Anda di halaman 1dari 6

Nama : Intan Permatasari

NPM : 10060321100
Kelas : C / FARMASI
RESUME Artikel FARMASI HIJAU – TINJAUAN NARASI
 Perkenalan

Gambaran umum tentang pengetahuan di bidang farmasi hijau. Tujuannya


adalah untuk merangkum dan menganalisis literatur yang relevan tentang
pencegahan kontaminasi lingkungan dengan obat-obatan. Hipotesis kami adalah
bahwa apoteker dapat lebih terlibat dalam bidang ini dan kami bertujuan untuk
mengembangkan arah penelitian di masa depan untuk regulasi dan penerapannya
di Rumania.

Polusi merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi umat manusia saat
ini. Produk farmasi (terutama produk obat-obatan, tetapi juga produk perawatan
pribadi lainnya) dapat dianggap sebagai kontaminan lingkungan karena
penggunaannya di seluruh dunia baik dalam pengobatan manusia maupun hewan
[1-4]. Dalam konteks ini muncul lah konsep baru yaitu konsep farmasi hijau yang
dapat diartikan sebagai penjumlahan dari seluruh upaya yang harus dilakukan
untuk meminimalkan dampak buruk yang ditimbulkan dampak lingkungan dari
obat-obatan. Langkah-langkah tersebut harus diterapkan selama seluruh kegiatan
farmasi, mulai dari perancangan molekul baru hingga pembuatan, distribusi,
pengeluaran dan pembuangan [1,2,7-9]. Selain itu, profesional kesehatan (dokter
dan apoteker) dan konsumen akhir (pasien) harus terlibat dalam tindakan yang
mengarah pada pencegahan polusi yang disebabkan oleh produk farmasi [2,10].
Apoteker bertanggung jawab tidak hanya untuk mengeluarkan produk obat yang
diresepkan dan dijual bebas (OTC), tetapi juga untuk pembuangan limbah farmasi
yang benar, yang sebagian besar berasal dari obat kadaluarsa [1,10]. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, dua kelompok kerja International Pharmaceutical
Federation (FIP), yaitu Board of Pharmacy Practice dan Board of Pharmaceutical
Science merancang sebuah dokumen yang diberi nama “Green Pharmacy
Practice”.
 Penelitian lingkungan tentang obat-obatan
Kebijakan kesehatan UE mendefinisikan produk obat untuk penggunaan
manusia atau hewan sebagai “setiap bahan atau kombinasi bahan yang dinyatakan
memiliki khasiat untuk mengobati atau mencegah penyakit” atau “setiap bahan
atau kombinasi bahan yang dapat digunakan atau diberikan dengan tujuan untuk
memulihkan, mengoreksi atau memodifikasi fungsi fisiologis dengan melakukan
tindakan farmakologis, imunologis atau metabolik, atau untuk membuat diagnosis
medis” [11,12]. Zat tersebut, sering disebut bahan aktif farmasi atau senyawa aktif
farmasi, dapat mencakup materi apa saja: manusia, hewan, nabati, atau bahan
kimia [8,11-16].
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian terhadap lingkungan (sampel
tanah dan air) dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat bahan aktif
farmasi atau tidak [14-22]. Masalah lain yang ditekankan oleh banyak peneliti
adalah akumulasi bahan aktif farmasi di lingkungan, yang menyebabkan paparan
terus menerus dan lebih mungkin menimbulkan efek negatif terhadap flora, fauna
atau bahkan manusia [1,8,15,16,22-25] . Dampak negatif tersebut telah dilaporkan
dalam literatur, misalnya: gangguan sistem reproduksi pada ikan yang disebabkan
oleh estrogen, Kajian lingkungan menunjukkan adanya berbagai golongan bahan
obat di sistem perairan (air tanah, air permukaan bahkan air minum) atau di dalam
tanah, seperti: zat antijamur: miconazole, fluconazole [28,44,46].
 Meminimalkan pencemaran lingkungan Farmasi pembuatan, peresepan,
pengeluaran dan pembuangan produk obat. Semua kegiatan ini harus
dibarengi dengan tindakan untuk meminimalkan risiko kontaminasi
lingkungan dengan bahan aktif farmasi.
 Penelitian dan pembuatan produk obat Industri farmasi terlibat dalam
perancangan dan pembuatan produk obat. Seringkali, perancangan senyawa
bioaktif baru melibatkan sintesis kimia, suatu proses yang meningkatkan
risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan berbagai pelarut organik
dan anorganik. Untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan,
dalam beberapa tahun terakhir para peneliti telah mengembangkan konsep
“kimia hijau”, yang dapat dikatakan lebih ramah lingkungan.
Tantangan lain bagi industri farmasi adalah pembuatan produk obat yang
mudah mengalami biodegradasi begitu mencapai lingkungan, terutama air dan
tanah. Produk obat saat ini dimetabolisme melalui serangkaian reaksi yang terjadi
di hati, seperti reaksi fase I (dikatalisis oleh Sitokrom P450) dan reaksi fase II.
Transformasi ini menyebabkan ekskresi lebih banyak metabolit hidrofilik,
meskipun hal ini juga dapat menyebabkan pembentukan senyawa aktif dalam
kasus pro-obat. Selain itu, industri farmasi perlu merancang teknologi untuk
memproduksi “pil yang lebih ramah lingkungan” yang dapat memberikan efek
terapeutik dalam dosis yang tepat, di tempat yang tepat, dan tetap ramah
lingkungan.
 Meresepkan produk obat Sebagai profesional kesehatan, dokter juga
bertanggung jawab untuk meresepkan produk obat. Untuk meminimalkan dampak
lingkungan dari obat-obatan, peresepan harus rasional, optimal dan efektif; jika
