan terbentuknya batuan yang memilki tekstur yang berbeda. Ketika batuan

beku membeku pada keadaan temperatur dan tekanan yang tinggi di bawah permukaan

dengan waktu pembekuan cukup lama maka mineral-mineral penyusunya memiliki waktu

untuk membentuk sistem kristal tertentu dengan ukuran mineral yang relatif besar.

Sedangkan pada kondisi pembekuan dengan temperatur dan tekanan permukaan yang

rendah, mineral-mineral penyusun batuan beku tidak sempat membentuk sistem kristal

tertentu, sehingga terbentuklah gelas (obsidian) yang tidak memiliki sistem kristal, dan

mineral yang terbentuk biasanya berukuran relatif kecil. Berdasarkan hal di atas tekstur

batuan beku dapat dibedakan berdasarkan:

1. Tingkat kristalisasi

a. Holokristalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya disusun oleh kristal

b. Hipokristalin, yaitu batuan beku yang tersusun oleh kristal dan gelas

c. Holohyalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh gelas

2. Ukuran butir

a. Phaneritic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhmya tersusun oleh mineral-

mineral yang berukuran kasar.

b. Aphanitic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh mineral

berukuran halus.

3. Bentuk kristal Ketika pembekuan magma, mineral-mineral yang terbentuk pertama

kali biasanya berbentuk sempurna sedangkan yang terbentuk terakhir biasanya

mengisi ruang yang ada sehingga bentuknya tidak sempurna. Bentuk mineral yang

terlihat melalui pengamatan mikroskop yaitu:


a. Euhedral, yaitu bentuk kristal yang sempurna

b. Subhedral, yaitu bentuk kristal yang kurang sempurna

c. Anhedral, yaitu bentuk kristal yang tidak sempurna.

4. Berdasarkan kombinasi bentuk kristalnya

a. Unidiomorf (Automorf), yaitu sebagian besar kristalnya dibatasi oleh bidang

kristal atau bentuk kristal euhedral (sempurna)

b. Hypidiomorf (Hypautomorf), yaitu sebagian besar kristalnya berbentuk

euhedral dan subhedral.

c. Allotriomorf (Xenomorf), sebagian besar penyusunnya merupakan kristal yang

berbentuk anhedral.

5. Berdasarkan keseragaman antar butirnya

a. Equigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya hampir sama

b. Inequigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya tidak sama (Djahuri

Noor, 2012).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan pada praktikum ini merupakan

penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif dapat dijelaskan sebagai metode

penelitian yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara medeskripsikan

atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa

bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Dalam praktikum ini, praktikan mendeskripsikan dan menggambarkan data-data

yang ada dengan cara pengamatan langsung terhadap sampel batuan.

3.2. Tempat dan Waktu

Adapun tempat pelaksanaan praktikum adalah di Laboratorium

Sedimentologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Praktikum dilaksanakan

pada hari selasa, tanggal 19 september 2023.

3.3. Tahapan Penelitian

Adapun praktikum kali ini terdiri atas 4 tahapan, yaitu :

3.3.1. Pendahuluan

Pada tahap ini praktikan wajib mengikuti asistensi acara. Pada saat

asistensi acara, asisten lab akan menyampaikan semua hal yang dibutuhkan

dan yang akan dilakukan sebelum praktikum, seperti mengerjakan tugas

pendahuluan, melakukan respon dan menyiapkan alat dan bahan.

Pada tahap ini juga praktikan dianjurkan melakukan studi literatur untuk

memperdalam pemahaman tentang praktikum batuan beku.


3.3.2. Praktikum

Pada tahap ini, praktikan diberikan masing masing 3 sampel, tiap kelompok.

Dari sampel tersebut, praktikan akan diminta mendeskripsikan batuan dalam

lembar kerja praktikum.

Pada tahap ini juga, praktikum akan diminta menggambarkan sketsa dari

sampel yang telah dideskripsikan.

3.3.3. Analisis Data

Pada tahap ini, praktikan akan melakukan minimal 3 kali asistensi untuk

melengkapi deskripsi yang kurang dari lembar kerja praktikum dan mulai

membuat laporan.

3.3.4. Laporan

Pada tahap ini praktikan akan membuat laporan dan memperbaikinya, lalu

mengasistensikannya kepada asisten. Praktikan wajib melakukan asistensi laporan

sampai mendapatkan ACC dari asisten.

3.3.5. Selesai

Pada tahap ini, praktikan yang telah menyelesaikan laporan dan

mendapatkan ACC dari asisten. Selanjutnya, praktikan akan mengumpulkan

laporan tersebut.
Studi
Pendahuluan
literatur

Deskripsi
batuan
Praktikum

Gambar
sketsa

Analisis
data

Penyusunan
laporan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Sampel 1 (Granite Pegmatite)
Pada sampel dengan nomor peraga 10 ini, telah diidentifikasi nama

batuannya, yaitu Granite Pegmatite melalui klasifikasi Fenton 1940. Sampel ini

memiliki warna segar yaitu putih kemerahan dan telah berubah menjadi warna

lapuk, yaitu abu-abu kehitaman. Adapun tekstur dari sampel ini adalah

Holocrystalin dan faneritic, dengan bentuk Euhedral hingga Subhedral dan

memiliki relasi Equigranular. Sampel ini memiliki bentuk struktur Masive dan

mengandung sekitar 60% mineral Orthoclase yang memiliki komposisi kimia

KAlSi3O8, 20% mineral Quartz yang memiliki komposisi kimia SiO2, 20%

mineral Biotite yang memiliki komposisi kimia K(Mg, Fe)3(Al, Fe)Si3O10(OH, F)2.

Gambar 4.1 Sampel Granite Pegmatite

4.1.2. Sampel 2 (Peridotit)


Pada sampel dengan nomor peraga 8 ini, telah diidentifikasi nama

batuannya, yaitu Peridotit melalui klasifikasi Fenton 1940. Sampel ini memiliki

warna segar yaitu hitam kehijauan dan telah berubah menjadi warna lapuk, yaitu

coklat. Adapun tekstur dari sampel ini adalah Holocrystalin dan faneritic, dengan
bentuk Subhedral hingga Euhedral dan memiliki relasi Equigranular. Sampel ini

memiliki bentuk struktur Masive dan mengandung sekitar 60% mineral Pyroxene

yang memiliki komposisi kimia (Ca, Na) (Mg, Fe, Al) (Si, Al) 2O6. Dan 40%

mineral Olivine yang memiliki komposisi kimia (Mg, Fe) 2SiO4.

Gambar 4.2 Sampel Peridotit

4.1.3. Sampel 3 (Pumice)


Pada sampel dengan nomor peraga 6 ini, telah diidentifikasi nama

batuannya, yaitu Pumice melalui klasifikasi Fenton 1940. Sampel ini memiliki

warna segar yaitu abu-abu dan telah berubah menjadi warna lapuk, yaitu coklat.

Adapun tekstur dari sampel ini adalah Holocrystalin dan afanitic, dengan bentuk

Anehedral dan memiliki relasi Equigranular. Sampel ini memiliki bentuk struktur

Vesicular dan mengandung sekitar 10% mineral Plagioclase yang memiliki

komposisi kimia NaAlSi3O8, sekitar 10% mineral Feldspar yang memiliki

komposisi kimia KAlSi3O8, Dan 80% Massa dasar.

Gambar 4.3 Sampel Pumice


4.2. Pembahasan
4.2.1. Ganesa Pembentukan Granite Pegmatite

Granite pegmatite terbentuk melalui proses pendinginan magma granit

yang kaya mineral dan gas di dalam litosfer bumi. Selama pendinginan lambat,

kristal-kristal besar terbentuk dalam kantung gas di dalam magma, membentuk

struktur pegmatit. Kekayaan mineral dan ruang yang luas dalam pegmatit

memungkinkan kristalisasi mineral-mineral seperti kuarsa, feldspar, dan mika

dalam ukuran yang besar dan berkualitas tinggi. Faktor seperti suhu, tekanan, dan

komposisi kimia magma mempengaruhi pembentukan pegmatit, menciptakan

lingkungan ideal untuk kristalisasi mineral yang langka dan berharga.

