Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN MAKALAH

BANTEN

NAMA : DAVA ALFA RIZI

KELAS : XI 2

PROGRAM IPA

(SEKOLAH MENENGAH ATAS SMAN 1 PESISIR TENGAH)

KRUI

2023
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah

ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun

pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para

pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar

menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak

kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang

membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


BAB I
1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku
dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai
dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat,
tata nilai dan budaya tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti:
hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi
adat yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapa tmembentuk
karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian
penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Disamping itu,
keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan
budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi
budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini
perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung
banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya
dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh. Beberapa nilai dan bentuk
kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian
bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses atau kaidah perencanaan dan
pembangunan wilayah atau kawasan, seperti yang terdapat pada masyarakat Bali, Minang,
Aceh, Batak, Jawa, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, dan lain-lain yang memiliki Jberbagai kaidah
perencanaan dan pengembangan kawasan. Kaidah-kaidah tersebut ada yang bersifat anjuran,
larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. Selain aspek
fisik dan visual, keanekaragaman budaya, sosial kemasyarakatan yang terkandung di dalam
kearifan lokal umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kearifan Lokal


Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan
Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.
Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Local Genius sebagai Local Wisdom

Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah
yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara
panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati
Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).
Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar


2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan
berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai
kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi
atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal atau sering disebut local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek
atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi
tersebut terjadi.

Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan
berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).

B. Sejarah Banten

Suku Banten adalah orang Sunda yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan
Banten di luar Parahyangan, Cirebon, dan Jakarta. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, suku Banten populasinya 2,1% dari penduduk
Indonesia, atau sekitar 4.657.000 jiwa. Orang Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa
Banten adalah salah satu dialek bahasa Sunda yang lebih dekat kepada bahasa Sunda kasar.
Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk
menamai sebuah sungai dan daerah sekelilingnya, yaitu Cibanten atau sungai Banten Asal
usul suku Banten erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kesultanan Banten, berbeda
dengan Suku Cirebon yang bukan merupakan bagian dari Suku Sunda maupun Suku Jawa
(melainkan hasil percampuran dari dua budaya besar, yaitu Sunda dan Jawa), Suku Banten
bersama Urang Kanekes (Baduy) pada
dasarnya adalah sub-etnik dari Suku Sunda yang mendiami bekas wilayah Kesultanan
Banten (wilayah Karesidenan Banten setelah Kesultanan Banten dihapuskan dan dianeksasi
oleh pemerintah Hindia Belanda). Hanya saja setelah dibentuknya Provinsi Banten,
kemudian sebagian orang menerjemahkan Bantenese sebagai kesatuan etnik dengan budaya
dan bahasa tersendiri, Budaya dan Bahasa Banten.

C. Bahasa

Tanah Banten kaya akan adat dan budaya, salah satu yang dominan adalah adat dan
budaya suku Banten yang menjadi mayoritas di Provinsi Banten. Orang-orang Banten
menggunakan Bahasa Banten yang masih dikategorikan sebagai Bahasa Sunda bagian barat,
yang pada tingkatan bahasa Sunda modern dikelompokkan sebagai bahasa kasar. Perbedaan
tata bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak
pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan halus
dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram. Bahasa ini biasa dituturkan terutama di
wilayah Banten bagian selatan, seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

D. Budaya dan Kesenian

Kekhasan budaya masyarakat Banten antara lain seni bela diri Pencak Silat, Debus,
Rudad, Umbruk, Tari Saman (Dzikir Saman), Tari Topeng[9], Dog-dog, Angklung Gubrag,
Rampak Bedug, Tari Walijamaliha, Tari Silat Pandeglang, Palingtung, Lojor, Beluk, dan
lainnya. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur, antara lain Masjid Agung
Banten, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.seperti
Pencak silat dan debus.
E. Kuliner