tidak maka akan meningkatkan konsumsi dan akumulasi produk obat yang tidak
terpakai [1,2].Menurut literatur, berbagai faktor dapat mempengaruhi konsumsi
dan akumulasi yang disebutkan di atas. Hal ini termasuk harapan dan permintaan
pasien (misalnya antibiotik, sering kali diresepkan ketika penggunaannya tidak
diperlukan, seperti untuk flu biasa), pemberian resep yang berlebihan, perubahan
dalam terapi pengobatan, peresepan produk obat untuk mengatasi efek samping
atau untuk “digunakan sebagai obat”.
 Pengeluaran dan pembuangan produk obat Menurut beberapa penelitian,
faktor-faktor yang berkaitan dengan pengeluaran produk obat dapat meningkatkan
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh senyawa aktif farmasi. Obat-obatan
yang gratis atau berbiaya rendah dapat menyebabkan penumpukan obat-obatan
yang tidak terpakai secara berlebihan. Penjualan jarak jauh ke tempat umum
seringkali mengakibatkan kiriman hilang atau rusak. Akibatnya, beberapa obat
tidak dapat digunakan sementara beberapa lainnya, termasuk obat palsu atau
palsu, mungkin tersedia secara bebas. Label yang tidak akurat atau ditulis tangan
dapat menghalangi pasien untuk memahami cara menggunakan perawatan medis
mereka. Pasien juga bertanggung jawab atas kontaminasi lingkungan dengan
senyawa farmasi aktif. Pengobatan sendiri, penyimpanan stok obat yang
berlebihan di rumah, iklan langsung ke konsumen yang berlebihan, politerapi
terutama pada pasien usia lanjut Edukasi pasien mengenai konsumsi produk obat
yang rasional dan pembuangan obat yang tidak terpakai atau kadaluarsa dengan
benar harus disampaikan melalui kampanye informasi dan program pengambilan
kembali, yang juga disebut program pengembalian obat [2,7,69,72].
 Pengelolaan pembuangan limbah Strategi pengelolaan yang beragam harus
dipertimbangkan untuk meminimalkan dampak lingkungan dari limbah farmasi
[15]. Sebagaimana disebutkan di atas, limbah farmasi meliputi produk obat yang
tidak terpakai dan kadaluwarsa, serta wadah berisi residu farmasi (blister pack,
vial, botol, tas), sarung tangan dan masker [3]. Semua limbah farmasi harus
dikumpulkan dalam wadah khusus yang diberi kode warna sebelum dilakukan
pengolahan limbah yang sesuai [3,74,75]. Seringkali, limbah farmasi dibuang
melalui insinerasi, suatu teknik perlakuan panas yang terdiri dari pembakaran
pada suhu tinggi [3,69,75]. Teknik pengolahan limbah lainnya termasuk gasifikasi
suhu rendah yang kompak (suhu hingga 550ºC), autoklaf, sterilisasi kimia,
iradiasi frekuensi radio, microwave, sistem minyak panas atau hidrolisis basa.
Beberapa teknik pembuangan seperti penimbunan, pembakaran terbuka, atau
penghancuran mekanis memiliki penerapan yang terbatas karena tingginya risiko
pencemaran lingkungan [73].
 Menuju apotek komunitas yang lebih hijau Salah satu kegiatan yang dapat
diterapkan oleh apotek untuk meminimalkan dampak produk obat terhadap
lingkungan adalah mengumpulkan produk obat yang tidak terpakai atau
kadaluwarsa dari pasien. Dalam dokumen yang disebut “Praktik Farmasi Ramah
Lingkungan”, FIP memberikan beberapa rekomendasi kepada apotek komunitas
mengenai pengumpulan dan pembuangan limbah farmasi. Jika diinginkan, apotek
dapat memperoleh akreditasi atas kegiatan pengelolaan limbahnya meskipun
biayanya agak mahal. Sekalipun apotek tidak diwajibkan untuk mendapatkan
akreditasi, mereka harus menguraikan prosedur operasi standar untuk kegiatan
pengumpulan obat-obatan yang tidak terpakai dan kadaluarsa dari pasien, serta
pembuangan limbah farmasi. otek komunitas harus dilibatkan dalam program
pengumpulan, kegiatan yang merupakan cara mudah untuk meminimalkan
keberadaan obat-obatan di lingkungan [79]. Sejauh menyangkut hubungan antara
apoteker dan profesional kesehatan lainnya, FIP mendorong komunikasi dengan
dokter untuk mengevaluasi dan meresepkan produk obat dengan tepat yang
menghadirkan risiko minimal kontaminasi lingkungan [3].
 Kesimpulan
Limbah farmasi dapat ditempatkan di antara kontaminan lingkungan lainnya,
penelitian menunjukkan keberadaannya di air dan tanah. Oleh karena itu, tindakan
minimalisasi risiko harus diambil oleh industri farmasi, dokter, apoteker, dan
profesional kesehatan lainnya dan konsumen akhir. Industri farmasi dapat
mengembangkan metode alternatif yang ramah lingkungan untuk memperoleh
dan memproduksi produk obat. Dokter harus semaksimal mungkin menyesuaikan
terapi obat apa pun dengan kebutuhan setiap pasien tanpa membahayakan
keselamatan pasien dan lingkungan. Apoteker harus memberi tahu pasien tentang
pengembalian produk obat yang tidak terpakai atau kadaluarsa ke apotek
komunitas. Selain itu, hubungan apoteker – pasien yang efisien dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai limbah farmasi dan pembuangan
obat yang benar. Apotek komunitas dapat mengatur program pengumpulan obat-
obatan yang tidak terpakai atau kadaluwarsa dan harus bekerja sama dengan
berbagai otoritas dan perusahaan pembuangan limbah untuk mengurangi dampak
produk obat terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai