Anda di halaman 1dari 3

Kasus Rempang

Dalam kasus Rempang, terdapat konflik agraria yang terjadi antara


masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha terkait pembangunan
kawasan industri Pulau Rempang. Konflik ini terjadi karena tidak adanya
perlindungan hukum atas tanah yang kemudian dicap sebagai warga liar karena
tidak memiliki sertifikat tanah. Dalam kasus Rempang, tidak ada kejelasan perihal
ganti rugi, hunian baru dan tempat relokasi, karena warga Rempang dianggap
sebagai warga liar karena tidak memiliki sertifikat tanah. Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Dr. Ibnu Sina
Chandranegara, MH., menjelaskan konteks permasalahan yang terjadi dalam
kasus Rempang. Ia menyoroti perlakuan Pemerintah yang melabeli warga
Rempang sebagai warga liar karena tidak mempunyai sertifikat. Pakar hukum
pidana Universitas Pelita Harapan (UPH) Agus Surono menilai tak ada unsur
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat dalam konflik agraria di Pulau
Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Subyek hukum dalam kasus Rempang adalah masyarakat adat Rempang
yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan Suku Jawa. Masyarakat adat
Rempang dianggap sebagai subyek hukum karena mereka adalah pemilik tanah
yang telah dihuni secara turun temurun dan memiliki hak atas tanah tersebut.
Sedangkan obyek hukum dalam kasus Rempang adalah tanah di Pulau Rempang
yang menjadi subyek perdebatan hukum yang rumit. Obyek hukum ini menjadi
objek konflik agraria antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha
terkait pembangunan kawasan industri Pulau Rempang.
Dalam kasus Rempang, terdapat beberapa pendekatan teori hukum yang
dapat digunakan untuk menganalisis konflik agraria yang terjadi. Berikut adalah
beberapa pendekatan teori hukum yang relevan dalam kasus Rempang:
1. Perspektif Keadilan: Teori keadilan yang relevan dalam kasus ini adalah
teori utilitarianisme. Teori ini berpendapat bahwa suatu tindakan dianggap adil
jika memberikan kebahagiaan dan keuntungan yang maksimal bagi sebanyak
mungkin orang.
2. Filsafat Hukum: Filsafat hukum menjadi salah satu cabang ilmu yang
berperan penting dalam mengkaji aspek-aspek hukum secara lebih mendalam.
Dalam kasus Rempang, dapat digunakan pendekatan filsafat hukum untuk
menganalisis aspek-aspek hukum yang relevan.
3. Hukum Responsif: Pendekatan hukum responsif merupakan pendekatan
yang menekankan pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya. Tipe hukum responsif mempunyai ciri
yang menonjol, yakni pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
dan tujuan.
Dalam kasus Rempang, pendekatan teori hukum yang paling relevan
adalah pendekatan hukum responsif. Hal ini dikarenakan pendekatan ini
menekankan pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya. Selain itu, tipe hukum responsif mempunyai ciri
yang menonjol, yakni pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
dan tujuan, yang dapat membantu dalam menyelesaikan konflik agraria yang
terjadi di Rempang.
Dasar atau sumber hukum yang digunakan dalam kasus Rempang adalah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini menjadi dasar
hukum pengadaan tanah untuk pembangunan Rempang Eco City. Selain itu,
dalam kasus ini juga digunakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar
1945, seperti Pasal 24 ayat 1, Pasal 28A, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28E ayat 3, Pasal
28H ayat 4, dan Pasal 28J ayat 2. Selain itu, dalam menyelesaikan konflik agraria
yang terjadi di Rempang, dapat digunakan pendekatan hukum responsif yang
menekankan pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.
Kasus Sianida Jesica

Jessica Kumala Wongso dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang


pembunuhan berencana oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang di PN Jakarta
Pusat. Pasal tersebut berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun" Jessica divonis hukuman 20 tahun penjara
karena dinilai terbukti membunuh Mirna dengan memasukkan racun sianida ke
dalam es kopi yang dia minum. Jessica juga telah melakukan beberapa upaya
hukum, termasuk peninjauan kembali (PK), namun semuanya ditolak.
Subyek hukum dalam kasus pembunuhan sianida Jessica adalah Jessica
Kumala Wongso, sedangkan obyek hukumnya adalah Wayan Mirna Salihin,
korban yang meninggal setelah meminum kopi yang dicampur dengan sianida
yang diberikan oleh Jessica.
Dalam kasus pembunuhan sianida Jessica Kumala Wongso, penelitian
yang dilakukan menggunakan pendekatan hukum normatif. Pendekatan ini
memfokuskan pada aturan hukum yang berlaku dan mempertimbangkan aspek
subtantif dan prosedural dalam kasus tersebut. Selain itu, dalam kasus ini juga
digunakan alat bukti berupa rekaman CCTV sebagai petunjuk dalam tindak
pidana pembunuhan.
Dasar atau sumber hukum yang digunakan dalam kasus pembunuhan
sianida Jessica Kumala Wongso adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Selain itu, dalam kasus ini
juga digunakan alat bukti berupa rekaman CCTV sebagai petunjuk dalam tindak
pidana pembunuhan. Putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman 20 tahun
penjara kepada Jessica Kumala Wongso juga menjadi dasar hukum dalam kasus
ini.

Anda mungkin juga menyukai