Anda di halaman 1dari 7

ALASAN KENAPA KITA HARUS BERMADZHAB DAN TAQLID PADA ULAMA ?

Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba – yazhabu
– zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan
secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan
hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah
mazhab fiqih.

Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus
yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang
menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta orang- orang yang
sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang- orang yang bertaqlid dan menyatakan
bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab
Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab- madzhab lain yang berbeda-beda dalam
mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang
terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf
Ummah. ) Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah
bid’ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari
bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para
imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk
memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya
umat.

Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama
yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as- Subki, Ibnu
Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-
Haitami, al- Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz- Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu
Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al- Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim,
Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama
di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.
Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau
bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di
atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas
juga bodoh tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan
yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta
jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan. Jika di amati dengan seksama, orang-
orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari
Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena
telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah
hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al- Bukhari
adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan
percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al- Albani, al-
Utsaimin, Ibnu baz dan lain- lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan
apa?

Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil
hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun.
Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan
Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak
pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan
menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk
memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria
mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca
dan mengetahui isi al- Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan
lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama- ulama salaf terdahulu dan
bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan
menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.

Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas
memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi
kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu
membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah
huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan
huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al- Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di
turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti),
muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al- Khithab,
khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di
bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits)
dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-
kriteria di atas tidak terpenuhi,
maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid. Kami tidak pernah mengatakan
bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka
sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk
derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain.
Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang dapat di sejajarkan dengan ulama-ulama
pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang
dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?
ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43: َ‫ﻥُﻮ َﻤ ْﻠَﻌ ﺗ ﻻْ ُﻢ ْﺘُﻨﻛْ ِﻥ ﺇِ ْﺮ ِّﻛ ﺬﻟﺍَ ْﻞ َﻫﺃ ﺍﻮْﺄَﻟﺳَﺎﻓ‬
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui.”

Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak
mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas
ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang
kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali
hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid. senada dengan ayat diatas didalam
Qur`an surat At-Taubah ayat 122; ‫َﺎْﻟَﻮ َﻠﻓَ َﺮ َﻔﻧْ ِﻦ ﻣِّ ُﻞﻛٍ َﺔْﻗِﺮﻓْ ُﻢ ْﻬِﻨﻣٌ َﺔِﻔﺋَﺎﻃ ﺍُﻮ َّﻬَﻘَﻔَﺘِﻴﻟ ِﻲ ﻓِ ﻦِّﻳﺪﻟﺍ ﺍُﻭ ِﺭْﺬ ُﻨِﻴَﻟﻭْ ُﻢَﻬْﻣ َﻮ ﻗ َﺍِﺫ ﺇ ﺍُﻮَﻌَﺟ ﺭ‬
‫ِْﻢ ْﻬَﻴِﻟﺇ‬
122) َ‫ )ﻥُﻭَﺭ ْﺬ َﺤ ﻳْ ُﻢ َّﻬَﻠَﻌ ﻟ‬Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya. ( 122) 2. Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat
Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa
(mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil
dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat
sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau
muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat
golongan ini jumlahnya sangat banyak.
Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin
Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain- lain saat memberi fatwa pasti
menyampaikan dalil fatwanya. 3. Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya
ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat
menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan
semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk
menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan
waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya
dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya
dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan
agama”.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73,
Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. ) Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah: 1. Wajib
bagi orang yang tidak mampu
ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar
tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid.
Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri,
Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam
madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang
diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang- orang yang
mampu berijtihad dari Al- Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi
mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan al-Kubra
1/62. ) Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan
taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad
sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-
Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm
tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad
wa at-Taqlid hlm. 22. ) Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan
ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau
istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini
adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat
ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain
maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut
pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski
imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah
demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad
Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut
berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-
Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut,
apakah secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari kitab
lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan
pernyataannya tersebut.
Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami juga menantang orang-orang yang
mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim,
Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam tulisan dan pidato- pidato mereka, apakah hal itu
termasuk taqlid atau ittiba’? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut perlu
di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.
Lebih jelasnya lihat kitab al- Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan
orang- orang yang anti-madzhab dengan argumen-arguman yang kuat. Termasuk di dalamnya
terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr.
Muhammad Said Ramadhan al- Buthi. Sekilas tentang 4 Mazhab 1. Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat,
yaitu pada tahun 80 H =
699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar
kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada
ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi
adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat- pendapat yang berasal dari Imam Abu
Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti
mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang
kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama- ulama Irak (Ahlu Ra’yi).
Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As
Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan Uruf.
Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
b. Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
c. Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
d. Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara- negara Islam
bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki,
Syiria dan Libanon.
Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin
India dan Tiongkok. 2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam
Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun
93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal
dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis
Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur
Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az
Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam
Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok (dasar) yaitu: •
Nashshul Kitab
• Dzaahirul Kitab (umum)
• Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
• Mafhum muwafaqah
• Tanbihul Kitab, terhadap illat
• Nash-nash Sunnah • Dzahirus Sunnah
• Dalilus Sunnah
• Mafhum Sunnah
• Tanbihus Sunnah
• Ijma’
• Qiyas • Amalu Ahlil Madinah
• Qaul Shahabi
• Istihsan
• Muraa’atul Khilaaf
• Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik
ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
2. Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
3. Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
5. Asbagh bin Farj al-Umawi.
6. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
7. Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari. Adapun ulama-ulama yang
mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1. Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2. Isa bin Dinar al-Andalusi.
3. Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4. Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5. Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6. Asad bin Furat.
7. Abdus Salam bin Said At Tanukhi. Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal
sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Abdul Walid al-Baji
2. Abdul Hasan Al-Lakhami
3. Ibnu Rusyd Al-Kabir
4. Ibnu Rusyd Al-Hafiz
5. Ibnu ‘Arabi 6. Ibnul Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko,
Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait. 3.Mazhab Syafi’i. Mazhab ini dibangun oleh
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib
bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun
wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam
Syafi’i sanggup hafal Al- Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an
barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul
Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid;
yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya
dalam bidang fiqh yang menjadi induk
dari mazhabnya ialah: Al-Um. Dasar-dasar Mazhab Syafi’i: Dasar-dasar atau sumber hukum
yang
dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum sysra’ adalah:
1. Al-Kitab.
2. Sunnah Mutawatirah.
3. Al-Ijma’.
4. Khabar Ahad.
5. Al-Qiyas. 6. Al-Istishab. Ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut
menyebarkan Mazhab Syafi’i, antara lain : * Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
* Imam Bukhari
* Imam Muslim
* Imam Nasa’i
* Imam Baihaqi
* Imam Turmudzi * Imam Ibnu Majah
* Imam Tabari
* Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
* Imam Abu Daud
* Imam Nawawi
* Imam as-Suyuti * Imam Ibnu Katsir
* Imam adz-Dzahabi
* Imam al-Hakim
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina,
Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan,
India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.
4. Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk
mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau
dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
2. Fatwa sebagian Sahabat.
3. Pendapat sebagian Sahabat.
4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5. Qiyas. Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya
I’laamul Muwaaqi’in.
Pengembang-pengembang
Mazhabnya
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai
berikut:
1. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram; dia
telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2. Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al- Marwazi yang mengarang kitab As Sunan
Bisyawaahidil Hadis.
3. Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al- Marwazi dan termasuk
ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab
Hambali, di antaranya:
1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al- Maqdisi yang mengarang kitab Al- Mughni.
2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al- Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah
fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela
dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam
waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa
pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai
penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.

Anda mungkin juga menyukai