Kuliner khas Banten diantaranya adalah Sate Bandeng, Rabeg Banten, Pasung Beureum,
Ketan Bintul, Nasi Belut, Kue Cucur, Laksa, Angeun Lada, Balok Menes, Sate Bebek
Cibeber, Emping Menes dan lainnya. Kue cucur Sate bandeng, laksa, kue apem

F. Agama

Secara umum, mereka yang mengaku sebagai etnis Banten merupakan pemeluk agama
Islam yang tidak bisa lepas dari budaya keislaman yang sangat kental, hal tersebut erat
kaitannya dengan sejarah Banten sebagai salah satu Kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa.
Selain itu kesenian-kesenian di Wilayah Banten juga menggambarkan aktivitas keislaman
masyarakatnya, seperti kesenian Rampak Bedug dari Pandeglang. Meskipun begitu, provinsi
Banten merupakan masyarakat multietnis yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama,
pemeluk agama lain dari suku-suku pendatang lainnya dapat hidup berdampingan secara
damai di wilayah ini, seperti masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang, dan Masyarakat
adat Baduy (Sunda Wiwitan) di wilayah Kanekes, Leuwidamar, Lebak.

G. Kearifan local

yang ada di Banten Kearifan lokal dikota lain misalnya kota Cilegon dan Serang ialah ketika
sedang memperingati hari besar umat muslim, contohnya maulid Nabi Muhaammad SAW.
Maulid Nabi ialah suatu peringatan dimana pada bulan Rabbiul Awal diperingati hari/bulan
lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di bulan tersebut masyarakat muslim dikota serang dan
cilegon beramai-rami ikut memeriahkan peringatan tersebut dengan cara ikut Dzikir dan
membuat suatu sedekah yang dibuat secara unik yakni “panjang”. Panjang ialah suatu benda
yang didalamnya berisi suatu sedekah berupa lauk pauk atau sandang dan pangan atau
bahkan sembako yang di bentuk menyerupai suatu bentuk misalnya masjid, kapal, pesawat
terbang, rumah, binatang besar dan lainlain. Tidak semua daerah dikota provinsi banten ini
melakukan hal tersebut. Akan tetapi di kota serang dan cilegon hal ini sungguh tidak asing
lagi. Ini juga yang membuat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi menarik.
Kegiatan ini bukan semata-mata untuk kesenangan atau syarat tertentu saja, akan tetapi ini
adalah sebagai bentuk syukur kami kepada Nabi umat muslim tersebut dengan cara
bersedekah. Karena “panjang” yang kita buat pada akhirnya akan dibagikan keseluruh warga
yang membutuhkan akan isi dari “panjang” itu sendiri. Pembuatan “panjang” dalam
peringatan ini bersifat tidak wajib, artinya siapapun dapat membuat “panjang”. Hal seperti
ini jugalah yang membedakan kota Cilegon/Serang dengan kota-kota lainnya khususnya di
Banten. Tradisi Panjang
Masyarakat Banten memiliki nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local
wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Masyarakatnya yang disebut-
sebut dalam catatan Snouck Hurgronje sebagai masyarakat Muslim yang lebih sadar diri dan
lebih taat dalam menjalankan ajaran agama dibandingkan dengan daerah lainnya di pulau
Jawa, menjadikan citra Banten sebagai daerah yang religious

Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat
Banten sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. Orang Banten
biasa hidup dengan tradisi dan tradisi merasa bersyukur karena di Banten, hal itu dipelihara
dengan baik, bahkan bagi sebagian orang, dijadikan pedoman hidup.

