Anda di halaman 1dari 8

DISKUSI 8

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

1. Mengapa Indikasi geografis disebut Kekayaan Intelektual Komunal?, Apakah perbedaan


Indikasi Geografis dengan Indikasi Asal? Berikan contohnya masing-masing
2. Mengapa untuk Kekayaan Intelektual dikecualikan dari Monopoli?, padahal kepemilikan
Kekayaan Intelektual berpotensi terjadinya monopoli? Jelaskan jawaban Anda

JAWABAN
1. Indikasi geografis disebut sebagai Kekayaan Intelektual Komunal karena melibatkan suatu
wilayah geografis tertentu yang memiliki reputasi atau karakteristik khusus dalam
menghasilkan produk atau barang tertentu. Konsep ini mengakui bahwa keahlian dan
pengetahuan yang terkait dengan produksi suatu barang atau produk tidak hanya dimiliki oleh
individu atau perusahaan, tetapi juga oleh masyarakat yang tinggal di wilayah geografis
tersebut.
Perbedaan antara indikasi geografis dan indikasi asal terletak pada ruang lingkup perlindungan
hukum dan cakupan geografisnya:
1. Indikasi Geografis: Indikasi geografis melindungi nama geografis yang digunakan untuk
mengidentifikasi suatu produk yang memiliki asal dari suatu wilayah geografis tertentu.
Perlindungan hukum pada indikasi geografis bertujuan untuk mencegah penggunaan
nama geografis tersebut oleh pihak lain yang dapat menimbulkan kebingungan atau
merugikan reputasi produk tersebut.
 Contoh indikasi geografis adalah "Champagne" untuk minuman beralkohol yang
berasal dari wilayah Champagne di Prancis. Dasar hukumnya dapat ditemukan
dalam berbagai perjanjian internasional seperti Persetujuan TRIPS (Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights) di bawah World Trade Organization
(WTO) dan juga dalam hukum nasional setiap negara.
2. Indikasi Asal: Indikasi asal lebih umum dan meliputi identifikasi produk berdasarkan
asalnya tanpa memperhatikan reputasi khusus wilayah geografis tersebut. Perlindungan
hukum pada indikasi asal bertujuan untuk mencegah praktik-praktik yang tidak sah yang
dapat menyesatkan konsumen tentang asal suatu produk.
 Contoh indikasi asal adalah "Made in Italy" yang digunakan untuk produk-produk
yang diproduksi di Italia. Dasar hukum untuk perlindungan indikasi asal dapat
ditemukan dalam peraturan nasional dan perjanjian internasional yang terkait
dengan kekayaan intelektual.

2. Kekayaan Intelektual (KI) memang merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada
pemiliknya untuk melindungi karya-karya kreatif atau inovatif mereka. Meskipun KI
memberikan hak monopoli kepada pemiliknya, tujuan dari perlindungan KI sebenarnya adalah
untuk mendorong inovasi, kreativitas, dan pertumbuhan ekonomi, bukan untuk menciptakan
monopoli yang merugikan masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa KI dikecualikan dari monopoli:
1. Meningkatkan Inovasi: Perlindungan KI memberikan insentif bagi para pencipta dan
inovator untuk berinvestasi waktu, uang, dan upaya dalam menciptakan karya-karya baru.
Dengan memberikan hak eksklusif sementara kepada pemilik KI, mereka dapat
memanfaatkan hasil karya mereka sebelum orang lain dapat menyalin atau meniru tanpa
izin. Insentif ini mendorong inovasi dan pengembangan teknologi baru yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
2. Mendorong Persaingan Sehat: Meskipun KI memberikan hak monopoli kepada
pemiliknya, perlindungan KI juga mengatur batasan dan pembatasan tertentu untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan monopoli. Undang-undang kekayaan intelektual
mengatur praktik-praktik yang melanggar undang-undang persaingan yang sehat, seperti
praktik anti-persaingan, penyalahgunaan dominasi pasar, atau monopoli yang merugikan
konsumen. Ini membantu memastikan bahwa perlindungan KI tidak digunakan untuk
mengekang persaingan pasar dan merugikan masyarakat.
3. Doktrin Penggunaan Wajar: Dalam beberapa kasus, ada prinsip "penggunaan wajar" yang
memungkinkan penggunaan karya terlindungi tanpa izin pemilik hak kekayaan
intelektual. Konsep ini memungkinkan penggunaan karya terbatas dalam konteks tertentu
seperti pendidikan, penelitian, kritik, atau liputan berita tanpa melanggar hak eksklusif
pemilik KI. Prinsip ini diatur dalam berbagai undang-undang kekayaan intelektual,
seperti Fair Use di Amerika Serikat dan Fair Dealing di beberapa yurisdiksi lainnya.
4. Lisensi Wajib dan Lisensi FRAND: Dalam beberapa kasus, pemberi lisensi KI yang
memiliki hak monopoli dapat diwajibkan untuk memberikan lisensi kepada pihak lain
dengan syarat dan ketentuan yang wajar dan adil (FRAND - Fair, Reasonable, and Non-
Discriminatory). Hal ini sering terjadi dalam konteks paten dan standar teknologi, di
mana pemilik paten harus memberikan lisensi kepada pihak lain untuk mencegah
penyalahgunaan monopoli dan mendorong inovasi lebih lanjut.