4.2.2. Ganesa Pembentukan Peridotit

Peridotit terbentuk melalui proses diferensiasi magma ultramafik di dalam

mantel Bumi. Selain itu, pembentukan peridotit juga terjadi melalui

metamorfisme eklogit di bawah tekanan dan suhu tinggi serta melalui

serpentinisasi, yaitu reaksi mineral-mineral dengan air yang menghasilkan

serpentin. Proses ini sering terjadi di zona pelapukan, daerah subduksi, dan dalam

kompleks ophiolite. Pembentukan peridotit melibatkan kondisi geologis khusus,

termasuk tekanan, suhu, dan komposisi kimia yang mendukung kristalisasi olivin,

piroksen, dan serpentin dalam batuan ini.


4.2.3. Ganesa Pembentukan Pumice

Batu apung terbentuk ketika batu yang sangat panas dan bertekanan tinggi

dilontarkan dengan cara energetik dari gunung api. Konfigurasi berbusa yang

tidak biasa dari batu apung terjadi karena pendinginan yang cepat secara simultan

dan depressurisasi yang cepat. Depressurization menciptakan gelembung dengan

menurunkan kelarutan gas (termasuk air dan CO2) yang larut dalam lava,

menyebabkan gas cepat larut (seperti gelembung CO2 yang muncul ketika

minuman berkarbonasi dibuka). Pendinginan simultan dan depressurization

membekukan gelembung dalam matriks.

Batu apung terdiri dari partikel gelas piroklastik yang sangat

mikrovesikular dengan dinding gelembung yang sangat tipis dan tembus cahaya

dari batuan beku ekstrusif. Batu apung adalah produk umum dari letusan eksplosif

(pembentukan plinian dan ignimbrit) dan umumnya membentuk zona di bagian

atas lava silika. Batu apung memiliki porositas 64-85% volume dan

mengapung di atas air.


BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah

jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras,

dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai

batuan intrusif (plutonik) maupun di atas permukaan sebagai

batuan ekstrusif (vulkanik). Magma ini dapat berasal dari batuan setengah

cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi.

Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut:

kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi.

2. Melalui praktikum ini, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam mendeskripsikan batuan beku, seperti jenis batuan, warna,

tekstur, bentuk, struktur, dan kandungan mineral beserta komposisi kimianya.

Adapun dalam menentukan nama mineral, dapat digunakan dua jenis

pengklasifikasian, yaitu klasifikasi Fenton 1940 dan klasifikasi Travis 1955.

3. Magma yang memiliki suhu antara 1200°C-1600°C akan mengalami

kristalisasi apabila mengalami penurunan suhu, penurunan suhu ini

diakibatkan oleh adanya aktvitas magma yang mengalami intrusi ke

permukaan bumi melalui bidang-bidang lemah, suhu di dalam perut bumi


lebih tinggi daripada dipermukaan sehingga mengalami pembekuan.

pembekuan magma ini akan membentuk mineral dan kristal tertentu, dan

mineral yang mendominasi adalah mineral silikat. intrusi magma yang terjadi

pada lempeng samudera akanbertemu dengan lempeng benua sehingga

membentuk zona penunjaman dan gerak konvergen.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan melalui laporan ini mengenai

pelaksanaan praktikum adalah sebagai berikut:

1. Untuk asisten laboratorium diharapkan dapat lebih memperhatikan para

praktikan yang berpura-pura paham, namun sebenarnya tidak paham.

2. Untuk laboratorium sedimentologi diharapkan dapat menyediakan kursi yang

sesuai jumlah praktikan atau tidak perlu menggunakan kursi sama sekali.

3. Untuk praktikan diharapkan lebih responsif dan dapat menghargai ilmu yang

telah diberikan oleh asisten


DAFTAR PUSTAKA

Noor, D. (2009) Pengantar Geologi Edisi Pertama. Universitas Pakuan. Bogor

Noor, D. (2012) Pengantar Geologi Edisi Kedua. Universitas Pakuan. Bogor

Thompson & Turk. (1997) Introduction to Physical Geology. University of

Michigan. Ann Arbor

Lutgens, F. & Tarbuck, E. (2009) Essentials of Geology. United States of America

Zahudi, M. (2019) Buku Ajar Pengantar Geologi. Lombok

Anda mungkin juga menyukai