Provinsi Banten memiliki kekayaan warisan sejarah masa lalu, diantaranya tempat-tempat
bersejarah yang menjadi wisata religi bagi para peziarah. Sebut saja, Masjid Agung
Kesultanan Banten, Gunung Santri, Batu Qur’an, Makam Pangeran Jaga Lautan Pulau
Cangkir, tempat kelahiran Syeikh Nawawi Tanara, Makam Syeikh Mansur dan lain-lain.
Wisata ziarah di Banten adalah sebagai sebuah kearifan lokal yang harus dipertahankan dari
masa ke masa. Esensi dari ziarah ke makam itu sendiri merupakan kearifan lokal yang
mampu menguatkan pertautan batin sesama manusia. Lebih dari itu, mereka yang melakukan
ziarah bisa mengambil pelajaran dari perilaku dan tauladan yang dilakukan para pendahulu
atau tokoh yang diziarahi. Tradisi itu juga sebagai bentuk dzikir yaitu mengingatkan mereka
yang masih hidup suatu saat akan kembali kepada Sang Pencipta

Kearifan Lokal Baduy

Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam


wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba
ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke

Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk
Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah,
dan tenaga buruh.

Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi
dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada
dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk
tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai
kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan
kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan
tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam
yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan.
Kemampuan masyarakat baduy yang bisa menjalankan dua sistem pemerintah baik itu
sistem adat dan sistem pemerintahan nasional, merupakan bukti kemampuan hebat yang
didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal masyarakat untuk tetap melestarikan adat istiadat
tetapi juga tetap menggunakan sistem pemerintahan nasional sebagai rasa nasionalisme
warga masyarakat baduy. Menggunakan dua sistem kepemerintahan sekaligus tentunya jelas
akan banyak hambatan yang ada dalam pelaksanaanya karena bisa saja aturan yang ada
saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan, tetapi kemampuan masyarakat Baduy untuk
memposisikan dirinya menjadi salah satu kunci keberhasilan dua sistem ini digunakan secara
bersamaan.

Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada
bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-
Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan
penghormatan Suku Baduy kepada Pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini
dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini adalah
hasil panen) bagi Suku Baduy untuk diberikan kepada Pemerintah (dalam hal ini Bupati
Kabupaten Lebak).

Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Bhatara Tunggal dipercaya oleh Suku Baduy
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di hulu sungai Ciujung
dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang
tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun (Rafiudin, 1995: 21).

Sungguh sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan upacara seba adalah sebagai rasa ucap
syukur kepada pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil panenanya kepada
pemerintah dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Begitu arif masyarakat
Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir dipastikan jarang mendapat perhatian dari
pemerintah, karena memang masyarakat baduy menutup diri dari lingkungan luar, tetapi
mereka tetap mengadakan upacara sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada pemerintah,
bayangkan pada kebanyakan masayarakat indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian
yang banyak dari pemerintah, mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit,
sekolah, jalan raya, dll tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa
syukur mereka kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak yang
hanya mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan, tidak banyak
memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap bersyukur, begitu jelas terlihat
bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang mereka junjung.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat berdasarkan pengalaman yang
menjadikan kebiasaan serta mewujudkan menjadi kebudayaan dan diwariskan secara turun-
temurun dari nenek moyangnya (Baramuli et al. 1996 : 38). Secara sederhana dapat diartikan
sebagai kebijakan setempat atau cara berfikir masyarakat berdasarkan pengetahuannya.

Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi
dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada
dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk
tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai
kearifan

lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia,
berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan
hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang
akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan.

Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang
penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah
nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak
masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus
mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.

Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara
ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan
pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan
itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.

Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh
Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak
memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang
diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum
bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang. Kesederhanaan
hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan
hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
BAB III
KESIMPULAN

Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi
dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada
dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk
tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai
kearifan Masyarakat Banten memiliki nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local
wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Masyarakatnya yang disebut-
sebut dalam catatan Snouck Hurgronje sebagai masyarakat Muslim yang lebih sadar diri dan
lebih taat dalam menjalankan ajaran agama dibandingkan dengan daerah lainnya di pulau
Jawa, menjadikan citra Banten sebagai daerah yang religius Hadirnya kearifan lokal ini tak
bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Banten sehingga nilai-nilai
kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka.

Anda mungkin juga menyukai