Dasar hukum untuk kekecualian KI dari monopoli dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
dan perjanjian internasional, serta undang-undang nasional yang mengatur kekayaan intelektual.
Misalnya, dalam Persetujuan TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) di
bawah World Trade Organization (WTO), terdapat klausul yang menekankan pentingnya
menjaga keseimbangan antara hak monopoli yang diberikan oleh KI dan kepentingan umum,
termasuk persaingan sehat. Undang-undang nasional juga mengatur perlindungan KI dengan
mempertimbangkan aspek-aspek persaingan yang sehat, misalnya melalui hukum persaingan
atau undang-undang anti-monopoli yang ada di berbagai yurisdiksi.
HUKUM ISLAM DAN PERADILAN AGAMA
Kemukakan pendapat dan diskusikan dengan dasar hukum/ teori yang tepat tentang pemberian
kewenangan baru kepada Pengadilan Agama untuk dapat menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah di Indonesia
Jawaban:
Pendapat yang berkaitan dengan pemberian kewenangan baru kepada Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia dapat dibahas dengan dasar hukum dan
teori yang relevan sebagai berikut:
1. Pemberian Kewenangan yang Spesifik: Pemberian kewenangan kepada Pengadilan
Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dapat menjadi langkah yang tepat
karena Pengadilan Agama memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang hukum syariah dan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Dalam konteks ini,
pemberian kewenangan baru kepada Pengadilan Agama dapat membantu memastikan
penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Dasar hukum untuk pemberian kewenangan baru ini dapat ditemukan dalam beberapa undang-
undang dan peraturan yang ada, seperti:
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mengatur
tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara perdata
yang berkaitan dengan hukum keluarga dan waris Islam.
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, yang
memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara-
perkara nonperdata yang berkaitan dengan hukum keluarga, waris Islam, dan
perkawinan.
2. Keahlian Khusus Pengadilan Agama: Pemberian kewenangan kepada Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dapat didasarkan pada keahlian khusus
yang dimiliki oleh hakim dan staf administratif Pengadilan Agama. Mereka memiliki
pemahaman yang mendalam tentang hukum Islam dan prinsip-prinsip ekonomi syariah,
sehingga dapat memberikan penyelesaian yang lebih komprehensif dan sesuai dengan
nilai-nilai syariah dalam konteks ekonomi.
3. Penguatan Institusi Peradilan Agama: Pemberian kewenangan baru ini dapat membantu
memperkuat peran dan fungsi Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan yang
independen. Dengan diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah, Pengadilan Agama dapat memberikan kepastian hukum dalam domain tersebut,
meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan memperluas akses terhadap keadilan bagi
para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Namun, penting untuk memastikan bahwa pemberian kewenangan baru ini juga harus
mempertimbangkan kebijakan dan koordinasi yang baik antara Pengadilan Agama dengan
lembaga peradilan lainnya, seperti Pengadilan Negeri, untuk menghindari tumpang tindih atau
konflik kompetensi.
Pendapat dan diskusi di atas didasarkan pada prinsip-prinsip hukum di Indonesia, khususnya
dalam Undang-Undang tentang Peradilan Agama, yang memberikan dasar hukum untuk
memperluas kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan hukum Islam, termasuk sengketa ekonomi syariah.

HUKUM PERUSAHAAN
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus bahwa PT. Garuda Indonesia (Persero)
Tbk. terbukti melanggar pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam perkara dugaan praktek
diskriminasi PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terkait pemilihan mitra penjualan tiket umrah
menuju dan dari Jeddah dan Madinah.

Kesimpulan tersebut disampaikan dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan yang dilakukan
secara daring pada 8 Juli 2021. Atas pelanggaran tersebut, PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk
dikenakan denda sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Perkara yang diawali dari
laporan publik tersebut mengangkat dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf d UU No.5/1999,
khususnya terkait upaya penutupan akses saluran distribusi penjualan langsung tiket umrah
menuju dan dari Jeddah dan Madinah oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk melalui Program
Wholesaler.

