Anda di halaman 1dari 1

Tidak Satu Pintu Cahaya

Karya: Mahadewi

Aku, Made, adalah seorang pecinta politik yang telah menjalani hidup dengan santai, namun tak
banyak yang tahu tentang bagian sulit dalam hidupku. Aku memiliki obsesi yang begitu besar dalam
setiap perdebatan politik di dunia ini. Namun, itu semua telah dirampas dariku. Aku tak boleh lagi
memiliki perasaan tentang politik, bahkan menjadikannya sebagai cita-cita.

Tidak bisa dipungkiri, hidupku berubah drastis saat perasaan itu diubah. Pada awalnya, aku pikir
itu takkan jadi masalah. Tapi ketika perasaan akan cita-cita itu hilang, aku harus mencari cita-cita
yang lain. Penglihatanku akan masa depan semakin kabur dan akhirnya hilang sepenuhnya. Aku
merasakan kehilangan yang sangat mendalam karena politik adalah dunia dan bahasa utamaku,
sekarang aku merasa terkurung dalam belenggu.

Aku tidak ingin menyerah begitu saja pada takdir. Aku belajar mencari tujuan, cita-cita, dan jati
diri yang lain, yang mungkin saja tidak pernah terpikirkan oleh diriku. Aku memutuskan untuk
kembali melihat dunia dengan sudut pandang yang baru, walaupun belum tahu arah tujuan hidupku.

Suatu hari, aku pergi ke perpustakaan. Ku lihat banyak sekali jendela kehidupan. Aku terkagum
melihat begitu banyaknya hal di dunia ini yang terangkum menjadi buku-buku yang tersusun. Entah
mengapa, aku rasa aku mulai memiliki hobi baru, yaitu merangkum bagian dalam hidupku menjadi
selembar kertas harmoni yang berlagu.

Seiring waktu, koleksi tulisan-tulisanku menjadikan dunia ku tak lagi sama seperti yang dulu.
Aku rasa ini bukanlah hal yang buruk, karena aku bisa menggambarkan matahari terbenam dalam
warna-warni tinta dan seakan menjadikannya nyata dalam seucap kata.

Ketika pertama kali aku memamerkan karyaku berupa puisi, ada ketidakpercayaan dan
pertanyaan dalam diriku. "Bagaimana mungkin seseorang yang tidak ada bakatnya di bidang ini bisa
menghasilkan karya yang pantas untuk dipuji? Apalagi aku tidak ada latihan di pentas dan langsung
tampil begini? Aku juga dianggap sepele? Siapa lagi yang bisa menolongku kalau bukan diri sendiri?"
Ku berani diriku dan melakukan sebaik yang ku bisa saat itu. Aku kira penampilan puisiku takkan
bagus, ternyata menerima banyak pujian dari yang tak aku tahu.

Ketika ingin pulang, ada yang memanggilku. Mereka adalah mahasiswa jurusan sastra dan satu
orang lagi fotografer yang telah banyak melihat pertunjukan puisi. Mereka mengira aku mengambil
puisi orang lain, mereka juga banyak bertanya. "Aku latihan puisi dengan siapa? Apakah orang tuaku
memiliki garis keturunan sastrawan? Atau aku bergabung di suatu komunitas?" Mereka juga
menawarkanku untuk bergabung ke suatu komunitas sastra puisi yang dimilikinya. Mereka juga
bilang pembuatan puisiku telah setingkat dengan mahasiswa. Banyak hal saat itu yang tidak bisa
aku percayai, rasanya tidak mungkin hal itu nyata. Senang rasanya bisa mengenal mereka.

Kini, meskipun kegelapan masih mengelilingiku, aku merasa telah menemukan cahaya baru,
yang mungkin saja dari cahaya ini aku menemukan pintu cahaya yang aku tunggu agar masa
depanku tidak terkurung dalam belenggu.

Anda mungkin juga menyukai