Sumber : https://kppu.go.id/

Pertanyaan:

Berdasarkan kasus diatas, analisislah praktik persaingan usaha tidak sehat apakah yang
dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk, kemudian jelaskanlah bagaimana teknik
investigasi yang dilakukan oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terhadap dugaan
pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha? Jelaskan

Jawaban:
Berdasarkan kasus di atas, PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terbukti melanggar Pasal 19
huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelanggaran yang terjadi adalah praktek diskriminasi terkait
pemilihan mitra penjualan tiket umrah menuju dan dari Jeddah dan Madinah. PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk. melakukan upaya penutupan akses saluran distribusi penjualan
langsung tiket umrah melalui Program Wholesaler.
Praktik ini dapat dikategorikan sebagai persaingan usaha tidak sehat karena PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk. dengan sengaja membatasi akses pesaingnya dalam menjual tiket
umrah. Dengan menutup akses saluran distribusi penjualan langsung tiket umrah menuju dan
dari Jeddah dan Madinah, PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. secara tidak adil membatasi
persaingan dalam industri ini, yang seharusnya memberikan kesempatan kepada berbagai pihak
untuk berpartisipasi secara adil.
Untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan oleh PT. Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan beberapa
teknik investigasi. Berikut adalah beberapa teknik investigasi yang dapat dilakukan oleh KPPU
dalam kasus seperti ini:
1. Pengumpulan Informasi: KPPU akan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber,
termasuk laporan publik, dokumen-dokumen terkait, bukti-bukti elektronik, dan saksi-
saksi terkait.
2. Pemeriksaan Dokumen: KPPU akan memeriksa dokumen-dokumen yang relevan, seperti
kontrak, kesepakatan, kebijakan, dan catatan internal PT. Garuda Indonesia (Persero)
Tbk. untuk mencari bukti adanya praktek diskriminasi atau tindakan yang melanggar
persaingan usaha sehat.
3. Wawancara dan Pendalaman: KPPU akan melakukan wawancara dengan pihak-pihak
terkait, termasuk pelapor, saksi-saksi, dan perwakilan dari PT. Garuda Indonesia
(Persero) Tbk., untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci dan memperdalam
pemahaman terhadap kasus ini.
4. Analisis Pasar: KPPU akan menganalisis pasar terkait tiket umrah, termasuk struktur
pasar, partisipasi pesaing, akses saluran distribusi, dan potensi dampak dari praktek yang
dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
5. Pembuktian dan Evaluasi: KPPU akan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup untuk
membuktikan pelanggaran persaingan usaha. Selanjutnya, bukti-bukti tersebut akan
dievaluasi untuk menentukan apakah PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. benar-benar
melanggar UU No. 5/1999 dan Pasal 19 huruf d.
Dengan menggunakan teknik-teknik investigasi tersebut, KPPU dapat mengumpulkan bukti yang
cukup untuk mendukung kesimpulan mereka bahwa PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam kasus dugaan praktek diskriminasi terkait
pemilihan mitra penjualan tiket umrah.

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL


Paparkan penerapan tanggung jawab komando dalam salah satu kasus pidana internasional yang
pernah diputus oleh ICC !

Jawaban

Salah satu kasus pidana internasional yang diputus oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
yang melibatkan penerapan prinsip tanggung jawab komando adalah kasus Jean-Pierre Bemba
Gombo. Jean-Pierre Bemba Gombo adalah seorang pemimpin milisi di Republik Demokratik
Kongo (RDC) yang dituduh bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh anak buahnya selama konflik di Republik Afrika Tengah pada
tahun 2002-2003.
Dalam kasus ini, Jean-Pierre Bemba Gombo diadili atas tanggung jawab komandonya terhadap
tindakan pasukannya. Prinsip tanggung jawab komando merupakan prinsip hukum internasional
yang menetapkan bahwa seorang komandan dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan
yang dilakukan oleh anak buahnya jika ia gagal mengambil langkah yang wajar untuk mencegah
atau menghukum tindakan tersebut.
Dasar hukum penerapan tanggung jawab komando dalam kasus ini adalah Statuta Roma, yaitu
perjanjian pendirian ICC. Pasal 28 Statuta Roma mengatur tentang tanggung jawab individu atas
kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC. Pasal 28(a) menyatakan bahwa seorang
pemimpin militer atau komandan yang, menurut hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam
perang, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya dan gagal mencegah atau menghukum
tindakan yang melanggar hukum internasional, dapat dianggap bertanggung jawab atas kejahatan
yang dilakukan oleh anak buahnya.
Dalam kasus Jean-Pierre Bemba Gombo, ICC memutuskan bahwa ia secara individu
bertanggung jawab atas tindakan pasukannya yang melibatkan kejahatan perang, termasuk
pembunuhan, pemerkosaan, dan perampasan properti. Pengadilan menemukan bahwa Bemba
Gombo sebagai komandan tidak mengambil langkah yang wajar dan memadai untuk mencegah
atau menghukum tindakan tersebut, sehingga ia dianggap bertanggung jawab atas kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.
Kasus ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip tanggung jawab komando merupakan
instrumen penting dalam penegakan hukum pidana internasional, yang memungkinkan individu
yang memiliki peran otoritas dan kontrol atas tindakan anak buahnya untuk
dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan di bawah komandonya. Dasar hukumnya
adalah Pasal 28 Statuta Roma, yang menjadi landasan bagi ICC dalam menuntut dan
memutuskan tanggung jawab individu dalam kasus-kasus kejahatan internasional

TEORI PERUNDANG UNDANGAN


Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Eksistensi Perda secara tegas mulai dirumu
skan dalam Amandemen UUD 1945
yang Kedua dan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
yang kemudian selanjutnya ditetapkan pula dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tenta
ng Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan).
1. Berikan analisis Anda, perbedaan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh
pemerintah dan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

2. Berikan analisis anda, bagaimana bentuk hukum pembatalan Perda dalam undang-
undang.

Jawaban
1. Perbedaan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh pemerintah dan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Standar Pengujian oleh Pemerintah:
Ketika pemerintah (eksekutif) meninjau atau menguji suatu Perda, mereka biasanya
melakukannya berdasarkan aspek kepatutan dan kewajaran. Pemerintah akan
mempertimbangkan apakah Perda tersebut sesuai dengan kebijakan nasional, tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan tidak merugikan
kepentingan umum. Pemerintah juga dapat mengevaluasi aspek teknis dan administratif
dalam implementasi Perda tersebut. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk menguji kepatutan dan kewajaran suatu Perda.
b. Standar Pengujian oleh Mahkamah Agung:
Ketika Mahkamah Agung menguji suatu Perda, mereka melakukannya berdasarkan aspek
konstitusionalitas dan legalitas. Mahkamah Agung akan memeriksa apakah Perda tersebut
sesuai dengan konstitusi, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Mahkamah Agung juga akan
mengevaluasi apakah proses pembentukan Perda tersebut telah mengikuti prosedur yang
ditetapkan. Dasar hukumnya adalah Amandemen UUD 1945 yang Kedua, Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, serta peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur wewenang
Mahkamah Agung dalam menguji Perda.
Perbedaan standar pengujian ini mencerminkan peran dan wewenang yang berbeda antara
pemerintah dan Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap Perda.
Pemerintah lebih fokus pada kepatutan, kewajaran, dan implementasi administratif, sementara
Mahkamah Agung berfokus pada aspek konstitusionalitas, legalitas, dan perlindungan hak-hak
asasi manusia.
2. Dalam undang-undang, terdapat beberapa bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah (Perda)
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Berikut adalah
beberapa bentuk hukum pembatalan Perda dalam undang-undang:
1. Pembatalan oleh Pemerintah Pusat:
 Pasal 8 ayat (3) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa
Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh Menteri atau Pejabat Pembina Kepegawaian Negara. Dalam hal ini,
pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-undang.
2. Pembatalan oleh Mahkamah Agung:
 Pasal 8 ayat (4) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa
Perda yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat diajukan gugatan ke Mahkamah Agung untuk dibatalkan. Dalam hal
ini, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda yang
bertentangan dengan konstitusi.
3. Pembatalan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN):
 Pasal 8 ayat (5) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa
Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, di luar Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat diajukan gugatan ke PTUN.
PTUN memiliki wewenang untuk membatalkan Perda yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bentuk hukum pembatalan Perda dalam undang-undang memberikan mekanisme untuk
mengatasi ketidaksesuaian atau ketidakpatuhan Perda terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Pembatalan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, Mahkamah Agung, atau
PTUN, tergantung pada jenis pelanggaran atau ketidaksesuaian yang terjadi. Pembatalan Perda
bertujuan untuk menjaga kesesuaian hierarki peraturan perundang-undangan dan menjaga
konsistensi pelaksanaan hukum di tingkat daerah dengan hukum yang berlaku secara nasional
atau konstitusi

Anda mungkin juga menyukai